Selasa, September 29, 2015

Sejarah Kota Medan (4): Sumatra’s Oostkust Menjadi Provinsi (1915); Anak-Anak Padang Sidempuan Mulai Memainkan Peran Penting



Mangaradja Soangkoepon
Berdasarkan Staatsblad no. 180 tahun 1909, pada tanggal 1 April 1909 di Medan dibentuk Gemeenteraad. Ini berarti Kota Medan mulai babak baru dalam suatu pengelolaan kota, dimana dalam hal ini pemerintah akan diawasi oleh suatu dewan (Gemeenteraad). Pemerintah kota pada masa itu adalah Asisten Residen, E.G.Th. Maier. Anggota Gemeenteraad terdiri dari berbagai fungsi. Dibentuknya Gemeenteraad dimaksudkan untuk melakukan tugas-tugas pemerintahan agar lebih efektif di Medan dengan semakin kompleksnya permasalahan kota. Adanya gemeenteraad, mengakibatkan bentuk pemerintahan di Residentie Sumatra's Oostkust menjadi dua: Dewan Budaya (Residentie) dan Dewan Kota (Medan). Penetapan anggota dewan ditunjuk dari Batavia dengan SK khusus. Yang duduk dalam dewan budaya (Plaatselijken Raad van het cultuurgebied der Oostkust van Sumatra) dari kalangan pribumi adalah Sultan Deli, Sultan Asahan, Sultan Langkat, Sultan Serdang plus Tsiong Yong Hian (mayor komunitas Tionghoa). Sedangkan yang duduk di dewan kota Medan adalah salah satu dari dua pribumi yakni pangeran Deli plus Tjong A Fie (Kapten komunitas Tionghoa). Selebihnya adalah orang-orang Belanda dari kalangan pejabat dan Deli Mij, Deli Spoor serta lainnya. Kedua dewan ini secara resmi diangkat sejak 1 April 1909 [catatan: Tsiong Yong Hian adalah abang dari Tjong A Fie).

Pada era awal Belanda di Medan (kolonial) struktur pemerintahan tidaklah sama dengan yang sekarang, akan tetapi mekanisme pembagian wilayahnya kurang lebih sama. Pada era kolonial penentuan status pemerintahan (civiel departement) lebih ditentukan pada intensitas perekonomian yang membutuhkan kekuatan keamanan (militaire departement). Berbeda dengan masa sekarang (RI), dimana semua wilayah disebut provinsi dan masing-masing dikepalai oleh Gubernur (bagaimanapun tingkat perekonomiannya). Dengan kata lain lebih ke arah pendekatan kesejahteraan (welfare). Sedangkan di era Belanda pendekatannya pada pendekatan perekonomian (keuntungan kolonial). Akibatnya, Residentie Tapanoeli tidak pernah sampai pada level province, karena secara perekonomian kurang prospektif dari segi keuntungan jika dibandingkan Sumatra’s Oostkust. Jika suatu wilayah dianggap telah merosot secara perekonomian, statusnya bisa didegradasi, sebagaimana terjadi pada status Residen yang sebelumnya berkedudukan di Tebingtinggi Afd. Bengkalis yang didegradasi sementara Medan Afd. Deli sebaliknya dipromosikan (tukar guling) menjadi Residen.

Dalam perkembangannya, di Residentie Sumatra’s Oostkust pertumbuhan dan perkembangan perekonomian terus berlanjut. Perkembunan tidak hanya di afdeeling-afdeeling Melayu (Deli, Batoebara, Asahan dan Laboehan Batoe) tetapi juga semakin meluas ke afdeeling-afdeeling Batak (Simaloengoen en Karolanden). Untuk mengefektifkan pemerintahan (atas dasar perekonomian) di Simaloengoen en Karolanden ditingkatkan statusnya menjadi Asisten Residen dengan ibukota di Pematang Siantar. Dua afdeeling Batak ini dimasukkan dalam Residentie Sumatra’s Oostkust daripada Residentie Tapanoeli (lebih pada pertimbangan perekonomian).

Pada tahun 1915 Residentie Sumatra’s Oostkust mengalami reorganisasi dimana afdeeling-afdeeling Atjeh dimasukkan ke Residentie Atjeh seperti afd. Tamiang, sementara afdeeling-afdeeling Batak dikukuhkan masuk menjadi Residentie Sumatra’s Oostkust atas dasar kesatuan ekonomi perkebunan. Pada tahun dimana reorganisasi ini status Residentie Sumatra’s Oostkust ditingkatkan menjadi province (yang dikepalai oleh seorang Gubernur).

Sabtu, September 26, 2015

Sejarah Kota Medan (3): Kronologis Pembangunan Kota dan Anak-anak Padang Sidempuan Menjadi Pionir di Segala Bidang



Lahir di P. Sidempuan, 1860
Seperti yang diprediksi sebelumnya, akhirnya pada tahun 1887 (1 Maret) ibukota Sumatra van Oostkust dipindahkan ke Medan. Ini dengan sendirinya di Medan, status Asisten Residen ditingkatkan menjadi Resident. Residentie Sumatra van Oostkus sendiri kemudian direduksi yang mana afd. Bengkalis dipisahkan dan kembali masuk menjadi bagian dari Residentie Riaouw. Dengan kata lain Residentie Sumatra van Oostkus meninggalkan Bengkalis. Hal yang sama sebagaimana sebelumnya (1845), Residentie Tapanoeli meninggalkan Air Bangies. Namun pemisahan Sumatra van Oostkust dengan Bengkalis tidak serta merta menyelesaikan masalah, karena selama ini antar dua lanskap ini terdapat hubungan tradisional (antara Yang Dipertoean Agung van Siak di Bengkalis dengan sultan-sultan di Laboehan Batoe, Asahan, Batoebara dan Deli).

Medan, 1876
Sejak ibukota Asisten Residen dipindahkan dari Laboehan Deli ke Medan (1979) hingga status Asisten Residen di Medan ditingkatkan menjadi Residen (1887) telah banyak yang berubah di Medan. Perubahan yang terjadi bagaikan deret geometri, tidak lagi dalam hitungan tahun tetapi bahkan dalam hitungan bulan. Tidak hanya infrastruktur dan bangunan gedung yang berubah drastis tetapi juga arus penduduk dan barang (ekspor dan impor). Tidak ada istilah terlambat bagi pemerintah Belanda hadir di Medan, yang juga tidak ada kata terlambat bagi Medan untuk tumbuh dan berkembang lebih cepat menjadi kota besar. Kronologis perkembangan kota, sebagai berikut:

A. Fase  Controleur di Laboehan Deli dan Deli Maatschappjij di Medan Poetri (1865-)

Pada tahun 1865 Controleur di Deli, Residentie Riaouw ditempatkan di Laboehan Deli. Pada saat yang bersamaan dengan controleur ini diiringi dengan pendirian pos militer dengan tiga sersan yang dibantu oleh enam kopral polisi. Tentara dan polisi ini dibantu dengan sebanyak 80 prajurit pribumi biasanya dari asal Jawa dan Madura (sebagaimana halnya di Mandheling en Ankola). Keberadaan istana Soletan Deli di Laboehan Deli sudah sejak lama ada.

Rumah Kepala Adm. Deli Maatshappij di Medan (1869)
Pada tahun 1865 ini juga J. Nienhuys menyusuri Sungai Deli ke arah hulu hingga sampai di Kampong Medan Poetri yang letaknya tidak jauh dai pertemuan Sungai Deli dan Sungai Baboera. Di dekat kampung ini Nienhuys mulai membuka kebun tembakau. Ternyata berhasil. Pada tahun 1869 Deli Maatshappij didirikan dan mulai membangun fasilitas. Bangunan yang pertama didirikan adalah Kantor Deli Mij, kemudian menyusul Rumah Kepala Administratus Deli Mij. Dua bangunan ini berada di sisi timur Sungai Deli (setelah pertemuan Sungai Deli dan Sungai Baboera). Bangunan berikutnya yang dibangun adalah klinik (rumah sakit) Deli Mij yang lokasinya lebih ke hilir Sungai Deli.

Selasa, September 22, 2015

Sejarah Kota Medan (2): Ibukota Deli Pindah ke Medan; Pembangunan Kota dan Peran Besar Deli Maatschappij



J. Nienhuys di Deli dengan kuda Batak, 1865
Pada tahun 1879  berdasarkan beslit tanggal 28 Juni 1879 nomor 12 ibukota Asisten Residen Deli pindah dari Laboean Deli ke Medan. Pada saat perpindahan ini, lokasi ibukota yang ditetapkan bukanlah ruang kosong, tetapi suatu area yang awalnya adalah suatu kampong benama Medan Poetri, yang kini menjadi lokasi dimana pusat aktivitas perusahaan perkebunan (plantation), Deli Maatschappij (DM). Siapa yang menjadi penghuni kampung Medan Poetri ini pada saat DM memulai aktivitas tabakskultuur (budidaya tembakau) dapat dibaca pada artikel kedelapan Sejarah Kota Medan (dalam blog ini)..

Pada tahun 1865, secara de jure, seorang controleur ditempatkan di Laboehan Deli. Selama berkedudukan di Laboehan Deli, controleur didukung oleh tiga sersan dan enam kopral polisi yang dibantu oleh 80 orang Melayu.  Pada tahun ini juga, J. Nienhuys, seorang Belanda tiba di Deli dan menuju ke Medan Poetri dan membuka perkebunan tembakau (persis di sisi timur pertemuan Sungai Deli dan Sungai Baboera). Pada tahun ini juga kuli Cina mulai didatangkan. Sukses perkebunan tembakau mengakibatkan sejumlah investor Eropa berdatangan.

Inilah sebuah keajaiban yang terjadi di Deli, Nienhuys telah memicu segalanya. Hal yang sama terjadi sebelumnya di Mandheling en Ankola, yang mana Sati Nasoetion gelar Soetan Iskandar tahun 1857 berangkat studi ke Belanda (orang pribumi pertama studi ke Negeri Belanda). Sati Nasoetion yang mengubah namanya menjadi Willem Iskander (diambil nama dari Radja Willem) setelah mendapat akte guru tahun 1861 pulang ke kampung halaman dan mendirikan sekolah guru tahun 1862 di Tanobato (Mandheling en Ankola). Willem Iskander telah memicu segalanya [kelak di Bataklanden (Silindoeng en Toba) dengan kehadiran Nommensen].

Nienhuys meningkatkan usahanya dengan mendirikan NV. Deli Maatschappij pada tahun 1869 dengan saham separuh Nederlandsche Handel Maatschappij (NHM). Tahun ini juga tahun dimana Terusan Suez dibuka. Tidak lama (dalam 10 tahun), pada tahun 1875 status controleur di Laboehan Deli ditingkatkan menjadi Asisten Residen, sementara di onderafdeeling Medan ditempatkan seorang controleur. Sebelum controleur ditempatkan di Medan, sudah terlebih dahulu dibangun sebuah garnisun militer (pindahan dari Laboehan Deli).

Namun yang jelas, pada tahun 1879 di sekitar kampong ini jumlah bangunan modern/Eropa lambat laun semakin bertambah. Sejak 1875 kampung ini tumbuh dan berkembang, seiring dengan dibangunnya sebuah garnisun, dan penempatan seorang controleur di Medan (Poetri). Sejak 1875, sebutan tempat, lebih kerap ditulis Medan daripada Medan Poetri.

Hal yang sama pernah terjadi pada nama kampung Sidimpoean. Ketika controleur Ankola pertamakali ditugaskan, rumah dan kantor yang dibangun adalah di dekat kampung Sidempuan (sebelumnya sudah terlebih dahulu ada garnisun pindahan dari Pijorkoling). Lalu nama yang kerap disebut selanjutnya menjadi Sidempoean dan kemudian didepannya ditambahkan kata Padang sehingga menjadi Padang Sidempoean. Besar kemungkinan pejabat pemerintah pertama di suatu tempat (seperti kampung Sidimpoean dan kampung Medan Poetri) melakukan penyesuaian dengan lidah Eropa, kebutuhan praktis administrasi serta nomenklatur (dokumen dan peta). Kemiripan lainnya, antara (Padang) Sidempuan dengan Medan (Poetri) adalah soal posisi dimana lokasi garnisun: Garnisun Padang Sidempuan berada diantara (dan tidak jauh dari) pertemuan dua sungai, yakni Sungai Batang Ajoemi dan Batang Angkola, sedangkan garnisun Medan berada diantara (dan tidak jauh dari) pertemuan dua sungai, yakni: Sungai Baboera dan Sungai Deli.Secara teknis posisi serupa itu sudah menunjukkan fungsi pertahanan (benteng alam). . 

Rabu, September 16, 2015

Sejarah Kota Medan (1): Pada Saat Medan Masih Sebuah Kampung, Padang Sidempuan Sudah Menjadi Kota

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Medan dalam blog ini Klik Disin
 .

Baca juga:


Ketika Medan, sebuah kampung; Padang Sidempuan, sebuah kota
Pada masa kini, Medan adalah ibukota Provinsi Sumatra Utara. Pada masa kini, Provinsi Sumatra Utara terdiri dari sejumlah kabupaten dan sejumlah kota. Pada masa kini, Kota Medan sudah menjadi kota besar (metropolitan): kota nomor tiga terbesar di Indonesia. Kota yang berada di Tanah Deli ini masih akan tumbuh dan berkembang hingga ke masa datang. Lantas kapan Kota Medan mulai tumbuh dan kapan pula terbentuknya Provinsi Sumatra Utara. Sebagai perbandingan awal, ketika Medan masih sebuah kampung, Padang Sidempuan sudah menjadi kota (besar). Sebagai perbandingan awal juga, ketika Sumatra's Oostkust (Pantai Timur Sumatra) yang beribukota Medan menjadi Residentie, jauh sebelumnya Tapanoeli sudah menjadi Residentie. Kota Padang Sidempuan sendiri pernah menjadi ibukota Residentie Tapanoeli (1875).
Wilayah yang menjadi Residentie Sumatra's Oostkust (Patai Timur Sumatra) adalah pemekaran wilayah dari Residentie Riaow, sementara Residentie Tapanoeli adalah pemekaran dari Provinsi Sumatra's Westkust (Pantai Barat Sumatra). Ketika, status Sumatra's Oostkust ditingkatkan dari residentie menjadi province dibentuk Residentie Atjeh. Pada periode kedua pemilihan anggota dewan (Volksraad), nama Sumatra Utara (Noord Sumatra) muncul yang mana Residentie Tapanoeli dan Residentie Atjeh digabung sebagai satu daerah pemilihan (dapil) yang disebut dapil Noord Sumatra (Sumatra Utara). Sedangkan Province Sumatra's Oostkust menjadi satu dapil sendiri. Ketika Residentie Atjeh dimekarkan, pemilik nama Sumatra Utara hanya tinggal Tapanoeli. Dalam perkembangannya, nama Sumatra's Oostkust dihapus, lalu wilayah-wilayah eks Sumatra's Oostkust bersama dengan wilayah-wilayah eks Tapanoeli digabung menjadi sebuah provinsi. Nama provinsi disebut Sumatra Utara (nama yang telah lama melekat dan dikaitkan dengan Tapanoeli).
Sehubungan dengan itu, lantas apa hubungan Padang Sidempuan dengan Medan? Dan apa pula hubungan Tapanoeli dengan Sumatra Utara? Serial artikel ini coba menelusuri mulai dari titik nol: Kapan terbentuk kota Padang Sidempuan (1841), kapan terbentuk kota Medan (1869); kapan terbentuk Tapanoeli (1845), kapan terbentuk Sumatra's Oostkust (1879) dan terakhir, kapan terbentuk Sumatra Utara (1927). Hal yang terpenting dari itu adalah apa saja peran anak-anak Padang Sidempuan sejak awal dalam membangun kota Medan dan membentuk provinsi Sumatra Utara. Mereka  datang dari kota pertama di Sumatra Utara, yakni Padang Sidempan, ibukota Afdeeling Mandheling en Ankola, tempat dimana Multatuli (Edward Douwes Dekker) belajar soal keadilan (1843), tempat dimana Herman Neubronner van der Tuuk belajar dan menyusun tatabahasa Bahasa Batak (1850), tempat dimana Nommensen belajar sistem sosial orang Batak (1861), tempat dimana Charles Adrian van Ophuijsen belajar dan menyusun tatabahasa Bahasa Melayu (1879), tempat dimana semua penduduknya Republiken.

Sebagai gambaran awal, peran anak-anak Padang Sidempuan sejak dari awal di Kota Medan diantaranya, adalah: pers (koran dan percetakan) pribumi pertama (1902), editor pribumi pertama (1903), guru pribumi pertama (1893), pengawas sekolah pertama (1910), pemilik sekolah pribumi pertama (1903), dokter-dokter pertama pemberantas kusta, kolera dan tbc, pemilik klubdan pendiri bond sepakbola pribumi pertama, anggota dewan kota (gementeeraad) pribumi pertama (1918) dan anggota dewan pertama yang terpilih ke dewan pusat (Volksraad) di Pejambon, Batavia (1927). Anak-anak Padang Sidempuan juga adalah pendiri organisasi sosial pertama (1904), penggagas pasar sentral dan pelopor pengembangan rumah sakit (1928),  kepala pelabuhan pribumi pertama, jaksa pribumi pertama (1893) dan polisi pribumi pertama. Anak-anak Padang Sidempuan juga yang terkena delik pers pertama (1911), pertama dalam melawan kolonialisme, republiken, para pejuang di medan tempur dan ketua Front Nasional Medan (1945). Anak-anak Padang Sidempuan pasca perang adalah ketua panitia hari kemerdekaan pertama di Medan (1950), Walikota Medan pertama (1945), Residen Sumatra Timur pertama, Gubernur Sumatra Utara pertama, penggagas, pendiri dan presiden universitas (USU) pertama (1953), notaris pribumi pertama (1937), ahli hukum pribumi pertama (1917), penggagas pembangunan stadion Teladan (1953). Mari kita lacak kisah masing-masing dan peranan-peranan apa lagi yang mereka lakukan sejalan dengan pembangunan dan perkembangan Kota Medan (dan provinsi Sumatra Utara). 
Namun perlu diketahui, bahwa semua prestasi itu tidak terjadi tiba-tiba dan bersifat lokal. Anak-anak Padang Sidempuan bahkan sudah sejak lama di tingkat nasional dan internasional melakukan kebajikan yang serupa, diantaranya: siswa pertama dari luar jawa di Docter Djawa School (STOVIA) tahun 1854, siswa pertama pribumi studi ke Belanda (1857), penulis buku pelajaran pertama (1862), pengarang novel/roman pertama (1895), penyusun buku panduan perjalanan haji pertama (1902), penulis buku pertama terbit di Eropa (1913), alumni sekolah hukum pertama (rechtschool) di Batavia (1914), alumni pertama sekolah menengah pertanian di Buitenzorg (1911), alumni pertama sekolah dokter hewan di Belanda (1909) di Buitenzorg, pendiri organisasi sosial pertama, Medan Perdamaian tahun 1900 (jauh sebelum adanya Boedi Oetomo, 1908), pendiri dan presiden perhimpunan mahasiswa di Belanda (1908), pendiri Sumatra Bond (1817), pendiri Tapanoeli Bond, pendiri Batakcshe Bond, pendiri bank pribumi pertama (1920), peraih gelar doktor hukum pribumi pertama (1925), peraih gelar doktor perempuan pertama (1931), pendiri organisasi wartawan (1918), pendiri akademi wartawan (1951), ketua panitia kongres pemuda (1928), ketua KADIN pribumi pertama (1929), orang pribumi pertama ke Jepang (1932), anggota BPUPKI (1945), walikota pribumi pertama di Kota Surabaya (1942), Residen Sumatra Tengah (Sumatra Barat dan Riau) pertama (1945), Residen Lampung pertama (1948). Daftar ini lebih panjang lagi dengan menyertakan tokoh-tokoh di bidang militer, perdana menteri, wakil presiden dan menteri. Last but not lease: pendiri dan presiden pertama himpunan mahasiswa Islam  HMI (1947) dan pendiri dan presiden pertama persatuan mahasiswa universiteit van Indonesia PMUI (1947).
Tentu saja masih banyak lagi yang dapat memberi gambaran kontekstual tentang peranan anak-anak Padang Sidempuan pada fase awal sejarah Kota Medan dan sejarah Indonesia. Nama-nama mereka seharusnya ditempatkan dalam top list bumiputra dengan tinta emas cetak tebal baik dalam penulisan sejarah Kota Medan dan maupun penulisan sejarah Indonesia. Kini, di era teknologi informasi, data-data sudah terbuka dan terang benderang. Tidak ada lagi ruang untuk memanipulasi data dan informasi sejarah. Salam jasmerah. Mari kita mulai seri artikel pertama.

Kamis, September 10, 2015

Gelar Doktor Pertama di Indonesia: Dr. Ida Loemongga, PhD, Doktor Perempuan Pertama di Indonesia

Baca juga:
Bag-8. Sejarah Padang Sidempuan: ‘Dr. Ida Loemongga, PhD, Dinasti Guru dan Dokter: Like Son, Like Father; Like Girl, Like Mother’


Ida Loemongga dikawal dua adiknya saat sidang terbuka di Amsterdam, 1932
Pendidikan doktor adalah pendidikan tertinggi di bidang akademik. Pada masa kini, jumlah doktor Indonesia sudah cukup banyak tetapi masih jauh dari jumlah yang dibutuhkan. Perempuan yang bergelar doktor jumlahnya masih sangat sedikit jika dibandingkan laki-laki. Meski begitu adanya, namun gelar doktor sesungguhnya sudah sejak dari doeloe, orang Indonesia dapat meraihnya. Tidak hanya laki-laki tetapi juga perempuan. Uniknya, empat diantara orang Indonesia bergelar doktor pertama adalah berasal dari Padang Sidempuan, afd. Mandheling en Ankola, Tapanoeli. Bahkan satu diantara empat tersebut adalah doktor perempuan pertama di Indonesia..  

***
Husein Djajadiningrat
Gelar doktor pertama diraih oleh Hussein Djajadiningrat di Universiteit Leiden pada Mei 1913 di bidang sastra (De Telegraaf, 31-12-1934). Desertasi Djajadiningrat berjudul ‘Critische beschouwingen van di Sadjarah Banten’. Dr. Mr. Hussein Djajadiningrat juga adalah profesor pertama di Indonesia. Pada tahun 1935 Husein Djajadiningrat diangkat menjadi guru besar bidang hukum di Rechtschool, Batavia (lihat juga De Telegraaf, 31-12-1934).

Husein Djajadiningrat berangkat studi ke Belanda tahun 1904. Pada tahun 1905 menyusul Soetan Casajangan. Pada awal tahun 1906 jumlah mahasiswa pribumi di Belanda baru enam orang, termasuk didalamnya dokter Abdul Rivai (alumni docter djawa school) yang awalnya bekerja sebagai editor Bintang Hindia. Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan kelahiran Padang Sidempuan adalah tokoh pergerakan pemuda pertama di Belanda. 

Minggu, September 06, 2015

Abdoel Azis Nasution gelar Soetan Kenaikan: Alumni Pertama Sekolah Menengah Pertanian (Middelbare Landbouwschool) Bogor, Pelopor Sekolah Pertanian di Sumatra Barat

*Untuk melihat semua artikel Sejarah TOKOH Tabagsel dalam blog ini Klik Disini



Dua tahun setelah SoripTagor lulus Sekolah Dokter Hewan (Veeartsen School) Bogor (1912), satu lagi anak Afd. Padang Sidempuan lulus di Bogor (1914). Namun bukan sekolah dokter, tetapi sekolah pertanian (landbouwschool). Namanya, Abdoel Azis gelar Soetan Kenaikan. Sebagaimana, SoripTagor, alumni pertama sekolah dokter hewan Bogor, Abdul Azis Nasution juga adalah alumni pertama Sekolah Menengah Pertanian Bogor. Dengan demikian, Sorip Tagor (Harahap) dan Abdul Azis (Nasution) adalah anak-anak Padang Sidempuan, pionir sekolah tinggi kedokteran hewan dan sekolah menengah pertanian di Indonesia. Sorip Tagor Harahap, setelah beberapa tahun menjadi asisten dosen di sekolah dokter hewan di Bogor berangkat studi ke Utrecht, Belanda untuk mendapat gelar dokter penuh tahun 1916 (pribumi pertama di sekolah dokter tersebut). Selama kuliah di Belanda, Ompung dari Inez dan Risty Tagor ini aktif berorganisasi, utamanya di bidang politik. Sorip Tagor mempelopori didirikannya Sumatranen Bond di Belanda. Pada tanggal 1 Januari 1917, Sumatranen Bond resmi didirikan dengan nama ‘Soematra Sepakat’. Dewan terdiri dari Sorip Tagor (sebagai ketua); Dahlan Abdoellah, sebagai sekretaris dan (Todeong Harahap gelar) Soetan Goenoeng Moelia sebagai bendahara. (Salah satu) anggota (benama) Ibrahim Datoek Tan Malaka (yang kuliah di kampus Soetan Casajangan).

Bataviaasch nieuwsblad, 06-08-1913
Sementara itu, Abdul Aziz Nasoetion di tanah air pada tahun 1913 lulus tingkat dua dan naik ke tingkat tiga (Bataviaasch nieuwsblad, 06-08-1913). Sekolah pertanian (landbouwschool) ini didirikan tahun 1903 di Buitenzorg. Sekolah yang lama kuliahnya tiga tahun ini, pada tahun 1913, namannya diubah menjadi Sekolah Menengah Pertanian (Middelbare Landbouwschool). Abdul Aziz lulus pada tahun 1914. Ini berarti Abdul Azis Nasution adalah alumni pertama Sekolah Menengah Pertanian Bogor (Middelbare Landbouwschool). Pada tahun ini juga (1914), Soetan Casajangan, anak Padang Sidempuan, pionir pribumi kuliah di luar negeri (tiba di Belanda, 1905) pulang ke tanah air dan untuk sementara ditempatkan di sekolah eropa di Buitenzorg (Bogor) sebelum menjadi kepala sekolah guru (kweekschool) di Fort de Kock (tahun 1915).

Kamis, September 03, 2015

Dr. Sorip Tagor Harahap: Dokter Hewan Pertama, Alumni Sekolah Kedokteran Hewan di Bogor (1912); Pendiri Sumatranen Bond di Belanda (1917)


*Untuk melihat semua artikel Sejarah TOKOH Tabagsel dalam blog ini Klik Disini

Sorip Tagor lahir di huta (desa) Hoeta Imbaroe, Padang Sidempoean, 21 Mei 1888. Anak dari pasangan Radja Tagor Harahap dan Dorima Siregar ini memulai pendidikan dasar berbahasa Belanda (ELS) di Padang Sidempoean. Sorip Tagor kemudian melanjutkan studi ke Sekolah Kedokteran Hewan (Inlandschen Veeartsen School) tahun 1907 di Buitenzorg (kini Bogor). Sekolah Kedokteran Hewan di Buitenzorg ini sendiri dibuka tahun 1907 (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 30-06-1928).

Sebelum lulus, Sorip Tagor diangkat sebagai asisten dosen (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 16-08-1912). Pada tahun 1912 Sorip Tagor dinyatakan lulus dan bergelar Dokter Hewan (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 22-08-1912).

Pada tahun 1910, Alimoesa Harahap mengikuti jejak Sorip Harahap hingga ke Sekolah Kedokteran Hewan di Buitenzorg. Alimoesa, kelahiran Losoeng Batoe, Padang Sidempoean lulus tahun 1914 (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 08-08-1914). Alimoesa Harahap kelak berkarir sebagai pejabat kesehatan di Pematang Siantar dan pada tahun 1922 menjadi anggota dewan kota (gemeenteraad) Pematang Siantar. Pada tahun 1927, Alimoesa Harahap terpilih menjadi anggota dewan pusat (Volksraad) di Batavia. Alimoesa Harahap adalah anggota Volksraad pertama dari Sumatra Utara.

Siswa-siswa lainnya pada fase awal ini (1910-1930) yang menyusul ke Sekolah Kedokteran Hewan di Buitenzorg yang berasal dari Afdeeling Padang Sidempoean, antara lain: Aboe Bakar Siregar, Alibasa Harahap, Pinajoengan, Anwar Nasoetion, Hari Rajo Pane dan lainnya. Anwar Nasoetion yang lulus tahun 1930 kelak dikenal sebagai ayah dari Prof. Andi Hakim Nasoetion (Rektor IPB 1978-1987).

Pada tahun 1913, Sorip Tagor diangkat lagi sebagai asisten dosen di Sekolah kedokteran Hewan (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 30-08-1913). Namun tidak lama kemudian (masih tahun 1913), Sorip Tagor berangkat ke Belanda untuk melanjutkan studinya untuk mendapatkan gelar dokter hewan penuh (setara dokter hewan Belanda, yang disingkat Dr). Bulan Juni 1916, Sorip Tagor lulus ujian kandidat dokter hewan (tingkat dua) di Rijksveeartsenijschool, Utrecht (lihat Algemeen Handelsblad, 19-06-1916).