Sabtu, Juni 08, 2024

Sejarah Muara Takus (3):Nama Payakumbuh, Kampong Paja Baijon dan Paja Koemboeh; Lima Puluh Kota Tempo Dulu dan Masa Kini


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Muara Takus di blog ini Klik Disini

Hanya ada satu jalan ke Muara Takus dari wilayah Pagarujung. Satu-satunya jalan darat melalui Pajakoemboeh dan Kota Baharoe (Lima Poeloeh Kota) yang kemudian hanya bisa ditembus melalui perahu melalui sungai Mahat ke hilir ke sungai Kampar (kini Jembatan Kelok 9 danm jalan tol Bangkinan-Pangkalan). Untuk mencapai kampong Batoe Besoerat dan kampong Moeara Takoes harus mengarungi sungai ke arah hulu.  Pada masa ini Kecamatan XIII Kota Kampar (Riau) berbatasan dengan kecamatan Kapur IX dan kecamatan Pangkalan Kota Baru.


Distrik 50 Kota adalah distrik terdiri dari lima puluh kota/huta. Suatu jumlah yang sangat banyak. Nama Distrik 50 Kota kini menjadi nama kabupaten Lima Puluh Kota yang terdiri kecamatan-kecamatan Akabiluru, Bukik Barisan, Guguak, Gunuang Omeh, Harau, Kapur IX, Lareh Sago Halaban, Luak, Mungka, Pangkalan Koto Baru, Payakumbuh, Situjuah Limo Nagari, Suliki. Kecamatan Kapur IX terdiri dari desa/nigari Durian Tinggi, Galugua, Koto Bangun, Koto Lamo, Lubuak Alai, Muaro Paiti dan Sialang. Kecamatan Pangkalan Koto Baru terdiri dari desa/nigari Gunuang Malintang, Koto Alam, Manggilang, Pangkalan, Tanjuang Balik dan Tanjuang Pauh (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah nama Payakumbuh, kampong Paja Baijon dan kampong Paja Koemboeh? Seperti disebut di atas Payakumpuh berada di distrik Lama Puluh Kota berbatasan dengan Batoe Besoerat dan Moeara Takoes. Tempo doeloe nama Lima Puluh Kota sekarang. Lalu bagaimana sejarah nama kampong Payakumbuh, Paja Baijon dan Paja Koemboeh? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Nama Payakumbuh, Kampong Paja Baijon dan Kampong Paja Koemboeh; Lima Puluh Kota Tempo Doeloe dan Sekarang

Tunggu deskripsi Tidak ada kampong setelah Kota Baharoe hingga ke wilayah Moera Takoes. Mengapa? Tampaknya kampong Kota Baroe adalah kampong terjauh dari Fort de Kock dan Pajakoemboeh. Ir Everwijn pada tahun 1864 dari Fort de Kock melakukan ekspedisi ke Kota Renah dengan melalui Pajakoemboeh dan kampong Kota Baharoe. Setelah menyeberang sungai Mahat (atau Mahé) dan berjalan sepanjang tepi kiri sungai hingga dekat Tandjoeng Paoeh. Dari kampung ini perjalanan harus dilanjutkan dengan perahu (beratap) melalui sungai sempit yang deras di antara tepian pegunungan yang curam (dengan para pendayung yang memiliki ketangkasan yang luar biasa dalam melewati jeram) hingga bertemu sungai Kampar (Moeara Mahat).


Perjalanan dilanjutkan menyusuri sungai Kampar, harus berlayar ke hulu melawan arus. Dengan arus deras, para pendayung kemudian melompat ke air mengarungi sungai, menyeret perahu, yang terasa berulang kali bergesekan dengan kerikil. Lalu bermalam di Batoe Besurat di sebuah pasanggrahan yang terlantar. Dari sana yang ditahbiskan dapat mengunjungi Moeara Takoes dengan perahu keesokan harinya.

Perjalanan Ir Everwijn adalah satu-satunya jalan termudah untuk mencapai Moeara Takoes dari wilayah Minangkabau (Pagaroejoeng). Rute perjalanan ini tampaknya bukan jalan normal, karena kenyataannya sangat berbahaya dan hanya bisa dipandu oleh pendayung yang tangkas. Semakin tidak lazim ke Moera Takoes, karena dari muara sungai Mahat harus melawan arus deras dimana pendayungnya harus terjun ke sungai untuk mendorong perahu atau menyeretnya.


Sungai Mahat melalui kampong Kota Baroe. Sungai Mahat ini berada di pegunungan (Mahi) di utara wilayah Suliki dan timur wilayah Loeboek Sikaping. Dan seperti disebut di atas, sungai Mahat bermuara di sungai Kampar, Sungai Kampar ini telah dibendung di kampong Kota Panjang (Kuok) yang menyebabkan daerah aliran sungai Kampar ke arah hulu tergenang hingga menenggelamkan sebagian wilayah Batoe Besoerat dan wilayah Moera Takoes (kecamatan XIII Kota Kampar, Bangkinang (Riau). Wilayah hilir sungai Mahat juga tergenang hingga ke desa Tanjung Balik di Kecamatan Pangkalan Koto Baru, Lima Puluh Kota, Sumatra Barat (seperti waduk Jatiluhur di Jawa). Catatan: dalam Peta 1852 belum diidentifikasi nama Batoe Besoerat dan Meoara Takoes; yang sudah diidentifikasi selain Moeara Mahi adalah Moeara Dano (Moeara Rena?), Alahantiko, Moeara Baka dan Goenoeng Malela. Di dekat Moeara Baka diidientifikasi benteng tua (Oud Fort).

Tampaknya untuk mencapai wilayah Moera Takoes (sungai Kampar) dari Pagaroejoeng hanya melalui celah tebing (ngarai) di aliran sungai. Sementara itu, dari sisi utara sungai Kampar terdapat akses jalan darat melalui perbukitan rendah dari kampong Tandoen ke kampong Kuok (sungai Kampar) dan askses jalan darat dari Moera Takoes melalui kampong Pandalian ke kampong Rokan (di sungai Rokan Kiri).


Jalan darat selanjutnya dari kampong Tandoen ke arah utara ke kampong Oedjoeng Batoe di sungai Rakon. Dalam hal ini dari kampong Oedjoeng Batoe dapat dilayari hingga ke kampong Rokan (tempat terjauh di hulu sungai Rokan yang dapat dinavigasi). Kota utama berada di hilir di Kota Intan. Sementara itu ada akses jalan darat dari kampong Oedjoeng Batoe di sungai Rokan ke kampong Pasir Pangaraian di sungai Batang Loeboe.

Apa yang menarik diperhatikan tentang relasi sungai Rokan dan sungai Kampar adalah sungai Rokan bermuara ke laut ke arah timur laut (Malaka?), sedangkan sungai Kampar bermuara ke laut semakin menjauh ke tenggara (Jawa?). Diantara kedua sungai inilah secaraterbentuk sungai Siak tegak lurus ke pantai timur. Jarak terpendek (tirtik singgung) antara sungai Rokan (Kiri) dan sungai Kampar (Kanan) adalah wilayah antara kampong Moera Takoes dan kampong Rokan (melalui jalan darat/sungai kampong Pandalian).


Sungai Batang Loeboe yang melalui Pasir Pangaraian bertemua dengan sungai Batang Sosa di Kapenoehan yang ke hilir disebut sungai Rokan Kanan yang akan bertemu lebih ke hilir sungai Rokan Kanan. Di wilayah hulu sungai Sosa bermuara sungai Aek Soetam di sekitar Daloe-Daloe (Tamboesai). Pada era Pemerintah Hindia Belanda kerajaan utama di sungai Rokan Kiri berada di Kota Intan dan kerajaan utama di sungai Rokan Kanan di Tamboesai.

Di wilayah relasi antara sungai Rokan dan sungai Kampar inilah hingga pada masa ini ditemukan situs candi Meoara Takoes suatu candi terjauh dari wilayah situs percandingan di Padang Lawas (termasuk candi Manggis). Candi Moera Takoes begitu jauh dari selatan (Batang Hari) tetapi begitu dekat dari utara (Padang Lawas).


Dalam legenda masyarakat di Muara Takus diceritakan ketika orang asing menduduki wilayah, orang Batak menyerangnya (dari utara). Serangan orang Batak ini di wilayah Muara Takus diduga untuk mengamankan candi dan pusat perdagangan di hulu Kampar. Apakah pendudukan wilayah Moera Takoes itu berasal dari Jawa (era Majapahit)? Dalam legenda Muara Takus juga disebut orang asing itu (Hindoe) semantara orang Batak adalah Boedha. Candi Moera Takoes adalah arsitektur peradaban Boedha.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Lima Puluh Kota Tempo Doeloe dan Sekarang: Jalan Tersulit Tempo Doeloe Jalan Termudah (Jalan Tol) Masa Kini

Nama Lima Puluh Kota di Sumatra Barat apakah benar-benar memiliki 50 buah kota/huta? Untuk soal nama ada kalanya disingkat menjadi Lima Poeloeh. Nama Lima Poeloeh juga pada masa ini diketahui ada di Sumatra Utara yang menjadi ibu kota kabupaten Batubara. Apakah ada relasinya? Nama Lima Puluh Kota juga merupakan nama kelurahan di kecamatan Lima Puluh, kabupaten Batu Bara.


Nama tempat dengan menggunakan sebutan/nama bilangan hanya banyak ditemukan di wilayah Minangkabau. Mengapa? Bedakan dengan nama kota Lima di Amerika Latin yang menjadi ibu kota negara Peru. Di wilayah Tapanuli pada masa ini diketahui nama-nama tempat dengan menggunakan sebutan/nama bilangan seperti Palopat dan Parsabolas. Kedua nama ini merujuk pada jarak dimana pada era Pemerintah Hindia Belanda digunakal paal untuk satuan mil dimana di sempadan jalan diletakkan penanda paal (juga disebut pal batu). Palopat merujuk pada Paal IV dan Parasabolas dari Pall xI.

Nama 50 Kota di Sumatra Barat hanyalah salah satu contoh penyebutan nama tempat/wilayah. Lantas apakah ada penyebutan sejenis di wilayah lain? Ada seperti di wilayah Atjeh seperti V MUKIM dan sebagainya. Nama yang paling khas untuk penyebutan nama tempat dengan sebutan bilangan terdapat di wilayah Sumatra Barat. Sekali lagi, mengapa?


Berdasarkan Peta 1852 nama-nama distrik di wilayah Padangsch yang menggunakan sebutan bilangan antara lain: III Kota, III Loera, xII Kota, V Kota, xx Kota, xIII Kota, IV Kota dan VII Loera. Ada juga dengan nama yang sama berbeda wilayah distrik. Penyebutan bilangan untuk nama wilayah/distrik tidak ditemukan di wilayah residentie Tapanoeli. Selain di residentie Padangsch, penyebutan bilangan untuk distrik juga ditemukan di residentie Sumatra’s Ooskust (baca: wilayah Siak dan Indragiri) seperti III Kota, V Kota, Doea Poeloeh Korang Asat, dan xIII Kota. Nama distrik xIII Kota ini sering ditulis sebagai xIII Kota Kampar (dalam Peta 1852 diidentifikasi sebagai xII Kota). Juga ada nama Kampar nan Sambilan.

Nama 50 Kota menjadi menarik diperhatikan karena angkanya cukup besar (relative terhadap yang lain). Distrik 50 Kota berpusat di Paja Koemboeh. Namun tidak terinformasikan apakah nama 50 Kota benar-benar mencerminkan 50 kota/hoeta. Wilayah distrik 50 Kota di sekita gunung Bongsoe (di sebelah utara gunung Sago). Berdasarkan Peta 1852 cukup banyak nama kampong (kota) yang diidentifikasi (tetapi jauh dari angka 50 buah).


Paja Koemboeh di dalam Peta 1852 hanya diidentifikasi sebagai nama area. Di area ini diidentifikasi nama kampong (kota) Kampong nan Gadang dan di dekatnya nama kampong Paja Basoeng. Paja adalah area rawa-rawa, sementara koemboeh adalah nama tanaman air yang batangnya digunakan untuk membuat tikar. Dalam bahasa Angkola Mandailing tanaman sejenis itu disebut baijon yang juga digunakan untuk membuat tikar. Tentu saja tidak ada kaitannya dengan Vaya Condios, yang jelas di wilayah Padang Lawas juga ditemukan nama kampong Paja Baijon yang kurang lebih sama dengan nama Paja Koemboeh. Bagaimana dengan nama Basoeng. Dalam bahasa Angkola Mandailing basoeng adalah akar dari pohon goti, di antaranya kayu untuk pegangannya tangkai dari balioeng dan pelampung untuk jarring/jala. Tidak ada nama tempat Paja Badoeng di Padang Lawas, tetapi ada nama tempat Paja Bahoeng, yang mana bahoeng adalah sejenis pohon. Di distrik Lima Poeloeh (Kota) tampaknya nama (area) Paja Koemboeh dijadikan menjadi nama tempat Paya Kumbuh yang sekaang. Nama tempat yang sudah ada adalah Kampong nan Gadang, tetapi nama ini juga tidak sepenuhnya nama tempat melainkan hanya sekadar mengidentifikasi area suatu kampong yang besar.

Dari Paja Koemboeh ke arah Moera Takoes berdasarkan Peta 1852 dari Kampong Nan Gadang ada jalan melalui kampong Sarie Lama, benteng Fort Veltman, dan kemudian kampong-kampong yang sangat berjauhan Oeloe Ijer, Kota Ranan, Kota Pandjang dan Pinang. Dari kampong Pinang melalui sungai Mahi ke sungai Kampar di Moeara Mahit. Dari kampong Pinang ada jalan rintisan melalui pegunungan ke Moera Danoe di sungai Kampar. Jalan rintisan ini diduga dibuat militer Hindia Belanda untuk menghububungkan benteng Veltman (dekat Paja Koemboeh) dengan benteng lama di arah hulu Moeara Dano di sungai Kampar.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar: