Kamis, Juni 09, 2016

Sejarah Kota Medan (19): Dr. Muhammad Ildrem, Republiken yang Terjebak di Medan; Berperan Penting Normalisasi Antara Republik Indonesia dan Negara Sumatera Timur

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Medan dalam blog ini Klik Disin


Trio Pimpinan PPI Belanda (1939): Sidhartawan, Lubis dan Ildrem
Orang Medan hanya mengenal Mohamad Ildrem (Muhammad Ildrem) sebagai salah satu pendiri Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara (1952). Kisah Mohamad Ildrem sangat berliku. Di Medan, dalam proses penyerahaan kedaulatan RI, Mohamad Ildrem termasuk panitia (1949). Peran Mohamad Ildrem sangat sentral dalam upaya normalisasi hubungan antara pihak-pihak dari Negara Sumatera Timur dengan pihak-pihak dari Republik Indonesia. 
Di Belanda 1939, trio pimpinan Perhimpunan Pelajar Indonesia melakukan perlawanan terhadap fasis untuk mencapai kemerdekaan Indonesia (Parlindungan Lubis, sebagai ketua, Sidhartawan, sebagai sekretaris dan Mohamad Ildrem sebagai bendahara). Parlindungan ditahan lima tahun di kamp NAZI di Jerman, Mohammed Ildrem mengalami penganiayaan yang mengerikan dan biadab oleh orang-orang Yahudi di Jerman dan Sidhartawan meninggal selama di tahanan (Algemeen Handelsblad, 08-12-1942).
Sekembalinya ke tanah air, Parlindungan Lubis bergabung dengan Republik di Jogjakarta. Sedangkan Mohamad Ildrem yang beristri orang Belanda terhambat masuk ke wilayah republik dan membuka dokter praktek di Jakarta, kemudian pindah membuka dokter praktek di Medan (wilayah yang sama-sama dikuasai oleh Belanda). Di Medan Mohamad Ildrem bagaikan buah Simalakama, Secara defacto Mohamad Ildrem adalah republic tetapi secara dejure adalah BFO di Medan (Sumatera Timur berada di negara federal buatan Belanda). Sementara teman-temannya dari Tapanoeli, meski berada di wilayah BFO, tetapi hampir semuanya tetap republiken, seperti Dr. Djabangoen Harahap dan Gading Batoebara Josua (GB Josua).

Namun ketika terjadi perubahan yakni dengan pengakuan kedaulatan Republik Indonesia, Mohamad Ildrem menjadi perekat antara orang-orang Republiken dan Federalis yang pada akhirnya Negara Sumatera Timur menjadi bagian dari NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Dr. Mohamad Ildrem (alumni sekolah kedokteran di Belanda bersama Dr. Palindungan Lubis) menjadi penghubung dua seteru secara politik di Medan yang sama-sama alumni STOVIA yakni antara Dr. Djabangoen Harahap, Ketua Front Nasional Medan dengan Dr. Tengkoe Mansoer, Wali Negara Sumatera Timur. Pada pasca pengakuan kedaulatan RI, ketika Abdul Hakim Harahap diangkat menjadi Gubernur Sumatera Utara (1951) normalisasi hubungan dua kelompok anak bangsa di Medan lebih cepat kondusif dibanding dengan daerah lain di Indonesia. Dalam hal ini Dr. Mohamad Ildrem menjadi faktor penting.

Siapa Mohamad Ildrem?

Muhammad Ildrem Siregar terdeteksi pertama kali namanya di Batavia sebagai salah satu siswa yang naik dari kelas dua ke kelas tiga sekolah MULO di Gang Mendjangan (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 18-05-1926). Setelah lulus pulang ke Medan (Bataviaasch nieuwsblad, 17-05-1927). Setahun berikutnya Mohamad Ildrem naik ke kelas lima di sekolah AMS Salemba di Weltevreden (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 04-05-1928). Pada tahun 1930 Mohamad Ildrem naik dari kelas lima ke kelas enam di sekolah HBS (AMS afd. B) di Medan (De Sumatra post, 02-05-1930). Tahun 1931 Mohamad Ildrem lulus ujian akhir VHO (afd. B AMS) di Medan (De Sumatra post, 07-05-1931)..

Nieuwsblad van het Noorden, 08-12-1937
Pada bulan September 1931, Mohamad Ildrem berangkat ke Belanda dengan menumpang kapal Marnix van Sint Aldegonde dari Batavia di Belawan tanggal 5 September menuju Amsterdam (De Sumatra post, 04-09-1931). Di Leiden, Mohamad Ildrem diterima di Universiteit Amsterdam. Pada bulan Oktober 1934 Ildrem lulus tingkat persiapan (Algemeen Handelsblad, 11-10-1934). Mohamad Ildrem lulus ujian gelar kedokteran tanggal 7 Desember di Leiden (Rijksuniversiteit), doctoraal geneeskunde (Nieuwsblad van het Noorden, 08-12-1937). Mohamad Ildrem lulus ujian akhir dan mendapat gelar dokter (Het Vaderland : staat- en letterkundig nieuwsblad, 16-12-1938).

Het Vaderland : staat- en letterkundig nieuwsblad, 03-03-1939
Pada Maret 1939 terjadi penggantian pengurus Persatua Pelajar Indonesia. Susunan pengurus adalah sebagai berikut: Presiden:. Sidartawan, Sekretaris bendahara M. Ildrem, Komisaris: Goonara. Secrelariaats dan alamat administrasi: Jalan Duivenvoorde 53, Oegstgeest di Lelden (Het Vaderland : staat- en letterkundig nieuwsblad, 03-03-1939). Pada tahun 1940 Perhimpunan Pelajar Indonesia menyambut baik diadakannya Kongres Rakyat Indonesia di Indonesia dan dalam hal ini PPI membuat inisiatif untuk mengadakan pertemuan dengan tema Situasi Internasional dan Pertemuan Kongres Rakyat Indonesia. Sekretaris M. Ildrem menyatakan bahwa ketika berbicara tentang situasi internasional, salah satu harus berurusan dengan perang di Eropa saat ini:

‘Jika memang perang untuk demokrasi, daripada di negara mereka sendiri yang harus meningkatkan hak-hak demokratis. Dalam prakteknya, yang terjadi adalah sebaliknya. Jika itu adalah perang untuk kebebasan, orang harus di tempat pertama untuk memberikan kebebasan kepada masyarakat kolonial. negara-negara ini, bagaimanapun, tidak mendapatkan kebebasan, sebaliknya .... di negara-negara hak-hak orang masih terbatas. Kami tidak memiliki manfaat dari perang ini, tidak ingin orang banyak di kedua sisi kita. Kami hanya diuntungkan oleh perdamaian. Orang-orang Indonesia harus memiliki hak untuk membebaskan nasib sendiri. PPI sebagai bagian dari Gerakan Nasional Indonesia yang mendukung persyaratan progresif: Sebuah parlemen untuk Indonesia. Akhirnya, gerakan yang telah disahkan, dimana Perhimpoenan Indonesia sepenuhnya mendukung kegiatan Gerakan Nasional untuk mengkonsolidasikan posisi rakyat Indonesia (Het volksdagblad : dagblad voor Nederland, 16-01-1940).

Mohamad Ildrem menikah dengan gadis Belanda bernama WJ Brink di Amsterdam (1940). Pada November 1941 anak M. Ildrem lahir yang diberi nama Abdul Kadri (Leidsch dagblad, 19-11-1941). M. Ildrem membuka dokter praktek. Dalam kehidupan sehari-hari M. Ildrem gemar bermain bridge dan kerap berpasangan dengan Ibnoe (Leidsch dagblad, 27-01-1943).

Mohamad Ildrem yang lahir 22-09-1909  dan berangkat studi ke Belanda (1931) pulang ke tanah air tahun 1947. Di Batavia Ildrem membuka dokter praktek di Jalan Raden Saleh (Het dagblad: uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 10-07-1947) dan juga di Patjenongan (Het dagblad : uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 26-08-1947). Pada bulan Juli 1948 Mohamad Ildrem telah pindah ke Medan dan tinggal di Jalan Adinda 6 dan membuka dokter praktek Psychiater-Neuroloog di Jalan Timor 6 (Het nieuwsblad voor Sumatra, 06-07-1948).

Di Medan awal tahun 1949 pemerintah kolonial membentuk dewan Negara Sumatera Timur. Pembentukan ini dilakukan karena di Sumatera Timur sudah sepenuhnya terkendali. Sedangkan di Tapanoeli pertempuran antara pasukan Republik terus meluas.  

Het nieuwsblad voor Sumatra, 22-03-1949: ‘pemerintah Belanda membentuk Nagararaad di Medan yang diusulkan berjumlah 35 orang. Sejumlah anggota masyarakat ditunjuk, antara lain Dr. Slamat RM Sarsidi, Dr. Mohamad Ildrem.

Het nieuwsblad voor Sumatra, 23-04-1949: ‘Dalam sesi pertama pertemuan Negararaad Sumatera Timur, kemarin berhasil membuat beberapa keputusan terutama anggaran untuk tahun 1949 dan pada semester kedua anggarkan dengan jumlah f 200.000. (Dalam rapat ini juga disinggung) yang mana RM Ibenu mempertanyakan mengenai larangan kantor untuk Front Nasional’,

Di tingkat nasional pemerintah colonial mulai melakukan konsolidasi terhadap wilayah-wilayah yang sudah menjadi kekuasaan Belanda. Pada bulan Juni di Batavia dilakukan pertemuan para petinggi dari wali-wali Negara yang telah terbentuk. Sementara di wilayah Republik di Tapanoeli yang masih tersisa di afdeeling Padang Sidempuan pertempuran semakin memanas. Kampong halaman Mohamnad Ildrem di Padang Sidempuan adalah sisa wilayah republik yang belum berhasil dikuasai Belanda.

Het nieuwsblad voor Sumatra, 07-06-1949: ‘Minggu lalu diadakan pertemuan Perwakilan Tinggi, wali semua-gatra dan pertemuan Kepala Daerah di Batavia. Dalam foto dari kiri ke kanan: Dr. Mansur, Mr. Djumhari (Perdana Menteri Pasundan), Mr J. Vleer (Sekretaris BFO), RAA. Cakraningrat (Madura), RAA Wiranatakusumah (Pasundan), Tjokorde Gde Rake Sukawati (Indonesia Timur), Soeltan Hamid II (Kalimantan Barat), Abdul Malik (Sumatera Selatan), Achmad Kusumonegoro (Jawa Timur), Anak Agung Gde Agung (Perdana Menteri Indonesia Timur) dan Dr. Suparmo, anggota delegasi khusus dari BFO, Madura’.

Di Medan terjadi mosi, menolak Negara Sumatera Timur menjadi satu federasi Sumatera. Setelah Tengkoe Mansoer tiba di Medan dilakukan pertemuan. Dr. Mohamad Ildrem meminta proposal pembentukan federasi untuk ditunda. Pembentukan federasi Sumatera bertentangan dengan pembentukan Negara Sumatera Timur dan dapat mengganggu independensi Negara Sumatera Timur sendiri. Adanya keinginan untuk memenuhi permintaan pemerintah (BFO) dalam hal ini untuk ditarik kembali. Mosi ini lalu ditandatangani oleh sejumlah orang termasukMohamad Ildrem. Mosi ini akan dibawa kembali oleh Tengkoe Mansoer dalam pertemuan BFO berikutnya di Batavia.


Akibat tekanan militer Belanda di Sumatera Timur, pasukan republic semakin terdorong ke Tapanoeli. Afdeeling Padang Sidempuan menjadi tujuan pengungsi. Di wilayah ini militer Belanda mulai melakukan konsolidasi untuk menguasai Tapanoeli. Pimpinan respublik dijabat Dr. Gindo Siregar sebagai Gubernur Militer dan Abdul Hakim sebagai Rasiden Tapanoeli. agresi militer Belanda yang kedua ini yang dimulai pada 19 Desember 1948 dengan melakukan serangan terhadap Yogyakarta, Ibukota Republik Indonesia. Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Muhammad Hatta ditangkap dan dibuang ke Brastagi. Akibatnya ibukota Republik Indonesia dipindahkan ke Bukittinggi dengan dibentuknya Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) pada tanggal 22 Desember 1948. PDRI yang berkedudukan di Bukittinggi dipimpin oleh Syafruddin Prawiranegara. Sementara, di Tapanuli pasukan Belanda melakukan serangan ke Sibolga baik dari laut, darat dan maupun udara. Akhirnya kota Sibolga jatuh ke tangan pasukan Belanda pada tanggal 20 Desember 1948. Setelah Batangtoru berhasil direbut, selanjutnya pasukan Belanda mengebom kota Padang Sidempuan dengan dua pesawat tempur. Pasukan Brigade-B dan MBK Tapanuli menyingkir dan mundur ke Penyabungan. Pasukan Belanda akhirnya memasuki Padang Sidempuan pada tanggal 1 Januari 1949. Pasukan Belanda menemukan ibukota Angkola itu sudah habis di bumi hangus yang ditinggalkan warganya (Hanya ada dua lautan api di Indonesia: Bandung Lautan Api dan Padang Sidempuan Lautan Api). Pada tanggal 21 Januari 1949 kota Sipirok diserang oleh pasukan Belanda dan Pemerintahan RI di kota itu terpaksa mengungsi. Pada tanggal 30 Januari 1949, Binanga Siregar selaku Wakil Residen Tapanuli mengunjungi Bukit Maondang dan Arse di Tapanuli Selatan untuk menyaksikan dari dekat pertahanan republik di garis depan. Dengan jatuhnya kota Padang Sidempuan ke tangan pasukan Belanda dan kekalahan yang dialami pasukan dan laskar rakyat, maka di wilayah pertahanan RI ini di Huta Goti. Pada tanggal 5 Mei 1949 sekitar pukul 04.00.WIB pasukan Belanda  mulai melakukan penyerangan terhadap lawan yang dilaporkan membuat pertahanan berupa benteng di Huta Huraba. Posisi Benteng Huraba sangat strategis, karena jalan menuju ibukota RI di Bukittinggi. Pertempuran Benteng Huraba ini sangat heroic dan tidak bisa ditembus pasukan Belanda menuju ibukota RI. Dalam pertempuran ini ditaksir cukup besar kerugian yang dialami oleh pihak pasukan gabungan baik jiwa maupun materi. Dari anggota pasukan MBK Tapanuli sendiri yang gugur terdapat sebanyak 11 orang dan dari pasukan Brigade–B sebanyak 16 orang. Sementara dari barisan laskar dan rakyat yang tergabung dalam pertempuran itu tidak pernah tercatat berapa orang yang sudah gugur. Wilayah Mandailing, di belakang Benteng Huraba adalah satu-satunya daerah republiken yang tidak pernah disentuh militer Belanda dalam agresi militer (kedatanga Belanda kembali). Benteng Huraba telah turut serta dari sisi utara dalam mengamankan ibukota Republik Indonesia di Bukittinggi.

Pada tanggal 3 Agustus 1949 gencatan senjata antara Belanda dan Indonesia disepakati. Kemudian dilanjutkan perundingan yang disebut Konferensi Meja Bundar (KMB), sebuah pertemuan antara pemerintah Republik Indonesia dan Belanda yang dilaksanakan di Den Haag, Belanda dari 23 Agustus hingga 2 November 1949.  Hasil perundingan itu antara lain dan yang terpenting bahwa kedaulatan NKRI akan diserahkan selambat-lambatnja pada tanggal 30 Desember 1949. Delegasi RI ke KMB dipimpin oleh Mohamad Hatta, yang mana sebagai penasehat delegasi adalah Abdul Hakim (Residen Tapanoeli).

Dalam perkembangannya, di Medan dibentuk asosiasi Persatoean Politik yang baru. Het nieuwsblad voor Sumatra, 12-09-1949 melaporkan kemarin diadakan pertemuan beberapa ratus orang (baik republiken maupun federalis) mendirikan chapter organisasi politik yang baru yang disebut Parsatuan Indonesia Raya yang berkantor pusat di Djogjakarta. Pembentukan chapter Medan ini dipimpin oleh Mr. Mahadi. Susunan dewan sementara: Mr. Mahadi (ketua) yang terdiri dari beberapa anggota termasuk Dr M. Ildrem.

Akhirnya (setelah KMB di Den Haag) terjadi Pengakuan Kedaulatan Republik Indonesia. Di Medan, Mr. Mahadi mengundang semua pihak-pihak yang berada di Medan untuk berkumpul untuk membentuk komiter penyerahan kedaulatan. Pemerintah Negara Sumatera Timur diwakili oleh Tengkoe Hafas. Asosiasi Belanda diwakili oleh wakil ketua, Mr W. J. Borgerhoff Mulder. Dari Republik Indonesia diwakili oleh GB Josua dan Soegondo.

Mengapa ketua masing-masing tidak hadir? Di Medan, Negara Sumatera Timur, bendera Republik Indonesia (merah putih) diwakili oleh Front Nasional Medan yang diketuai oleh Dr. Djabangoen Harahap. Front Nasional secara de facto melakukan perlawanan terhadap Belanda (bukan terhadap tokoh orang-orang pribumi Negara boneka yang dibentuk). Pada awalnya, sebelum dibentuknya Front Nasional, Dr. Djabangoen Harahap menangani kesehatan para penduduk republik di Medan dan Sumatera Timur, sedangkan guru Mr. GB. Josua menangani pendidikan para anak-anak republiken. Ketika terjadi agresi militer kedua (di Tapanoeli), Front Nasional dibentuk di Medan untuk melakukan perlawanan di Sumatera Timur. Dr. Tengkoe Mansoer didaulat untuk memimpin penduduk yang pro Belanda yang kemudian Mansoer diangkat Belanda menjadi wali Negara Sumatera Timur. Dalam fase genbjatan senjata (proses KMB tengah berlangsung di Den Haag) antara dua kubu melakukan konsolidasi masing-masing yang  seiring dengan perkembangan, kedua kubu membentuk Persatuan Indonesia Raya (karena proses KMB memiliki titik terang akan dimenangkan oleh Republik Indonesia). Pimpinan delegasi RI ke KMB adalah M. Hatta dengan penasehat delegasi Abdul Hakim Harahap (Residen Tapanoeli). Pada waktunya, pasca pengakuan kedaulatan RI, Abdul Hakim diangkat menjadi Gubernur Sumatra Utara. Kedua tokoh utama (Dr. Djabangoen dan Dr. Tengko Mansoer) tidak hadir mungkin sudah lelah dan boleh jadi lini kedua yang dipromosikan (mungkin saja karena urusannya tidak lagi ‘heroik’)..

Setelah perdebatan (dan adanya beberapa keberatan dari Negara Sumatera Timur) komite akhirnya terbentuk. Anggota komite terdiri dari: Mr. Mahadi, Mr. GB Josua. Tengku Amiruddin, Dr. M. Ildrem dan Sugondo (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 23-11-1949). Lima hari kemudian, Het nieuwsblad voor Sumatra, 28-11-1949 melaporkan komite penyerahan menjadi: Ketua: Mr. GB. Josua, Wakil Ketua: Mr. Mahadi, Anggota: Tengku Amiroedin, Dr. M. Ildrem dan Mr Sugondo Kartoprodjo; Sekretaris: de heer Putih. Slogan yang digunakan dalam penyerahan: dari rakyat untuk rakyat’.

Selanjutnya dibentuk parlemen RIS (Republik Indonesia Serikat). Jumlah anggota terdiri dari 150 anggota, 50 mewakili dari para negara Republik Indonesia, sedangkan daerah ex BFO (Bijeenkomst voor Federal Overlag) menunjuk 100 anggota. Untuk Negara Sumatera Timur terdiri dari enam kursi. Tidak termasuk Mohamad Ildrem, yang bukan anggota Negara Sumatera Timur (Het nieuwsblad voor Sumatra, 02-12-1949).

Pada akhir Mei 1950 di Medan dilakukan rapat dewan Negara Sumatera Timur. Dalam rapat ini hanya 18 dari 40 anggota yang hadir. sehingga kuorum dari 20 itu tidak tercapai. Ini mengindikasikan Negara Sumatera Timur tidak efektif lagi. Namun Presiden dewan Sumatera Timur menyatakan masih valid dan tetap mengambil keputusan. Salah satu keputusan pemberhentian Wali Negara Tengku Hafas. Penggantinya ditunjuk Mr Abdul Wahab dan Dr. Mohamad Ildrem (Het nieuwsblad voor Sumatra, 01-06-1950).

Penunjukan Mr Abdul Wahab dan Dr. Mohamad Ildrem sangat strategis. Kedua tokoh ini dengan mudah berbicara dengan tokoh-tokoh republiken seperti Djabangoen, GB Josua, Binanga Siregar dan Abdul Hakim. Dr. Mohamad Ildrem dalam hal ini menjadi factor penting dalam normalisasi hubungan antara para republiken dengan para federalis. Sementara itu, keluarga Dr. Mohamad Ildrem mulai normal kembali. Istri dan dua anaknya yang selama ini di Belanda, setelah melihat situasi menjadi normal datang dari Belanda dengan menumpang kapal Willem Ruys dan pada tanggal 16 Desember tiba di Belawan (Het nieuwsblad voor Sumatra, 10-12-1952).

Itulah akhir dari Negara Sumatera Timur dan menjadi awal bagi putra-putri Tapanoeli khususnya dari Padang Sidempuan untuk mengisi pembangunan di Provinsi Sumatera Utara (Tapanoeli en Sumatra’s Oostkust). Dr. Mohamad Ildrem mulai nyaman di Medan, perjuangannya untuk mencapai kemerdekaan sejak di Belanda melalui Persatuan Pelajar Indonesia kini terwujud.

Dr. Mohamad Ildrem yang selama ini dikenal sebagai pemain brige di Belanda, juga memiliki minat dalam bidang olah raga lainnya yakni sepakbola. Het nieuwsblad voor Sumatra, 09-11-1953 melaporkan tim dokter Medan bertanding dengan tim yang lain, dimana Dr. Mohamad Ildrem memiliki posisi sebagai pemain tengah. Cocok dengan lika-liku riwayatnya. Istrinya, WJ Brink juga mulai nyaman dan aktif di lapangan olahraga sebagai pemain tennis lapangan (Het nieuwsblad voor Sumatra, 14-05-1954).

Dr. Mohamad Ildrem Siregar adalah salah satu dari sejumlah dokter di Medan yang diminta oleh Gubernur Abdul Hakim Harahap untuk membangun Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Pada akhir tahun 1953 Abdul Hakim dipindahkan ke Jakarta. Presiden Universitas Sumatera Utara berikutnya adalah Gubernur SM Amin Nasution (Het nieuwsblad voor Sumatra, 18-01-1954).

Fakultas Kedokteran yang masih muda ini terus berkembang. Jumlah mahasiswa yang sudah masuk angkatan ketiga, sudah mulai kondusif kuliah. Satu hal yang tidak terduga, sebagaimana dilaporkan Het nieuwsblad voor Sumatra, 28-09-1954 bahwa pendiri dan Ketua pertama Perhimpunan Mahasiswa Sumatera Utara bernama P. Harahap. Kita teringat kembali setengah abad yang lalu, mahasiswa pribumi pertama yang tiba di Belanda adalah Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan pada tahun 1905. Pada tahun 1908 Soetan Casajangan mendirikan Perhimpunan Pelajar Indonesia yang kemudian pada tahun 1922 berganti nama menjadi Persatuan Pelajar Indonesia. Pada Periode 1938-1941, Mohamad Ildrem termasuk trio pimpinan Persatua Pelajar Indonesia di Belanda.

Sekadar diketahui pelopor pendirian organisasi mahasiswa Indonesia semuanya berasal dari Padang Sidempuan. Selain Soetan Casajangan di Belanda tahun 1908, pada tahun 1947 (Februari) di Djojakarta didirikan organisasi mahasiswa di luar kampus yang disebut HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) yang dipelopori oleh Lafran Pane (adik Sanusi dan Armijn Pane) dan pada bulan Mei 1947 di Jakarta didirikan PMUI (Persatuan Mahasiswa Universitas Indonesia). Organisasi PMUI yang berada di dalam kampus ini meliputi semua fakultas-fakultas kedokteran dan fakultas lainnya di Jakarta (cikal bakal UI), fakultas di Bogor (cikal bakal IPB), fakultas di Bandung (ITB), di Makassar (cikal bakal Unhas). Pelopor dan ketua dan wakil ketua pertama adalah Ida Nasution dan G. Harahap.  

Di Medan, juga didirikan cabang Rotary Club. Rotary International atau biasanya dikenal sebagai Rotary Club adalah sebuah Club yang tersebar di seluruh dunia. Anggota Rotary Club adalah para pemimpin bisnis dan profesional yang memberikan jasa kemanusiaan, mendorong adanya standar etika yang tinggi dalam setiap kegiatan sukarela, dan membantu membangun kebersamaan dan kedamaian di dunia. Mottonya adalah Service above Self (Mementingkan Kegiatan Saling Membantu daripada Kepentingan Diri Sendiri). Pimpinan Rotary Club di Medan adalah Dr. Mohamad Ildrem (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 22-04-1955).

Het nieuwsblad voor Sumatra, 22-04-1955: ‘Dalam ulang tahunnya yang ke-25, Rotary Club Medan (Rotary International ulang tahun yang ke-50) dirayakan dengan menyumbangkan untuk perpustakaan di dua universitas di Sumatera Utara. Untuk tujuan ini klub telah meminta bantuan dari klub Rotary lain di dunia. Hasilnya adalah sekitar 700 buku yang berhasil dikumpulkan terutama untuk kebutuhan mahasiswa kedokteran, hukum dan teologi di Sumatera Utara. Wakil Presiden Rotary Club Medan, Dr. M. Ildrem menyatakan bahwa perpustakaan ini secara simbolis diserahkan kepada Universitas Sumatera Utara (USU) dan Universitas Islam Sumatera Utara (UISU). Hal ini disampaikan dalam pertemuan perwakilan Rotary Club Medan, profesor, lektor dan mahasiswa dari kedua universitas di Auditorium Universitas Islam di Jalan Singamangaradja. Dr. Ildrem menyerakan bantuan perpustakaan ini kepada Dr. Ahamd Sofian dan H. Bahrum Djamil yang mewakili masing-masing universitas’.

Dr. Mohamad Ildrem terus aktif berpartisipasi pengembangan Universitas Sumatera Utara. Sehubungan dengan keinginan pemerintah membentuk universitas negeri telah dibentuk komite dengan komposisi sebagai berikut (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 02-02-1957): Presiden, Gubernur Sumatera Utara, Wakil Presiden, Prof. Dr. Maas, sekretaris pertama, Mr J. Arnold Sitnandjuntak (Kepala departemen  administrasi umum di kantor gubernurm sekretaris kedua, Ny. Mahadi, bendahara, Mr Paras Nasution (Direktur Bank Dagang Indonesia), ketua-ketua untuk mewakili DPRD Sumatera Utara dan DPRD Kota Medan dengan anggota sebagai berikut: Prof. M. Ildrem, Prof. A. Sofian, Prof. Mr. Mrs. A. Abas Manoppo, Prof. Mr. T. Dzuikanain, Ir. Tan Hong Tong dan G. Sianipar. Prof. Mr. Mahadi sebagai anggota pembentukan universitas mengatakan akan mencakup fakultas kedokteran, ilmu hukum dan sosial, ilmu pertanian, pedagogi dan kedokteran gigi. Dua yang pertama sudah terbentuk tahun-tahun sebelumnya. Untuk ilmu pertanian dan pedagogi akan dibentuk yang dimulai pada tahun lalu, sementara fakultas yang lainnya masih sedang dipersiapkan’. 
Prof. Mr. Mrs. A. Abas Manoppo sangat terkenal di Medan sebagai tokoh wanita. Guru besar Universitas Sumatra Utara ini adalah istri Abdul Abbas Siregar, Presiden Republik Indonesia di Tapanoeli pada masa agresi militer Belanda yang kedua. Sebagaimana diketahui, sisa Republik Indoensia yang beribukota di Bukittinggi hanya tinggal empat: Djawa Tengah/Jokjakarta, Lampoeng, Tapanoeli dan Atjeh. Abdul Abbas Siregar datang ke Medan pada saat agresi Militer Belanda sebagai wakil RI di Jokjakarta untuk menjadi Residen Sumatra Timur di pengungsian di Pematang Siantar. Akhirnya Sumatra Timur yang republik terdesak ke Tapanoeli dan beribukota di Padang Sidempuan. Saat itu yang menjadi Residen Tapanoeli adalah Abdul Hakim Harahap (menggantikan posisi FL Tobing yang diangkat menjadi menteri). Ketika jelang KMB di Den Haag, Abdul Hakim menjadi penasehat delegasi RI ke Den Haag. Untuk pimpinan republik di Tapanoeli diangkat Abdul Abbas. Kedua  tokoh republikan ini adalah anak-anak rantau yang pulang kampung karena alasan yang berbeda. Abdul Hakim Harahap lahir di Sarolangoen, Djambi, sedangkan Abdul Abbas lahir di Medan. Pada tahun-tahun terakhir keberadaan Belanda (1938-1941) Abdul Hakim pejabat ekonomi di Makassar dan Abdul Abbas sebagai advocat di Lampong. Singkat kata: Abdul Abbas pulang kampung ke Tapanoeli pada era Jepang karena ayahnya meninggal di Padang Sidempuan, sedangkan Abdul Abbas tetap sebagai advocat di Lampong. Saat pembentukan RI, pasca Kemerdekaan RI, Abdul Abbas adalah anggota PPKI yang diketuai Soekarno. Lalu pada permulaan pemerintahan di Sumatra, Abdul Abbas diangkat sebagai Residen pertama di Lampong. Kemudian pada agresi militer pertama, Abdul Abbas ditarik ke Jogjakarta (ibukota RI). Saaat genting di Medan dan Sumatra Timur, Abdul Abbas dikirim ke Medan sebagai Residen Sumatra Timur. Istrinya, Ani Manoppo tetap setia mendapinginya hingga ke Tapanoeli di Padang Sidempoean, kampung halaman dari suaminya sendiri.

**Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe.

Tidak ada komentar: