Mahasiswa
pertama dari Tapanuli Selatan adalah Si Asta dan Si Angan. Akan tetapi
mahasiswa pertama dari Indonesia studi ke luar negeri adalah Si Sati. Ketiga
anak remaja ini adalah sama-sama murid dari sekolah ala homeschooling yang diprakarsai
istri A.P. Godon (Asisten Residen Mandheling en Ankola). Setelah Si Asta dan Si
Angan sama-sama dinyatakan menyelesaikan pendidikannya (lulus) 1854, kedua anak
pemimpin Mandailing ini melanjutkan studi ke Jawa pada akhir Novemper 1854. Di
Batavia mereka mengikuti yang disebut Sekolah Dokter Jawa (cikal bakal STOVIA)
dan berhasil mendapat gelar yang disebut Dokter Jawa dan langsung mengabdi di kampong
halaman.
Sedangkan
Si Sati yang merupakan adik kelas Si Asta dan Si Angan, setelah lulus, ia
menjadi guru untuk menggantikan istri A.P. Godon. Karena minat yang besar
terhadap pendidikan dan karena pendidikan tinggi di Batavia hanya satu-satunya
Sekolah Dokter Jawa, Si Sati melanjutkan pendidikannya ke Negeri Belanda pada
tahun 1857. Setelah mendapat akte diploma guru, Si Sati yang berganti nama
menjadi Willem Iskander pulang kampong dan mendirikan sekolah guru (kweekschhol)
di Tanobato.
Si
Asta dan Si Angan adalah dua dokter djawa dari Sekolah Dokter Djawa pertama
yang berasal dari luar Jawa. Sedangkan Si Sati alias Willem Iskanderr adalah mahasiswa
pertama Indonesia yang studi ke luar negeri. Sekadar catatan: baru tahun 1897
orang kedua Indonesia yang datang studi ke (negeri Belanda). Ini berarti Willem
Iskander mendahului yang lain selama 40 tahun.
***
Abdul
Hasan lahir di Salamboewe, Mandailing adalah anak dari dr. Asta. Abdul Hasan
setelah menyelesaikan sekolah pribumi di kampungnya, melanjutkan pendidikan
guru di Kweekschool Padang Sidempuan. Setelah dua tahun di kweekschool (sekolah
guru), Abdul Hasan gelar Maharadja Salamboewe menjadi siswa magang dan menjadi
penulis di Kantor Residen Tapanoeli. Setelah lulus, Maharadja Salamboewe tidak
menjadi guru, namun melamar menjadi pegawai pemerintah dan kemudian diangkat
menjadi adjunctdjaksa (wakil jaksa) di Natal (Tapanoeli) pada tahun 1897. Dari
Natal Maharadja Salamboewe dipindahkan dengan tugas yang sama ke Air Bangis
(Bovenlanden) tahun 1899.
Tidak
lama menjadi jaksa, Maharadja Salamboewe ‘desersi’ dan lalu dipecat.Ia malah
bangga. Abdul Hasan gelar Maharadja Salamboewe tidak senang dengan
kesewenang-wenangan pemerintah terhadap rakyat. Tahun 1903, Maharadja Salamboewe
pindah haluan dan merantau ke Sumatra Timur di Medan. Di kota ini, Maharadja Salamboewe
segera ditunjuk dan ditetapkan oleh penerbit J. Haliermann menjadi editor Koran
Pertja Timor. Para pemilik penerbitan itu ternyata tertarik kepada Maharadja Salamboewe
karena mereka sudah lama mempelajari kecerdasannya sewaktu menjadi jaksa.
Anehnya, para petinggi penerbitan yang menerbitkan koran yang terbit dua kali
seminggu ini sudah tahu pula mereka bahwa Maharadja Salamboewe sudah lama tidak
berbicara dengan orang-orang Belanda bahkan di Medan—dia lebih dekat dengan
rakyat.
Koran
Sumtra Post yang dikutip juga oleh Bataviaasch nieuwsblad mengakui bahwa Maharadja
Salamboewe memiliki keingintahuan yang tinggi, memiliki kemampuan jurnalistik
yang hebat. Koran ini juga mengakui bahwa Maharadja Salamboewe memiliki pena
yang tajam dan memiliki kemampuan menulis yang jauh lebih baik disbanding wartawan-wartawan
pribumi yang ada. Hebatnya lagi, masih pengakuan koran ini, Maharadja Salamboewe
selain sangat suka membela rakyat kecil, Maharadja Salamboewe juga sering
membela insane dunia jurnalistik baik wartawannya maupun korannya. Kami juga
respek terhadap dia, demikian diakui oleh koran Sumatra Post yang juga diamini
oleh Koran Bataviaasch nieuwsblad.
***
Abdul
Hasan gelar Maharadja Salamboewe adalah manusia langka di jaman itu, apalagi
sudah jamak diketahui umum bahwa penindasan pemerintah terhadap rakyat di
Sumatra Timur kala itu sangatlah kejam. Maharadja Salamboewe datang dan berada
di tempat yang tepat. Sebagai editor koran berbahasa Melayu yang dimiliki
orang-orang Belanda tidak ada kurangnya. Maharadja Salamboewe adalah anak
dokter, guru yang tidak menjadi guru, tetapi penulis yang piawai di kantor
pemerintah, lebih-lebih dengan pengalamannya di bidang justitie ketika dia
masih menjabat sebagai adjunctdjaksa di Natal (tempat dimana Multatuli pernah
menjadi Conroleur).
***
Abdul
Hasan gelar Maharadja Salamboewe tidak berumur panjang. Maharadja Salamboewe
meninggal pada usia muda pada tanggal 28 Mei 1908. De Sumatra post edisi 29-05-1908
memberitakan kematian wartawan pemberani ini. Dalam berita koran ini, editor
juga mengungkapkan rasa duka cita yang dalam, karena Maharadja Salamboewe tidak
hanya membela rakyatnya tetapi juga dunia jurnalistik (yang sebagian besar
wartawan pada waktu itu berbagsa Belanda/Eropa). Editor ini melanjutkan bahwa "Di dalam seratoes orang pribimu tidak ada
satoe yang begitoe brani’. Saat mana Maharadja
Salamboewe di waktu pemakamannya hampir semua wartawan Medan hadir termasuk yang
berbangsa Belanda. Abdul Hasan gelar Maharadja Salamboewe dimakamkan di tempat pemakaman
Jalan Sungai Mati.
***
Koran
Pertja Timor waktu itu adalah koran yang benar-benar koran. Setelah Maharadja Salamboewe
tiada, 'pakem' koran ini tidak berkurang. Wartawannya ‘hilang satu tumbuh seribu’.
Setelah Maharadja Salamboewe, muncul Soetan Parlindoengan dan Parada Harahap.
Kedua yang disebut terakhir ini adalah memiliki ‘darah’ delik pers yang kuat dari
Tapanuli Selatan.
*Dikompilasi
oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan
sumber-sumber tempo doeloe.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar