Senin, Februari 22, 2016

Sejarah Marga Batak: Awal Mula Pencatatan, Bukti-Bukti Penyebaran dan Kapan Adopsi Penulisan Marga di Belakang Nama

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Batak dalam blog ini Klik Disini


Marga Batak adalah suatu fakta, marga yang telah sejak lama digunakan untuk mengidentifikasi kelompok keluarga. Terminologi marga dalam era modern adalah family name. Marga sejauh ini masih dipakai di belakang nama hingga sekarang. Artikel ini tidak dalam rangka mengusut sejak kapan adanya marga, apalagi dikaitkan dengan mitologi. Itu hanya buang waktu dan tidak relevan di era modern, karena tidak akan cukup data dan informasi untuk merekonstrusinya. Artikel ini hanya memfokuskan untuk mendeskripsikan sejak kapan marga dicatat dan bagaimana penyebarannya.

Kapan pertama kali marga dicatat dan siapa pemakai marga yang pertama?

Nama marga sebagai satu kesatuan adat (territorial genealogis) sudah ada sejak lama, namun kala itu penggunaan nama marga di belakang nama tidaklah lazim. Nama-nama yang digunakan adalah nama kecil dan nama gelar adat (raja), seperti Sutan, Mangaradja, Baginda dan sebagainya. Pemakaian marga di belakang nama seseorang diduga mulai diperkenalkan oleh orang-orang Eropa/Belanda.

Dalam koran Javasche courant, 23-03-1830 terdapat statistic surat kabar utama di Eropa, dimana salah satunya adalah De Gazelle de France (koran sore di Prancis bertiras 7.000 exp) salah satu editornya  berinisial (marga) Lubis, diantara nama-nama editor lainnya. Lubis adalah nama marga Batak tetapi Lubis sang editor tersebut mungkin bukanlah orang Batak tetapi warga Perancis. Family name Lubis ada juga yang berasal dari Eropa Tengah.

Sejauh yang tercatat, orang Batak pertama yang pernah menggunakan marga di belakang namanya adalah Thomas Siregar di Sipirok. Thomas Siregar adalah pendeta muda (lihat Gumbu Humene. 1892. Amsterdam: Hoveker). Nama berikutnya adalah pendeta Markus Siregar (lihat Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad, 02-04-1894). Lalu diikuti oleh empat calon pendeta, yakni: Jos Harahap, Jafet Harahap Samuel Tandjong dan Cornelia Pane (lihat Algemeen Handelsblad, 13-09-1894). Thomas, Markus, Jos Jafet, Samuel dan Cornelia besar kemungkinan adalah nama-nama baptis.

Sketsa sebaran marga (1886)
Thomas Siregar dan Markus Siregar adalah murid-murid pertama Nommensen di Sipirok (1862) yang menjadi pendeta-pendeta muda orang Batak. Satu lagi murid pertama Nommensen adalah Ephraim (ini juga nama baptis), tetapi tidak menjadi pendeta tetapi berkarir di pemerintahan mulai dari penulis di kantor Asisten Residen di Padang Sidempoean hingga menjadi jaksa senior (di Medan). Ephraim sendiri yang memiliki nama kecil Sjarif Anwar dengan nama adat Sutan Gunung Tua dalam karirnya tidak pernah menggunakan nama marga di belakang namanya. Demikian juga, salah satu, cucu Sjarif Anwar juga tidak menggunakan nama marga di belakang namanya, hanya menulis nama dengan Amir Sjarifuddin (Menteri Pertahanan dan Perdana Menteri RI).

Jumat, Februari 19, 2016

Bag-3. SEJARAH ANGKOLA: Melayu Kuno, Jawa Kuno dan Batak Kuno; Candi Simangambat Lebih Tua daripada Candi Borobudur



Isi laporan Schnitger, 1935: Simangambat abad ke-8
Sejarah Angkola adalah sejarah yang seusia dengan namanya. Nama Angkola semakin populer pada abad kesebelas (karena dikaitkan dengan prasasti Tanjore, India selatan 1030 pada Dinasti Chola). Namun daerah yang kemudian disebut Angkola itu, besar kemungkinan sudah dikenal jauh sebelumnya, ketika pedagang-pedagang Ankola (kini Karnataka) dan pedagang-pedagang Panai (di Ceilon, kini Sri Lanka) berlalu lalang di sekitar sungai yang kini dikenal sebagai sungai Batang Angkola (di Tapanuli Selatan). Pada abad kedelapan orang-orang dari Ankola dan Panai ini membangun candi di Simangambat, Siaboe (candi yang dibangun lebih awal dari candi Borobudur). Pada masa itu Sriwijaya di Palembang belum sampai pada puncak kejayaannya. Sehubungan dengan itu, jika dalam penulisan sejarah nusantara, era pembangunan Borobudur disebut Jawa Kuno (Mataran kuno) dan era kejayaan Sriwijaya disebut Melayu Kuno, maka masa dimana pedagang-pedagang Ankola di daerah Angkola dan pedagang-pedagang Panai di daeah Padang Bolak (kini lebih populer dengan sebutan Padang Lawas) boleh juga disebut sebagai Batak kuno. Oleh karenanya, seharusnya terdapat tiga tempat permulaan peradaban baru (yang telah dikenal) di Nusantara, yakni: Jawa kuno, Melayu kuno dan Batak kuno--suatu masa kapan peradaban lebih lanjut berkembang dan suatu tempat dimana awal perkembangan peradaban dimulai. Bagaimana penjelasannya? Mari kita lacak!.. .  . ..
***
Jung Huhn seorang geolog, wakil pemeritah Belanda di Afdeeling Pertibie (Portibi) adalah orang luar pertama yang melaporkan adanya candi di Portibie (1846). Berdasarkan penemuan ini, Jung Huhn bersama Willer melakukan penyelidikan awal tentang komplek percandian di daerah Portibie (nama Portibi sejak kehadiran Belanda di Portibie kerap dipertukarkan diganti Padang Lawas). Deskripsi hasil penyelidikan mereka menjadi bagian dari laporan masing-masing yang dapat dibaca pada buku Jung Huhn dan buku Willer yang telah diterbitkan. Setelah dua orang ini berlalu tidak ada kabar berita lagi tentang percandian di Padang Lawas.

Willer adalah Asisten Residen pertama Afdeeling Mandheling en Ankola (Mandailing dan Angkola). Sementara, Jung Huhn adalah seorang tenaga ahli yang ditugaskan oleh Gubernur Jenderal di Batavia untuk melakukan pemetaan geologi di Tapanoeli. Jung Huhn memulai ekspedisi dari Teluk Sibolga memasuki daerah Angkola dan kemudian daerah Portibie. Selama bertugas di Portibie, Jung Huhn diangkat sebagai wakil pemerintah di Afdeeling Portibie. Pada saat bertugas di Portibie inilah Jung Huhn mengkonfirmasi adanya bukti candi (berdasarkan laporan masyarakat). Willer yang juga adalah ahli geografi sosial saling bertukar temuan dengan Jung Huhn..

Candi di Portibi (Westenenk, 1920)
Pada tahun 1920 Residen Palembang, Westenenk yang telah mengumpulkan bukti-bukti candi di Palembang, merasa perlu untuk berkunjung ke Padang Lawas. Westenenk adalah orang ketiga yang berpartisipasi dalam mengungkap percandian di Padang Lawas. Pada masa Westenenk inilah seorang arkeolog bernama FM Schnitger ditempatkan di Palembang untuk memimpin lembaga kepurbakalaan Sumatra yang baru dibentuk.

Setelah beberapa tahun FM Schnitger menjabat sebagai Kepala Pusat Kepurbakalan Sumatra, entah siapa yang melaporkan adanya candi di Simangambat, Siaboe, arkeologi ini tiba-tiba kaget luar biasa dan bergegas dari Palembang datang ke Siaboe untuk mengkonfirmasi keberadaan candi Simangambat. Tanpa pikir panjang, FM Schnitger dan tim langsung melakukan ekskavasi terhadap candi Simangambat dan laporannya dipublikasikan pada tahun 1935 (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 05-06-1935 dan Bataviaasch nieuwsblad 05-06-1935). Laporan FM Schnitger tersebut kemudian diterbitkan dalam bentuk brosur 38 halaman 'Oudheidkundige Vondsten in Palembang' oleh penerbit EJ Brill, Leiden. 1936. Isi laporan tersebut hasilnya sangat menggemparkan: 'Candi (Hindu) Simangambat adalah candi tertua di Sumatra dan candi yang mendahului pembangunan candi (Budha) Borobudur di Jawa Tengah'.

Sabtu, Februari 13, 2016

Bag-2. Sejarah PADANG LAWAS: Kompleks Percandian Padang Bolak, Pusat Perdagangan Utama di Tanah Batak, Kawasan Ekonomi Terluas di Nusantara



Salah satu kompleks candi di Padang Lawas (1920)
Untuk memahami serupa apa kawasan Padang Bolak (kini Padang Lawas) di masa doeloe, dapat dimulai dari keberadaan candi. Selama ini, uraian suatu komplek percandian, hanya difokuskan dan terbatas pada upaya mengusut asal-usul keagamaan. Jarang yang memperhatikan tentang keberadaa penduduk lokal di sekitarnya. Nyaris semua menggunakan pandangan dari luar (barat: India dan Eropa) dan kurang menonjolkan dari sisi lain (timur atau lokal). Soal keberadaan percandian di Padang Lawas adalah suatu hal yang khusus yang boleh jadi seumur dengan keberadaan Barus. Sebagai titik tolak dari artikel ini: interpretasi masa kini terhadap keberadaan candi ini di masa lampau dapat mengindikasikan perihal berikut:
.
a.      Dibangun untuk kebutuhan keagamaan (Budha/Hindu): pemujaan atau pusat pengajaran.
b.      Bangunan megah dijamannya, membangunnya membutuhkan keahlian khusus (arsitek).
c.    Pada era teknologi yang masih sederhana, untuk membangunnya dibutuhkan jumlah tenaga kerja yang sangat banyak.
d.     Membangunnya haruslah ada yang memerintahkan dengan didukung pembiayaan yang sangat besar.
e.      Jumlah candi sangat banyak, tersebar di berbagai tempat (bandar/kota) yang berjauhan tetapi satu sama lain terhubung melalui moda transportasi sungai.
f.    Sungai utama (Baroemoen) ke hulu memiliki anak sungai yang dapat dilayari dan ke hilir memiliki akses langsung ke laut. Muara sungai Baroemoen adalah kawasan lalu lintas pelayaran internasional (east-west).
g.    Semua bandar/kota ini memiliki jalur ekonomi masing-masing ke daerah pedalaman dimana terdapat sentra produksi seperti emas, benzoin, kamper, kemenyan dan casia.
h.      Terdapat populasi kuda yang sangat banyak, kuda terbaik di Nusantara
i.        Ditemukan bendungan raksasa di beberapa tempat sebagai sumber irigasi pertanian.
j.    Sisa lain kemajuan masa lalu terdapat populasi ternak besar yang sangat banyak jumlahnya yang dimanfaatkan untuk produksi daging dan susu serta alat pertanian.
k.     Dan seterusnya.

Karakteristik yang didaftarkan beberapa aspek di atas, anglomerasi percandian di Padang Lawas seakan menjelaskan langsung bahwa di kawasan Padang Lawas ini di masa lampau terdapat suatu kerajaan besar yang menjadi pusat perdagangan utama di Tanah Batak. Dengan dukungan produksi komoditi dunia yang diusahakan oleh penduduk Batak dari seluruh penjuru angin, kawasan perdagangan ini besar kemungkinan adalah kawasan ekonomi terluas di Nusantara. Bagaimana hal itu disimpulkan? Mari kita lacak!

Selasa, Februari 02, 2016

Sejarah Kota Medan (14): Perjuangan Sisingamangaradja XII Sangat Ditakuti di Deli, Gugur sebagai Pahlawan Sejati dan Menjadi Pahlawan Kota Medan



Sisingamangaradja XII adalah pahlawan yang pertama yang dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional di Sumatra pada tahun 1961. Sisingamangaradja XII adalah pahlawan sejati, pahlawan yang dikenang sepanjang masa, yaitu orang yang telah berjuang dari lahir hingga mati. Sisingamangaraja XII lahir di Bakara, 18 Februari 1845.

Pada tahun ini (1845) Residentie Tapanoeli dibentuk dengan ibukota di Sibolga. Residen pertama Tapanoeli adalah Kolonel Alexander van der Hart, seorang pahlawan pemberani Belanda dalam Perang Bonjol yang berani langsung bertempur di tengah benteng Bonjol  melawan pasukan Tuanku Imam Bonjol (1837). A. van der Hart diangkat menjadi residen karena kebutuhan perlawanan Tuanku Tambusai di Portibi. Pada tahun 1845 ini, van der Hart memimpin langsung pertempuran dalam Perang Portibi. 

Sisingamangaradja XII naik tahta pada tahun 1876 menggantikan ayahnya Sisingamangaraja XI yang bernama Ompu Sohahuaon. Sisingamangaradja XII segera memimpim Perang Batak yang telah dikobarkan sejak 1872.

Ada tiga kejadian penting pada saat ini: (1) Willem Iskander, pejuang pendidikan di Mandheling en Ankola dikabarkan meninggal di Belanda bulan Juni 1876. (2) Lanskap Deli ditingkatkan statusnya dari Controleur menjadi Asisten Residen atas desakan para planter di Deli agar tingkat sekuriti di sekitar mereka lebih terjaga, (3) Permintaan Nommensen di Silindoeng agar militer Belanda dapat melumpuhkan Sisingamangaradja XII dan (4) perlawanan dari orang-orang Batak dari Atjeh di Langkat. Semua kejadian ini saling terkait dengan perjuangan Sisingamangaradja XII.

Makam Sisingamangaradja XII dan dua putranya di Tarutung
Singamangaraja XII gugur pada 17 Juni 1907 dalam suatu pertempuran dengan militer Belanda yang dipimpimpin oleh Kapten Hans Christoffel di Dairilanden. Singamangaraja XII meregang nyawa setelah sebuah peluru menembus dadanya. Dalam pertempuran itu, dua putranya turut gugur Patuan Nagari dan Patuan Anggi. Pada tanggal 17 Juni 1938 kuburan ketiga pejuang ini dipindahkan dari Dairi ke Pearadja, Tarutung. Singamangaraja XII berjuang sejak 1875.

Makam Singamangaraja XII kemudian dipindahkan pada tahun 1953 ke Balige. Sebagaimana dilaporkan Het nieuwsblad voor Sumatra, 17-06-1953 bahwa pagi ini Sisingamangaraja XII beserta dua putranya dimakamkan kembali dengan hikmat di Soposoeroeng, Balige. Pemakaman ini dihadiri Ketua Parlemen, Sartono dan Gubernur Sumatra Utara, Abdul Hakim Harahap. Sehubungan dengan upacara ini, malam ini di Istana Negara di Jakarta pukul 19.30 akan diadakan upacara nasional.