*Untuk melihat semua artikel Sejarah Lubuk Raya di blog ini Klik Disini
Wilayah kabupatan
Tapanuli Tengah, di sepanjang pantai sebelah utara kota Sibolga dan kecamatan
Tapian Nauli adalah kecamatan Kolang, Sorkam, Sorkam Barat, Pasaribu Tobing,
Sosor Gadong, Barus, Barus Utara, Andam Dewi, Sirandorung dan Manduamas.
Diantara nama-nama kecamatan, nama yang sangat tua adalah Barus.
Kecamatan Barus di kabupaten Tapanuli Tengah ibu kota di Padang Masiang. Barus (nama laon Fansur) sebagai kota Emporium dan pusat peradaban abad 1-17. Kecamatan berada di pantai barat Sumatera ketinggian 0-3 M. Hingga abad ke-19, mayoritas etnis suku bangsa Minangkabau dan Aceh. Sejak terbentuknya Keresidenan Tapanuli banyak etnis Batak Toba dan Pakpak yang kemudian membentuk budaya Pesisir berbahasa Minangkabau logat Pesisir dan bahasa Batak. Penduduk di pesisir mempunyai marga sesuai dengan suku, orang Batak dengan marganya. Orang Minang sebagian besar bersuku/marga Tanjung dan Caniago, orang Nias marga Harefa dan Lase. Julukan "Kota Tua" karena Barus memiliki sejarah panjang dimana ada benteng Portugis dan makam kuno Makam Mahligai dan Papan Tinggi. Kecamatan Barus terdiri kelurahan Padang Masiang dan Pasar Batu Gerigis serta desa-desa Aek Dakka, Bungo Tanjung, Gabungan Hasang, Kampung Mudik, Kampung Solok, Kedai Gedang, Kinali, Pasar Terandam, Patupangan, Sigambo Gambo dan Ujung Batu (Wikipedia).
Lantas bagaimana sejarah nama Barus masa ke masa di pantai barat Sumatra? Seperti disebut di atas nama Barus adalah nama kuno yang berada di wilayah pesisir di pantai barat Sumatra di wilayah Tapanoeli. Lalu lintas perdagangan jaman kuno antara Angkola dan Barus. Lalu bagaimana sejarah nama Barus masa ke masa di pantai barat Sumatra? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.
Nama Barus Masa ke Masa di Pantai Barat Sumatra; Lalu Lintas Perdagangan Kuno Antara Angkola dan Barus
Lain di hulu, lain di hiliran, lain tempo doeloe, lain pula sekarang. Itulah pantun tentang sejarah Barus masa ke masa. Nama Barus sudah disebut dalam catatan Eropa pada abad ke-5 dan dalam catatan Tiongkok pada abad ke-6. Nama tempat di pantai barat Sumatra yang dapat dikatakan terinformasikan adalah nama Angkola yang diidentifikasi sebagai Tacola dalam peta Ptolomeus abad ke-2.
Nama Baros tetap eksis. Dalam peta-peta Portugis nama-nama yang diidentifikasi di pantai barat Sumatra nata lain Baros dan Batahan. Peta ini kemudian diperkaya oleh pelaut/pedagang Belanda pada era VOC. Saat mana pertama kali VOC membuka pos perdagangan di Pulai Chinko (Padang) tahun 1665, lalu tiga tahun berikutnya 1668 VOC membuat perjanjian dengan pemimpin Baros. INi dimulai pada tahun 1665 militer VOC mengusir pengariuh VOC dari pantai barat Sumatra hingga batas Singkel. Artinya dengan kehadiran VOC wilayah di pantai barat terbebas dari pengaruh langsung Atjeh di pelabuhan-pelabuhan. Lantas dimana letak kampong Baros pada era Ptolomeus dan pada era VOC?
Sebagai penanda navigasi untuk memahami sejara Barus adalah bertanya dimana posisi GPS benteng Barus? Jelas tidak dimana-mana, tetap berada ditempatnya sejak era VOC hingga masa kini. Yang berbeda adalah sudut pandangnya saja. Yang secara geografis dapat diperhatikan dalam Peta 1695 benteng VOC di Baros dengan peta pada masa era Pemerintah Hindia Beland dan peta satelit masa kini.
Pada Peta 1695 benteng berada sangat dekat pantai. Sungai Batoe Garigis yang bermyara ke laut berada di barat. Benteng VOC sendiri barada di sisi barat suatu kanal yang dibangun, kanal yang menghubungkan pantai dengan aliran air (sungai) di belakang pantai. Bandingkan dengan situasi dan kondisi masa kini. Eks benteng seakan jauh berada di pedalaman (jauh dari garis pantai). Lantas apa yang telah terjadi? Apakah ada kanal (eks kanal) ke benteng pada masa ini? Itulah penanda navigasi penting sejarah Barus. Penanda navigasi lainnya adalah sungai Aek Sihaporas.
Dalam Peta VOC tahun 1695, wilayah Barus digambarkan suatu area yang banyak jalur/arus air. Mengapa? Akses menuju benteng VOC yang dibangun adalah kanal buatan (yang cukup lebar; tentu bisa masuk kapal VOC). Pelabuhan VOC menghadap ke pedalaman (membelakangi pantai) dimana rumah residen berada, Tempat kediaman Radja Soetan Moeda berada di seberang Resaiden di arah timur.
Lalu mengapa sungai yang bermuara ke laut di sebelah barat hanya diidentifikasi sebagai garis kecil saja? Besar dugaan awalnya, area benteng dan sekitarnya (yang kini menjadi pusat kota Barus) adalah suatu perairan/laut di suatu teluk kecil. Dalam hal ini ke dalam teluk ini bermuara sungai Batoe Garigis dan sungai Aek Sihaporas. Sungai Batoe Garigis adalah sungai besar yang berhulu di selatan (sejajar dengan pantai) di gunung Dolok Siloengoen Loengoen (920 M).
Jika kota Barus yang sekarang adalah suatu perairan/laut pada masa lalu, lalu dimanakah posisi GPS kampong/kota Barus pada abad ke-5? Seperti dikutip di atas area kota Barus yang sekarang hanya dengan elevasi 0-3 M dpl. Suatu ketinggian yang sangat rendah. Untuk menjawab dimana posisi GPS kampong Barus pada jaman kuno dapat dihubungkan dengan dimana berada makam kuno berada.
Secara geomorfologis wilayan Barus di jaman kuno adalah suatu teluk dimana sungai besar, sungai Batoe Garigis bermuara dan sungai kecil antara lain sungai Aek Sihaporas. Pada masa itu kampong tua di bagian dalam teluk diduga tepat berada di kampong Pananggahan yang sekarang. Tidak jauh dari kampong ini terdapat makam kuno Mahligai yang diduga berasal dari abad ke-7. Makam ini berada di lereng bukit Papan Tinggi (elevasi 146 M). Kampong Pananggahan sendiri sekitar 6-8 M dpl. Kampong di hilir sungai Aek Sihaporas dari kampong Pananggahan terdapat kampong Boekit Hasang (merujuk pada bukit kecil yang sejajar dengan bukit Papan Tinggi. Kampong Pananggahan dan kampong Boekit Hasang di area daratan (awal) adalah kanmpong penduduk asli (Batak).
Seiring dengan proses sedimentasi jangka panjang di teluk Barus, terbentuk rawa-rawa dan daratan baru (perhatikan peta VOC tahun 1695). Lalu proses sedimentasi itu terus berlakangsung selama era VOC/Belanda yang kini menjadi semua wilayah teluk menjadi daratan (yang juga garis pantai semakin maju ke laut). Pada wilayah eks rawa-rawa (daratan baru) inilah kemudian terbentuk perkampongan orang luar seperti Atjeh yang kemudian disusul Melayu (Minangkabau).
Tunggu deskripsi lengkapnya
Lalu Lintas Perdagangan Kuno Antara Angkola dan Barus: Geomorgologis Pesisir Pantai Barat Sumatra
Sejarah pantai barat Sumatra dicatat oleh pelaut/pedagang Portugis. Di bagian utara pulau, salah satu nama yang mereka catat adalah Daja dan Baroes. Saat ini kerajaan Atjeh masih berupa kerajaan kecil di ujung utara pulau Sumatra.
Sebagaiman diketahui peklaut Portugis menaklukkan dan menduduki kota
Malaka pada tahun 1511. Pedagang Portugis kemudian lebih focus ke Maluku dan
pantai timur Tiongkok (Canton); dan hanya sekali-sekali ke pantai utara Jawa
dan pantai barat Sumatra. Saat utusan Portugis dari Malaka ke pantai timur
Sumatra, Mendes Pinto pada tahun 1537, menyebutkan kerajaan Aru Batak Kingdom
tengah berselisih dan berperang dengan kerajaan Atjeh di ujung utara pulau
pantai timur Sumatra. Kerajaan Aru Batak Kingdom mengalami banyak kekalahan dar
kerajaan Atjeh (yang mana kerajaan Atjeh dibantu militer Turki). Sejak inilah kerajaan
Aru Batak Kingdom memudar dan kerajaan Atjeh mulau tumbuh dan terus berkembang.
Sementara hubungan Atjeh dan Malaka dari waktu ke waktu pasang surut.
Seiring dengan perkembangan kerajaan Atjeh, pengaruh Portugis di pantai barat semakin berkurang. Navigasi Portugis dari Malaka ke pantai barat Sumatra terhalang oleh Atjeh di utara Sumatra. Lambat laun pengaruh Atjeh di pantai barat Sumatra semakin meluas, mulai dari Daja, Singkel hingga ke Baroes, dam kemudian berlanjut ke Batahan/Natal, Sikarbaoe/Air Bangis, Pasaman.Tikoe, Pariaman hingga Padang. Pengaruh Atjeh terhenti di Indrapoera yang mana pengaruh Banten di Salajar/Bengkoeloe mencapau Indrapoera juga. Meski demikian, hubungan baik Banten deengan VOC/Belanda, palaut Belanda mengganti pelaut Portugis di pantai barat Sumatra dari Batavia hingga ke Baros.
Pada tahun 1641 VOC/Belanda menaklukkan Malaka, Tamat sudah Portugis di
semenanjung Malaya dan pulau Sumatra. VOC/Belanda menjadi saingan dan ancaman
bagi Atjeh di pantai barat Sumatra. Lalu para pemimpin local di pantai barat
Sumatra tidak senang dengan keberadaan Atjeh lalu bekerja sama dengan VOC di
Batavia. Pada tahun 1665 militer VOC yang dibantu pasukan pribumi dari Boegis
yang dipimpin Aroe Palaka berhasir mengusir Atjeh dari pantai barat Sumatra
hingga ke Malaboh. Pedagang VOC lalu membuka pos perdagangan di pulau Chinko
(Padang). Pada tahun 1668 Baros dan VOC melakukan perjanjian bersama dan
beberapa tahun kemudian dengan Singkel/Troemon. Pada tahun 1670 VOC mengirim
surat ke Baros, Atjeh dan Queda. (lihat Daghregister 1670). Dua muytmaeker
Baros bernama Sella Wangsa dan Bandhaer Moeda, untuk selanjutnya dikirim ke
pengasingan (lihar Daghregister 14-01-1679). Muncul perselisihan antara Radja
d'Ilheer dan Radja Douloe meluas di Baros (lihat Daghregister 1680). Kepala
petugas Jan van Leene dan Arent Silvius dikerahkan ke Baros dengan 4 kompi dan
kemudian diadakan kontrak dengan bupati Baros. Persetujuan beberapa kontrak
baru dilakukan dengan Bupati Silida, Pinangh, Baros dan Sinkal (lihat Daghregister
1681). Seperti yang diproyeksikan pada waktu itu setelah Pantai Barat, Chialoup
Baros lalu berikutnya ke Palimbang (Daghregister 1695).
Hubungan intens antara Batavia dan Malaka serta pantai timur dan pantai barat Sumatra (di luar pengaruh Atjeh) seorang pedagang Cina dari Batavia berangkat ke pantai timur Sumatra melalui Malaka ke Angkola (Tanah Batak) pada tahun 1693. Setelah 10 tahun berdagang di Angkola, pedagang Cina yang telah menikah dengan gadis Angkola, pada tahun 1703 kembali ke Batavia Bersama istri dan satu anak perempuan usia empat tahun. Dalam catatan Daghrefister di Kasteel Batavia, 01-03-1703 disebut pedagang Cina dan keluarga kecilnya tersebut dari Angkola pertama ke Baroes dengan jalan kaki selama 11 hari perjalanan, lalu dari Baroes dengan perahu Cina ke Padang dan seterusnya dari Padang dengan kapal ke Batavia.
Dengan merujuk siatu dan kondisi Barus (Peta1695), jalan yang mana yang dilalui pedagang Cina dan keluarganya dari Angkola ke Baros? Tentu saja jalan yang menjadi lalu luntas perdagangan orang Angkola ke Baros. Hanya disebut jalan kaki selama 11 hari pejalanan dari Angkola ke Baros, dan baru dari Baros naik perahu ke Padang. Dalam peta 1685 Barus dapat diakses dari laut maupun dari darat. Dalam Pera 1695 ada jalan darat ke area VOC/Belanda dari arah utara melalui area (pemukiman) Radja Soeltan Moeda dari pedalaman. Berdasarkan peta-peta pada era Pemerintah Hindia Belanda, jalan yang diidentifikasi dari Barus ke pedalaman adalah melalui kampong Boekit Hasang lalu belok ke arah selatan sejajar dengan pantai panjang melalui kampong Loboe Matoetoeng, Sibintang, Barombang, lereng bukit Dolok Sidimpoean, lereng bukit Dolok Naoeli, terus ke kampong Sorkam, kampong Pearadja, Kolang (Aek Raisan), Gonting, Tapian Na Oeli (teluk Tapanoeli).
Sepanjang jalan darat, jauh di belakang pantai dari Baroes ke Tapian Naoeli, nama-nama kampong banyak yang mirip dengan kampong di Angkola termasuk nama bukit Dolok Sidimpoean. Ini mengindikasikan sejarah Baros tidak terpisahkan dengan wilayah Angkola (dan juga wilayah Toba melalui jalan darat Pakkat; yang mana jalan ke pedalaman ini berpisah di kampong Boekit Hasan, Baroes). Kehadiran pendatang di Baroes (Atjeh dan Minangkabau, yang hanya terkonsentrasi di hilir sunai Batoe Barigis), menyebabkan populasi Baroes menjadi beragam (dengan dua kepemimpinan: Hilir dan Hoeloe). Kampong Baros terawal diduga di pedalaman (sebelum terjadi sedimentasi di teluk) di kampong Boekit Hasang dan kampong Pananggahan (lereng bukit Dolok Papan Tinggi dimana terdapat makam kuno).
Kota (pelabuhan) Baros adalah tipikal kota-kota pelabuhan seperti Singkil, Natal, Air Bangis dan Tikoe. Suatu kota dengan populasi melting pot. Seperti halnya kota pelabuhan Baros di hulu adalah populasi Batak dan di hilir dengan populasi campuran, di kota pelabuhan Natal di seputar area benteng populasi terdiri dari Atjeh, Bharat, Rao, Bandar Sapoeloeh, Padang (Melayu), Minangkabau dan lainnya yang mana di belakang pantai di hulu sungai Linggabajoe orang Mandailing. Besar dugaan orang pendatang di kota pelabuhan di pantai barat wilayah Batak seperti Natal dan Baros sebagai pedagang. Penduduk Batak di belakang pantai membutuhkan para pedagang. Jika di Baros ada dua kepemimpinan (Hilir dan Hoeloe) di Natal juga ada dua kepemimpin (Natal dan Linggabajoe). Hal serupa ini juga di Air Bangis (Melayu di Air Bangis, Mandailing di Parit/Oedjong Gading).
Kekuasaan Baros hingga ke Natal. Inggris di
Bengkoeloe pada tahun 1755-1760 mengambil alih Baros (dari VOC). Pos Inggris
berada di pulau Pontjang Ketjil (teluk Tapanoeli). Pada tahun 1772 seorang botanis
Inggris Chales Miller melakukan ekspedisi ke wilayah Angkola hingga Batang Onang.
Inggris kemudian membangun benteng baru di Natal (Bengkulu di selatan dan Natal
di utara).
Pada tahun 1779, Inggris yang belum lama membuat koloni baru di Australia
(setelah terusir dari Amerika), memindahkan skuadronnya dari Madras (India) ke
Bengkoeloe. VOC di pantai barat Sumatra semakin terancam. Air Bangis sempat
diambil alih oleh Prancis, namun kemudian semua pelabuhaan dipantai barat
Sumatra dikuasai Inggris dengan menempatkan seorang residen di Padang (sejak
1781).
Pada tahun 1795 Prancis menduduki Belanda, dengan demikian wilayah VOC (terutama Jawa) dibawah kendali Prancis meski tetap dijalankan oleh orang Belanda. Dalam konteks ini VOC yang didirikan di Batavia tahun 1619 mulai melemah sejak dikenalikan Prancis hingga akhirnya dibubarkan pada tahun 1799. Pada tahun 1800 setelah VOC dibubarkan, lalu dibentik Pemerintah Hindia Belanda. Dalam posisi terancam dari Inggris (di Sumatra dan Maluku), Daendels diangkat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada tahun 1809. Daendels memperkuat pertahanan di Jawa, yang mana mulai dibangun jalan trans Java, dari Batavia ke Anjer dan dari Batavia via Buitenzorg ke Panaroekan. Belum sepenuhnya selesai, pada tahun 1811 Inggris menduduki Batavia dan Jawa. Dengan demikian seluruh wilayah Hindia Belanda dikuasasi Inggris (hanya tersisa Ternate) di bawah Letnan Gubernur Jenderal Raffles (Gubernur Jenderal di Calcutta)..
Tugas pertama Inggris, selain di Jawa adalah pemulihan situasi dan kondisi
di Palembang yang mana belum lama terjadi kerusuhan antara Pangeran Palembang
dan Belanda. Wilayah yang tetap indepeden selama ini, tetapi Inggris memiliki
hubungan diplomatic dengan Inggris. Dengan demikian, praktis seluruh wilayah
Hindia Belanda terkendali di bawah pemerintahan pendudukan Inggris.
Pada tahun 1816, Belanda terbebas dari Prancis. Seiring dengan kesepakatan Belanda dan Inggris, akhirnya wilayah Hindia Belanda dipulihkan dan dikembalikan dari Inggris ke Belanda. Orang-oranfg Inggris di Jawa bergeser ke Sumatra termasuk Raffles. Pada tahun 1821 Raffles dari Padang melakukan ekspedisi ke wilayah Minangkabau di pedalaman (orang kedua Inggris ke pedalaman Sumatra setelah Charles Miller ke Angkola tahun 1772).
Meski sudah ada pemulihan Pemerintah Hindia Belanda, orang-orang Inggris
di pantai barat Sumatra masih bercokol terutama di Padamg. Hal itulah yang menyebabkan
ibu kota Pemerintah Hindia Belanda di pantai barat Sumatra tidak di Padang,
tetapi di teluk Tapanoeli (yang berkedudukan di kampong Tapanoeli atau Tapian
Na Oeli) sejak 1817.
Dalam perkembangan berikutnya, diadakan perjanjian antara Belanda dan Inggris (Traktat London Maret 1824) yang mana diadakan tukar guling antara Malaka dan Bengkoeloe. Sejak ini orang-orang Inggris bergeser dari Sumatra ke semenanjung Malaka (Penang, Malaka dan Singapoera). Namun diantara situasi dan kondisi baru ini (Mei 1824) misionaris Inggris (R Burton, N Ward dan Evans) memasuki wilayah Tanah Batak (di Silindoeng). Selanjutnya, di satu sisi pantai barat Sumatra menjadi sepenuhnya di bawah Pemerintah Hindia Belanda (minus Atjeh), namun di sisi lain ekspedisi militer Hindia Belanda ke pedalaman Minangkabau tahun 1825 mendapat perlawanan dari kaum (agama) Padri (yang menguasai kaum adat/Pagaroejoeng),
Sementara eskalasi politik meninggi di pedalaman (perang Padri),
Pemerintah Hindia Belanda 1827 memperkuat pemerintahan local di wilayah pesisir
seperti di Padang, Pariaman, Air Bangis dan Natal. Tidak tahan dengan invasi
Padri ke wilayah Tanah Batak, para pemimpin local di Mandailing menemui markas
militer di Natal dan kemudian bekerjasama dengan pemerintah. Pertama wilayah
Minangkabau terbebas dari Padri dan kemudian militer Belanda yang dibantu
pasukan Jawa dan pasukan Madura yang didukung para hulubalang Mandailing mengusir
Padri dari Rao dan Loeboek Sikaping yang mana pasukan dan pengikut Padri
terkonsentrasi di Bonjol (militer Belanda juga didukung para hulubalang Pagaroejoeng
dari Minangkabau). Major AV Michiel (yang didukung para hulyubalang Palembang)
yang berhasil menaklukkan wilayah pedalaman Djambi tahun 1834, seiring dengan
kenaikan pangkat dikirim ke pantai barat Sumatra. Akhirnya benteng Padri di
Bondjol berhasil ditaklukkan pada akhir tahun 1837/ Wilayah Minangkabau
terbebas sepenuhnya dari, tetapi para pendukung Padri bergeser ke Angkola,
namun militer segera membebaskannya. Para pengikut Padri yang terkonsentrasi di
Daloe-Daloe, dengan bantuan para hulubalang Mandailing dan Angkola berhasil
menaklukkan benteng Daloe-Daloe akhir tahun 1838. Tamat sudah Padri.
Pada tahun 1841 Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan beslit tentang tarif untuk semua pelabuhan pantai (Stbls No 40 tanggal 14 November) dengan judul ‘Baros dan wilayah Tapoes dan semua tempat lain yang terletak antara Singkel dan Tappanoelie, untuk perdagangan besar dan transit yang dilanggar di lepas pantai barat Sumatera akan ditangkap. Sementara cabang pemerintahan semakin diperluas ke utara dengan membentuk residentie Air Bangis pada tahun 1840 yang terdiri afdeeling Air Bangis dan Rao, Natal, Mandailing dan Angkola. Lalu seiring dengan pembentukan residentie Tapanoeli, afdeeling Mandailing dan Angkola dipisahkan dari Air Bangis tahun 1844 dan dimasukkan ke residentie Tapanoeli (bersama Sibolga dan Baroes). Pada tahun 1845 afdeeling Natal dimasukkan ke residentie Tapanoeli (tamat residentie Air Bangis). Seiring dengan masuknya Natal, Sibolga dan Baroes dijadikan satu afdeeling (kabupaten).
Tijdschrift voor Neerland's Indie 1839: ‘Tapoes. Lanskap ini terletak sekitar dua puluh mil Inggris di selatan Sinkel dan, seperti Sinkel, harus dianggap sebagai koloni Atjeh. Ini memiliki populasi paling banyak sekitar 2.000 orang. Orang Atjeh yang berada dibawah kekuasaan seorang kepala yang diakui oleh Pangeran Atjeh bernama Radja Moeda. Perjalanan sehari di dalam negeri berbatasan dengan lanskap ini dengan penduduk Batak yang diperintah oleh kepala mereka sendiri. Perdagangan di sini cukup ramai, dengan ekspor tahunan berjumlah sekitar 1.500 pikol benzoin dan 3 pikol kamper. Beberapa mil di selatan Tapus seseorang sampai di daerah Baros, di bawah kekuasaan seorang Raja, seorang Bandara dan empat datu. Raja-raja Baros, yang kekuasaannya dahulu meluas hingga Natal, namun kini tidak mempunyai pengaruh di luar batas negaranya sendiri, dipilih secara bergantian dari keluarga Oeloe dan Hilier, masing-masing secara bergantian menerima martabat Bandara, sehingga jika dari Ooeloe Radja, pasti dari Hilier Bandaharanya. Populasi lanskap ini diperkirakan sekitar 3.000 jiwa, termasuk sekitar 200 orang Atjeh. Di pedalaman, Baros berbatasan dengan banyak desa orang Batak, diperintah oleh Rajanya sendiri dan delapan Panghulus. Baros diserahkan kepada VOC pada tahun 1668. Mereka telah mendirikan pabrik paling utara di sini, di pantai ini, yang demi keamanannya telah dibangun benteng batu, yang sisa-sisanya masih dapat ditemukan. Beberapa mil di selatan Baros kita sampai di lanskap Sorkam, yang berpenduduk sekitar 1.000 jiwa dan diperintah oleh seorang Rajah dan dua Datu yang berada di bawah kekuasaan Postholder Tappanoeli. Perjalanan sehari, lanskap ini berbatasan dengan populasi besar Batak dari suku Pasarieboe, dan menghasilkan sekitar 4.000 pikol benzoin, 5 pikol kamper, dan 20 kuda setahun untuk diperdagangkan. Lebih jauh ke selatan kita sampai pada lanskap Kolang, dengan populasi sekitar 200 jiwa Batak. Di selatan Kolang tiba di Semawang, lanskap di tepi pantai ini berpenduduk sekitar 200 orang Melayu, yang dulunya diperintah oleh satu Raja dan dua Panghulus, namun kini hanya memiliki satu Raja. Di teluk yang indah, di mana ratusan kapal dapat berlabuh dengan aman melawan segala angin, kami telah mendirikan wilayah paling utara di pantai ini di sebuah pulau kecil bernama Pontjan. Pulau ini memiliki panjang hampir 360 kaki, lebar 280 kaki, dan tinggi sekitar 25 kaki di atas permukaan laut. Selain pekerjaan kami, ada penduduk asli sekitar 300 jiwa, di bawah kekuasaan dua orang datu yang digaji pemerintah. Pos ini saat ini terutama ditujukan untuk memantau pergerakan orang Atjeh, yang terus-menerus mengganggu perdamaian di wilayah ini melalui pembajakan dan menghalangi perdagangan, dan untuk mencegah mereka melakukan perusakan di wilayah dan terlibat dalam perdagangan rahasia di wilayah. Lebih jauh ke selatan kita sampai pada bentang alam Sie Boga yang berpenduduk sekitar 300 jiwa, dari keluarga Batak, yang diperintah oleh seorang Raja. Di wilayah Belanda, bentang alam ini berbatasan dengan penduduk Batak suku Sie Toeka yang berjumlah 3.000 jiwa’.
Lantas mengapa wilayah Singkil ke selatan tidak termasuk Atjeh? Yang jelas Singkel dan Tapoes hingga Padang pernah menjadi koloni Atjeh. Artinya orang Atjeh pernah menguasai pantai barat Sumatra (yang kemudian dibebaskan oleh VOC sejak 1668). Seperti disebut di atas, jauh dimasa lampau wilayah antara Singkel dan Pasaman berada di bawah kerajaan Aru Batak Kingdom (lihat Mendes Pinto 1537) yang kemudian jatuh ke tangan kerajaan Atjeh hingga dibebaskan oleh VOC tahun 1668.
Pada tahun 1852 terjadi perang antara Kinali dan Tikoe. Dalam perang ini
Kinali dibanru oleh Pasaman. Pangkal masalah Tikoe mengklaim Kinali tetapi ditolak
oleh Baros yang menganggap wilayah itu di bawah pangeran dari Baros. Pemerintah
Hindia Belanda akhirnya menengahi dengan memasukkan wilayah Kinali ke afdeeling
Air Bangis. Apakah hal ini ada kaitannya dengan nama kampong Kinali di Baroes? Ini
seakan memperkuat indikasi wilayah kerajaan Aru Batak Kingdom di masa lalu hingga
ke Kinali. Batas Pagaroejoeng di utara adalah sampai ke batas Bondjol. Hal itulah
sebabnya ketika Pagaroejoeng bekerjasama dengan Pemerintah Hindia Belanda
(1825) kaum Padri relokasi ke wilayah independent di Bondjol (di selatan
Mandailing, Rao dan Loeboe Sikaping serta Mapat Toenggoel). Catatan: berbeda
dengan wilayah Daloe-Daloe (Tamboesai) yang masuk wilayah Batak. Seperti di sebut
pada artikel terdahulu, akibat adanya perang antara Sosa dan Daloe-Daloe,
pemerintah kemudian memasukkan wilayah Daloe-Daloe ke wilayah Sumatra’s Ooskust
(Siak). Pangkal perang antara Daloe-DaloeTamboesai dan Sosa karena Sosa yang
sudah bekerjasama dengan pemerintah, sementara Daloe-Daloe masih banyak eks Padri.
Wilayah Batak awalnya tidak hanya Daloe-Daloe tetapi juga hingga di selatan, Rokan
dan Muara Takus yang berbatasan dengan Mapat Toenggoel (lihat artikel terdahulu).
Nama Baros adalah nama yang berasal dari jaman kuno sebagaimana halnya nama Angkola (dalam peta Ptolomeus abad ke-2 diidentifikasi sebagai Tacolal nama Baros baru muncul pada catatan Eropa pada abad ke-5 dan catatan Tingkok pada abad ke-6), nama yang tetap sangat dikenal pada era Portugis, era Belanda (VOC dan Pemerintah Hindia Belanda), namun mulai degradasi sejak terbentuknya residentie Tapanoeli. Mengapa? Pada tahun 1838 disebutkan orang Cina menyerang penduduk Baros yang mana kemudian dikirim kapal perang dari Padang (lihat Surinaamsche courant, 14-12-1838). Sejarah berbalik kembali. Nama Angkola kembali dikenal luas.
Pada permulaan pembentukan cabang Pemerintah Hindia Belanda 1840 dibentuk
afdeeling Angkola Mandailin dang afdeeling Natal. Awalnya kedua afdeeling
(kabupaten) ini diintegrasikan dengan residentie Air Bangis yang baru dibentuk
(1839). Namun pada saat pembentukan residentie Tapanoeli pada tahun 1844 afdeeling
Angkola Mandailing dipisahkan dari res Air Bangis dan masuk bagian res Tapanoeli
(terdiri afd Sibolga, afd Baros dan afde Angkola Mandailing). Pada tahun 1845 afd
Natal ditambahkan ke res Tapanoeli.
Saat pembentukan afdeeling Angkola Mandailing ibu kota ditetapkan di Panjaboengan (onderafdeeling Groor Mandailing). Ibu kota onderafdeeling Angkola ditetapkan di Padang Sidempoean. Dalam perkembangannya dibentuk afdeeling Singkel en Banjak eilands dan afdeeling Nias, dan afdeekling Baros berubah nama menjadi afdeeling Baros en Sorkam. Pada tahun 1868 nama afdeeling menjadi afdeeling Baros sehubungan dengan pembenrukan onderfadeeling Tapoes (lihat Regerings-almanak voor Nederlandsch-Indie, 1868). Afdeeling Baros terdiri 4 koeria (pemerintah terkecil): Kampong Oedik. Kampong Ilir, Tapoes dan Soerkam.
Afdeeling Angkola Mandailing terdiri dari 4 onderafdeeling; Onderafdeeling
Angkola terdiri 3 distrik. Distrik Ankola-Djoeloc terdiri 6 koeria: Kampong-Baroe,
Si-Mapil-Apil, Oeta-Rimbaroe, Saboengan-Fjai, Batoe-Nadoea dan Si-Ondop; Distrik
Angkola Djai 5 koeria: Soeramatingi, Pintoe-Padang, Si Galangan, Moearathais dan
Pitjar-koling; Distrik Dollok terdiri 3 koeria: Si-pirok, Prau-sorat dan Bringien.
Distrik Batang Toroe terdiri 4 koeria: Marantjar, Sianggoenan, Hoeraba dan Batang
Toroe. Afdeeling Sibolga en Ommelanden terdiri 13 koeria: Tapanoeli, Sibolga, Siroendoet,
Siboeloean, Kalangan, Toekka, Saidnihoeta, Parbirahan, Badiri, Loemoet, Pinangsori
dan Anggoli.
Pada tahun 1870 ibu kota Afdeeling Angkola Mandailing direlokasi dari Panjaboengan ke Padang Sidempoean. Pada tahun 1870 ini dari 11 sekolah pemerintah, delapan diantaranya berada di afdeeling Angkola Mandailing, sisanya masing-masing satu sekolah di Natal, Sibolga dan Goenoeng Sitoli. Lantas mengapa tidak ada sekolah di Baroes?
Sejak pemerintahan dibentuk di Tapanoeli, dua sekolah pertama dibangun di
Panjaboengan dan di Padang Sidempoean. Pada saat Sati Nasoetion alias Willem
Iskander mendirikan sekolah guru di Tanobato tahun 1862 sudah ada enam sekolah
di afdeeling Angkola Mandailing.
Pada tahun 1879 sekolah guru yang baru dibuka di Padang Sidempoean (menggantikan sekolah guru di Tanobato). Kota Padang Sidempoean dengan cepat tumbuh dan berkembang. Seiring dengan selesainya pembangunan jembatan Batangtoru tahun 1883, lalu pada tahun 1885 ibu kota residentie Tapanoeli dipindahkan dari Sibolga ke Padang Sidempoean. Kota Baroes tetap menjadi ibu kota onderafdeeling.
Hingga tahun 1908 belum ada sekolah di Baroe. Ada sebanyak 19 Sekolah
Pemerintah di Tapanuli dimana 15 buah berada di Angkola Mandailing.
Sekolah-sekolah tersebut didirikan di Padang Sidempuan, Simapilapil, Batu
Nadua, Pargarutan, Sipirok (dua buah), Panyabungan, Tanobato, Muarasoma, Gunung
Baringin, Kotanopan, Huta Godang, Manambin, Batang Toru dan Sibuhuan. Satu
sekolah lagi berada di Sibolga. Sekolah lainnya berada satu buah di Sibolga dan
tiga buah di Nias. Jumlah keseluruhan murid di 19 sekolah tersebut berjumlah
sebanyak 2.400 siswa.
Lantas mengapa Baroes yang terkenal sejak dahulu kala kini menjadi wilayah yang sepi dan statusnya tetap sebagai suatu kampong besar yang tidak berpotensi untuk tumbuh dan berkembang? Tentu saja dulu dan masa kini berbeda. Haruslah dibedakan mengapa dulu Baros berkembang dan mengapa kini statis.
Pada masa lampau Baros dikenal sebagai kota perdagangan. Tidak memiliki
sumberdaya alam, karena wilayah rawa-rawa. Pelabuhan yang terbentuk pada dasar
karena factor populasi penduduk di pedalamam yang menghasilkan berbagai komoditi
perdagangan, hasil tambang (emas), hasil hutan (kamper, kemenyan dll) dan gading
yang dipertukarkan di Baros dengan orang luar yang membawa produk industri seperti
kain, garam, besi dll). Orang luar
inilah seperti orang Cina, Atjeh, Melayu dan Minangkabau yang menetap
memperbesar populasi di Baroes. Pada era Pemerintah Hindia Belanda, produk dari
Toba, Silindoeng dan Angkola tidak lagi diteruskan ke Baroes tetapi ke pelabuhan
baru yang dibangun pemerintah di Sibolga. Akibatnya pelabuhan Baros mati suri,
tidak ada lagi yang diperdagangkan, orang Batak daro pedalaman maupun orang
luar tidak ada lagi yang datang. Tampaknya hanya orang Cina di Baros juga telah
berpindah ke Sibolga sementara orang pribumi non-Batak tetap berada di Baros. Penduduk
Batak (misalnya Angkola) di pedalaman tidak terpengaruh dari berpindahnya pusat
perdagangan dari Baros ke Sibolga, malahan komoditi dari Angkola lebih dekat
diantar ke Sibolga dengan biaya yang lebih murah. Akibatnya, penduduk Angkola
mampu menyekolahkan anak-anaknya (hal itulah mengapa sekolah banyak yang
dibangun di Angkola dan Mandailing). Boleh jadi factor ekonomi baru ini yang
menyebabkan pemerintah memindahkan ibu kota res Tapanoeli dari Sibolga ke
Padang Sidempoean. Kota Baros mengalami degradasi, kota Padang Sidempoean
mengalami promosi. Tidak hanya dalam, satu aspek tetapi juga banyak aspek.
Pada tahun 1905 ibu kota res Tapanoeli dipindahkan kembali ke Sibolga. Babak baru pertumbuhan dan perkembangan kota Sibolga dimulai. Diantara penduduk pribumi, orang Angkola dan Mandailing yang banyak berhijrah ke Sibolga apakah sebagai pegawai, pejabat, guru atau pedagang. Sementara itu seiring dengan dipindahkannya sekolah Eropa (ELS) ke Sibolga dari Padang Sidempoean, siswa yang bersekolah di ELS juga mengikutinya ke Sibolga (satu-satunya di Tapanoeli). Bagaimana dari Baros?
Lulusan sekolah ELS Padang Sidempoean banyak yang studi ke Jawa seperti
sekolah kedokteran (dokter Djawa School). Pada tahun 1905 seorang guru alumni
sekolah guru di Padang Sidempoean Radjieon Harahap gelar Soetan Casajangan melanjutkan
studi keguruan ke Belanda. Seiring dengan pembukaan sekolah kedokteran hewan tahun
1907 di Buitenzorg lulusan sekolah juga banyak diterima diantaranya Ali Moesa
Harahap dan kemudian disusul Sorip Tagor Harahap (pada tahun 1912 Sorip Tagor
melanjutkan studi ke Belanda). Pada tahun 1910 salah satu alumnis ELS Sibolga
Todoeng Harahap gelat Soetan Goenoeng Mioelia melanjutkan studi ke Belanda. dan
sekolah pertanian. Catatan: Soetan Casajangan adalah pendiri perhimpunan
mahasiswa pribumi (Indische Vereeniging) di Belanda tahun 1908 dan menjadi
sarjana Pendidikan pribumi pertama (1911); Sorip Tagor adalah dokter hewan setara
Eropa pertama orang pribumi (1920); Dr Ali Moesa pada tahun 1924 adalah anggota
Volksraad pertama dari Residentie Tapanoeli..
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar