Oleh Akhir
Matua Harahap
Peta Padang Sidempuan 1843-1847 (Peta: KTILV.NL) |
Ketika
Belanda menduduki wilayah Padang Sidempuan (datang dari arah Mandailing / Air Bangis), pasukan Belanda membangun jembatan Siborang dan jembatan Sigiringgiring
yang mengakibatkan daerah Siborang menjadi sebuah persimpangan utama yang menghubungkan
lalu lintas utara, selatan dan barat dari dan ke benteng Padang Sidempuan. Sehubungan dengan
pemindahan ibukota Keresidenan Tapanuli dari Air Bangis (daerah Pasaman) ke Padang Sidempuan pada tahun 1884--wilayah Kota Padang Sidempuan pada masa
kini--wilayah ini sebelumnya adalah semacam tanah ulayat dari empat area komunitas marga Harahap:
yang berada di arah utara adalah Batunadua/Pargarutan, di arah selatan adalah
Pijor Koling, di arah barat adalah Hutaimbaru / Angkola Julu; dan satu lagi dan
merupakan inti komunitas marga Harahap yakni di arah tenggara adalah Sidangkal / Simarpinggan.
Penduduk asli marga Harahap di Sidangkal ini sudah sejak lama melakukan aktvitas berladang dan berburu di areal yang kini menjadi pusat Kota Padang Sidempuan.
Kampung Sidimpoean:
Cikal Bakal Nama Kota Padang Sidempuan
Lembah Padang Sidempuan (dilihat dari tor Simarsayang) |
Kota Padang Sidempuan secara topografis berada di sebuah lembah (cekungan) di dataran tinggi seperti halnya Kota Bandung. Sekalipun Kota Padang Sidempuan berada di sebuah lembah, dalam kenyataannya sesungguhnya tidak pernah mengalami banjir. Ini disebabkan oleh kontur wilayah kota yang bisa diperhatikan sekarang relatif datar dimana semua sungai/anak sungai yang ada arusnya berada jauh di bawah. Dengan kata lain sungai-sungainya berada di dalam jurang atau dulu disebut rura.
Sungai Batang Ayumi adalah sebuah sungai utama di wilayah Padang Sidempuan yang airnya bersumber dari gunung Lubuk Raya (1886 M) dan gunung Sibualbuali (1819 M). Sungai Batang Ayumi ini membelah kota Padang Sidempuan yang mengalir ke arah selatan/Sungai Batang Angkola yang kemudian bertemu dengan sungai Batang Gadis di Mandailing. Anak-anak sungai yang berada di wilayah Padang Sidempuan semuanya bermuara ke Sungai Batang Ayumi, seperti Aek Sipogas, Aek Sibontar dan Aek Sangkumpal Bonang. Sungai Batang Ayumi ini menjadi paralel dengan jalur lalu lintas pergerakan pasukan Paderi di masa lalu. Sungai Batang Ayumi yang dasarnya cukup dalam (jurang) menjadi semacam barrier untuk melindungi benteng Padang Sidempuan atau semacam pembatas yang menghubungkan wilayah timur dengan wilayah barat Kota Padang Sidempuan masa ini.
Sebuah desa (1870): Cikal bakal Kota Padang Sidempuan |
Terbentuknya Padang Sidempuan sebagai sebuah kota pada masa dulu merupakan konsekuensi sebuah strategi perang
terhadap perlawanan terhadap Pasukan Paderi, dimana pasukan pendukung Perang Paderi membuat benteng tepat di jantung
Kota Padang Sidempuan sekarang. Pintu masuk/keluar benteng ini pada waktu itu berada di Silandit / Aek Tampang (selatan) dan
Tanggal / Batunadua (utara). Sementara itu, daerah Tanggal (selatan Batunadua) merupakan jalur baru (ekonomi) yang dibuat di
era Belanda yang kira-kira seumur dengan pembangunan jembatan Siborang untuk mempersingkat arus perdagangan dari Sipirok ke pusat pemerintahan Belanda di Kota Padang Sidempuan (jalur lama lalu lintas perang Paderi melalui daerah Ujung Gurap).
Pusat transaksi sebelumnya berada di daerah Sihitang / Padang Matinggi dan kemudian berpindah ke
daerah Sitamiang (seiring dengan pembukaan jalur lalu lintas via Tanggal) dan akhirnya secara tetap/permanen dipindahkan ke pusat Kota Padang Sidempuan (hingga masa ini). Lokasi pusat transaksi (pasar) baru yang
dimaksud adalah areal pasar yang lokasinya berada antara markas militer
Belanda (Kodim sekarang) dengan pos polisi Belanda (atau dulu dikenal Pos Kota). Pusat pasar ini semakin berkembang, lantas dikemudian hari pasar tersebut ditingkatkan dari pasar terbuka (pasar kaget) menjadi pasar tertutup (permanen) yang situsnya dulu masih bisa dilihat sebagai Pajak Batu dan Pajak Kawat.
Pasar Sangkumpal Bonang (latar Kampung Bukit, 1980-an) |
Sementara itu, benteng
Padang Sidempuan adalah sebuah area di sekitar jembatan Siborang atau tepatnya
di lokasi dimana kantor Walikota sekarang. Lokasi ini dipilih para panglima
perang pendukung pasukan Paderi dalam melawan Pasukan Paderi dan Belanda karena letaknya yang terlindung oleh sungai Batang
Ayumi di area Siborang. Selain itu, areal ini juga terdapat padang (hamparan yang luas) dan letaknya agak tinggi (padang na dimpu) di area
Kampung Bukit sekarang. 'Padang na dimpu' ini menjadi tempat peristirahatan atau kandang bagi
kuda-kuda perang pasukan pendukung (ex) Paderi.
Sementara di barat dan utara 'padang na dimpu' yang dikemudian hari menjadi asal kata Padang Sidimpuan (kini berubah menjadi Padang Sidempuan) terdapat komunitas penduduk marga Harahap. Di sebelah barat, daerah inti marga Harahap di Hutaimbaru/Losung Batu yang hidup bertani dan memiliki persawahan yang luas, yang luasnya sampai di Kampung Salak, Kampung Selamat, Kampung Baru, Kampung Tobat, Kampung Tanobato dan Kampung Pangkal Dolok. Di sebelah utara 'padang na dimpu' ini terdapat area peternakan dan persawahan komunitas marga Harahap di Batunadua/Tanggal. Area persawahan klan marga Harahap Batunadua/Tanggal ini terdapat di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) Sungai Batang Ayumi mulai dari Batunadua, Sihoringkoring, Tanggal, Kampung Malayu hingga Kampung Marancar. Dari dua komunitas marga Harahap inilah kemungkinan besar pasokan bahan pangan utama untuk pasukan pendukung perang Paderi yang membangun dan menghuni benteng Padang Sidempuan. Area benteng Padang Sidempuan ini di jaman pendudukan pasukan/pemerintahan Belanda dulu disebut oleh pemerintahan Belanda sebagai WEK (penggunaan nama wek ini masih berlaku sekarang; areal/wek ini di jaman RI dipecah menjadi enam wek/kelurahan).Lihat Sejarah Pemerintahan di Tapanuli Bagian Selatan: Dari Zaman Huta (Luhat) Hingga Zaman Desa (Urban)
Sementara di barat dan utara 'padang na dimpu' yang dikemudian hari menjadi asal kata Padang Sidimpuan (kini berubah menjadi Padang Sidempuan) terdapat komunitas penduduk marga Harahap. Di sebelah barat, daerah inti marga Harahap di Hutaimbaru/Losung Batu yang hidup bertani dan memiliki persawahan yang luas, yang luasnya sampai di Kampung Salak, Kampung Selamat, Kampung Baru, Kampung Tobat, Kampung Tanobato dan Kampung Pangkal Dolok. Di sebelah utara 'padang na dimpu' ini terdapat area peternakan dan persawahan komunitas marga Harahap di Batunadua/Tanggal. Area persawahan klan marga Harahap Batunadua/Tanggal ini terdapat di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) Sungai Batang Ayumi mulai dari Batunadua, Sihoringkoring, Tanggal, Kampung Malayu hingga Kampung Marancar. Dari dua komunitas marga Harahap inilah kemungkinan besar pasokan bahan pangan utama untuk pasukan pendukung perang Paderi yang membangun dan menghuni benteng Padang Sidempuan. Area benteng Padang Sidempuan ini di jaman pendudukan pasukan/pemerintahan Belanda dulu disebut oleh pemerintahan Belanda sebagai WEK (penggunaan nama wek ini masih berlaku sekarang; areal/wek ini di jaman RI dipecah menjadi enam wek/kelurahan).Lihat Sejarah Pemerintahan di Tapanuli Bagian Selatan: Dari Zaman Huta (Luhat) Hingga Zaman Desa (Urban)
Dalam
perkembangannya setelah Belanda menguasai wilayah teritorial yang disebut wilayah Angkola / Sipirok,
Mandailing / Natal dan Padang Bolak / Padang Lawas (era Belanda) yang di kemudian hari
pada era RI menjadi Kabupaten Tapanuli Selatan, pusat benteng pasukan pendukung Paderi ini menjadi lokasi pusat
pemerintahan Belanda (keresidenan) yang sebelumnya ibukota Keresidenan Tapanuli berada di Air Bangis. Sementara itu, jauh
sebelum pasukan pendukung Paderi dan pemerintahan Belanda berkedudukan di Padang Sidempuan, wilayah Padang
Sidempuan sudah lama dimanfaatkan oleh penduduk/pedagang dari berbagai penjuru sebagai simpul perdagangan di daerah
Angkola/Sipirok dengan Sibolga/Barus. Jauh sebelumnya, wilayah Barus/Sibolga merupakan pusat perdagangan terpenting dan utama di pantai
barat Sumatera. Pusat perdagangan Barus ini juga menjadi tujuan penduduk wilayah Silindung dan Humbang.
Jembatan Siborang buatan Belanda (direnovasi tahun 1971) |
Ketika
pasukan / pemerintahan Belanda membangun jembatan Siborang yang menghubungkan jalur ‘sutra’
Sipirok-Mandailing dengan jalur Sibolga (yang sudah terbentuk sejak lama),
perkembangan wilayah Padang Sidempuan semakin pesat yang kemudian terbentuk sebuah kota (kecil). Sudah tentu, pusat pemerintah baru Belanda
di 'kota' Padang Sidempuan sekurang-kurangnya terdiri dari tiga bangunan utama, yakni: kantor
administratur, markas pasukan dan perumahan bagi petinggi Belanda.
Untuk peruntukkan kantor administratur, pasukan/pemerintahan Belanda mengubah status benteng Padang Sidempuan menjadi kota (town). Awalnya kota ini terdiri dari dua blok bangunan: Blok pertama sebagai bangunan perkantoran untuk pemerintahan yang lokasinya adalah pusat benteng yang kini menjadi lokasi Kantor Walikota. Blok kedua sebagai markas bagi pasukan yang berfungsi untuk mempertahankan kota dibangun markas militer persis di depan kantor administrator yang kini menjadi Kantor Kodim. Sementara lokasi untuk perumahan pejabat pemerintahan/militer Belanda mengambil lokasi di samping (areal bioskop) dan areal belakang kantor administratur yang meliputi areal pangkal jalan Sudirman sekarang (sekitar Gedung Nasional masa sekarang).
Untuk peruntukkan kantor administratur, pasukan/pemerintahan Belanda mengubah status benteng Padang Sidempuan menjadi kota (town). Awalnya kota ini terdiri dari dua blok bangunan: Blok pertama sebagai bangunan perkantoran untuk pemerintahan yang lokasinya adalah pusat benteng yang kini menjadi lokasi Kantor Walikota. Blok kedua sebagai markas bagi pasukan yang berfungsi untuk mempertahankan kota dibangun markas militer persis di depan kantor administrator yang kini menjadi Kantor Kodim. Sementara lokasi untuk perumahan pejabat pemerintahan/militer Belanda mengambil lokasi di samping (areal bioskop) dan areal belakang kantor administratur yang meliputi areal pangkal jalan Sudirman sekarang (sekitar Gedung Nasional masa sekarang).
Lanskap Awal
Kota Padang Sidempuan
Pos Polisi Kota Padang Sidempuan (2000-an) |
Terminal Bis (latar Pajak Batu dan Pajak Kawat, 1970-an) |
Terminal 'Sadu' (latar penjara dan bioskop Horas, 1960-an) |
Sedangkan
losmen satu-satunya yang ada waktu itu adalah Sentral Losmen. Lokasi losmen ini berada di utara Pos Kota ke arah
barat menuju Kweekschool Padang Sidempuan (yang dikenal sebagai jalan
Merdeka). Antara bank/losmen ini dengan lokasi Kweekschool tersebut merupakan
perkampungan lama Kota Padang Sidempuan yang dimasa lalu area ini disebut sebagai padang
na dimpu (Kampung Bukit sekarang). Pada jalur sepanjang jalan Merdeka ini
tumbuh toko-toko yang umumnya dimiliki oleh warga Tionghoa. Sementara jalur
sepanjang bank (jalan Sudirman sekarang) ke arah arah selatan adalah perumahan Belanda, sedangkan ke arah
utara (antara Kampung Bukit dengan Kampung Selamat/Kampung Salak) di beberapa titik muncul rumah-rumah elit penduduk asli dan para saudagar besar yang bermukim di Padang Sidempuan.
RSUD Padang Sidempuan (2000-an)
|
Jauh
sebelum perkampungan Kantin (area yang juga di sebelah hilir jembatan Siborang)
ini berkembang, area ini dulu adalah lokasi tempat/terminal 'padati' (pedati). Waktu itu 'padati' adalah alat pengangkutan utama hasil bumi dan barang untuk jalur ke
utara (Sipirok) dan jalur ke selatan (Mandailing). Bahkan pada jaman Jepang area ini digunakan kembali sebagai terminal 'padati' untuk menggantikan kekosongan alat transportasi bus (waktu jaman Belanda, PO Sibualbuali adalah rajanya lintas jarak jauh di wilayah Tapanuli Bagian Selatan). Para awak 'padati' ini sambil
menunggu bongkar muat hasil bumi/barang, para awak padati ini beristirahat (memasak) dan memandikan/memberi minum kerbaunya di
Sungai Batang Ayumi. Sementara itu 'padati-padati' yang lalu lalang antara pasar
Padang Sidempuan dengan daerah barat pasar (Hutaimbaru/Siharangkarang dan daerah 'parsalakan')
mengambil tempat di sebelah utara Mesjid Raya lama dan seberang Sentral Losmen
(sepanjang Jalan Merdeka).
Pada fase pasca kemerdekaan, pemerintah RI membangun jalan/jembatan Sitamiang yang menghubungkan area Sitamiang dengan Kampung Bukit (jalan Sudirman) melalui areal persawahan yang kini menjadi Kampung Marancar. Dengan dibangunnya jembatan ini, lalu lintas Sipirok ke arah pasar Padang Sidempuan atau Sibolga tidak hanya via jembatan Siborang saja lagi. Dalam perkembangannya, area antara jalan baru via jembatan Sitamiang ini dengan Sungai Batang Ayumi tumbuh perkampungan baru (proses urbanisasi) sebagai akibat padatnya penduduk di Kampung Bukit yang pada masa ini dikenal sebagai perkampungan penduduk yang disebut Kampung Rambin (seiring dengan pembuatan jembatan gantung (rambin) yang menghubungkan Kampung Bukit dengan Kampung Sitamiang Jae. Pada fase berikutnya dibangun rambin dari arah pasar melalui jalan Sudirman (samping kantor pengadilan sekarang) menuju area Siborang Julu. Satu lagi rambin yang dibangun waktu itu adalah antara Kampung Sipirok/Aek Tampang dengan Jalan Kenanga yang dimaksudkan untuk meningkatkan akses menuju pusat kesehatan/RSUD.
Dampak lain dari dibangunnya jembatan Sitamiang adalah arah perkembangan kota semakin terbuka ke
arah Sihoringkoring dan Kampung Pangkal Dolok. Sebagaimana jauh sebelumnya jalan poros
Kota Padang Sidempuan hanya ada dua yakni jalan Merdeka dan jalan Sudirman (lihat Sketsa).
Antara dua jalan ini terbentuk empat jalan penghubung yakni: jalan bioskop
Horas, jalan Sitombol (Bank), jalan Sutomo (Pabrik Es) dan jalan Ahmad Yani
(PU). Jalan Ahmad Yani ini pada waktu itu adalah batas kota. Sedangkan terusan jalan Ahmad Yani (atau pertemuan Jalan Sudirman dengan
Jalan Ahmad Yani) ini pada awalnya sudah lama terbentuk jalan kampung (jalan tanah dan ditingkatkan menjadi jalan batu setelah kemerdekaan) yang
menuju Kampung Pangkal Dolok melalui Kampung Tobu, Kampung Baru/Kampung Batang Ayumi,
Kampung Tobat, Kampung Tanobato.
Pada perkembangan berikutnya (masa pemberontakan?) dibangun asrama Brimob dan gudang peluru di area Sitataring yang jalannya garis lurus dari Jalan Ahmad Yani (Kantor PU). Dengan adanya jalan lintas penghubung Sitamiang (jembatan Sitamiang) dan Kampung Bukit dan jalan asrama Brimob maka dalam perkembangannya antara dua 'jalan baru' ini dibangun dua jalan penghubung yakni jalan MT. Haryono (ke arah Sitamiang dan menjadi ujung Jalan Ahmad Yani) dan jalan S.Parman (ke arah Rambin) sehubungan dengan berdirinya Masjid Taqwa dan seiring dengan tumbuhnya pemukiman di areal persawahan yang kini bernama Kampung Marancar. Dalam perkembangan Kampung Marancar ini sebagai daerah hunian baru sudah sejak lama di arah dekat jembatan Sitamiang terdapat perkampungan penduduk yang dikenal sebagai Kampung Malayu.
Pada perkembangan berikutnya (masa pemberontakan?) dibangun asrama Brimob dan gudang peluru di area Sitataring yang jalannya garis lurus dari Jalan Ahmad Yani (Kantor PU). Dengan adanya jalan lintas penghubung Sitamiang (jembatan Sitamiang) dan Kampung Bukit dan jalan asrama Brimob maka dalam perkembangannya antara dua 'jalan baru' ini dibangun dua jalan penghubung yakni jalan MT. Haryono (ke arah Sitamiang dan menjadi ujung Jalan Ahmad Yani) dan jalan S.Parman (ke arah Rambin) sehubungan dengan berdirinya Masjid Taqwa dan seiring dengan tumbuhnya pemukiman di areal persawahan yang kini bernama Kampung Marancar. Dalam perkembangan Kampung Marancar ini sebagai daerah hunian baru sudah sejak lama di arah dekat jembatan Sitamiang terdapat perkampungan penduduk yang dikenal sebagai Kampung Malayu.
Pada bagian lain Kota Padang Sidempuan, dibangun stadion sepakbola dengan nama Stadion Naposo untuk menggantikan lapangan sepakbola di dekat SMPN-2 sekarang. Dalam fase ini sebenarnya sudah lebih dahulu ada makam taman pahlawan (TMP). Pada fase ini dengan sendirinya terbentuk jalan lingkar dari (pusat) pasar ke Stadion Naposo melalui Kampung Teleng, Kampung Jawa dan TMP (jalan Melati). Dalam perkembangannya, jalan lingkar kota ini tersambung sepenuhnya, sehubungan dengan adanya rencana untuk meningkatkan akses ke stadion ini dari arah Silandit dan Padang Matinggi. Jalan dari arah Silandit ini dibuat dengan membangun jembatan baru (dekat Virgo) langsung menuju Stadion Naposo. Pembangunan jalan lingkar ini (sebagai jalan baru) maka jalan terusan jalan Kenanga ditingkatkan dan terhubung dengan jalan lingkar hingga dikemudian hari pada ujung jalan Kenanga (sisi jalan lingkar) ini dibangun Kantor Bupati menggantikan Kantor Bupati Lama (kantor Walikota sekarang).
Selanjutnya
di sudut lain kota direncanakan dan terbentuk area yang menjadi klaster pendidikan di Siadabuan (sekarang menjadi Sadabuan). Klaster pendidikan Siadabuan ini seakan menggantikan klaster pendidikan sebelumnya di area Kweekschool yakni antara jalan Merdeka dengan jalan Tonga (Ahmad Dahlan) dan antara jalan Sutomo dengan jalan Ahmad Yani. Sekolah-sekolah yang sudah ada waktu itu di area ini adalah SMAN-1, SMAN-2, SPG, PGSLP, SMPN-3, SDN-2, SDN-10, SDN-14, SDN-16, SDN-23. Kemudian ada juga IKIP Cabang Medan dan di masa lalu ex HIS (yang kemudian di tahun 1980-an pernah menjadi Perpustakaan Umum Daerah. Juga, masih di seputar area ini sudah sejak lama berdiri lembaga-lembaga pendidikan seperti Sekolah Ibtidaiyah (jalan Sutomo), Sekolah Taman Siswa (jalan Sudirman) dan Sekolah Muhammadiyah (jalan Merdeka / Sigiringgiring).
Siadabuan sendiri pada awalnya adalah sebuah areal kosong yang di kemudian hari terbentuk perkampungan baru sebagai perkembangan lebih lanjut dari perluasan Kampung Sigiringgiring (Kayu Ombun). Jauh sebelumnya, area di sebelah utara Kampung Salak/Kampung Sigiringgiring (sisi sebelah barat jalan ke Hutaimbaru) sudah lama ada penduduknya yang perkampungannya dikenal sebagai Kampung Panyanggar. Sementara di sisi timur jalan adalah Kampung Pangkal Dolok dan Kampung Tano Bato. Selanjutnyam antara perkampungan baru Siadabuan dengan Hutaimbaru sudah lama terbentuk perkampungan penduduk yang dikenal sebagai Kampung Losung Batu. Di area Unte Manis (wilayah Kampung Losung Batu) ini sudah lama dibangun fasilitas kesehatan untuk militer sebelum daerah Siadabuan berkembang. Pembangunan fasilitas kesehatan Unte Manis ini kira-kira seumur dengan pembangunan asrama Brimob / gudang peluru di wilayah Sitataring.
Siadabuan sendiri pada awalnya adalah sebuah areal kosong yang di kemudian hari terbentuk perkampungan baru sebagai perkembangan lebih lanjut dari perluasan Kampung Sigiringgiring (Kayu Ombun). Jauh sebelumnya, area di sebelah utara Kampung Salak/Kampung Sigiringgiring (sisi sebelah barat jalan ke Hutaimbaru) sudah lama ada penduduknya yang perkampungannya dikenal sebagai Kampung Panyanggar. Sementara di sisi timur jalan adalah Kampung Pangkal Dolok dan Kampung Tano Bato. Selanjutnyam antara perkampungan baru Siadabuan dengan Hutaimbaru sudah lama terbentuk perkampungan penduduk yang dikenal sebagai Kampung Losung Batu. Di area Unte Manis (wilayah Kampung Losung Batu) ini sudah lama dibangun fasilitas kesehatan untuk militer sebelum daerah Siadabuan berkembang. Pembangunan fasilitas kesehatan Unte Manis ini kira-kira seumur dengan pembangunan asrama Brimob / gudang peluru di wilayah Sitataring.
Komplek
Pendidikan Sadabuan, Padag Sidempuan
|
Jalan baru (lingkar) ini jalurnya berada diantara Kampung Pangkal Dolok dan Kampung Tanobato. Dalam perkembangan selanjutnya ruas jalan lingkar Siadabuan-Sitataring ini memungkinkan jalan lama Kampung Tobu-Kampung Tanobato semakin ditingkatkan. Akses Tanobato ke Pangkal Dolok yang dulunya melalui jalan sungai (melintasi Aek Sipogas) dialihkan melalui areal persawahan dengan pembangunan jalan baru langsung menuju jalan lingkar Siadabuan-Sitataring. Pada masa ini jalan yang dulu sering disebut jalan Tanobato ini merupakan jalan alternatif dari arah pasar menuju komplek pendidikan Sadabuan.
Perubahan Sosial
di Padang Sidempuan: Urbanisasi dan
Migrasi
Tidak
lama setelah usai perang paderi--dalam fase perang dingin--sekitar 1850-an
jalur ekonomi Panyabungan Natal dibuka. Arus perdagangan dari Mandailing ke
Pelabuhan Natal berkembang pesat. Di huta Tanobato tahun 1862 didirikan sekolah
guru (Kweekschool) yang dikelola Willem Iskandar. Murid-muridnya selain
penduduk Mandailing/Natal juga berasal dari semua penjuru utamanya
Angkola/Sipirok dan Padang Bolak/Padang Lawas. Alumni sekolah ini menjadi agen
perubahan khususnya di Padang Sidempuan yang menjadi pemimpin lokal, guru dan
bahkan pengarang. Sebagian mereka (alumni) inilah yang menjadi guru-guru pendidikan
'ala barat' di sekolah-sekolah rakyat di Padang Sidempuan.
Pada
tahun 1874 Kweekschool Tanobato ditutup, alasan utamanya karena akan dibangun
sekolah guru yang lebih baik di Padang Sidempuan yang juga menjadi pusat studi
dari kebudayaan daerah. Kweekschool Padang Sidempuan ini akhirnya direalisasikan
pada tahun 1874. Sekolah guru ini mewisuda muridnya yang pertama tahun 1884. Kweekschool
Padang Sidempuan ini kemudian ditingkatkan mutu bangunannya yang dikemudian
hari menjadi bagian dari gedung SMA Negeri 1 Padang Sidempuan sekarang. Salah
satu guru yang terkenal di Kweekschool Padang Sidempuan adalah Charles Adriaan
van Ophuysen (1882-1890). Guru Belanda ini menjadi direktur sekolah guru Kweekschool
Padang Sidempuan (1885-1890). van Ophuysen ini kelak menjadi ahli Bahasa Melayu
yang menjadi cikal bakal Bahasa Indonesia. Seorang alumni Kweekschool Padang
Sidempuan, Rajiun Harahap gelar Sutan Casayangan Soripada, yang lahir di
Batunadua pada tahun 1874, kemudian menjadi asisten van Ophuysen dalam mata
kuliah Bahasa Melayu di Universiteit Leiden. Rajiun Harahap gelar Sutan
Casayangan Soripada, adalah penggagas Indische Vereeniging
tanggal 25 Oktober 1908 di Leiden. Organisasi ini menjadi cikal bakal
Perhimpoenan Indonesia di Eropa.
Kweekschool
Padang Sidempuan berkembang pesat dan menghasilkan alumni yang banyak, sebagian
sebagai guru dan sebagian yang lain menjadi pengarang, wartawan, pemimpin dan karyawan
perusahaan perkebunan, pegawai pemerintahan Belanda. Pada masa ini Padang
Sidempuan adalah sebuah kota kecil yang cepat berubah dan tumbuh menjadi pusat
perdagangan yang strategis karena kota kecil ini menjadi simpul ekonomi di
daerah Tapanuli Bagian Selatan untuk dua pelabuhan di Natal dan Sibolga.
Kweekschool
Padang Sidempuan (kini menjadi SMAN-1)
|
Guru-guru
tamatan Kweekschool Padang Sidempuan mulai membangun sekolah-sekolah rakyat
buat penduduk kota. Kebutuhan sekolah atau ruang kelas yang lebih banyak karena
Padang Sidempuan sudah mulai menjadi tujuan migrasi sehingga proses urbanisasi juga
semakin terasa. Sementara itu, bagi penduduk Padang Sidempuan yang sudah lama ‘terpelajar’
karena pendidikan mulai marak untuk melakukan migrasi ke Deli (Medan) untuk menjadi
pegawai-pegawai perkebunan. Sekolah-sekolah rakyat ini dikemudian hari menjadi
sekolah desa (yang kemudian sekolah dasar negeri) di tahun 1907 di berbagai
titik di dalam kota. Pada tahun 1920 Belanda mendirikan HIS (Hollanddsch
Inlandscha School) sekolah ala Belanda di Padang Sidempuan yang diperuntukkan
bagi anak-anak ambtenaar, pegawai, serdadu KNIL, anak-anak raja dan anak
pedagang dengan dikutip biaya sekolah yang cukup tinggi. Bahasa pengantar dalam sekolah ini adalah Bahasa Belanda. Sekalipun demikian, guru-gurunya adalah orang Indonesia dengan kepala sekolah seorang Belanda. Lokasi sekolah elit
ini berada di jalan Ahmad Dahlan (jalan Tonga) yang lokasinya antara jalan Merdeka dengan jalan Sudirman. Pada tahun 1970-an, ex gedung elit ini digunakan sebagai perpustakaan Willem Iskandar (perpustakaan Pemda Tapanuli Selatan).
Sementara
penduduk Padang Sidempuan yang sudah lama melek huruf, pada tahun 1914 tidak lama
setelah Rajiun Harahap gelar Sutan Casayangan Soripada kembali dari negeri
Belanda, beliau menerbitkan sebuah surat kabar berbahasa Batak di Padang
Sidempuan dengan nama 'Poestaha'. Kehadiran surat kabar ini mendapat respon dari masyarakat luas bahkan dari semua lapisan. Selanjutnya estapet Poestaha ini dilanjutkan
oleh Parada Harahap yang kembali dari perantauan (Medan) menjadi pemimpin
redaksi. Di tangan Parada Harahap, koran 'Poestaha' ini semakin diminati karena isinya menambah wawasan masyarakat terpelajar (yang sudah lama terbiasa baca/tulis) juga diminati karena isinya mengandung provokasi tentang keberadaan bangsa Belanda di Padang Sidempuan dan sekitarnya. Pihak Belanda menganggap surat kabar 'Poestaha' yang digawangi Parada Harahap ini selalu menyulitkan pemerintahan Belanda di Padang Sidempuan. Karena itu, Parada Harahap kerap ditahan dan dikurung di dalam penjara Padang Sidempuan. Setelah memiliki kader di Padang Sidempuan, pada tahun 1922, Parada Harahap pindah ke Jakarta dan menerbitkan
mingguan Bintang Hindia, Bintang Timur dan Sinar Pasundan. Lihat: Surat Kabar di Padang Sidempuan ‘Tempo Doeloe’ dan Lahirnya Tokoh-Tokoh Pers Nasional dari Tapanuli Bagian Selatan
***
Berakhirnya pemerintahan Belanda di Indonesia seiring dengan pendudukan Jepang, berbagai macam sekolah yang ada di Padang Sidempuan, diseragamkan dengan membentuk konsep sekolah dasar 6 tahun yang disebut Sekolah Rendah (SR). Sekolah-sekolah rendah ini bahasa pengantarnya Bahasa Indonesia tetapi dalam kurikulumnya diajarkan bahasa Jepang. Setelah Indonesia merdeka Sekolah Rakyat diambil alih pemerintah Indonesia. Namun pada masa permulaan kemerdekaan suasana tidak menentu dan banyak sekolah rakyat ditutup sampai akhirnya adanya pengakuan kedaulatan NKRI tahun 1950 yang selanjutnya bentuk-bentuk sekolah dasar menjadi satu kembali di bawah naungan Dinas P dan K Sumatera Utara.
Selanjutnya, pembentukan
sekolah dasar dan distribusinya mengikuti perkembangan kota, lebih spesifik
mengikuti densitas penduduk kota dan arah perkembangan kota selanjutnya. Pembentukan
SDN-1 di Kantin dan SDN-2 di jalan Sutomo untuk area Kampung Bukit menunjukkan lokasi
sekolah yang satu di selatan pusat kota dan yang lain di utara kota. Di area Kampung
Marancar dibangun SDN-3 untuk memenuhi kebutuhan Sitamiang, Rambin dan
sekitarnya. Kemudian SDN-4 di area Jalan Kenanga dan SDN-5 di area Siborang dan
SDN-6 di area Aek Tampang. Ternyata pada tahap berikutnya, area di seputar Kampung
Marancar daya tampung sekolah tidak lagi mencukupi sehingga dibangun SDN-7 yang mengambil
lokasi pada sisi SDN-3. Demikian juga area Kampung Bukit memerlukan tambahan
ruang kelas dengan dibangunnya SDN-10 yang mengambil lokasi di belakang SDN-2.
Pada waktu berikutnya kebutuhan ruang kelas semakin meningkat dengan
dibangunnya SDN-11, SDN-12 dan SDN-13 sekitar SD yang sebelumnya sudah
dibangun. Semua sekolah dasar itu dibangun tidak jauh dari pusat kota. Pada periode berikutnya dibangun lagi SDN-14 dan SDN-16 di utara kota tepatnya di jalan Tonga (jalan yang berada antara dua jalan poros Merdeka dan Sudirman). Di selatan kota dibangun lagi SDN-15, SDN-17. Selanjutnya
untuk mempermudah akses menuju sekolah-sekolah dasar dan perlunya distribusi
sekolah dasar ke arah pinggir kota dibangun beberapa sekolah dasar sebagaimana halnya di
Tanobato (SDN-20), Bakaran Batu, Jalan Melati, Aek Tampang, Silandit, Kayu
Ombun, Panyanggar dan Sadabuan.
Dalam masa pendudukan Jepang, di Padang Sidempuan dibentuk sekolah menengah yang lokasinya
merupakan gedung SMP Negeri 1 Padang Sidempuan yang sekarang. Untuk memenuhi kebutuhan
guru-guru SMP dengan semakin meningkatnya jumlah lulusan sekolah dasar di Padang Sidempuan. maka
sekolah guru Kweekschool Padang Sidempuan ditingkatkan menjadi Sekolah Guru B
(Bawah) dan Sekolah Guru A (Atas). Kebutuhan ruang kelas SMP semakin meningkat
dari tahun ke tahun sehingga dibangun smp baru yaitu SMPN-2. Kedua SMPN ini berada di selatan kota. Dalam
perkembangannya SGA diubah menjadi SPG sedangkan SGB menjadi SMP.
Dalam periode yang kurang lebih sama pada tahun 1953 dibentuk SMA di Padang Sidempuan. Lokasi SMA yang dibangun tersebut mengambil sebagian gedung Kweekschool Padang Sidempuan (yang menghadap jalan Merdeka) yang kini menjadi SMA Negeri 1 Padang Sidempuan. Sementara gedung SGA dan SGB yang menghadap jalan Ahmad Dahlan tetap dipergunakan oleh SGA dn SGB tersebut. Pada periode selanjutnya, status SGA diubah menjadi SPG (Sekolah Pendidikan Guru) dan SGB menjadi SMP yang lokasinya menjadi SMPN-3 yang sekarang. Pembentukan SMPN-3 dan penambahan jumlah smp di Padang Sidempuan dengan sendirinya telah mempermudah akses bagi lulusan sekolah dasar yang berada di utara pusat kota. Kebutuhan ruang smp semakin meningkat sehingga pada perkembangan berikutnya di bangun SMPN-4 di area Siadabuan.
Setelah beberapa tahun didirikan sekolah kejuruan di Padang Sidempuan yakni SMKK di jalan Sudirman, ST dan STM serta SMEP dan SMEA mengambil lokasi di Siadabuan (Sadabuan). Satu lagi sekolah kejuruan dibangun SGO yang mengambil lokasi di area Stadion Naposo.Dalam perkembangan lebih lanjut dan adanya program peningkatan mutu guru-guru sekolah menengah dua perguruan tinggi diselenggarakan di Padang Sidempuan yakni: IKIP Medan Cabang Padang Sidempuan dan IAIN Sumatera Utara Cabang Padang Sidempuan. Setelah era pembangunan pendidikan guru (IKIP dan IAIN) pada awal tahun 1980-an para stakeholder pendidikan di perantauan dan pemerintah lokal mengagas dan merealisasikan pembentukan Universitas di Padang Sidempuan. Lihat Universitas Graha Nusantara (UGN) Padang Sidempuan: ‘Rumah Pendidikan’ Bagi Anak Negeri di Tapanuli Bagian Selatan
Dalam periode yang kurang lebih sama pada tahun 1953 dibentuk SMA di Padang Sidempuan. Lokasi SMA yang dibangun tersebut mengambil sebagian gedung Kweekschool Padang Sidempuan (yang menghadap jalan Merdeka) yang kini menjadi SMA Negeri 1 Padang Sidempuan. Sementara gedung SGA dan SGB yang menghadap jalan Ahmad Dahlan tetap dipergunakan oleh SGA dn SGB tersebut. Pada periode selanjutnya, status SGA diubah menjadi SPG (Sekolah Pendidikan Guru) dan SGB menjadi SMP yang lokasinya menjadi SMPN-3 yang sekarang. Pembentukan SMPN-3 dan penambahan jumlah smp di Padang Sidempuan dengan sendirinya telah mempermudah akses bagi lulusan sekolah dasar yang berada di utara pusat kota. Kebutuhan ruang smp semakin meningkat sehingga pada perkembangan berikutnya di bangun SMPN-4 di area Siadabuan.
Setelah beberapa tahun didirikan sekolah kejuruan di Padang Sidempuan yakni SMKK di jalan Sudirman, ST dan STM serta SMEP dan SMEA mengambil lokasi di Siadabuan (Sadabuan). Satu lagi sekolah kejuruan dibangun SGO yang mengambil lokasi di area Stadion Naposo.Dalam perkembangan lebih lanjut dan adanya program peningkatan mutu guru-guru sekolah menengah dua perguruan tinggi diselenggarakan di Padang Sidempuan yakni: IKIP Medan Cabang Padang Sidempuan dan IAIN Sumatera Utara Cabang Padang Sidempuan. Setelah era pembangunan pendidikan guru (IKIP dan IAIN) pada awal tahun 1980-an para stakeholder pendidikan di perantauan dan pemerintah lokal mengagas dan merealisasikan pembentukan Universitas di Padang Sidempuan. Lihat Universitas Graha Nusantara (UGN) Padang Sidempuan: ‘Rumah Pendidikan’ Bagi Anak Negeri di Tapanuli Bagian Selatan
Era Baru Perkembangan
Kota
Padang
Sidempuan sebagai ibukota Kabupaten Tapanuli Selatan, penyelenggaraannya
diserahkan kepada walikota administratif Kota Padang Sidempuan pada tahun 1981
dan kemudian menjadi kota otonom (memiliki DPRD) pada tahun 2001. Perubahan
yang mendasar atas peningkatan status Kota (administratif) Padang Sidempuan sebagai ibukota
Kabupaten Tapanuli Selatan menjadi Kota Padang Sidempuan yang otonom adalah
perubahan luas wilayah administratif, penambahan jumlah kecamatan, penambahan jumlah desa dan perubahan desa menjadi kelurahan. Populasi penduduk yang
semakin banyak dengan tingkat pertumbuhan yang pesat, seharusnya dinamika
sosial ekonomi yang terjadi direncanakan dengan pemanfatan tata ruang kota agar pada nantinya diharapkan terjadi
sinkronisasi dan terbentuk tata ruang kota yang ideal dan kondusif dalam menuju kota besar..
Peta Topografi Wilayah Padang Sidempuan |
Kota
Padang Sidempuan sebagai sebuah lembah yang berbentuk cekungan yang hanya memiliki
tiga pintu exit/entry maka untuk menjaga terciptanya optimalisasi tata ruang
dalam kota maka fungsi pembuatan jalan lingkar kota menjadi solusi. Fungsi
jalan lingkar ini diharapkan tidak hanya mendorong mencairnya pemukiman padat
dan terdistrubusi ke seluruh penjuru kota, tetapi juga memberi jalan dan
kelancaran lalu lintas barang dan orang yang melalui Kota Padang Sidempuan yang
berasal dari lintas antar kabupaten di Tapanuli Bagian Selatan dan juga lintas
antar provinsi. Pesatnya pertumbuhan dan perkembangan kota, ke depan, jalan lingkar yang dulu sudah digagas (ruas jalan stadion dan ruas jalan Sadabuan-Sitataring) menjadi tidak efektif lagi. Jalan lingkar luar pada saatnya nanti dapat dihubungkan dengan trayek bis kota, yang tidak mungkin relevan lagi dengan angkutan beca. Lihat Sejarah 'Beca Vespa' Padang Sidempuan: Suatu Inovasi Sosial Ekonomi Alat Transportasi
Sebagaimana
kota-kota lain di Indonesia, Kota Padang Sidempuan juga mengalami perubahan
tata ruang kota. Kota Padang Sidempuan yang dulunya hanya terdiri dari dua
jalan poros (jalan Sudirman dan jalan Merdeka), yang dari situ perkembangan
kota dimulai, maka ke depan jalan
lingkar kota harus lebih diperluas lagi dan dioptimalkan dalam menuju Kota Besar Padang Sidempuan. Namun pemanfaatan jalan lingkar yang dimaksud tidak akan maksimal karena tiga jalur exit/entri ternyata hanya dua jalur yang kemungkinannya bisa
direalisasikan yakni: jalan lingkar timur/utara-barat (Batunadua-Hutaimbaru)
dan jalan lingkar timur/utara-selatan (Batunadua-Padang Matinggi). Jalan
lingkar barat-selatan (Hutaimbaru-Padang Matinggi) tampaknya sulit untuk direalisasikan karena
topografi yang sulit di sebelah barat Kota Padang Sidempuan. Alternatif
pembangunan jalan layang di kemudian hari akan tetap menjadi beban yang tidak
terpecahkan untuk kota dengan skala kota Padang Sidempuan.
Situasi dan kondisi permasalahan serupa ini, jelas tidak ada pilihan dan hanya dimungkinkan memaksimalkan dua
ruas jalan lingkar kota yang ada yang sudah mulai dirintis dalam beberapa tahun terakhir
ini. Jalan lingkar ruas Batunadua-Padang Matinggi memang sudah sejak lama difungsikan, tetapi dalam kenyataannya implementasinya belum terlihat maksimal. Sementara
jalan lingkar ruas Batunadua-Hutaimbaru belum sepenuhnya terlaksana. Untuk sementara, dalam
jangka pendek jalan lingkar Batunadua-Hutaimbaru via Sitataring harus segera dapat
dimaksimalkan. Akhir-akhir ini sudah mulai dirintis pembukaan jalan baru
Sihoring-Koring yang dapat menghubungkan Batunadua dengan Hutaimbaru.
Pembangunan jalan dan jembatan ini sangat penting karena selain dapat mengurangi beban ruang kota yang mulai tampak padat, juga untuk membuka ruang baru untuk pemukiman penduduk.
Alaman Bolak, cikal bakal kota besar (latar Tor Simarsayang) |
Untuk jalan lingkar jangka panjang (Batunadua-Hutaimbaru) via Siharangkarang kiranya perlu segera digagas / direncanakan terutama kaitannya dengan tata kelola ruang kota untuk menuju kota masa depan. Jika dan hanya jika aspirasi pembentukan Provinsi ‘Tabagsel’ terwujud dan Kota Padang Sidempuan dijadikan sebagai ibukota, maka Kota Padang Sidempuan pada masa ini yang terletak di sebuah lembah haruslah dipandang hanya sebagai ‘kampung besar’ di masa nanti. Lanskap Kota Padang Sidempuan di masa yang akan datang, sudah tentu memerlukan rekonstruksi ulang tata ruang kota agar pada waktunya nanti memungkinkan terbentuk suatu tata ruang sebuah kota besar yang ideal. Beberapa perbukitan, seperti tor Simarsayang di Sihoringkoring (506 M), dolok Si Hurang Na Tolu di Bakaran Batu (531 M) dan dolok Barangan di Silayanglayang (440 M) suatu saat nanti akan menjadi bagian dalam lanskap Kota 'Besar' Padang Sidempuan, suatu perbukitan tempat hunian elit penduduk kota, bagaikan Baverly Hill di tengah metropolitan Los Angeles, California.
Perencanaan jalan lingkar luar Kota Padang Sidempuan ini tidak mudah, tetapi harus sejak awal ditetapkan sebagai visi misi tata ruang kota dan diimplementasikan sedikit demi sedikit dengan cermat. Sebagai kilas balik, membangun benteng Padang Sidempuan di masa ‘doeloe’ tidak begitu sulit karena tata ruangnya secara alamiah sudah tersedia (memungkinkan), tetapi merencanakan tata ruang pembangunan Kota Padang Sidempuan di masa yang akan datang sungguh sulit karena alam Kota Padang Sidempuan memiliki keterbatasan. Merencanakan lebih dini, berarti merencanakan tata ruang yang ideal pada masa datang. Lembah Padang Sidempuan yang di masa lalu (doeloe) sangat luas buat sebuah kota kecil (benteng Padang Sidempuan), tetapi lembah ini menjadi sangat kecil untuk sebuah kota besar (metropolitan) di masa yang akan datang. [Isi tulisan ini hanya didasarkan pada pengetahuan penulis semata, pembaca masih membutuhkan penelitian yang lebih intensif lagi].
*Thanks to almarhum.ayah saya yang telah memberi inspirasi dalam menulis esai ini. Beliau wafat usia 84 tahun.
Foto: dari berbagai sumber di internet, al.:
http://www.muaratais.com
http://www.apakabarsidimpuan.com
Koleksi fota Basyral Hamidy Harahap
Baca juga:
Sejarah Kota Medan (13): Kerajaan Aru di Sungai Barumun, Kerajaaan Batak, Kerajaan Islam Pertama, Suksesinya adalah Kerajaan Batak Deli (di Deli Toea) dan Kesultanan Melayu Deli (di Laboehan Deli)
6 komentar:
Terima kasih pak,saya jadi punya wawasan sejarah tentang P.Sidempuan
Malungun mulak tu tanobato..
sangat bermanfaat
sangat bermanfaat
sidimpuan adalah kota kelahiranku.patidaon hamuma sonari sudena poto2 sidimpuan tempo doeloe tu halak sa sidimpuanon so iboto halai mulaki sejarah ni kotai. hahahahahahahahahaha
Najolo Pasar Baru dope goarna, napedo Sangkumpal Bonang.
Posting Komentar