Jumat, Mei 14, 2021

Sejarah Peradaban Kuno (10): Aksara Batak, Tulisan Kuno Mula di Angkola Mandailing; Penyebaran Aksara Batak hingga Filipina

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Peradaban Kuno di blog ini Klik Disini 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Padang Sidempuan di blog ini Klik Disini

Penduduk Batak telah mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang cepa di pedalaman. Besar dugaan karena jauhnya gangguan dari lalu lintas pelayaran di pantai dan juga karena lingkungan alam yang kaya sumberdaya. Dalam konteks zaman kuno (awal era Hindoe-Boedha), pada masa ini kita harus melihatnya bahwa pada saat pertumbuhan penduduk pintu depan pedalaman Batak adalah dari barat (India) dan pintu belakang adalah timur. Namun kemudian bergeser saat terjadi perkembangan yang pesat pintu depan di timur (menghadap selat Malaka). Pergeseran ini terjadi karena lalu lintas navigasi pelayaran yang semakin intens di selat Malaka (terutama dari dan ke Jawa dan Tiongkok). Dalam konteks pintu depan yang baru inilah kita dapat memperhatikan sejarah aksara Batak.

Dalam perkembangannya aksara menyertai bahasa. Tanda-tanda bahasa dapat dipelajari dalam aksara, sebaliknya penyebaran aksara dapat diperhatikan dalam bahasa. Awal aksara diduga di seputar laut Mediterania yang ke arah utara (Eropa) melahirkan aksara Latin dan ke arah timur melahirkan ragam aksara (Arab, India dan Tiomgkok). Garis perkembangan aksara di India menyebar ke Hindia Timur (nusantara) terutama di Sumatra dan Jawa (aksara Palawa, bahasa Sanskerta). Introduksi aksara di Jawa dan di Sumatra terkesan berakar sama tetapi berkembang dengan varian yang berbeda (Jawa vs Sumatra). Di Sumatra, dengan bahasa-bahasa yang berbeda, perkembangan aksara juga mengalami perkembangan lebih lanjut dalam varian-variannya. Antara kelompok aksara Sumatra di utara dan selatan yang awalnya bersifat continue, pada masa ini seakan terpotong di tengah (Miangkabau). Kelompok aksara di utara mirip satu sama lain, yang diduga kuat bermula di selatan (Angkola Mandailing) hingga ke Simalungun terus ke Gajo. Seperti pada artikel sebelumnya (bahasa), penyebaran aksara ini juga mengikuti pola yang sama dengan penyebaran bahasa.

Sejarah aksara Batak tentulah terbilang baru dalam peta aksara dunia. Catatan keberadaan aksara Batak, paling tua, paling tidak ditemukan pada prasasti di candi Sitopayan dan prasasti Batugana (Padan Lawas),pada saat jaya-jayanya Kerajaan Aru. Adanya hubungan yang era antara Kerajaan Aru (Padang Lawas) dengan Jawa (era Singhasari) diduga telah terjadi interaksi aksara Batak dan aksara Jawa yang menyebabkan lahirnya aksara Batak (Sumatra) di satu sisi dan aksara Jawa (Singhasari) di sisi lain. Lantas bagaimana aksara Batak menyebar? Sebarannya tidak hanya di Sumatra tetapi diduga kuat hingga ke Sulawesi dan Filipina. Bagaimana ceritanya? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Aksara Batak, Tulisan Batak Kuno Bermula di Angkola Mandailing

Aksara Batak adalah aksara yang berbeda dengan yang digunakan di wilayah Melayu. Sebelum introduksi aksara Latin, di wilayah Melayu di Riau, Minangkabau dan Atjeh aksara yang luas digunakan adalah aksara Jawi (Arab gundul). Meski di wilayah Angkola Mandailing sudah ada pengaruh Islam, aksara untuk keperluan komunikasi yang digunakan adalah aksara Batak. Aksara Arab dalam kitab suci Islam (Quran) hanya digunakan untuk pelajaran agama (pengajian). Dalam dunia pendidikan, selain aksara Latin juga digunakan aksara Batak (sekolah guru Willem Iskander di Tanobato, Mandailing 1860an).

Keberadaan aksara Batak mulai dilaporkan oleh William Marsden (1781). Pemahaman terhadap aksara Batak ini baru terbuka dengan jelas pada saat HN van der Tuuk melakukan studi tentang bahasa Batak tahun 1850an.

Seberapa tua keberadaan aksara Batak baru muncul pada tahun 1936. Schnitger, seorang kurator benda kepurbakalaan di Palembang, melakukan penggalian di situs-situs candi wilayah Padang Lawas dan Simangambat (1935-1936). Penemuan Schnitger tentang prasasti di situs candi Sitopayan (Padang Lawas) mengindikasikan sudah ada aksara Batak sejak Kerajaan Aru (yang sangat berjaya pada abad ke-13). Uli Kozok (2009) menyimpulkan bahwa aksara Batak menyebar dari Angkola Mandailing ke wilayah di utara seperti Simalungun dan Toba hingga Atjeh. Kesimpulan Uli Kozok memperkuat pendapat van der Tuuk (1855).

Seperti van der Tuuk, Uli Kozok melakukan analisis penyebaran aksara Batak ini berdasarkan varian-varian penulisan yang terdapat pada aksara Batak yang digunakan di wilayah Angkola Mandailing dengan di Toba, Simalungun, Karo dan Pakpak serta Alas. Uli Kozok juga berpendapat bahwa aksara Batak memiliki kemiripan di wilayah bagian selatan Sumatra di Kerintji (Jambi), Bengkoeloe dan Lampung. Oleh karena aspek yang dianalisis (terbatas pada aksaranya), Uli Kozok sempat menyunggung ada yang hilang aksara asli di Minangkabau, tetapi tidak menjelaskannya. Persoalan ini mungkin tidak penting bagi Uli Kozok, tetapi bagaimana arah penyebaran Aksara Batak di wilayah utara (dari Angkola Mandailing ke Toba dan Simalung) sesungguhnya menjadi faktor kunci. Hal itulah mengapa Uli Kozok sedikit agak bimbang mana yang duluan apakah di Simalungun atau Toba.

Satu hal yang diabaikan oleh Uli Kozok dalam analisis penyebaran aksara Batak dari Angkola Mandailing ke Simalungun tidak mengaitkan aspek aksara (dan bahasa) dengan keberadaan awal aksara Batak di (candi) Padang Lawas (Angkola Mandailing) dan pengaruh Kerajaan Aru di Padang Lawas pada wilayah lainnya yang sangat luas hingga ke Atjeh (lihat artikel sebelumnya).

Seorang Portugis, Mendes Pinto yang pernah berkunjung ke Kerajaan Aru, Batak Kingdom tahun 1537 menyatakan bahwa tentara kerajaan Aru berjumlah 15,000 orang yang mana sebanyak 7.000 didatangkan dari Indragiri, Djambi, Brunai dan Luzon. Ini suatu indikasi bahwa pengaruh Kerajaan Aru tidak hanya dibagian utara Sumatra tetapi juga lintas lautan (Borneo dan Filipina). Mendes Pinto juga menyatakan bahwa Kerajaan Aru saat itu (1537) sedang berselisih dengan Kerajaan Atjeh, karena dua anaknya pangeran di Nagur (kini Simalungun) dan pengeran di Langau (kini Karo) terbunuh dalam bertahan ketika Kerajaan Atjeh melakukan invasi ke wilayah pedalaman Batak di sisi sebelah utara yang berbatasan dengan Atjeh. Ini mengindikasikan bahwa pengaruh Kerajaan Aru di Simalungu dan Karo begitu kuat. Sebelum terbentuk kerajaan Atjeh (Islam), pengaruh Kerajaan Aru sampai ke Atjeh (Gajo). Kerajaan Atjeh sendiri berawal di Kerajaan Hindoe di Lamuri yang relokasi ke wilayah Gajo (Banda Atjeh yang sekarang). Kerajaan Hindoe Lainnya di barat (Daya) dan di timur (Pasai) kemudian ditaklukkan Kerajaan Atjeh sebelum melakukan invasi lebih lanjut ke selatan (Lingau dan Nagur). Sementara di sisi luar Kerajaan Aru, di pantai timur di bawah pengaruh Kerajaan Johor (Riau) dan di pantai barat di bawah pengaruh Kerajaan Minangkaau. Dalam posisi yang terus semakin terkurung di pedalaman, seiring dengan perkembangan kerajaan-kerajaan Melayu di sisi pantai (Atjeh, Minangkabau dan Johor), pengaruh Kerajaan Aru lambat laun semakin menurun. Namun eksistensi Kerajaan Aru yang begitu panjang dan sangat berjaya pada abad ke-13 hingga abad ke-14 sudah barang tentu pengaruh itu menyisakan aspek-aspek religi, bahasa, aksara dan seni di Simalungun, Toba, Karo dan Pakpak, serta Alas dan Gajo. Peta penyebaran Aksara Batak (versi Uli Kozok, 2009)

Adanya pengaruh Kerajaan Aru yang kuat pada masa lampau di wilayah Simalungun menjadi faktor penting mengapa arah penyebaran aksara Batak bergerak dari Simalungun ke barat (Toba) dan ke utara (Karo dan Pakpak) dan lebih ke utara lagi di Alas (dan Gajo).

Pada masa-masa kejayaan Kerajaan Aru, pada abad ke-13 ada hubungan yang akrab dengan kerajaan di Jawa (Singhasari). Raja terkenal, raja Singhasari terakhir pada abad ke-13 Kertanegara adalah pendukung fanatik agama Kerajaan Aru (sekte Bhairawa). Pada abad inilah diduga adanya pertukaran pemahaman, tidak hanya arsitektur tetapi juga aksara antara Singhasari dan Aru. Hal itulah mengapa ada terminologi (diakritik) yang sama ‘talinga’ antara Angkola Mandailing dan Jawa yang tidak dijelaskan oleh Uli Kozok. Terminologi ‘anak ni surat’(diakritik) ‘talinga’ ini di Simalungun dikenal sebagai ‘hatalingan’, dan di Toba sebagai ‘hatadingan’. Terminologi lainnya adalah amisara di Angkola Mandailing sementara di Simalungun dan di Toba dikenal sebagai ‘haminsaran’ (amisara sama dengan di India. Penjelasan penyebaran aksara Batak ini oleh Uli Kozok memperkuat keterangan Mendes Pinto (1537) bahwa Kerajaan Aru memiliki pengaruh nyata di Simalungu dan Karo dan sebaliknya keterangan pengaruh Kerajaan Aro jauh ke wilayah utara di Simalungun dan Karo memperkuat kesimpulan Uli Kozok tentang penyebaran aksara Batak.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Penyebaran Aksara Batak: Tidak hanya Berkembang di Toba, juga Menyebar ke Filipina dan Sulawesi

Aksara Batak tidak hanya menyebar dari Angkola Mandailing, tetapi juga menyebar jauh hingga Filipina dan Sulawesi. Bagaimana bisa? Pertanyaan lainnya adalah mengapa aksara Minangkabau tidak ada? Bagaimana bisa? Pertanyaan terakhir dengan mengutip kesimpulan Uli Kozok mengapa aksara Batak mirip aksara Rejang (Bengkoeloe) dan Kerinci (Jambi)? Pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak dapat dijawab jika hanya memperhatikan aspek linguistik dan aksara. Dalam hal ini aspek lain harus disertakan seperti aspek geopolitik zaman kuno dan aspek ekonomi-perdagangan dan aspek religi.

Oleh karena aksara Batak sudah terdeteksi pada abad ke-13 di candi-candi di Padang Lawas (Angkola Mandailing), maka positioning Kerajaan Aru (Padang Lawas) dalam geopolitik sejaman harus dihubungkan dengan hubungan antara Kerajaan Aru di utara, dengan kerajaan Sriwijaya di selatan dan Kerajaan Adityawarman (Minangkabau) di tengah. Aspek ini tentu saja tidak terpikirkan oleh van der Tuuk maupun Uli Kozok. Dalam aspek geopolitik ini juga seharusnya ditambahkan pengaruh orang-orang Moor pada era selanjutnya di Kerajaan Aru yang memperkuat pengaruh Kerajaan Aru di Sumatra dan semakin meluas ke Borneo, Filipina dan Sulawesi dalam hubungan perdagangan. Orang Moor adalah pedagang-pedagang beragama Islam dari Afrika Utara. Lalu aspek geopolitik lainnya adalah pengaruh pedagang-pedagang Islam yang jauh memasuki pedalaman Sumatra di bagian tengah (Minangkabau). Dengan demikian dengan merujuk pada temua Uli Kozok dapat dijelaskan mengapa aksara Kerinci mirip dengan aksara Batak, dan seterusnya mengapa diantara aksara-aksara yang ada di Sumatra hanya aksara Batak yang mendekati aksara di Filipina dan Sulawesi.

Aksara Minangkabau bukan tidak ada, tetapi pernah ada lalu menghilang tanpa bekas. Untuk menjawab pertanyaan ketiadaan aksara Minangkabau gampang-gampang sulit. Pada era kejayaan Kerajaan Aru terjadi penyerangan Kerajaan Aru ke suatu kerajaan di hulu sungai Kampar (kini situsnya di candi Muara Takus) melalui Rokan. Pada saat itu sudah berdiri suatu kerajaan (pendahulu Adityawarman) Mauli di hulu sungai Batanghari (di Darmasraya yang sekarang) yang terhubung dengan Kerajaan Sriwijaya di Palembang. Pendahulu Adityawarman ini memiliki agama yang sama dengan Kerajaan Aru (sekte Bahirawa) yang didukung oleh Kerajaan Singhasari. Dukungan itu dijelaskan oleh penemuan patung hadiah Kertanegara (Singhasari) di hulu sungai Batanghari (prasasti Padang Rotjo). Pada masa inilah aksara Kerintji dan aksara Angkola Mandailing terpisahkan (pada era invasi Majapahit ke Sumatra).

Kerajaan di Muara Takus ini diserang Kerajaan Aru dari sisi utara dan dari sisi selatan dibantu oleh kerajaan Mauli (pendahulu Adityawarman) di hulu sungai Batanghari. Dengan demikian terhubung antara Kerajaan Aru dan Kerajaan Mauli. Sementara itu Kerajaan Sriwijaya sudah mengalami kemunduran. Dalam fase ini diduga kuat eksis aksara di bagian tengah Sumatra yang menghuungkan aksara di selatan (Kerintji) dan aksara di utara (Padang Lawas). Pada era Adityawarman (1345) ibu kota kerajaan dipindahkan dari Darmasraya yang sekarang ke Suroaso (Tanah Datar yang sekarang). Pada masa inilah pengaruh Majapahit di Jawa (suksesi Singhasari)) sangat kuat di bagian tengah Sumatra. Pengaruh Melayu (Darmasraya) di pedalaman (Suroaso) telah mendistorsi aksara asli, diduga aksara Jawa berkembang yang menyebabkan pengguna aksara asli terdesak ke utara di Padang Lawas (Kerajaan Aru) dan ke selatan di Kerintji (Sriwijaya). Hal itulah mengapa aksara Ketintji dan aksara Batak sangat mirip. Penduduk asli di bagian tengah Sumatra (kini Minangkabau) telah terjadi Melayunisasi tidak hanya aksara Sumatra hilang di wilayah tengah ini, tetapi juga bahasa asli yang ada juga tereliminasi bahasa Melayu menjadi bahasa Minangkabau yang sekarang (Melayunya lebih dominan tetapi bahasa (pedalaman) Sumatranya juga masih dapat diidentifikasi seperti awalan ‘ma’. Dalam prasasti-prasasti pada era Adityawarman terkesan aksara yang digunakan tidak mirip dengan aksara lainnya di pedalaman Sumatra. Masuknya agama Islam di wilayah Melayu (dari awah timur) menyebabkan aksara asli (varian dari Palawa) menghilang digantikan aksara Jawi (Arab gundul). Pengguna aksara asli hanya bertahan di Kerintji dan di Angkola Mandailing, Diantara dua wilayah budaya tersebut, aksara asli hilang lenyap tanpa bekas.

Melayunisasi (juga masuknya pengaruh Islam lebih ke dalam Sumatra) tidak hanya terjadi di wilayah hulu sungai Batanghari, juga di wilayah hulu sungai Kampar dan hulu sungai Rokan, Pengaruh Melayu (Islam) ini semakin intens pada saat Kerajaan Johor mulai berkembang (suksesi kerajaan Malaka).

Semakin menurunnya reputasi Kerajaan Aru, terutama pada era Portugis, penduduk Angkola Mandailing yang awalnya turun gunung (hingga Padang Lawas ke arah pantai timur, para pengguna aksara Batak kembali terdesak ke pedalaman (yang berpusat di wilayah Angkola dan Mandailing). Hal itu juga yang terjadi di Simalungun dan Karo serta di Kerintji, Rejang dan Lampong.

Sementara itu, bagaimana aksara Batak bisa menyebar jauh hingga ke Filipina dan Sulawesi. Kita harus kembali ke masa-masa kejayaan Kerajaan Aru yang mana awalnya pengaruh aksara Batak ini menyebar hingga jauh ke utara (bahkan ke Gajo). Pasca invasi Majapahit ke Sumatra, Kerajaan Aru bangkit kembali seiring dengan masuknya pedagang-pedagang Moor ke Kerajaan Aru. Kerajaan di bagian tengah Sumatra (Minangkabau) yang juga terdampak invasi Majapahit kembali bangkit. Pada saat kehadiran Portugis (menaklukkan Malaka), hubungan Kerajaan Aru dan Kerajaan Minangkabau terbilang harmonis (lihat Mendes Pinto, 1537).

Sebelum kehadiran Portugis di Semenanjung Malaka (sebelum tahun 1511), Kerajaan Malaka pernah diserang oleh Kerajaan Aru. Pada saat pra-Portugis inilah Kerajaan Aru yang diperkuat oleh orang-orang Moor memiliki hubungan yang luas dengan wilayah lain, tidak hanya dengan Minangkabau (di pedalaman) tetapi juga dengan kerajaan-kerajaan di pantai seperti Indragiri dan Jambi di pulau Sumatra (saat ini kerajaan Sriwijaya sudah sangat mundur) dan kerajaan-kerajaan di Borneo (Brunai), Luzon (Manila). Dalam hal ini Kerajaan Aru memiliki kekuatan, orang-orang Moor sangat menguasai navigasi pelayaran perdagangan. Kombinasi inilah yang menyebabkan pengaruh orang-orang Moor di pulau-pulau Filipina, Sulawesi dan Maluku sangat kuat yang didalamnya turut berperan penduduk yang berasal dari Sumatra (Kerajaan Aru).

Aksara Jawa dan aksara Sumatra sesungguhnya sudah berbeda jauh, tetapi antara satu aksara dengan aksara lainnya di Sumatra mirip. Orang Jawa pada kerajaan Singhasari besar kemungkinan tidak bisa membaca aksara Sumatra (demikian sebaliknya). Akan tetapi antara penduduk antara aksara yang satu dengan aksara yang lain di Sumatra (mungkin sulit saling mengerti aksara lain) tetapi mereka mudah mengenali persamaannya. Hal itu juga yang terjadi antara aksara-aksara di Filipina dan Sulawesi dengan aksara Jawa berlainan di satu pihak dan dengan aksara Sumatra di pihak lain memiliki kemiripan.

Aksara yang ditemukan pada prasasti di candi Sitopayan (Padang Lawas) yang diduga ditulis pada Kerajaan Aru (abad ke-13) jika dibandingkan aksara Jawa era Singhasari (abad ke-13) jelas berbeda. Dalam hal ini dapat dikatakan, meski merujuk pada induk aksara (Palawa) tetapi desain-desain hurufnya berbeda. Ini dapat diartikan bahwa tidak ada kaitan antara aksara di Jawa dan aksara di Sumatra. Dengan kata lain aksara di Sumatra diturunkan dari aksara Jawa tidak benar. Boleh jadi ada beberapa hal yang diadopsi dari aksara di Jawa, tetapi juga bisa sebaliknya seperti yang disebutkan Uli Kozok tentang diakritik.

Lantas mengapa aksara di Sumatra memiliki kemiripan dengan aksara di Filipina dan Sulawesi. Satu yang pasti bahwa aksara di Filipina dan di Sulawesi tidak diturunkan dari aksara di Jawa, melainkan dari aksara di Sumatra. Satu hal yang menjelaskan ini ada arus orang (penduduk) dari Sumatra ke Filipina dan Sulawesi. Arus orang ini diduga kuat pada era Kerajaan Aru yang sudah sejak lama berkolaborasi dengan pedagang-pedagang Moor. Kehadiran orang Sumatra dan orang Moor di Filipina diduga kuat jauh sebelum kedatangan orang-orang Spanyol (1524). Pada tahun 1524 juga diketahui pelaut-pelaut Portugis (dari Malaka) untuk pertama kali ke Broenai. Seperti yang disebut Mendes Pinto (1537) sudah ada hubungan yang erat (yang telah berlangsung lama) antara Kerajaan Aru dengan Broenai dan Luzon. Hubungan antara Kerajaan Aru dengan Filipina dan Sulawesi mulai terputus seiring dengan kemunduran Kerajaan Aru pasca invasi Kerajaan Atjeh ke wilayah-wilayah pedalaman di wilayah Simalungun dan Karo yang sekarang.

Satu hal yang menjadi pertanyaan adalah aksara Batak yang ditemukan pada prasasti candi Sitopayan (abad ke-13) sudah berbeda dengan aksara Batak yang sekarang (aksara-aksara yang sangat mirip di berbagai wilayah Batak seperti Simalungun dan Karo. Lantas pertanyaannya sejak kapan aksara Batak yang sekarang eksis (tidak berubah). Besar dugaan itu terjadi pada saat Kerajaan Aru mimiliki hubungan (dagang) dengan Tiongkok terutama pada awal abad ke-15 (pada era Cheng Ho). Seorang peneliti linguistik Belanda mengidentifikasi aksara Batak memiliki desain yang sangat khas yang berbeda dengan desain aksara yang ad di Jawa maupun di Sumatra. Yang mengagetkan peneliti Belanda tersebut terhadap aksara Batak adalah penulisan (pembacaannya) tidak hanya dari kiri ke kanan tetapi juga dari atas ke bawah. Peneliti tersebut meyakini pembuatan desain aksara Batak tersebut ada maksudnya, yang menurut pendapatnya aga mudah dibaca oleh orang India (barat) dan juga mudah dibaca oleh orang Tiongkok (timur). Aksara Batak yang digambarkan tersebut, persis dengan desain aksara Batak yang sekarang (dapat ditulis baca dengan mudah baik dari kiri ke kanan maupun dari atas ke bawah). Bukankah tulisan Cina (Tiongkok) ditulis dan dibaca dari atas ke bawah? Jadi dalam hal ini, introduksi aksara Sumatra (katakanlah aksara Batak) ke Filipina dan Sulawesi terjadi sebelum era Cheng Ho (Islam) dan sesudah era Singhasari (Boedha). Penemuan makam-makam tua di Padang Lawas Utara  (prasasti Lobu Tua di daerah aliran sungai Sirumambe) mengindikasikan aksara Batak seperti yang sekarang, tetapi ornamen yang menyertainya masih tercampur antara pengaruh Boedha (barat) dan pengaruh Islam (timur). Pengaruh Boedha terlihat dari adanya gambar binang dan vulva, sedangkan pengaruh Islam diidentifikasi dari tata letak makam yang arahnya utara-selatan. Adanya pendapat para peneliti yang sekarang bahwa desain aksara Batak yang sekarang dikatakan baru berkembang pada abad ke-17 tidak tepat, karena faktanya desain aksara Batak yang sekarang (dengan merujuk pada prasasti Lobu Tua) sudah ada pada era Cheng Ho (abad ke-15). Pada abad ke-16 pengaruh Kerajaan Aru ke Filipina dan Sulawesi tidak intens lagi karena sudah mulau menurun, tetapi penduduk Batak yang bermigrasi bersama orang-orang Moor (berkoloni) di Filipina dan Sulawesi terus menjalin hubungan yang erat hingga ke Maluku dan Pasifik.

Keberadaan orang-orang Kerajaan Aru di Sulawesi tidak hanya tersisa dalam aksara (aksara lama Batak) tetapi juga dalam berbagai aspek seperti gelar dan nama geografis serta sosiobudaya. Misalnya gelar Aru pada penduduk Sulawesi (Toraja-Bugis) dan nama tempat Somba Opu atau Somba Ompu. Kota Somba Ompu adalah kota Bugis yang kemudian menjadi kota Makassar. Meski aksara Makassar dipengaruhi aksara Jawa, tetapi nama kota bukan Somba Mpu (Jawa) ini menunjukkan bahwa aksara Bugis (orang Bugis) lebih dulu eksis daripada aksara Makassar (orang Makassar). Aksara Makassar kerap disebut aksara Bugis-Makassar. Bukankah ompu di Sulawesi sama dengan di Kerajaan Aru (Angkola Mandailing) yang artinya kakek atau nenek moyang? Somba Ompu diartikan Sembah Nenek Moyang (Leluhur) yang cenderung menjadi karakteristik agama Batak (pasca Boedha).

Keberadaan orang-orang Kerajaan Aru, seperti disebut di atas, tidak hanya di Sulawesi tetapi juga mulai dari Filipina hingga Selandia Baru via Maluku dan Selat Torres (antara Papua dan Australia). Kolaborasi anatar orang-orang Kerajaan Aru dengan orang Moor tetap berlangsung. Hal itulah mengapa di Filipina ada etnik yang mengaku etnik Batak yang berasal dari Sumatra (di pulau Palalawan). Teluk Manila (di pulau Luzon) awalnyanya kawasan pemukiman orang-orang Kerajaan Aru, karena itulah ditemukan nama-nama tempat yang sama di Teluk Manila dengan daerah Angkola Mandailing seperti Bagac, Morong dan Mariveles di provinsi Bataan (nama merujuk pada nama Batak). Masih di pulau Luzon juga ada nama provinsi Batanes (merujuk pada nama Batak). Orang-orang Moor banyak bermukim di pulau Mindanao dan sekitar. Hal itulah mengapa bangsa di kawasan itu disebut Bangsa Moro (merujuk pada nama Moor). Tentu saja keberadaan orang Kerajaan Aru dan Moor di Maluku ada seperti Batachini del Moro (nama awal pulau Halmahera). Di pulau Batachini del Moro ini juga terdapat nama kota Daruba (nama lain dari Kerajaan Aru: de Aru, d’Aru). Pulau di dekat Batachini del Moro disebut pulau Morotai. Tentu saja juga ada nama kota di sebelah barat Halmahera di pulau Sulawesi yang kini dikenal sebagai Morowali. Ke arah laut selatan juga ada nama pulau Aru (di laut Arafuru) dan nama-nama tempat di selat Torres seperti Moreshead, Daruba dan (Fort) Moresby. Dari selat Torres inilah orang-orang Kerajaan Aru menemukan jalan ke Pasifik hingga Selandia Baru di Matua (Maori). Dalam bahasa Maori ditemukan banyak kosa kata esensial dalam bahasa Batak seperti ‘aha’=apa; ‘ia’-dia, ‘ate’(hati), ‘mate’ (mati), ‘au’ (saya) dan ‘matua’ (ayah). Secara keseluruhan, satu hal yang juga perlu dicatat penggunaan awalan ‘ma’ untuk nama-nama geografis mulai dari Filipina, Sulawesi, Maluku, Selat Torres hingga Selandia Baru (Maori) diduga karena faktor orang-orang Kerajaan Aru dan orang-orang Moor..

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar: