|
Isi laporan Schnitger, 1935: Simangambat abad ke-8 |
Sejarah Angkola adalah sejarah yang seusia dengan namanya. Nama Angkola semakin populer pada abad kesebelas (karena dikaitkan dengan prasasti Tanjore, India selatan 1030 pada Dinasti Chola). Namun daerah yang kemudian disebut Angkola itu, besar kemungkinan sudah dikenal jauh sebelumnya, ketika pedagang-pedagang Ankola (kini Karnataka) dan pedagang-pedagang Panai (di Ceilon, kini Sri Lanka) berlalu lalang di sekitar sungai yang kini dikenal sebagai sungai Batang Angkola (di Tapanuli Selatan). Pada abad kedelapan orang-orang dari Ankola dan Panai ini membangun candi di Simangambat, Siaboe (candi yang dibangun lebih awal dari candi Borobudur). Pada masa itu Sriwijaya di Palembang belum sampai pada puncak kejayaannya. Sehubungan dengan itu, jika dalam penulisan sejarah nusantara, era pembangunan Borobudur disebut Jawa Kuno (Mataran kuno) dan era kejayaan Sriwijaya disebut Melayu Kuno, maka masa dimana pedagang-pedagang Ankola di daerah Angkola dan pedagang-pedagang Panai di daeah Padang Bolak (kini lebih populer dengan sebutan Padang Lawas) boleh juga disebut sebagai Batak kuno. Oleh karenanya, seharusnya terdapat tiga tempat permulaan peradaban baru (yang telah dikenal) di Nusantara, yakni: Jawa kuno, Melayu kuno dan Batak kuno--suatu masa kapan peradaban lebih lanjut berkembang dan suatu tempat dimana awal perkembangan peradaban dimulai. Bagaimana penjelasannya? Mari kita lacak!.. . . ..
***
Jung
Huhn seorang geolog, wakil pemeritah Belanda di Afdeeling Pertibie (Portibi) adalah
orang luar pertama yang melaporkan adanya candi di Portibie (1846). Berdasarkan
penemuan ini, Jung Huhn bersama Willer melakukan penyelidikan awal tentang komplek percandian
di daerah Portibie (nama Portibi sejak kehadiran Belanda di Portibie kerap dipertukarkan diganti Padang Lawas). Deskripsi hasil penyelidikan mereka menjadi bagian dari laporan masing-masing yang dapat dibaca pada buku Jung Huhn dan buku Willer yang telah diterbitkan. Setelah
dua orang ini berlalu tidak ada kabar berita lagi tentang percandian di Padang Lawas.
Willer adalah
Asisten Residen pertama Afdeeling Mandheling en Ankola (Mandailing dan
Angkola). Sementara, Jung Huhn adalah seorang tenaga ahli yang ditugaskan oleh Gubernur Jenderal di Batavia
untuk melakukan pemetaan geologi di Tapanoeli. Jung Huhn memulai ekspedisi dari
Teluk Sibolga memasuki daerah Angkola dan kemudian daerah Portibie. Selama
bertugas di Portibie, Jung Huhn diangkat sebagai wakil pemerintah di Afdeeling Portibie.
Pada saat bertugas di Portibie inilah Jung Huhn mengkonfirmasi adanya bukti candi
(berdasarkan laporan masyarakat). Willer yang juga adalah ahli geografi sosial saling bertukar temuan dengan Jung Huhn..
|
Candi di Portibi (Westenenk, 1920) |
Pada
tahun 1920 Residen Palembang, Westenenk yang telah mengumpulkan bukti-bukti
candi di Palembang, merasa perlu untuk berkunjung ke Padang Lawas. Westenenk
adalah orang ketiga yang berpartisipasi dalam mengungkap percandian di Padang
Lawas. Pada masa Westenenk inilah seorang arkeolog bernama FM Schnitger
ditempatkan di Palembang untuk memimpin lembaga kepurbakalaan Sumatra yang baru
dibentuk.
Setelah beberapa tahun FM Schnitger menjabat sebagai Kepala Pusat Kepurbakalan Sumatra, entah siapa yang melaporkan adanya candi di Simangambat, Siaboe, arkeologi ini tiba-tiba kaget luar biasa dan bergegas dari Palembang datang ke
Siaboe untuk mengkonfirmasi keberadaan candi Simangambat. Tanpa pikir panjang, FM
Schnitger dan tim langsung melakukan ekskavasi terhadap candi Simangambat dan
laporannya dipublikasikan pada tahun 1935 (lihat Het nieuws van den dag voor
Nederlandsch-Indie, 05-06-1935 dan Bataviaasch nieuwsblad 05-06-1935).
Laporan FM Schnitger tersebut kemudian diterbitkan dalam bentuk brosur 38 halaman 'Oudheidkundige
Vondsten in Palembang' oleh penerbit EJ Brill, Leiden. 1936. Isi laporan tersebut hasilnya sangat menggemparkan: 'Candi (Hindu) Simangambat adalah candi tertua di Sumatra dan candi
yang mendahului pembangunan candi (Budha) Borobudur di Jawa Tengah'.
Keberadaan
candi di Simangambat boleh jadi merupakan garis continuum kehadiran orang-orang
India selatan di Sumatra: Baros, Siaboe dan Padang Lawas. Sebagaimana
diketahui, kota tertua di nusantara yang pernah tercatat adalah Baros (konon
sudah dikunjungi oleh orang-orang Mesir kuno, jaman prasejarah). Koloni
orang-orang India selatan di Baros besar kemungkinan adalah orang-orang India
selatan yang melakukan migrasi setelah mengetahui banyak penduduk lokal di sekitar
sungai Batang Angkola di Siaboe mengusahakan tambang emas (pertambangan emas masih ditemukan hingga ini hari).
|
Bataviaasch nieuwsblad 05-06-1935 |
Berita
tersebuit pada kala itu sangat luar biasa, semua koran besar di Hindia melaporkan
atau melansirnya. Pada intinya, koran-koran tersebut mengabarkan sebagai
berikut: ‘Minggu lalu FM Schnitger dalam laporannya diketahui bahwa candi
Simangambat adalah candi Siwa yang dibangun pada abad kedelapan. Di dekat
Simangambat (sebelah selatan) juga ditemukan candi di Bonan Dolok. Candi
Simangambat adalah candi tertua yang dikenal di Sumatra. Candi ini mengandung
relief teratai dan yang paling mengejutkan ditemukan arca dewa Ganesha.
Bangunan candi ini merupakan lebih awal dari Borobudur dan diharapkan akan dilakukan perlindungan.
Hal yang luar biasa dalam penemuan ini, bahwa ada relief candi yang melukiskan suatu
daerah di Jawa. Sekarang, Mr. Schnitger sedang mempersiapkan suatu ekspedisi lanjutan
untuk eksplorasi ke percandian di Baroemoen, di mana mereka berharap untuk
membuat penemuan menarik di daerah arkeologi itu. Mr Schnitger dan tim pergi ke
daerah itu dan diperkirakan berlangsung selama dua minggu’.
Candi
Simangambat: Bukti awal keberadaan penduduk Angkola, Mandailing dan Padang
Lawas
Dalam
candi Simangambat ditemukan arca dewa Ganesha, dewa terkenal dalam agama Hindu,
dewa yang disebut dewa pengetahuan dan dewa kecerdasan (menjadi lambang ITB)
dan kerap diasosiasikan dengan para pedagang. Dalam kaitan arca di Simangambat
ini, sudah barang tentu orang-orang India selatan yang sudah berada di Siaboe
adalah dari kalangan pedagang (bukan dari golongan petani dan bukan golongan penambang).
Mereka adalah golongan pebisnis di tempat asalnya di India selatan yang
melakukan koloni di Siaboe. Adanya candi adalah bukti paling otentik adanya
koloni.
|
Peta sungai Batang Angkola 1843-1847 |
Secara teoritis
koloni India selatan di Siaboe bukanlah golongan masyarakat rendah dan miskin.
Mereka adalah golongan pebisnis kaya yang mampu melakukan pelayaran jarak jauh
yang membutuhkan biaya yang sangat mahal. Sebagai pebisnis, mereka datang
bukanlah untuk bertani atau menambang di daerah pedalaman di Siaboe. Mereka
datang dalam konteks keuntungan, dimana mereka mampu mengeluarkan biaya tinggi
dan risiko besar dan berharap semua pengeluaran akan tertutupi dengan perkiraan
hasil perdagangan yang sudah jelas sumbernya, dimana terdapat suatu daerah yang
mana penduduknya telah sejak lama memproduksi emas. Ini mengindikasikan bahwa
keberadaan penduduk Batak di Siaboe mendahului keberadaaan orang-orang (koloni)
India selatan di Siaboe. Dengan kata lain, penduduk Batak di Siaboe memiliki
kekayaan (hasil pertanian dan hasil pertambangan) dan orang-orang India selatan
yang datang jelas bukan orang miskin yang tidak mampu. Inilah prinsip dasar
adanya perdagangan, dan perdagangan adalah pemicu kehadiran koloni India
selatan di Siaboe dan inti perdagangan sendiri di Siaboe adalah produk yang
sangat bernilai yang disebut sere (emas).
|
Peta Kampung Simangambat, Siaboe (1943) |
Orang-orang
India selatan yang datang di Siaboe awalnya melakukan transaksi perdagangan
emas dengan penduduk lokal yang telah sejak lama mengusahakannya. Di jaman
kuno, tentu saja belum dikenal eksplorasi dan ekploitasi mineral (seperti di
era modern). Penemuan mineral di suatu lokasi di jaman kuno adalah penemuan
yang tidak disengaja oleh penduduk local. Inilah prakondisi perdagangan emas di
Siaboe. Penduduk yang sudah sejak lama berada di daerah itu menemukan emas,
mengusahakannya, lalu para pedagang lokal meneruskannya ke pusat-pusat perdagangan
emas yang sudah dikenal, yakni Baros (kota perdagangan paling kuno di
Nusantara). Oleh karena titik pelayaran orang-orang India selatan sudah ada
sejak lama di Baros, maka informasi keberadaan emas ini di Siaboe tentu saja
diperoleh dari Baros (dimana sudah ada koloni dari India selatan dari Tamil). Dari Baroslah pangkal perkara mengapa orang-orang India
selatan lainnya memulai koloni di Siaboe. Dibanding pedagang-pedagang manca negera lainnya
seperti Mesir, Arab dan Persia, pedagang-pedagang India selatanlah yang paling
dekat dengan alam yang menjadi dasar berperilaku mengapa mereka lebih adapatif jauh
masuk ke padalaman dan membuat koloni.
|
Candi Simangambat |
Banyak teori
atau interpretasi bahwa para pendatang adalah awal segalanya. Bahwa para
pendatang menurunkan segalanya. Teori tersebut atau interpretasi tersebut
kurang berdasar. Dalam era perdagangan, memang para pendatang cenderung telah
memiliki tingkat peradaban yang lebih tinggi, karenanya mereka adalah pembawa
ilmu pengetahuan dan cara-cara baru dalam kehidupan. Akan tetapi dalam konteks para
pedagang pendatang bukanlah segalanya. Para pedagang pendatang tidak menurunkan
penduduk dan mereka para pendatang bukan otomatis menjadi nenek moyang para
penduduk local. Bahwa diantara para pendatang dan para penduduk local kemungkinan
terjadinya perkawinan campuran sangat masuk akal. Para pendatang hanyalah
segilitir orang, sedangkan penduduk local cenderung lebih banyak dari para
pendatang. Adanya perkawinan campuran sulit mengubah posisi (dominan) suatu ras
dan yang dominan tetap ras dari penduduk local.
Dengan
bertitiktolak kolonisasi para pedagang India di nusantara, berdasarkan bukti
candi ditemukan tiga kolonisasi utama: Batak, Palembang dan Jawa. Dalam konteks
penduduk, awal kolonisasi India bukanlah titik tolak apa yang disebut Jawa kuno
(Jawa Tengah), Melayu kuno (Palembang) dan Batak kuno (Baros atau Siaboe).
Seharusnya, Batak kuno, Melayu kuno dan Jawa kuno harus diartikan sebagai masa
yang lebih tua (kuno) dari kehadiran para pendatang dari India. Oleh karena
dalam tradisi penulisan sejarah kuno hanya berdasarkan kedatangan orang-orang
India, maka hanya tiga lokasi penduduk kuno yang dikenal yakni Jawa kuno,
Melayu kuno dan Batak kuno. Padahal penduduk kuno di nusantara lebih dari tiga
tempat, ada Sunda kuno, Lampung kuno dan sebagainya. Batak kuno juga dapat
dirinci menjadi Angkola kuno, Mandailing kuno, Padang Lawas kuno, Silindung
kuno, Toba kuno dan seterusnya.
|
Peta Angkola dan Padang Lawas dibatasi Bukit Barisan (1919) |
Lantas,
kapan penduduk kuno ini muncul. Hanya membuang waktu untuk mengidentifikasinya.
Bagaimanapun tidak akan cukup informasi untuk menyimpulkannya, sebab semakin
kuno suatu hal di masa lampau semakin sulit menghadirkan bukti-buktinya. Meneruskan
mitos, legenda dan sebagainya hanya meneruskan cara-cara berpikir yang
sederhana terhadap persoalan yang sangat rumit (dan sangat kabur). Kita hanya
perlu membuat titik tolak dari bukti-bukti yang dapat diverifikasi. Candi Simangambat
adalah bukti terawal terhadap keberadaan penduduk Batak di Siaboe dan kita bisa
interpretasi bahwa keberadaan penduduk Siaboe jauh lebih awal dari kedatangan
orang-orang India selatan. Interpretasi lainnya adalah bahwa penduduk terawal di
Siaboe bukanlah sendiri, ada juga penduduk terawal yang ditemukan yang jauh
lebih tua atau sejaman atau lebih muda mungkin di Kotanopan (Mandailing), di
Sipirok (Angkola), di Portibi (Padang Lawas), di Tarutung (Silindung), di Porsea
(Toba) dan di tempat-tempat lainnya. Relasi dan sekuen dari penduduk local di
berbagai tempat tersebut tidak akan cukup informasi untuk membuat
konfigurasinya.
Candi Angkola, candi
Padang Lawas dan candi Mandailing
Candi
Simangambat di Siaboe tidak hanya mendahului candi Borobudur atau candi yang
lebih baru di tempat lain, tetapi juga candi Simangambat mendahului adanya
candi di Padang Lawas. Candi Siaboe diduga dibangun pada abad kedelapan dan
candi Padang Lawas dibangun pada abad kesebelas. Penanggalan tahun pembangunan
candi Padang Lawas hanya didasarkan pada prasasti Tanjore (1030). Namun
perbedaan jarak waktu antara Siaboe dan Padang Lawas dapat diinterpretasi lebih
pendek. Dengan kata lain, awal adanya candi di dua daerah (Siaboe dan Padang Lawas) dapat diinterpretasi
lebih dekat waktunya karena secara geografis kedua daerah hanya dibatasi oleh gunung
yang tidak terlalu tinggi yang disebut gunung Malea (berasal dari nama
Himalaya).
Prasasti
Tanjore sendiri terjadi pada dinasti Chola. Okupasi ekspedisi Chola di Padang
Lawas sesungguhnya melanjutkan koloni India dari Ceilon yang disebut Panai. Dengan
kata lain, orang-orang India dari Ceilon di Panai mendahului orang-orang India
selatan di tempat yang sama. Ini berarti candi-candi yang dibangun di Panai
tidak terlalu jauh dari candi di Siaboe. Para pendatang di Siaboe dan di Panai
adalah para pedagang yang berasal dari kampong yang sama di Ceilon. Sebagaimana
diketahui bahwa komunitas di Ceilon adalah campuran penduduk yang menganut
agama Budha dan agama Hindu. Karenanya para pedagang yang berasal dari
Ceilonlah yang membuka koloni terawal di Nusantara baik koloni Budha dan koloni
Hindu.
Di
Jawa kuno (Jawa Tengah) dan Melayu kuno (Palembang) antara India penganut Budha
dan penganut Hindu berbagi tempat. Hal ini juga tampaknya yang terjadi di
Batak kuno (Tapanoeli) di Siaboe dan di Panai. Di Siaboe adalah orang Ceilon beragama Hindu sedangkan di
Panai adalah agama Budha. Di Magelang terbentuk
komunitas Budha (candi Borobudur) dan di Klaten terbenruk komunitas Hindu
(candi Prambanan).
Nama Panai sendiri adalah nama suatu daerah di
Ceilon. Namun dalam perkembangannya, dominasi Hindu semakin menguat di Panai.
Orang-orang Hindu di Panai diduga adalah sebagian orang-orang Hindu di Siaboe
yang bermigrasi ke Panai. Koloni-koloni Ceilon yang masih tersisa di Siaboe dan
sekitarnya (seperti Pijar Koling di daerah Angkola yang sekarang. Sebagai gambaran ringkas: koloni pedagang dari India selatan di Tanah Batak adalah sebagai berikut: Orang Tamil Nadu di Baros. orang Ankola, Karnataka di Angkola dan orang Panai, Ceilon di Baroemoen (Padang Lawas)..
|
Paya (danau) besar Angkola di Sigalangan |
Penamaan teritori Angkola saat itu besar kemungkinan didasarkan
pada asal-usul daerah asal dan komunitas penganut agama. Nama Simangambat (seperti
halnya juga Bonan Dolok dan Siaboe) adalah tiga nama lama yang mungkin berasal
dari nama lokal daripada nama yang dikaitkan dengan India. Tiga tempat ini sudah
sejak era Hindu merupakan nama-nama tempat di daerah pengaliran sungai Batang
Angkola yang berpusat di Pijor Koling. Jika diyakini bahwa orang-orang India
datang (migrasi dari Baros) maka sungai Batang Angkola adalah moda transportasi
sungai yang sesuai. Sungai Batang Angkola ini tentu saat itu sangat besar pada
masa itu, dimana mulai dari Pijor Koling hingga Saroematinggi (berasal dari
kata Ceilon aroe=sungai, kini menjadi Sayurmatinggi) dapat dilayari. Namun
setelah Saroematinggi sisi sungai melebar yang diwaktu-waktu tertentu membentuk paya besar (rodang) di beberapa daerah di bawahnya (semacam danau). Arus dan volume air yang berasal
dari Batang Angkola di utara beradu (bertemu) dengan arus dan volume air (yang
besar juga) dari sungai Batang Gadis dari selatan di Mandailing yang juga membentuk paya besar. Begitu luas paya (danau) yang terbentuk di sepanjang DAS Angkola dan di pertemuan dua sungai
besar tersebut menyebabkan dua sisi perbukitan hanya dihubungkan oleh air paya
(danau). Di sisi bukit sebelah timur DAS Angkola inilah terbentuk koloni-koloni penduduk
seperti Simangambat, Bonan Dolok dan Siaboe.
|
Paya (danau) besar Angkola di Simangambat |
‘Kota’ Simangambat menjadi lebih
besar dan berkembang yang mana di satu sisi lebih dekat dari arah Pijor Koling
dan Barus yang menyebabkan tempat itu menjadi koloni terbesar di sekitar paya yang
kemudian munculnya pembangunan candi Simangambat, sedangkan di sisi lain,
populasi penduduk di Mandailing makin berkembang yang mana Simangambat menjadi
tujuan pusat peradaban baru. Dalam
konteks ini, Simangambat kala itu adalah kota besar di selatan (hilir) sungai
Batang Angkola, yang merupakan ‘bandar’ dari segala penjuru di daerah
pengaliran Batang Angkola dan Batang Gadis dalam era perdagangan emas (era
Batak kuno). ‘Kota’ Siaboe kemudian berkembang, suatu kota yang menghubungkan daerah
Angkola dan Mandailing ke Padang Lawas (sebagaimana halnya Pijor Koling, suatu ‘kota
interchange’ di Angkola yang menjadi simpul tiga arah (Baros, Mandailing dan
Padang Lawas). Nama-nama Pijor Koling dan Siaboe adalah dua kota industri pengolahan
bahan emas maupun produk-produk emas. Kota-kota lain (setelah kota
Saroematinggi) seperti Aek Badak, Sihepeng, Aek Poeli, Simangambat, Bonan Dolok
dan Siaboe adalah nama-nama yang secara linguistik berasosiasi dengan
keberadaan danau besar (paya besar).
|
Paya besar (rodang) di pertemuan B.Angkola dan B. Gadis |
Di daerah bawah Saroematinggi, hanya tiga jalur yang bisa dilalui menuju Padang Lawas yakni: Sihepeng, Simangambat dan Siaboe. Sedangkan di sebelas atas Saroematinggi hanya satu jalur dan satu-satunya yang bisa dilalui menuju Padang Lawas yakni Pijor Koling. Oleh karenanya, nama-nama kota di DAS
Batang Angkola ini sudah jauh berkembang sebelum ekspedisi Chola melakukan aneksasi
di Padang Lawas dan mengokupasi tempat-tempat di DAS Angkola. Teritori emas (mulai
dari Pijor Koling dan Siaboe) ini kemudian diklaim sebagai teritori Chola, yaitu teritori yang disebut Ankola. Nama Ankola sendiri di satu pihak adalah nama suatu daerah di India Selatan (di muara sungai Gangga, bukan Gangga di utara) yang kemudian bunyinya bergeser menjadi Angkola. Akan tetapi di pihak lain, nama Angkola bisa jadi berasal dari chola (Dinasti Chola). Perbedaan ini mungkin tidak penting karena kedua asal nama ini menunjuk tempat yang sama yakni sekitar DAS Batang Angkola (sebagai pembandung nama Panai di DAS Batang Pane berasal dari Ceilon).
|
Jalur ekspedisi Ankola dan Panai |
Ketika
Dinasti Chola (Hindu) menyerang Sriwijaya (Budha) dan berhasil melumpuhkannya,
maka daerah koloni ekspedisi Chola memilih Panai sebagai basis perdagangannya
(karena alasan koneksitas penganut agama Hindu). Besar kemungkinan
bandar-bandar di sekitar Panai (yang sudah didominasi Hindu) diokupasi Chola dan
menyatukannya menjadi satu teritori perdagangan sungai yang kemudian muncul
nama Aru (terminologi aru di Ceilon adalah sungai). Sebagaimana diketahui,
Dinasti Chola terlebih dahulu menganeksasi Ceilon sebelum melakukan ekspedisi
ke Nusantara. Pasca Cholalah munculnya kerajaan sungai yang disebut Kerajaan
Aru di sungai Aru (menggantikan atau mereduksi sungai Panai menjadi sungai B’aru’mun).
Kerajaan Aru membawahi Sriwijaya (Batak kuno membawahi Melayu kuno).
|
Inskripsi candi Sitopayan di Gunung Tua (1941) |
Kerajaan Aru dalam hal ini dapat dibingkai sebagai satu sebutan (baik sebelum dan?) sesudah kedatangan orang-orang Ceilon dan India selatan di hulu sungai yang kemudian disebut sungai Baroemoen hingga datangnya pengaruh Islam (orang-orang Moor). Situs-situs candi di Padang Bolak terutama di sekitar Goenoengtoea mengindikasikan adanya Kerajaan Aru Batak yang dibedakan dengan kerajaan-kerajaan Aru dari orang-orang Ceilon dan India selatan. Dengan kata lain di antara periode yang panjang di sekitar hulu sungai Baroemoen ini kerajaan asing dan kerajaan lokal berdampingan atau satu terhadap yang lain mendahuluiya. Situs candi Sitopayan di Goenoengtoe (daerah terjauh dari sungai Baraoemen atau daerah terdekat penduduk pedalaman Tanah Batak) menunjukkan bahwa di dalam inskripsi yang ditemukan adanya dua pengaruh (India dan Batak).
|
Teritori Dinasti Chola di India selatan (848-1279) |
Pada
abad keempatbelas, Kerajaan Aru (Hindu) mulai memudar. Awalnya bermula dari
kejayaan Kesultanan Aru (berganti Islam) di Nusantara membuat iri Kerajaan
Majapahit (Hindu) yang tengah berkembang pesat. Orang-orang penganut agama
Hindu di Aru mulai menyingkir ke Mandailing (munculnya candi-candi di
Mandailing, tidak jauh dari Siaboe, seakan kembali ke titik awal). Hal serupa
ini juga dulunya yang mendasari Chola (timbulnya Kerajaan Aru) menyerang
Sriwijaya karena iri melihat kejayaan Sriwijaya (yang Budha). Lalu Kerajaan
Majapahit (Jawa kuno) di bawah panglima Gajah Mada menyerang Sriwijaya (Melayu
kuno yang masih Budha) dan juga menyerang Kesultanan Aru (Batak kuno yang sudah
Islam).
Apakah Kerajaan
Majapahit mampu mengalahkan Kesultanan Aru (kesultanan Islam pertama) masih
perdebatan. Namun artikel ini menganggap Kesultanan Aru tidak terkalahkan. Yang
berhasil ditaklukkan oleh Majapahit hanyalah salah satu bandar Kesultanan Aru
di pantai di muara sungai Baroemoen bernama Panai. Bandar-bandar lainnya
seperti Kota Pinang, Bila dan Koealoe tidak disebut dalam laporan Kerajaan
Majapahit. Bandar-bandar tersebut dan pusat Kesultanan Aru di pedalaman tidak
tercatat alias tidak berhasil dikalahkan Majapahit. Para penulis-penulis
Majapahit (seperti tercatat dalam Negarakertagama) disebutkan bahwa sejumlah
tempat telah ditaklukkan oleh Majapahit termasuk didalamnya Panai dan
Mandahiling. Mungkin penulis-penulis Majapahit keliru, Para penulis menganggap (bandar) Panai seakan pusat Kesultanan Aru dan Mandahiling (koloni baru
India Hindu) dianggap berada di bawah supremasi Kesultanan Aru, sehingga penaklukan Panai dengan sendirinya dianggap telah menaklukkan Kesultanan Aru. Padahal
kenyataannya tidak.
Tunggu
deskripsi lengkapnya…
*Dikompilasi
oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan
sumber-sumber tempo doeloe.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar