Senin, Februari 22, 2016

Sejarah Marga Batak: Awal Mula Pencatatan, Bukti-Bukti Penyebaran dan Kapan Adopsi Penulisan Marga di Belakang Nama

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Batak dalam blog ini Klik Disini


Marga Batak adalah suatu fakta, marga yang telah sejak lama digunakan untuk mengidentifikasi kelompok keluarga. Terminologi marga dalam era modern adalah family name. Marga sejauh ini masih dipakai di belakang nama hingga sekarang. Artikel ini tidak dalam rangka mengusut sejak kapan adanya marga, apalagi dikaitkan dengan mitologi. Itu hanya buang waktu dan tidak relevan di era modern, karena tidak akan cukup data dan informasi untuk merekonstrusinya. Artikel ini hanya memfokuskan untuk mendeskripsikan sejak kapan marga dicatat dan bagaimana penyebarannya.

Kapan pertama kali marga dicatat dan siapa pemakai marga yang pertama?

Nama marga sebagai satu kesatuan adat (territorial genealogis) sudah ada sejak lama, namun kala itu penggunaan nama marga di belakang nama tidaklah lazim. Nama-nama yang digunakan adalah nama kecil dan nama gelar adat (raja), seperti Sutan, Mangaradja, Baginda dan sebagainya. Pemakaian marga di belakang nama seseorang diduga mulai diperkenalkan oleh orang-orang Eropa/Belanda.

Dalam koran Javasche courant, 23-03-1830 terdapat statistic surat kabar utama di Eropa, dimana salah satunya adalah De Gazelle de France (koran sore di Prancis bertiras 7.000 exp) salah satu editornya  berinisial (marga) Lubis, diantara nama-nama editor lainnya. Lubis adalah nama marga Batak tetapi Lubis sang editor tersebut mungkin bukanlah orang Batak tetapi warga Perancis. Family name Lubis ada juga yang berasal dari Eropa Tengah.

Sejauh yang tercatat, orang Batak pertama yang pernah menggunakan marga di belakang namanya adalah Thomas Siregar di Sipirok. Thomas Siregar adalah pendeta muda (lihat Gumbu Humene. 1892. Amsterdam: Hoveker). Nama berikutnya adalah pendeta Markus Siregar (lihat Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad, 02-04-1894). Lalu diikuti oleh empat calon pendeta, yakni: Jos Harahap, Jafet Harahap Samuel Tandjong dan Cornelia Pane (lihat Algemeen Handelsblad, 13-09-1894). Thomas, Markus, Jos Jafet, Samuel dan Cornelia besar kemungkinan adalah nama-nama baptis.

Sketsa sebaran marga (1886)
Thomas Siregar dan Markus Siregar adalah murid-murid pertama Nommensen di Sipirok (1862) yang menjadi pendeta-pendeta muda orang Batak. Satu lagi murid pertama Nommensen adalah Ephraim (ini juga nama baptis), tetapi tidak menjadi pendeta tetapi berkarir di pemerintahan mulai dari penulis di kantor Asisten Residen di Padang Sidempoean hingga menjadi jaksa senior (di Medan). Ephraim sendiri yang memiliki nama kecil Sjarif Anwar dengan nama adat Sutan Gunung Tua dalam karirnya tidak pernah menggunakan nama marga di belakang namanya. Demikian juga, salah satu, cucu Sjarif Anwar juga tidak menggunakan nama marga di belakang namanya, hanya menulis nama dengan Amir Sjarifuddin (Menteri Pertahanan dan Perdana Menteri RI).

Nama-nama berikutnya yang menggunakan nama marga di belakang nama (di luar lingkungan misi) baru muncul pada tahun 1909, yakni: Mohamad Daulaij [lihat Bataviaasch nieuwsblad, 11-10-1909: ‘Layanan Medis Sipil mengumumkan bahwa di Ngawi (Madiun), dokter Inlandsche Mohamad Daulay; juga diperbantukan dokter inlandsche Mohamad Daulaij di Semarang’]. Kemudian muncul lagi tahun  1912 nama berikutnya. Mereka adalah Aminoeddin Loebis dan I. Harahap yang terdaftar sebagai siswa Koningin-Wilhelmina School di Batavia (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 09-05-1912). Kemudian menyusul Abdoel Azis Nasoetion, seorang siswa Landbowschool di Buitenzorg (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 12-08-1912)
Dua anak Padang Sidempuan sekelas dengan Tjipto di STOVIA
Mohamad Daulay adalah angkatan terakhir dari Docter Djawa School (sebelumn namanya diubah menjadi STOVIA, 1902). Pada saat Mohamad Daulay masuk tahun 1900, dua kakak kelasnya asal Padang Sidimpoean baru lulus yakni Haroen Al Rasjid (Nasoetion) dan Mohamad Hamzah (Harahap). Sebelum lulus Mohamad Daulay, dua kakak kelasnya dari Padang Sidempoean lulus tahun 1905 yakni Abdoel Karim (masuk tahun 1898) dan Abdoel Hakim (masuk 1899). Abdoel Karim (Harahap) dan Abdoel Hakim (Nasoetion) sama-sama lulus tahun 1905 bersama dengan Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo.
Deretan nama-nama anak Afdeeling Padang Sidempoean (sebelumnya bernama Afdeeling Mandheling en Ankola) di Docter Djawa School dimulai sejak Si Asta (Nasoetion) dan Si Angan (Harahap) dari Afdeeling Mandheling en Ankola diterima tahun 1854 (Docter Djawa School dibuka tahun 1851). Si Asta dan Si Angan adalah dua orang pertama yang diterima di Docter Djawa School yang berasal dari luar Jawa. Pada tahun 1856 diterima lagi dua siswa dari Afdeeling Mandheling en Ankola yakni Si Napang (marga Loebis?) dan Si Dorie (marga Harahap?). Oleh karena prestasi anak-anak Mandheling en Ankola ini terbilang bagus maka sejak 1856 secara reguler dari Afdeeling Mandheling en Ankola diterima di Docter Djawa School (diantara mereka ada yang sekelas dengan Dr. Wahidin). Selanjutnya siswa-siswa STOVIA yang berasal dari Afdeeling Padang Sidempuan terus belanjut, yang terkenal seperti Radjamin (Nasoetion), walikota pribumi pertama Kota Surabaya (sebagaimana Dr. Abdul Hakim Nasution, wali kota pribumi pertama Kota Padang), Abdoel Monier Nasoetion (abang dari mantan Gubernur Sumtara Utara, SM Amin). Sejak tahun 1920, anak-anak di luar Afdeeling Padang Sidempoean mulai muncil, yang pertama adalah FL Tobing dan T. Mansoer.
Sementara itu, pengguna nama marga di belakang namanya Abdoel Azis Nasoetion adalah siswa angkatan pertama Midelbare Landbow School (sekolah menengah pertanian) di Buitenzorg (menggantikan nama sebelumnya). Kakak kelasnya di Buitenzorg adalah Sorip Tagor anak Padang Sidempoean yang telah menjadi siswa Inlandschen Veeartsen School (Sekolah Kedokteran Hewan) sejak tahin 1907. Sorip Tagor (Harahap) ompung dari Risty/Inez Tagor ini adalah adalah alumni pertama Sekolah Kedokteran Hewan. Lalu kemudian anak Padang Sidempoean datang lagi tahun 1910 yakni Alimoesa mengikuti Sorip Tagor..Kelak, Sorip Tagor melanjutkan studi ke Belanda dan di Leiden mendirikan Sumatranen Bond (1917) dan Alimoesa (Harahap) adalah anggota Volksraad pertama dari Tapanoeli (1927). 
Siswa-siswa lainnya pada fase awal ini (1910-1930) yang menyusul ke Sekolah Dokter Hewan di Bogor yang berasal dari afdeling Padang Sidempoean, antara lain: Abu Bakar Siregar, Alibasa (Harahap), Pinajoengan, Anwar, Hari Rajo Pane dan lainnya. Anwar (Nasoetion) adalah ayah dari Prof. Andi Hakim Nasoetion (Rektor IPB 1978-1987). Sedangkan yang menyusul ke Sekolah Menengah Pertanian antara lain, Humala (Harahap), Ronggoer Loebis, dan Djohan. Sebagaimana diketahui Djohan Nasoetion adalah ayah dari Prof. Lutfi Ibrahim Nasoetion, guru besar Ilmu Tanah, IPB dan mantan Ketua BPN. Catatan: Midelbare Landbow School dan Inlandschen Veeartsen School adalah cikal bakal Institut Pertanian Bogor.
Ini berarti penggunaan nama marga di belakang nama belumlah lama meski nama marga sudah sejak lama ada (dilembagakan). Tampaknya penggunaan nama marga dimulai dari adanya interaksi orang-orang Batak dengan orang-orang Eropa yang memang orang Eropa/Belanda sudah sejak lama mengintegrasikan family name di belakang nama mereka. Interaksi dan adopsi kebiasaan (habit) itu tampaknya baru terbatas di dunia misionaris dan dunia akademik. Penggunaan nama marga di lingkungan pemerintahan belum ada terdeteksi (masih menggunakan nama kecil atau nama gelar adat).

Willem Iskander dengan nama kecil Si Sati (adik kelas Dr. Asta dan Dr. Angan), orang Batak dan orang pribumi pertama yang studi ke Belanda (1857) tidak pernah terdeteksi menggunakan nama marganya di belakang nama. Si Sati bukannya menambah marga melainkan mengganti nama. Willem bukanlah nama baptis, tetapi nama yang diadopsi dari nama raja Belanda dan Iskander nama sastrawan terkenal di Eropa saat itu. Si Sati alias Willem Iskander memiliki family name (marga) Nasoetion. Demikian juga, Dja Endar Moeda (mertua Dr. Haroen al Rasjid), alumni Kweekschool Padang Sidempuan 1884 yang menjadi guru dan di masa pension menjadi editor pribumi pertama di Padang tahun 1897 (surat kabar berbahasa Melayu Pertja Barat). Dja Endar Moeda bermarga Harahap tetap mempertahankan gelar rajanya. Juga, setali tiga uang, Soetan Casajangan Soripada (nama kecil Radjioen, marga Harahap), alumni Kweeksschool Padang Sidempuan, orang Batak pertama yang kuliah ke Belanda tahun 1905 hanya menonjolkan penggalan gelar rajanya menjadi R. Soetan Casajangan (beberapa penulis menganggap R adalah singkatan dari Raden di Jawa). Satu lagi: Alinoedin Siregar gelar Radja Enda Boemi, alumni sekolah hokum di Batavia yang melanjutkan studi doctoral ke Belanda justru ketika lulus cum laude tahun 1925 di Universiteit Leiden nama kecil dan nama marganya dikesampingkan dan yang dipromosikan adalah gelar rajanya. Radja Enda Boemi adalah ahli hokum dan doctor hokum pertama orang Batak.

Di dalam dunia jurnalistik, yang terang-terangan menggunakan nama marganya di belakang nama adalah Parada Harahap. Pada tahun 1918 Parada Harahap adalah editor koran Benih Mardika di Medan. Di dalam koran-koran (berbahasa) Belanda namanya dikutip dengan inisial yang lengkap dan jelas: Parada Harahap. Sementara senior-seniornya di Medan lebih menonjolkan nama gelar raja masing-masing, seperti Mangaradja Salamboewe (anak Dr. Asta, editor koran Pertja Timor, editor pribumi kedua tahun 1902), Panoesoenan gelar Soetan Zeri Moeda, Soetan Parlindoengan, Mangaradja Ihoetan (ketiganya pernah menjabat editor Pewarta Deli) dan lainnya. Setelah Parada Harahap baru muncul nama editor yang menggunakan marga yakni Abdoellah Loebis (editor Pewarta Deli berikutnya, 1920an). Parada Harahap dan Abdullah Lubis adalah dua jurnalis senior yang sejak awal menggunakan nama marga di belakang nama dan dilakukan secara konsisten (dua dari tujuh orang pribumi pertama tahun 1933 melawat ke Jepang, termasuk M. Hatta).

Marga sebagai kesatuan sistem pemerintahan

Belanda pertama kali memperkenalkan pemerintahan sipil di Tanah Batak adalah di Afdeeling Mandheling en Ankola di Residentie Tapanoeli. Sistem pemerintahan colonial Belanda di Tapanoeli agak berbeda dibanding daerah lain. Sistem pemerintahan yang diterapkan adalah sistem pemerintahan dua kamar, dimana pada level atas sistem pemerintahan Belanda sementara di level bawah diterapkan sistem pemerintahan lokal. Kesatuan pemerintahan lokal disebut koeria.

Seorang koeria diangkat berdasarkan musyawarah (demokrasi) dari para kepala kampong. Kesatuan koeria ini umumnya didasarkan pada marga. Koeria adalah wakil pemerintah untuk memungut pajak atau retribusi. Koeria juga menjadi ketua pengadilan masyarakat (kerapatan) di wilayah koeria yang bersangkutan. Berdasarkan ruang lingkup tugas dan tanggungjawabnya diberi imbalan berupa gaji (per tahun). Dewan koera disebut koeriaraad yang terdiri dari para kepala koeria (koeriahoofd). Batas-batas wilayah ditentukan oleh hukum adat.

Sebaran negeri di Silindoeng (1930)
Terminilogi koeria hanya terdapat di Mandheling en Ankola, Sibolga dan Barus. Sementara di Padang Lawas digunakan terminologi loehat, sedangkan di Bataklanden (Silindoeng dan Toba) digunakan terminologi negeri. Namun ketiga terminology ini diterapkan sama untuk menyatukan wilayah pemerintahan local yang (umumnya) mempertimbangkan marga. Kata koeria diperkenalkan pada masa dominasi Padri. Koeria lalu diterapkan Belanda di Mandheling en Ankola plus Sibolga dan Barus untuk mengindikasikan satu kesatuan wilayah otoritas monarki. Koeria dipilih untuk menggantikan terminology Djandji yang diusulkan sebelumnya. Sebutan koeria di Minangkabau digunakan dengan istilah laras. Terminologi koeria diduga berasal dari kata Arab. Willer sempat menyebut koeria dari kata Melayu. Menurut  Mr. Pijper dan dikonfirmasi kepada Husein Djajanegara bahwa koeria berasal dari Arab (kar’ja). Koeria diasosiakan dengan wilayah yang dikepalai imam, dimana wilayah yang dimaksud di Atjeh disebut mukim. Ketika terminologi ini diperkenalkan di Silindoeng, kata koeria sudah digunakan dalam lingkungan gereja (kata Koeria dalam HKBP berasal dari kata Arab). Terminologi yang diusulkan di Silindoeng adalah hoendoelan (wilayah) namun dalam perkembangannya yang dipilih di Silindoeng dan Toba akhirnya adalah negeri. Di Padang Lawas digunakan istilah loehat (bahasa Batak: loeat). Di Nias digunakan istilah ori.

Pemerintah Belanda sejak 1840 telah menerapkan sistem pemerintahan lokal di Mandeling en Ankola dalam satu kesatuan koeria. Masing-masing koeria mengindikasikan nama marga dominan. Dalam struktur pemerintahan awal di Residentie Tapanoeli dua afdeeling diantaranya adalah Afdeeling Mandheling en Ankola dan Afdeeling Natal. Di afdeeling Mandheling en Ankola terdapat onderafdeeling, yakni: onderaf. Groot Mandheling, onderaf. Klein Mandheling, Oeloe en Pakantan, onderaf. Ankola en Sipirok. Pada masing-masing onderafdeeling ini terdiri dari koeria-koeria. Pada awalnya koeria Maga (marga Nasoetion) masuk dalam onderaf. Klein Mandheling, namun dalam perkembangannya direvisi dan dimasukkan ke dalam onderaf. Groot Mandheling. Sebaliknya, koeria Batang Natal (marga Nasoetion) awalnya masuk onderaf, Groot Mandheling dimasukkan ke afdeeling Natal karena alasan jarak dan efektivitas pemerintahan.
Pembentukan pemerintahan Mandheling en Ankola sudah dimulai sejak 1840. Di Padang Lawas pemerintahan baru dimulai tahun 1879 (meski sudah berada dibawah pemerintahan colonial sejak periode pembebasan 1838-1843 (selama 36 tahun diabaikan). Kesatuan pemerintahan local tidak menggunakan terminology koeria tetapi satu kesatuan loehat (system kesatuan tradisi). Di Silindoeng 1880 dan  di Toba 1906 (Residentie Tapanoeli dipisahkan dari Province Sumatra’s Westkust tahun 1905). Di Silindoeng dan Toba menggunakan terminology, awalnya hoendoelan dan diganti menjadi negeri. Pada prinsipnya tiga terminologi tersebut mengacu pada marga.
Koeria dan marga di Sibolga (1930)
Di Angkola sendiri, pada awalnya onderaf. Ankola mencakup koeria Loemoet, namun dalam perkembangannya empat koeria yakni Loemoet, Batang Toroe, Marantjar, dan Huraba masuk afdeeling Sibolga. Akan tetapi dalam perkembangannya direvisi dimana Batang Toroe, Marantjar dan Huraba dimasukkan kembali ke onderaf. Ankola. Hal serupa di Bataklanden, terjadi perubahan dan berbagai revisi terhadap negeri. Demikian juga di afdeeling Padang Lawas terjadi perubahan dan berbagai revisi terhadap loehat.

Revisi tidak hanya pada penyesuaian batas-batas wilayah, tetapi juga pada perubahan struktur (promosi dan degradasi). Seperti halnya, koeria Kampung Baru (1850an) karena wilayahnya menjadi kota (proses urbanisasi) lalu kemudian posisinya sebagai koeria dilikuidasi dan posisinya digantikan Loesoeng Batoe sebagai koeria (di luar kota Padang Sidempoean). Demikian juga pada nantinya, koeria Simapil-apil karena populasinya semakin menyusut dan letaknya yang sangat terpencil (akses) kemudian digantikan Siharangkarang sebagai koeria.
Koeria dan marga di Angkola (1930)
Pada tahun 1905 ketika Residentie Tapanoeli dipisahkan dari Province Sumatra’s Wesrkust, pembagian koeria, negeri dan loehat sudah dianggap stabil. Sebagai contoh, dalam ‘Nota omtrent de inlandsche rechtsgemeenschappen in het gewest Tapanoeli, 1930’ di onderafdeeling Ankola en Sipirok terdapat 18 koeria. Tiga koeria di Sipirok (Baringin, Sipirok dan Parau Sorat) adalah marga Siregar. Sementara di sekitar Padang Sidempuan, koeria adalah marga Harahap. Daftar lengkap koeria dan marga tahun 1930 lihat tabel.


Marga sebagai kesatuan sistem budaya

Dalam buku Nota Omtrent de Inlandsche Rechts Gemeenschappen in het Gewest Tapanoeli (istilah sekarang Hasil Kajian Akademik Pembentukan Pemerintahan di Tapanoeli) yang diterbitkan tahun 1930 menyebutkan bahwa fondasi dari masyarakat Batak secara substansial sama di mana-mana yang pada prinsipnya terdiri dari tiga hal: 1. Perbedaan tiga kelompok yang disebut Dalihan Na Toloe; 2. Masyarakat hokum adat tertinggi adalah otoritas monarki, asosiasi huta (desa) yang bertumpu pada huta induk dan huta-huta turunannya. Kepala federasi huta disebut Raja panoesoenan. Di daerah marga yang berkuasa biasanya diberikan tanah kepada anakboru dimana adakalanya juga diberikan kepada mora; 3. Memiliki silsilah (stambuk).



Jika urutan ini dibalik maka setiap penduduk Batak haruslah dapat dilacak siapa dia dalam garis keturunan yang disebut tarombo (stambuk). Dengan demikian, individu membentuk keluarga dan lalu keluarga membentuk huta. Lalu huta-huta ini dapat dibedakan antar huta baru (ripe) dan huta induk. Urutan huta sejatinya bersesuaian dan dijalankan sesuai dengan urutan dalam garis keturunan. Di dalam keluarga, anak yang sulung akan diprioritas untuk membuka huta baru (mamungka huta). Dengan demikian, huta induk secara horizontal adalah huta yang lebih tua dari huta-huta yang lain, dan secara vertical huta induk merupakan kepala huta yang lebih tua di dalam silsilah marga (stambuk). Kepala huta induk adalah panusunan bulung yang menjadi kepala federasi huta-huta yang semarga yang dengan sendirinya akan membentuk otoritas monarki. Dari sinilah hokum adat dimulai yakni adat sekahanggi atau semarga.



Sementara itu dalam hubungan perkawinan, kawin semarga tentu tidak dibolehkan. Kesadaran dan pemahaman ini adalah alamiah manusia. Karenanya antara keluarga atau huta akan terjadi hubungan perkawinan dengan marga lain. Perkawinan antar marga ini bersifat asimetris. Artinya, perkawinan secara alamiah harus dengan marga lain, juga dimungkinkan kedua marga melakukan hubungan perkawinan balik yakni dengan anak namboru dengan boru tulang. Pola hubungan perkawinan semacam ini tidak hanya diinginkan kedua belah pihak tetapi juga dengan sendirinya menyatukan dua marga (mora-anak boru) menjadi satu kesatuan yang solid. Sebaliknya, bahwa keluarga dalam posisi menerima boru dari marga lain, maka posisi keluarga sebagai anak boru dari mora. Sang menantu perempuan berharap anak-anaknya mengambil boru dari pihak keluarganya. Ini juga akan memperkuat gubungan keluarga. Relasi tiga keluarga ini, kahanggi, anak boru dan mora akan membentuk hubungan kekerabatan yang sangat kuat yang disebut dengan terminologi Dalihan Na Tolu.



Dalihan Na Tolu adalah inti kebudayaan (core culture) penduduk Tanah Batak. Struktur masyarakat Dalihan Na Tolu dapat timbul dimana apakah di Angkola, di Mandailing atau di Padang Bolak, atau ditempat lainnya di Silindoeng, di Toba, di Simalungun, di Karo, di Pakpak, di Alas dan di Gayo. Yang menjadi pertanyaan, darimana konsep ini dimulai dan bagaimana konsep ini mengalami difusi ke seluruh penjuru tanah Batak. Mungkin ini sangat naïf mengatakan bahwa konsep ini menyebar dari satu tempat ke tempat lain yang jauh melalui migrasi alamiah (tradisi mamungka huta). Sebab konsep marga tentu baru lahir kemudian setelah adanya penyebaran penduduk. Jika konsep ini menyebar melalui migrasi alamiah tentu saja terminologinya akan sama untuk semua dialek bahasa. Namun kenyataannya terminologinya berbeda-beda.

Elemen dasar dari kebudayaan dapat ditelusuri melalui bahasa. Antar satu dialek dengan dialek secara linguistik memiliki akar bahasa yang sama (sangat dekat) untuk membedakan dengan bahasa-bahasa Melayu yang menjadi tetangga dekatnya. Dalam hubungannya dengan kebudayaan Batak, konsep dalihan na tolu haruslah dipandang sebagai elemen tambahan yang dikembangkan lebih lanjut. Oleh karenanya, besar kemungkinan bahwa konsep ini menyebar tanpa adanya migrasi atau mengalami difusi dari satu tempat dan diadopsi di tempat lain, baik oleh penduduk yang memiliki bahasa/dialek yang sama maupun yang berbeda dialek.
.
Adanya perbedaan dialek dari akar bahasa yang sama tentu saja tidak terjadi dalam puluhan tahun, tetapi berevolusi dalam ratusan tahun atau bahkan ribuan tahun. Jika berpedoman pada penemuan candi di Simangambat (abad kedelapan) atau candi Padang Lawas (abad kesebelas atau sebelumnya), maka penduduk Batak di Angkola, Mandailing dan Padang Lawas sudah barang tentu sudah hadir sebelum datangnya pedagang-pedagang dari Ankola, Karnataka, India selatan dan pedagang-pedagang dari Panai, Ceilon. Penduduk Angkola, Mandailing dan Padang Lawas secara teknis memiliki dialek yang sama (paling tidak sangat dekat secara linguistic satu sama lain).

Konsep dalihan na tolu yang diselenggarakan dalam basis marga dan ketaatan pada silsilah di dalamnya terkandung beberapa unsur penting seperti garis keturunan ayah (patrilineal genealogis), larangan kawin semarga dan kesadaran tentang pentingnya teritorial. Unsur pertama dan melembagakan silisilah haruslah didukung dengan adanya sistem penulisan (adanya aksara). Unsur kedua tentang larangan kawin semarga boleh jadi merupakan perluasan dari konsep perkawinan dalam agama Islam (muhrim) yang diserap dan sesuai dengan sistem marga (clan). Unsur ketiga kesadaran teritorial adalah wujud dari pemahaman migrasi alamiah yang membentuk otoritas monarki untuk mengatur resource bagi marga ketika dari sisi lain juga marga lain mengalami migrasi alamiah. Artinya perkembangan penduduk yang tak terbatas mendapat tekanan pada luas penguasaan resource (lahan) oleh marga yang saling mendekat dengan marga lain.

Konsep dasar dalihan natolu boleh jadi merupakan konsep yang dikembangkan secara dialektis antara unsur-unsur tradisi (lokal) yang sudah melembaga sejak lama dengan unsur luar seperti pengaruh India (Hindu/Budha) dan pengaruh Islam. Jika mengacu pada temuan Uli Kozok bahwa aksara Batak berkembang pada mulanya di selatan Tanah Batak (Angkola, Mandailing dan Padang Lawas). Apakah tidak mungkin konsep dalihan na tolu juga berkembang dari selatan Tanah Batak?  Pengaruh Hindu/Budha dan Islam diduga sangat intens terjadi di wilayah-wilayah dimana ditemukan candi yang sekarang. Intensitas peradaban itu terjadi di sekitar dimana tempat candi berada. Konsep garis keturunan laki-laki (patrilineal) dan larangan kawin semarga lebih cenderung berasal dari pengaruh Islam daripada India. Sedangkan konsep otoritas monarki cenderung berasal dari pengaruh India. 

Konsep dalihan na tolu tampaknya adaptif dengan permasalahan serupa itu. Karenanya, mamungka huta di dalam teritori marga lain dimungkinkan karena terlembagakannya azas pertalian hubungan perkawinan dalam konsep mora-anak boru. Seiring dengan waktu, anakboru yang mamungka huta juga akan berkembang sendiri secara internal (marga) yang memunculkan migrasi alamiah dan terbentuknya ripe dari pihak anak boru yang pada gilirannya panusunan bulung baru.

Aparatur pemerintah Afd. Padang Sidempuan (kini Tabagsel), 1924
Gambaran serupa inilah yang pertama kali disadari oleh pemerintah kolonial datang. Atas dasar ini pemerintah kolonial menyusun administrasi pemerintahan dimana di afdeeling Mandheling en Ankola diperkenalkan koeria sedangkan di afdeeling Padang Lawas tetap menggunakan terminologi lokal yakni loehat (sebagaimana di Silindoeng dan Toba yang awalnya disebut hoendoelan diganti dengan negeri). Dari tiga fondasi kebudayaan Batak inilah pemerintah kolonial memulai segala sesuatunya dalam menyusun struktur pemerintahannya.

Namun demikian, dalam menyusun pemerintahan tersebut konsep biaya dan penerimaan yang menjadi prinsip dasar dari tujuan utama kolonial, maka dalam penyusunan ini akan memiliki konsekuensi terhadap tatanan masyarakat yang sudah sejak lama terbentuk. Hal ini karena setiap teritorial akan dibentuk administrasi pemerintahan (koeria, luhat dan negeri) dimana pemimpin yang diangkat akan diberi gaji di satu pihak dan di pihak lain para pemimpin ini diberi tanggungjawab untuk memimpin penduduk (pada basis marga) untuk menghasilkan produksi pada tingkat tertentu yang diinginkan. Basis perhitungan produksi ini adalah besarnya jumlah penduduk dan luas lahan yang tersedia. Akan tetapi antar territorial marga memiliki pertumbuhan dan jumlah penduduk yang berbeda-beda. Akibatnya di satu sisi suatu wilayah marga dapat dibentuk beberapa koeria dan di sisi lain juga dimungkinkan untuk marga anakboru menjadi koeria.


Pembentukan pemerintahan lokal ini agak sedikit lebih rumit di Padang Lawas, Silindoeng dan Toba. Di tiga wilayah ini begitu banyak Raja Panoesoenan tetapi dengan kepemilikan wilayah yang relatif kecil dan jumlah populasi yang minim serta tingkat daya dukung lahan (ketersediaan dan kesuburan lahan) yang terbatas. Akibatnya, pembentukan pemerintahan agak sedikit terhambat dan terlambat yang pada akhirnya tidak semua nominasi disahkan (staatsblad), seperti di Silindoeng dan Toba hanya 28 yang diformalkan dari 178 negeri (7 di Silindoeng, 8 di Samosir, 9 di dataran tinggi Toba, 4 di Toba plus 3 buah di Dairi). Di Padang Lawas sejak 1914 hanya terdiri dari 5 loehat (bahasa Batak: loeat). Hanya beberapa huta induk yang  kompeten, banyak huta-huta baru dari migrant baru (dari Mandailing). Beberapa loeat harus dilakukan merger. Jumlah loeat yang disahkan menjadi terbilang sedikit dan (apakah memerlukan regrouping kembali?). Di tiga wilayah itu, implikasinya ada sejumlah daerah-daerah marga yang terabaikan dan kurang tersentuh oleh pembangunan (istilah sekarang: daerah tanpa PAD akan kesulitan membangun daerahnya sendiri).
Penyebaran marga di Tanah Batak


Menelusuri serupa apa Tanah Batak di masa lampau tentu sangatlah sulit dan samar. Gambaran terawal tentang Tanah Batak di Angkola yang bersumber dari seorang Tionghoa di Batavia pada tahun 1701. Pedagang ini menyebut nama tempat bernama Pande yang mirip bunyi seperti Panai (di muara Sungai Barumun). Selain itu, diceritakan juga orang Tionghoa tersebut bahwa aktivitasnya bolak-balik antara Pande dan kawasan pegunungan Ankola (Ancools gebergte). Tambahan lagi, juga disebut bahwa tempat tinggal orang Tionghoa itu berada di Ankola [lihat: Daniel Perret, ‘Pemeriksaan atas Seorang Pedagang Cina mengenai Orang Batak yang berada di Sumatera Utara, 1 Maret 1701’. Kemudian gambaran yang lebih lengkap tentang Tanah Batak di Angkola dicatat oleh Miller yang pernah berkunjung ke Angkola dan Padang Bolak pada tahun 1772 (lihat buku Marsden, 1811).

Bagas Godang Hoetaimbaroe, 1888 (tampak depan)
Miller tiba di Loemoet, berdasarkan pemandu, Miller diterima Radja dengan upacara besar dan memberi hormat dengan tembakan ke udara dari tiga puluh senjata (21 Juni, 1772). Kemudian pada tangga 5 Juli 1772, Miller tiba di Terimbaru (Hutaimbaru), sebuah kampong besar di tepi selatan dataran Ankola. Tanah di sekitar ini sepenuhnya dibajak dengan kayu secara baik dan ditaburi dengan padi atau jagong, di padang rumput mereka terlihat banyak ternak kerbau, kambing dan kuda. Setelah diinformasikan kepada Radja, lalu menyuruh anaknya datang menemui kami dengan 30-40 orang bersenjata tombak dan senapan locok (matchlock), lalu membawa kami, yang sepanjang jalan dilakukan pemukulan gong dan tembakan ke udara. Radja yang menerima kami bertubuh besar, dan dengan hormat memerintahkan untuk menyembelih kerbau. Kami diminta menginap semalam. Saya mengamati semua perempuan yang belum kawin mengenakan sejumlah cincin timah besar di telinga mereka (penyelidikan saya lebih lanjut bahwa timah itu datang dari Selat Malaka). Ketika kami melanjutkan perjalanan Radja meminta anaknya untuk mengawal kami. Dari Terimbaru kami terus ke Sa-masam (Simasom). Kami bertemu radja yang mana dihadiri 60-70 orang dengan bersenjata lalu menyiapkan sebuah rumah untuk kami dan memperlakukan kami dengan keramahan dan hormat. Wilayah ini dikelilingi bukit yang dipenuhi kayu dan sebagian besar tanah padang rumput untuk ternak mereka yang tampaknya memiliki kelimpahan yang besar. Pada tanggal 14 Juli 1772, kami meninggalkan Batang Onang untuk pulang dan berhenti untuk bermalam di Koto Moran (Huta Morang) dan malam berikutnya tiba kembali di Sa-masam.

Kisah Charles Miller terbilang jauh lebih lengkap daripada pedagang Tionghoa. Miller tidak hanya menggambarkan rute perjalanannya secara lengkap, juga sudah teridentifikasi nama-nama huta di pedalaman Tanah Batak. Huta Batang Onang adalah pelabuhan di pedalaman Tanah Batak di hulu sungai Barumum. Ini berarti Charles Miller sesungguhnya telah melakukan perjalanan semacam ekspedisi rute coast to coast. Sebab Batang Onang adalah pusat perdagangan di sisi timur Ankola, sedang pusat perdagangan di sisi barat Ankola adalah Loemoet. Dengan demikian, Ankola secara praktis terbuka oleh pedagang baik dari pantai timur maupun pantai barat (jauh sebelum tahun 1701).

Dalam laporan pedagang Tionghoa (1701) dan botanis Miller (1772) tidak terdeteksi adanya marga. Laporan pertama yang mengidentifikasi adanya marga di Tanah Batak adalah buku Verzamileng Mandheling en Pertibie karya Willer yang diterbitkan pada tahun 1846 (Willer adalah asisten Residen Mandheling en Ankola sejak 1841). Ini dengan sendirinya Willer adalah orang pertama yang melaporkan adanya marga di Tanah Batak. Marga adalah kesatuan keluarga berdasarkan genealogis. Menurut Willer ada empat marga yang dominan di Afdeeling Mandheling en Ankola, yakni: Nasoetion, Loebis, Harahap dan Siregar. Marga Nasoetion dan Loebis umumnya di Mandailing dan marga Harahap dan Siregar di Angkola.

Sketsa sebaran marga oleh Topographisch Bureau (1886)
Berdasarkan peta persebaran marga yang diterbitkan pada tahun 1886 wilayah Harahap adalah Angkola dan Portibie; wilayah marga Siregar adalah Sipirok dan sebagian Padang Bolak; wilayah Nasoetion adalah di sekitar Batang Gadis; dan Loebis di Kotanopan serta Hasibuan di Padang Lawas (Sibuhuan). Akan tetapi di dalam wilayah marga dominan ini juga terdapat marga-marga yang lain. Misalnya di wilayah marga Harahap terdapat enclave Nasoetion dan Siregar; di wilayah Hasibuan terdapat marga Loebis, Nasoetion, Harahap dan Daulay; di wilayah marga Siregar terdapat marga Harahap dan Daulay.

Sketsa sebaran marga oleh Topographisch Bureau (1886)
Yang cukup menarik adalah wilayah marga dominan Dalimunte berada di Labuhan Batu (sekitar Merbau), dalam perkembangannya juga terdapat di Angkola. Jarak antara Merbau dan Angkola tampak sangat berjauhan. Dalam table 1930 yang menjadi koeria di Muara Tais dan Sigalangan adalah marga Dalimunte. Masih di daerah yang sama juga ditemukan marga Daulay yang menjadi koeria di Pintu Padang (daerah marga dominan Daulay berada di Padang Bolak). Di wilayah Batang Toru marga Siregar dan Poeloengan berbagi wilayah, dimana yang menjadi koeria di Batang Toru adalah marga Pulungan, di Marantjar, Huraba dan Sianggoenan yang menjadi koeria adalah marga Siregar (masih satu teritori yang bersinggungan dengan marga Siregar di Sipirok). Persebaran marga Pulungan juga terdapat di Siondop dan di Sayur Matinggi dimana di dua wilayah itu yang menjadi koeria adalah marga Pulungan  (teritori Batang Toru, Siondop dan Sayur Matinggi masih satu teritori garis lurus). Marga Siregar juga menjadi koeria di Loemoet dan marga Pohan di Anggoli.


Dalam buku Nota Omtrent de Inlandsche Rechts Gemeenschappen in het Gewest Tapanoeli (1930) dijelaskan bahwa di dalam wilayah marga-marga yang dominan ini dalam perkembangannya muncul marga-marga yang lain (terutama anak boru tetapi jarang untuk mora). Hal ini dapat ditafsirkan bahwa pemberi boru (pemilik wilayah marga) cenderung memberikan tanah kepada anak boru agar hubungan antar marga secara wilayah menjadi lebih berdekatan. Alasan lain adalah agar pada nantinya anak-anak mereka dari pihak anakboru untuk kembali mengambil boru tulang (generasi berikutnya).

Wilayah-wilayah anakboru ini di dalam wilayah marga dominan semakin meluas. Wilayah-wilayah anakboru juga dapat dikatakan sebagai wilayah marga dominan tetapi dari para turunan mereka yang perempuan. Besar kemungkinan hal inilah yang menyebabkan adanya marga lain di dalam wilayah marga dominan. Sebagai contoh, adanya wilayah marga Dalimunte dan wilayah marga Daulay di Angkola. Sebab berdasarkan peta marga 1886, wilayah dominan marga Dalimunte adalah di Laboehan Batu (sekitar Merbau) dan wilayah dominan marga Daulay di Padang Bolak atau bisa jadi sebaliknya.     

Soal wilayah dan nama marga Daulay ini ada sedikit petunjuk dari laporan Pinto (walau hal ini masih terlihat samar, karena minimnya bukti). Pinto dalam laporannya 1539 menyebut adanya Kerajaan Aru (Kingdom of Aroe) dan juga disebutnya Battak Kingdom dimana dutabesarnya datang ke Malacca dan mengajak berkolaborasi dalam menyerang Atjeh. Pinto memenuhi undangan sang dutabesar pada hari kelima bulan kedelapan. Nama duta besar ini disebut Pinto bernama Quareng Daholay. Bunyi nama ini mirip dengan Karim Daulay. Pertanyaannya, apakah Daulay adalah nama marga dan Karim adalah nama yang umum di Timur Tengah. Menurut laporan Pinto, Kerajaan Aru, raja dan penduduknya semua beragama Islam. Sementara wilayah dominan marga Daulay ditemukan berada di Siunggam, suatu tempat yang diduga sebagai pusat perdagangan sejak era Hindu/Budaha (nama Siunggam diasosiasikan dengan nama yang berasal dari India selatan). Sebab ada dugaan bahwa Kesulatan Aru (Islam) menggantikan Kerajaan Aru (Hindu/Budha) di Padang Bolak.

Mundur ke belakang (berdasarkan bukti candi di Simangambat abad kedelapan), diduga bahwa Kerajaan Ankola di Angkola (sungai Batang Angkola) sudah ada sebelum adanya Kerajaan Aru di Panai (sungai Batang Pane) yang mengindikasikan bahwa wilayah dominan marga Daulay di Angkola lalu kemudian Siunggam menjadi wilayah anak boru (marga Daulay) di wilayah dominannya (marga Harahap) di Padang Bolak. Dalam laporan Pinto, Karim Daulay menyebut dirinya adalah ipar dari radja Kerajaan Aru (yang boleh jadi marga Harahap, karena marga Harahap adalah marga dominan di Padang Bolak utamanya dari Batang Onang hingga Portibi). Oleh karenanya asal marga dominan marga Daulay maupun Dalimunte bisa jadi memang dari dulu berada di Angkola.

Dari catatan tersebut di atas, ada beberapa hal yang bisa digambarkan bahwa penduduk Batak paling tidak 13 abad (abad kedelapan) yang lalu sudah ada di Angkola dan Padang Bolak. Lalu kemudian, adanya marga ini sudah terdeteksi adanya sejak lima abad yang lalu (abad ke enam belas). Adanya pembentukan marga haruslah diartikan setelah adanya peradaban baru (perkembangan sistem social yang lebih kompleks dari sistem sosial yang masih sederhana yang hanya didasarkan pada hubungan kekerabatan lewat perkawinan). Oleh karenanya, adanya aturan marga di Angkola dan Padang Lawas dimulai antara abad kedelapan dan abad ke enambelas.

Marga adalah bagian dari sistem sosial

Pernikahan dalam suku (marga) dilarang (lihat Willer. 1846. Verzamileng Mandheling en Pertibie). Willer menyebut incest antara iboto (kakak dan adik) ini akan menjadi keduanya dihukum dengan hukuman mati, dan dalam derajat lebih lanjut dengan denda dan pembuangan. 

Untuk mendapatkan gambaran tentang perihal marga dalam system social dapat disimak hasil sidang adat sebagai berikut (disalin sesuai asalinya dari buku Nota Omtrent de Inlandsche Rechts Gemeenschappen in het Gewest Tapanoeli, 1930):

Hasil kerapatan di Sigalangan. Afschrift (salinan). Bijlage (Lampiran) VM. Procesverbaal. (tertulis apa ada dalam bahasa Melayu) Pada ini hari Ahad tanggal 12 November 1922 Rapat adat Sigalangan bersidang di bagas na godang Sigalangan memeriksa perkara adat jang bersalahan didalam dakwa-dakwa namora-namora dan Bajo-Bajo Sigalangan jang diwakilkan pada Mangaradja Panoesoenan jaitoe mendakwa Baginda Parimpoenan dihadiri oleh:
1. Mangaradja Pinondang Baganding Toea Sodangdangon,
koeriahoofd Sigalangan, Voorzitter (Ketua)
2. Soetan Batoga, kepala kampoeng Sidadi,
3. Dja Dongan, kepala kampoeng Sitampa,
4. Baginda Biangkaro, kepala ripe Sidadi,
5. Dja, Doellah, penghoeloe pasar Sigalangan,
6. Dja Kopal, Kepala ripe Sigalangan,
7. Balang Laoet, kepala ripe Sidadi,
8. Soetan Bolat, kepala ripe Sidadi,
9. Dja Mopoel, kepala ripe Sigalangan,
10. Dja Taoetan, kepala ripe Sigalangan,
11. Dja Kamet, kepala ripe Sitampa,
12. Soetan Gerang, Kahanggi,
13. Soetan Mangasa Pintor, Kahanggi,
14. Mangaradja Sokondar, Kahanggi,
15. Mangaradja Irro, Kahanggi,
16. Baginda Gadombang, Kahanggi,
17. Dja Nagoeroe, Kahanggi,
18. Datoe Maradjar, Kahanggi,
19. Orang Kaja Bosi, Bajo-Bajo Adat (kini Anakboru),
20. Dja Hisar, Bajo-Bajo Adat,
21. Dja Isa Bajo-Bajo Adat,
22. Dja Loebis, Bajo-Bajo Adat,
23. Dja Diatas, Bajo-Bajo Adat,
24. Dja Latip, Bajo-Bajo Adat,
25. Bandaro Koening, Bajo-Bajo Adat,
26. Dja Rahim, Bajo-Bajo Adat,
27. Dja Marip, Bajo-Bajo Adat,
28. Baginda Borajoen, Bajo-Bajo Adat,
29. Baginda Ginalahon, Natobang (kini Hatobangon),
30. Baginda Saboereon, Natobang,
31. Marah Sian, Natobang,
32. Mangaradja Martirka, Natobang,
33. Kali Atas, kepala kampoeng Djandji Manaon, leden (anggota).

DAKWA.
Mangaradja Panoesoenan menerangkan bahasa Baginda Parimpoenan soedah kerap kali melanggar adat sehingga mendjadikan bingit pada radja2 dan namora2 jaitoe dakwa I. Baginda Parimpoenan mengawini seorang perampoean nama si Naimat (mendjadi bininja) jaitoe saudara Dja Ngiro marga (soekoe) Siregar. Adapoen soekoe Siregar itoe satoe toeroenan dengan soekoe Dalimoente (soekoe Baginda Parimpoenan) djadi njata Baginda Parimpoenan bersoembang dengan Si Naimat. Dan lagi poen orang toea Dja Ngiro nama Dja Midin masoek kahanggi dengan Mangaradja Pinondang Beganding Toea Sodangdangon.

Ditanja Baginda Parimpoenan betoel apa tidak dakwa jang terseboet.
Baginda Parimpoenan mendjawab: Itoe tidak betoel, djoega selaloe Saja dengar Dalimoente dengan Siregar tida dilarang adat dikawinkan karena selaloe kedjadian. Dan saja minta diterangkan bagimana pertalian Dalimoente dengan Siregar.

Mangaradja Panoesoenan mendjawab: Dahoeloe ada seorang kampong Toekkot ni Soloe (Toba) nama toean Bonggoer mempoenjai anak tiga orang nama toean Moente, toean Ritonga dan toean Regar. Dan toean Moente, itoelah toeroenan soekoe Dalimoente. Dan toean Ritonga, itoelah toeroenan soekoe Ritonga.Dan toean Regar, itoelah toeroenan soekoe Siregar. Itoelah sebabnja saja menerangkan Baginda Parimpoenan dengan Si Naimat bersoembang karena Baginda Parimpoenan toeroenan dari toean Moente anak dari toean Bonggoer dan Si Naimat toeroenan dari toean Regar anak dari toean Bonggoer djoega.

Dipanggil Dja Ngire oemar ± 30 tahoen pekerdjaan berniaga di Sigalangan mendjadi saksi dalam perkara ini dan ditanja. Betoel kamoe poenja soekoe Siregar?
Dja Ngire mendjawab: Betoel.

Permintaan Baginda Parimpoenan soepaja diterangkan dari asal sampai kesoedahan bagaimana pertalian dan pertjeraian soekoe Dalimoente dengan soekoe Siregar.

Di stem dari permintaan itoe. 27 orang mengatakan tida perloe, karena itoe permintaan hanja mentjari kesilapan dan 6 orang mengatakan perloe karena mereka beloem tahoe bagaimana jang sebenarnja.

Kesoedahan stem permintaan Baginda Perimpoenan itoe ditoelak.

Ditanja Dja Ngire. Bagaimana pertalian kamoe dengan Mangaradja Pinondang. Djawab Dja Ngire. Nenek saja marpamere dengan orang toea (mak) Mangaradja Pinondang.

Ditanja Mangaradja Pinondang betoel apa tida. Djawab: Betoel, akan tetapi beloem dilainkan bahagian Dja Ngire dari hal bagian ‘djoehoet Moelak’.

Joustra menyebutkan bahwa hubungan seksual antara seorang pria dan seorang wanita dari marga yang sama dianggap incest. Anggota marga dari generasi yang sama menganggap satu sama lain sebagai saudara dan saudari. Namun marga asli yang populasinya besar ada yang membagi menjadi beberapa submarga yang lebih kecil dan tetap menjaga adanya persatuan. Oleh karena itu di banyak daerah hal serupa ini cenderung mengatakan larangan pernikahan tidak melanggar prinsip marga yang semula (marga awal), tetapi tetap menjaga agar kelompok-kelompok tidak terlalu berdekatan (lihat M. Joustra. Batak Spigel. SC van Doesburgh. Lead, 1926).
Dalam satuan-satuan yang lebih kecil misalnya huta (atau yang lebih kecil) juga terjadi persebaran lintas marga. Hal ini disebabkan karena adanya perkawinan antar marga. Jika di masa doeloe ‘mangalap’ boru bisa jadi sangat jauh tempatnya, tetapi dengan menyebarnya marga-marga lintas wilayah marga, tempatnya menjadi lebih dekat. Pada masa kini, setiap huta atau kampong boleh jadi setiap marga ada. Namun pemilik huta masih dapat ditelusuri marga apa yang dahulunya yang mamungka huta.
Tunggu deskripsi lengkapnya…


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe.


5 komentar:

Unknown mengatakan...

Yang cukup menarik adalah wilayah marga Dalimunte berada di "Laboehan Baru" Maksudnya yg di tanda kutip labuhan baru atau losung batu...? Jadi bingung saya bacanya Bang..!
Ditunggu lanjutannya Bang...!

Akhir Matua Harahap mengatakan...

Sudah diedit, Laboehan Baru seharusnya Labuhan Batu (di sekitar Merbau). Artikel ini pada dasarnya masih memerlukan pengembangan (masih mencari sumber-sumber tambahan sambil memverifikasi data dan informasi yang sudah ada, tapi belum dipublish). Artikel ini adalah masih satu rangkaian (saling terkait)dengan empat artikel sebelum ini (Sejarah Kerajaan Aru, Sejarah Sisingamangaraja, Sejarah Padang Lawas dan Sejarah Angkola). Selamat menunggu ya. Horas be.

Unknown mengatakan...

Andigan dope lanjutan na abanganda...?
Anso torang martamba parbinotoan tarombo on, khususna harahap,
harana hami pe harahap sian sosopan.
Hehehe...

Unknown mengatakan...

Luar biasa artikel, penulisan jelas terstruktur on jala godang parbinotoan, lanjutkan Tulang - Mauliate.

Tangerang, 02-02-2019 02:45 WIB.

dogom mengatakan...

Zaman dulu jarak tidak menjadi masalah, orang orang batak biasa berpindah kampung dengan jarak puluhan kilometer. Jadi marga Dalimunte pindah dari Merbau Labuhan Batu ke Sigalangan Angkola adalah wajar.
Marga Daulae yang ada di Sunggam sampai sekarang baru sekitar 6 generasi, sebelumnya mereka berasal dari Sunggam Harangan. Kemungkinan besar Daulae yang ada di Pintu Padang Angkola berasal dari Sunggam Harangan bukan dari Sunggam yang sekarang.
Daerah Angkola lebih detailnya Angkola Jae itu merupakan daerah perpindahan dari Padang Bolak Harangan atau dari Sipirok Harangan, termasuk sebagian Ankola Juli seperti Pargarutan dan sekitarnya.