Istana
Maimun pada masa kini hanya dipandang tidak lebih dari hanya sekadar sebuah ‘rumah
besar’ yang tidak terawat. Istana Maimun sejak 1946 telah ‘jatuh’ fungsinya
sebagai keraton. Bangunan terbesar di masa lalu (era kolonial Belanda) itu,
kini sudah beralih fungsi menjadi tempat tinggal para ahli warisnya. Tidak
terurus dan tidak pernah mendapat renovasi.
Istana Maimun di
Medan adalah istana kerajaan termegah di seluruh Indonesia. Bangunan istana
Sultan Deli ini nyaris mengimbangi istana Negara dan istana Bogor. Oleh
karenanya, Istana Maimun menjadi salah satu istana yang banyak dikunjungi. Para
pengunjung berdecak kagum. Arsitentur yang indah dengan biaya pembangunannya
yang sangat besar.
Namun
pada latarbelakang keberadaan Istana Maimun ini banyak yang tidak diketahui publik.
Masyarakat hanya mengetahui bahwa istana itu pembangunannya dimulai 1888 dan
selesai 1891. Masyarakat hanya terbius oleh kemegahannya semata. Di dalam
istana, dulu Sultan dan para pangeran hidup dengan mewah, sementara penduduk di
sekitarnya hidup susah dan terjajah. Penggalan kisah dibelakang keberadaan
istana tidak pernah diungkapkan. Mungkin anda bertanya: Bagaimana istana semegah
ini muncul di Medan? Mengapa istana Sultan Deli begitu wah diantara keraton-keraton
yang ada pada jamannya? Apakah ada yang diuntungkan dan apakah ada yang
dirugikan? Mari kita lacak!
Labuhan Deli dan
Aneksasi Belanda
Pada
tahun 1863 Residen Riau, Netscher datang dengan kapal perang ke Deli dan
berlabuh di Labuhan Deli. Netscher, mantan Residen Tapanoeli adalah juga anggota
Bataviasch Genooschap (perkumpulan akademik di Batavia). Netscher terbilang
pejabat pemerintah kolonial yang mampu menulis dengan baik. Dalam laporan
kunjungannya ke Labuhan Deli, Netscher mendeskripsikan dengan baik apa yang
perlu ditulisnya sebagai memory. Laporan ke Deli itu juga disarikannnya dalam
bentuk serial artikel di surat kabar yang terbit di Batavia.
Wilayah Deli. Batas-batas lanskap Deli adalah
sepanjang pantai dari huk Langkat Toeah (5’83’’) dan sungai Pertjoet (5’43’).
Panjang pantai ini tidak lebih dari 20 mil Inggris. Bagian sisi dalam lebih
lebar. Garis sebenarnya dari batas ini tidak diketahui, atau bahwa dari
perbatasan barat, karena bagian dalam sepenuhnya dihuni oleh suku Batak yang
hanya memberikan penghormatan saja kepada Pangeran Deli. Daerah ini dihuni oleh
suku-suku Batak meluas ke batas pegunungan yang jauhnya 50 mil Inggris dari
lepas pantai. Seluruh daerah ini mengalir sungai-sungai yang bermuara ke laut
dimana beberapa pulau cukup besar yang merupakan dua muara utama sungai Hamparan
Perak dan sebelah selatan sungai Deli atau Laboehan yang mana yang disebut
terakhir tempat berlabuh kapal komersil.
Labuhan Deli, 1875 |
Kampong Deli. Setengah mil English dari mulut sungai
Deli terletak Kampong Deli. Tanah disini tampaknya sangat cocok untuk tumbuh
pohon kelapa. Kampong Deli terdiri dari dua jalan panjang, yang sebagian besar
rumah-rumah saling menyentuh. Jalan-jalan ini membentuk dengan satu sudut kanan
lain. Hampir semua rumah bentuk panggung, sekitar tiga kaki di atas tanah
dibangun, dan di bawah kanopi menjorok rendah biasanya dilengkapi dengan satu
bangku bambu, baik untuk melayani sebagai tempat duduk atau untuk menampilkan
barang dagangan. Beberapa rumah terbuat dari kayu, sebagian besar bambu,
niboeng, kadjaogmatten dan bahan ligle serupa. Atap semua biasanya diberikan
dengan katup untuk memungkinkan cahaya dan udara, dan untuk jalan keluar dari
dalam rumah oleh asap. Hampir semua kolong rumah tak pernah dibersihkan,
rumah-rumah menjadi jorok, dan akumulasi dari segala macam sampah di bawah
rumah menunjukkan sebuah kampung kurang sedap dipandang. Jalan-jalan dan parit
yang berjalan bersama di sana, untuk mengalirkan kelebihan air, membuktikan
bahwa mereka sebelumnya berusaha ordc dan kontrol untuk mengeksekusi
besarbesaran, tetapi dengan tangan tidak diperlukan dan semuanya sekarang
mencegah j pembusukan dalam.
Rumah Sultan dan Masjid. Di bawah
pemerintahan dikendalikan dan kuat. Pada ujung desa adalah rumah dari Sultan
dan masdjid. Yang pertama adalah luas, bangunan papan, trotoar ditutupi
terhubung dengan satu depan dan satu achtervaranda. Semua bangunan ini berdiri
di atas tiang, hampir delapan kaki di atas tanah, dan ditutupi dengan atap.
Voorvaianda adalah sekitar sembilan puluh kaki panjang dan tiga puluh lebar,
tanpa pilar di tengah, dan dengan demikian menciptakan, luas ruangan yang
indah, yang oleh tinggi atap dan dinding berkisi-kisi juga sangat lapang.
Masyarakat. Satu pemandangan yang aneh, diantara
beberapa ratus penduduk asli, tampak sejumlah pria Atjeh dipersenjatai dengan
belati dan pedang panjang Atjeh dengan gagang perak. Rumah sultan dikelilingi
pagar. Juga terdapat empat rumah panggung rendah yang dihuni oleh orang Batak.
Bangunan rumah Batak ini ditutupi dengan serat dari paku sawit dan rapi dengan
dekorasi Batak seperti dicat. Rumah kepala Batakscbe seperti cottage, yang
mengakui supremasi Deli. Mesdjid adalah sebuah bangunan papan yang cukup
terawat dengan baik ukuran rendah.
Pakaian. Gaun dari penduduk pribumi terdiri
dari satu lembar, celana pendek dan korset lebar atau salah satu dari sarung yang
diikat sampai bahu. Celana dan korset ziin linen biasanya putih atau biru.
Dimediasi katun atau sutera memakai celana Atjehsch. Kelas bawah terkesan
kotor. Para wanita memakai sarung, yang diikat berada di atas payudara.
Barang dagangan. Sebagian baris wade pembuatan
Eropa dan diimpor dari Pulu Pinang. Hampir tidak ada rumah di desa Deli dimana
tidak hanya barang-barang yang ditampilkan. Namun, sebagian besar kasus adalah
nilai yang kecil, seperti ikan kering, gambir dan buah. Di beberapa toko juga ditemukan
produk Inggris atau Aljehsche seperti pakaian, besi, obat-obatan, dll.
Penerangan. Bagi kebanyakan rumah adalah salah
satu pers minyak, menunjukkan sederhana, blok melingkar, disimpan memanjang
pada dua trestles dan memberikan satu takik persegi, di mana daging kelapa
parut halus melalui wedges yang gepersd. Minyak bocor akibatnya adalah kualitas
yang sangat baik dan harga murah.
Penduduk. Populasi Deli di pantai adalah Maleijers,
di pedalaman Batak. Penduduk Melayu kecil jumlahnya; mereka tidak lebih dari
beberapa ribu jiwa. Mereka mendiami tanah pesisir rendah dan terutama terkonsentrasi
di Kampung Deli. Sementara sekitar dua puluh Cina dan sekitar seratus Hindu
berdarah campuran terdapat di Kampung Deli. Sedangkan Batak dapat dikatakan
sangat banyak. Daerah yang dihuni oleh Batak terhitung mulai dari pantai dan
terus memanjang hingga ke atas pegunungan tinggi. Dikatakan bahwa penduduk
Batak ini ada kepala suku yang memerintah sekitar 40.000 jiwa. Diantara mereka terdapat
Mohammedanism (beragama Islam) tampaknya klaim telah dibuat.
Deskripsi
Netscher ini merupakan deskripsi paling lengkap tentang keberadaan Deli dan
Labuhan Deli. Kampung Deli adalah tempat dimana rumah sultan berada. Rumah
sultan terbilang yang paling besar diantara rumah-rumah penduduk yang jumlahnya
sekitar 200 rumah. Rumah sultan adalah rumah panggung berukuran sembilan puluh
kaki panjang dan tiga puluh kaki lebar (27 M x 9 M), tanpa pilar di tengah.
Sultan adalah kepala kampong, yang juga menjadi sultan untuk penduduk di garis
pantai (sepanjang 20 KM) yang terdiri dari beberapa ribu penduduk. Di luar itu,
agak ke dalam adalah daerah penduduk Batak.
Di
Kampung Deli terdapat duapuluh Tionghoa, sekitar seratus Hindu berdarah
campuran, sejumlah pria Atjeh dipersenjatai dengan belati dan pedang panjang,
serta empat rumah panggung rendah yang dihuni oleh orang Batak. Gambaran ini
mengindikasikan Labuhan Deli adalah pusat perdagangan dibawah kekuasaan Atjeh. Adanya
orang Tionghoa besar kemungkinan berperan sebagai pedagang (ke luar) sedangkan
empat rumah Batak mengindikasikan perwakilan dagang empat kepala suku Batak (ke
dalam). Penduduk India dan penduduk Melayu cukup besar. Penduduk India boleh
jadi mengindikasikan sisa orang-orang India (asal mula Deli?) sedangkan
penduduk Melayu mengindikasikan pertumbuhan migran Melayu yang datang dari
timur (Semenanjung Malaka) dan dari selatan (Riau). Labuhan Deli sebelum
dibawah supremasi Kesultanan Atjeh berada di bawah supremasi Kesultanan Riau.
Berdasarkan
laporan Anderson (1823) rumah tempat Sultan berada di Kampung Alei. Pada saat
kunjungan Anderson terjadi perang antara Sultan dengan Radja Kampung Braijan (Kerajaan
Batak). Setelah itu tempat sultan (Sulthan Osman) pindah ke Labuhan Deli pada tahun
1854. Kesultanan Atjeh menguasai Labuhan Deli. Ketika pada tahun 1862 terjadi
kesepakatan antara Pemerintah Nederlansch Indie dengan Sultan Siak, Deli yang berada
dibawah supremasi Atjeh, guna untuk pemulihan hak-haknya, Sultan Mahmoud (anak
Sultan Osman) bergegas untuk mengambil perlindungan kepada Belanda dan
memaksanya kembali untuk melakukan keadilan atas dominasi Atjeh. Kunjungan
Netscher adalah tanggal yang menentukan supremasi Atjeh hilang dari Labuhan
Deli.
Awal keberadaan
Sultan Deli bermula ketika pelabuhan-pelabuhan di sepanjang pantai timur
dikuasai oleh Siak. Pada tanggal 8 Maret 1811, kepala Deli yakni Panglima Mengedar
Alam, oleh pangeran Siak diberkahi sebagai Sultan. Rupanya kolaborasi Deli dan
Siak ini tidak semua suku-suku Batak menyetujuinya. Para pimpinan suku Batak
(baik di pantai maupun di pedalaman) hanya melihat Deli sebagai boneka dari
Siak. Batak sendiri tampaknya lebih menyukai Atjeh daripada Siak dalam
penguasaan Kesultanan Deli (karena alasan kultural dan territorial)..
Kesultanan
Deli adalah kekuasaan yang rapuh. Kesultanan yang hanya hidup semata-mata untuk
kepentingan komersil (Inggris). Kesultanan ini selalu dibawah bayang-bayang
kekuatan besar (Atjeh dan Siak), tetapi tidak berhasil sepenuhnya membuat
aliansi dengan tetangganya, penduduk suku Batak (karena ada yang pro kontra
diantara suku-suku Batak atas kehadiran atau semakin menguatnya kesultanan
Deli). Kesultanan Deli telah menyebabkan nasibnya hancur karena perang saudara,
hingga akhirnya memutuskan untuk meminta perlindungan kepada Belanda, rezim
kekuatan baru di pantai timur Sumatra, rezim yang menginginkan kesultanan Deli
barada di dalam pelukannya (didahului oleh Siak yang meminta perlindungan
kepada Belanda).
Nienhuys dan Penduduk
Batak Disingkirkan
Setelah
Deli dianeksasi Belanda, seorang controleur ditempatkan di Labuhan Deli. Controleur
Baron de Raet van Cat mulai bekerja dengan Sultan Deli dan melakukan upaya negosiasi
perdamaian dengan empat pemimpin Batak. Sultan dan empat pemimpin Batak adalah
kunci suksesnya perdagangan (misi colonial). Nienhuys dari Jawa Timur dan
kawan-kawan pada tahun 1865 datang ke Deli untuk membuka perkebunan tembakau
dengan menyewa lahan dari Sultan. Salah satu pemimpin Batak membantu Nienhuys
untuk menyediakan tenaga kerja. Namun tenaga kerja Batak hasilnya kurang
memuaskan. Nienhuys coba mencari tenaga kerja dari Jawa di Penang, juga tidak
memuaskan. Lalu Nienhuys mendapatkan tenaga kerja Cina di Singapoera, hasilnya
cukup memuaskan. Perkebunan tembakau ternyata sukses. Hasil uji di Jerman
produk tembakau Deli ternyata jempolan dan beritanya cepat menyebar. Sejak 1869
investor Eropa mulai tertarik investasi di Deli, apalagi terusan Siez baru
dibuka. Perkembangan yang pesat di Deli (pantai timur), sebaliknya di pantai
barat mulai sepi (arus kapal Eropa-Batavia sudah mulai melalui selat Malaka).
Investasi
yang terus meningkat membutuhkan lahan yang lebih banyak. Lahan-lahan yang
dikuasai oleh Sultan di sekitar Labuhan Deli dan Petjoet sudah habis disewakan
dalam bentuk konsesi seiring dengan perluasan pengembangan perkebunan Nienhuys
membentuk maskapai (Deli Mij). Penyerobotan lahan-lahan penduduk Batak mulai
dirasakan. Para pemimpin Batak mulai bereaksi. Para Planter baru yang semakin
banyak berdatangan mulai mendesak Sultan dan Controleur melakukan pembebasan
lahan.
Sultan dalam hal
ini serba salah. Sultan mulai terpengaruh. Di satu sisi Sultan memiliki
hubungan baik dengan penduduk Batak melalui para pemimpin Batak. Di sisi lain,
hasil sewa lahan terhadap para planter makin lama makin menyenangkan karena
menjadi sumber kekayaan baru. Sultan mulai tergiur, memperkaya diri sendiri dan
mengorbankan penduduk Batak. Awalnya sisi barat Sungai Deli (Boeloe Tjina/Hamparan
Perak) mulai diokupasi. Kerajaan-kerajaan kecil (penduduk Batak) di sepanjang
Sungai Deli mulai tidak berdaya. Somasi terhadap Sultan mulai dilancarkan oleh
para pemimpin Batak. Tetapi tidak digubris. Tidak demikian dari pemimpin Batak
di Sunggal yang berani angkat senjata terhadap represi pasukan militer Belanda, yang berada mengawal di depan Sultan (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 30-10-1873). Sukses Sultan Deli meraup kekayaan dari
sewa tanah, mengundang minat dari Serdang dan Langkat untuk mengundang para
investor masuk ke daerahnya masing-masing. Kisah yang sama juga terjadi:
penduduk Batak disingkirkan.
Sementara
itu pemerintahan Belanda juga berkembang dengan tumbuhnya perkebunan di Deli
(kuli Cina mulai mendominasi sebagai tenaga kerja perkebunan).
Pedagang-pedagang Tionghoa juga semakin deras mengalir dengan pertambahan kuli
Cina yang semakin massif. Pemimpin Cina diformalkan dengan mempromsikan letnan menjadi
kapten di Labuhan Deli (Tjong Yong Hian) dan mengangkat letnan baru di Medan
(Tjong A Fie). Dua pimpinan Cina bersaudara ini melesat cepat menjadi kaya
(karena perdagangan utamanya opium). Distribusi opium ini awalnya berada di
tangan Sultan. Sultan sudah mulai nyaman dengan hitung-hitungan lahan konsesi
baru (mermpas lahan dari penduduk). Lambat
laun Tjong Yong Hian dan Tjong A Fie terlibat penguasaan lahan untuk digunakan
sendiri (perkebunan dan perumahan).
Status
afdeeling Deli kemudian ditingkatkan dari controleur menjadi Asisten Residen.
Di sekitar Medan Putri, perkebunan Deli Mij (Nienhuys dkk) semakin banyak
fasilitas-fasilitas umum (pusat perbelanjaan, kesehatan dan menjadi tempat
transit ke segala penjuru kebun-kebun baru).
Tunggu
deskripsi lebih lanjut
Tidak ada komentar:
Posting Komentar