Sabtu, September 26, 2015

Sejarah Kota Medan (3): Kronologis Pembangunan Kota dan Anak-anak Padang Sidempuan Menjadi Pionir di Segala Bidang



Lahir di P. Sidempuan, 1860
Seperti yang diprediksi sebelumnya, akhirnya pada tahun 1887 (1 Maret) ibukota Sumatra van Oostkust dipindahkan ke Medan. Ini dengan sendirinya di Medan, status Asisten Residen ditingkatkan menjadi Resident. Residentie Sumatra van Oostkus sendiri kemudian direduksi yang mana afd. Bengkalis dipisahkan dan kembali masuk menjadi bagian dari Residentie Riaouw. Dengan kata lain Residentie Sumatra van Oostkus meninggalkan Bengkalis. Hal yang sama sebagaimana sebelumnya (1845), Residentie Tapanoeli meninggalkan Air Bangies. Namun pemisahan Sumatra van Oostkust dengan Bengkalis tidak serta merta menyelesaikan masalah, karena selama ini antar dua lanskap ini terdapat hubungan tradisional (antara Yang Dipertoean Agung van Siak di Bengkalis dengan sultan-sultan di Laboehan Batoe, Asahan, Batoebara dan Deli).

Medan, 1876
Sejak ibukota Asisten Residen dipindahkan dari Laboehan Deli ke Medan (1979) hingga status Asisten Residen di Medan ditingkatkan menjadi Residen (1887) telah banyak yang berubah di Medan. Perubahan yang terjadi bagaikan deret geometri, tidak lagi dalam hitungan tahun tetapi bahkan dalam hitungan bulan. Tidak hanya infrastruktur dan bangunan gedung yang berubah drastis tetapi juga arus penduduk dan barang (ekspor dan impor). Tidak ada istilah terlambat bagi pemerintah Belanda hadir di Medan, yang juga tidak ada kata terlambat bagi Medan untuk tumbuh dan berkembang lebih cepat menjadi kota besar. Kronologis perkembangan kota, sebagai berikut:

A. Fase  Controleur di Laboehan Deli dan Deli Maatschappjij di Medan Poetri (1865-)

Pada tahun 1865 Controleur di Deli, Residentie Riaouw ditempatkan di Laboehan Deli. Pada saat yang bersamaan dengan controleur ini diiringi dengan pendirian pos militer dengan tiga sersan yang dibantu oleh enam kopral polisi. Tentara dan polisi ini dibantu dengan sebanyak 80 prajurit pribumi biasanya dari asal Jawa dan Madura (sebagaimana halnya di Mandheling en Ankola). Keberadaan istana Soletan Deli di Laboehan Deli sudah sejak lama ada.

Rumah Kepala Adm. Deli Maatshappij di Medan (1869)
Pada tahun 1865 ini juga J. Nienhuys menyusuri Sungai Deli ke arah hulu hingga sampai di Kampong Medan Poetri yang letaknya tidak jauh dai pertemuan Sungai Deli dan Sungai Baboera. Di dekat kampung ini Nienhuys mulai membuka kebun tembakau. Ternyata berhasil. Pada tahun 1869 Deli Maatshappij didirikan dan mulai membangun fasilitas. Bangunan yang pertama didirikan adalah Kantor Deli Mij, kemudian menyusul Rumah Kepala Administratus Deli Mij. Dua bangunan ini berada di sisi timur Sungai Deli (setelah pertemuan Sungai Deli dan Sungai Baboera). Bangunan berikutnya yang dibangun adalah klinik (rumah sakit) Deli Mij yang lokasinya lebih ke hilir Sungai Deli.

B. Fase Controleur Laboehan Deli ditingkatkan menjadi Asisten Residen dan menempatkan controleur di Medan (1875-)

Rumah controleur di Medan, 1875
Ini bermula ketika terjadi pemberontakan kuli Cina di salah satu perkebunan di Sungai Pertjoet. Untuk mengamankan situasi dan kondisi agar tidak meluas ke perkebunan lain, lalu pemerintah di Siak Sri Indrapoera dikirim satu detasemen tentara ke TKP. Setelah operasi keamanan dan ketertiba itu beres, lalu pos militer yang ada di Laboehan Deli bersama detasemen ini ditempatkan secara permanen di Medan yang lokasinya tidak jauh dari Kantor administratur Deli Mij (kini menjadi lokasi Hotel Aston). Setelah penempatan militer ini di Medan, menyusul ditempatkan seorang controleur di onderafdeeling Medan.

Crane dalam membangun jembatan di Medan (1876)
Dalam perkembangannya barak-barak militer (garnisun) ini dihubungkan ke seberang sungai (diantara sungai Baboera dan sungai Deli) dengan membangun benteng dan rumah-rumah para perwira. Kelak garnisun ini dipindah ke dekat benteng, sehingga di sekitar Esplanade hanya tampak bangunan-bangunan sipil. Pada fase ini oleh Deli Mij dibangun Witte Societeit (gedung pertemuan warga). Rumah controleur sendiri mengambil tempat agak ke hulu Sungai Deli di dekat rumah administratur yang lain di Soekamoelia (rumah administratur ini sudah sering ditempati oleh Residen Sumatra van Oostkust di Bengkalis jika tengah berdinas ke Deli). Deli Mij mendirikan anak perusahaan di bidang perkeretaapian (Deli Spoor Maatschappij).

Lalu oleh pemerintah dibangun kantor pos yang tempatnya di sebelah Witte Societeit. Sementara itu, Hotel Deli yang beroperasi di Laboehan Deli juga membuka hotel. Lokasi antara garnisun dengan Witte Societeit dibangun kantin untuk para prajurit. Semua fasilitas ini berada di sekitar Deli Mij (kecuali kantor/rumah controleur). Pada fase ini kampung Kasawan berkembang pesat dengan kepadatan penduduk yang cukup tinggi (mereka adalah komunitas Tionghoa yang pindah dari Laboehan Deli).

C. Fase Asisten Residen pindah ke Medan (1879-)

Ketika Asisten Residen Deli yang berkedudukan di Laboehan Deli pindah ke Medan, rumah yang ditempati oleh Asisten Residen adalah eks rumah administratur Deli Mij yang berada di Soekamoelia. Ini dengan sendirinya, rumah/kantor Controleur Medan dan rumah/kantor Asisten Residen berdekatan. Posisi rumah Asisten Residen (eks rumah kepala administratur Deli Mij) ini sangat strategis berada pada setengah lingkaran (lekukan) Sungai Deli (secara alamiah menjadi semacam area pertahanan, seperti lokasi benteng militer yang berada diantara sungai Baboera dan Sungai Deli).

1880: Esplanade, latar stasion
Pekerjaan sipil (kegiatan planologi) pertama yang dilakukan oleh Asisten Residen adalah membuka jalan baru dan merancang ‘aloon-aloon; yang titik originnya di sudut pertemuan jalan di depan Societeit dengan jalan di depan garnisun dan menarik garis yang membentuk empat segi yang kemudian disebut Esplanade (kini Lapangan Merdeka).Esplanade dalam bahasa Belanda adalah lapangan terbuka. Esplanade adalah suatu ciri kota yang di Djawa disebut sebagai 'aloon-aloon'.

1880: Esplanade, latar Hotel Vink
Ini berarti di sebelah barat lapangan ini sudah terdapat Witte Societeit dan kantor pos. Di sebelah selatan adalah garnisun militer dan kantin prajurit. Di sebelah utara dibangun Hotel Vink yang menyusul kemudian rel dan stasion (peron) kereta api. Di sebelah selatan adalah tempat dimana lokasi Hotel Deli (yang kelak berubah dengan dibangunnya Medan Hotel). Pemilik saham Hotel Medan adalah Mr. Vink (pemilik Hotel Vink) bersama dengan investor dari Penang (Oriental Hotel). Dalam hal ini, Esplanade menjadi suatu penanda bagaimana selanjutnya kota berkembang ke arah empat penjuru angin.

Buka jalan baru di Medan, terabas hutan
Sejak Esplanade ditetapkan dan selesai dibuat, maka selanjutnya pemerintah melalui Kantor BOW (Burgerlijke Openbare Werken = Pekerjaan Umum) mulai melakukan pembangunan jalan dan jembatan. Sebelumnya, untuk urusan kereta api ditangani oleh Deli Mij. Dalam urusan moda transportasi darat ini pemerintah pertama berusaha untuk meningkatkan kualitas jalan yang ada, membangun dan meningkatkan kualitas jembatan dan selanjutnya membuka jalan baru dan membangun jembatan baru. Dalam pembukaan jalan baru ini, banyak yang dilakukan dengan cara menerabas hutan-hutan. Tugas pemerintah melalui biro pekerjaan umum juga melakukan pembangunan pelabuhan yang sebelumnya masih di Laboehan dan kemudian dipindahkan ke Belawan. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan lokasi baru yang lebih luas dan lebih dalam agar memungkinkan kapal bertonase besar dapat merapat ke pelabuhan.

D. Fase Residen (1887-)

Wacana pemindahan ibukota Sumatra van Oostkust sesungguhnya sudah lama ada. Tidak hanya karena alasan aspirasi di Deli oleh para planter, tetapi juga karena rentang kendali manajemen pemerintahan yang terlalu jauh ke Deli, sementara pusat pertumbuhan ekonomi baru sudah lama bergeser dari Bengkalis ke Deli. Perpindahan ibukota ini ternyata lebih cepat dari yang diperkirakan. Hal ini karena lanskap-lanskap yang dekat dengan Atjeh dilaporkan telah mengalami tekanan yang kuat dari kekuatan yang ada di Atjeh. Berdasarkan berita-berita yang beredar di Batavia, ibukota Sumatra van Oostkust akan dipindahkan pada tanggal 1 Maret 1887 ke Deli. Ini berarti dengan sendirinya, status asisten residen di Medan akan ditingkatkan menjadi Residen. Dengan demikian, ibukota Residentie Sumatra van Oostkust dipinpindahkan dari Tebingtinggi di Bengkalis ke Medan di Deli. 


De locomotief : Samarangsch han.en adv.-blad, 05-02-1887
Sehubungan dengan perubahan ibukota ini dan oleh karena afdeeling-afdeeling lain juga berkembang, maka yang terjadi adalah sebagai berikut: Afdeeling Bengkalis dipisahkan dari Sumatra van Oostkust dan dimasukkan ke Residentie Riaouw. Sedangkan Afd. Laboehan Batoe, Afd. Asahan, Afd. Batoebara dan Afd. Deli disatukan dan tetap menjadi Residentie Sumatra van Oostkust dengan ibukota Medan. Untuk memperkuat pemerintahan di Sumatra van Oostkust lalu status controleur di afd. Asahan yang berkedudukan di Tanjdjoengbalei ditingkatkan menjadi Asisten Residen. Untuk memperkuat pemerintahan di kantor ibukota Medan akan ditambahkan dua controleur.

Dalam fase reorganisasi pemerintahan di Sumatra van Oostkust ini, sejumlah fungsi pemerintahan ditingkatkan. Biro yang dulu menangani pekerjaan umum kini dibentuk menjadi Kantor BOW (Burgerlijke Openbare Werken = Pekerjaan Umum). Tugas-tugas pekerjaan umum tidak hanya di Kota Medan tetapi dengan semakin meluasnya areal perkebunan hingga ke Asahan, Laboehan Batoe, dan daerah baru Simaloengoen dan Karo maka Kantor BOW juga menangani peningkatan kulitas jalan, pembangunan jalan dan jembatan di seluruh Sumatra’s Oostkust.

Sementara itu, dengan perubahan struktur pemerintahan di Sumatra van Oostkust ini, ‘arsitektur’ pemerintahan juga berubah. Ketika Resident berkedudukan di Bengkalis, partnertship Residen adalah Sultan Siak/Sultan Bengkalis, akan tetapi ketika Residen dipindahkan ke Medan, maka partnership Residen dalam pemerintahan di Sumatra van Oostkust juga berubah dan berpartner dengan Sultan Deli. Pengangkatan Sultan Deli sebagai partnership pemerintah di Sumatra van Oostkust tidak saja mengabaikan Sultan dan para pangeran di Bengkalis, tetapi juga secara otomatis merendahkan derajat para Sultan di Asahan, Batoebara dan Laboehan Batoe (sebelumnya antara Sultan Deli dengan Sultan di Langkat, Serdang dan Bedagai). Pemerintah mendudukkan Sultan Deli di atas sultan-sultan lainnya. Dengan kata lain Sultan Deli adalah Radja dari para radja (Maharadja).

Di Tapanoeli tidak ada sultan, yang ada adalah radja kampung yang secara adat disebut ‘radja huta’. Pemerintah melakukan partnership dengan sedikit memodifikasi yang mengangkat satu diantara para radja-radja kampung sebagai yang ‘dituakan’ dan menjadi perwakilan pemerintah yang disebut koeria (biasanya yang memiliki resources yang paling banyak, karena itulah tujuan kolonial). Akan tetapi antar koeria yang puluhan banyaknya satu sama lain bersifat independen. Oleh karena itu, para koeria bukanlah bersifat partnership dalam arti sesungguhnya,  tetapi lebih tepat disebut sebagai ‘pegawai’ pada pemerintahan lokal. Hal ini yang menjelaskan mengapa di Residentie Tapanoeli tidak ada partnership pada tingkat Asisten Residen maupun pada tingkat Residen (seperti di Minangkaboeu dan di Melayu). Jika terjadi perubahan kedudukan pemerintahan di Tapanoeli, maka dengan sendirinya tidak ada yang dirugikan maupun yang diuntungkan (bersifat pareto). Hal ini kontras dengan di Sumatra van Oostkust, yang mana Sultan Deli mendapat benefit yang sangat luar biasa. Mungkin tidak dalam konteks pemimpin diantara pemimpin komunal tetapi paling tidak simbol tunggal dengan pembangunan istana yang megah bagi Sultan Deli (bahkan melebihi kemegahan seluruh istana-istana yang ada di Nederlandsch Indie). Meski demikian adanya, ini mengakibatkan begitu dekatnya pemerintah dengan masyarakat di Tapanoeli yang boleh jadi para pemimpin pemerintahan di tingkat terendah (controleur) dapat memahami langsung apa yang terjadi di masyarakat (permasalahan yang dihadapi dan aspirasi apa yang harus diteruskan/rekomendasikan). Boleh jadi Dr. Asta, Dr. Angan (dua siswa pertama di docter djawa school di Batavia yang berasal dari luar Djawa, 1854) dan Si Sati atau guru Willem Iskander (pribumi pertama studi ke Belanda, 1857) lahir ke permukaan melalui mekanisme sistem pemerintahan serupa ini.[Catatan: Sebagaimana di afdeeling-afdeeling Sumatra's Oostkust, pribumi dimasukkan dalam sistem pemerintahan, seperti sultan, pangeran dan kepala komunitas Tionghoa. Satu-satunya kepala komunitas Tapanoeli (inslandsh hoofd) yang pernah tercatat masuk dalam struktur pemerintahan di Sumatra's Oostkust adalah Si Onggang gelar Radja Mandheling di Tandjongbalai yang jabatannya setara dengan letnan Tionghoa Khioe Tjan Tiong di Tandjoengbalai dan letnan Tsiong Yong Hian di Medan, 1887).    

Pemindahan istana Sultan Deli dari Laboehan Deli ke Medan menandai pemindahan Residen di Bengkali ke Medan. Pemerintah di Batavia dan pemerintah di Sumatra van Oostkust menempatkan istana itu tidak di tengah kota, melainkan ke hulu Sungai Deli ke tempat sepi bahkan sangat dekat dengan tempat pekuburan orang-orang Eropa/Belanda. Istana ini yang kini disebut Istana Maimun. Istana ini proses pembangunannya dimulai tahun 1888 setahun setelah Residen mulai bertugas di Medan (dan selesai dibangun pada tahun 1891).

Peron Stasion Besar Medan, 1889
Fasilitas lainnya yang cukup menonjol pada era Residen ini adalah perbaikan (renovasi) stasion besar Medan dengan menyediakan peron yang representatif. Hal ini diperlukan, karena arus orang dari dan ke Pelabuha Belawan semakin meningkat, demikian juga arus penumpang dari dan ke Timbang (Bindjei). Sebab di Langkat hulu yang beribukota Bindjei ini juga komunitas Eropa yang membangun rumah dan fasilitas semakin meningkat akhir-akhir ini.

Hotel mewah di Medan Hotel de Boer, 1890 (kini Dharma Deli)
Stasion ini sangat strategis, karena fasilitas pemerintah tidak jauh dari stasion ini dan juga hotel-hotel yang ada di Medan semuanya mengambil lokasi tidak jauh dari stasion ini. Pada tahun 1890, hotel megah di Bangun di Medan yang inevstasinya dari Mr. de Boer, karenanya nama hotel baru ini disebut Hotel de Boer. Fasilitas-fasilitas pemerintah yang dibangun pada fase ini termasuk kantor pamong praja (biro pemerintahan), kantor polisi, kantor kejaksaan dan pengadilan (landraad) dan sekolah pemerintah (sekolah negeri).

Sebelum ada djaksa pribumi di Medan, sudah terlebih dahulu ada djaksa di Leboehan Deli. Djaksa tersebut dipindahkan dari Tapanoeli bernama Si Ripin gelar Soetan Mantri (1887). Pada tahun 1893 seorang djaksa ditempatkan di Medan (djaksa pribumi pertama). Djaksa tersebut bernama Sjarif Anwar gelar Soetan Goenoeng Toea yang memulai karir sebagai djaksa di Sipirok, Mandheling en Ankola 1875 (Mantan murid Nommensen ini sebelumnya menjadi penulis di kantor Asisten Residen di Padang Sidempuan). Lalu beberpa kali pindah tugas djaksa seperti ke Baros dan kemudian ke Sipirok lagi, selanjutnya baru ke Medan. Di Medan anak pertama Soetan Goenoeng Toea bernama Djamin Harahap gelar Baginda Soripada dimasukkan ELS tahun 1893 dan tamat 1900. Setelah lulus ELS, Djamin Harahap magang di kantor pemerintah di Medan. Pada tahun 1906 Djamin menikah dengan boru Regar bernama Basunu. Anak pertama Djamin gelar Baginda Soripada lahir 1907 di Medan.
Soetan Goenoeng Toea pension di Medan 1910. Setelah beberapa tahun sebagai calon pegawai, akhirnya Djamin gelar Baginda Soripada diangkat sebagai pegawai di kantor Residentie di Medan (1911). Di lingkungan residentie ini, kemudian Djamin diangkat menjadi mantri polisi, lalu kemudian diangkat menjadi djaksa dan berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Anak pertama Djamin Harahap gelar Baginda Soripada tersebut bernama Amir Sjarifoedin tidak ikut pindah tetapi tinggal bersama ompungnya di Medan. Kelak, nama Amir lebih dikenal sebagai the founding father RI (bersama Soekarno dan Hatta). Jabatan-jabatan Amir Sjarifoedin kelak adalah Menteri Penerangan pertama, Menteri Pertahanan pertama dan Perdana Menteri RI.
Ketika Djamin Harahap diangkat sebagai pegawai di Kantor Residen Medan tahun 1911, sudah lebih dahulu pada tahun 1907 Marah Hoesin gelar Radja Pandapotan diangkat sebagai PNS di kantor Residen Medan. Marah Haoesin sebelumnya adalah cpns di kantor controleur sebagai komisioner di Selat Pandjang, Bengkalis (lihat De Sumatra post, 30-11-1907). Setelah beberapa tahun di Medan, Radja Pandapotan dipindahkan ke Songai Penoeh (Korintji). Radja Pandapotan cukup lama di Korintji, Djambie hingga akhirnya diangkat sebagai kepala distrik (districyhoofd) pada tahun 1937 (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 30-08-1937). Marah Hoesin gelar Radja Pandapotan adalah ayah dari Mochtar Loebis (kelak menjadi wartawan paling militan di Indonesia dengan korannya Indonesia Raya).
Esplanade, 1890
Yang agak sedikit aneh adalah selain ada rumah sakit yang dikelola oleh Deli Mij (untuk orang-orang Eropa/Belanda) juga terdapat rumah sakit yang dikhususkan untuk para narapidana dan rumah sakit untuk prostitusi. Namun kedua rumah sakit aneh dapat dipahami keperluannya buat apa. Rumah sakit prostitusi untuk merehabilitasi para pelacur yang terdapat di Laboehan Deli dan Medan atau jalan poros sepanjang dua kota ini. Ketika para kuli berdatangan dan para petualang perkebunan berdatangan, juga berdatangan para pelacur yang dikelola oleh germo-germo yang berbasis di Singapore. Para pelacur itu umumnya didatangkan dari Asia Timur seperti Makao dan Jepang. Untuk rumah sakit narapidana dimaksudkan untuk melokalisi para tahanan yang sakit atau terluka. Para tahanan ini meliputi tahanan perang, tahanan kriminal dan tahanan yang didatangkan dari kota-kota lain yang dipekerjakan untuk proyek-proyek pembangunan yang berat dan berisiko (seperti di Ombilin atau kelak di Bonandolok, Sibolga dalam pembuatan jalan tembus terowongan batu cadas). Selain rumah sakit yang diselenggarakan oleh Deli Mij juga dalam perkembangannya perkebunan besar seperti Amsterdam Deli Compagnie juga menyediakan fasilitas klinik atau rumah sakit.

Peta pertama desain Kota Medan, 1895
Dua fasilitas lainnya yang digunakan untuk permasalahan internasional dan kebutuhan hiburan. Kota Medan dan Afd. Deli sebagai daerah tujuan investasi baru, maka arus investor dan tenaga kerja asing terutama yang berasal dari Eropa dan Semenanjung dan Singapore. Untuk mengadministrasikan ini diperlukan kantor imigrasi. Fungsi kantor ini tentusaja dikaitkan dengan pemungutan fiskal, sebagaimana selama ini telah dilakukan terhadap produk-produk impor. Fasilitas hiburan dalam hal ini secara komersil belum ada, tetapi pengadaan fasiltas untuk pacuan kuda menjadi solusi. Arena pacuan kuda jelas bukan hanya semata-mata untuk hiburan, di dalamnya termasuk perputaran uang yang besar (taruhan) dari mereka yang berduit di perkebunan-perkebunan. Kuda-kuda yang digunakan tentu saja kuda-kuda poni terbaik yang didatangkan dari Tanah Batak.

Istana Sultan Deli
Praktis, pada tahun 1895 sebelum berakhirnya abad XIX, Kota Medan secara geografis mulai melambat tetapi kepadatannya terus meningkat. Wilayah kota sejauh ini hanya di sekitar Esplanade dan Kesawan. Meski sudah ada Istana Sultan ‘diluar’ kota, tempatnya yang masih sepi dan hanya ada beberapa kampung yang berjauhan serta di sana sini masih ditemukan hutan dan semak, karenanya lokasi Istana Sultan tidak termasuk pusat pertumbuhan kota. Dengan demikian, dinamika kota hanya terdapat di dua area tersebut: Esplanade dan Kesawan.

Nun jauh di sana, di Kota Padang seorang alumni Kweekschool Padang Sidempuan yang pertama (1883) bernama Si Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda, setelah mengabdi sebagai guru di berbagai tempat di pantai barat Sumatra dan pensiun lalu memilih tinggal di Padang (ibukota Province Sumatra’s Westkust, yang mana Residentie Tapanoelei masih masuk Province Sumatra’s Westkust). Di kota ini, 1895 Dja Endar Moeda membuka sekolah swasta, karena sekolah negeri yang ada jauh dari jumlah yang dibutuhkan. Saat itu, hanya di Afd. Mandheling en Ankola jumlah sekolah negeri yang lebih dari cukup, dimana pada tahun 1892 dari 18 sekolah negeri di Residentie Tapanoeli, 15 buah diantaranya berada di Mandheling en Ankola dan tiga buah diantaranya di Kota Padang Sidempuan. Di Residentie Sumatra’s Oostkust sendiri baru satu sekolah negeri yang dibangun pemerintah yang berlokasi di Medan. Di sekolah yang didirikan itu, Dja Endar Moeda bertindak sebagai kepala sekolah, menulis buku pelajaran buat anak didiknya dan juga mengirim artikelnya ke majalah dan koran serta menulis buku roman/novel (yang dicetak penerbit Otto Bäumer). Dja Endar Moeda adalah termasuk suksesi Willem Iskander, pendiri sekolah, penulis buku pelajaran dan mengarang buku. Pada tahun 1897, Dja Endar Moeda menawarkan roman keduanya kepada Percetakan Winkeltmaatschappij yang juga adalah penerbit koran berbahasa Melayu di Padang bernama Pertja Barat. Editor Pertja Barat (orang Belanda) menganggap romannya Dja Endar Moeda ini layak diterbitkan, lalu kemudian  Penerbit itu sebaliknya, meminta   Dja Endar Moeda untuk menjadi editor. Dja Endar Moeda tidak menolak, karena Dja Endar Moeda juga pernah menjadi editor majalah Soeloeh Pengajar di Probolinggo. Sumatra-courant: nieuws-en advertentieblad edisi 04-12-1897 memberitakan tentang diangkatnya Dja Endar Moeda sebagai editor Pertja Barat dan tentu saja berita ini juga dapat dibaca di Medan. Pertja Barat adalah koran berbahasa Melayu pertama dengan investasi pengusaha (Belanda) dan Dja Endar Moeda adalah editor pribumi pertama di Nederlansche Indie (Tirto Adhi Soerjo, Bapak Pers Nasional, baru menjadi editor tahun 1903 di koran Pembrita Betawi).

Kota yang tengah tumbuh di dua area ini juga diikuti dengan perkembangan sosial yang intens. Pada tahun 1899 di Medan muncul surat kabar baru yang bernama Sumatra Post. Surat kabar ini datang dengan investasi besar dan sesuai namanya akan menjadi koran paling berpengaruh di Sumatra. Koran lokal sebelumnya, Deli Courant tidak berkembang, malah kalah saing dengan koran yang terbit di Padang, Sumatra Courant yang sejauh ini koran berpengaruh di Sumatra dengan porsi pemberitaan merujuk pada dinamika di Sumatra’s Westkust, Tapanoeli dan Sumatra’s Oostkust. Namun dalam perkembangannya, Sumatra Courant (di Padang) mulai kalah bersaing dengan Sumatra Post (di Medan). Pada tahun 1902 terbit koran berbahasa Melayu yang diberi nama Pertja Timor [Padang sebagai pusat pertumbuhan awal melihat Sumatra tiga arah: Pertja Barat = Tapanoeli; Pertja Timor = Sumatra van Oostkust, dan Pertja Selatan = Palembang]

Pertja Timor (di Medan) seakan mengikuti nama koran berbahasa Malayu pertama, Pertja Barat (di Padang). Pada tahun 1900, Dja Endar Moeda telah mengakuisisi koran Pertja Barat sekaligus percetakannya menjadi miliknya secara pribadi. Sejak akuisisi ini bisnis media Dja Endar Moeda cepat berkembang dan juga memiliki toko buku. Di Padang, Dja Endar Moeda menerbitkan media baru, majaah Insulinde (1901), Tapian Na Oeli (bebahasa Batak di Sibolga) tahun 1902 dan koran berbahasa Belanda bernama Sumatraasch Nieuwsblad (1904). Pada tahun 1902 bisnis Dja Endar Moeda juga sudah merambah ke Medan di bidang percetakan.

Sementara itu, koran Pertja Timor investasi Eropa itu mulai beroperasi tahun 1902 dengan merekrut editor pribumi yang bernama Chatib Radja Soetan, seorang mantan guru di Medan. Pertja Timor terbit perdana Senin 4 Agustus, 1902 dengan terbit dua kali sepekan (Senin dan Kamis). Namun pada tahun 1903, editor baru muncul yang bernama Mangaradja Salamboewe. Kabar mengapa Chatib Radja Soetan dicopot tidak diketahui jelas. Namun De Sumatra post edisi 24-09-1904 melaporkan bahwa Chatib Radja Soetan, perwakilan De Lange & Co di Riau tiba-tiba menghilang dengan membawa uang tunai. Sejak kasus itu nama Chatib Radja Soetan tidak pernah muncul lagi di surat kabar (hilang lenyap). Sebaliknya nama Mangaradja Salamboewe meroket di Medan karena dianggap sebagai editor pemberani dan disegani oleh wartawan Medan (Eropa/Belanda, Tionghoa dan pribumi).

Kehadiran Mangaradja Salamboewe bermula ketika koran Pertja Timor di Medan mulai mendapat saingan dengan terbitnya koran-koran berbahasa Melayu lainnya. Koran Pertja Timor merasa perlu meningkatkan kualitas agar tiras terdongkrak. Kini saatnya memerlukan editor yang berkualitas. Kronologisnya mirip dengan koran Pertja Barat dulu. Kebetulan Mangaradja Salamboewe baru tiba di Medan dan menganggur karena dipecat sebagai jaksa di Natal (Tapanoeli). Hasan Nasoetion gelar Mangaradja Salamboewe dipecat karena desersi karena tidak tahan melihat ketidakadilan pemerintah colonial dan terjun ke lapangan mengadvokasi masyarakat. Mangaradja Salamboewe tidak memusingkannya dan malah senang (makin bebas untuk berjuang dengan rakyat).Mangaradja Salamboewe menjadi jaksa di Natal sejak 1897. Mangaradja Salamboewe adalah anak seorang dokter di Mandheling en Ankola bernama Dr. Asta (siswa pertama Docter Djawa School yang diterima dari luar Djawa, 1854, kakak kelas Willem Iskander). Manajemen Pertja Timor menawari Mangaradja Salamboewe posisi editor. Gayung bersambut, kedua belah pihak saling membutuhkan. Terbukti dengan masuknya Mangaradja Salamboewe (1903) tiras Pertja Timor naik pesat. Soal kepiawaian tidak kalah dengan Saleh Harahap gelar (Mangara)Dja Endar Moeda di Pertja Barat, Mangaradja Salamboewe sama-sama alumni Kweekschool Padang Sidempoean. Hanya saja, Mangaradja Salamboewe tidak menjadi guru tetapi menjadi penulis di Kantor Residen di Sibolga sebelum diangkat menjadi jaksa. Kemampuan menulis dan pengalaman di peradilan membuat Mangaradja Salamboewe menjadi wartawan pribumi yang disegani. Koran Sumtra Post yang dikutip juga oleh Bataviaasch nieuwsblad mengakui bahwa Maharadja Salamboewe memiliki keingintahuan yang tinggi, memiliki kemampuan jurnalistik yang hebat. Koran ini juga mengakui bahwa Maharadja Salamboewe memiliki pena yang tajam dan memiliki kemampuan menulis yang jauh lebih baik dibanding wartawan-wartawan pribumi yang ada. Hebatnya lagi, masih pengakuan koran ini, Mangaradja Salamboewe selain sangat suka membela rakyat kecil, Mangaradja Salamboewe juga sering membela insan dunia jurnalistik baik wartawannya maupun korannya. Kami juga respek terhadap dia, demikian diakui oleh koran Sumatra Post yang juga diamini oleh Koran Bataviaasch nieuwsblad. Mangaradja Salamboewe tidak berumur panjang. De Sumatra post edisi 29-05-1908 memberitakan kematian wartawan pemberani ini. Dalam berita koran ini, editor juga mengungkapkan rasa duka cita yang dalam, karena Mangaradja Salamboewe tidak hanya membela rakyatnya tetapi juga dunia jurnalistik (yang sebagian besar wartawan pada waktu itu berbagsa Belanda/Eropa). Editor ini melanjutkan bahwa  "Di dalam seratoes orang pribumi tidak ada satoe yang begitoe brani’.  Saat mana Mangaradja Salamboewe di waktu pemakamannya hampir semua wartawan Medan hadir termasuk yang berbangsa Belanda. Abdul Hasan gelar Maharadja Salamboewe dimakamkan di tempat pemakaman Jalan Sungai Mati. Pengganti Mangaradja Salamboewe adalah seorang guru yang direkrut di sekolah Tandjoeng Balei (lihat De Sumatra post, 11-11-1908).

Sisi lain dari pertumbuhan dan perkembangan kota adalah kehadiran komunitas Tionghoa dan begitu banyaknya kuli-kuli Cina yang didatangkan dari Asia Timur via Singapore. Komunitas Tionghoa juga sejak lama telah berkembang di Jawa dan Sumatra’s Westkust dan Tapanoeli, demikian juga di Sumatra van Oostkust cukup pesat perkembangannya. Begitu masifnya komunitas Tionghoa di Pantai Timur Sumatra ini bahkan pimpinan-pimpinan Tionghoa ini dimasukkan dalam struktur pemerintahan, sebagaimana sultan-sultan dan para pangeran-pangeran dimasukkan dalam struktur pemerintahan. Pimpinan tertinggi komunitas Tionghoa di Medan dan Laboehan Deli yang sebelumnya berpangkat Kapten kini telah ditingkatkan menjadi Mayor. Salah satu tokoh berpengaruh Tionghoa di Medan adalah Kapten Tjong A Fie, seorang perantau dari Tanah Tiongkok yang memulai karir bisnis di Laboehan Deli.

Seperti halnya Tjong A Fie di masa dulu (di Labuhan Deli), pada tahun 1903 ini, tahun dimana Mangaradja Salamboewe yang kenyang pengalaman (pegawai pemerintah dan djaksa) datang merantau ke Medan (menjadi editor Pertja Timor), juga datang seorang perantau dari Padang Sidempuan ke Medan yang masih sangat belia yang bernama Abdoel Firman Siregar yang baru saja lulus sekolah rakyat (sekolah dasar) di Sipirok. Di Medan, 1903  Abdul Firman melamar dan sembilan orang mengikuti ujian untuk klein ambtenaar. Hanya dia sendiri yang pribumi. Hasilnya tidak diterima. Abdul Firman ternyata tidak patah arang. Modal sekolah rakyat tidak cukup. Tahun itu juga ia mengikuti ujian masuk ELS (Europeesche Lagere School). Sekolah ini lamanya tujuh tahun.Selama Abdoel Firman bersekolah sejumlah anak-anak Padang Sidempuan yang datang ke Medan, antara lai: pada tahun 1903 Dja Amas Moeda ditempatkan di Medan sebagai vaccinator; 1904  Djaman gelar Dja Pinajoengan dipindahkean ke kantor biro contreluer di Medan (yang sebelumnya sebagai schrijver di Laboehan Roekoe, ibukota Batoebara); Si Badoe gelar Dja Noerdin bertugas sebagai guru di sekolah negeri di Medan (sebelumnya guru di Laboehan Bilik, Laboehan Batoe)..
Setelah lulus di Medan (1910) ia tidak ke Batavia sebagaimana orang-orang kebanyakan melamar ke STOVIA. Abdul Firman justru menuju Belanda. Dari Belawan ia berangkat dengan kapal Prinses Juliana dan berlabuh di Rotterdam. Di pelabuhan besar ini, Abdul Firman dijemput Soetan Casajangan (anak Padang Sidempuan yang datang ke Belanda untuk kuliah tahun 1905) dan diantar ke Leiden untuk mencari sekolah tinggi. Kelak setelah pulang dari Belanda meniti karir sebagai pejabat di Residentie Sumatra van Oostkust, seperti di kantor Asisten Residen di Tandjoeng Balai dan Asisten Residen di Pematang Siantar (Simeloengoen en Karolanden). Kelak Abdul Firman Siregar gelar Mangaradja Soangkoepon menjadi anggota dewan kota (gementeeraad) di Pematang Siantar dan anggota dewan kota di Tandjoeng Balai. Kelak (1927) Mangaradja Soangkoepon terpilih menjadi anggota dewan pusat (Volksaad) dari ‘dapil’ Sumatra van Oostkust. Mangaradja Soangkoepon adalah pribumi pertama mewakili Sumatra van Oostkust ke Volksraad di Pejambon (kini dewan di Senayan).
Kini Tjong A Fie telah menjadi kaya raya dengan kerajaan bisnisnya yang terus berkembang di Medan. Ketokohan Tjong A Fie dengan sendirinya sangat memberi arti bagi pemerintah untuk meredakan gejolak yang selalu muncul sporadis diantara belasan ribu kuli Cina yang bekerja di perkebunan dan sektor-sektor lain. Kini Sultan Deli seakan mulai melihat ada dua matahari di Deli. Lokasi dimana berdiri Istana Sultan Deli dan lokasi dimana mansion Tjong A Fie berdiri menandakan seakan menyiratkan pengaruh Tjong A Fie lebih kuat dari pengaruh Sultan. Dan memang terbukti, Medan dan Deli sekitarnya akhir-akhir ini terasa lebih aman dan damai.

Dan, itu semua bukan tanpa desain yang disengaja, gelagat kolonial selalu mereduksi kekuatan pribumi dan memberi jalan kepada orang-orang non Eropa yang disebut Timur Asing. Dalam hal ini Sultan Deli lambat laun ditenggelamkan, dininabobokkan dengan memberikan fasilitas mewah, istana mentereng dan uang saku lumayan. Itu sebenarnya jebakan. Dan tidak lama lagi akan ditinggalkan, sebagaimana para sultan dan pangeran telah lama meninggalkan rakyatnya yang terus terpuruk di bawah, sementara kerabat istana hidup dalam kemewahan.

Sekolah untuk anak-anak kuli di perkebunan di Medan
Anak-anak Tapanoeli yang sejak lama sudah banyak yang merantau ke Deli dan Medan (pecahan perantau yang menuju ke Semenanjung) dan dimotori oleh tenaga-tenaga terdidik dan para tokoh-tokoh terpelajar asal Mandheling en Ankola mulai mengisi kekosongan yang terjadi di Medan. Dja Endar Moeda telah lama membuka percetakan, Mangaradja Salamboewe yang tengah lagi naik daun di Medan sebagai editor Pertja Timor. Selain itu ada guru-guru yang ditempatkan di sekolah-sekolah yang disediakan perkebunan (plantation). Jangan lupa, sudah ada djaksa senior, Soetan Goenoeng Toea. Akibatnya, popularitas anak-anak Tapanoeli makin meningkat di Medan. Popularitas itu semakin meningkat ketika klub yang didirikan anak-anak Tapanoeli sudah mulai ikut berpartisipasi dalam sepakbola di Medan yang dipusatkan di Esplanade.

Medan Sportclub dibentuk 1900 (Belanda), Langkat Sportclub tahun 1901 (Inggris), Letterzetter Club tahun 1904 (Tapanoeli), Voetbal Club Toengkoe di Bindjei 1904 (Melayu) dan Voetbal Club Tionghoa (Tionghoa). Semua klub ini sudah pernah bertanding satu dengan yang lain, namun semuanya dilakukan dalam pertandingan tunggal. Tiga klub utama (Medan Sportclub, Langkat Sportclub dan Toengkoe Club) kemudian mempelopori untuk menyatukan diri dalam suatu kompetisi. Letterzetter adalah klub pribumi yang dihuni anak-anak Tapanoeli yang anggota utamanya dari percetakan yang didirikan (Dja Endar Moeda).

E. Fase Residentie Tapanoeli dipisahkan dari Sumatra’s Westkust (1905)

Afdeeling Mandheling en Ankola dipisahkan dari Residentie Air Bangis dan secara bersama-sama dengan wilayah baru pada tahun 1845 dibentuk Residentie Tapanoeli (terdiri dari: afd. Mandheling en Ankola, Afd. Sibolga, dan Afd. Singkel). Ketika Residentie Tapanoeli sudah lengkap (ketika situasi dianggap aman dan pemerintahan yang telah dibentuk di Padang Lawas, Silindoeng dan Toba berjalan lancar), maka saatnya Tapanoeli dipisahkan dari Province Sumatra Westkust. Pada tahun 1905, secara resmi Tapanoeli ditingkatkan statusnya sebagai BB (otonom) yang mana Residen langsung bertanggungjawab kepada Gubernur Jenderal di Batavia (tidak lagi kepada Gubernur di Padang). Residentie Tapanoeli yang beribukota Sibolga ini pada waktunya nanti di Residentie Sumatra van Oostkust dipisahkan dari Province Riaouw.

Dalam situasi seperti itu, penduduk Tapanoeli mulai mengalihkan perhatian ke Medan di Sumatra’s Oostkust, tidak lagi ke Padang di Sumatra’s Westkust. Hal ini bisa jadi disebabkan dua hal, yaitu: Pertama, Sumatra’s Westkust sudah mulai redup secara ekonomi dan perkembangan Kota Padang sendiri stagnan akhir-akhir ini. Pengusaha-pengusaha Eropa di Padang dan sekitarnya sudah mulai mengalihkan investasinya ke Sumatra’s Oostkust. Kedua, Sumatra’s Oostkust adalah wilayah berkembang yang baru, yang bagi penduduk Tapanoeli cerita itu tidak hanya bersumber dari surat-surat kabar tetapi juga sudah banyak perantau yang bermukim di Deli yang sempat pulang kampung alias mudik. Dari perantau inilah cerita itu lebih bersemangat. Tantangan untuk merantau ke Deli (mangaranto tu Doli) semakin menarik apalagi wilayah tersebut secara tradisional lebih dekat jika dibandingkan ke Padang, Sumatra’s Westkust. Ketiga, perantau Tapanoeli yang sudah lama ada di Padang, tidak serta merta melakukan eksodus, karena para perantau di Padang sesungguhnya sudah sejak lama ada dan melakukan investasi dan itu dengan sendirinya tidak mudah untuk merelokasi aset.


Namun tidak dinyana, seorang tokoh berpengaruh di Padang asal Tapanoeli, Dja Endar Moeda mengalami sial. Korannya Sumatraasch Nieuwsblad terkena delik pers bersama satu koran berbahasa Belanda yang lain di Padang. Dua koran ini menulis laporan tentang skandal yang dilakukan oleh oknum pemerintah di Kajoetanam. Yang menulis laporannya adalah editor (berbangsa Belanda) yang dipekerjakan Dja Endar Moeda, namun karena Dja Endar Moeda sebagai pemilik juga terkena dampaknya. Dja Endar Moeda dihukum cambuk sedangkan dua editor lain hanya dikenakan denda. Sejak itu, Dja Endar Moeda belajar hukum dan pindah ke Atjeh untuk membuka bisnis baru bersama anaknya. Investasi media, percetakan dan toko buku di Padang diserahkan kepada adiknya Dja Endar Bongsoe (alumni Kwekschool Padang Sidempuan mantan guru di Kotanopan). Dja Endar Moeda memilih Kotaradja (Atjeh) karena dekat dengan pelabuhan internasional Sabang yang sangat ramai dan juga sebagai basis bisnis karena Atjeh sendiri belum memiliki media dan Dja Endar Moeda lalu mendirikan koran Pembrita Atjeh. Alasan lainnya, agar Dja Endar Moeda dengan mudah memonitor bisnisnya yang ada di Sumatra’s Westkust (Padang dan Sibolga) dan yang ada di Sumatra’s Oostkust (Medan)

Dja Endar Moeda termasuk salah satu investor yang pindah dari Padang ke Medan, sebagaimana investor Eropa/Belanda sebelumnya telah pindah ke Medan. Pengusaha-pengusaha Tapanoeli lainnya asal Mandheling en Ankola juga mengikuti langkah Dja Endar Moeda dengan menarik sebagian investasinya di Sibolga untuk ditempatkan di Medan. Di Medan sendiri bisnis para pengusaha Tionghoa makin lama makin menguat. Kehadiran pebisnis asal Tapanoeli di Medan membuat persaingan lebih ketat. Namun pebisnis Tapanoeli siap bertarung (berkompetisi), karena mereka itu sudah sejak lama berpengalaman bersaing dengan pebisnis Tionghoa di Padang, Sibolga dan bahkan di Padang Sidempuan. Akan tetapi di Medan yang mau dilawan jumlahnya sangat banyak, maka para pebisnis Tapanoeli membentuk suatu aliansi yang dikenal sebagai Tapanoeli Sepakat. Sembari terus membangun bisnis masing-masing, para pebisnis Tapanoeli yang telah ‘bersepakat’ akan mendirikan media baru yang disebut Pewarta Deli.

Pendirian surat kabar baru Pewarta Deli ini tidak terlalu sulit bagi pebisnis asal Tapanoeli. Di Medan sendiri sudah ada percetakan Dja Endar Moeda, seorang mantan guru, penulis buku dan masih berprofesi wartawan (senior). Guru-guru dari Mandheling en Ankola di Medan dan Deli juga sudah sejak lama ada dan makin meningkat jumlahnya. Pewarta Deli dirancang sedemikian, rupa untuk menyaingi koran Pertja Timor yang sudah mulai terseok-seok setelah tidak digawangi oleh Mangaradja Salamboewe. Untuk urusan koresponden tidak terlalu sulit juga, Pewarta Deli bisa mengandalkan wartawan-wartawan asal Mandheling en Ankola di Padang, Sibolga, Padang Sidempoean, Singkel, Sabang/Kotaradja, Tandjoengbalei dan Riaou. Komunitas Mandheling en Ankola yang berada di Siantar dan Batavia dapat diandalkan untuk menjadi koresponden. Bahkan guru Soetan Casajangan, mantan guru di Padang Sidempuan yang sudah berada di Belanda (sejak 1905) kuliah untuk mendapatkan akte kepala sekolah (seperti Willem Iskander dulu, 1875).

Soetan Casajangan adalah alumni Kweekschool Padang Sidempuan, adik kelas Dja Endar Moeda dan kakak kelas Mangaradja Salamboewe. Para murid Charles Adrian van Ophuijsen ini telah menunjukkan kualitas di Nederlansche Indie (Hindia Belanda). Sejak van Ophuijsen menjabat direktur sekolah, Kweekschool Padang Sidempuan adalah sekolah guru terbaik di Nederlandsch Indie, tapi sayang sekolah ini ditutup pada tahun 1893 karena menurunnya anggaran pemerintah kolonial. Dalam hal ini, Mangaradja Salamboewe adalah alumni terakhir Kweekschool Padang Sidempuan. Soetan Casajangan sendiri setelah pensiun jadi guru di Padang Sidempuan, berkekuatan hati berangkat ke Belanda untuk mendapat akte kepala sekolah. Berangkat tahun 1905 yang mana jumlah mahasiswa baru dua orang. Ini berarti Soetan Casajangan termasuk pionir kuliah di negeri Belanda, sebagaimana Willem Iskander, pionir studi ke Belanda tahun 1875. Pada tahun 1906 jumlah mahasiswa menjadi enam orang lalu pada tahun 1908 jumlahnya sudah duapuluhan mahasiswa. Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan pada tahun 1908 menggagas didirikannya Perhimpunan Hindia (Indisch Vereeniging) dan dipilih menjadi presiden pertama (hingga 1910). Perhimpunan Hindia kelak (1920an) berubah nama menjadi Persatoen Peladjar Indonesia (PPI).

Koran pribumi pertama di Medan (1910)
Surat kabar Pewarta Deli lalu didirikan pada tahun 1910 dengan editor pertama Dja Endar Moeda. Motto koran baru ini persis sama dengan motto koran Pertja Barat di Padang (milik Dja Endar Moeda yang kini diasuh oleh adiknya Dja Endar Boengsoe). Mottonya adalah: Koran Oentoek Segala Bangsa (koran investasi pribumi pertama). Dja Endar Moeda melihat ini sebagai pewarisan kepada adik-adik sekampung untuk pencerdasan bangsa (mantan guru) dan bagi pebisnis asal Mandheling en Ankola dimaksudkan untuk media promosi yang sangat efektif untuk memajukan bisnis dari anak-anak Tapanoeli di Medan khususnya dalam bersaing dengan pebisnis dari kalangan Tionghoa. Tapanoeli Sepakat dalam hal ini adalah semacam ‘mesin organisasi’ yang keluar untuk mengimbangi pebisnis Tionghoa dan ke dalam untuk melakukan pembinaan persatuan dan kesatuan yang bersifat tolong menolong sesama anak Tapanoeli di perantauan. Pada masa itu, organisasi-organisasi pribumi untuk mendorong ke arah kemajuan sudah mulai menyeruak, seperti organisasi Boedi Oetomo tahun 1908 (di Java/kedaerahan), organisasi pelajar di Belanda tahun 1908 (Hindia/nasional). Organisasi Tapanoeli Sepakat dibentuk sebagai respon terhadap situasi dan perkembangan baru.

Gagasan Tapanoeli Sepakat dari dalam sendiri sudah muncul pada tahun 1906, dimana anak-anak pebisnis dari Tapanoeli mendirikan klub yang diberi nama Tapanoeli Voetbal Club (pendiriannya bersamaan dengan klub anak-anak Belanda, bernama Voorwaarts). Dengan adanya klub baru ini, maka klub asal Tapanoeli menjadi dua yakni sebelumnya sudah ada Letterzetter (yang didirikan tahun 1904). Boleh jadi anak-anak para pebisnis di lapangan sepakbola bisa berkumpul, maka para orangtua juga ingin mengikutinya dengan melahirkan organisasi kedaerahan Tapanoeli Sepakat.

Esplanade (1905)
Sepakbola dan pers menjadi semacam instrumen penting bagi warga Tapanoeli untuk bersatu di Medan. Karena saat itu hanya dua instrumen ini yang menjadi pakem bagi semua golongan di Medan (utamanya Eropa/Belanda, Tionghoa dan Tapanoeli). Sepakbola mewakili hiburan rakyat (untuk menyaingi hiburan pacuan kuda) dan pers mewakili pencerdasan rakyat. Kebetulan dua hal ini selalu melekat pada anak-anak Mandheling en Ankola: ‘gibol’ dan suka belajar. Di Medan sendiri tahun 1907 akan dilangsung kompetisi sepakbola. Klub-klub yang menyatakan kesediaan: Voortwaarts (Belanda), Maimoon SC (kesultanan), Chinesse VC, Sarikat VC, Tapanoeli VC, Java VC dan Djawi Paranakan VC. Kompetisi ini dibuat tiga divisi yang mana setiap klub dapat membuat dua atau tiga kelas klub. Kompetisi divisi satu juaranya Voorwaarts.

Kompetisi sejenis baru ada di Batavia dan Soerabaija dan Medan. Di Batavia kompetisi dibagi ke dalam dua divisi, dan hanya satu klub yang dihuni oleh pemain-pemain pribumi yaitu Docter Djawa Voetbal Club. Ketika kompetisi Batavia libur, klub-klub Belanda mengisi waktu (pertandingan pramusim) melakukan lawatan ke berbagai kota di Djawa. Namun anehnya, Docter Djawa VC justru memilih melawat ke Medan. Anehnya lagi, lawan tanding dan yang menjadi tuan rumah (dan juga menyediakan pemondokan) selama di Medan adalah Tapanoeli Voetbal Club (bukan Java VC atau Djawi Paranakan VC). Usut punya usut ternyata salah satu pemain Docter Djawa School ada satu yang berasal dari Tapanoeli, namanya Radjamin.

Dua anak Padang Sidempuan di Docter Djawa School (1902)
Koneksitas Docter Djawa School dengan Tapanoeli sudah ada sejak lama. Siswa docter djawa school yang pertama diterima dari luar djawa berasal dari Mandheling en Ankola, yakni Dr. Asta (ayah dari Mangaradja Salamboewe, editor Pertja Timor). Anak-anak Mandheling en Ankola sudah puluhan yang menjadi dokter. Mereka itu ada yang sekelas dengan Dr. Wahidin dan ada yang sekelas dengan Dr. Tjipto (Mandheling en Ankola sudah sejak lama surplus guru dan dokter). Menantu Dja Endar Moeda sendiri adalah alumni Docter Djawa School, Haroen Al Rasjid Nasoetion lulus 1901 dan ditempatkan di Sibolga. Yang bersamaan lulus dengan Haroen lulus adalah Dr. Mohammad Hamzah (sepupu Soetan Casajangan) yang ditempatkan pertama di Lampong dan kini ditempatkan di Pematang Siantar. Dr. Abdoel Hakim yang sekelas Dr. Tjipto kini ditempatkan di Tandjoengpoera. Dr. Mohamad Daulaj yang lulus tahun 1905 ditempatkan di Medan. Radjamin Nasoetion sendiri yang menjadi bagian dari Docter Djawa VC yang melawat ke Medan adalah mahasiswa Docter Djawa School/STOVIA tahun keempat. Boleh jadi networking seperti itu yang menyebabkan mengapa Tapanoeli VC yang menjadi sahabat tanding Docter Djawa VC [Kelak, Radjamin Nasoetion kembali ke Medan, tidak sebagai dokter, tetapi pejabat bea dan cukai pribumi pertama di Pelabuhan Belawan. Selama di Medan, Radjamin aktif membina sepakbola pribumi dan mendirikan Deli Voetbal Bond, setelah dari Medan Radjamin berpindah-pindah tugas hingga akhirya menetap di Surabaija yang di masa pensiun menjadi anggota dewan kota dan terakhir menjadi walikota pribumi pertama Kota Surabaija]..

Tempat tinggal kuli di perkebunan
Jika mundur ke belakang lagi, kehadiran berbagai etnik di Medan sesungguhnya karena Medan menjadi pusat pertumbuhan ekonomi yang sangat menjanjikan. Sebagaimana komunitas Tionghoa semakin banyak dengan meleburnya eks kuli-kuli perkebunan, demikian juga kuli-kuli dari Djawa yang selesai masa kontraknya tidak pulang ke Djawa tetapi menetap di Medan, kehadiran mereka kemudian semakin menguat dengan semakin banyaknya migran dari Djawa yang datang ke Medan baik sebagai guru, atau profesional lainnya yang bekerja untuk pemerintah. Hal ini juga yang terjadi selama ini di dalam komunitas Tapanoeli (khususnya yang berasal dari Mandheling en Ankola). Migrasi terus mengalir dari Tapanoeli tiada henti.

Sementara itu, Kota Medan tumbuh dan berkembang. Pembangunan fisik terus berlangsung, yang tidak hanya untuk kebutuhan pemerintah tetapi juga kebutuhan masyarakat. Pada tahun 1907 dibangun Mesjid Raya Medan yang lokasinya tidak jauh dari Istana Sultan Deli. Kemudian pada tahun 1908 gedung balai kota dibangun dan kemudian tahun 1910 dibangun gedung  Javasche Bank. Dengan kata lain, di Kota Medan fasilitas-fasilitas baru seperti gedung-gedung, pusat-pusat bertambah dengan hitungan bulan. Sementara itu, di Padang Sidempuan, Mandheling en Ankola fasilitas tidak banyak yang berubah alias stagnan, tetapi penduduknya dari bulan ke bulan terus mengalir keluar untuk merantau (bekerja atau sekolah) dan hampir semuanya tidak kembali. Keadaan yang kontras ini (Padang Sidempuan vs Medan) tampak seakan tidak ada hubungan, tetapi dibalik itu pada waktunya terkesan bahwa Medan dibangun seakan dipersiapkan untuk diisi oleh anak-anak Mandheling en Ankola khususnya Kota Padang Sidempuan.

Sejauh ini, anak-anak Padang Sidempuan sudah banyak yang menjadi guru dan dokter (dua profesi ini sudah sejak lama surplus di Mandheling en Ankola). Kini ada belasan anak-anak Mandheling en Ankola yang tengah studi di STOVIA. Anak-anak Padang Sidempuan tidak semua berkeinginan menjadi dokter tetapi banyak juga yang tengah bersiap-siap untuk menempuh sekolah hukum di Batavia dan sekolah pertanian di Buitenzorg. Sebagaimana, anak-anak Mandheling en Ankola pionir dalam pendidikan di bidang keguruan dan pendidikan di bidang kedokteran, juga ternyata pionir dalam pendidikan di bidang hukum dan pendidikan di bidang pertanian.


Sorip Tagor lahir di Padang Sidempuan, 21 Mei 1888, memulai pendidikan dasar berbahasa Belanda (ELS) di Padang Sidempuan. Setelah lulus melanjutkan ke HBS di Batavia. Selanjutnya masuk Sekolah Dokter Hewan (Inlandschen Veeartsen School) di Bogor 1907. Sekolah Dokter Hewan Bogor ini dibuka tahun 1907. Sebelum lulus, Sorip Tagor diangkat sebagai asisten dosen. Pada tahun 1912 Sorip Tagor dinyatakan lulus dan bergelar Dokter Hewan. Sorip Tagor (ompung dari Inez dan Risty Tagor) ini adalah alumni pertama Sekolah Dokter Hewan di Bogor. Sorip Tagor tidak langsung bekerja, tetapi melanjutkan studi kedokteran hewan ke Belanda. Sementara itu, pada tahun 1910, Alimoesa Harahap mengikuti jejak Sorip Harahap hingga ke Sekolah Dokter Hewan di Bogor. Alimoesa, kelahiran Padang Sidempuan lulus tahun 1914.

Alimoesa Harahap justru langsung berkarir sebagai pejabat kesehatan di Pematang Siantar dan pada tahun 1922 menjadi anggota dewan kota (gementeeraad) Pematang Siantar. Pada tahun 1927, Alimoesa Harahap terpilih menjadi anggota dewan di pusat (Volksraad). Alimoesa Harahap adalah anggota Volksraad pertama dari dapil Sumatra Utara (Tapanoeli en Atjeh).

Siswa-siswa lainnya pada fase awal ini (1910-1930) yang menyusul ke Sekolah Dokter Hewan di Bogor yang berasal dari afdeling Padang Sidempoean, antara lain: Abu Bakar Siregar, Alibasa Harahap, Pinajoengan, Anwar Nasoetion, Hari Rajo Pane dan lainnya. Anwar Nasoetion adalah ayah dari Prof. Andi Hakim Nasoetion (Rektor IPB 1978-1987).

Dua tahun setelah SoripTagor lulus Sekolah Dokter Hewan (Veeartsen School) Bogor (1912), satu lagi anak Afd. Padang Sidempuan lulus di Bogor (1914). Namun bukan sekolah dokter, tetapi sekolah pertanian (landbouwschool). Namanya, Abdoel Azis gelar Soetan Kenaikan. Sebagaimana, Sorip Tagor, alumni pertama sekolah dokter hewan Bogor, Abdul Azis Nasution juga adalah alumni pertama Sekolah Menengah Pertanian (Middelbare Landbouwschool) Bogor. Dengan demikian, Sorip Tagor (Harahap) dan Abdul Azis (Nasution) adalah anak-anak Padang Sidempuan, pionir sekolah tinggi kedokteran hewan dan sekolah menengah pertanian di Indonesia. Anak-anak Padang Sidempuan yang mengikuti jejak Abdoel Azis antara lain, Ronggur Lubis, Djohan Nasution, Humala Harahap gelar Soetan Diangkola dan Basjaroedin Nasoetion. Djohan Nasoetion adalah ayah dari Prof. Lutfi Ibrahim Nasoetion (anak Medan, guru besar ilmu tanah IPB, mantan Kepala BPN).

Middelbare Landbouwschool yang disingkat MLS adalah sekolah pertanian pada level tertinggi waktu itu. Dalam perkembangannya, tahun 1940 MLS ini dengan Veeartsen School dilebur menjadi Landbouw Hogeschool (Sekolah Tinggi Pertanian). Sejak 31 Oktober 1941 Sekolah Tinggi Pertanian ini dikenal sebagai Landbowkundige Faculteit sebagai salah satu cabang (fakultas) dari Universiteit van Indonesia. Selanjutnya, sejak 1950 berubah nama menjadi Fakultas Pertanian, Universitas Indonesia yang kemudian pada 1 September 1963 fakultas tersebut dibentuk menjadi universitas yang dikenal sekarang Institut Pertanian Bogor (IPB).

Selain STOVIA, Veeartsen School, Middelbare Landbouwschool, sekolah perdagangan, sekolah bea dan cukai, sekolah apoteker, sekolah notariat dan masih ada satu lagi yang menjadi tujuan sekolah anak-anak Padang Sidempuan di Batavia yakni: Rechtsschool (Sekolah Hukum). Salah satu anak Padang Sidempuan yang lulus dari sekolah ini adalah bernama Alinoedin Siregar yang kemudian ditempatkan pertamakali di Medan (Landraad). Setelah beberapa tahun, karena dianggap cerdas, direkomendasikan untuk melanjutkan pendidikan tinggi ke Belanda. Alinoedin Siregar adalah termasuk pionir pribumi studi hukum ke Belanda. Setelah lulus sarjana hukum (Mr), Alinoedin Sirega langsung mengikuti studi yang lebih tinggi (tingkat doktoral). Pada tahun 1925, Alinoedin Siregar meraih gelar doktor (PhD) di Universiteit Leiden dengan desertasi berjudul ‘Het grondenrecht in de Bataklanden: Tapanoeli, Simeloengoen en het Karoland’. Alinoedin Siregar adalah ahli hukum pertama orang Batak, satu dari dua di Sumatra dan satu dari delapan di Nederlandsch Indie. Alinoedin Siregar gelar Radja Enda Boemi adalah pemilik gelar doktor hukum yang kedua di Nederlansch Indie.

Rechtshoogeschool (Sekolah Tinggi Hukum) sendiri baru didirikan di Batavia tanggal 28 Oktober 1924. Anak-anak Mandheling en Ankola yang menyelesaikan studi di sekolah tinggi hukum Batavia ini antara lain: Mr. SM Amin (Nasoetion), Mr. Loeat Siregar, Mr. Amir Sjarifoedin dan lainnya. Kelak, SM Amin menjadi Gubernur Sumatra Utara yang pertama, Mr. Loeat Siregar menjadi Walikota Medan pertama, dan Mr. Amir Sjaraifoedin Harahap, anak Medan yang menjadi Perdana Menteri RI yang ketiga.

Sebagian dari mereka ini pada nantinya akan mengisi pembangunan di Sumatra’s Oostkust selama era Belanda dan Provinsi Sumatra Utara (Noord Sumatra) pasca kemerdekaan Repulik Indonesia. Sedangkan sebagian yang lain akan mengisi pembangunan di provinsi lainnya (pembangunan nasional). Jumlahnya tidak sedikit tetapi sangat banyak.


Bersambung:


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe.

Tidak ada komentar: