Oleh Akhir Matua Harahap
Bagian-1:
Laskar ‘Pelangi’ dari Sipirok Merantau
Menuju Medan
Kafilah ‘Padati’ Trayek Sipirok-Sidimpuan
Seorang
pemuda belia (lima belas tahun) kelahiran desa Sunge Durian, Kecamatan Sipirok,
Tapanuli Selatan. Kehidupan di desanya di jaman pendudukan Jepang tidaklah
begitu sulit, bahkan berkecukupan, karena letak desa ini jauh dari jalan raya
di tengah hutan (luat harangan). Akan tetapi pemuda ini selalu gelisah jika
berdiam di huta, karena ia sendiri tidak ingin selalu disuruh ibunya ke
sawah-ladang. Jika waktunya tiba hari poken (hari pasar) setiap hari kamis ia
mendapat tugas untuk mengangkut hasil-hasil bumi dengan kuda beban ke suatu
tempat di pinggir jalan raya Sipirok-Padang Sidempuan di desa Situmba.
Padati jaman 'doeloe' (Illustrasi/foto Basyral Hamidy Harahap) |
Pemuda
belia tadi turut dalam kafilah ini, bahkan dilakukan bertahun-tahun, sebagai
crew padati trayek Sipirok-Padang Sidempuan. Rupanya pemuda ini merasa lebih
nyaman dengan cara ikut kafilah jika dibandingkan harus ke sawah-ladang dan
lagi pula hanya sekali sepekan melihat keramaian. Memang ia hanya sampai SR
kelas tiga plus sedikit-sedikit kosa kata bahasa Belanda, tapi dengan
berinteraksi dengan banyak orang (terutama dengan orang ‘kota’ di Sipirok dan
Padang Sidempuan) ia merasakan arti kegunaan pelajaran yang diperolehnya di SR.
Apalagi interaksinya itu dilakukan di dunia perniagaan. Mungkin ia berpikir,
dari pada menghitung apporik (buruk pipit) dan mendengar suara imbo (Hylobates
sindactylus) tiap hari di huta lebih menarik menghitung rumah-rumah besar di
kota atau sepanjang perjalanan dan menghitung orang yang lalu lalang di pasar.
Yang mungkin lebih penting, di dalam pikirannya, pengetahuan, pengalaman dan
kematangan di dalam dirinya semakin meningkat. Pemuda ini menjadi matang dengan
sendirinya jauh di luar huta.
Setelah
Indonesia merdeka, pasukan Jepang baik di Sidempuan maupun di Siprok lumpuh
(akibat Hirosima dan Nagasaki). Kehidupan yang bertahun-tahun mencekam
(menderita) tiba-tiba menyeruak menjadi normal kembali (sebagaimana di jaman
Belanda). Akan tetapi denyut perekonomian belum sepenuhnya pulih. Bis atau truk
yang dulunya disita militer/polisi Jepang diambil kembali oleh para pemiliknya.
Kafilah padati pun lambat laun bubar digantikan oleh angkutan mobil kembali
untuk trayek Sipirok-Padang Sidempuan. Pemuda belia itu kehilangan dunia
barunya yang mengasikkan. Oleh karena umur yang masih muda dan tidak memiliki
kerabat di Padang Sidempuan ia pun tidak memutuskan memilih karir di Padang
Sidempuan. Ia kembali ke huta di luat harangan, Sipirok.
Di
huta (Sunge Durian), pemuda belia ini kembali ke kehidupan yang lama--sawah dan ladang serta
sekali sepekan ke ‘poken’ plus pada hari tertentu menjadi penghubung dengan
abang-abang dan adik-adiknya sebagai ‘kuli panggul’ untuk mengantar bekal
(beras dan bahan lauk kering) yang tengah bersekolah jauh di luar huta termasuk
diantaranya di Parau Sorat dan Sipirok. Dunia seakan berbalik arah dari dunia
hiruk pikuk di Sipirok dan Padang Sidempuan menjadi dunia yang sunyi senyap di
huta apalagi yang geografis huta itu berada jauh di tengah ‘harangan’. Suasana
hati semakin kusut, lebih-lebih ibunya mendesak untuk segera mambuat boru (menikah)
karena umurnya sudah lewat ‘sweet seventeen’. Harapan ibunya dapat dimaklumi,
mengingat pemuda ini adalah anak keempat dari sembilan bersaudara. Akan tetapi
sikap pemuda ini yang menolak ‘mambuat boru’ juga bisa dimaklumi karena ia
merasa jalan pikirannya sebagai ‘anak kota’ daripada sebagai ‘daganak parhuta-huta’.
‘Laskar Pelangi’ dari Sipirok
Tidak
tahan suasana statis di huta, pemuda ini memutuskan untuk pindah dan menetap di
Sipirok. Namun yang diharapkan di Sipirok juga tidak kondusif buat diri pemuda
desa ini, apalagi kerabat dekat juga tidak ada di pasar Sipirok. Suasana pasar
Sipirok hanya ramai di hari poken atau pada hari-hari ada transaksi dagang.
Lambat laun kelesuan mulai terasa. Balik ke huta, pusing, bertahan di Sipirok
juga pusing. Berbulan-bulan kehidupan yang dilalui di pasar Sipirok hanya sekadar
meluaskan pergaulan sesama pemuda dari kampung yang berbeda-beda di seputar
Sipirok. Pemuda ini semakin galau, kehidupan tak menentu hingga akhirnya
pemuda ini dengan kawan-kawannya untuk memikirkan kehidupan baru di dunia
perantauan. Masa itu para pemuda ini sudah sering dengar di dalam perbualan di
lopo-lopo (kedai kopi) begitu banyaknya orang Sipirok, Parau Sorat dan Baringin
dari kalangan berpendidikan dan tergolong kaya di jaman Belanda sukses meniti
karir di Doli (Medan). Rupanya mereka berpikir ada kehidupan yang layak di Kota
Medan. Beberapa dari para pemuda belasan tahun dari golongan keluarga yang tak
punya ini pun bersepakat untuk merantau ke Medan.
Masjid Sipirok 1936-1939 (Foto: KITLV.NL) |
Tujuh
‘laskar pelangi’ ini hanya mengandalkan nyali dan semangat untuk menembus rintangan
perjalanan yang cukup mengerikan. Tidak memiliki kompas dan juga tidak membawa peta
perjalanan dan bahkan dengan perbekalan yang seadanya. Pedoman mereka hanya
satu yakni bergerak ke arah matahari terbit. Sudah pasti mereka akan mengikuti
jalan setapak yang ada dan bahkan harus merintis jalan lewat hutan, semak,
sungai melalui lembah, bukit-bukit yang kadang-kadang jurangnya sangat dalam.
Di tengah jalan resiko terhadap binatang buas dan berbisa tidak terhindari.
Setiap
pagi dalam memulai perjalanan mereka berharap akan bermalam di setiap kampung
yang dilewati jika sudah dekat malam hari, Namun ada juga yang terpaksa harus membuat
pondok (dari kayu dan ilalang) di pinggir sungai jika kampung untuk disinggahi tidak
ditemukan tanda-tanda. Suasana di pondok ini sangat mencekam karena
sewaktu-waktu dapat dimaksa binatang buas atau digigit ular tapi yang paling
berat adalah tidak makan nasi dan hanya makan ikan yang ditangkap di sungai
atau hasil berburu hewan-hewan hutan. Kalau menginap di kampung yang ditemui,
mereka minta tolong untuk menanak nasi dengan bekal beras yang mereka bawa.
Ketika
perbekalan beras habis mereka kemudian membayar makanan yang disediakan oleh
penduduk desa yang menampung mereka untuk menginap. Dan ketika beras habis dan
uang juga mulai menipis, sementara perjalanan masih panjang ke Rantau Prapat
apalagi harus sampai ke tujuan akhir di Medan, maka sesungguhnya mereka sudah
mulai frustrasi. Suatu malam di suatu kampung, uang yang di kantong
masing-masing sudah hampir kosong, timbul gagasan diantara mereka jelang tidur. Diantara mereka ada satu orang yang punya keahlian untuk
mematri (kebetulan dia juga bawa timah) dan kebetulan huta yang mereka singgahi
itu jumlah penduduknya cukup banyak. Mereka memutuskan untuk berkeliling kampung
seharian untuk mengumpulkan perlengkapan dapur, panci, piring, dan peralatan
dapur lainnya yang bocor untuk dipatri. Hasil dari kegiatan mematri ini cukup
banyak untuk melanjutkan perjalanan.
Akhirnya
setelah seminggu mereka sampai di Rantau Prapat. Akan tetapi setelah menghitung
uang yang ada ongkos kereta hanya sampai ke Pematang Siantar saja. Selama
perjalanan kereta masing-masing terbawa dengan pikiran masing-masing, sebab
perjalanan masih jauh ke Medan, sementara dari sisa uang yang ada hanya cukup
untuk ongkos dan untuk membeli makanan seadanya saja. Setelah tiba di Pematang
Siantar mereka berpencar untuk mencari pekerjaan masing-masing untuk memenuhi
hidup sehari-hari. Merantau ke Medan sebagaimana mereka bertekad dari kampung
menjadi tidak tercapai. Situasi menjadi tampak sulit karena mempertahankan
kumpulan (kelompok) untuk secara bersama-sama mencari kehidupan tak mungkin di
sebuah kota yang jauh lebih ramai dari Padang Sidempuan apalagi pasar Sipirok.
Kesulitan akhirnya terjadi bahwa mereka harus berpisah satu sama lain di
Pematang Siantar untuk meniti karir masing-masing. Lantas 'Laskar Pelangi' dari Sipirok
membubarkan diri.
Pemuda
belia yang sebelumnya adalah seorang pemuda yang sudah terbiasa dengan
kehidupan di kota Padang Sidempuan dan jauh dari huta di luhat harangan jelas
lebih adaptif dibanding teman-temannya yang lain. Dia juga ternyata tidak mudah
untuk mendapatkan pekerjaan hingga akhirnya ia berinisiatif masuk ke kumpulan
Hizbullah di Pematang Siantar untuk menjadi laskar rakyat. Dia berpendapat dengan ikut
menjadi laskar, maka sekurang-kurangnya makan dan tempat tidur sudah ditanggung
perkumpulan. Dia melamar dan diterima. Kegiatan para laskar baru ini berlatih
baris berbaris, mengasah ketangkasan, pertahanan dan penyerangan serta lainnya
yang menjadi kurikulum bagi laskar muda. Kumpulan laskar-laskar ini bermunculan
dimana-mana seiring dengan lumpuhnya militer/polisi Jepang. Lebih-lebih setelah
diketahui pasukan Inggris (pimpinan sekutu) telah memanfaatkan situasi sebagai
pemenang perang untuk menduduki kantong-kantong pertahanan Jepang di Indonesia.
Agresi Militer
Belanda
Setelah
beberapa bulan di Pematang Siantar dan melakukan tugas sebagai laskar, pemuda
ini juga berhasil menabung sedikit demi sedikit dari uang saku yang diberikan
pada waktu-waktu tertentu. Pada suatu hari pemuda ini mendengar kabar dari
orang lain bahwa di Kisaran ada penerimaan anggota PMI (Palang Merah Indonesia).
Karena aktivitas laskar itu monoton dan uang saku menjadi jarang diberikan,
pemuda ini mengundurkan diri dari laskar dan terus ingin melanjutkan perjalanan
ke Doli (Medan). Di Kisaran pemuda ini mendaftar sebagai anggota PMI dan
diterima. Dia diterima tanpa catatan karena mengerti cukup banyak kosa kata
bahasa Belanda. Apalagi waktu itu nama-nama obat dan surat-surat obat masih
banyak yang menggunakan produk Belanda. Kehidupan pemuda ini di PMI Kisaran sedikit
lebih baik jika dibandingkan di perkumpulan laskar di Pematang Siantar.
Setelah
beberapa bulan ikut PMI, pemuda ini keuangannya mulai meningkat dan sudah mulai
nyaman di Kisaran. Suatu waktu ketika mau berpikir untuk mundur dari PMI dan
melanjutkan perantauan ke Medan, tiba-tiba tersiar kabar pasukan Belanda
mendarat di Labuhan Bilik dan dengan cepat pasukan Belanda ini sudah memasuki
kota Tanjung Balai dan Kisaran dan pusat-pusat perkebunan di daerah seputar
Kisaran. Penduduk kota yang tidak senang kedatangan kembali Belanda ini
meninggalkan kota dan mengungsi keluar kota.
Pemuda
ini ikut mengungsi dan di pengungsian ikut bergabung dengan milisi (laskar).
Kesadaran untuk berjuang melawan Belanda sudah terbentuk lama ketika mengalami
penderitaan yang berat semasa era Jepang di Sipirok dan Padang Sidempuan.
Ketika terbentuk dan tumbuh milisi dari rakyat di daerah Sumatera Timur, pemuda
perantauan ini tidak memiliki sanak saudara yang harus dijaga. Lagi pula
kemampuan untuk ikut milisi sudah ada ketika di perkumpulan laskar di Pematang
Siantar.
Milisi
ini bergerilya minggu demi minggu antara daerah Kisaran dan daerah Tanjung
Morawa. Namun lama-lama para milisi ini terdesak dengan semakin menguatnya
pasukan Belanda yang sudah menyebar kemana-mana. Mereka terus bergerilya hingga
akhirnya mundur dan terdesak hingga ke daerah Kisaran kembali. Para pengungsi
sudah mulai mengungsi secara estapet ke arah Rantau Prapat. Singkat cerita para
milisi ini semakin terdesak hingga mundur jauh ke Rantau Prapat, Kota Pinang,
Langga Payung dan Gunung Tua.Dalam proses pengungsian ini para laskar termasuk pemuda belia ini berfungsi sebagai pengamanan. Sementara
di bagian lain di Sumatera Utara, pasukan Belanda sudah juga menguasai
kota-kota utama seperti Brastagi, Kabanjahe, Pematang Siantar, Parapat, Balige,
Tarutung dan Sibolga. Hanya wilayah Padang Sidempuan yang belum tersentuh pasukan militer Belanda. Situasi yang tidak menentu dan
penetrasi pasukan Belanda semakin dalam dan penguasaan daerah-daerah yang sebelumnya
sebagai konsentrasi militer/polisi Jepang, maka pemuda ini lambat laun ikut mundur bersama pengungsi hingga
akhirnya memasuki daerah Tapanuli Selatan.
***
Di
daerah Tapanuli Selatan (yang merupakan daerah kampung halamannya), pemuda belia ini langsung bergabung dengan pasukan milisi yang ada di daerah Padang Sidempuan dan sekitarnya. Di Sipirok sendiri sudah terdapat kantong-kantong pengungsi yang berasal dari Karo dan daerah lainnya yang termasuk bagian Sumatera Timur. Pemuda belia ini dengan kelompok milisinya untuk bersiap-siap mengantisipasi pasukan Belanda, apalagi sudah diperoleh kabar bahwa kota Sibolga ibukota Keresidenan Tapanuli sudah dikuasai oleh pasukan Belanda. Singkat cerita, selama di daerah Tapanuli Bagian Selatan, pemuda belia ini sudah pernah
beberapa kali ganti kelompok milisi, adakalannya ikut milisi di daerah
Padang Lawas, daerah Sipirok, daerah Padang Sidempuan termasuk di Benteng
Huraba. Dia juga pernah bergabung dengan milisi yang dipimpin oleh seorang
militan dari Sipirok, namanya Sahala Muda Pakpahan (dikemudian hari
dijuluki sebagai Jenderal Naga Bonar dari Sipirok). Kebetulan Sahala Muda
Pakpahan ini sudah dikenal oleh pemuda belia ini di pasar Sipirok, sebelum pemuda belia ini memutuskan
merantau ke Sumatera Timur. Kelompok-kelompok
milisi yang pernah diikuti pemuda belia ini dalam bergerilya di Tapanuli Bagian Selatan untuk melawan pasukan Belanda
semuanya di dalam basis ruang pertempuran yang dikoordinasikan oleh para militer Brigade-B yang dipimpin Mayor Bedjo.
*Pemuda belia
ini telah wafat pada tanggal 10 Mei 2012 dengan status Veteran Republik Indonesia
dalam usia 84 tahun dan dikebumikan di
Padang Sidempuan. Meninggalkan anak-anaknya sebanyak sembilan orang (enam diantaranya sarjana). Setelah
perang kemerdekaan ia tidak ‘mulak tu huta’ tetapi meniti karir di Padang
Sidempuan sebagai pedagang hasil-hasil bumi khususnya dari Sipirok. Di penghujung
masa hayatnya, ia berdiskusi selama tiga malam dalam kondisi sehat walafiat dengan
penulis, tetapi sebulan kemudian dikabarkan telah meninggal dunia dengan
tenang. Selamat jalan Oppung, Ayah, Uda, Abang, kami melepaskanmu dengan ikhlas,
doa kami mengiringimu dalam perjalanan menuju di sisiNya. Amin.
------------------------
Bersambung….
Bagian-2: Pertempuran 'Benteng Huraba' di Padang Sidempuan: Peran Laskar dan Rakyat Tapanuli Selatan dalam Mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia
....Benteng Huraba tercatat dalam sejarah pertempuran di Indonesia dimana pasukan militer dan pasukan polisi (mobrig) serta laskar rakyat bahu membahu melakukan pertempuran yang heroik untuk mengusir pasukan Belanda. Menariknya, Benteng Huraba ini merupakan benteng yang tidak pernah ditembus oleh pasukan Belanda hingga akhirnya pihak Belanda mengakui kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)...
….Letnan Sahala Muda Pakpahan (‘Jenderal Naga Bonar’) dari Sipirok yang menembak langsung Letnan Jenderal Simon Hendrik Spoor (Panglima KNIL dan komandan tertinggi militer Belanda di Indonesia, tewas di Jembatan Aek Gambiri (Aek Horsik), Simagomago, Sipirok pada tangga 23 Mei 1949”. Pertempuran Simagomago ini terjadi ketika pasukan Belanda mengarahkan perjalanannya menuju utara (via Sipirok) tatkala pasukan Belanda ini tidak bisa bergerak lebih jauh ke arah selatan menuju Panyabungan dan Bukittinggi. Benteng Huraba menjadi rintangan besar dalam sejarah pertempuran pasukan Belanda di Sumatera Utara (Sumatera Timur dan Tapanuli)…..
....Benteng Huraba (1949) dan Benteng Padang Sidempuan (1849) adalah dua benteng yang sangat fenomenal di Tapanuli Bagian Selatan. Seratus tahun sebelum Benteng Huraba, Pasukan Belanda memasuki kota dan menduduki Benteng Padang Sidempuan. Benteng Padang Sidempuan direbut pasukan Belanda dari arah selatan (Bukit Tinggi/Panyabungan), sementara Benteng Huraba tidak pernah ditembus pasukan Belanda untuk menuju Panyabungan/Bukittinggi. Di Benteng Huraba, pasukan Belanda menghadapi pertempuran dimana mereka harus mundur kembali. Skak mat....
....Peristiwa-peristiwa yang mengerikan di wilayah Tapanuli Bagian Selatan di masa 'doeloe' oleh tindakan bumi hangus pasukan Paderi dan penderitaan oleh penjajahan Belanda memunculkan anak-anak negeri di Tapanuli Bagian Selatan untuk angkat senjata untuk mempertahankan harga diri (Benteng Huraba dan Benteng Padang Sidempuan). Keberanian pemuda-pemuda Tapanuli Bagian Selatan yang bersumber dari inspirasi dua benteng tersebut menjadi semacam 'password' munculnya tokoh-tokoh militer utama di Indonesia, seperti:
1. Jemderal Besar Abdul Haris Nasution
2. Kolonel Zulkifli Lubis
3. Mayjen Marah Halim Harahap
4. Mayjen Kaharuddin Nasution
5. Letjen Achmad Rivai Harahap
6. Mayjen Raja Inal Siregar
7. Mayjen (Pol) M.H. Ritonga
8. Mayjen Syamsir Siregar
9. Letjen Azmyn Yasri Nasution
0. Mayjen (Pol) Saud Usman Nasution
dan lainya
3 komentar:
mantap kawan, tulisan seperti ini sangat dibutuhkan bagi para pemuda sekarang khususnya di tapsel yang kita sayangi ini, karena sebagian besar para pemuda di tapsel ini sudah lupa akan sejarah mereka sendiri, lanjutkan kawan.
saya sendiri EDY SYAHPUTRA HARAHAP, MAHASISWA PERTANIAN USU, tinggal di SIGALANGAN, jl. mandailing dekat benteng huraba.
Bang akhir,
Kalau difilmkan ini mungkin lebih bagus dari film saving private ryan ... kalau detail dengan background nagabonar yg disimago2 akan menjadi cerita menarik
Bagus sekali ceritanya...kalau difilmkan bisa sejajar dengan saving private ryan
Posting Komentar