Minggu, Maret 27, 2016

Sejarah Musik Batak: Musik Tradisi yang Kali Pertama Dicatat di Mandailing dan Angkola, Lebih Tua dari Musik Jawa dan Musik Bali

*Semua artikel Budaya Angkola Mandailing dalam blog ini Klik Disini


Grup musik instrumen alat tiup di Sipirok, 1890
Sejarah musik Batak, sejarah yang belum pernah ditulis. Musik Batak modern haruslah dibedakan dengan musik tradisi Batak. Akar musik modern Batak adalah musik tradisi Batak. Oleh karena itu, memahami sejarah musik modern Batak haruslah memulai memahaminya dari musik tradisi Batak. Namun apa itu musik tradisi Batak terdapat kesalahan pemahaman. Kesalahan mendasar adalah melihat musik tradisi Batak dari sudut pandang masa kini. Akibatnya, musik modern Batak dianggap sebagai musik tradisi Batak. Untuk memahami secara tepat musik tradisi Batak haruslah dilihat dari sudut pandang masa lampau. Dengan cara begitu dimungkinkan untuk menjelaskan bagaimana proses evolusi musik tradisi Batak bertransformasi menjadi musik modern Batak. Proses kontiniu inilah sejarah musik Batak.

Untuk memahami sejarah musik Batak sejumlah pertanyaan akan membawa kita ke masa lampau. Kapan musik tradisi itu ada? Apa yang menyebabkan musik tradisi Batak terbentuk? Siapa yang memainkan atau menggunakan musik tradisi tersebut? Bagaimana asal-usul (instrumen) musik tradisi Batak itu? Dimana musik tradisi Batak itu bermula? Sejak kapan musik tradisi Batak mulai dicatat? Kapan musik tradisi Batak itu dikenal secara luas? Mengapa musik tradisi Batak bertransformasi menjadi musik modern Batak. Semua pertanyaan itu memerlukan jawaban dan penjelasan. Mari kita lacak!

Keutamaan musik tradisi Batak, karena memiliki sejarah yang panjang. Musik tradisi Batak mengikuti religi Batak kuno, suatu religi yang terkonstruksi karena adanya pengaruh Budha dan Hindu (yang dimulai di sekitar percandian Budha/Hindu di Angkola, Mandailing dan Padang Lawas). Gondang dan ogung adalah musik dalam berkomunikasi dengan sang Pencipta. Alat gondang yang dikreasi sendiri dikombinasikan dengan ogung (gong) yang diimpor kemudian dari Tiongkok. Cikal bakal musik tradisi Batak yang berakar pada pengaruh India dan Tiongkok ini berkembang sedemikian rupa dengan masuknya elemen alat musik lainnya dari luar.

Rabu, Maret 23, 2016

Sejarah BATANG TORU (7): Agresi Militer Belanda di Afdeeling Padang Sidempuan, Motif Pengamanan Industri Perkebunan



Jembatan Batang Toru: semasa agresi militer Belanda
Batang Toru, pelan tapi pasti hingga tahun 1939 telah menjadi salah satu kota penting di Tapanoeli. Keutamaan Batang Toru timbul karena pengaruh industri perkebunan dan kehadiran orang-orang Eropa/Belanda. Posisi strategis Batang Toru yang berada diantara dua kota besar (Padang Sidempuan dan Sibolga) juga memperkuat positioning Batang Toru sebagai sebuah kota penting. Batang Toru telah melampaui keutamaan kota Sipirok dan kota Panjaboengan. Kota Batang Toru tumbuh dan berkembang dan akan menjadi kota masa depan seperti halnya Medan, Bindjai dan Pematang Siantar (berada di tengah/pusat industri perkebunan). Kota Batang Toru menjadi salah satu dari empat kota di Tapanoeli yang akan membentuk pasukan sukarela yang akan berfungsi sebagai penjaga kota.

De Sumatra post, 10-09-1940: ‘dalam suatu pertemuan besar korps sukarela di lapangan Sibolga pada tanggal 3 September diputuskan untuk membentuk VKT (Vrijwilligers Korps Tapanocli=Korp Sukarela Tapanuli), yang terdiri dari orang Belanda, pribumi dan Tionghoa. Pembentukan ini diharapkan terjadi di Sibolga, Batang Toru, Tarutung dan Padang Sidempuan.

Pada tanggal 19 April 1941, VKT secara resmi diinstal sebagai bagian dari penjaga kota (lihat Soerabaijasch handelsblad, 28-04-1941). Ini dengan sendirinya akan memperkuat ketahanan masyarakat Tapanuli yang didukung oleh het VOC Batang Taroe dan brigade van het detachement Sibolga. Hari itu juga dilakukan defile barisan dari korps yang di bentuk dimana di tribun para undangan yang hadir. Residen berpidato dimana diingatkannya bahwa pada tanggal 10 Mei 1840 pasukan Belanda mulai ditempatkan di Sibolga. Dinyatakannya bahwa ini saatnya korps sukarela mengambil posisi strategis utamanya dalam pelestarian hukum dan ketertiban. Lalu Komandan Territorial Tapanoeli (berpangkat luitenant colonel) berpidato yang intinya bahwa VKT adalah bagian kehormatan dari KNIL (Koninklijke Nederlandsch Indische Leger). Residen dan komandan meninggalkan lapangan, barisan melakukan defile dalam kota yang diakhirnya di rumah Residen dengan suatu perjamuan.

Selasa, Maret 22, 2016

Sejarah BATANG TORU (6): Batang Toru (Kembali) Menjadi Bagian dari Afdeeling Padang Sidempuan, Perkebunan Karet Meluas Hingga ke Pijor Koling



Sambut Gubernur Jenderal de Graeff di Padang Sidempuan, 1928
Batang Toru tidak hanya ‘menjembatani’ Padang Sidempuan dan Sibolga, tetapi Batang Toru juga telah menjadi pusat industri perkebunan di Tapanoeli. Hingga bulan Mei 1919 jumlah perusahaan perkebunan (onderneming) sudah mencapai angka 30 buah perusahaan di Tapanoeli dimana sebagian besar berlokasi di Batang Toru. Sebagian yang lain sudah ada yang membuka plantation di Angkola seperti di Simarpinggan dan di Pijorkoling (De Sumatra post, 29-04-1919). Perkebunan-perkebunan ini umumnya fokus mengusahakan tanaman karet.

Sehubungan dengan semakin berkembangnya koridor Sibolga-Batang Toru dan Angkola di bidang perkebunan, memungkinkan untuk wacana meningkatkan arus barang dan orang dengan menambah moda transportasi kereta api. Usulan ini sudah masuk ke Dewan di Batavia. Dulu pembangunan jembatan Batang Toru dikritik, lalu industri perkebunan di Batang Toru menjawabnya. Kini, usulan pembangunan transportasi kereta api apakah akan disetujui dewan? Kita lihat saja nanti.

Het Vaderland: staat- en letterkundig nieuwsblad, 23-12-1919 (Anggaran): ‘..Item berikutnya adalah pengaturan pengeluaran Nederlandsch-Indie untuk tahun 1920, dalam mendukung pembangunan kreta api di Noord  Cheribon dari Tjiteureup ke Madjalaja (Preanger Regency) dan Sibolga via Batang Taroe ke Padang Sidempoean (Tapanoeli).

Senin, Maret 21, 2016

Sejarah BATANG TORU (5): Tragedi Kuli Kontrak Juga Terjadi di Batang Toru, Mirip Poenale Sanctie di Deli




Koran Sinar Merdeka terbit di Padang Sidempuan (1919)
Pada tahun 1905 Residentie Tapanoeli dipisahkan dari Province Sumatra’s Westkust. Residentie Tapanoeli dibentuk tahun 1840 yang kali itu masih terdiri dari dua afdeeling: Afd. Mandheling en Ankola dan Afd. Tapanoeli (kemudian berganti nama Afd. Sibolga en Ommelanden). Pada awalnya Batang Toru masuk Afd. Mandheling en Ankola tetapi kemudian dipisahkan dan ditambahkan ke afd. Sibolga en Ommelanden (namanya kemudian bergeser menjadi Sibolga en Batang Toru distrtict). Hingga kini (1900), meski secara geografis, social, ekonomi dan budaya sama dengan Angkola, district Batang Toru secara administrative masih dipisahkan dengan Afd. Mandheling en Ankola.

Sementara itu, pada masa ini (1900) Residentie Sumatra’s Oostkust masih meliputi Bengkalis. Awalnya ibukota berada di Bengkalis, tetapi sejak 1887 ibukota dipindahkan ke Medan (Deli). Hal ini terkait dengan semakin berkembangnya industry perkebunan di Deli dan sekitarnya. Industri perkebunan di Sumatra’s Oostkust khususnya di Deli secara legal formal baru dimulai 1869 dengan didirikannya Deli Mij, meski sudah sejak tahun 1865 Nienhuys memulai usaha perkebunan tembakau Deli.  Kini (1901), setelah 30 tahun, industri perkebunan baru dimulai di Tapanoeli oleh WJJ Kehlenbrink. Lokasi industri perkebunan pertama yang dipilih berada di koeria Loemoet, distrik Batang Toru seluas 6.000 bau dengan konsesi selama 75 tahun.

Sesungguhnya inisiatif membangunan industri perkebunan lebih awal di Tapanoeli (tepatnya di Mandheling en Ankola) daripada di Deli. Namun inisiatif itu tidak berlanjut, karena penduduk enggan melepaskan lahan yang ‘menganggur’ untuk dikontrak sebagai konsesi perkebunan. Padahal para kreditur sudah menawarkan dana investasi hingga ke Mandailing. Alasan lainnya diduga karena pemerintah masih memiliki kepentingan dalam urusan koffiestelsel. Akibatnya industry perkebunan di Tapanoeli kala itu seakan ‘layu sebelum berkembang’.

Sejarah BATANG TORU (4): Industri Perkebunan di Tapanuli Dimulai di Batang Toru, Bermunculan Orang Kaya Baru



Perkebunan kopi dan nenas di Batang Toru
Pembangunan jembatan Batang Toru adalah suatu prestasi pemerintah kolonial di Nederlandsch Indie. Berita ini sudah tersiar jauh hingga ke Eropa khususnya Nederland. Bahkan jembatan Batang Toru ini mendapat sambutan dalam suatu pameran di Amsterdam dimana jembatan lama dari rotan disandingkan dengan jembatan baru dari baja (Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad, 24-08-1886). Sang arsitek mendapat apresiasi sebagaimana dilaporkan oleh Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 04-01-1884: ‘Gubernur Jenderal di Batavia memuji hasil kerja Eisses dan diberi cuti selama dua bulan ke Eropa’.

Ketika jembatan Batang Toru selesai dibangun (1883), di atasnya sudah makin sibuk gerobak-gerobak pedati yang datang dari Angkola dengan muatan yang berisi kopi. Kopi-kopi ini diteruskan ke pelabuhan Loemoet dan kemudian dikumpulkan di pelabuhan Djaga-Djaga sebelum diangkut dengan kapal ke Padang. Sementara pada masa ini pelabuhan Baros masih aktif menampung komoditi ekspor lainnya utamanya kamper. Para pedagang dari Angkola (termasuk Batang Toru) membawa dagangan kamper dalam keranjang rotan dengan tangkai bamboo di pundak. Dalam skala besar pedagang Tionghoa meneruskan ke Singapura lalu diekspor ke Tiongkok (utamanya keperluan balsam bagi orang yang meninggal). Dari Baros para pedagang membawa garam dan produk lainnya untuk diperdagangkan di Batang Toru dan Angkola (Sumatra-courant : nieuws- en advertentieblad, 22-02-1881). 

Namun diantara puja puji yang dialamatkan terhadap jembatan Batang Toru dan kepada arsitek Eisses, juga ada kritik yang dilancarkan, terutama ditujukan terhadap jembatan Batang Toru. Orang-orang yang kritik di satu sisi menganggap jembatan itu indah dan meski telah menelan biaya yang sangat fantastis tapi itu sepadan. Mereka menyoroti bahwa biaya yang sangat besar itu menganggap terlalu tinggi buat menghubungkan Sibolga dan Angkola. Ini dianggap taruhan pemerintah ‘membuang biaya besar’ dan merugikan (tidak sebanding pengeluaran dengan pendapatan yang diharapkan). Kendaraan yang melintas di atas jembatan hanya pedati dan masih lebih efisien dengan menyewa angkutan kuda yang hanya f2 per pikul. Memang harga kopi (Angkola dan Sipirok) terus meningkat tetapi apakah biaya investasi jembatan akan kembali dalam 40 tahun? Demikian para pengkritik (lihat juga Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad, 24-08-1886).

Selasa, Maret 15, 2016

Sejarah BATANG TORU (3): Ibukota Afdeeling Pindah ke Padang Sidempuan, Jembatan Batang Toru Dibangun


Jembatan Batang Toru dibangun 1879 (selesai 1883)
Setelah Batang Toru, Afdeeling Sibolga en Ommelanden berhasil membentuk pemerintahan (1871), pada saat yang kurang lebih sama di Afdeeling Mandheling en Ankola terjadi perubahan besar, yakni ibukotanya dipindahkan dari Panjaboengan ke Padang Sidempoean (1870). Ini dengan sendirinya, Batang Toru akan menjadi lebih strategis dalam pembangunan karena berada diantara dua pusat pertumbuhan ekonomi (PadangSidempuan dan Sibolga). Situasi ini akan menyebabkan Batang Toru akan lebih cepat tumbuh dan berkembang.

Pembangunan infrastruktur jalan sudah memadai antara Padang Sidempuan dan Sibolga. Namun kini jalur transportasi tidak lagi melalui (pelabuhan) Loemoet via (pelabuhan) Djaga-Djaga menuju Sibolga tetapi dari Loemoet melalui jalan pos (darat) ke Sibolga. Meski demikian, kualitas jalan masih jauh dari memadai. Karena itu adakalanya transportasi sungai dan laut masih digunakan untuk mengangkut komoditi dari Loemoet ke Sibolga.

Pada tahun 1871 ada seorang pembaca menulis bahwa intinya seperti ini: banyak pejabat di afdeeling Tapanolei (Afdeeling Sibolga en Ommelanden) yang kurang pedu8li terhadap kepentingan penduduk. Para pejabat hanya melakukan tugas-tugas administrasi dan agak malas turun ke lapangan terutama pelosok-pelosok. Penulis ini kini bekerja dibawah naungan misi di Parbirahan dimana dulunya bekerja untuk pemerintah dan pernah ditugaskan di afdeeling Mandheling en Ankola (lihat Bataviaasch handelsblad, 14-03-1871). Mungkin penulis ini merasa perlu menggerakkan penduduk melalui pemerintah, karena mungkin dia telah melihat contoh nyata di afdeeling Mandheling en Ankola. Pemerintah dan penduduk sudah mulai kondusif untuk bekerjasama.

Senin, Maret 14, 2016

Sejarah BATANG TORU (2): Pembentukan Pemerintahan, Sejumlah Kuria di Batang Toru Dipisahkan dari Onderafdeeling Angkola



Koeria dan Marga di Angkola, Sipirok dan Batang Toru
Secara historis loehat-loehat di Angkola, Sipirok dan Batang Toru saling terhubung. Ketiga lanskap tersebut selain bahasa dan adat yang kurang lebih sama, juga secara genealogis masih mudah ditelusuri (misalnya marga Siregar dan marga Poeloengan). Pada fase awal pemerintahan kolonial loehat-loehat Batang Toru masih menjadi bagian dari Onderafdeeling Angkola karena secara ekonomi Loemoet adalah pelabuhan dari hasil-hasil pertanian dari Angkola dan Sipirok. Namun dalam perkembangannya secara administratif wilayah Angkola dikurangi dan wilayah Sibolga ditambahkan. Hal ini lebih disebabkan kedekatan georafis semata untuk meningkatkan efektivitas pemerintahan. .

Pembagian wilayah administrasi

Secara tradisional batas-batas huta (lingkungan tempat tinggal tradisi=ulayat) sudah sejak lama ada. Kepala-kepala huta ini terdiri dari radja panoeosoenan (pamungka huta), radja pamoesoek dan kepala ripe (turunannya). Federasi huta-huta yang satu garis keturunan ini (genealogis dan territorial) terbentuk daerah tradisi yang disebut sebagai loehat (negeri). Loehat-loehat inilah yang menjadi dasar bagi pemerintah untuk menyusun wilayah administrasi pemerintahan colonial Belanda. Loehat-loehat yang berada di satu kesatuan geografis (social ekonomi) ditandai Belanda sebagai satu lanskap (tanah, air dan penduduk).

Lanskap-lanskap pertama yang diadministrasikan oleh pemerintah kolonial Belanda adalah lanskap Natal, lanskap Mandheling, lanskap Angkola, lanskap Pertibie. Di lanskap Mandheling terdiri dari lanskap-lanskap yang lebih kecil yakni Groote Mandheling, Klein Mandheling, Oeloe, Pakantan. Di lanskap Angkola terdiri dari lanskap Angkola Djae, lanskap Angkola Djoeloe, dan lanskap Dollok. Dari berbagai lanskap tersebut, afdeeling pertama yang dibentuk adalah Afdeeling Natal dan Afdeeling Mandheling en Ankola.

Minggu, Maret 13, 2016

Sejarah BATANG TORU (1): Kisahnya Mengalir Sejak Doeloe, Namanya Baru Dikenal Kemudian



Muara sungai Lumut menuju Angkola via Batang Toeu
Apakah ada sejarah Batang Toru? Jawabnya, ada. Tapi darimana kita memulainya?  Sepintas agak samar, tetapi masih bisa ditelusuri.  Hanya saja jangan menelusuri ke hulu atau ke hilir sungai. Sebab nama Batang Toru baru muncul kemudian. Mulailah menelusuri dengan memahami dua arah sisi sungai yang berlawanan: ke arah barat di pantai dan ke arah timur di pegunungan. Oleh karena itu origin sejarah Batang Toru tidak dimulai dari sungai Batang Toru sendiri, tetapi secara tidak langsung (vis-à-vis) karena dua hubungan tempat: yang berjauhan Barus (di barat) dan Angkola (di timur).

Pemahaman teoritis ini juga ternyata kemudian berulang kembali pada era kolonial Belanda. Lanskap Batang Toru awalnya masuk Onderafdeeling Ankola, Afdeeling Mandheling en Ankola tetapi kemudian dipisahkan dan dimasukkan ke Afdeeling Sibolga en Ommnenlanden. Lalu kemudian lanskap Batang Toru kembali lagi menjadi bagian dari Onderafdeeling Ankola, Afdeeling Padang Sidempuan. Hal lainnya: ibukota Residentie Tapanoeli awalnya di Sibolga, lalu pernah pindah ke Padang Sidempuan tetapi kemudian kembali lagi ke Sibolga.Lantas, apa gerangan yang membuatnya demikian? Mari kita lacak!

Jalur perdagangan kuno Angkola-Barus

Barus sudah dikenal sejak jaman perdagangan kuno. Suatu tempat dimana pedagang-pedagang Ceilon, India, Persia, Arab dan Mesir melakukan pembelian produk-produk alami seperti kamper dan kemenyan. Pada waktu itu hanya Tanah Batak yang menghasilkan dua produk komersial dunia itu. Ini secara langsung menjelaskan bahwa keberadaan penduduk Batak mendahului munculnya pelabuhan Barus sebagai pelabuhan ekspor-impor dunia. Penduduk Batak yang mengusahakan kamper dan kemenyan ini mentransfer ke Barus untuk dipertukarkan dengan produk luar seperti garam, besi dan kain.

Selasa, Maret 08, 2016

Bag-3. Sejarah PADANG LAWAS: Pembentukan Pemerintahan di Padang Lawas, Tertunda Karena Kondisi Internal dan Perubahan Situasi Regional

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Padang Lawas dalam blog ini Klik Disini


Kantor Controleur Afdeeling Padang Lawas di Goenoengtoea
Pembentukan pemerintahan di Padang Lawas sesungguhnya baru dimulai tahun 1879. Padahal sudah sejak tahun 1838 lanskap (afdeeling) Padang Lawas harus memulai babak baru dalam pembentukan pemerintahan sipil (sebagaimana yang terjadi di Afdeeling Mandheling en Ankola). Ketika lanskap-lanskap di Sumatra’s Oostkut mulai berbenah (1862), lanskap Padang Lawas malah tetap dibiarkan begitu saja. Akibatnya kemajuan yang pesat di barat dan di timur, justru Padang Lawas semakin terisolasi dan makin terbelakang. Ini semua karena program coast to coast tidak dijalankan oleh pemerintah kolonial. Mengapa demikian? Mari kita lacak!

***
Peta militer pembebasan Padang Lawas (pusat di Portibie)
Portibie dibebaskan. Ketika detasemen melakukan konsolidasi kekuatan di Pertibie (untuk mengepung Tambusei), Oeristak, Simangambat, Kotabaroe dan Lantasan menyerah. Kekuatan Tambusai hanya tinggal Daloe-Daloe (yang menjadi ibukota). Setelah Oeristak diduduki, Kota Pinang telah menyerah, pimpinan Panei diancam, maka segera detasemen menduduki Panei dan Bila. Dengan demikian, sungai Baroemoen yang dapat dilayari dijadikan sebagai lalulintas perdagangan yang penting dan akan mampu meningkatkan kas Negara (melalui bea impor dan ekspor).

Lalu setelah Daloe-Daloe berhasil dilumpuhkan (Tambusai telah melarikan diri (ke pulau), maka situasi dan kondisi keamanan menjadi terkendali. Pemerintah Belanda melihat pencapaian itu tidak sekadar hanya melumpuhkan Tambusai tetapi juga (sekali mendayung tiga pulau terlampaui): 1. Telah membuka pantai timur (coast to coast) melalui muara sungai Baroemoen; 2. Riaou yang masih independent dianggap dengan sendirinya melemah, karena sumber ekonomi utama juga dari daerah Batak (kamper, benzoin) dan Minangkabau (lada); 3. Sumatra’s Oostkust terpecah, hubungan Siak dan lanskap-lanskap di utara (utamanya Deli) ‘terputus’ dan posisi Riaou terjepit setelah sebelumnya Jambi di bawah colonial.

Selasa, Maret 01, 2016

Bag-16. Sejarah Padang Sidempuan: Sersan Mayor Lian Kosong dan Orang-Orang Tionghoa Sudah Ada Sejak Doeloe di Padang Sidempuan



Tugu Siborang, Padang Sidempuan
Kota Padang Sidempuan memiliki banyak pahlawan, salah satu diantaranya adalah Sersan Mayor (Serma) Lian Kosong. Namanya kini ditabalkan menjadi nama jalan untuk menggantikan  nama Jalan Jenderal Sudirman di tengah kota Padang Sidempuan. Serma Lian Kosong telah turut aktif berjuang melawan tentara/pasukan Belanda pada masa agresi militer kedua. Pada saat itu, komandannya adalah Kapten Koima Hasiboean.

Seorang Tionghoa di Indonesia memang jarang terdengar ikut berjuang, apalagi ikut mengangkat senjata, tapi itulah Padang Sidempuan. Keberanian dan patriotisme Lian Kosong, anak Padang Sidempoean adalah hati nuraninya untuk berpartisipasi dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Namanya patut dicatat dan diabadikan. Lian Kosong adalah bagian dari sisa Republik Indonesia kala itu.

Lian Kosong kelahiran Padang Sidempuan berjuang di tengah Kota Padang Sidempuan dan bergerilya hingga di Benteng Huraba, Pintu Padang di selatan, Aek Kambiri, Sipirok di utara dan jembatan Batangtoru di barat.

Orang-orang Tionghoa di Padang Sidempuan sejak doeloe

Tidak ada orang Tionghoa sefanatis di Padang Sidempuan. Usut-punya usut orang-orang Tionghoa sudah ada sejak lama di Padang Sidempuan. Bahkan orang Tionghoa besar kemungkinan sudah ada sejak akhir abad ketujuh belas. Mereka adalah pedagang-pedagang yang berkeliling di Angkola (sekitar antara Pijorkoling, Batunadua, Hutarimbaru dan Sidangkal. Pedagang-pedagang Tionghoa ini datang dari rute Malaka via sungai Baroemoen di pantai timur Sumatra.