Trio Pimpinan PPI Belanda (1939): Sidhartawan, Lubis dan Ildrem |
Di Belanda 1939, trio pimpinan Perhimpunan Pelajar Indonesia melakukan perlawanan terhadap fasis untuk mencapai kemerdekaan Indonesia (Parlindungan Lubis, sebagai ketua, Sidhartawan, sebagai sekretaris dan Mohamad Ildrem sebagai bendahara). Parlindungan ditahan lima tahun di kamp NAZI di Jerman, Mohammed Ildrem mengalami penganiayaan yang mengerikan dan biadab oleh orang-orang Yahudi di Jerman dan Sidhartawan meninggal selama di tahanan (Algemeen Handelsblad, 08-12-1942).
Sekembalinya
ke tanah air, Parlindungan Lubis bergabung dengan Republik di Jogjakarta.
Sedangkan Mohamad Ildrem yang beristri orang Belanda terhambat masuk ke wilayah republik dan
membuka dokter praktek di Jakarta, kemudian pindah membuka dokter praktek di
Medan (wilayah yang sama-sama dikuasai oleh Belanda). Di Medan Mohamad Ildrem bagaikan
buah Simalakama, Secara defacto Mohamad Ildrem adalah republic tetapi secara
dejure adalah BFO di Medan (Sumatera Timur berada di negara federal buatan Belanda).
Sementara teman-temannya dari Tapanoeli, meski berada di wilayah BFO, tetapi hampir
semuanya tetap republiken, seperti Dr. Djabangoen Harahap dan Gading Batoebara
Josua (GB Josua).
Namun
ketika terjadi perubahan yakni dengan pengakuan kedaulatan Republik Indonesia,
Mohamad Ildrem menjadi perekat antara orang-orang Republiken dan Federalis yang
pada akhirnya Negara Sumatera Timur menjadi bagian dari NKRI (Negara Kesatuan
Republik Indonesia). Dr. Mohamad Ildrem (alumni sekolah kedokteran di Belanda
bersama Dr. Palindungan Lubis) menjadi penghubung dua seteru secara politik di Medan
yang sama-sama alumni STOVIA yakni antara Dr. Djabangoen Harahap, Ketua Front
Nasional Medan dengan Dr. Tengkoe Mansoer, Wali Negara Sumatera Timur. Pada
pasca pengakuan kedaulatan RI, ketika Abdul Hakim Harahap diangkat menjadi
Gubernur Sumatera Utara (1951) normalisasi hubungan dua kelompok anak bangsa di
Medan lebih cepat kondusif dibanding dengan daerah lain di Indonesia. Dalam
hal ini Dr. Mohamad Ildrem menjadi faktor penting.
Siapa Mohamad
Ildrem?
Muhammad Ildrem Siregar terdeteksi pertama
kali namanya di Batavia sebagai salah satu siswa yang naik dari kelas dua ke
kelas tiga sekolah MULO di Gang Mendjangan (lihat Het nieuws van den dag voor
Nederlandsch-Indie, 18-05-1926). Setelah lulus pulang ke Medan (Bataviaasch
nieuwsblad, 17-05-1927). Setahun berikutnya Mohamad Ildrem naik ke kelas lima
di sekolah AMS Salemba di Weltevreden (Het nieuws van den dag voor
Nederlandsch-Indie, 04-05-1928). Pada tahun 1930 Mohamad Ildrem naik dari kelas
lima ke kelas enam di sekolah HBS (AMS afd. B) di Medan (De Sumatra post, 02-05-1930).
Tahun 1931 Mohamad Ildrem lulus ujian akhir VHO (afd. B AMS) di Medan (De
Sumatra post, 07-05-1931)..
Nieuwsblad van het Noorden, 08-12-1937 |
Het Vaderland : staat- en letterkundig nieuwsblad, 03-03-1939 |
‘Jika memang
perang untuk demokrasi, daripada di negara mereka sendiri yang harus
meningkatkan hak-hak demokratis. Dalam prakteknya, yang terjadi adalah sebaliknya.
Jika itu adalah perang untuk kebebasan, orang harus di tempat pertama untuk
memberikan kebebasan kepada masyarakat kolonial. negara-negara ini,
bagaimanapun, tidak mendapatkan kebebasan, sebaliknya .... di negara-negara
hak-hak orang masih terbatas. Kami tidak memiliki manfaat dari perang ini,
tidak ingin orang banyak di kedua sisi kita. Kami hanya diuntungkan oleh
perdamaian. Orang-orang Indonesia harus memiliki hak untuk membebaskan nasib sendiri.
PPI sebagai bagian dari Gerakan Nasional Indonesia yang mendukung persyaratan
progresif: Sebuah parlemen untuk Indonesia. Akhirnya, gerakan yang telah
disahkan, dimana Perhimpoenan Indonesia sepenuhnya mendukung kegiatan Gerakan
Nasional untuk mengkonsolidasikan posisi rakyat Indonesia (Het volksdagblad :
dagblad voor Nederland, 16-01-1940).
Mohamad
Ildrem menikah dengan gadis Belanda bernama WJ Brink di Amsterdam (1940). Pada
November 1941 anak M. Ildrem lahir yang diberi nama Abdul Kadri (Leidsch
dagblad, 19-11-1941). M. Ildrem membuka dokter praktek. Dalam kehidupan
sehari-hari M. Ildrem gemar bermain bridge dan kerap berpasangan dengan Ibnoe (Leidsch
dagblad, 27-01-1943).
Mohamad
Ildrem yang lahir 22-09-1909 dan
berangkat studi ke Belanda (1931) pulang ke tanah air tahun 1947. Di Batavia
Ildrem membuka dokter praktek di Jalan Raden Saleh (Het dagblad: uitgave van de
Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 10-07-1947) dan juga di Patjenongan (Het
dagblad : uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 26-08-1947).
Pada bulan Juli 1948 Mohamad Ildrem telah pindah ke Medan dan tinggal di Jalan
Adinda 6 dan membuka dokter praktek Psychiater-Neuroloog di Jalan Timor 6 (Het
nieuwsblad voor Sumatra, 06-07-1948).
Di
Medan awal tahun 1949 pemerintah kolonial membentuk dewan Negara Sumatera
Timur. Pembentukan ini dilakukan karena di Sumatera Timur sudah sepenuhnya
terkendali. Sedangkan di Tapanoeli pertempuran antara pasukan Republik terus
meluas.
Het nieuwsblad
voor Sumatra, 22-03-1949: ‘pemerintah Belanda membentuk Nagararaad di Medan
yang diusulkan berjumlah 35 orang. Sejumlah anggota masyarakat ditunjuk, antara
lain Dr. Slamat RM Sarsidi, Dr. Mohamad Ildrem.
Het nieuwsblad
voor Sumatra, 23-04-1949: ‘Dalam sesi pertama pertemuan Negararaad Sumatera
Timur, kemarin berhasil membuat beberapa keputusan terutama anggaran untuk
tahun 1949 dan pada semester kedua anggarkan dengan jumlah f 200.000. (Dalam
rapat ini juga disinggung) yang mana RM Ibenu mempertanyakan mengenai larangan
kantor untuk Front Nasional’,
Di
tingkat nasional pemerintah colonial mulai melakukan konsolidasi terhadap
wilayah-wilayah yang sudah menjadi kekuasaan Belanda. Pada bulan Juni di
Batavia dilakukan pertemuan para petinggi dari wali-wali Negara yang telah
terbentuk. Sementara di wilayah Republik di Tapanoeli yang masih tersisa di
afdeeling Padang Sidempuan pertempuran semakin memanas. Kampong halaman
Mohamnad Ildrem di Padang Sidempuan adalah sisa wilayah republik yang belum
berhasil dikuasai Belanda.
Het nieuwsblad voor Sumatra, 07-06-1949: ‘Minggu lalu diadakan
pertemuan Perwakilan Tinggi, wali semua-gatra dan pertemuan Kepala Daerah di
Batavia. Dalam foto dari kiri ke kanan: Dr. Mansur, Mr. Djumhari (Perdana
Menteri Pasundan), Mr J. Vleer (Sekretaris BFO), RAA. Cakraningrat (Madura),
RAA Wiranatakusumah (Pasundan), Tjokorde Gde Rake Sukawati (Indonesia Timur),
Soeltan Hamid II (Kalimantan Barat), Abdul Malik (Sumatera Selatan), Achmad
Kusumonegoro (Jawa Timur), Anak Agung Gde Agung (Perdana Menteri Indonesia
Timur) dan Dr. Suparmo, anggota delegasi khusus dari BFO, Madura’.
Di Medan terjadi mosi, menolak Negara Sumatera
Timur menjadi satu federasi Sumatera. Setelah Tengkoe Mansoer tiba di Medan
dilakukan pertemuan. Dr. Mohamad Ildrem meminta proposal pembentukan federasi
untuk ditunda. Pembentukan federasi Sumatera bertentangan dengan pembentukan
Negara Sumatera Timur dan dapat mengganggu independensi Negara
Sumatera Timur sendiri. Adanya keinginan untuk memenuhi permintaan pemerintah
(BFO) dalam hal ini untuk ditarik kembali. Mosi ini lalu ditandatangani oleh
sejumlah orang termasukMohamad Ildrem. Mosi ini akan dibawa kembali oleh
Tengkoe Mansoer dalam pertemuan BFO berikutnya di Batavia.
Akibat tekanan militer Belanda di Sumatera Timur, pasukan
republic semakin terdorong ke Tapanoeli. Afdeeling Padang Sidempuan menjadi
tujuan pengungsi. Di wilayah ini militer Belanda mulai melakukan konsolidasi
untuk menguasai Tapanoeli. Pimpinan respublik dijabat Dr. Gindo Siregar sebagai
Gubernur Militer dan Abdul Hakim sebagai Rasiden Tapanoeli. agresi militer
Belanda yang kedua ini yang dimulai pada 19 Desember 1948 dengan melakukan
serangan terhadap Yogyakarta, Ibukota Republik Indonesia. Presiden Soekarno dan
Wakil Presiden Muhammad Hatta ditangkap dan dibuang ke Brastagi. Akibatnya
ibukota Republik Indonesia dipindahkan ke Bukittinggi dengan dibentuknya
Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) pada tanggal 22 Desember 1948. PDRI
yang berkedudukan di Bukittinggi dipimpin oleh Syafruddin Prawiranegara.
Sementara, di Tapanuli pasukan Belanda melakukan serangan ke Sibolga baik dari
laut, darat dan maupun udara. Akhirnya kota Sibolga jatuh ke tangan pasukan
Belanda pada tanggal 20 Desember 1948. Setelah Batangtoru berhasil direbut,
selanjutnya pasukan Belanda mengebom kota Padang Sidempuan dengan dua pesawat
tempur. Pasukan Brigade-B dan MBK Tapanuli menyingkir dan mundur ke
Penyabungan. Pasukan Belanda akhirnya memasuki Padang Sidempuan pada tanggal 1
Januari 1949. Pasukan Belanda menemukan ibukota Angkola itu sudah habis di bumi
hangus yang ditinggalkan warganya (Hanya ada dua lautan api di Indonesia:
Bandung Lautan Api dan Padang Sidempuan Lautan Api). Pada tanggal 21 Januari
1949 kota Sipirok diserang oleh pasukan Belanda dan Pemerintahan RI di kota itu
terpaksa mengungsi. Pada tanggal 30 Januari 1949, Binanga Siregar selaku Wakil
Residen Tapanuli mengunjungi Bukit Maondang dan Arse di Tapanuli Selatan untuk
menyaksikan dari dekat pertahanan republik di garis depan. Dengan jatuhnya kota
Padang Sidempuan ke tangan pasukan Belanda dan kekalahan yang dialami pasukan
dan laskar rakyat, maka di wilayah pertahanan RI ini di Huta Goti. Pada tanggal
5 Mei 1949 sekitar pukul 04.00.WIB pasukan Belanda mulai melakukan penyerangan terhadap lawan
yang dilaporkan membuat pertahanan berupa benteng di Huta Huraba. Posisi
Benteng Huraba sangat strategis, karena jalan menuju ibukota RI di Bukittinggi.
Pertempuran Benteng Huraba ini sangat heroic dan tidak bisa ditembus pasukan
Belanda menuju ibukota RI. Dalam pertempuran ini ditaksir cukup besar kerugian
yang dialami oleh pihak pasukan gabungan baik jiwa maupun materi. Dari anggota
pasukan MBK Tapanuli sendiri yang gugur terdapat sebanyak 11 orang dan dari
pasukan Brigade–B sebanyak 16 orang. Sementara dari barisan laskar dan rakyat
yang tergabung dalam pertempuran itu tidak pernah tercatat berapa orang yang
sudah gugur. Wilayah Mandailing, di belakang Benteng Huraba adalah satu-satunya
daerah republiken yang tidak pernah disentuh militer Belanda dalam agresi
militer (kedatanga Belanda kembali). Benteng Huraba telah turut serta dari sisi
utara dalam mengamankan ibukota Republik Indonesia di Bukittinggi.
Pada tanggal 3 Agustus 1949 gencatan senjata antara
Belanda dan Indonesia disepakati. Kemudian dilanjutkan perundingan yang disebut
Konferensi Meja Bundar (KMB), sebuah pertemuan antara pemerintah Republik
Indonesia dan Belanda yang dilaksanakan di Den Haag, Belanda dari 23 Agustus
hingga 2 November 1949. Hasil
perundingan itu antara lain dan yang terpenting bahwa kedaulatan NKRI akan
diserahkan selambat-lambatnja pada tanggal 30 Desember 1949. Delegasi RI ke KMB
dipimpin oleh Mohamad Hatta, yang mana sebagai penasehat delegasi adalah Abdul
Hakim (Residen Tapanoeli).
Dalam perkembangannya, di Medan dibentuk
asosiasi Persatoean Politik yang baru. Het nieuwsblad voor Sumatra, 12-09-1949
melaporkan kemarin diadakan pertemuan beberapa ratus orang (baik republiken
maupun federalis) mendirikan chapter organisasi politik yang baru yang disebut
Parsatuan Indonesia Raya yang berkantor pusat di Djogjakarta. Pembentukan
chapter Medan ini dipimpin oleh Mr. Mahadi. Susunan dewan sementara: Mr. Mahadi
(ketua) yang terdiri dari beberapa anggota termasuk Dr M. Ildrem.
Akhirnya (setelah KMB di Den Haag) terjadi Pengakuan
Kedaulatan Republik Indonesia. Di Medan, Mr. Mahadi mengundang semua
pihak-pihak yang berada di Medan untuk berkumpul untuk membentuk komiter
penyerahan kedaulatan. Pemerintah Negara Sumatera Timur diwakili oleh Tengkoe
Hafas. Asosiasi Belanda diwakili oleh wakil ketua, Mr W. J. Borgerhoff Mulder.
Dari Republik Indonesia diwakili oleh GB Josua dan Soegondo.
Mengapa ketua masing-masing tidak hadir? Di Medan, Negara
Sumatera Timur, bendera Republik Indonesia (merah putih) diwakili oleh Front
Nasional Medan yang diketuai oleh Dr. Djabangoen Harahap. Front Nasional secara
de facto melakukan perlawanan terhadap Belanda (bukan terhadap tokoh orang-orang
pribumi Negara boneka yang dibentuk). Pada awalnya, sebelum dibentuknya Front
Nasional, Dr. Djabangoen Harahap menangani kesehatan para penduduk republik di
Medan dan Sumatera Timur, sedangkan guru Mr. GB. Josua menangani pendidikan
para anak-anak republiken. Ketika terjadi agresi militer kedua (di Tapanoeli),
Front Nasional dibentuk di Medan untuk melakukan perlawanan di Sumatera Timur.
Dr. Tengkoe Mansoer didaulat untuk memimpin penduduk yang pro Belanda yang
kemudian Mansoer diangkat Belanda menjadi wali Negara Sumatera Timur. Dalam
fase genbjatan senjata (proses KMB tengah berlangsung di Den Haag) antara dua
kubu melakukan konsolidasi masing-masing yang seiring dengan perkembangan, kedua kubu
membentuk Persatuan Indonesia Raya (karena proses KMB memiliki titik terang
akan dimenangkan oleh Republik Indonesia). Pimpinan delegasi RI ke KMB adalah
M. Hatta dengan penasehat delegasi Abdul Hakim Harahap (Residen Tapanoeli). Pada
waktunya, pasca pengakuan kedaulatan RI, Abdul Hakim diangkat menjadi Gubernur
Sumatra Utara. Kedua tokoh utama
(Dr. Djabangoen dan Dr. Tengko Mansoer) tidak hadir mungkin sudah lelah dan boleh
jadi lini kedua yang dipromosikan (mungkin saja karena urusannya tidak lagi ‘heroik’)..
Setelah perdebatan (dan adanya beberapa keberatan
dari Negara Sumatera Timur) komite akhirnya terbentuk. Anggota komite terdiri
dari: Mr. Mahadi, Mr. GB Josua. Tengku Amiruddin, Dr. M. Ildrem dan Sugondo
(lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 23-11-1949). Lima hari kemudian, Het
nieuwsblad voor Sumatra, 28-11-1949 melaporkan komite penyerahan menjadi: Ketua:
Mr. GB. Josua, Wakil Ketua: Mr. Mahadi, Anggota: Tengku Amiroedin, Dr. M. Ildrem
dan Mr Sugondo Kartoprodjo; Sekretaris: de heer Putih. Slogan yang digunakan
dalam penyerahan: dari rakyat untuk rakyat’.
Selanjutnya dibentuk parlemen RIS (Republik Indonesia
Serikat). Jumlah anggota terdiri dari 150 anggota, 50 mewakili dari para negara
Republik Indonesia, sedangkan daerah ex BFO (Bijeenkomst voor Federal Overlag) menunjuk
100 anggota. Untuk Negara Sumatera Timur terdiri dari enam kursi. Tidak
termasuk Mohamad Ildrem, yang bukan anggota Negara Sumatera Timur (Het
nieuwsblad voor Sumatra, 02-12-1949).
Pada akhir Mei 1950 di Medan dilakukan rapat
dewan Negara Sumatera Timur. Dalam rapat ini hanya 18 dari 40 anggota yang
hadir. sehingga kuorum dari 20 itu tidak tercapai. Ini mengindikasikan Negara
Sumatera Timur tidak efektif lagi. Namun Presiden dewan Sumatera Timur menyatakan
masih valid dan tetap mengambil keputusan. Salah satu keputusan pemberhentian Wali
Negara Tengku Hafas. Penggantinya ditunjuk Mr Abdul Wahab dan Dr. Mohamad
Ildrem (Het nieuwsblad voor Sumatra, 01-06-1950).
Penunjukan Mr Abdul Wahab dan Dr. Mohamad Ildrem sangat
strategis. Kedua tokoh ini dengan mudah berbicara dengan tokoh-tokoh republiken
seperti Djabangoen, GB Josua, Binanga Siregar dan Abdul Hakim. Dr. Mohamad
Ildrem dalam hal ini menjadi factor penting dalam normalisasi hubungan antara
para republiken dengan para federalis. Sementara itu, keluarga Dr. Mohamad
Ildrem mulai normal kembali. Istri dan dua anaknya yang selama ini di Belanda,
setelah melihat situasi menjadi normal datang dari Belanda dengan menumpang
kapal Willem Ruys dan pada tanggal 16 Desember tiba di Belawan (Het nieuwsblad
voor Sumatra, 10-12-1952).
Itulah akhir dari Negara Sumatera Timur dan
menjadi awal bagi putra-putri Tapanoeli khususnya dari Padang Sidempuan untuk
mengisi pembangunan di Provinsi Sumatera Utara (Tapanoeli en Sumatra’s
Oostkust). Dr. Mohamad Ildrem mulai nyaman di Medan, perjuangannya untuk
mencapai kemerdekaan sejak di Belanda melalui Persatuan Pelajar Indonesia kini
terwujud.
Dr. Mohamad Ildrem yang selama ini dikenal sebagai pemain
brige di Belanda, juga memiliki minat dalam bidang olah raga lainnya yakni
sepakbola. Het nieuwsblad voor Sumatra, 09-11-1953 melaporkan tim dokter Medan
bertanding dengan tim yang lain, dimana Dr. Mohamad Ildrem memiliki posisi sebagai pemain tengah. Cocok dengan
lika-liku riwayatnya. Istrinya, WJ Brink juga mulai nyaman dan aktif di
lapangan olahraga sebagai pemain tennis lapangan (Het nieuwsblad voor Sumatra, 14-05-1954).
Dr. Mohamad Ildrem Siregar adalah salah satu
dari sejumlah dokter di Medan yang diminta oleh Gubernur Abdul Hakim Harahap untuk
membangun Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Pada akhir tahun 1953
Abdul Hakim dipindahkan ke Jakarta. Presiden Universitas Sumatera Utara
berikutnya adalah Gubernur SM Amin Nasution (Het nieuwsblad voor Sumatra, 18-01-1954).
Fakultas Kedokteran yang masih muda ini terus
berkembang. Jumlah mahasiswa yang sudah masuk angkatan ketiga, sudah mulai
kondusif kuliah. Satu hal yang tidak terduga, sebagaimana dilaporkan Het nieuwsblad
voor Sumatra, 28-09-1954 bahwa pendiri dan Ketua pertama Perhimpunan Mahasiswa
Sumatera Utara bernama P. Harahap. Kita teringat kembali setengah abad yang
lalu, mahasiswa pribumi pertama yang tiba di Belanda adalah Radjioen Harahap
gelar Soetan Casajangan pada tahun 1905. Pada tahun 1908 Soetan Casajangan
mendirikan Perhimpunan Pelajar Indonesia yang kemudian pada tahun 1922 berganti
nama menjadi Persatuan Pelajar Indonesia. Pada Periode 1938-1941, Mohamad
Ildrem termasuk trio pimpinan Persatua Pelajar Indonesia di Belanda.
Sekadar
diketahui pelopor pendirian organisasi mahasiswa Indonesia semuanya berasal
dari Padang Sidempuan. Selain Soetan Casajangan di Belanda tahun 1908, pada
tahun 1947 (Februari) di Djojakarta didirikan organisasi mahasiswa di luar
kampus yang disebut HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) yang dipelopori oleh Lafran
Pane (adik Sanusi dan Armijn Pane) dan pada bulan Mei 1947 di Jakarta didirikan
PMUI (Persatuan Mahasiswa Universitas Indonesia). Organisasi PMUI yang berada
di dalam kampus ini meliputi semua fakultas-fakultas kedokteran dan fakultas
lainnya di Jakarta (cikal bakal UI), fakultas di Bogor (cikal bakal IPB),
fakultas di Bandung (ITB), di Makassar (cikal bakal Unhas). Pelopor dan ketua
dan wakil ketua pertama adalah Ida Nasution dan G. Harahap.
Di
Medan, juga didirikan cabang Rotary Club. Rotary International atau biasanya
dikenal sebagai Rotary Club adalah sebuah Club yang tersebar di seluruh dunia.
Anggota Rotary Club adalah para pemimpin bisnis dan profesional yang memberikan
jasa kemanusiaan, mendorong adanya standar etika yang tinggi dalam setiap
kegiatan sukarela, dan membantu membangun kebersamaan dan kedamaian di dunia.
Mottonya adalah Service above Self (Mementingkan Kegiatan Saling Membantu
daripada Kepentingan Diri Sendiri). Pimpinan Rotary Club di Medan adalah Dr.
Mohamad Ildrem (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 22-04-1955).
Het nieuwsblad
voor Sumatra, 22-04-1955: ‘Dalam ulang tahunnya yang ke-25, Rotary Club Medan (Rotary
International ulang tahun yang ke-50) dirayakan dengan menyumbangkan untuk perpustakaan
di dua universitas di Sumatera Utara. Untuk tujuan ini klub telah meminta
bantuan dari klub Rotary lain di dunia. Hasilnya adalah sekitar 700 buku yang berhasil
dikumpulkan terutama untuk kebutuhan mahasiswa kedokteran, hukum dan teologi di
Sumatera Utara. Wakil Presiden Rotary Club Medan, Dr. M. Ildrem menyatakan
bahwa perpustakaan ini secara simbolis diserahkan kepada Universitas Sumatera
Utara (USU) dan Universitas Islam Sumatera Utara (UISU). Hal ini disampaikan
dalam pertemuan perwakilan Rotary Club Medan, profesor, lektor dan mahasiswa
dari kedua universitas di Auditorium Universitas Islam di Jalan Singamangaradja.
Dr. Ildrem menyerakan bantuan perpustakaan ini kepada Dr. Ahamd Sofian dan H.
Bahrum Djamil yang mewakili masing-masing universitas’.
Dr.
Mohamad Ildrem terus aktif berpartisipasi pengembangan Universitas Sumatera
Utara. Sehubungan dengan keinginan pemerintah membentuk universitas negeri
telah dibentuk komite dengan komposisi sebagai berikut (lihat Het nieuwsblad
voor Sumatra, 02-02-1957): Presiden, Gubernur Sumatera Utara, Wakil Presiden, Prof.
Dr. Maas, sekretaris pertama, Mr J. Arnold Sitnandjuntak (Kepala departemen administrasi umum di kantor gubernurm sekretaris
kedua, Ny. Mahadi, bendahara, Mr Paras Nasution (Direktur Bank Dagang Indonesia),
ketua-ketua untuk mewakili DPRD Sumatera Utara dan DPRD Kota Medan dengan
anggota sebagai berikut: Prof. M. Ildrem, Prof. A. Sofian, Prof. Mr. Mrs. A.
Abas Manoppo, Prof. Mr. T. Dzuikanain, Ir. Tan Hong Tong dan G. Sianipar. Prof.
Mr. Mahadi sebagai anggota pembentukan universitas mengatakan akan mencakup
fakultas kedokteran, ilmu hukum dan sosial, ilmu pertanian, pedagogi dan
kedokteran gigi. Dua yang pertama sudah terbentuk tahun-tahun sebelumnya. Untuk
ilmu pertanian dan pedagogi akan dibentuk yang dimulai pada tahun lalu,
sementara fakultas yang lainnya masih sedang dipersiapkan’.
Prof. Mr. Mrs. A. Abas Manoppo sangat terkenal di Medan sebagai tokoh wanita. Guru besar Universitas Sumatra Utara ini adalah istri Abdul Abbas Siregar, Presiden Republik Indonesia di Tapanoeli pada masa agresi militer Belanda yang kedua. Sebagaimana diketahui, sisa Republik Indoensia yang beribukota di Bukittinggi hanya tinggal empat: Djawa Tengah/Jokjakarta, Lampoeng, Tapanoeli dan Atjeh. Abdul Abbas Siregar datang ke Medan pada saat agresi Militer Belanda sebagai wakil RI di Jokjakarta untuk menjadi Residen Sumatra Timur di pengungsian di Pematang Siantar. Akhirnya Sumatra Timur yang republik terdesak ke Tapanoeli dan beribukota di Padang Sidempuan. Saat itu yang menjadi Residen Tapanoeli adalah Abdul Hakim Harahap (menggantikan posisi FL Tobing yang diangkat menjadi menteri). Ketika jelang KMB di Den Haag, Abdul Hakim menjadi penasehat delegasi RI ke Den Haag. Untuk pimpinan republik di Tapanoeli diangkat Abdul Abbas. Kedua tokoh republikan ini adalah anak-anak rantau yang pulang kampung karena alasan yang berbeda. Abdul Hakim Harahap lahir di Sarolangoen, Djambi, sedangkan Abdul Abbas lahir di Medan. Pada tahun-tahun terakhir keberadaan Belanda (1938-1941) Abdul Hakim pejabat ekonomi di Makassar dan Abdul Abbas sebagai advocat di Lampong. Singkat kata: Abdul Abbas pulang kampung ke Tapanoeli pada era Jepang karena ayahnya meninggal di Padang Sidempuan, sedangkan Abdul Abbas tetap sebagai advocat di Lampong. Saat pembentukan RI, pasca Kemerdekaan RI, Abdul Abbas adalah anggota PPKI yang diketuai Soekarno. Lalu pada permulaan pemerintahan di Sumatra, Abdul Abbas diangkat sebagai Residen pertama di Lampong. Kemudian pada agresi militer pertama, Abdul Abbas ditarik ke Jogjakarta (ibukota RI). Saaat genting di Medan dan Sumatra Timur, Abdul Abbas dikirim ke Medan sebagai Residen Sumatra Timur. Istrinya, Ani Manoppo tetap setia mendapinginya hingga ke Tapanoeli di Padang Sidempoean, kampung halaman dari suaminya sendiri.
**Dikompilasi
oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan
sumber-sumber tempo doeloe.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar