Lahir di P. Sidempuan, 1860 |
Medan, 1876 |
A. Fase Controleur di
Laboehan Deli dan Deli Maatschappjij di Medan Poetri (1865-)
Pada tahun 1865 Controleur di Deli,
Residentie Riaouw ditempatkan di Laboehan Deli. Pada saat yang bersamaan dengan
controleur ini diiringi dengan pendirian pos militer dengan tiga sersan yang
dibantu oleh enam kopral polisi. Tentara dan polisi ini dibantu dengan sebanyak
80 prajurit pribumi biasanya dari asal Jawa dan Madura (sebagaimana halnya di
Mandheling en Ankola). Keberadaan istana Soletan Deli di Laboehan Deli sudah
sejak lama ada.
Rumah Kepala Adm. Deli Maatshappij di Medan (1869) |
B. Fase Controleur Laboehan Deli ditingkatkan menjadi Asisten
Residen dan menempatkan controleur di Medan (1875-)
Rumah controleur di Medan, 1875 |
Crane dalam membangun jembatan di Medan (1876) |
Lalu oleh pemerintah dibangun
kantor pos yang tempatnya di sebelah Witte Societeit. Sementara itu, Hotel Deli
yang beroperasi di Laboehan Deli juga membuka hotel. Lokasi antara garnisun
dengan Witte Societeit dibangun kantin untuk para prajurit. Semua fasilitas ini
berada di sekitar Deli Mij (kecuali kantor/rumah controleur). Pada fase ini
kampung Kasawan berkembang pesat dengan kepadatan penduduk yang cukup tinggi
(mereka adalah komunitas Tionghoa yang pindah dari Laboehan Deli).
C. Fase Asisten Residen pindah ke Medan (1879-)
Ketika Asisten Residen Deli yang
berkedudukan di Laboehan Deli pindah ke Medan, rumah yang ditempati oleh
Asisten Residen adalah eks rumah administratur Deli Mij yang berada di
Soekamoelia. Ini dengan sendirinya, rumah/kantor Controleur Medan dan
rumah/kantor Asisten Residen berdekatan. Posisi rumah Asisten Residen (eks
rumah kepala administratur Deli Mij) ini sangat strategis berada pada setengah
lingkaran (lekukan) Sungai Deli (secara alamiah menjadi semacam area pertahanan,
seperti lokasi benteng militer yang berada diantara sungai Baboera dan Sungai
Deli).
1880: Esplanade, latar stasion |
1880: Esplanade, latar Hotel Vink |
Buka jalan baru di Medan, terabas hutan |
D. Fase Residen (1887-)
Wacana pemindahan ibukota Sumatra van Oostkust sesungguhnya sudah lama ada. Tidak hanya karena alasan aspirasi di Deli oleh para planter, tetapi juga karena rentang kendali manajemen pemerintahan yang terlalu jauh ke Deli, sementara pusat pertumbuhan ekonomi baru sudah lama bergeser dari Bengkalis ke Deli. Perpindahan ibukota ini ternyata lebih cepat dari yang diperkirakan. Hal ini karena lanskap-lanskap yang dekat dengan Atjeh dilaporkan telah mengalami tekanan yang kuat dari kekuatan yang ada di Atjeh. Berdasarkan berita-berita yang beredar di Batavia, ibukota Sumatra van Oostkust akan dipindahkan pada tanggal 1 Maret 1887 ke Deli. Ini berarti dengan sendirinya, status asisten residen di
Medan akan ditingkatkan menjadi Residen. Dengan demikian, ibukota Residentie Sumatra van
Oostkust dipinpindahkan dari Tebingtinggi di Bengkalis ke Medan di Deli.
Sehubungan dengan perubahan ibukota ini dan oleh karena
afdeeling-afdeeling lain juga berkembang, maka yang terjadi adalah sebagai
berikut: Afdeeling Bengkalis dipisahkan dari Sumatra van Oostkust dan
dimasukkan ke Residentie Riaouw. Sedangkan Afd. Laboehan Batoe, Afd. Asahan,
Afd. Batoebara dan Afd. Deli disatukan dan tetap menjadi Residentie Sumatra van
Oostkust dengan ibukota Medan. Untuk memperkuat pemerintahan di Sumatra van
Oostkust lalu status controleur di afd. Asahan yang berkedudukan di
Tanjdjoengbalei ditingkatkan menjadi Asisten Residen. Untuk memperkuat pemerintahan di kantor ibukota Medan akan ditambahkan dua controleur.
De
locomotief : Samarangsch han.en adv.-blad, 05-02-1887
|
Dalam fase reorganisasi
pemerintahan di Sumatra van Oostkust ini, sejumlah fungsi pemerintahan
ditingkatkan. Biro yang dulu menangani pekerjaan umum kini dibentuk menjadi Kantor
BOW (Burgerlijke Openbare Werken = Pekerjaan Umum). Tugas-tugas pekerjaan umum
tidak hanya di Kota Medan tetapi dengan semakin meluasnya areal perkebunan
hingga ke Asahan, Laboehan Batoe, dan daerah baru Simaloengoen dan Karo maka
Kantor BOW juga menangani peningkatan kulitas jalan, pembangunan jalan dan
jembatan di seluruh Sumatra’s Oostkust.
Sementara itu, dengan perubahan
struktur pemerintahan di Sumatra van Oostkust ini, ‘arsitektur’ pemerintahan
juga berubah. Ketika Resident berkedudukan di Bengkalis, partnertship Residen
adalah Sultan Siak/Sultan Bengkalis, akan tetapi ketika Residen dipindahkan ke
Medan, maka partnership Residen dalam pemerintahan di Sumatra van Oostkust juga
berubah dan berpartner dengan Sultan Deli. Pengangkatan Sultan Deli sebagai
partnership pemerintah di Sumatra van Oostkust tidak saja mengabaikan Sultan
dan para pangeran di Bengkalis, tetapi juga secara otomatis merendahkan derajat
para Sultan di Asahan, Batoebara dan Laboehan Batoe (sebelumnya antara Sultan
Deli dengan Sultan di Langkat, Serdang dan Bedagai). Pemerintah mendudukkan
Sultan Deli di atas sultan-sultan lainnya. Dengan kata lain Sultan Deli adalah
Radja dari para radja (Maharadja).
Di Tapanoeli tidak ada sultan, yang ada adalah radja kampung
yang secara adat disebut ‘radja huta’. Pemerintah melakukan partnership dengan sedikit
memodifikasi yang mengangkat satu diantara para radja-radja kampung sebagai
yang ‘dituakan’ dan menjadi perwakilan pemerintah yang disebut koeria (biasanya
yang memiliki resources yang paling banyak, karena itulah tujuan kolonial).
Akan tetapi antar koeria yang puluhan banyaknya satu sama lain bersifat
independen. Oleh karena itu, para koeria bukanlah bersifat partnership dalam
arti sesungguhnya, tetapi lebih tepat
disebut sebagai ‘pegawai’ pada pemerintahan lokal. Hal ini yang menjelaskan
mengapa di Residentie Tapanoeli tidak ada partnership pada tingkat Asisten Residen
maupun pada tingkat Residen (seperti di Minangkaboeu dan di Melayu). Jika
terjadi perubahan kedudukan pemerintahan di Tapanoeli, maka dengan sendirinya
tidak ada yang dirugikan maupun yang diuntungkan (bersifat pareto). Hal ini
kontras dengan di Sumatra van Oostkust, yang mana Sultan Deli mendapat benefit
yang sangat luar biasa. Mungkin tidak dalam konteks pemimpin diantara pemimpin
komunal tetapi paling tidak simbol tunggal dengan pembangunan istana yang megah
bagi Sultan Deli (bahkan melebihi kemegahan seluruh istana-istana yang ada di
Nederlandsch Indie). Meski demikian adanya, ini mengakibatkan begitu dekatnya
pemerintah dengan masyarakat di Tapanoeli yang boleh jadi para pemimpin pemerintahan di
tingkat terendah (controleur) dapat memahami langsung apa yang terjadi di
masyarakat (permasalahan yang dihadapi dan aspirasi apa yang harus
diteruskan/rekomendasikan). Boleh jadi Dr. Asta, Dr. Angan (dua siswa pertama
di docter djawa school di Batavia yang berasal dari luar Djawa, 1854) dan Si
Sati atau guru Willem Iskander (pribumi pertama studi ke Belanda, 1857) lahir
ke permukaan melalui mekanisme sistem pemerintahan serupa ini.[Catatan: Sebagaimana di afdeeling-afdeeling Sumatra's Oostkust, pribumi dimasukkan dalam sistem pemerintahan, seperti sultan, pangeran dan kepala komunitas Tionghoa. Satu-satunya kepala komunitas Tapanoeli (inslandsh hoofd) yang pernah tercatat masuk dalam struktur pemerintahan di Sumatra's Oostkust adalah Si Onggang gelar Radja Mandheling di Tandjongbalai yang jabatannya setara dengan letnan Tionghoa Khioe Tjan Tiong di Tandjoengbalai dan letnan Tsiong Yong Hian di Medan, 1887).
Pemindahan istana Sultan Deli dari
Laboehan Deli ke Medan menandai pemindahan Residen di Bengkali ke Medan.
Pemerintah di Batavia dan pemerintah di Sumatra van Oostkust menempatkan istana
itu tidak di tengah kota, melainkan ke hulu Sungai Deli ke tempat sepi bahkan
sangat dekat dengan tempat pekuburan orang-orang Eropa/Belanda. Istana ini yang
kini disebut Istana Maimun. Istana ini proses pembangunannya dimulai tahun 1888
setahun setelah Residen mulai bertugas di Medan (dan selesai dibangun pada
tahun 1891).
Peron Stasion Besar Medan, 1889 |
Hotel mewah di Medan Hotel de Boer, 1890 (kini Dharma Deli) |
Sebelum ada djaksa pribumi di Medan, sudah terlebih dahulu ada djaksa di Leboehan Deli. Djaksa tersebut dipindahkan dari Tapanoeli bernama Si Ripin gelar Soetan Mantri (1887). Pada tahun 1893 seorang djaksa ditempatkan di Medan (djaksa pribumi pertama). Djaksa tersebut bernama Sjarif Anwar gelar Soetan Goenoeng Toea yang memulai karir sebagai djaksa di Sipirok, Mandheling en Ankola 1875 (Mantan murid Nommensen ini sebelumnya menjadi penulis di kantor Asisten Residen di Padang Sidempuan). Lalu beberpa kali pindah tugas djaksa seperti ke Baros dan kemudian ke Sipirok lagi, selanjutnya baru ke Medan. Di Medan anak pertama Soetan Goenoeng Toea bernama Djamin Harahap gelar Baginda Soripada dimasukkan ELS tahun 1893 dan tamat 1900. Setelah lulus ELS, Djamin Harahap magang di kantor pemerintah di Medan. Pada tahun 1906 Djamin menikah dengan boru Regar bernama Basunu. Anak pertama Djamin gelar Baginda Soripada lahir 1907 di Medan.
Soetan Goenoeng Toea pension di Medan 1910. Setelah beberapa tahun sebagai calon pegawai, akhirnya Djamin gelar Baginda Soripada diangkat sebagai pegawai di kantor Residentie di Medan (1911). Di lingkungan residentie ini, kemudian Djamin diangkat menjadi mantri polisi, lalu kemudian diangkat menjadi djaksa dan berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Anak pertama Djamin Harahap gelar Baginda Soripada tersebut bernama Amir Sjarifoedin tidak ikut pindah tetapi tinggal bersama ompungnya di Medan. Kelak, nama Amir lebih dikenal sebagai the founding father RI (bersama Soekarno dan Hatta). Jabatan-jabatan Amir Sjarifoedin kelak adalah Menteri Penerangan pertama, Menteri Pertahanan pertama dan Perdana Menteri RI.
Ketika Djamin Harahap diangkat sebagai pegawai di Kantor Residen Medan tahun 1911, sudah lebih dahulu pada tahun 1907 Marah Hoesin gelar Radja Pandapotan diangkat sebagai PNS di kantor Residen Medan. Marah Haoesin sebelumnya adalah cpns di kantor controleur sebagai komisioner di Selat Pandjang, Bengkalis (lihat De Sumatra post, 30-11-1907). Setelah beberapa tahun di Medan, Radja Pandapotan dipindahkan ke Songai Penoeh (Korintji). Radja Pandapotan cukup lama di Korintji, Djambie hingga akhirnya diangkat sebagai kepala distrik (districyhoofd) pada tahun 1937 (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 30-08-1937). Marah Hoesin gelar Radja Pandapotan adalah ayah dari Mochtar Loebis (kelak menjadi wartawan paling militan di Indonesia dengan korannya Indonesia Raya).
Esplanade, 1890 |
Peta pertama desain Kota Medan, 1895 |
Istana Sultan Deli |
Nun jauh di sana, di Kota Padang seorang alumni Kweekschool Padang
Sidempuan yang pertama (1883) bernama Si Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda,
setelah mengabdi sebagai guru di berbagai tempat di pantai barat Sumatra dan
pensiun lalu memilih tinggal di Padang (ibukota Province Sumatra’s Westkust,
yang mana Residentie Tapanoelei masih masuk Province Sumatra’s Westkust). Di
kota ini, 1895 Dja Endar Moeda membuka sekolah swasta, karena sekolah negeri
yang ada jauh dari jumlah yang dibutuhkan. Saat itu, hanya di Afd. Mandheling
en Ankola jumlah sekolah negeri yang lebih dari cukup, dimana pada tahun 1892
dari 18 sekolah negeri di Residentie Tapanoeli, 15 buah diantaranya berada di
Mandheling en Ankola dan tiga buah diantaranya di Kota Padang Sidempuan. Di Residentie
Sumatra’s Oostkust sendiri baru satu sekolah negeri yang dibangun pemerintah
yang berlokasi di Medan. Di sekolah yang didirikan itu, Dja Endar Moeda bertindak
sebagai kepala sekolah, menulis buku pelajaran buat anak didiknya dan juga
mengirim artikelnya ke majalah dan koran serta menulis buku roman/novel (yang
dicetak penerbit Otto Bäumer). Dja Endar Moeda adalah termasuk suksesi Willem
Iskander, pendiri sekolah, penulis buku pelajaran dan mengarang buku. Pada
tahun 1897, Dja Endar Moeda menawarkan roman keduanya kepada Percetakan
Winkeltmaatschappij yang juga adalah penerbit koran berbahasa Melayu di Padang
bernama Pertja Barat. Editor Pertja Barat (orang Belanda) menganggap romannya
Dja Endar Moeda ini layak diterbitkan, lalu kemudian Penerbit itu sebaliknya, meminta Dja
Endar Moeda untuk menjadi editor. Dja Endar Moeda tidak menolak, karena Dja
Endar Moeda juga pernah menjadi editor majalah Soeloeh Pengajar di Probolinggo.
Sumatra-courant: nieuws-en advertentieblad edisi 04-12-1897 memberitakan
tentang diangkatnya Dja Endar Moeda sebagai editor Pertja Barat dan tentu saja
berita ini juga dapat dibaca di Medan. Pertja Barat adalah koran berbahasa
Melayu pertama dengan investasi pengusaha (Belanda) dan Dja Endar Moeda adalah
editor pribumi pertama di Nederlansche Indie (Tirto Adhi Soerjo, Bapak Pers
Nasional, baru menjadi editor tahun 1903 di koran Pembrita Betawi).
Kota yang tengah tumbuh di dua area
ini juga diikuti dengan perkembangan sosial yang intens. Pada tahun 1899 di
Medan muncul surat kabar baru yang bernama Sumatra Post. Surat kabar ini datang
dengan investasi besar dan sesuai namanya akan menjadi koran paling berpengaruh
di Sumatra. Koran lokal sebelumnya, Deli Courant tidak berkembang, malah kalah
saing dengan koran yang terbit di Padang, Sumatra Courant yang sejauh ini koran
berpengaruh di Sumatra dengan porsi pemberitaan merujuk pada dinamika di
Sumatra’s Westkust, Tapanoeli dan Sumatra’s Oostkust. Namun dalam
perkembangannya, Sumatra Courant (di Padang) mulai kalah bersaing dengan
Sumatra Post (di Medan). Pada tahun 1902 terbit koran berbahasa Melayu yang
diberi nama Pertja Timor [Padang sebagai pusat pertumbuhan awal melihat Sumatra
tiga arah: Pertja Barat = Tapanoeli; Pertja Timor = Sumatra van Oostkust, dan Pertja
Selatan = Palembang]
Pertja Timor (di Medan) seakan mengikuti nama koran berbahasa
Malayu pertama, Pertja Barat (di Padang). Pada tahun 1900, Dja Endar Moeda
telah mengakuisisi koran Pertja Barat sekaligus percetakannya menjadi miliknya secara
pribadi. Sejak akuisisi ini bisnis media Dja Endar Moeda cepat berkembang dan
juga memiliki toko buku. Di Padang, Dja Endar Moeda menerbitkan media baru,
majaah Insulinde (1901), Tapian Na Oeli (bebahasa Batak di Sibolga) tahun 1902
dan koran berbahasa Belanda bernama Sumatraasch Nieuwsblad (1904). Pada tahun
1902 bisnis Dja Endar Moeda juga sudah merambah ke Medan di bidang percetakan.
Sementara itu, koran Pertja Timor investasi Eropa itu mulai
beroperasi tahun 1902 dengan merekrut editor pribumi yang bernama Chatib Radja
Soetan, seorang mantan guru di Medan. Pertja Timor terbit perdana Senin 4
Agustus, 1902 dengan terbit dua kali sepekan (Senin dan Kamis). Namun pada
tahun 1903, editor baru muncul yang bernama Mangaradja Salamboewe. Kabar
mengapa Chatib Radja Soetan dicopot tidak diketahui jelas. Namun De Sumatra
post edisi 24-09-1904 melaporkan bahwa Chatib Radja Soetan, perwakilan De Lange
& Co di Riau tiba-tiba menghilang dengan membawa uang tunai. Sejak kasus itu
nama Chatib Radja Soetan tidak pernah muncul lagi di surat kabar (hilang
lenyap). Sebaliknya nama Mangaradja Salamboewe meroket di Medan karena dianggap
sebagai editor pemberani dan disegani oleh wartawan Medan (Eropa/Belanda,
Tionghoa dan pribumi).
Kehadiran Mangaradja Salamboewe bermula ketika koran Pertja
Timor di Medan mulai mendapat saingan dengan terbitnya koran-koran berbahasa
Melayu lainnya. Koran Pertja Timor merasa perlu meningkatkan kualitas agar
tiras terdongkrak. Kini saatnya memerlukan editor yang berkualitas.
Kronologisnya mirip dengan koran Pertja Barat dulu. Kebetulan Mangaradja
Salamboewe baru tiba di Medan dan menganggur karena dipecat sebagai jaksa di
Natal (Tapanoeli). Hasan Nasoetion gelar Mangaradja Salamboewe dipecat karena
desersi karena tidak tahan melihat ketidakadilan pemerintah colonial dan terjun
ke lapangan mengadvokasi masyarakat. Mangaradja Salamboewe tidak memusingkannya
dan malah senang (makin bebas untuk berjuang dengan rakyat).Mangaradja
Salamboewe menjadi jaksa di Natal sejak 1897. Mangaradja Salamboewe adalah anak
seorang dokter di Mandheling en Ankola bernama Dr. Asta (siswa pertama Docter
Djawa School yang diterima dari luar Djawa, 1854, kakak kelas Willem Iskander).
Manajemen Pertja Timor menawari Mangaradja Salamboewe posisi editor. Gayung
bersambut, kedua belah pihak saling membutuhkan. Terbukti dengan masuknya
Mangaradja Salamboewe (1903) tiras Pertja Timor naik pesat. Soal kepiawaian
tidak kalah dengan Saleh Harahap gelar (Mangara)Dja Endar Moeda di Pertja
Barat, Mangaradja Salamboewe sama-sama alumni Kweekschool Padang Sidempoean.
Hanya saja, Mangaradja Salamboewe tidak menjadi guru tetapi menjadi penulis di Kantor
Residen di Sibolga sebelum diangkat menjadi jaksa. Kemampuan menulis dan
pengalaman di peradilan membuat Mangaradja Salamboewe menjadi wartawan pribumi
yang disegani. Koran Sumtra Post yang dikutip juga oleh Bataviaasch nieuwsblad
mengakui bahwa Maharadja Salamboewe memiliki keingintahuan yang tinggi,
memiliki kemampuan jurnalistik yang hebat. Koran ini juga mengakui bahwa
Maharadja Salamboewe memiliki pena yang tajam dan memiliki kemampuan menulis
yang jauh lebih baik dibanding wartawan-wartawan pribumi yang ada. Hebatnya
lagi, masih pengakuan koran ini, Mangaradja Salamboewe selain sangat suka
membela rakyat kecil, Mangaradja Salamboewe juga sering membela insan dunia
jurnalistik baik wartawannya maupun korannya. Kami juga respek terhadap dia,
demikian diakui oleh koran Sumatra Post yang juga diamini oleh Koran
Bataviaasch nieuwsblad. Mangaradja Salamboewe tidak berumur panjang. De Sumatra
post edisi 29-05-1908 memberitakan kematian wartawan pemberani ini. Dalam
berita koran ini, editor juga mengungkapkan rasa duka cita yang dalam, karena
Mangaradja Salamboewe tidak hanya membela rakyatnya tetapi juga dunia
jurnalistik (yang sebagian besar wartawan pada waktu itu berbagsa
Belanda/Eropa). Editor ini melanjutkan bahwa
"Di dalam seratoes orang pribumi tidak ada satoe yang begitoe
brani’. Saat mana Mangaradja Salamboewe
di waktu pemakamannya hampir semua wartawan Medan hadir termasuk yang berbangsa
Belanda. Abdul Hasan gelar Maharadja Salamboewe dimakamkan di tempat pemakaman
Jalan Sungai Mati. Pengganti Mangaradja Salamboewe adalah seorang guru yang
direkrut di sekolah Tandjoeng Balei (lihat De Sumatra post, 11-11-1908).
Sisi lain dari pertumbuhan dan
perkembangan kota adalah kehadiran komunitas Tionghoa dan begitu banyaknya
kuli-kuli Cina yang didatangkan dari Asia Timur via Singapore. Komunitas
Tionghoa juga sejak lama telah berkembang di Jawa dan Sumatra’s Westkust dan
Tapanoeli, demikian juga di Sumatra van Oostkust cukup pesat perkembangannya.
Begitu masifnya komunitas Tionghoa di Pantai Timur Sumatra ini bahkan
pimpinan-pimpinan Tionghoa ini dimasukkan dalam struktur pemerintahan,
sebagaimana sultan-sultan dan para pangeran-pangeran dimasukkan dalam struktur
pemerintahan. Pimpinan tertinggi komunitas Tionghoa di Medan dan Laboehan Deli
yang sebelumnya berpangkat Kapten kini telah ditingkatkan menjadi Mayor. Salah
satu tokoh berpengaruh Tionghoa di Medan adalah Kapten Tjong A Fie, seorang
perantau dari Tanah Tiongkok yang memulai karir bisnis di Laboehan Deli.
Seperti halnya Tjong A Fie di masa dulu (di Labuhan Deli), pada tahun 1903 ini, tahun dimana Mangaradja Salamboewe yang kenyang pengalaman (pegawai pemerintah dan djaksa) datang merantau ke Medan (menjadi editor Pertja Timor), juga datang seorang perantau dari Padang Sidempuan ke Medan yang masih sangat belia yang bernama Abdoel Firman Siregar yang baru saja lulus sekolah rakyat (sekolah dasar) di Sipirok. Di Medan, 1903 Abdul Firman melamar dan sembilan orang mengikuti ujian untuk klein ambtenaar. Hanya dia sendiri yang pribumi. Hasilnya tidak diterima. Abdul Firman ternyata tidak patah arang. Modal sekolah rakyat tidak cukup. Tahun itu juga ia mengikuti ujian masuk ELS (Europeesche Lagere School). Sekolah ini lamanya tujuh tahun.Selama Abdoel Firman bersekolah sejumlah anak-anak Padang Sidempuan yang datang ke Medan, antara lai: pada tahun 1903 Dja Amas Moeda ditempatkan di Medan sebagai vaccinator; 1904 Djaman gelar Dja Pinajoengan dipindahkean ke kantor biro contreluer di Medan (yang sebelumnya sebagai schrijver di Laboehan Roekoe, ibukota Batoebara); Si Badoe gelar Dja Noerdin bertugas sebagai guru di sekolah negeri di Medan (sebelumnya guru di Laboehan Bilik, Laboehan Batoe)..
Setelah lulus di Medan (1910) ia tidak ke Batavia sebagaimana orang-orang kebanyakan melamar ke STOVIA. Abdul Firman justru menuju Belanda. Dari Belawan ia berangkat dengan kapal Prinses Juliana dan berlabuh di Rotterdam. Di pelabuhan besar ini, Abdul Firman dijemput Soetan Casajangan (anak Padang Sidempuan yang datang ke Belanda untuk kuliah tahun 1905) dan diantar ke Leiden untuk mencari sekolah tinggi. Kelak setelah pulang dari Belanda meniti karir sebagai pejabat di Residentie Sumatra van Oostkust, seperti di kantor Asisten Residen di Tandjoeng Balai dan Asisten Residen di Pematang Siantar (Simeloengoen en Karolanden). Kelak Abdul Firman Siregar gelar Mangaradja Soangkoepon menjadi anggota dewan kota (gementeeraad) di Pematang Siantar dan anggota dewan kota di Tandjoeng Balai. Kelak (1927) Mangaradja Soangkoepon terpilih menjadi anggota dewan pusat (Volksaad) dari ‘dapil’ Sumatra van Oostkust. Mangaradja Soangkoepon adalah pribumi pertama mewakili Sumatra van Oostkust ke Volksraad di Pejambon (kini dewan di Senayan).
Kini Tjong A Fie telah menjadi kaya
raya dengan kerajaan bisnisnya yang terus berkembang di Medan. Ketokohan Tjong
A Fie dengan sendirinya sangat memberi arti bagi pemerintah untuk meredakan
gejolak yang selalu muncul sporadis diantara belasan ribu kuli Cina yang
bekerja di perkebunan dan sektor-sektor lain. Kini Sultan Deli seakan mulai melihat
ada dua matahari di Deli. Lokasi dimana berdiri Istana Sultan Deli dan lokasi
dimana mansion Tjong A Fie berdiri menandakan seakan menyiratkan pengaruh Tjong
A Fie lebih kuat dari pengaruh Sultan. Dan memang terbukti, Medan dan Deli
sekitarnya akhir-akhir ini terasa lebih aman dan damai.
Dan, itu semua bukan tanpa desain
yang disengaja, gelagat kolonial selalu mereduksi kekuatan pribumi dan memberi
jalan kepada orang-orang non Eropa yang disebut Timur Asing. Dalam hal ini
Sultan Deli lambat laun ditenggelamkan, dininabobokkan dengan memberikan
fasilitas mewah, istana mentereng dan uang saku lumayan. Itu sebenarnya
jebakan. Dan tidak lama lagi akan ditinggalkan, sebagaimana para sultan dan
pangeran telah lama meninggalkan rakyatnya yang terus terpuruk di bawah,
sementara kerabat istana hidup dalam kemewahan.
Sekolah untuk anak-anak kuli di perkebunan di Medan |
Medan Sportclub dibentuk 1900 (Belanda), Langkat Sportclub
tahun 1901 (Inggris), Letterzetter Club tahun 1904 (Tapanoeli), Voetbal Club
Toengkoe di Bindjei 1904 (Melayu) dan Voetbal Club Tionghoa (Tionghoa). Semua
klub ini sudah pernah bertanding satu dengan yang lain, namun semuanya
dilakukan dalam pertandingan tunggal. Tiga klub utama (Medan Sportclub, Langkat
Sportclub dan Toengkoe Club) kemudian mempelopori untuk menyatukan diri dalam
suatu kompetisi. Letterzetter adalah klub pribumi yang dihuni anak-anak
Tapanoeli yang anggota utamanya dari percetakan yang didirikan (Dja Endar Moeda).
E. Fase Residentie Tapanoeli dipisahkan dari Sumatra’s
Westkust (1905)
Afdeeling Mandheling en Ankola
dipisahkan dari Residentie Air Bangis dan secara bersama-sama dengan wilayah
baru pada tahun 1845 dibentuk Residentie Tapanoeli (terdiri dari: afd.
Mandheling en Ankola, Afd. Sibolga, dan Afd. Singkel). Ketika Residentie
Tapanoeli sudah lengkap (ketika situasi dianggap aman dan pemerintahan yang
telah dibentuk di Padang Lawas, Silindoeng dan Toba berjalan lancar), maka saatnya
Tapanoeli dipisahkan dari Province Sumatra Westkust. Pada tahun 1905, secara
resmi Tapanoeli ditingkatkan statusnya sebagai BB (otonom) yang mana
Residen langsung bertanggungjawab kepada Gubernur Jenderal di Batavia (tidak
lagi kepada Gubernur di Padang). Residentie Tapanoeli yang beribukota Sibolga
ini pada waktunya nanti di Residentie Sumatra van Oostkust dipisahkan dari
Province Riaouw.
Dalam situasi seperti itu, penduduk
Tapanoeli mulai mengalihkan perhatian ke Medan di Sumatra’s Oostkust, tidak
lagi ke Padang di Sumatra’s Westkust. Hal ini bisa jadi disebabkan dua hal,
yaitu: Pertama, Sumatra’s Westkust sudah mulai redup secara ekonomi dan
perkembangan Kota Padang sendiri stagnan akhir-akhir ini. Pengusaha-pengusaha Eropa
di Padang dan sekitarnya sudah mulai mengalihkan investasinya ke Sumatra’s
Oostkust. Kedua, Sumatra’s Oostkust adalah wilayah berkembang yang baru, yang
bagi penduduk Tapanoeli cerita itu tidak hanya bersumber dari surat-surat kabar
tetapi juga sudah banyak perantau yang bermukim di Deli yang sempat pulang
kampung alias mudik. Dari perantau inilah cerita itu lebih bersemangat. Tantangan
untuk merantau ke Deli (mangaranto tu Doli) semakin menarik apalagi wilayah
tersebut secara tradisional lebih dekat jika dibandingkan ke Padang, Sumatra’s
Westkust. Ketiga, perantau Tapanoeli yang sudah lama ada di Padang, tidak serta
merta melakukan eksodus, karena para perantau di Padang sesungguhnya sudah
sejak lama ada dan melakukan investasi dan itu dengan sendirinya tidak mudah
untuk merelokasi aset.
Jika mundur ke belakang lagi, kehadiran berbagai etnik di Medan
sesungguhnya karena Medan menjadi pusat pertumbuhan ekonomi yang sangat
menjanjikan. Sebagaimana komunitas Tionghoa semakin banyak dengan meleburnya
eks kuli-kuli perkebunan, demikian juga kuli-kuli dari Djawa yang selesai masa
kontraknya tidak pulang ke Djawa tetapi menetap di Medan, kehadiran mereka
kemudian semakin menguat dengan semakin banyaknya migran dari Djawa yang datang
ke Medan baik sebagai guru, atau profesional lainnya yang bekerja untuk
pemerintah. Hal ini juga yang terjadi selama ini di dalam komunitas Tapanoeli
(khususnya yang berasal dari Mandheling en Ankola). Migrasi terus mengalir dari
Tapanoeli tiada henti.
Namun tidak
dinyana, seorang tokoh berpengaruh di Padang asal Tapanoeli, Dja Endar Moeda
mengalami sial. Korannya Sumatraasch Nieuwsblad terkena delik pers bersama satu
koran berbahasa Belanda yang lain di Padang. Dua koran ini menulis laporan
tentang skandal yang dilakukan oleh oknum pemerintah di Kajoetanam. Yang
menulis laporannya adalah editor (berbangsa Belanda) yang dipekerjakan Dja
Endar Moeda, namun karena Dja Endar Moeda sebagai pemilik juga terkena
dampaknya. Dja Endar Moeda dihukum cambuk sedangkan dua editor lain hanya
dikenakan denda. Sejak itu, Dja Endar Moeda belajar hukum dan pindah ke Atjeh
untuk membuka bisnis baru bersama anaknya. Investasi media, percetakan dan toko
buku di Padang diserahkan kepada adiknya Dja Endar Bongsoe (alumni Kwekschool
Padang Sidempuan mantan guru di Kotanopan). Dja Endar Moeda memilih Kotaradja
(Atjeh) karena dekat dengan pelabuhan internasional Sabang yang sangat ramai
dan juga sebagai basis bisnis karena Atjeh sendiri belum memiliki media dan Dja
Endar Moeda lalu mendirikan koran Pembrita Atjeh. Alasan lainnya, agar Dja
Endar Moeda dengan mudah memonitor bisnisnya yang ada di Sumatra’s Westkust
(Padang dan Sibolga) dan yang ada di Sumatra’s Oostkust (Medan)
Dja Endar Moeda termasuk salah satu investor yang pindah dari Padang ke
Medan, sebagaimana investor Eropa/Belanda sebelumnya telah pindah ke Medan.
Pengusaha-pengusaha Tapanoeli lainnya asal Mandheling en Ankola juga mengikuti
langkah Dja Endar Moeda dengan menarik sebagian investasinya di Sibolga untuk
ditempatkan di Medan. Di Medan sendiri bisnis para pengusaha Tionghoa makin
lama makin menguat. Kehadiran pebisnis asal Tapanoeli di Medan membuat persaingan
lebih ketat. Namun pebisnis Tapanoeli siap bertarung (berkompetisi), karena
mereka itu sudah sejak lama berpengalaman bersaing dengan pebisnis Tionghoa di
Padang, Sibolga dan bahkan di Padang Sidempuan. Akan tetapi di Medan yang mau
dilawan jumlahnya sangat banyak, maka para pebisnis Tapanoeli membentuk suatu
aliansi yang dikenal sebagai Tapanoeli Sepakat. Sembari terus membangun bisnis
masing-masing, para pebisnis Tapanoeli yang telah ‘bersepakat’ akan mendirikan
media baru yang disebut Pewarta Deli.
Pendirian surat
kabar baru Pewarta Deli ini tidak terlalu sulit bagi pebisnis asal Tapanoeli.
Di Medan sendiri sudah ada percetakan Dja Endar Moeda, seorang mantan guru,
penulis buku dan masih berprofesi wartawan (senior). Guru-guru dari Mandheling
en Ankola di Medan dan Deli juga sudah sejak lama ada dan makin meningkat
jumlahnya. Pewarta Deli dirancang sedemikian, rupa untuk menyaingi koran Pertja
Timor yang sudah mulai terseok-seok setelah tidak digawangi oleh Mangaradja
Salamboewe. Untuk urusan koresponden tidak terlalu sulit juga, Pewarta Deli
bisa mengandalkan wartawan-wartawan asal Mandheling en Ankola di Padang,
Sibolga, Padang Sidempoean, Singkel, Sabang/Kotaradja, Tandjoengbalei dan
Riaou. Komunitas Mandheling en Ankola yang berada di Siantar dan Batavia dapat
diandalkan untuk menjadi koresponden. Bahkan guru Soetan Casajangan, mantan
guru di Padang Sidempuan yang sudah berada di Belanda (sejak 1905) kuliah untuk
mendapatkan akte kepala sekolah (seperti Willem Iskander dulu, 1875).
Soetan Casajangan
adalah alumni Kweekschool Padang Sidempuan, adik kelas Dja Endar Moeda dan
kakak kelas Mangaradja Salamboewe. Para murid Charles Adrian van Ophuijsen ini
telah menunjukkan kualitas di Nederlansche Indie (Hindia Belanda). Sejak van
Ophuijsen menjabat direktur sekolah, Kweekschool Padang Sidempuan adalah
sekolah guru terbaik di Nederlandsch Indie, tapi sayang sekolah ini ditutup
pada tahun 1893 karena menurunnya anggaran pemerintah kolonial. Dalam hal ini,
Mangaradja Salamboewe adalah alumni terakhir Kweekschool Padang Sidempuan.
Soetan Casajangan sendiri setelah pensiun jadi guru di Padang Sidempuan,
berkekuatan hati berangkat ke Belanda untuk mendapat akte kepala sekolah.
Berangkat tahun 1905 yang mana jumlah mahasiswa baru dua orang. Ini berarti
Soetan Casajangan termasuk pionir kuliah di negeri Belanda, sebagaimana Willem
Iskander, pionir studi ke Belanda tahun 1875. Pada tahun 1906 jumlah mahasiswa
menjadi enam orang lalu pada tahun 1908 jumlahnya sudah duapuluhan mahasiswa.
Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan pada tahun 1908 menggagas didirikannya
Perhimpunan Hindia (Indisch Vereeniging) dan dipilih menjadi presiden pertama
(hingga 1910). Perhimpunan Hindia kelak (1920an) berubah nama menjadi Persatoen
Peladjar Indonesia (PPI).
Koran pribumi pertama di Medan (1910) |
Surat kabar Pewarta Deli lalu didirikan pada tahun 1910 dengan editor
pertama Dja Endar Moeda. Motto koran baru ini persis sama dengan motto koran
Pertja Barat di Padang (milik Dja Endar Moeda yang kini diasuh oleh adiknya Dja
Endar Boengsoe). Mottonya adalah: Koran Oentoek Segala Bangsa (koran investasi
pribumi pertama). Dja Endar Moeda melihat ini sebagai pewarisan kepada
adik-adik sekampung untuk pencerdasan bangsa (mantan guru) dan bagi pebisnis
asal Mandheling en Ankola dimaksudkan untuk media promosi yang sangat efektif
untuk memajukan bisnis dari anak-anak Tapanoeli di Medan khususnya dalam
bersaing dengan pebisnis dari kalangan Tionghoa. Tapanoeli Sepakat dalam hal
ini adalah semacam ‘mesin organisasi’ yang keluar untuk mengimbangi pebisnis
Tionghoa dan ke dalam untuk melakukan pembinaan persatuan dan kesatuan yang
bersifat tolong menolong sesama anak Tapanoeli di perantauan. Pada masa itu,
organisasi-organisasi pribumi untuk mendorong ke arah kemajuan sudah mulai
menyeruak, seperti organisasi Boedi Oetomo tahun 1908 (di Java/kedaerahan),
organisasi pelajar di Belanda tahun 1908 (Hindia/nasional). Organisasi
Tapanoeli Sepakat dibentuk sebagai respon terhadap situasi dan perkembangan
baru.
Gagasan Tapanoeli
Sepakat dari dalam sendiri sudah muncul pada tahun 1906, dimana anak-anak
pebisnis dari Tapanoeli mendirikan klub yang diberi nama Tapanoeli Voetbal Club
(pendiriannya bersamaan dengan klub anak-anak Belanda, bernama Voorwaarts).
Dengan adanya klub baru ini, maka klub asal Tapanoeli menjadi dua yakni
sebelumnya sudah ada Letterzetter (yang didirikan tahun 1904). Boleh jadi
anak-anak para pebisnis di lapangan sepakbola bisa berkumpul, maka para
orangtua juga ingin mengikutinya dengan melahirkan organisasi kedaerahan
Tapanoeli Sepakat.
Esplanade (1905) |
Sepakbola dan
pers menjadi semacam instrumen penting bagi warga Tapanoeli untuk bersatu di
Medan. Karena saat itu hanya dua instrumen ini yang menjadi pakem bagi semua
golongan di Medan (utamanya Eropa/Belanda, Tionghoa dan Tapanoeli). Sepakbola
mewakili hiburan rakyat (untuk menyaingi hiburan pacuan kuda) dan pers mewakili
pencerdasan rakyat. Kebetulan dua hal ini selalu melekat pada anak-anak
Mandheling en Ankola: ‘gibol’ dan suka belajar. Di Medan sendiri tahun 1907
akan dilangsung kompetisi sepakbola. Klub-klub yang menyatakan kesediaan:
Voortwaarts (Belanda), Maimoon SC (kesultanan), Chinesse VC, Sarikat VC,
Tapanoeli VC, Java VC dan Djawi Paranakan VC. Kompetisi ini dibuat tiga divisi
yang mana setiap klub dapat membuat dua atau tiga kelas klub. Kompetisi divisi
satu juaranya Voorwaarts.
Kompetisi sejenis baru ada di Batavia dan Soerabaija dan Medan. Di Batavia
kompetisi dibagi ke dalam dua divisi, dan hanya satu klub yang dihuni oleh
pemain-pemain pribumi yaitu Docter Djawa Voetbal Club. Ketika kompetisi Batavia
libur, klub-klub Belanda mengisi waktu (pertandingan pramusim) melakukan
lawatan ke berbagai kota di Djawa. Namun anehnya, Docter Djawa VC justru
memilih melawat ke Medan. Anehnya lagi, lawan tanding dan yang menjadi tuan
rumah (dan juga menyediakan pemondokan) selama di Medan adalah Tapanoeli
Voetbal Club (bukan Java VC atau Djawi Paranakan VC). Usut punya usut ternyata
salah satu pemain Docter Djawa School ada satu yang berasal dari Tapanoeli,
namanya Radjamin.
Dua anak Padang Sidempuan di Docter Djawa School (1902) |
Koneksitas Docter
Djawa School dengan Tapanoeli sudah ada sejak lama. Siswa docter djawa school
yang pertama diterima dari luar djawa berasal dari Mandheling en Ankola, yakni
Dr. Asta (ayah dari Mangaradja Salamboewe, editor Pertja Timor). Anak-anak
Mandheling en Ankola sudah puluhan yang menjadi dokter. Mereka itu ada yang
sekelas dengan Dr. Wahidin dan ada yang sekelas dengan Dr. Tjipto (Mandheling en Ankola sudah sejak lama surplus guru dan dokter). Menantu Dja
Endar Moeda sendiri adalah alumni Docter Djawa School, Haroen Al Rasjid Nasoetion lulus
1901 dan ditempatkan di Sibolga. Yang bersamaan lulus dengan Haroen lulus adalah
Dr. Mohammad Hamzah (sepupu Soetan Casajangan) yang ditempatkan pertama di
Lampong dan kini ditempatkan di Pematang Siantar. Dr. Abdoel Hakim yang sekelas
Dr. Tjipto kini ditempatkan di Tandjoengpoera. Dr. Mohamad Daulaj yang lulus
tahun 1905 ditempatkan di Medan. Radjamin Nasoetion sendiri yang menjadi bagian
dari Docter Djawa VC yang melawat ke Medan adalah mahasiswa Docter Djawa
School/STOVIA tahun keempat. Boleh jadi networking seperti itu yang menyebabkan
mengapa Tapanoeli VC yang menjadi sahabat tanding Docter Djawa VC [Kelak, Radjamin Nasoetion kembali ke Medan, tidak sebagai dokter, tetapi pejabat bea dan cukai pribumi pertama di Pelabuhan Belawan. Selama di Medan, Radjamin aktif membina sepakbola pribumi dan mendirikan Deli Voetbal Bond, setelah dari Medan Radjamin berpindah-pindah tugas hingga akhirya menetap di Surabaija yang di masa pensiun menjadi anggota dewan kota dan terakhir menjadi walikota pribumi pertama Kota Surabaija]..
Tempat tinggal kuli di perkebunan |
Sementara itu, Kota Medan tumbuh dan berkembang. Pembangunan fisik terus
berlangsung, yang tidak hanya untuk kebutuhan pemerintah tetapi juga kebutuhan
masyarakat. Pada tahun 1907 dibangun Mesjid Raya Medan yang lokasinya tidak
jauh dari Istana Sultan Deli. Kemudian pada tahun 1908 gedung balai kota
dibangun dan kemudian tahun 1910
dibangun gedung Javasche Bank. Dengan kata lain, di Kota Medan fasilitas-fasilitas baru seperti
gedung-gedung, pusat-pusat bertambah dengan hitungan bulan. Sementara itu, di
Padang Sidempuan, Mandheling en Ankola fasilitas tidak banyak yang berubah
alias stagnan, tetapi penduduknya dari bulan ke bulan terus mengalir keluar
untuk merantau (bekerja atau sekolah) dan hampir semuanya tidak kembali.
Keadaan yang kontras ini (Padang Sidempuan vs Medan) tampak seakan tidak ada
hubungan, tetapi dibalik itu pada waktunya terkesan bahwa Medan dibangun seakan
dipersiapkan untuk diisi oleh anak-anak Mandheling en Ankola khususnya Kota Padang
Sidempuan.
Sejauh ini, anak-anak Padang Sidempuan sudah banyak yang menjadi guru dan
dokter (dua profesi ini sudah sejak lama surplus di Mandheling en Ankola). Kini
ada belasan anak-anak Mandheling en Ankola yang tengah studi di STOVIA. Anak-anak
Padang Sidempuan tidak semua berkeinginan menjadi dokter tetapi banyak juga
yang tengah bersiap-siap untuk menempuh sekolah hukum di Batavia dan sekolah
pertanian di Buitenzorg. Sebagaimana, anak-anak Mandheling en Ankola pionir
dalam pendidikan di bidang keguruan dan pendidikan di bidang kedokteran, juga
ternyata pionir dalam pendidikan di bidang hukum dan pendidikan di bidang pertanian.
Sorip Tagor lahir di Padang Sidempuan, 21 Mei 1888, memulai pendidikan
dasar berbahasa Belanda (ELS) di Padang Sidempuan. Setelah lulus melanjutkan ke
HBS di Batavia. Selanjutnya masuk Sekolah Dokter Hewan (Inlandschen Veeartsen
School) di Bogor 1907. Sekolah Dokter Hewan Bogor ini dibuka tahun 1907. Sebelum
lulus, Sorip Tagor diangkat sebagai asisten dosen. Pada tahun 1912 Sorip Tagor
dinyatakan lulus dan bergelar Dokter Hewan. Sorip Tagor (ompung dari Inez dan
Risty Tagor) ini adalah alumni pertama Sekolah Dokter Hewan di Bogor. Sorip
Tagor tidak langsung bekerja, tetapi melanjutkan studi kedokteran hewan ke
Belanda. Sementara itu, pada tahun 1910, Alimoesa Harahap mengikuti jejak Sorip
Harahap hingga ke Sekolah Dokter Hewan di Bogor. Alimoesa, kelahiran Padang
Sidempuan lulus tahun 1914.
Alimoesa Harahap justru
langsung berkarir sebagai pejabat kesehatan di Pematang Siantar dan pada tahun
1922 menjadi anggota dewan kota (gementeeraad) Pematang Siantar. Pada tahun
1927, Alimoesa Harahap terpilih menjadi anggota dewan di pusat (Volksraad).
Alimoesa Harahap adalah anggota Volksraad pertama dari dapil Sumatra Utara
(Tapanoeli en Atjeh).
Siswa-siswa lainnya pada fase awal ini (1910-1930) yang menyusul ke
Sekolah Dokter Hewan di Bogor yang berasal dari afdeling Padang Sidempoean,
antara lain: Abu Bakar Siregar, Alibasa Harahap, Pinajoengan, Anwar Nasoetion,
Hari Rajo Pane dan lainnya. Anwar Nasoetion adalah ayah dari Prof. Andi Hakim
Nasoetion (Rektor IPB 1978-1987).
Dua tahun setelah SoripTagor lulus Sekolah Dokter Hewan (Veeartsen School)
Bogor (1912), satu lagi anak Afd. Padang Sidempuan lulus di Bogor (1914). Namun
bukan sekolah dokter, tetapi sekolah pertanian (landbouwschool). Namanya,
Abdoel Azis gelar Soetan Kenaikan. Sebagaimana, Sorip Tagor, alumni pertama
sekolah dokter hewan Bogor, Abdul Azis Nasution juga adalah alumni pertama
Sekolah Menengah Pertanian (Middelbare Landbouwschool) Bogor. Dengan demikian,
Sorip Tagor (Harahap) dan Abdul Azis (Nasution) adalah anak-anak Padang
Sidempuan, pionir sekolah tinggi kedokteran hewan dan sekolah menengah
pertanian di Indonesia. Anak-anak Padang Sidempuan yang mengikuti jejak Abdoel
Azis antara lain, Ronggur Lubis, Djohan Nasution, Humala Harahap gelar Soetan
Diangkola dan Basjaroedin Nasoetion. Djohan Nasoetion adalah ayah dari Prof. Lutfi
Ibrahim Nasoetion (anak Medan, guru besar ilmu tanah IPB, mantan Kepala BPN).
Middelbare
Landbouwschool yang disingkat MLS adalah sekolah pertanian pada level tertinggi
waktu itu. Dalam perkembangannya, tahun 1940 MLS ini dengan Veeartsen School dilebur
menjadi Landbouw Hogeschool (Sekolah Tinggi Pertanian). Sejak 31 Oktober 1941
Sekolah Tinggi Pertanian ini dikenal sebagai Landbowkundige Faculteit sebagai
salah satu cabang (fakultas) dari Universiteit van Indonesia. Selanjutnya, sejak
1950 berubah nama menjadi Fakultas Pertanian, Universitas Indonesia yang
kemudian pada 1 September 1963 fakultas tersebut dibentuk menjadi universitas
yang dikenal sekarang Institut Pertanian Bogor (IPB).
Selain STOVIA, Veeartsen School, Middelbare Landbouwschool, sekolah
perdagangan, sekolah bea dan cukai, sekolah apoteker, sekolah notariat dan
masih ada satu lagi yang menjadi tujuan sekolah anak-anak Padang Sidempuan di
Batavia yakni: Rechtsschool (Sekolah Hukum). Salah satu anak Padang Sidempuan
yang lulus dari sekolah ini adalah bernama Alinoedin Siregar yang kemudian ditempatkan
pertamakali di Medan (Landraad). Setelah beberapa tahun, karena dianggap
cerdas, direkomendasikan untuk melanjutkan pendidikan tinggi ke Belanda.
Alinoedin Siregar adalah termasuk pionir pribumi studi hukum ke Belanda.
Setelah lulus sarjana hukum (Mr), Alinoedin Sirega langsung mengikuti studi
yang lebih tinggi (tingkat doktoral). Pada tahun 1925, Alinoedin Siregar meraih
gelar doktor (PhD) di Universiteit Leiden dengan desertasi berjudul ‘Het
grondenrecht in de Bataklanden: Tapanoeli, Simeloengoen en het Karoland’. Alinoedin
Siregar adalah ahli hukum pertama orang Batak, satu dari dua di Sumatra dan
satu dari delapan di Nederlandsch Indie. Alinoedin Siregar gelar Radja Enda
Boemi adalah pemilik gelar doktor hukum yang kedua di Nederlansch Indie.
Rechtshoogeschool
(Sekolah Tinggi Hukum) sendiri baru didirikan di Batavia tanggal 28 Oktober
1924. Anak-anak Mandheling en Ankola yang menyelesaikan studi di sekolah tinggi
hukum Batavia ini antara lain: Mr. SM Amin (Nasoetion), Mr. Loeat Siregar, Mr.
Amir Sjarifoedin dan lainnya. Kelak, SM Amin menjadi Gubernur Sumatra Utara yang pertama, Mr. Loeat Siregar menjadi Walikota Medan pertama, dan Mr. Amir Sjaraifoedin Harahap, anak Medan yang menjadi Perdana Menteri RI yang ketiga.
Sebagian dari mereka ini pada nantinya akan mengisi pembangunan di Sumatra’s
Oostkust selama era Belanda dan Provinsi Sumatra Utara (Noord Sumatra) pasca
kemerdekaan Repulik Indonesia. Sedangkan sebagian yang lain akan mengisi
pembangunan di provinsi lainnya (pembangunan nasional). Jumlahnya tidak sedikit
tetapi sangat banyak.
Bersambung:
*Dikompilasi oleh Akhir Matua
Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar