*Untuk melihat semua artikel Sejarah Muara Takus di blog ini Klik Disini
Ada
satu prasasti Batu Besurat dan ada satu candi Muara Takus di wilayah Bangkinang.
Prasasti Batu Besurat beraksara Batak, candi Muara Takus barsitektur Boedha. Mengapa
candi-candi banyak ditemukan di Padang Lawas dan prasasti-prasasti banyak ditemukan
di Pagaruyung? Prasasti Batu Besurat dan candi Muara Takus berada diantara
wilayah Padang Lawas, Bangkinang dan Pagaruyung.
Daftar prasasti ditemukan di Wilayah Pagaruyung: Pagaruyung I (Prasasti Bukik Gombak I); Pagaruyung II (Bukik Gombak II); Pagaruyung III (Prasasti Kapalo Bukik Gombak I); Pagaruyung IV (Kapalo Bukik Gombak II); Pagaruyung V; Pagaruyung VI; Pagaruyung VII (Akarendrawarman); Pagaruyung VIII; Pagaruyung IX; Saruaso I; Saruaso II (Prasasti Batusangkar); Lubuk Layang (Prasasti Kubu Sutan); Kuburajo I; Kuburajo II; Rambatan; Ombilin; Bandar Bapahat; Pariangan; Padang Roco. (Wikipedia). Candi-candi di Padang Lawas (Tapanuli) antara lain Candi Si Pamutung; Candi Tandihat I; Candi Tandihat II; Candi Aek Tunjang; Candi Pordak Dolok, Candi Manggis, Candi Paya; Candi Bahal I; Candi Bahal II; Candi Bahal III; Candi Sitopayan; Candi Biaro Pulo; Candi Gunung Tua, Candi Bara, Candi Aek Haruaya, Candi Tanjung Bangun, Candi Haloban, dan Candi Rondaman. situs-situs lainnya Si Soldop, Aek Korsik, Aek Tolong Tonga, Lobu Dolok, Batu Gana, Padang Bujur, Torna Tambang, dan Naga Saribu, Mangaledang; Candi Batu Gana; Pengeran Bira/Makam Kramat Jiret Mertuah; Candi Sangkilon. (https://akhirmh.blogspot.com/2011)
Lantas bagaimana sejarah candi-candi Tanah Batak dan prasasti-prasasti di Minangkabau? Seperti disebut di atas banyak ditemukan candi di Tanah Batak dan banyak prasasti ditemukan di Pagaruyung. Prasasti Batu Besurat dan candi Muara Takus. Lalu bagaimana sejarah candi-candi Tanah Batak dan prasasti-prasasti di Minangkabau? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.
Candi-Candi Tanah Batak dan Prasasti-Prasasti di Minangkabau; Prasasti Batu Besurat dan Candi Muara Takus
Nama (kampong) Batoe Besoerat di hulu sungai Kampar pertama kali dilaporkan oelh insinyur kepala pertambangan Cornet D. Groot yang berkunjung ke Kota Rena tahun 1858. Laporannya disusun 29 Oktober 1859 kemudian dilaporkan kepada Gubernur Jenderal, tertanggal 22 Maret 1860. Orang kedua adalah Ir Everwijn yang juga mengunjungi wilayah Kota Rena.
Keberadaan timah di kawasan awalnya dlaporkan oleh Diepenhorst, Controleur du Kuwok (Siak Bovenlanden) yang kemudian direspon pemerintah. Lalu keberadaan wilayah kembali dilaporkan Ir Everwijn yang pada tahun 1864 berangkat dari Paijacombo melalui Seligi, Kotta Lawar dan Kapor ke Sembilan dan melalui distrik XII Kottas ke kampung Pangka, dari kampung Panka utara ke kampung Kotta-Rana (4 pal dari Tapong). Everwijn juga ke Batoe Besoerat si Sungai Kampar dan dari situ melalui Gaenoeng Boengsoe menuju Rokkan (dan kembali lagi ke Batoe Besoerat).
Dalam ekpedisi pertambangan C G Groot tahun 1858 inilah keberadaan candi diketahui dan nama kampong Batoe Besoerat terinformasikan. Wilayah perbukitan di utara kampong Batoe Besoerat/Moeara Takoes ini seperti di Kota Rana ditemukan sumber timah. Ekspedisi Ir Everwijn telah melengkapi deskripsi tentang wilayah ini (lihat makalah Everwijn di dalam Natuurkundig tijdschrift voor Nederlandsch-Indie, 1867).
Kampong Batoe Besoerat di sisi utara hulu sungai Kampar (Kanan) berada di ketinggian 63 M. Sementara Kota Ranah di arah utara di wilayah perbukitan pada dengan ketinggian 141 M. Kampong Bangkinang di hilir kampong Batoe Besoerat setinggi 38 M. Sejajar dengan hulu sungai Kampar di utara perbukitan mengalir dari barat ke timur sungai Tapong (Kiri) melalui kampong Patapahan (13 M). Kampong-kampong di hulu sungai Tapoeng Kiri antara lain kampong Soerngai Agoeng (23 M) garis lurus kampong Batoe Besoerat dan kampong Tandoen (63 M) garis lurus kampong Moera Takoes. Hulu sungai Tapoeng Kiri di barat kampong Tandoen di perbukitan (206M). Di lembah antara hulu sungai Tapong Kiri dan sungai Kampar terdapat sungai Tioep Godang yang bermuara ke arah selatan di sungai Kampar di kampong Pangalasan dan kampong Kotatoea; sungai lainnya adalah sungai Takoes yang bermuara ke selatan di kampong Moeara Takoes di sungai Kampar. Dua sungai mengalir ke arah utara (bertolak belakang dengan sungai Takoes) yakni sungai Siassam dan sungai Pandalian yang bertemu di kampong Pandalian (yang kemudian ke hilir bermuara di sungai Rokan di kampong Rokan). Catatan: sungai Tapoeng Kiri dapat dikatakan hulu utama sungai Siak.
Wilayah perbukitan kampong Batoe Besoerat yang mengandung bijih timah mengingatkan kita dengan gugus sumber timah dari Semenanjung Malaya, kepualauan Riau, Singkep, Bangka, Belitung dan pantai barat Kalimantan. Wilayah Batoe Besoerat/Moeara Takoes (Tandoen) seakan wilayah timah yang terisolasi (lebih dekat ke dataran tinggi pedalaman pulau Sumatra/Bukit Barisan). Lantas apakah wilayah timah (Kota Ranah 141 M dan Tandoen 206 M) dulunya adalah suatu tanjung di pantai timur Sumatra?
Pada era Pemerintah Hindia Belanda di daerah aliran sungai Siak dapat dilayari dengan kapal sedang hingga ke Patapahan. )Patah-Pahang). Kampong Patapahan hanya dengan ketinggian 13 M, suatu ketinggian yang sangat rendah dari pesisir/pantai. Artinya sungai lebih lebar dan arus air lebih pelan. Wilayah Patapahan adalah wilayah banyak rawa-rawa (garis lurus dengan Bangkinang (38 M) dan masih banyak rawa-rawa hingga ke hulu di muara sungai Sosopan (19 M). Lantas apakah dulunya kampong Patapahan adalah suatu perairan/laut. Jika wilayah Tandoen dulunya laut, maka pembentukan permukaan bumi di Tandoen dengan kepulauan Riau relatif bersamaan (sama-sama mengandung timah).
Sebagai
sebuah tanjung, maka wilayah kampong Bangkinang adalah suatu teluk dimana
sungai Kampar bermuara. Dalam hal ini sungai Siak awalnya diduga bermula dari
sungai kecil yang mengalir di perbukitan Tandoen (bagian dari pulau Sumatra),
sementara sungai Kampar adalah sungai besar karena hulunya jauh di pedalaman di
Mapat Tunggal (Panti). Dengan demikian, lalu apakah candi Moera Takoes dan
prasasti Batoe Besoerat dulunya cukup dengan pantai?
Secara geomorfologis wilayah
daratan Riau yang sekarang diduga dulunya adalah perairan/laut dimana di
beberapa titik tertentu terdapat pulau. Proses sedimentasi jangka panjang telah
terjadi, yang mana massa padat (lumpur akibat pertambangan dan penggundulan
hutan dan sampah vegetasi) terbawa sungai (seperti sungai Kampar) yang menjadikan
permukaan bawah laut meninggi hingga membentuk rawa-rawa lalu terbentuk daratan
baru yang awalnya basah dan kemudian mengering. Proses sedimentasi awalnya
lebih cepat dan seiring makin dalamnya laut proses pembentukan daratan menjadi
lebih lambat. Proses sedimentasi ini hingga kini masih berlangsung di pantai
timur Sumatra (termasuk wilayah Riau). Perbukitan Tandoen yang topologi karts
dan granit berbatasan di hilir (dataran rendah) yang bersifat aluvial.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Prasasti Batu Besurat dan Candi Muara Takus: Aksara Batak dan Peradaban Boedha
Candi Moera Takoes, selama ini disebut candi peradaban Boedha (hanya karena sifat bangunannya). Namun di sisi lain di candi sendiri tidak ditemukan patung apa pun maupun di sekitar candi. Tentu saja menjadi ganjil jika dibandingkan dengan candi Boroboedoer.
Prasasti Batoe Besoerat dan candi Moeara Takoes di hulu sungai Kampar pertama kali diinformasikan Cornet D Groot tahun 1858 yang kemudian disusul oleh Ir Everwijn tahun 1864. Cornet D Groot dan Ir Everwijn sama-sama berangkat dari Paijakombo ke Kota Rena, Sebelumnya pada tahun 1841 Ir Jung Huhn melaporkan keberadaan candi-candi wilayah Padang Lawas. Ir Jung Huhn juga di Padang Lawas menginformasikan adanya patung-patung utuh yang terbuat dari batu.
Secara teknis candi Moeara Takoes pertama kali dikunjungi Dr JW Ijzerman pada tahun 1891. Sarjana ini kemudian mencatat dan mendeskripsikannya secara akurat seperti stüpa terpelihara dengan baik. Stupa ini menunjukkan tipe yang sangat ramping, seperti yang tidak ditemukan di Hindia Timur. Hal ini memberinya karakter sebuah menara, dibangun kokoh dari batu bata yang disambung dengan hati-hati. Selain candi, di wilayah juga sebelumnya terinformasikan dari Ir Everwijn adanya batu bersurat (prasasti) yang menjadi nama kampong Batoe Besoerat.
Natuurkundig tijdschrift voor Nederlandsch-Indie, 1867: ‘Saya dapat
melanjutkan penyelidikan saya di sepanjang Sungai Kampar, khususnya di wilayah
antara Kampar kanan dan Kampar-kiri. Wilayah tersebut tidak hanya memiliki
lokasi yang baik untuk drainase, namun saya juga menerima sampel bijih timah
yang sangat bagus dari tiga tempat, yaitu Sungai Lipei, Siaboe dan Kasan-laki,
yang sehubungan dengan laporan-laporan lain yang diterima dari sana, memiliki
kualitas yang sangat baik. manfaat yang diharapkan dari lanskap itu. Oleh
karena itu saya memutuskan untuk melanjutkan penyelidikan saya ke arah yang
terakhir, yang jika dilihat dari lokasi wilayah itu, tidak menimbulkan
kesulitan besar, karena saya hanya berada di Kota Renah 8.3 mil dari hulu
Sungai Kampar dan dengan berlayar menyusurinya dapat mencapai wilayah tersebut
dalam waktu dua hari. Saya telah diberitahu bahwa saya mungkin akan menemui
banyak kesulitan di sana dari penduduk lanskap (sukoe) Lima Kota, namun laporan
ini bertentangan dengan laporan lain, itulah sebabnya saya memutuskan untuk
sementara waktu membawa orang-orang dan peralatan saya untuk pergi ke sana di
hulu Sungai Kampar dan dapatkan informasi lebih lanjut disana. Pada tanggal 20
Desember saya meninggalkan Kota Renah menuju Batoe Besoerat, terletak di batang
Kampar, cabang utara Kampar-kanan. Jalan antara tempat-tempat ini, yang
panjangnya lebih dari 8 mil panjangnya mencapai dari tempat terakhir, di atas
daerah perbukitan, di mana hanya sedikit formasi geologi yang terlihat; awalnya
batupasir lempung dan selanjutnya, di dekat sungai Boeloe, batupasir kerikil,
merupakan formasi batuan utama yang terdapat di sana. Batoe Besoerat adalah
nama negorij (negri), yang terdiri dari beberapa kampong kecil dan besar yang
terletak di kedua tepi sungai, yang terpenting adalah Kota Pandjang, Temoelon,
Matjan, Pinang Moeda dan Loeboe Agong. Namanya diambil dari batu tertulis yang
ada di tepi kiri sungai, 3,7 mil di bawah tempat itu. Tidak ada yang terlihat
lagi pada tulisan ini, yang diukir pada batupasir tanah liat yang lepas.
Disebutkan berasal dari penduduk Batak yang pada masa lalu berperang dengan
penduduk di sini. Batoe Besoerat, yang berpenduduk lebih dari 1.000 jiwa,
merupakan salah satu tempat terpenting dalam lanskap Kota Duwablas atau Kota
XII, yang terletak di barat daya pegunungan Seligi; desa-desa lain yang
termasuk dalam lanskap ini juga semuanya terletak di sepanjang tepian Batang
Kampar; sungai-sungai utama yang bermula ke bawah adalah: Poeloe Gedang,
Tandjong Alei, Kota Tengah, Ponkei, Kota Toewah, Moewara Takoes, Goenoeng Boengsoe,
Tandjong, Tebing, Melillah dan Sibawang. Masing-masing tempat ini diatur oleh
beberapa panghoulus; panghulu laras atau kepala seluruh lanskap tinggal di
Moewara Takoes. Hanya di desa Batu Besurat saja terdapat sekitar dua puluh
kepala atau panghulu, yang berkumpul di setiap kejadian luar biasa dan
berlama-lama membicarakan hal-hal yang paling remeh, tanpa mencapai suatu
kesimpulan tertentu’.
Batu bersurat (prasasti) yang ditemukan di kampong Batoe Bersoerat menurut Ir Everwijn sudah terbaca lagi (namun batunya masih ada). Menurut cerita masyarakat yang dicatat Ir Everwijn soal batu itu dikaitkan dulunya terjadinya serangan penduduk Batak terhadap wilayah ini ketika pihak luar (orang asing) akan mendudukinya.
Apa yang menjadi isi teks prasasti yang ditemukan di kampong Batoe Besoerat tidak diketahui. Kapan kejadian serang Batak ke wilayah juga tidak diketahui secara pasti. Dari laporan lain, prasasti beraksara Batak ditemukan di Padang Galoegoer (dekat Panti). Kampong Batoe Besoerat dan kampong Padang Galoegoer dibatasi oleh pegunungan (Mapat Tunggal). Hulu sungai Kampar berada di ketinggian pegunungan Mapat Tunggal. Seperti disebut dalam artikel sebelumnya, antara kampong Batoe Besoerat dan kampongMoera Takoes di sisi utara sungai terdapat kampong-kampong Pangalasan dan kampong Kotatoea. Di wilayah sekitar kampong Moeara Takoes terdapat nama kampong Goenoeng Malela, kampoeng Sibaroeang dan kampong Bandjar Siaboe. Di arah hulu kampong Sibaroeang terdapat kampong Galoegoer dan kemudian kampong Sungai Lolo (yang menjadi hulu sungai Kampar/Kanan di sekitar suatu wilayah pegunungan yang berbatasan dengan Panti). Nama-nama kampong yang disebut tersebut pada masa ini juga diketahui ditemukan di wilayah Angkola/Mandailing dan Padang Lawas.
Keberadaan prasati Batoe Besoerat dan candi Moeara Takoes tampaknya memiliki relasi yang kuat dengan prasasti-prasasti beraksara Batak (seperti di Panti dan di Padang Lawas) dan candi-candi Boedha yanh berada di wilayah Padang Lawas. Wilayah Padang Lawas sendiri bersinggungan (cukup dekat) dengan wilayah Moera Takoes. Ini mengindikasikan tiga wilayah (Panti/Pasaman, Moeara Takoes/Bangkinang dan Padang Lawas) tersebut berada di wilayah peradaban yang sama.
Seperti disebut di atas yang pertama melaporkan keberadaan candi dan
patung di Padang Lawas adalah It Jung Huhn pada tahun 1841. Namun sisa peradaban
Boedha di Tapanoeli (Angkola dan Padang Lawas)
baru diselidiki dan dicatat pada tahun 1930 oleh Dr FDK Bosch dan B de Haan. Secara komprehensif peninggalan
Hindoe/Boenda di Angkola/Mandailing dan Padang Lawas dilakukan oleh FM Schnitger
pada tahun 1935.
Sebagai wilayah peradaban yang sama ((Panti/Pasaman, Moeara Takoes/Bangkinang dan Padang Lawas) ditunjukkan dengan adanya candi-candi dan prasasti-prasasti yang satu sama lain mirip. Lantas mengapa tidak ada ditemukan bukti peninggalan masa lalu (candi dan prasasti) di wilayah timur (daratan) Riau? Secara geomorfologis wilayah timur (yang kini masuk daratan) Riau) seperti disebut di atas diduga kuat sebagai pemukiman yang baru yang mana wilayahnya memiliki elevasinya yang rendah, lahan berawa (proses sedimentasi jangka panjang), dan populasinya diduga masih sedikit. Dalam hal ini boleh jadi di masa lampau kampong Bangkinang adalah suatu teluk untuk memasuki wilayah Moera Takoes.
Berdasarkan pendataan yang dilakukan Ir Everwijn pada tahun 1864 nama-nama kampong yang telah eksis di wilayah daerah aliran sungai Siak hanya beberapa dan masing-masing memiliki jumlah populasi sebagai berikut: Boekit Batoe sebanyak 250 jiwa, Bengkalis, 200 jiwa, Siak (Indrapoera) 1200 jiwa, luar Siak sepanjang sungai sebanyak 150 jiwa; Mandau dan Gasip sebanyak 400 jiwa. Jumlah keseluruhan dari kampong-kampong besar yang berada di arah hilir (daratan Riau) tersebut tentu saja mengindikasikan jumlah populasi yang sedikit. Di arah hulu (kea rah Moeara Takoes) jumlah kampong semakin banyak, yakni: kampong Pekan Baroe dengan populasi 300 jiwa; sepanjang sungai Tapoeng Kiri sebanyak 300 jiwa, Pantai Tjermin 140 jiwa, Patah Pahang (kini Patapahan) sebanyak 500 jiwa, Batoe Gadjah 60 jiwa, Medang 50, Kaboen 170, Kota Renah 120, Rambei 50, Liantan 100, Kasikan 250, Talang 50, Tebing Tinggi 150 jiwa, Soengai Koening sebanyak 50 jiwa dan Tandoeng 50 jiwa.
Wilayah daerah aliran sungai Siak pada tahun 1864 hanya memiliki populasi sekitar 6000an jiwa. Jumlah ini sangat kecil, Bandingkan dengan wilayah Padang Lawas pada tahun 1846 memiliki populasi 23.100 jiwa (lihat TJ Willer 1846); Sementara di wilayah Angkola/Mandailing sebanyak 60.000 jiwa. Kedua wilayah tersebut (memiliki dialek bahasa yang sama) yang menjadi wilayah (kabupaten) Tapanuli Selatang masa ini, jumlah penduduk yang mendekati 100.000 jiwa pada tahun 1846 dapat dikatakan suatu jumlah yang sangat besar (relative terhadap wilayah Siak/Riaow).
Wilayah Moera Takoes (Bangkinang) yang berada di (daratan) Sumatra diduga kuat sejak zaman kuno adalah wilayah populasi Batak (Angkola/Mandailing dan Padang Lawas) yang memiliki populasi besar. Sangat masuk akal, cerita rakyat (legenda) yang dicatat Ir Everwijn pada tahun 1864 bahwa dulunya wilayah Moeara Takoes diserang penduduk Batak ketika muncul orang asing (dari arah lautan). Menurut FM Schnitger (1936) nama Bangkinan merujuk pada bahasa Batak. Dalam kamus bahasa Angkola Mandailing oleh Eggink (1936) kata bangkinang diartikan sebagai sesuatu yang punah. Lantas apakah serangan Batak di masa lalu terhadap orang asing telah menyebabkan banyak terbunuh dan menjadi punah di hilir Moeara Takoes di Bangkinang (yang diduga saat itu masih menjadi teluk)? Nama Moera Takoes juga diduga merujuk bahasa Batak dimana kata takos diartikan sebagai tanah liat. Bukankah di wilayah Moera Takoes terdapat candi yang terbuat dari tanah liat yang dibakar (batu bata)? Lalu mengapa ada nama Siaboe di wilayah Moeara Takoes, suatu nama kampong di Mandailing dimana terdapat candi Simangambat (yang menurut Schnitger berasal dari abad ke-8). Catatan: Kampong Batoe Besoerat tempo doeloe sejatinya sudah ditenggelamkan saat pembangunan bendungan. Namun nama Batoe Besoerat masih tetap lestari sebagai nama dea/kelurahan (desa Batu Besurat merupakan gabungan kampong-kampong lama seperti kampong Batoe Besoerat, kampong Kotalama, Kampong Alei dan lainnya). Bendungan yang terbentuk mencapai Muara Takus tetapi tidak menenggelamkan candi.
Wilayah Moeara Takoes yang juga menjadi bagian dari peradaban Batak (Angkola/Mandailing dan Padang Lawas) diduga sudah eksis sejak zaman kuno. Lalu bagaimana tentang prasasti dan candi di wilayah Pagaruyung? Wilayah Pagarujung dalam hal ini adalah representasi wilayah Minangkabau, sebagaimana wilayah Angkola/Mandailing dan Padang Lawas adalah representasi wilayah Batak.
Benda-benda kepurbakalaan (prasasti dan candi) sudah lebih dahulu ditemukan di wilayah Pagaroejoeng (lihat Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde van Nederlandsch-Indie, 1856). Disebutkan benda kepurbakalaan pertama ditemukan di wilayah Pagatoejoeng pada periode tahun 1833-1835 (periode ini termasuk periode perang Padri). Disebutkan sebagian besar terdiri dari batu-batu dengan tulisan dalam berbagai huruf Jawa Kuno atau Kawi, yang biasanya diperd0al0am atau diukir. Sisa-sisa ini ditemukan secara eksklusif di bagian selatan lanskap (bentang alam) Tanah Datar, dan di dalam atau di dekat desa-desa dimana anggota keluarga kerajaan Minangkabo pernah tinggal atau masih tinggal. Sebuah benda batu lainnya kami perhatikan satu hari perjalanan atau sedikit lebih jauh ke timur, di distrik Soempoer. Lebih lanjut disebutkan sebuah sungai kecil bernama Moengkaweh yang berhulu di (gunung) Merapi mengalir melalui desa Pariangan, kemudian menyusuri kaki bukit yang dilalui jalan tersebut. Di lereng utara setinggi ini terdapat sebuah batu berbentuk segitiga, panjang beberapa meter dan tinggi satu setengah meter; sisi datarnya menghadap ke timur, dan di atasnya terlihat beberapa baris tulisan. Kami telah membuat gambarnya (Gambar 1). Batunya sendiri oleh penduduk asli disebut Batu besoerat (batu tertulis). Menurut penduduk asli, mereka berasal dari zaman ketika penduduknya belum memeluk Islam
Lantas mengapa tidak ada candi ditemukan di wilayah Pagaroejoeng, tetapi prasasti cukup banyak ditemukan? Candi terdekat dari wilayah Pagaroejoeng berada di selatan di wilayah Dharmasraja (hulu sungai Batanghari). Idem dito candi Moeara Takoes di hulu sungai Kampar di wilayah Bangkinang (yang diduga dulunya masuk wilayah Padang Lawas).
Wilayah Pagaroejoeng berada di hulu sungai Koeantan/Indragiri. Di daerah aliran sungai Koeantan ini tidak ditemukan candi. Hanya di wilayah selatan ditemukan candi di daerah Dharmasraja (hulu sungai Batang Hari). Salinan prasasti yang ditemukan di wilayah Pagaroejoeng.
Prasasti-prasasti di wilayah Pagaroejoeng cukup banyak yang berkaitan dengan Radja Adityawarman. Prasasti-prasasti di wilayah Pagaroejoeng umumnya beraksara Pallawa atau aksara Kawi. Tidak ada prasasti yang ditulis dengan aksara tersendiri (selain aksara Pallawa/aksara Kawi) di wilayah Pagaroejoeng sebagaimana ditemukan di wilayah Batak (juga ada aksara Batak).
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar