Sabtu, Mei 08, 2021

Sejarah Peradaban Kuno (4): Kota Pelabuhan Binanga atau Minanga di Sungai Baroemoen; Pelabuhan Laut, Bukan Pelabuhan Sungai

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Peradaban Kuno di blog ini Klik Disini 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Padang Sidempuan di blog ini Klik Disini

Pada artikel sebelum ini telah dideskripsikan Candi Simangambat. Sebelum mendeskripsikan candi Padang Lawas, perlu dideskripsikan terlebih dahulu tentang pelabuhan Angkola Mandailing. Candi Simangambat pada zaman kuno merujuk pada pelabuhan di pantai barat (seperti di Siais atau Sangkoenoer). Dalam perkembangannya, pelabuhan Angkola Mandailing ini bergeser dari barat bergeser ke timur di Binanga. Pelabuhan Binanga tidak hanya simpul perdagangan (baru) dari Mandailing dan Angkola, juga dari Toba (seputar danau Toba). Perkembangan yang sangat pesat inilah kemudian menyebabkan banyaknya candi-candi di sekitar Binanga (percandian Padang Lawas).

Pada masa ini kota Binanga adalah sebuah desa yang menjadi ibu kota kecamatan Barumun Tengah di kabupaten Padang Lawas. Sedangkan ibu kota kabupaten Padang Lawas berada di Sibuhuan (yang juga menjadi ibu kota kecamatan Barumun. Dua kota ini berada di daerah aliran sungai Barumun. Sungai besar ini berhulu di sebelah barat di pegunungan Bukit Barisan dan bermuara di pantai timur Sumatra (selat Malaka) melalui kota Binanga dan kota Sibuhuan. Di kota Binanga bermuara sungai Batang Pane, sungai yang berhulu di sebelah utara di pegunungan Bukit Barisan melalui kota Gunung Tua (ibu kota kabupaten Padang Lawas). Pada masa ini Binanga, Sibuhuan dan Gunung Tua adalah titik GPS terpenting di wilayah Padang Lawas. Gambaran ini juga representasi masa lampau bahkan zaman kuno. Dalam hal ini sungai Barumun dan sungai Batang Pane berada di sisi timur pegunungan Bukit Barisan, sedangkan di sisi barat adalah sungai Batang Angkola dan sungai Batang Gadis yang bertemu di Siabu dan bermuara ke pantai barat Sumatra. Empat daerah aliran sungai inilah yang membentuk wilayah Angkola dan Mandailing.

Lantas bagaimana sejarah asal usul pelabuhan Binanga di sungai Batang Baroemoen? Tentulah pertanyaan ini kurang mendapat perhatian bahkan tidak ada yang peduli. Padahal kota Binanga pada masa lampau adalah pelabuhan besar di Tanah Batak, pelabuhan yang setara dengan pelabuhan Palembang dan pelabuhan Kedah (di Semenanjung). Lantas apa hubungan tiga pelabuhan zaman kuno ini? Tampaknya Binanga pernah menduduki  Sriwijaya Palembang. Bagaimana, bisa? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Pelabuhan Minanga Binanga: Pelabuhan Laut, Bukan Pelabuhan Sungai di Pedalaman

Sejarah zaman kuno, kerap mengejutkan dan bahkan tidak terduga pada masa kini. Semua itu karena kejadiannya sudah berlangsung lama di masa lampau, ratusan atau ribuan tahun. Pada masa ini, meski sangat minim data, tetapi dengan metode pembacaan data modern (seperti teknologi biologi dan kimia, serta satelit plus drone) dimungkinkan dilakukan pendekatan analisis lebih lanjut (analisis retrospetif). Dengan demikian, data yang bersifat teks dan peta yang bersumber dari era VOC dan Hindia Belanda dapat digabungkan untuk tujuan analisis retrospektif tersebut (memprediksi ke masa lampau; hitung mundur).

Epistemologi: Saya bisa jadi dianggap kurang diterima untuk melakukan analisis-analisis zaman kuno di wilayah Angkola dan Mandailing. Dapat dianggap narsis. Okelah, itu satu hal. Namun yang jelas hingga saat ini tidak ada yang melakukan, bahkan tentang di berbagai wilayah lainnya di Indonesia. Hipotesis-hipotesis pada semua artikel pada serian artikel Sejarah Peradaban Kuno ini sudah terbentuk lima hingga tujuh tahun yang lalu. Namun hipoteis-hipotesis itu hanya beberapa yang ditulis lima tahun yang lalu (karena kurangnya data pendukung) sehingga saya harus menunggu begitu lama dengan terlebih dahulu menganalisis sejarah di wilayah lain untuk mendapatkan gambaran dan pemahaan secara kontekstual (wilayah yang lebih luas dan berbagai aspek yang diperhatikan). Kini, setelah menyelesaikan seluruh sejarah wilayah-wilayah di Indonesia (lihat blog Poestaha Depok) termasuk dalam hal ini Pantai Barat Sumatra, Pantai Timur Sumatra, Palembang, Aceh, Riau plus Semenanjung (Malaya), keberanian untuk menulis hipotesis-hipotesis itu semakin kuat. Upaya ini dilakukan yang disatukan dalam judul besar Sejarah Peradaban Kuno. Artikel ini adalah artikel ke-4 dari serial artikel Sejarah Peradaban Kuno yang dimaksud (yang secara khusus dan terbatas di wilayah Angkola Mandailing). Untuk sekadar catatan: Pada era Hindia Belanda, peneliti-peneliti Inggris yang bekerja di Semenanjung, Indochina dan Tiongkok (seperti Samuel Beal) peradaban awal zaman kuno menemukan petunjuk ke arah Palembang (Sriwijaya, muara sungai Musi); sementara analisis-analisis yang saya lakukan di Hindia Timur (Indonesia, Filipina dan Semenanjung) awal peradaban itu menemukan petunjuk ke arah Kerajaan Aru (muara sungai Baroemoen). Hipotesis-hipotesis Schnitger (1935).

Keberadaan kota pelabuhan Binanga diduga kuat muncul seiring dengan perkembangan yang pesat di wilayah timur Sumatra termasuk di (pulau) Jawa dan Tiongkok. Peradaban awal zaman kuno di pantai barat (pulau) Sumatra sudah berlangsung lama. Pergeseran simpul-simpul perdagangan zaman kuno di pantai timur Sumatra sudah sangat jauh berkembang jika dibandingkan situasi dan kondisi di pantai barat Sumatra. Diantara pusat-pusat peradaban awal di pedalaman (pulau) Sumatra di sekitar danau-danau, diduga kuat yang pertama bergeser ke arah pantai timur adalah kawasan danau (Siais dan Siabu) wilayah Angkola Mandailing ke Binanga dan disusul kawasan danau Ranau ke Lahat dan Palembang. Dua pelabuhan ini diduga kuat representasi keberadaan pelabuhan di pantai timur Sumatra di zaman kuno (yang kemudian disusul lagi dari kawasan danau Singkarak dan Kerintji ke Jambi). Relasi Binanga (Aru) dan Palembang (Sriwijaya) dapat diperhatikan pada prasasti Kedukan Bukit, Palembang.

Pada situs tua, prasasti Kedukan Bukit, Palembang, yang bertarih 682 M yang ditulis dalam aksara kuno (Pallawa) dan bahasa Melayu Kuno (Sanskerta) diduga kuat ada indikasi relasi antara Binanga (Kerajaan Aru) dan Palembang (Kerajaan Sriwijaya). Situs kuno Palembang ini sejaman dengan situs kuno di Jawa (Kendal; yang ditemukan baru-baru ini). Situs Palembang ini pertama kali dilaporkan pada tahun 1920 (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 19-11-1920), sedangkan area percandian Padang Lawas pertama kali dilaporkan oleh Hung Huhn (1843). Isi prasasti Boekit Sigoentang (Kedukan Bukit) sebanyak 10 baris. Teks tersebut adalah sebagai berikut: svasti sri sakavastitta 605 ekadasi sukla- paksa vulan vaisakha dapunta hiyam nayik di samvau mangalap siddhayatra di saptami suklapaksa vulan jyestha dapunta hiyam marlapas dari minana tamvan mamava yam vala dua laksa dangan kosa duaratus cara di samvau danan jalan sarivu tluratus sapulu dua vañakña datam di mata jap mukha upam sukhacitta di pañcami suklapaksa vulan... Asadha laghu mudita datam marvuat vanua ... srivijaya jaya siddhayatra subhiksa nityakala! yang diartikan sebagai berikut: ‘Selamat! Tahun Saka telah lewat 605, pada hari ke sebelas paro-terang bulan Waisakha [April] Dapunta Hiyang naik di sampan mengambil siddhayatra. Pada hari ke tujuh paro-terang bulan Jyestha [Mei] Dapunta Hiyang berlepas dari Minanga untuk membawa bala tentara 20.000 dengan perbekalan 200 peti di sampan dengan diiringi sebanyak 1312 orang berjalan kaki datang ke hulu Upang dengan sukacita. Pada 15 hari pertama bulan Asadha [Juni] dengan lega gembira datang membuat benua... srivijaya jaya siddhayatra subhiksa nityakala!

Pada teks prasasti Kedukan Bukit disebutkan nama Minana yang diartikan sebagai Minanga. Dalam daftar nama-nama geografi pada era Hindia Belanda, nama yang paling mirip dengan nama Minana adalah Binanga (tidak ditemukan nama Minanga). Jika posisi GPS Sriwijaya (Palembang) dan Binanga (Aru) ditarik garis, maka relasi dua tempat itu sangat masuk akal.

Dalam teks itu (raja) Dapunta Hiyang mengawali perjalanan awal (sungai) April sebelum memulai pelayaran (perairan pantai) dari Minana (awal Mei). Lalu sebulan kemudian (pertengahan Juni) tiba di tempat tujuan muara sungai (Sriwijaya). Tujuannya adalah untuk meresmikan Sriwijaya. Minana dalam hal ini besar dugaan adalah kota pelabuhan dari Aru (Angkola Mandailing). Seperti disebut di atas, teks yang digunakan Sanskerta (pra Melayu Kuno, Jawa Kuno) terdapat kosa kata yang khas seperti awalan ‘mar’ pada ‘marlapas’ dan bilangan ‘sapulu dua’ yang diartikan belasan (12) secara histo-linguistik hanya ditemukan pada Bahasa Batak (hingga ini hari). Dengan demikian, tiga kata dalam teks prasasti Kedukan Bukit (Minana, marlapas dan sapulu dua) terhubung dengan nama tempat di daerah aliran sungai Baroemoen. Catatan tambahan: Aroe dalam bahasa India Selatan (Ceylon) adalah air, jadi Kerajaan Aroe adalah Kerajaan Sungai. Nama sungai B-aroe-moen diduga merujuk pada arti sungai (aru). Dimana posisi GPS kerajaan Aru ini pada saat itu kira-kira berada di Batang Onang (onang atau inang=ibu).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Kejayaan Binanga: Pertumbuhan Candi Padang Lawas yang Pesat, Merosotnya Palembang (Sriwijaya)

Dalam suatu forum akademik di London (Maret 1938), keberadaan kerajaan Pane (Panai) menurut Schnitger pertama kali disebut berdasarkan annal Tiongkok pada abad ke-6 sebagai Poeni atau Poli (lihat Algemeen Handelsblad, 14-03-1938). Kerajaan inilah yang diduga kuat mengirim ekspedisi ke  Palembang (Srwijaya) pada tahun 682 (prasasti Kedukan Bukit).

Kerajaan Sriwijaya, sebagaimana lebih lanjut dinyatakan Schnitger bahwa pada abad ketujuh kerajaan Sriwijaya telah menguasai seluruh Sumatera Selatan, kemudian memperluas kekuasaannya ke seluruh Hindia dan pada abad kedelapan membuat Kamboja tunduk padanya setelah mengirimkan pasukan kesana. Pada abad kesembilan dan kesebelas, Sriwijaya bahkan memiliki biara di Benggala dan India Selatan, dimana para peziarah dari Cina yang ingin mengunjungi tanah suci India bermukim untuk belajar bahasa Sansekerta dan menjadi utama dalam ajaran ajaran Buddha.

Dari keterangan Schnitger di atas, kerajaan Pane, Poeni atau Poli mengindikasikan memiliki relasi yang erat dengan Palembang (Sriwijaya). Dalam perkebangannya, seperti disebut di atas bahwa kerajaan Kedah, Pane dan Palembang apada abad ke-11 ditaklukkan oleh seorang raja dari India Selatan (Chola),

Setelah mendapatkan kebebasannya kembali, kerajaan Pane (di muara sungai Batang Pane di sungai Barooemoen, Padang Lawas), mulai bangkit kembali (dengan sekte Bhirawa yang disebut di atas) yang mana memiliki hubungan kuat (1275) dengan Kertanegara (Singhasari). Sekte Bhirawa adalah sekte setan yang menyembah dewa-dewanya dengan upacara yang mengerikan, termasuk pembantaian besar-besaran manusia dibuat dan raja memperoleh status keilahiannya dengan meminum darah manusia.

Pada abad ketiga belas, kerajaan Sriwijaya tidak mendapat momentum lagi. Kerajaan Sriwijaya mulai memudar, sebaliknya kerajaan Pane Padang Lawas) justru berkembang pesat. Saat ini Kerajaan Kertanegara enjalin hubungan dengan kerajaan di hulu sungai Batanghari. Kerajaan Sriwijaya yang dulu perkasa kemudian runtuh dan pada tahun 1377 ditaklukkan oleh kerajaan dari Jawa.

Seperti halnya Sriwijaya di Palembang, kerajaan Padang Lawas dikuasai oleh Kerajaan Modjopait dari Jawa.pada abad ke-14. Hubungan erat antara kerajaan Padang Lawas dengan Singhasari (Kertanegara) berakhir setelah muncul kerajaan Majapahit (sukses kerajaan Singhasari). Dalam fase inilah nama-nama Pane, h[Aru] dan Mandailing masuk dalam dokumen Majapahit. Jauh sebelumnya menurut Schnitger hubungan Batak dan Jawa sudah terjalin pada abad ke-8 dari candi tertua di Simangambat, paling tidak hubungan ini dapat dilihat dari adanya elemen arsitektur candi Simangambat mirip dengan candi di Jawa.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar: