*Dikompilasi dari berbagai sumber
Staf peneliti Balai Bahasa Medan (BBM), Anharuddin Hutasuhut mengindikasikan bahwa di daerah Mandailing terdapat bahasa daerah kedua yakni 'Bahasa Siladang'. Penutur Bahasa Siladang, menurutnya pernah diisukan terancam punah akibat semakin sedikit penutur bahasa tersebut. Namun setelah dilakukan penelitian secara komprehensif oleh BBM (2009), ternyata penutur bahasa tersebut masih cukup banyak--suatu bahasa dapat dikatakan terancam punah kalau penuturnya kurang dari 500 orang, sementara penutur Bahasa Siladang lebih dari dua ribu orang.
Di Desa Aek Banir dan Desa Sipaga-paga Kecamatan Panyabungan, Kabupaten Mandailing Natal hingga masa ini, bahasa sehari-hari yang digunakan adalah bahasa ‘Mandailing Siladang' yang sedikit berbeda dengan bahasa Mandailing. Bahasa Siladang intonasi bahasanya selalu mamakai huruf "o dan e". Sebagai contoh: "pala to sonnari pabilo dope" (versi Bahasa Mandailing: "pala inda sannari andingan dope") yang artinya "kalau tidak sekarang kapan lagi". [lihat beberapa kosa kata lain pada bagian akhir tulisan]. Munurut laporan Butar-Butar (1984) bahwa penutur Bahasa Siladang pada tahun 1982 berjumlah sekitar 1.200 orang. Berdasarkan laporan J. Kreemer (1912) dalam De Loeboes in Mandailing dinyatakan bahwa orang Lubu yang menjadi cikal bakal penduduk Siladang pada masa kini, dulunya mendiami 11 pemukiman yang mencakup daerah Padang Lawas dan Mandailing. Pada saat dilakukan pendataan pada tahun 1891 jumlah masyarakat Lubu tercatat sebanyak 2.033 jiwa.