Baca juga:
Sejarah Kota Medan (1): Pada Saat Medan Masih Sebuah Kampung, Padang Sidempuan Sudah Menjadi Kota
Gelar Doktor Pertama di Indonesia: Dr. Ida Loemongga, PhD, Doktor Perempuan Pertama di Indonesia
Bapak Pers Indonesia: Dja Endar Moeda, Kakek Pers Nasional dan Parada Harahap, Cucu Pers Nasional
Medan Perdamaian: Organisasi Sosial Pertama di Indonesia (bukan Boedi Oetomo)
Karim
gelar Mangaradja Gading adalah seorang pemuda belia, anak Padang Sidempuan yang
baru saja lulus Kweekschool Padang Sidempuan masih berpikir apakah di masa
depan akan menjadi guru. Sebagaimana umumnya, lulusan Kweekschool Padang
Sidempuan, ada yang menjadi guru dan ada yang menjadi pegawai pemerintah.
Mangaradja Gading melakukan ‘kebulatan tekad’ untuk melamar sebagai pegawai
pemerintah. Setelah diterima, Mangaradja Gading ditempatkan di kantor residen
Tapanoeli di Sibolga.
Setelah
beberapa tahun Mangaradja Gading ditunjuk untuk menjadi pengawas di Jambi. Dari
Sibolga, Mangaradja Gading, istri dan seorang anak berangkat ke wilayah baru
yang belum mereka kenal, melalui Padang lalu menuju Sarolangun, Jambi. Setelah
setahun bertugas di Sarolangun, istri Mangaradja Gading melahirkan anak kedua
tanggal 15 Juli 1905 yang diberi nama Abdul Hakim.
Dari
Sarolangun selanjutnya, Mangaradja Gading dipindahkan ke Kota Jambi. Di kota
ini, Mangaradja Gading memasukkan Abdul Hakim di sekolah ELS untuk mengikuti
abangnya yang sudah lebih dahulu bersekolah. Namun karena sudah cukup lama
bertugas di Jambi, Mangaradja Gading minta dipindahkan ke Sibolga. Abdul Hakim
tidak selesai mengikuti sekolah ELS.
Pada
tanggal 19 Juli 1916 Mangaradja Gading pulang kampong dengan menumpang kapal
s.s. van Hogendorp trayek Medan-Batavia berangkat dari Jambi (kapal ini singgah
di beberapa kota penting seperti Pekanbaru, Jambi dan Palembang).
Mangaradja Gading dari Djambi pulang kampung di Tapanoeli |
***
Di
Sibolga, Mangaradja Gading berdinas kembali di kantor lama dengan pangkat yang
lebih tinggi. Abdul Hakim yang tidak sempat menyelesaikan sekolah dasarnya di
Jambi, dimasukkan ke sekolah ELS yang ada di Sibolga1 (hanya satu
buah ELS di Tapanoeli, sebelumnya di Padang Sidempoean). Setelah lulus ELS, Mangaradja Gading menyekolahkan Abdul
Hakim ke MULO (sekolah menengah pertama) di Padang. Selanjutnya Mangaradja
Gading menyekolahkan Abdul Hakim ke Batavia di sekolah Prins Hendrikschool
(sekolah menengah atas, bidang ekonomi). Di luar sekolah, Abdul Hakim di Batavia aktif
dalam
organisasi
pemuda seperti Jong Islamieten Bond, Jong Batak dan Jong Sumatra Bond.
Setelah
lulus di Prins Hendrikschool, Abdul Hakim mengikuti kursus untuk layanan bea dan cukai. Abdul Hakim lalu ditempatkan
di bea dan cukai di Medan 1927. Di kota ini, Abdul Hakim menikah dengan boru
Tapanoeli, Mariana br. Loebis, seorang gadis yang pernah dikenalnya dulu ketika
Abdul Hakim bersekolah di MULO Padang sementara Mariana masih di sekolah dasar.
Setelah
cukup mengenal Medan dan aktivitasnya yang bergerak di bidang pabean
memungkinkannya untuk membangun networking dan kemudian Abdul Hakim menjadi
lebih dikenal secara luas. Lantas dia maju dalam pemilihan anggota dewan kota
(gementeeraads). Abdul Hakim menjelaskan pada waktu itu minat yang besar dalam
Medan untuk masalah ekonomi, keuangan dan sosial, Selama di Medan, tujuh tahun
terakhir dari sepuluh tahun di Medan Abdul Hakim menjadi anggota dewan kota. Kegiatan
yang dilakukan Abdul Hakim selain anggota dewan adalah aktif sebagai guru
privat bahasa Inggris dan bahasa Perancis (yang super langka kala itu).
Prestasi Abdul Hakim selama di dewan, Abdul Hakim telah berkontribusi besar
terhadap pembangunan kota Medan utamanya Pasar Central dan Rumah Sakit Urnurn.
***
Abdul Hakim, 1937 |
Komite
pembangunan Tapanoeli ini awalnya digagas oleh Sanusi Pane, anak Sipirok
kelahiran Palembang. Komite ini memiliki
tujuan untuk mengajukan desain rencana reformasi wilayah
administrasi (keresidenan) Tapanoeli. Istilah masa
kini Rencana Jangka Panjang. Dewan Komite terdiri
sebagai berikut
(disalin sesuai yang tertulis dalam Bataviaasch nieuwsblad, 01-03-1938): Presiden: Sanusi Pane (editor majalah ‘Kebangoenan’, Wakil Ketua: J.K. Panggabean, Sekretaris dan Bendahara:
Napitoepoeloe. Anggota terdiri dari: Parada Harahap (editor ‘Tjaja Tijmoer’, Hakim Harahap
(mantan anggota dewan kota Medan,
A.L. Tobing, H. Pane, T.
Dalimoente, Panangian Harahap. Sebagai penasehat komite ini adalah Mangaradja Soangkoepon, dr. Abdul Rashid, Dr. S. G. Moelia (ketiganya anggota Volksraad),
dan Mr. Amir Sjarifoeddin.
.
Abdul
Hakim beberapa kali pindah sebelum akhirnya pada tahun 1941 Abdul Hakim dipindahkan
ke Makassar.
De Sumatra post, 21-10-1941, Abdul Hakim di
Departemen Keuangan (Dept. van Financien), ditunjuk sebagai yang dipersepsikan untuk jabatan
Administrator Keuangan kelas-3 di kantor pusat (Centraalkantoör) untuk akun
Macassar. Abdul Hakim sebelumnya adalah seorang pejabat di kantor Gubernur Jawa
Barat yang saat ini diperbantukan ke kantor Pontianak untuk tugas-tugas yang
sama.
Selama
pendudukan Jepang, Abdul Hakim di Makassar menjabat sebagai representatif kepala
kantor pusat di wilayah Sulawesi. Belum lama di Makassar, tiba-tiba ada kabar pendudukan
Jepang sudah mulai berlangsung di Batam. Pada bulan Februari, kapal-kapal Jepang akhirnya mendarat di pelabuhan Makassar. Abdul Hakim diperintahkan oleh pimpinannya di Batavia untuk menghentikan kegiatan kantornya. Abdul Hakim dan keluarga
lalu mengungsi. Namun dalam perkembangannya dari pihak Jepang melalui pegawanya diminta untuk bekerja
kembali di kantor. Menurut riwayatnya Jepang cukup memercayai Abdul Hakim
karena kerjanya dianggap bagus dan memiliki pengetahuan yang luas apalagi Abdul Hakim menguasai tiga bahasa asing (Belanda, Prancis dan Inggris).
***
Pada
tahun 1943 di dalam tugas-tugasnya yang super sibuk dan ketat di Makassar
dibawah pengawasan militer Jepang, Abdul Hakim mendapat kabar duka, ayahnya
Karim Harahap gelar Mangaradja Gading telah meninggal dunia di huta. Abdul
Hakim ingin segera ke kampong sebagaimana adatnya, tetapi tidak mudah untuk dilakukan
kala itu. Kisah perjalanan pulang kampung ini diceritakan oleh anak Abdul Hakim yang bernama Januar Hakim kepada cucunya.
Awalnya
permintaan Abdul Hakim sempat tidak diizinkan pulang oleh gubernur Jepang, karena
terlalu bahaya, tetapi ketika terus didesak, akhirnya gubernur menyediakan
kapal perang Jepang. Sampai di Surabaya, Abdul Hakim dan keluarga melewati jalur darat
ke Jakarta dan berhenti selama sekitar dua minggu lebih untuk bertemu keluarga
dan juga karena adiknya juga ingin ikut ke Sumatera. Abdul Hakim berhenti di Pulau
Jawa sekitar kira-kira satu bulan. Setelah itu Abdul Hakim dan keluarga menyeberang
ke Sumatera menaiki perahu. Pada suatu malam sudah mendekati Sumatera, perahu yang
digunakan bocor karena terkena batu karang. Akhirnya nakhoda memutuskan untuk
berlabuh di pantai yang tak dikenal. Di kampung itu penduduknya sangat membantu,
ternyata tempat itu diketahui sebagai pantai di Kalianda. Abdul Hakim dan
keluarga ditampung di suatu bangunan yang kebetulan sebuah SD untuk sementara
pada waktu itu sekolah tengah libur. Akhirnya Abdul Hakim dan keluarga
melanjutkan perjalanan dengan bus ke Tanjung Karang dan menginap selama satu
minggu untuk menjemur pakaian yang terkena air laut. Dari Tanjung Karang
perjalanan darat dilanjutkan ke Tapanuli dengan memakan waktu dua minggu.
Setelah segala sesuatunya ditunaikan
secara adat di kampong halaman, Abdul Hakim tidak pernah berpikir kembali ke
Makassar. Di Tapanuli sendiri, militer Jepang ingin menanamkan image baik di hadapan
rakyat Indonesia, lantas Jepang membentuk dewan perwakilan rakyat di eks
Kresidenan Tapanuli. Abdul Hakim yang diidentifikasi ‘berkelakuan baik’ oleh
Jepang lalu dipanggil ke Tarutung (ibukota Tapanuli yang baru, menggantikan
Sibolga) untuk menjabat sebagai sekertaris tetap dewan.
***
Setelah Jepang takluk terhadap
sekutu dan tidak berdaya, dewan Tapanuli vakum, Pada tahun 1945 Abdul Hakim bergabung
dengan Masyumi di Tapanuli. Tokoh
Masyumi di Medan kala itu yang terpenting adalah Burhanoeddin Harahap. Aliansi
masyumi di dua kresidenan di Noord Sumatra ingin saling sinergi. Ketika sekutu
menunjukkan tanda-tanda agresinya di Sumatra khususnya di Medan dan sekitarnya,
dari pusat di Jakarta, Abdul Hakim mendapat perintah dari Amir Sjarifoedin (Menteri
Pertahanan RI) untuk membentuk BKR di eks Kresidenan Tapanoeli, untuk
menciptakan dasar untuk pembentukan Komite Nasional Indonesia untuk wilayah Tapanuli. Setelah
proklamasi Republik Indonesia pada bulan Agustus 1945, ia ditunjuk menjadi Wakil Residen Tapanuli dan kemudian menjadi penasehat Residen
Tapanuli. Singkat cerita, September-November 1948, Abdul
Hakim telah memberikan
banyak dukungan kepada Residen
Tapanuli,
Gubernur Sumatera dan komandan Sumatera
hingga kedatangan Wakil Presiden M. Hatta di Sibolga. Ketika
Sumatra Timur sudah dikuasai, Belanda merangsek dan tekanan semakin kuat di
Tapanuli. Dalam situasi ini, lantas Abdul Hakim diangkat menjadi
wakil komandan militer di wilayah
Tapanuli [Gubernur Militer Noord Sumatra kala itu adalah Mayjen dr.
Gindo Siregar].
Het
nieuwsblad voor Sumatra, 02-03-1949:
‘Setelah kedatangan pasukan Belanda, seperti yang kita baca dalam
"Mestika" hari ini di Padang Sidempuan, tokoh-tokoh penting
Indonesia yang tengah berada di Padang Sidempuan membentuk komite untuk mempelajari status masa depan Tapanuli. Dalam
pertemuan komite dadakan ini dihadiri oleh A.S. Soripada, Mr. Abas dan Abdul Hakim. Setelah beberapa
diskusi berlangsung, kemudian pada tanggal 20 Februari, pertemuan dilakukan kembali dimana sangat banyak tokoh terkemuka
dari Tapanuli Selatan hadir di samping anggota Komite yang sudah ada. Pada
pertemuan ini mereka datang untuk mengekspresikan bulat keinginan bahwa
Tapanuli harus mendapat otonomi sebagai daerah istimewa, dan diakui sebagai seperti Vorenigde Serikat Indonesia. Selain itu, bagaimanapun, oleh
sejumlah peserta mengungkapkan keinginan menjadi Daerah Otonom dimaksudkan untuk membatasi
daerah sendiri, hak-hak istimewa otonom juga dapat diberikan lagi. Panitia
kerja secara khusus lalu dibentuk untuk memeriksa kelayakannya.
Sementara itu, juga telah dilakukan sama di Tapanuli Utara,
khususnya di Tarutung, pertemuan tokoh penting Indonesia dari daerah ini, di
mana juga adalah status Tapanuli dibahas. Perdebatan sengit disini dilakukan,
tapi akhirnya datang bagian dari pertemuan untuk mengekspresikan keinginan
bahwa Tapanuli akan dimasukkan sebagai negara terpisah di VSI dan sebagian yang
lain untuk menghubungkan Tapanuli dengan Negara Sumatera Timura. Akhirnya, ada
yang hadir, yang berpendapat bahwa untuk Tapanuli tetap ‘republik’, jika negara
tidak berubah. Ketika mereka akan lebih ingin mengubah negara masih
mempertimbangkan dua kemungkinan disebutkan: untuk membentuk negara sendiri
atau bergabung bersama dengan Negara Sumatera Timur’.
Masih pada tahun 1949 Abdul Hakim kemudian menjadi anggota dewan Keresidenan Tapanoeli dalam
kapasitasnya sebagai anggota Parlemen dari Sumatera dan Sumatera Utara. Dia kemudian menjadi anggota dari CUT (pendahulu parlemen)
Gubernur
Sumatera Utara dan anggota dari perwakilan dewan untuk Sumatera Utara di pengasingan. Abdul Hakim sempat ditunjuk sebagai
penasihat delegasi Republik yang akan pergi ke KMB di Den Haag bersama Gubernur
Republik Sumatera Utara, Mr. SM Amin (Nasoetion). Ketika di Den Haag, Abdul Hakim berpartisipasi sebagai penasihat umum
dari delegasi Indonesia. Lalu kemudian, pada tahun 1950 Abdul Hakim diangkat
menjadi duta besar (ambassadeur) di Pakistan. Selanjutnya dalam Kabinet Halim (1950) Abdul Hakim menjadi
Wakil Perdana
Menteri (mewakili Masyumi).
Abdul Hakim adalah bagian
dari kabinet terakhir Djokja R.I.
***
Mariana Loebis, 1951 |
Gubernur Abdul Hakim, 1953 |
***
De locomotief, 12-08-1955
|
***
AId de Preangerbode, 09-11-1956
|
***
Anak Abdul Hakim, Januar Hakim dan istri |
*Sumber
dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap
berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber pendukung lihat http://satulabsky.blogspot.com.
1 Het nieuwsblad voor
Sumatra, 26-01-1951Baca juga:
8 komentar:
Salam. Infonya sangat menarik. Apakah bisa saya mendapatkan link atau sumber dari koran dahulu yang mengatakan Abdul Hakim lahir di Sarolangun? terimakasih bantuannya :)
Salam. Infonya sangat menarik. Akah bisa saya mendapatkan link koran tempo dulu yang mengatakan bahwa Abdul Hakim lahir di Sarolangun? Terimakasih atas bantuannya :)
Bisa Pak Ande. Silahkan beritahu alamat emailnya ke alamat emai saya, agar saya bisa mengirim potongan-potongan surat kabar tempo doeloe. Nama email saya ada di laman atas.
Demikian
Salam dari Depok
Akhir MH
Ass.wrb....perkenalkan nama saya Sandi Kurniawan Hrp,Saya putra dari Sosopan,bertepatan di desa sosopan kec.sosopan,kab.padang lawas,yg saya ingin tanyakan dimana saudara mendapat kan data,dan bisa nggk kita komukasi,karna skrmg kami ingin mengangkat san membuat filim tentang sejarah abd hakim,bpk bisa kunjungi situs saya di Ig saya andre kurniawan hrp...trims...
Waalaikumsalam,
Sumber dari surat kabar (telah disebutkan di dalam artikel). Alamat email saya ada di laman profil di atas. Terimakasih. Selamat berkarya.
Terima kasih atas penjelasannya melalui blogger ini saya adalah anak dari adik almarhum Amang tua kami Abdul Hakim yang sekarang di Kalimantan
Abdul Hakim haruslah dipandang sebagai pahlawan Nasional dari Sumatra Utara.
Bang, minta sumber koran untuk ini dong. Email saya: armynumberuno@gmail.com
Posting Komentar