Jumat, Februari 19, 2016

Bag-3. SEJARAH ANGKOLA: Melayu Kuno, Jawa Kuno dan Batak Kuno; Candi Simangambat Lebih Tua daripada Candi Borobudur



Isi laporan Schnitger, 1935: Simangambat abad ke-8
Sejarah Angkola adalah sejarah yang seusia dengan namanya. Nama Angkola semakin populer pada abad kesebelas (karena dikaitkan dengan prasasti Tanjore, India selatan 1030 pada Dinasti Chola). Namun daerah yang kemudian disebut Angkola itu, besar kemungkinan sudah dikenal jauh sebelumnya, ketika pedagang-pedagang Ankola (kini Karnataka) dan pedagang-pedagang Panai (di Ceilon, kini Sri Lanka) berlalu lalang di sekitar sungai yang kini dikenal sebagai sungai Batang Angkola (di Tapanuli Selatan). Pada abad kedelapan orang-orang dari Ankola dan Panai ini membangun candi di Simangambat, Siaboe (candi yang dibangun lebih awal dari candi Borobudur). Pada masa itu Sriwijaya di Palembang belum sampai pada puncak kejayaannya. Sehubungan dengan itu, jika dalam penulisan sejarah nusantara, era pembangunan Borobudur disebut Jawa Kuno (Mataran kuno) dan era kejayaan Sriwijaya disebut Melayu Kuno, maka masa dimana pedagang-pedagang Ankola di daerah Angkola dan pedagang-pedagang Panai di daeah Padang Bolak (kini lebih populer dengan sebutan Padang Lawas) boleh juga disebut sebagai Batak kuno. Oleh karenanya, seharusnya terdapat tiga tempat permulaan peradaban baru (yang telah dikenal) di Nusantara, yakni: Jawa kuno, Melayu kuno dan Batak kuno--suatu masa kapan peradaban lebih lanjut berkembang dan suatu tempat dimana awal perkembangan peradaban dimulai. Bagaimana penjelasannya? Mari kita lacak!.. .  . ..
***
Jung Huhn seorang geolog, wakil pemeritah Belanda di Afdeeling Pertibie (Portibi) adalah orang luar pertama yang melaporkan adanya candi di Portibie (1846). Berdasarkan penemuan ini, Jung Huhn bersama Willer melakukan penyelidikan awal tentang komplek percandian di daerah Portibie (nama Portibi sejak kehadiran Belanda di Portibie kerap dipertukarkan diganti Padang Lawas). Deskripsi hasil penyelidikan mereka menjadi bagian dari laporan masing-masing yang dapat dibaca pada buku Jung Huhn dan buku Willer yang telah diterbitkan. Setelah dua orang ini berlalu tidak ada kabar berita lagi tentang percandian di Padang Lawas.

Willer adalah Asisten Residen pertama Afdeeling Mandheling en Ankola (Mandailing dan Angkola). Sementara, Jung Huhn adalah seorang tenaga ahli yang ditugaskan oleh Gubernur Jenderal di Batavia untuk melakukan pemetaan geologi di Tapanoeli. Jung Huhn memulai ekspedisi dari Teluk Sibolga memasuki daerah Angkola dan kemudian daerah Portibie. Selama bertugas di Portibie, Jung Huhn diangkat sebagai wakil pemerintah di Afdeeling Portibie. Pada saat bertugas di Portibie inilah Jung Huhn mengkonfirmasi adanya bukti candi (berdasarkan laporan masyarakat). Willer yang juga adalah ahli geografi sosial saling bertukar temuan dengan Jung Huhn..

Candi di Portibi (Westenenk, 1920)
Pada tahun 1920 Residen Palembang, Westenenk yang telah mengumpulkan bukti-bukti candi di Palembang, merasa perlu untuk berkunjung ke Padang Lawas. Westenenk adalah orang ketiga yang berpartisipasi dalam mengungkap percandian di Padang Lawas. Pada masa Westenenk inilah seorang arkeolog bernama FM Schnitger ditempatkan di Palembang untuk memimpin lembaga kepurbakalaan Sumatra yang baru dibentuk.

Setelah beberapa tahun FM Schnitger menjabat sebagai Kepala Pusat Kepurbakalan Sumatra, entah siapa yang melaporkan adanya candi di Simangambat, Siaboe, arkeologi ini tiba-tiba kaget luar biasa dan bergegas dari Palembang datang ke Siaboe untuk mengkonfirmasi keberadaan candi Simangambat. Tanpa pikir panjang, FM Schnitger dan tim langsung melakukan ekskavasi terhadap candi Simangambat dan laporannya dipublikasikan pada tahun 1935 (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 05-06-1935 dan Bataviaasch nieuwsblad 05-06-1935). Laporan FM Schnitger tersebut kemudian diterbitkan dalam bentuk brosur 38 halaman 'Oudheidkundige Vondsten in Palembang' oleh penerbit EJ Brill, Leiden. 1936. Isi laporan tersebut hasilnya sangat menggemparkan: 'Candi (Hindu) Simangambat adalah candi tertua di Sumatra dan candi yang mendahului pembangunan candi (Budha) Borobudur di Jawa Tengah'.
Keberadaan candi di Simangambat boleh jadi merupakan garis continuum kehadiran orang-orang India selatan di Sumatra: Baros, Siaboe dan Padang Lawas. Sebagaimana diketahui, kota tertua di nusantara yang pernah tercatat adalah Baros (konon sudah dikunjungi oleh orang-orang Mesir kuno, jaman prasejarah). Koloni orang-orang India selatan di Baros besar kemungkinan adalah orang-orang India selatan yang melakukan migrasi setelah mengetahui banyak penduduk lokal di sekitar sungai Batang Angkola di Siaboe mengusahakan tambang emas (pertambangan emas masih ditemukan hingga ini hari).
Bataviaasch nieuwsblad 05-06-1935
Berita tersebuit pada kala itu sangat luar biasa, semua koran besar di Hindia melaporkan atau melansirnya. Pada intinya, koran-koran tersebut mengabarkan sebagai berikut: ‘Minggu lalu FM Schnitger dalam laporannya diketahui bahwa candi Simangambat adalah candi Siwa yang dibangun pada abad kedelapan. Di dekat Simangambat (sebelah selatan) juga ditemukan candi di Bonan Dolok. Candi Simangambat adalah candi tertua yang dikenal di Sumatra. Candi ini mengandung relief teratai dan yang paling mengejutkan ditemukan arca dewa Ganesha. Bangunan candi ini merupakan lebih awal dari Borobudur dan diharapkan akan dilakukan perlindungan. Hal yang luar biasa dalam penemuan ini, bahwa ada relief candi yang melukiskan suatu daerah di Jawa. Sekarang, Mr. Schnitger sedang mempersiapkan suatu ekspedisi lanjutan untuk eksplorasi ke percandian di Baroemoen, di mana mereka berharap untuk membuat penemuan menarik di daerah arkeologi itu. Mr Schnitger dan tim pergi ke daerah itu dan diperkirakan berlangsung selama dua minggu’.

Candi Simangambat: Bukti awal keberadaan penduduk Angkola, Mandailing dan Padang Lawas

Dalam candi Simangambat ditemukan arca dewa Ganesha, dewa terkenal dalam agama Hindu, dewa yang disebut dewa pengetahuan dan dewa kecerdasan (menjadi lambang ITB) dan kerap diasosiasikan dengan para pedagang. Dalam kaitan arca di Simangambat ini, sudah barang tentu orang-orang India selatan yang sudah berada di Siaboe adalah dari kalangan pedagang (bukan dari golongan petani dan bukan golongan penambang). Mereka adalah golongan pebisnis di tempat asalnya di India selatan yang melakukan koloni di Siaboe. Adanya candi adalah bukti paling otentik adanya koloni.

Peta sungai Batang Angkola 1843-1847
Secara teoritis koloni India selatan di Siaboe bukanlah golongan masyarakat rendah dan miskin. Mereka adalah golongan pebisnis kaya yang mampu melakukan pelayaran jarak jauh yang membutuhkan biaya yang sangat mahal. Sebagai pebisnis, mereka datang bukanlah untuk bertani atau menambang di daerah pedalaman di Siaboe. Mereka datang dalam konteks keuntungan, dimana mereka mampu mengeluarkan biaya tinggi dan risiko besar dan berharap semua pengeluaran akan tertutupi dengan perkiraan hasil perdagangan yang sudah jelas sumbernya, dimana terdapat suatu daerah yang mana penduduknya telah sejak lama memproduksi emas. Ini mengindikasikan bahwa keberadaan penduduk Batak di Siaboe mendahului keberadaaan orang-orang (koloni) India selatan di Siaboe. Dengan kata lain, penduduk Batak di Siaboe memiliki kekayaan (hasil pertanian dan hasil pertambangan) dan orang-orang India selatan yang datang jelas bukan orang miskin yang tidak mampu. Inilah prinsip dasar adanya perdagangan, dan perdagangan adalah pemicu kehadiran koloni India selatan di Siaboe dan inti perdagangan sendiri di Siaboe adalah produk yang sangat bernilai yang disebut sere (emas).

Peta Kampung Simangambat, Siaboe (1943)
Orang-orang India selatan yang datang di Siaboe awalnya melakukan transaksi perdagangan emas dengan penduduk lokal yang telah sejak lama mengusahakannya. Di jaman kuno, tentu saja belum dikenal eksplorasi dan ekploitasi mineral (seperti di era modern). Penemuan mineral di suatu lokasi di jaman kuno adalah penemuan yang tidak disengaja oleh penduduk local. Inilah prakondisi perdagangan emas di Siaboe. Penduduk yang sudah sejak lama berada di daerah itu menemukan emas, mengusahakannya, lalu para pedagang lokal meneruskannya ke pusat-pusat perdagangan emas yang sudah dikenal, yakni Baros (kota perdagangan paling kuno di Nusantara). Oleh karena titik pelayaran orang-orang India selatan sudah ada sejak lama di Baros, maka informasi keberadaan emas ini di Siaboe tentu saja diperoleh dari Baros (dimana sudah ada koloni dari India selatan dari Tamil). Dari Baroslah pangkal perkara mengapa orang-orang India selatan lainnya memulai koloni di Siaboe. Dibanding pedagang-pedagang manca negera lainnya seperti Mesir, Arab dan Persia, pedagang-pedagang India selatanlah yang paling dekat dengan alam yang menjadi dasar berperilaku mengapa mereka lebih adapatif jauh masuk ke padalaman dan membuat koloni.

Candi Simangambat
Banyak teori atau interpretasi bahwa para pendatang adalah awal segalanya. Bahwa para pendatang menurunkan segalanya. Teori tersebut atau interpretasi tersebut kurang berdasar. Dalam era perdagangan, memang para pendatang cenderung telah memiliki tingkat peradaban yang lebih tinggi, karenanya mereka adalah pembawa ilmu pengetahuan dan cara-cara baru dalam kehidupan. Akan tetapi dalam konteks para pedagang pendatang bukanlah segalanya. Para pedagang pendatang tidak menurunkan penduduk dan mereka para pendatang bukan otomatis menjadi nenek moyang para penduduk local. Bahwa diantara para pendatang dan para penduduk local kemungkinan terjadinya perkawinan campuran sangat masuk akal. Para pendatang hanyalah segilitir orang, sedangkan penduduk local cenderung lebih banyak dari para pendatang. Adanya perkawinan campuran sulit mengubah posisi (dominan) suatu ras dan yang dominan tetap ras dari penduduk local.

Dengan bertitiktolak kolonisasi para pedagang India di nusantara, berdasarkan bukti candi ditemukan tiga kolonisasi utama: Batak, Palembang dan Jawa. Dalam konteks penduduk, awal kolonisasi India bukanlah titik tolak apa yang disebut Jawa kuno (Jawa Tengah), Melayu kuno (Palembang) dan Batak kuno (Baros atau Siaboe). Seharusnya, Batak kuno, Melayu kuno dan Jawa kuno harus diartikan sebagai masa yang lebih tua (kuno) dari kehadiran para pendatang dari India. Oleh karena dalam tradisi penulisan sejarah kuno hanya berdasarkan kedatangan orang-orang India, maka hanya tiga lokasi penduduk kuno yang dikenal yakni Jawa kuno, Melayu kuno dan Batak kuno. Padahal penduduk kuno di nusantara lebih dari tiga tempat, ada Sunda kuno, Lampung kuno dan sebagainya. Batak kuno juga dapat dirinci menjadi Angkola kuno, Mandailing kuno, Padang Lawas kuno, Silindung kuno, Toba kuno dan seterusnya.

Peta Angkola dan Padang Lawas dibatasi Bukit Barisan (1919)
Lantas, kapan penduduk kuno ini muncul. Hanya membuang waktu untuk mengidentifikasinya. Bagaimanapun tidak akan cukup informasi untuk menyimpulkannya, sebab semakin kuno suatu hal di masa lampau semakin sulit menghadirkan bukti-buktinya. Meneruskan mitos, legenda dan sebagainya hanya meneruskan cara-cara berpikir yang sederhana terhadap persoalan yang sangat rumit (dan sangat kabur). Kita hanya perlu membuat titik tolak dari bukti-bukti yang dapat diverifikasi. Candi Simangambat adalah bukti terawal terhadap keberadaan penduduk Batak di Siaboe dan kita bisa interpretasi bahwa keberadaan penduduk Siaboe jauh lebih awal dari kedatangan orang-orang India selatan. Interpretasi lainnya adalah bahwa penduduk terawal di Siaboe bukanlah sendiri, ada juga penduduk terawal yang ditemukan yang jauh lebih tua atau sejaman atau lebih muda mungkin di Kotanopan (Mandailing), di Sipirok (Angkola), di Portibi (Padang Lawas), di Tarutung (Silindung), di Porsea (Toba) dan di tempat-tempat lainnya. Relasi dan sekuen dari penduduk local di berbagai tempat tersebut tidak akan cukup informasi untuk membuat konfigurasinya.

Candi Angkola, candi Padang Lawas dan candi Mandailing

Candi Simangambat di Siaboe tidak hanya mendahului candi Borobudur atau candi yang lebih baru di tempat lain, tetapi juga candi Simangambat mendahului adanya candi di Padang Lawas. Candi Siaboe diduga dibangun pada abad kedelapan dan candi Padang Lawas dibangun pada abad kesebelas. Penanggalan tahun pembangunan candi Padang Lawas hanya didasarkan pada prasasti Tanjore (1030). Namun perbedaan jarak waktu antara Siaboe dan Padang Lawas dapat diinterpretasi lebih pendek. Dengan kata lain, awal adanya candi di dua daerah  (Siaboe dan Padang Lawas) dapat diinterpretasi lebih dekat waktunya karena secara geografis kedua daerah hanya dibatasi oleh gunung yang tidak terlalu tinggi yang disebut gunung Malea (berasal dari nama Himalaya).

Prasasti Tanjore sendiri terjadi pada dinasti Chola. Okupasi ekspedisi Chola di Padang Lawas sesungguhnya melanjutkan koloni India dari Ceilon yang disebut Panai. Dengan kata lain, orang-orang India dari Ceilon di Panai mendahului orang-orang India selatan di tempat yang sama. Ini berarti candi-candi yang dibangun di Panai tidak terlalu jauh dari candi di Siaboe. Para pendatang di Siaboe dan di Panai adalah para pedagang yang berasal dari kampong yang sama di Ceilon. Sebagaimana diketahui bahwa komunitas di Ceilon adalah campuran penduduk yang menganut agama Budha dan agama Hindu. Karenanya para pedagang yang berasal dari Ceilonlah yang membuka koloni terawal di Nusantara baik koloni Budha dan koloni Hindu.
Di Jawa kuno (Jawa Tengah) dan Melayu kuno (Palembang) antara India penganut Budha dan penganut Hindu berbagi tempat. Hal ini juga tampaknya yang terjadi di Batak kuno (Tapanoeli) di Siaboe dan di Panai. Di Siaboe adalah orang Ceilon beragama Hindu sedangkan di Panai adalah agama Budha. Di Magelang terbentuk komunitas Budha (candi Borobudur) dan di Klaten terbenruk komunitas Hindu (candi Prambanan).
Nama Panai sendiri adalah nama suatu daerah di Ceilon. Namun dalam perkembangannya, dominasi Hindu semakin menguat di Panai. Orang-orang Hindu di Panai diduga adalah sebagian orang-orang Hindu di Siaboe yang bermigrasi ke Panai. Koloni-koloni Ceilon yang masih tersisa di Siaboe dan sekitarnya (seperti Pijar Koling di daerah Angkola yang sekarang. Sebagai gambaran ringkas: koloni pedagang dari India selatan di Tanah Batak adalah sebagai berikut: Orang Tamil Nadu di Baros. orang Ankola, Karnataka di Angkola dan orang Panai, Ceilon di Baroemoen (Padang Lawas).. 

Paya (danau) besar Angkola di Sigalangan
Penamaan teritori Angkola saat itu besar kemungkinan didasarkan pada asal-usul daerah asal dan komunitas penganut agama. Nama Simangambat (seperti halnya juga Bonan Dolok dan Siaboe) adalah tiga nama lama yang mungkin berasal dari nama lokal daripada nama yang dikaitkan dengan India. Tiga tempat ini sudah sejak era Hindu merupakan nama-nama tempat di daerah pengaliran sungai Batang Angkola yang berpusat di Pijor Koling. Jika diyakini bahwa orang-orang India datang (migrasi dari Baros) maka sungai Batang Angkola adalah moda transportasi sungai yang sesuai. Sungai Batang Angkola ini tentu saat itu sangat besar pada masa itu, dimana mulai dari Pijor Koling hingga Saroematinggi (berasal dari kata Ceilon aroe=sungai, kini menjadi Sayurmatinggi) dapat dilayari. Namun setelah Saroematinggi sisi sungai melebar yang diwaktu-waktu tertentu membentuk paya besar (rodang) di beberapa daerah di bawahnya (semacam danau). Arus dan volume air yang berasal dari Batang Angkola di utara beradu (bertemu) dengan arus dan volume air (yang besar juga) dari sungai Batang Gadis dari selatan di Mandailing yang juga membentuk paya besar. Begitu luas paya (danau) yang terbentuk di sepanjang DAS Angkola dan di pertemuan dua sungai besar tersebut menyebabkan dua sisi perbukitan hanya dihubungkan oleh air paya (danau). Di sisi bukit sebelah timur DAS Angkola inilah terbentuk koloni-koloni penduduk seperti Simangambat, Bonan Dolok dan Siaboe. 

Paya (danau) besar Angkola di Simangambat
‘Kota’ Simangambat menjadi lebih besar dan berkembang yang mana di satu sisi lebih dekat dari arah Pijor Koling dan Barus yang menyebabkan tempat itu menjadi koloni terbesar di sekitar paya yang kemudian munculnya pembangunan candi Simangambat, sedangkan di sisi lain, populasi penduduk di Mandailing makin berkembang yang mana Simangambat menjadi tujuan pusat peradaban baru. Dalam konteks ini, Simangambat kala itu adalah kota besar di selatan (hilir) sungai Batang Angkola, yang merupakan ‘bandar’ dari segala penjuru di daerah pengaliran Batang Angkola dan Batang Gadis dalam era perdagangan emas (era Batak kuno). ‘Kota’ Siaboe kemudian berkembang, suatu kota yang menghubungkan daerah Angkola dan Mandailing ke Padang Lawas (sebagaimana halnya Pijor Koling, suatu ‘kota interchange’ di Angkola yang menjadi simpul tiga arah (Baros, Mandailing dan Padang Lawas). Nama-nama Pijor Koling dan Siaboe adalah dua kota industri pengolahan bahan emas maupun produk-produk emas. Kota-kota lain (setelah kota Saroematinggi) seperti Aek Badak, Sihepeng, Aek Poeli, Simangambat, Bonan Dolok dan Siaboe adalah nama-nama yang secara linguistik berasosiasi dengan keberadaan danau besar (paya besar). 

Paya besar (rodang) di pertemuan B.Angkola dan B. Gadis
Di daerah bawah Saroematinggi, hanya tiga jalur yang bisa dilalui menuju Padang Lawas yakni: Sihepeng, Simangambat dan Siaboe. Sedangkan di sebelas atas Saroematinggi hanya satu jalur dan satu-satunya yang bisa dilalui menuju Padang Lawas yakni Pijor Koling. Oleh karenanya, nama-nama kota di DAS Batang Angkola ini sudah jauh berkembang sebelum ekspedisi Chola melakukan aneksasi di Padang Lawas dan mengokupasi tempat-tempat di DAS Angkola. Teritori emas (mulai dari Pijor Koling dan Siaboe) ini kemudian diklaim sebagai teritori Chola, yaitu teritori yang disebut Ankola. Nama Ankola sendiri di satu pihak adalah nama suatu daerah di India Selatan (di muara sungai Gangga, bukan Gangga di utara) yang kemudian bunyinya bergeser menjadi Angkola. Akan tetapi di pihak lain, nama Angkola bisa jadi berasal dari chola (Dinasti Chola). Perbedaan ini mungkin tidak penting karena kedua asal nama ini menunjuk tempat yang sama yakni sekitar DAS Batang Angkola (sebagai pembandung nama Panai di DAS Batang Pane berasal dari Ceilon). 

Jalur ekspedisi Ankola dan Panai
Ketika Dinasti Chola (Hindu) menyerang Sriwijaya (Budha) dan berhasil melumpuhkannya, maka daerah koloni ekspedisi Chola memilih Panai sebagai basis perdagangannya (karena alasan koneksitas penganut agama Hindu). Besar kemungkinan bandar-bandar di sekitar Panai (yang sudah didominasi Hindu) diokupasi Chola dan menyatukannya menjadi satu teritori perdagangan sungai yang kemudian muncul nama Aru (terminologi aru di Ceilon adalah sungai). Sebagaimana diketahui, Dinasti Chola terlebih dahulu menganeksasi Ceilon sebelum melakukan ekspedisi ke Nusantara. Pasca Cholalah munculnya kerajaan sungai yang disebut Kerajaan Aru di sungai Aru (menggantikan atau mereduksi sungai Panai menjadi sungai B’aru’mun). Kerajaan Aru membawahi Sriwijaya (Batak kuno membawahi Melayu kuno).
Inskripsi candi Sitopayan di Gunung Tua (1941)
Kerajaan Aru dalam hal ini dapat dibingkai sebagai satu sebutan (baik sebelum dan?) sesudah kedatangan orang-orang Ceilon dan India selatan di hulu sungai yang kemudian disebut sungai Baroemoen hingga datangnya pengaruh Islam (orang-orang Moor). Situs-situs candi di Padang Bolak terutama di sekitar Goenoengtoea mengindikasikan adanya Kerajaan Aru Batak yang dibedakan dengan kerajaan-kerajaan Aru dari orang-orang Ceilon dan India selatan. Dengan kata lain di antara periode yang panjang di sekitar hulu sungai Baroemoen ini kerajaan asing dan kerajaan lokal berdampingan atau satu terhadap yang lain mendahuluiya. Situs candi Sitopayan di Goenoengtoe (daerah terjauh dari sungai Baraoemen atau daerah terdekat penduduk pedalaman Tanah Batak) menunjukkan bahwa di dalam inskripsi yang ditemukan adanya dua pengaruh (India dan Batak). 
Teritori Dinasti Chola di India selatan  (848-1279)
Pada abad keempatbelas, Kerajaan Aru (Hindu) mulai memudar. Awalnya bermula dari kejayaan Kesultanan Aru (berganti Islam) di Nusantara membuat iri Kerajaan Majapahit (Hindu) yang tengah berkembang pesat. Orang-orang penganut agama Hindu di Aru mulai menyingkir ke Mandailing (munculnya candi-candi di Mandailing, tidak jauh dari Siaboe, seakan kembali ke titik awal). Hal serupa ini juga dulunya yang mendasari Chola (timbulnya Kerajaan Aru) menyerang Sriwijaya karena iri melihat kejayaan Sriwijaya (yang Budha). Lalu Kerajaan Majapahit (Jawa kuno) di bawah panglima Gajah Mada menyerang Sriwijaya (Melayu kuno yang masih Budha) dan juga menyerang Kesultanan Aru (Batak kuno yang sudah Islam).

Apakah Kerajaan Majapahit mampu mengalahkan Kesultanan Aru (kesultanan Islam pertama) masih perdebatan. Namun artikel ini menganggap Kesultanan Aru tidak terkalahkan. Yang berhasil ditaklukkan oleh Majapahit hanyalah salah satu bandar Kesultanan Aru di pantai di muara sungai Baroemoen bernama Panai. Bandar-bandar lainnya seperti Kota Pinang, Bila dan Koealoe tidak disebut dalam laporan Kerajaan Majapahit. Bandar-bandar tersebut dan pusat Kesultanan Aru di pedalaman tidak tercatat alias tidak berhasil dikalahkan Majapahit. Para penulis-penulis Majapahit (seperti tercatat dalam Negarakertagama) disebutkan bahwa sejumlah tempat telah ditaklukkan oleh Majapahit termasuk didalamnya Panai dan Mandahiling. Mungkin penulis-penulis Majapahit keliru, Para penulis menganggap (bandar) Panai seakan pusat Kesultanan Aru dan Mandahiling (koloni baru India Hindu) dianggap berada di bawah supremasi Kesultanan Aru, sehingga penaklukan Panai dengan sendirinya dianggap telah menaklukkan Kesultanan Aru. Padahal kenyataannya tidak.

Tunggu deskripsi lengkapnya…

Baca juga:

 
                                                           

*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe.

Tidak ada komentar: