Sumatera Utara (Noord Sumatra)
adalah wilayah yang berada diantara Atjeh dan Minangkabau. Di wilayah ini sudah
sejak lama berdiam bangsa Batak. Pada era kolonial Belanda daerah-daerah di
perbatasan mengalami penyesuaian secara administrasi sehingga terbentuk wilayah
Sumatera Utara yang sekarang. Dalam laporan-laporan awal (sebelum 1800), di
wilayah yang kini disebut Sumatera Utara tidak terdeteksi adanya populasi Melayu. Populasi Melayu masih terkonsentrasi
di semenanjung Malaka, kepulauan Riau dan Indragiri.
Eksistensi populasi Melayu baru
muncul setelah tahun 1800, Populasi Melayu semakin banyak dan menyebar ketika
pelabuhan-pelabuhan komoditi dari Tanah Batak ke pantai timur berada di bawah pengaruh
(pedagang) Riaou. Hal sebaliknya terjadi di pantai barat, semakin melayu ketika
pelabuhan-pelabuhan komoditi dari Tanah Batak berada di bawah pengaruh (pedagang)
Atjeh. Pedagang-pedagang yang lalu lalang di pelabuhan-pelabuhan pantai barat
dan pantai timur di Noord Sumatra sebelumnya diperankan oleh pedagang-pedagang
Tionghoa/Inggris (di Penang).
Populasi penduduk yang berada di pantai-pantai awalnya
adalah mix population. Untuk menarik perbedaan dengan penduduk asli (yang
berbahasa asli Batak), lambat laun populasi campuran ini lebih mengidentifikasi
diri sebagai Melayu. Afiliasi ini juga karena atas dasar penggunaan bahasa
yang sama, bahasa Melayu. Para pedagang (Arab, Tionghoa, Riaou, Atjeh) jauh
sebelumnya dalam berinteraksi (exhange) dengan penduduk Batak menggunakan bahasa pengantar bahasa Melayu.
Nama Batak sudah dicatat sejak era Tiongkok dan Portugis
Catatan tertua tentang nama Batak
terdapat dalam laporan(-laporan) Tiongkok pada abad ke-14. Nama Batak dicatat
sebagai Bata. Dalam laporan Tiongkok disebutkan lokasi Kerajaan Aru ini berada
di muara sungai air tawar (fresh water estuary). Para petinggi dari Kerajaan Batak (Aru) kerap berkunjung ke Tiongkok..
Tome Pires (1512-1515) yang pernah
mengunjungi Malacca mendeskripsikan Sumatra berdasarkan informasi yang
dikumpulkan di Malacca, dimana di dalam laporannya Barros ditulisnya saling
tertukar antara Barros dengan Bata, Bara dan juga ditulis sebagai Terra de
Aeilabu dan Terra de Tuncoll. Semua nama-nama yang tertukar itu berada di
daerah teritori penduduk Batak (Baros). Lalu kemudian Daru tertukar dengan
Barros atau de Aru (Daru adalah ucapan untuk 'de Aru'). Ini juga
mengindikasikan nama-nama itu berada di daerah teritori penduduk Batak.
Intinya, beberapa bandar penting yang didaftar Tome Pires adalah Pedir,
Aeilabu, Lide, Pirada dan Pacee. Dari tiga pelabuhan penting ini hanya Aeilabu
(Aek Labu atau Lobu Toea? nama lain Baros) yang sangat dekat dengan teritori
penduduk Batak, Meski disebut nama Aru, tetapi di dalam laporan Pires tidak
menonjol.
Nama Aru baru menonjol dalam laporan
Barbosa. Ekspedisi Barbosa dilakukan setelah Tome Pires. Barbosa menyebut hanya
tujuh bandar penting, yakni: Pedir, Pansem, Achem, Compar (Kampar), Andiagao
(Indragiri), Macaboo (Minangkabau) dan Ara (Aru). Barbosa melakukan ekspedisi
pada tahun 1518. Barbosa tampaknya mengoreksi hasil identifikasi Tome Pires.
Terra Daru/Kerajaan Aru/Kerajaan Batak |
Menurut Barbosa/Tome Pires, kerajaan
Aru memiliki banyak (orang) Mandarin yang disisi luar (selat Malaka) kerap
melakukan perampokan dan ancaman di selat. Kerajaan Malaka selalu waspada
kepada Kerajaan Aru, karena dimasa lalu Kerajaan Aru pernah menyerang Malaka. Kerajaan
Aru memudar dan muncul kekuatan baru di Siak (akumulasi dari Kampar dan
Indragiri). Demikian juga, Kerajaan Pedir dan Pase memudar lalu lebih menonjol
Kerajaan Atjeh. Lalu dua kekuatan ini (Siak dan Atjeh) saling bergantian
memperebutkan pelabuhan-pelabuhan di pantai timur. Pelabuhan-pelabuhan ini
adalah pusat pertukaran produk-produk nelayan Melayu (di lautan) dan
produk-produk petani Batak (di daratan).
Era Belanda dan Inggris: Identifikasi Tanah Batak
Peta 1595: Nama Batak sebagai etnik sudah disebut |
Sejauh ini nama Batak di Sumatra Utara sudah sejak lama
dicatat, sementara nama Melayu sama sekali belum teridentifikasi apalagi nama
Tionghoa. Ini mengindikasikan bahwa penduduk asli Sumatra Utara di daratan hanya
satu: Batak (dari Rokan hingga Ambuaru dan dari Batahan hingga Singkel).
Gazette ordinaire d'Amsterdam, 08-04-1669 |
Keberadaan Batak baru
teridentifikasi kembali dalam buku ‘Verhandelingen van het Bataviaasch
genootschap, der kunsten en weetenschappen’ yang terbit tahun 1787. Buku ini
cukup banyak mendeskripsikan tentang Tanah Batak dan tidak menyinggung
sedikitpun tentang Melayu. Tahun penerbitan buku ini (1787) harus dilihat jauh
ke belakang saat dimana dilakukan pengumpulan bahan.
Dalam buku ini disebutkan bahwa Het Land der Batak berada di
selatan Atjeh yakni Papa (Pakpak) dan Deira (Dairi) yang terkenal dengan kamper
dan benzoin dalam jumlah besar yang berada di pegunungan yang lebih dikenal
sebagai orang Batak. Kerajaan Batak (Eyk der Batak) terletak dari tengah pulau
hingga ke pantai timur dimana daerah ini belum ditempati oleh penduduk asli. Kerajaan
Batak itu sendiri dibagi ke dalam tiga rykjes: Het Ryk Simamora, Het Rykje Batak
Silindong dan Het Rykje Boetar. Ini mengindikasikan bahwa seluruh wilayah yang
dulu disebut Het Ryk Aroe menjadi bergeser ke tiga wilayah tersebut.
Ryk Simamora adalah dari pegunungan hingga ke arah timur,
memiliki sejumlah besar negeri, antara lain Batong, Ria, Alias (Alas), Batadera
(Dairi), Kapkap (Pakpak), sebagai negara dimulai tumbuh kamper dan benzuin,
Bataholberg, Kotta Tingi, tempat raja, dan dua negeri yakni Suitara dan Jamboe ayer
(dalam laporan Portugis disebut Ambuaroe). Batong dan Sunajang memasok emas 22
karat.
Het Rykje Batak Silindong terdapat banyak negeri yang besar
yang menghasilkan benzuin dan emas sangat tinggi. Raja berada di Silindoeng dan
di negeri Bato Hopit, suatu daerah di kaki gunung yang menghasilkan banyak sulfur
yang digunakan untuk bubuk mesiu.
Ryk Boetar dimana negeri Boetar adalah tempat kerajaan
dimana negeri Pulo Seruny dan negeri Batoe Bara sebagai tempat perdagangan.
Lintong dan Siregar ke arah pantai timur melalui sungai yang disebut Asahan.
Negeri-negeri ini hanya menghasilkan buah tanah (pertanian).
Dalam buku ini tidak teridentifikasi nama suatu kerajaan di
pantai timur. Akan tetapi di pantai barat disebutkan ada kerajaan di Baros
(mungkin Angkola?). Kerajaan Batak di pegunungan sewaktu-waktu jika dimnta Raja
Baros dapat membantu jika diserang oleh orang Eropa. Semua kerajaan-kerajaan
ini memiliki buku-buku yang terbuat dari kulit pohon dan bamboo yang berisi dongeng
lama untuk semua anak-anak. Kulit kayu hanya pohon tertentu yang disebut pohon Aliem,
kulit sangat tipis sebagai kertas, tinta dengan jelaga dari Dammar dicampur
dengan air tebu dan penduduk menghasilkan lada yang banyak.
Dalam buku ini juga disebut negeri-negeri di pantai selatan
Atjeh seperti Singkel dimana tahun 1672 terdapat perusahaan Belanda, Baros
(kepala negeri menjadi Raja) dimana terdapat factory Belanda. Pada tahun 1732
dibangun drainase di Baros. Kerajaan terdiri dari Raja, Bendahara, dan
pangoeloe. Radja bermarga Doulae. Di sebelah selatan adalah Sorkam. Selain
tempat-tempat yang dikuasai Belanda, di selatan yang disebut Tapanoeli dikuasai
oleh Inggris yang kaya dengan perdagangan kamper. Siboelang (Sibuluan), Badieri,
Pinang Sore, Batang Taroe, Batu Mondoe, Sinkoang, Taboojong dan Koen Koen adalah
sesuatu tempat hingga ke belakang pantai (di pedalaman) adalah Koningryk dari
Batak. Natal hingga 1693 dibawah kekuasaan Belanda dan 1751 oleh Inggris
bersama-sama dengan Tapanoeli dan Bancahoeloe. Batahan yang kaya emas dari 1693
masih dibawah kekuasaan Belanda.
Dengan demikian batas-batas wilayah
Tanah Batak cukup jelas dideskripsikan mulai dari Rokan hingga Ambuaru (Jambu
Air) dan dari Batahan hingga Singkel. Sebagian daerah Tanah Batak masih
independen dan sebagian yang lain di bawah kekuasaan Belanda dan Inggris.
Penduduk yang berada di muara Sungai Baroemoen dijelaskan secara rinci yang terdapat dalam buku Anderson
(1823).
Bataviasche courant, 26-10-1822: ‘Pada tanggal 21 Oktober di
dalam kapal HL Senn van Baschel, selain terdapat berbagai komoditi, juga
terdapat kru kapal (diantaranya) van Batak (bertugas untuk kuda), van Bima, van
Boegis, van Nias (dan lainnya)’.
Dalam laporan Anderson (1823) terindikasi
dua jalur ekonomi penting yakni jalur sungai Deli dan jalur sungai Boeloe
Tjina. Di jalur Deli (sungai Deli) di hilir terdapat Kesultanan Deli dan di
hulu terdapat kerajaan-kerajaan Batak seperti Pulo Barian (Berayan) dan Kota
Bangun. Saat kunjungan Anderson ini Kesultanan Deli dan Kerajaan Pulau Barian
yang sama-sama menganut agama Islam tengah bertikai (persiapan perang) di Kota
Jawa. Kesultanan Deli terdiri dari kampung-kampung Laboehan, Kampong Alei
(tempat Sultan Deli, Mengedar Alam Shah), Kampung Tangah dan Kampung Besar.
Sedangkan ke arah hulu masih terdapat kampung-kampung Batak seperti Meidan dan
Babura masing-masing berpenduduk 200 jiwa. Terdapat banyak kampung ke arah hulu
hingga Deli Toea yang dihuni oleh orang Batak yang jumlahnya mencapai 5.000
jiwa.
Sementara itu di jalur Boeloe Tjina
terdapat kesultanan/kerajaan Batak seperti Boeloe Tjina dan Soenggal. Dua
kerajaan ini tampak harmonis meski berlainan keyakinan yang mana Boeloe Tjina
beragama Islam dan Kerajaaan Soenggal yang masih pagan (berpenduduk 20.00
jiwa). Kesultanan Boeloe Tjina berada di hilir sungai Boeloe Tjina dimana di
muara sungai Boeloe Tjina terdapat bandar Sampai sebagai bandar Kesultanan
Boeloe Tjina. Bandar Sampai berpenduduk 50 rumah sedangkan Boeloe Tjina di arah
hulu bandar ini memiliki penduduk dengan 80 rumah (tempat Orang Kaya).
Kampung-kampung lainnya di Boeloe Tjina adalah Pangalan Boeloe, Kelambir
(tempat adik Sultan Ahmat, 25 rumah), Dangla (15 rumah), Kullumpang (tempat
Sultan Ahmat, perkebunan lada, pamannya adalah Orang Kaya).
Diantara raja-raja dan sultan-sultan
itu, yang pertama mendapat gelar dari Siak adalah Sultan Deli. Dengan gelar
yang ada Sultan Deli lalu menganggap Deli (sekitar Laboehan), Boeloe Tjina,
Langkat, Pertjoet dan tempat-tempat lainnya sebagai bawahannya. Sultan Deli
merasa di atas angin karena dukungan Siak. Namun gelagat Sultan Deli ini
mendapat resistensi terutama dari raja-raja Langkat (Perang Langkat) dan Raja
Pulo Barian. Pada saat Anderson di Deli 1822/1823 perang antara Sultan Deli dan
Raja Pulo Barian tengah memanas. Untuk mengimbangi kekuatan Sultan Deli, Radja
Pulo Barian mendatangkan pasukan tambahan dari orang-orang Batak di hulu sungai
Deli dan bahkan ada yang dari Siantar. Awal munculnya ketegangan karena Sultan
Deli coba memonopoli arus perdagangan di DAS Deli, Raja Poeloe Barian tidak
terima.
Sementara itu di pantai timur sebelah selatan Anderson mendeskripsikan
tiga bandar Batak utama, sebagai berikut: Bandar Kwalooh berada di sungai
Kwalooh. Di sekitar sungai Kwalooh ini dihuni oleh orang Batak sekitar 1.200
jiwa yang dikepalai oleh Radja Muda Ulabalang. Kota Kwalooh berjarak dua hari
dari pantai. Ekspor terutama rotan, kemenyan, tikar dan lainnya sedangkan impor
adalah kain putih, kain biru, opium dan lainnya. Bandar Beelah berada di sungai
Beelah. Di sekitar sungai Beelah ini dihuni oleh orang Batak sekitar 1.300 jiwa
yang dikepalai oleh Sultan Bedir Alum yang terdiri dari beberapa kampung.
Ekspor terutama rotan, kemenyan, benzoin, tikar, emas dan lainnya.Bandar Panei
merupakan kampung pertama di muara sungai besar dan terdapat beberapa kampung.
Ada pulau kecil namanya Pulo Rantau di tengah sungai besar. Penduduk terutama
Batak dan terdapat sekitar 1.000 jiwa Melayu. Orang Batak berasal dari dua
tempat: Tambuse dan Padang Bolak. Ekspor terdiri dari kemenyan, benzoin, tikar,
gaharu dan beras.
Kesultanan Melayu semakin eksis. Hal
ini karena didukung oleh Inggris dari Penang. Inggris membutuhkan kedua etnik
ini sekaligus. Etnik Melayu untuk perdagangan di pantai/lautan dan etnik Batak
untuk pertanian dan pengumpul hasil-hasil hutan di pedalaman/pegunungan.
Inggris di Penang yang dekat dengan Melayu di semenanjung Malaka terus menjaga
eksistensi Melayu di Deli. Kesultanan Deli yang mulai rakus memerlukan dukungan
dari luar: Inggris (dan kemudian digantikan oleh Belanda).
Kehadiran Belanda di Tanah Batak
Perdagangan komoditi terus mengalir
dari Tanah Batak ke Batavia, baik melalui pelabuhan-pelabuhan dipantai timur
maupun peabuhan-pelabuhan di pantai barat. Sebelum kehadiran Belanda di Tanah
Batak banyak hal yang terjadi. Di pantai barat, kaum padri melakukan invasi ke
Tanah Batak. Di pantai timur kesultanan Riau yang berkolaborasi dengan Inggris
menancapkan pengaruhnya di pelabuhan-pelabuhan penting seperti Tandjong Poera,
Laboehan Deli, Rantau Pandjang, Batoebara, Tandjong Balei, Koewaloeh, Biela dan
Panai.
Pantai timur semakin ramai dari
waktu ke waktu. Penguasa Inggris dan lesultanan Riaou bersimaharajalela.
Melayunisasi terrjadi di pantai timur. Migran dari kepulauan Riau semakin
merangsek ke utara hingga ke Tamiang. Keramaian ini semakin memuncak ketika
terjadi eksodus sebagai penduduk dari Minangkabau, Mandheling en Ankola ke
pantai-pantai timur untuk menghindari padri.
Gelombang migrasi juga terjadi
ketika Belanda sudah mulai membentuk pemerintahan di Minangkabau dan Tapanoeli.
Javasche courant, 01-02-1845: ‘(mengutip) dari Bataviassch
Genootschap yang berisi pemetaan wilayah Melayu dan Batak menurut LH. Oosnoff
(1939) bahwa untuk tanah Melayu terdiri dari (1) Benelanden dan (2) Bovenlanden
van Padang; untuk tanah Batak terdiri dari (1) Mandaheling en Ankola, (2) de
Batak Silindoeng dan (3) Baai van Tapanoeli…’.
Ketika Belanda menerapkan koffiestelsel
di Mandailing dan Ankola tahun 1841-1845 banyak penduduk yang memberontak lalu
melakukan migrasi ke pantai timur. Demikian juga di Minangkabau. Sebagian migran
dari Ranah Minangkabau dan Tanah Batak ini terus menyeberang ke semenanjung
Malaka. Penduduk Batak dan Minangkabau membentuk koloni-koloni di Selangor dan
Negeri Sembilan di semenanjung Malaka. Sementara yang berada di pantai timur
juga terbentuk koloni-koloni seperti penduduk Batak di Labuhan Batu dan Asahan,
penduduk Minangkabau di Batubara. Sebagian dari pendatang ini melakukan
hubungan perkawinan dengan Melayu yang sudah eksis lebih dahulu sebagian yang
lain tetap dalam komunitasnya (Batak atau Minangkabau).
Javasche courant, 17-11-1841: ‘dari Padang kapal Ned Ind
bernama S. Farrow membawa berbagai komoditi ke Batavia (diantaranya) 349 picols
kopi milik Laer & Jonkman, 29 picols
cassia milik Dast & Co, dua kuda Bata (Batak paarden) milik S Farrow, 33
picol benzoin milik Tio Tiamak (dan lainnya)’
Javasche courant, 28-09-1842: ‘dari Padang kapal Aanvoer 22
September dan tiba 24 September membawa berbagai komoditi (diantaranya) kopi,
poeli, empat Batak paarden (dan lainnya)’.
Kehadiran Belanda di Tanah Deli
Sebelum Belanda melakukan invasi, penduduk
wilayah pantai timur sudah sangat heterogen: Melayu, Tionghoa, Keling,
Minangkabau, Banjar, Boegis, Atjeh dan Batak. Penduduk Batak terdiri dari Alas,
Karo, Simalaengoen, Toba, Angkola dan Mandailing. Hal yang sama juga terjadi di
pantai barat: Melayu, Tionghoa, Minangkabau, Atjeh, Nias dan Batak (Mandailing,
Angkola, Toba, Silindoeng, Dairi, Pakpak, Gayo). Sementara di pedalaman Tanah
Batak komunitas Batak tetap berlangsung sebagaimana sejak dulu.
Pada dasarnya penduduk asli Noord Sumatra adalah Batak.
Migran yang pertama muncul adalah Tionghoa disusul kemudian Melayu, Atjeh,
Minangkabau. Penduduk Batak yang pindah dari pedalaman ke pantai (timur atau
barat) tidaklah dikatakan sebagai migrant melainkan sebagai penduduk tetap.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar