Rabu, Mei 05, 2021

Sejarah Peradaban Kuno (1): Asal Mula Penduduk Angkola Mandailing di Tapanuli Selatan; Sudah Ada Sejak Zaman Kuno

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Peradaban Kuno di blog ini Klik Disini

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Padang Sidempuan di blog ini Klik Disini

Sejarah peradaban kuno selalu menarik perhatian, tetapi data sejarah peradaban kuno selalu tetap menjadi kendala. Oleh karena itu penyelidikan sejarah peradaban kuno selalu maju mundur. Tidak hanya di Indonesia, juga di berbagai tempat di muka bumi. Narasi sejarah peradaban kuno tentu saja masih diperlukan, karena sejarah masa kini haruslah ada sejarah yang mendahuluinya. Tidak utuh sejarah suatu peradaban jika hanya didasarkan sejak kehadiran orang Eropa, ketika orang Eropa mencatat dan menyimpannya dengan baik. Data sejarah sebelum itu hanya berdasarkan situs-situs kuno, sisa peradaban penduduk pada era Hindoe-Boedha, seperti candi, keramik dan sebagainya.

Pada masa ini salah satu etnik yang diidentifikasi di (pulau) Sumatra adalah etnik Batak, yang terdiri dari sub-etnik Angkola, Mandailing, Toba, Simalungun, Karo, Pakpak dan Dairi. Etnik lainnya di (pulau) Sumatra antara lain Melayu, Minangkabau, Kerinci, Komering, Lampung, Gayo, Palembang dan Aceh. Identifikasi ini sudah sejak lampau dikelompokkan para peneliti (Belanda) atas dasar geografi, etnologi dan sejarah perkembangannya tidak hanya etnik di Sumatra, tetapi juga di Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua. Etnik-etnik itu semua berada di Hindia Timur (termasuk Semenanjung Malaya dan pulau-pulau di Filipina). Namun demikian, semua etnik-etnik di Hindia Timur (Nusantara), asal mula penduduk di zaman kuno kurang mendapat perhatian. Boleh jadi itu karena sulitnya mendapatkan data (catatan tertulis atau benda-benda artefak atau arkeologis). Akan tetapi tabir itu mulai terbuka satu persatu seiring dengan upaya penggalian data yang terus dilakukan oleh berbagai pihak. Metodologi (penggalian) data dan metode analisis juga terus berkembang.

Lantas bagaimana sejarah asal mula penduduk Angkola Mandailing di Tapanuli Selatan? Tentu saja pertanyaan yang sama untuk penduduk di wilayah yang lainnya di Indonesia. Pertanyaan jarang diperhatikan dan analisis yang ada hanya berifat fragmentis. Pertanyaan itu jelas tetap menarik dan boleh dikatakan pertanyaan yang memerlukan tantangan baru dalam analisis sejarah zaman kuno Indonesia. Namun seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Zaman Kuno Peradaban Awal

Kita tidak sedang membicarakan manusia purba di Nusantara (baca: Indonesia), apakah berasal dari barat atau timur. Yang jelas eksistensi manusia purba di Indonesia dikaitkan dengan fosil Pithecanthropus Erectus (di daerah aliran sungai Bengawan Solo), Pithecanthropus Soloensis, Homo Wajakensis (Tulungagung) hingga identfikasi manusia baru (Homo Sapiens; homo atau humanus=manusia). Sekali lagi, kita tidak sedang membicarakan evolusi manusia, tetapi perihal tentang migrasi penduduk di zaman kuno.

Migrasi penduduk di zaman kuno mengindikasikan perpindahan penduduk (beberapa orang atau kelompok) dari wilayah padat penduduk ke wilayah sepi atau kosong. Migrasi ini cenderung berasal dari wilayah yang memiliki kebudayaan yang lebih tinggi ke wilayah kebudayaan yang lebih rendah. Dampak migrasi ini menyebabkan terbentuknya peradaban baru di wilayah tujuan (perpindahan peradaban atau peningkatan peradaban pada penduduk asli, setempat).

Dalam konteks migrasi ini kita dapat mengidentfikasi sebaran penduduk di muka bumi (antar benua), termasuk di nusantara (Indonesia). Dalam garis horizontal di sekitar khatulistiwa terdapat garis sebaran penduduk yang memiliki kemiripan ciri fisik antar (ras) penduduk Afrika dan penduduk di Nusantara seperti berkulit warna gelap dan berambut kriting. Seberan penduduk yang disebut penduduk negrito ini tidak ditemukan di utara (benua Asia dan benua Eropa), tetapi dapat ditemukan di selatan (benua Asutralia). Penduduk negrito ini juga ditemukan di (pulau) Sumatra.

Peneliti-peneliti di Hindia Belanda (baca: Indonesia) pernah membicarakan penduduk negrito (penduduk asli). Pada awal era VOC masih ditemukan di beberapa titik penduduk negrito di Jawa, tetapi tidak lagi di Sumatra (kecuali di pulau-pulau Andaman). Masih pada era yang sama ditemukan penduduk negrito di Semenanjung Malaya, Borneo, Nusa Tenggara, Sulawesi dan Maluku serta di pulau-pulau di Filipina. Penduduk asli negrito ini berkulit gelap (yang mendekati warna kulit orang Afrika masa kini). Bagaimana asal mula kehadiran penduduk negrito ini di Nusantara sulit diketahui. Seperti disebut tadi, jumlahnya semakin menyusut. Beberapa penulis, meski berbeda, ada yang memasukkan orang Papua dan Pasifik serta Aborigin sebagai bagian dari penduduk asli (negrito). Penduduk asli Papua kulitnya lebih terang dari penduduk negrito.

Tidak ditemukannya lagi penduduk negrito di Sumatra pada era VOC mengindikasikan bahwa semua penduduk negrito Sumatra (kecuali di Andaman) sudah bercampur sepenuhnya dengan penduduk pendatang yang diduga berasal dari utara (benua Asia sebelah Tenggara). Percampuran itu menghasilkan kulit berwarna coklat (sawo matang). Percampuran yang tidak sepenuhnya terjadi masih ditemukan, selain di Andaman yang berkulit gelap (penduduk asli) dan penduduk pendatang di pulau-pulau sebelah barat Sumatra seperti di Nias dan Mentawai.

Pada fase awal ini (ras kulit coklat) tersebar di seluruh bagian (pulau) Sumatra. Dengan kehadiran pedagang-pedagang asing dari India (kebudayaan yang lebih tinggi), penduduk asli Sumatra semakin terdesak ke pedalaman apakah karena terjadi penyerbaran penduduk (akibat kepadatan) atau karena upaya eksploitasi sumber daya alam ke arah hulu di pedalaman. Pusat kepadatan penduduk di pedalaman kemudian terbentuk di seputar adanya danau-danau pegunungan. Pusat-pusat penduduk di pedalaman Sumatra di sekitar danau antara lain: danau Tangse dan danau Takengon (Aceh), danau Toba, Siais dan Siabu (Sumatra Utara), danau Maninjau dan danau Singkarak serta Danau Diatas-Dibawah (Sumatera Barat), danau Kerinci (Jambi) dan danau Ranau (Lampung). Dua danau yang dianggap hilang (menyusut) adalah danau Tangse di Gayo, Aceh dan danau Siabu di Mandailing, Sumatra Utara. Dalam hal ini dapat kita tambahkan danau Marsabut (di Sipirok) dan danau Laut Tinggal (di Mandaiing-Pasaman).

Pusat-pusat penduduk di pedalaman (pulau) Sumatra, antara lain di seputar danau Toba, danau Siais dan danau Siabu. Semakin intensnya kehadiran pedagang-pedagang asing dari India (era Hindoe-Boedha) di kota-kota (pelabuhan) pantai (barat) Sumatra, menyebabkan pedagang-pedagang tersebut lambat laun beringsut ke pedalaman untuk membentuk koloni baru. Proses akulturasi yang intens inilah yang kemudian menimbulkan peradaban baru (peradaban awal) di wilayah daerah aliran sungai Batang Angkola (Angkola) dan wilayah daerah aliran sungai Batang Gadis (Mandailing)—demikian juga di Toba.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Perkembangan Lebih Lanjut Penduduk Angkola Mandailing

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar: