Rabu, September 16, 2015

Sejarah Kota Medan (1): Pada Saat Medan Masih Sebuah Kampung, Padang Sidempuan Sudah Menjadi Kota

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Medan dalam blog ini Klik Disin
 .

Baca juga:


Ketika Medan, sebuah kampung; Padang Sidempuan, sebuah kota
Pada masa kini, Medan adalah ibukota Provinsi Sumatra Utara. Pada masa kini, Provinsi Sumatra Utara terdiri dari sejumlah kabupaten dan sejumlah kota. Pada masa kini, Kota Medan sudah menjadi kota besar (metropolitan): kota nomor tiga terbesar di Indonesia. Kota yang berada di Tanah Deli ini masih akan tumbuh dan berkembang hingga ke masa datang. Lantas kapan Kota Medan mulai tumbuh dan kapan pula terbentuknya Provinsi Sumatra Utara. Sebagai perbandingan awal, ketika Medan masih sebuah kampung, Padang Sidempuan sudah menjadi kota (besar). Sebagai perbandingan awal juga, ketika Sumatra's Oostkust (Pantai Timur Sumatra) yang beribukota Medan menjadi Residentie, jauh sebelumnya Tapanoeli sudah menjadi Residentie. Kota Padang Sidempuan sendiri pernah menjadi ibukota Residentie Tapanoeli (1875).
Wilayah yang menjadi Residentie Sumatra's Oostkust (Patai Timur Sumatra) adalah pemekaran wilayah dari Residentie Riaow, sementara Residentie Tapanoeli adalah pemekaran dari Provinsi Sumatra's Westkust (Pantai Barat Sumatra). Ketika, status Sumatra's Oostkust ditingkatkan dari residentie menjadi province dibentuk Residentie Atjeh. Pada periode kedua pemilihan anggota dewan (Volksraad), nama Sumatra Utara (Noord Sumatra) muncul yang mana Residentie Tapanoeli dan Residentie Atjeh digabung sebagai satu daerah pemilihan (dapil) yang disebut dapil Noord Sumatra (Sumatra Utara). Sedangkan Province Sumatra's Oostkust menjadi satu dapil sendiri. Ketika Residentie Atjeh dimekarkan, pemilik nama Sumatra Utara hanya tinggal Tapanoeli. Dalam perkembangannya, nama Sumatra's Oostkust dihapus, lalu wilayah-wilayah eks Sumatra's Oostkust bersama dengan wilayah-wilayah eks Tapanoeli digabung menjadi sebuah provinsi. Nama provinsi disebut Sumatra Utara (nama yang telah lama melekat dan dikaitkan dengan Tapanoeli).
Sehubungan dengan itu, lantas apa hubungan Padang Sidempuan dengan Medan? Dan apa pula hubungan Tapanoeli dengan Sumatra Utara? Serial artikel ini coba menelusuri mulai dari titik nol: Kapan terbentuk kota Padang Sidempuan (1841), kapan terbentuk kota Medan (1869); kapan terbentuk Tapanoeli (1845), kapan terbentuk Sumatra's Oostkust (1879) dan terakhir, kapan terbentuk Sumatra Utara (1927). Hal yang terpenting dari itu adalah apa saja peran anak-anak Padang Sidempuan sejak awal dalam membangun kota Medan dan membentuk provinsi Sumatra Utara. Mereka  datang dari kota pertama di Sumatra Utara, yakni Padang Sidempan, ibukota Afdeeling Mandheling en Ankola, tempat dimana Multatuli (Edward Douwes Dekker) belajar soal keadilan (1843), tempat dimana Herman Neubronner van der Tuuk belajar dan menyusun tatabahasa Bahasa Batak (1850), tempat dimana Nommensen belajar sistem sosial orang Batak (1861), tempat dimana Charles Adrian van Ophuijsen belajar dan menyusun tatabahasa Bahasa Melayu (1879), tempat dimana semua penduduknya Republiken.

Sebagai gambaran awal, peran anak-anak Padang Sidempuan sejak dari awal di Kota Medan diantaranya, adalah: pers (koran dan percetakan) pribumi pertama (1902), editor pribumi pertama (1903), guru pribumi pertama (1893), pengawas sekolah pertama (1910), pemilik sekolah pribumi pertama (1903), dokter-dokter pertama pemberantas kusta, kolera dan tbc, pemilik klubdan pendiri bond sepakbola pribumi pertama, anggota dewan kota (gementeeraad) pribumi pertama (1918) dan anggota dewan pertama yang terpilih ke dewan pusat (Volksraad) di Pejambon, Batavia (1927). Anak-anak Padang Sidempuan juga adalah pendiri organisasi sosial pertama (1904), penggagas pasar sentral dan pelopor pengembangan rumah sakit (1928),  kepala pelabuhan pribumi pertama, jaksa pribumi pertama (1893) dan polisi pribumi pertama. Anak-anak Padang Sidempuan juga yang terkena delik pers pertama (1911), pertama dalam melawan kolonialisme, republiken, para pejuang di medan tempur dan ketua Front Nasional Medan (1945). Anak-anak Padang Sidempuan pasca perang adalah ketua panitia hari kemerdekaan pertama di Medan (1950), Walikota Medan pertama (1945), Residen Sumatra Timur pertama, Gubernur Sumatra Utara pertama, penggagas, pendiri dan presiden universitas (USU) pertama (1953), notaris pribumi pertama (1937), ahli hukum pribumi pertama (1917), penggagas pembangunan stadion Teladan (1953). Mari kita lacak kisah masing-masing dan peranan-peranan apa lagi yang mereka lakukan sejalan dengan pembangunan dan perkembangan Kota Medan (dan provinsi Sumatra Utara). 
Namun perlu diketahui, bahwa semua prestasi itu tidak terjadi tiba-tiba dan bersifat lokal. Anak-anak Padang Sidempuan bahkan sudah sejak lama di tingkat nasional dan internasional melakukan kebajikan yang serupa, diantaranya: siswa pertama dari luar jawa di Docter Djawa School (STOVIA) tahun 1854, siswa pertama pribumi studi ke Belanda (1857), penulis buku pelajaran pertama (1862), pengarang novel/roman pertama (1895), penyusun buku panduan perjalanan haji pertama (1902), penulis buku pertama terbit di Eropa (1913), alumni sekolah hukum pertama (rechtschool) di Batavia (1914), alumni pertama sekolah menengah pertanian di Buitenzorg (1911), alumni pertama sekolah dokter hewan di Belanda (1909) di Buitenzorg, pendiri organisasi sosial pertama, Medan Perdamaian tahun 1900 (jauh sebelum adanya Boedi Oetomo, 1908), pendiri dan presiden perhimpunan mahasiswa di Belanda (1908), pendiri Sumatra Bond (1817), pendiri Tapanoeli Bond, pendiri Batakcshe Bond, pendiri bank pribumi pertama (1920), peraih gelar doktor hukum pribumi pertama (1925), peraih gelar doktor perempuan pertama (1931), pendiri organisasi wartawan (1918), pendiri akademi wartawan (1951), ketua panitia kongres pemuda (1928), ketua KADIN pribumi pertama (1929), orang pribumi pertama ke Jepang (1932), anggota BPUPKI (1945), walikota pribumi pertama di Kota Surabaya (1942), Residen Sumatra Tengah (Sumatra Barat dan Riau) pertama (1945), Residen Lampung pertama (1948). Daftar ini lebih panjang lagi dengan menyertakan tokoh-tokoh di bidang militer, perdana menteri, wakil presiden dan menteri. Last but not lease: pendiri dan presiden pertama himpunan mahasiswa Islam  HMI (1947) dan pendiri dan presiden pertama persatuan mahasiswa universiteit van Indonesia PMUI (1947).
Tentu saja masih banyak lagi yang dapat memberi gambaran kontekstual tentang peranan anak-anak Padang Sidempuan pada fase awal sejarah Kota Medan dan sejarah Indonesia. Nama-nama mereka seharusnya ditempatkan dalam top list bumiputra dengan tinta emas cetak tebal baik dalam penulisan sejarah Kota Medan dan maupun penulisan sejarah Indonesia. Kini, di era teknologi informasi, data-data sudah terbuka dan terang benderang. Tidak ada lagi ruang untuk memanipulasi data dan informasi sejarah. Salam jasmerah. Mari kita mulai seri artikel pertama.

Labuhan Deli, Onderafdeeling Deli, Afdeeling Siak, Residentie Riaouw 

Kota Medan, belumlah setua kota Padang Sidempuan dan Sibolga. Kota Medan justru baru muncul setelah adanya perkembangan di Deli. Ini bermula ketika keluar Beslit No. 8 tanggal 21 Februari 1965, yang isinya: (a) disetujui penempatan controleur di Siak, Laboean Batoe, Panei, Batoe Bara dan Deli untuk melayani para kas houder (post houder) di lanskap dimaksud yang akan berada dibawah kas houder Afdeeling Siak (b) manajemen dan administrasi akan dilakukan sesuai dengan Resolusi No 27 tanggal 29 Mei 1852. Dalam perkembangannya, beberapa lanskap baru dibentuk dengan menempatkan controleur. Singkat cerita: Dalam Almanak 1870, Residentie Riouw en onderhoorigheden konfigurasi pemerintahan menjadi terdiri dari beberapa afdeeling: Siak Sri Indrapoera, Lingga, Karimon, Batam, Noord Bintang, Zuid Bintang dan Tandjong Pinang. Afdeeling Siak Sri Indrapoera terdiri dari enam onderafdeeling, yakni: Siak, Deli, Batubara, Asahan, Bengkalis dan Laboean Batoe (Panei dihapuskan lalu dimasukkan ke Laboehan Batu dan Asahan dibentuk. Asisten Residen ditempatkan di Siak, sedangkan di Deli, Batubara, Asahan, Bengkalis dan Laboean Batoe masing-masing tetap dikepalai oleh seorang controleur. 

1862: Siak sudah mulai teridentifikasi, Bengkalis belum sama sekali
Belanda datang ke Sultan Siak dan membuat kesepakatan pembentukan otoritas Belanda, pada 1 Februari 1858. Sejak itu wilayah Siak (Riaouw) semakin meluas ke utara hingga ke Deli. Pada tahun 1864 di Rioauw kepala pemerintahan dijalankan oleh seorang Residen, dan dibantu seorang Asisten Residen di Siak Indrapoera..
Pada tahun 1857, Si Sati atau Sati  Nasoetion gelar Soetan Iskandar berangkat dari Mandheling en Ankola via Batavia studi ke Belanda (orang pribumi pertama studi ke Belanda). Sati Nasoetion yang telah mengganti namanya menjadi Willem Iskander berhasil mendapat akte guru di Harlem tahun 1861 dan kembali kampung halaman dan tahun 1862 mendirikan sekolah guru di Tanobato (Mandheling en Ankola), yang menjadi sekolah guru negeri ketiga di Nederlansch Indie (sebelumnya sudah ada di Surakarta dan Fort de Kock).
Pada waktu yang sama (1870) di Sumatra hanya ada satu wilayah yang berstatus province (yang dibentuk sejak 1833) yang dikepalai oleh seorang Gubernur, yakni: Province Sumatra’s Westkust--terdiri dari tiga Raesidentie: Padangsche Benedenlanden, Padangsche Bovenlanden dan Tapanoeli. Gubernur di  Padangsche Benedenlanden dan masing-masing Residen di Padangsche Bovenlanden dan Tapanoeli. Residentie Tapanoeli terdiri dari tiga afdeeling: Natal, Siboga dan Mandheling en Ankola. Residen di Siboga, Asisten Residen di Mandheling en Ankola dan Controleur di Natal.

1862: Mandheling, Ankola Tapanoeli sudah teridentifikasi lengkap
Pada tahun 1870, ibukota afdeeling Mandheling en Ankola adalah Padang Sidempuan (sebelumnya Panjaboengan). Namun, demikian, persiapan ibukota Padang Sidemnpuan sudah dilakukan sejak tahun 1846 (waktu itu ibukota Ankola adalah Padang Sidempuan). Pada tahun 1846 di Padang Sidempuan dilakukan pesta penyambutan Gubernur Michiels dan Jenderal van Gagern (utusan Ratu dari negeri Belanda). Di kota inilah kedua petinggi militer ini melakukan pertemuan dengan Residen (yang berkedudukan di Sibolga), Asisten Residen yang berkedudukan di Panjaboengan, dan para controleur yang berada di Natal dan di Kotanopan. Controleur Ankola dalam hal ini menjadi tuan rumah. Padang Sidempuan adalah satu-satunya tempat yang disinggahi oleh Gubernur Michiel dan Jenderal von Gagern dalam ekspedisi pertama setingkat Gubernur ke Tapanoeli. Rombongan yang terdiri dari 200 orang ini dari Padang (ibukota Province Sumatra’s Westkust), menginap selama empat hari (dari dua hari yang direncanakan). Setahun sebelumnya, tahun 1845 Residentie Tapanoeli dibentuk yang mana afdeeling Mandheling en Ankola yang sebelumnya masih bagian Residentie Aijer Bangies (ketika Residentie Tapanoeli dibentuk tahun 1845, Residentie Aijer Bangies dihapus (dibubarkan).

Pada tahun 1841, pemerintah kolonial membentuk pemerintahan sipil di Mandheling en Ankola (pemerintahan sipil pertama di wilayah Sumatra Utara). Militer Belanda sendiri memasuki wilayah Mandheling en Ankola dimulai tahun 1833. Selama delapan tahun (1833-1841) pemerintahan yang ada adalah pemerintahan militer dalam rangka perang Bondjol dan perang Tambusai. Awalnya ibukota onderafdeeling Ankola dipilih Pijorkoling, namun setahun terakhir mengalami perubahan dan lebih memilih ibukota Ankola di dekat kampung Sidempuan. Pada tahun 1841 ibukota Ankola ditetapkan di sebuah area dekat kampung Sidempuan. Dalam perkembangannya ibukota ini bernama Padang Sidempuan.

Satu sudut Padang Sidempuan, 1846 (lukisan Clerq, ast. Gagern)
Pada tahun 1870, onderafdeeling Deli dibentuk dengan ibukota Labuhan Deli. Ini berarti ibukota Padang Sidempuan (onder afd. Ankola) lebih tua 30 tahun dibandingkan ibukota Labuhan Deli (onder afd. Deli). Pada tahun 1874, keberadaan nama kampung Medan Poetri di Deli sudah diketahui melalui koran (Bataviaasch handelsblad, 27-11-1874), sebagai tempat orang Eropa/Belanda. Semakin banyaknya orang Eropa/Belanda yang tinggal di Medan (Poetri) pada tahun 1875 ditempatkan seorang letnan militer (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 03-03-1875). Tidak lama kemudian, dilaporkan bahwa tingkat air yang sangat tinggi, menyebabkan sebagian besar Laboean Deli mengalami banjir, akibatnya sejak 16 November, sebagian besar pasukan dari Labuan Deli dipindahkan ke Medan dan hanya menyisakan satu orang militer (Belanda) dengan anggota sebanyak 30 orang pembantu non Belanda/pribumi (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 18-03-1875). Apakah tanggal 16 November 1975 penanda akan ada perubahan ibukota Deli dari Labuhan Deli ke Medan?

Hal yang dialami oleh Medan ini mirip dengan yang dialami oleh Padang Sidempuan. Pada tahun 1838 benteng Pijor Koling dibangun (dalam rangka Perang Tambusai) dan setelah dirasa aman tahun 1840 konsentrasi militer di Pijorkoling dipindahkan ke tempat yang baru (garnisun militer) di area dekat kampung Sidempuan. Pada saat penempatan controleur di Ankola tahun 1841 lokasi ibukota Ankola ternyata mengikuti lokasi dimana militer berada. Padahal tahun 1839 ibukota Ankola sudah diberitakan di koran di Batavia akan berada di Pijorkoling.

Keutamaan afddeling Mandheling en Ankola saat itu, mengapa pemerintahan kolonial melakukan investasi karena kesuburun tanah di Mandheling en Ankola, dan juga sebagai perluasaan koffieculture di Padangsche Bovenlanden. Inilah alasan mengapa pemerintahan kolonial lebih berkonsentrasi di afdeeling Mandheling en Ankola dibanding di afd. Tapanoeli (Sibolga dan sekitarnya), Padang Lawas dan Bataklanden (Silindoeng en Toba). Koffieculture yang dimulai tahun 1841 di Mandheling en Ankola (sejak controleur Godin), ternyata berjalan lancar yang di sana-sini sempat terjadi pemberontakan yang mengakibatkan banyak penduduk Mandheling en Ankola yang migrasi hingga ke Semenanjung Malaya.

Setelah era Mr. Godin, arsitek keberhasilan koffieculture di afd. Mandheling en Ankola adalah Asisten Residen A.P. Godon dan controleur di Ankola Mr. WA. Hennij. AP Godon mulai bertugas tahun 1848 dan berakhir tahun 1857. Sedangkan Hennij mulai bertugas tahun 1856. Ketika AP Godon cuti ke Belanda dua tahun pada tahun 1857, penggantinya adalah Zelner. Ketika Zelner dipindahkan 1860, Hennij, controleur Ankola diangkat menjadi asisten Residen. Tugas Hennij ini dijalankan dengan baik baik selagi masih controleur maupun asisten residen hingga akhirnya produksi kopi dari Mandheling en Ankola semakin meningkat dan pada tahun 1862 harga kopi Mandheling dan harga kopi Ankola menjadi harga tertinggi dunia (lihat Sumatra-courant: nieuws-en advertentieblad, 28-06-1862). Sejak itu, kemakmuran terjadi di afd. Mandheling en Ankola, semua merasakan manfaatnya bahkan hingga para petani di lereng-lereng gunung. Koffieculture tidak lagi dipandang sebagai beban, tetapi telah menjadi habit baru bagi penduduk dalam mengejar kemakmuran. Sejak 1862 kopi Mandheling en kopi Ankola mulai terkenal di dunia kopi dan sejak itu pula ibukota onder afd. Ankola (Padang Sidempuan) tumbuh pesat dan menjadi ‘kota besar’.

Nienhuys, Perkebunan Tembakau dan Kampong Medan Poetri 


Nienhuys, planter pertama di Deli (1865)
Sementara itu, di Deli pada tahun 1865 seorang swasta bernama Nienhuys memulai usaha sendiri di bidang perkebunan tembakau. Ini berarti kehadiran Nienhuys bersamaan dengan kehadiran pemerintahan kolonial Belanda (controleur) pertamakali di Deli. Ada dua situasi kondisi yang terjadi setelah adanya aneksasi Belanda ke Deli. Pertama, lanskap-lanskap Pantai Timur Sumatra adalah wilayah yang paling hening di Nederlansch Indie, tidak ada gejolak atau bentu-bentuk perlawanan. Sementara itu, pemerintah adem ayem saja dan belum tampak apa yang harus diperbuat. Padahal penduduknya serba kekurangan, apapun harus didatangkan dari luar wilayah (termasuk beras). Karenanya, pers Inggris di Semenanjung menyindir pemerintah Belanda di Batavia yang mendiamkan wilayahnya tanpa ada sentuhan yang berarti. Sebab sebaliknya terjadi di Semenanjung. Sindiran ini dijawab pers Belanda, bahwa Inggris tidak perlu mengomentari rumahtangga orang lain, Pemerintah Belanda di Batavia tidak sedang melayani Inggris, tetapi melayani urusan Belanda, Inggris hanya memerlukan Belanda untuk mendukung pelabuhan intenasionalnya di Singapore. Bahwa dengan situasi dan kondisi ini Inggris dirugikan tetapi kami berbuat tidak berdasarkan pendapat dari tetangga.

Kedua, Neinhuys datang ke Deli dan berusaha budidaya tembakau. Oleh karena hasilnya memuaskan maka Neinhuys mendatangkan kuli Cina dari Penang yang awalnya bejumlah 190 orang (lalu pada nantinya tahun 1869 telah berjumlah 900 orang). Keberhasilan Neinhuys telah menarik minat investor lain dan melakukan bisnis perkebunan yang sama di Deli. Controleur dan Sultan membuka pintu bagi investor baru dari Eropa (tentu saja termasuk Belanda). Hasilnya langsung terasa: investor di satu sisi membawa uang dan bersirkulasi dan keberhasilan perusahaan-perusahaan yang invest telah mendongkrak ekonomi penduduk. Sultan mendorong penduduknya menanam kelapa, buah-buahan dan sayur-sayuran. Selama bertahun-tahun penduduk sangat tergantung pasokan dari luar untuk pakaian, barang rumahtangga, makanan, beras dengan harga sangat mahal, kini harganya menjadi lebih murah. Perputaran uang telah memicu berdatangannya pedagang-pedagang Tionghoa dari pantai dan orang-orang Batak dari dataran tinggi (bovenlanden) untuk menjual produk-produk surplus mereka. Lambat laun kebutuhan sehari-hari penduduk makin tersedia dan untuk mengamankan kelebihan pasokan dikirim ke Penang dan munculnya pelayaran reguler (Laboehan Deli-Penang). Kebutuhan adanya dokter lokal (docter djawa school) semakin mengemuka. Hasil perkebunan mulai terasa, harga tembakau Deli di Belanda sudah mendapat harga yang memuaskan bahkan pada tahun 1869 volume ekspor Deli sudah mencapai 157.000 ton ke Eropa dan 37.500 ton di pasar domestik (termasuk Semenanjung). Sementara itu kuli semakin banyak yang didatangkan dari Cina, Siam, Kling dan Java dengan perjanjian kerja. Para planter sudah kembali modal dan untung. Controleur dan Sultan mulai tersenyum. Pemerintah Belanda mendorong perusahaan-perusahaan Belanda khususnya untuk berinvest lebih besar dengan mendatangkan kapital lebih banyak dari Eropa. Melihat apa yang tengah terjadi di Deli, memicu minat Sultan Langkat dan Sultan Serdang agar investor juga datang ke daerah mereka masing-masing.


Akte Notaris Deli Mij (Algemeen Handelsblad, 22-02-1870)
Aktivitas ekonomi Deli terus bergerak dan pergerakannya semakin kencang. Di satu sisi, hasil pencapaian singkat di Pantai Timur Sumatra ini boleh jadi telah membungkam pers Inggris di Semenanjung.  Di sisi yang lain, Pemerintah Belanda mencoba membesarkan perusahaan sendiri dengan dikeluarkannya Keputusan Kerajaan Belanda No. 13 bertanggal 16 Desember 1869 bahwa Deli Maatschappij yangdidirikan dengan domisili di Amterdam yang akan bergerak di bidang pertambangan dan pertanian serta reklamasi lahan yang terletak di Deli yang juga diberikan hak pembangunan prasarana sebagaimana di tempat lain yang dengan keleluasaan itu diwajibkan untuk melakukan penglahan produk, penjualan produk dan pembangunan kereta api untuk mendukung usaha sendiri maupun kemajuan. Berdasarkan keputusan tersebut oleh Keputusan Kerajaan Belanda No. 16 bertanggal14 Januari 1870 statuta asosiasi mendapat layanan kanal di Hoogeveen Belanda dan diakui sebagai badan hukum.

Deli Maatschappij, 1870
Praktis pada tahun 1875 di sekitar Medan sudah terdapat antara 6000-7000 kuli Cina. Sementara itu kuli dari Jawa hanya terdapat di beberapa titik, mereka itu berasal dari Bagelan. Lalu persoalan lain pun muncul. Ini bermula ketika Mr H, pemilik perkebunan tembakau di Sungai Pertjoet (empat jam jarak dari kota utama, Medan) dengan dua Eropa yang tengah berada di rumahnya, terjadi kerusuhan oleh 70-100 dari kulinya memberontak dan membunuh orang Eropanya dan sejumlah pegawainya dari Melayu. Dengan bantuan militer dibawah komando Letnan Muller dengan satu detasemen yang dikirim, para pemberontak dapat diamankan, efek domino terhadap ribuan kuli-kuli Cina dapat terhindarkan.

1862: Baru kampung Soenggal teridentifikasi di Pantai Timur Sumatra
Gubernur Jenderal Loudon di Batavia mulai menerapkan undang-undang kolonial di Tanah Deli. Di satu sisi untuk mengamankan para pengusaha di sisi lain, alasan pemerintahan kolonial untuk lebih intens di Tanah Deli (kekuatan militer yang jumlahnya terbatas selama ini tidak sebanding dengan 6000-7000 kuli Cina di dalam perkebunan-perkebunan (lihat Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 22-05-1875). Pada tahun 1876 status pimpinan afdeeling Deli berubah dari controleur menjadi asisten residen namun ibukota tetap berada di Labuhan Deli. Seorang controleur lalu ditempatkan di Medan agar dapat mengatasi permasalahan lebih efektif di lapangan (onderafdeeling Medan dibentuk). Pada tahun 1876 ini juga terjadi penggantian kepala garnisun Medan dari lentan dua JE. van Schaik kepada letnan dua CG Vossen (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 30-08-1876). Ini semua cepat terjadi karena eskalasi sosial yang semakin meningkat utamanya dari kalangan Tonghoa seperti perdagangan opium, perampokan, dan kerusuhan.

Laboehan Deli, 1967
Daerah antara Labuhan Deli dan Medan cepat berkembang, karena jalan poros dari pelabuhan ke area-area perkebunan ke arah hulu (medan dan sekitarnya). Komunitas Tionghoa sangat cepat berkembang mengimbangi Melayu. Komunitas Tionghoa ini berbeda dengan para kuli Cina. Penduduk komunitas Tionghoa adalah para penduduk yang migrasi secara spontan dari wilayah-wilayah di Semanjung, Singapura dan pantai timur Sumatra. Pimpinan tertinggi komunitas Tionghoa di Labuhan Deli adalah Kapten. Sejumlah kuli Cina yang keluar dari perkebunan semakin menambah populasi komunitas Tionghoa di sepanjang jalan poros (Laboehan Deli-Medan).

Kuli Cina di Deli (foto 1870)
Sejumlah pimpinan komunitas suku asli yang berbeda mulai mengeluh dan menyampaikan kepada Sultan, tentang kenaikan mengkhawatirkan ketidakamanan di berbagai tempat. Lalu Sultan membicarakannya dengan controleur. Sejak itu peningkatan jumlah militer semakin kencang sehubungan dengan semakin meluasnya perkebunan dan potensi kerawanan hingga ke Langkat. Pimpinan militer ditingkatkan menjadi pangkat mayor. Para militer ini juga mulai melakukan sejumlah pekerjaan sipil seperti pembangunan jembatan, tangsi-tangsi dan garnisun. Semuanya dimaksudkan untuk mempermudah pergerakan militer.  Lambat laun, situasi sosial Tanah Deli telah berubah drastis dari suasana feodalistik (yang berpusat di istana Sultan) menjadi kondisi penguasaan dengan perencanaan militer oleh militaire department (di depan) dan memperkuat pemerintahan sipil oleh civiel departement (di belakang). Inilah awal praktek kolonialisasi pemerintahan (penjajahan) yang sesungguhnya di Tanah Deli (dan Langkat) untuk menggantikan kolonisasi swasta yang lebih longgar sebelumnya (VOC menjadi pemerintahan militer jilid kedua).

Jangan lupa, eskalasi militer ini di Deli (dan Langkat) adalah dengan segaja (by design). Perang Bonjol (Toeankoe Imam) dan Perang Pertibie (Toeankoe Tambusasi) sudah lama berlalu, dan situasi keamanan di Sumatra’s Westkust dan di Mandheling en Ankola dan Tapanoeli (Sibolga dan sekitarnya) praktis sudah kondusif secara ekonomi. Hal yang sebaliknya terjadi di Deli (secara ekonomi menjadi tidak kondusif: kerusuhan dan perampokan di kantong-kantong perkebunan swasta) makin meningkat. Penguasaan militer di Deli hanya bersifat sementara, sekadar batu loncatan (karena di Tanah Deli nyaris tidak ada perlawanan yang sesungguhnya terhadap penjajah Belanda), melainkan pada nantinya masih ada dua perang lagi: Perang Toba dan Perang Atjeh. Dalam perspektif ini, jangan lupa, Belanda adalah perencana dan administratur kolonial nomor wahid, untuk memenuhi target dagang kolonial mereka selalu menggunakan pendekatan mengedepankan kebutuhan lokal agar taktik berkolaborasi lebih efektif, seperti di Padangsche, Mandheling en Ankola dan nantinya di Silindoeng en Toba. Di Deli, juga ternyata berulang, untuk memenuhi kebutuhan Sultan (meski tidak disenangi oleh swasta yang berasal dari berbagai negara di Eropa). Semuanya untuk kebutuhan keamanan, dan pemerintah kolonial sanggup memenuhinya, karena itulah instrumen terpenting kolonialisasi di Nederlansch Indie.

Penetapan Ibukota Deli di Medan

Hal yang pertama yang selalu dipikirkan oleh petinggi di Batavia (Guberur Jenderal dan Menteri Koloni via militaire departement dan civiel departement) adalah dimana lokasi ibukota (hoofdplaats). Para ahli (expert) selalu dilibatkan. Ini yang terjadi di berbagai tempat, seperti di Mandheling en Ankola, yang mana pemerintah mengirim terlebih dahulu dua orang: pertama Junghuhn (1840-1845) dan yang kedua van der Tuuk (1850). Kebutuhan ahli juga berbeda-beda, di Deli expert di bidang perdagangan dan planologi sangat dibutuhkan dan pada nantinya di Atjeh adalah kebutuhan keagamaan (Snouck Hurgronje).


Para Planter di Deli (f.1871)
Fakta yang dihadapi di Deli, ketika pemerintahan (sipil dan militer) masih minim (rapuh), baru setingkat controleur dan baru saja ditingkatkan menjadi asisten residen dan ibukota Residentie nun jauh di Siak Sri Indarapoera. Ibukota Deli yang berada di Labuhan Deli yang rawan banjir, jarak yang cukup jauh ke Medan tempat beberapa pekebun bermukim yang mana jalan poros kedua tempat ini sangat rawan sosial (opium, prostitusi) dan rawan tingkat kriminalitas (perampokan) sasaran orang Eropa yang berprofesi planter, dan masuknya migran baru (baik dari ‘dalam negeri’ maupun ‘luar negeri’) yang menempati lahan-lahan sepanjang jalan poros menambah peliknya situasi wilayah. Pimpinan kolonial di Batavia menghadapi dilema: di satu sisi tekanan agar tetap memperlakukan investor mancanegara tanpa intervensi dan di sisi lain, naluri kerakusan kolonial untuk menguasai apa yang bisa dieksploitasi. Pemerintah kolonial di Batavia melihat ada peluang besar. Potensi ekonomi Deli dan Langkat ternyata tidak cukup hanya dari faktur pajak dan retribusi. Situasi sosial dan keamanan yang tengah memuncak menjadi argumen diplomasi yang tepat bagi Batavia masuk secara menyeluruh ke Deli dan Langkat. Batavia lalu berkekuatan hati ‘merebut’ Deli dan Langkat, apalagi masih dibutuhkan biaya untuk perang selanjutnya yang mungkin membutuhkan biaya yang lebih besar: Perang Toba (Si Singamangaradja) dan Perang Atjeh (Teuku Umar).

Kantor dagang di Laboehandeli, 1876
Dari dalam sendiri, para militer yang sudah berada di Labuhan Deli dan Medan dan Langkat sudah mulai mengeluh. Banyak yang sakit tangsi, garnisun dan barak-barak militer tidak representatif. Bangunan pemerintah baik di Labuhan Deli dan Medan sangat-sangat tidak memadai untuk melayani para planter yang kaya-kaya. Ibukota Deli yang berada di Labuhan Deli, tampaknya terlalu jauh bagi para planter untuk berurusan. Sebab kantor pusat berada di Medan dan sekitarnya, sedangkan di Labuhan Deli sudah dianggap cabang dan hanya menyisakan kantor-kantor untuk melayani logistik dan perdagangan ke Eropa. Kebutuhan untuk memindahkan ibukota mulai menguat, Labuhan Deli dianggap tidak layak untuk jangka panjang, tetapi lokasi ibukota baru juga belum diketahui dimana: apakah di Medan Poetri atau di tempat lain. Ini butuh kajian, butuh expert, butuh rekomendasi dan butuh ketetapan yang mengikat (peraturan perundanga-undangan kolonial). Namun penentuan lokasi ini tentu tidak mudah. Di Deli dan Langkat konsesi-konsesi sudah terjadi baik antara Sultan dengan para planter maupun ‘MOU’ antara pemerintah melalui controleur dengan Sultan.

1862: Di Semenanjung, Malaka sudah teridentifikasi, lainnya belum
Hal ini pernah dialami oleh penetapan Padang Sidempuan sebagai ibukota onderafdeeling Ankola. Pihak Belanda untuk urusan sipil sangat beradat (sopan santun Eropa) tapi tidak dengan pihak yang menghalangi apalagi merugikannya. Penetapan ibukota di dekat Padang Sidempuan adalah lokasi yang dipilih di tempat yang tidak produktif dan dibicarakan dengan para kepala-kepala kampung di seluruh Ankola. Pemerintahan sipil kolonial pantang untuk merebut daerah yang potensial secara ekonomi, karena justru potensi itulah jaminan mereka untuk berinvestasi dalam pemerintahan kolonial. Di Ankola, pemerintahan sipil tidak pernah menghancurkan sawah yang sudah ada, semaksimal mungkin harus dihindari dan sebaliknya memperluas lahan-lahan yang kosong menjadi produktif. Memang begitu teori kolonisasi. 

 Dalam hal kasus kuli Cina di Medan yang melakukan pemberontakan dan mereka yang dipecat masuk komunitas Tionghoa berpotensi untuk melakukan kejahatan. Mungkin, bagi pemerintah, kuli Cina ini adalah potensi dan bisa jadi diperlakukan tidak adil, maka mereka harus dilindungi. Setali tiga uang dengan lahan (land), kuli Cina adalah tenaga kerja (labor), dua resources ini di mata kolonial adalah aset, jadi tidak boleh diganggu dan dihabisi. Karena itu pada tahun 1877 sebuah RUU diajukan ke Dewan Legislatif yang berjudul ‘perlindungan imigran Cina’. Ide adanya RUU ini terkait dengan perekrutan kuli Cina di Dcli yang jumlahnya sangat besar, meski kasus pemberontakan kuli Cina tidak hanya di Deli, juga di Siak dan tempat-tempat lain (Algemeen Handelsblad, 09-04-1877). Kolonial Belanda selalu melihat kepentingannya harus lebih didahulukan

Garnisun militer di Medan, 1876
Permasalahan ibukota di Deli mungkin sedikit berbeda, gampang-gampang susah untuk memilih lokasi. Lahan cukup tersedia, tetapi lahan yang ada sudah menjadi konsesi. Tentu penyelesaiannya harus melalui hukum bisnis dan hukum perdata. Dalam hal ini kesepakatan dilakukan para stakeholder ibukota baru: Pemerintah, Planter dan Sultan. Pemerintah dalam hal ini mulai bermain cantik dan berada pada posisi unggul. Kasus-kasus pemberontakan dan perampokan menjadi sumber kegelisahan bagi Planter dan Sultan di satu pihak, di pihak lain, meski sudah ada garnisun di Medan dengan pangkat Kapten tetapi tidak sepenuh hati bekerja dan responnya lambat ketika bantuan dibutuhkan. Pemerintah yang berada di Labuhan Deli boleh jadi punya peran dalam kasus ini. Akibatnya para Planter menyalahkan militer yang bekerja sangat lamban. Sementara peran polisi kolonial hanya efektif di Labuhan Deli dan Medan dan Timbang (Langkat).

Kini di afd. Deli, afd. Batoebara, afd. Asahan dan afd. Laboehan Batu serta Bengkalis dipisahkan dari Residentie Riaou dan digabungkan menjadi satu residentie yang disebut Residentie Sumatra’s Oostkust yang beribukota Bengkalis. Di afd Deli ditempatkan seorang asisten residen yang mana membawahi dua controleur di Langkat dan Serdang.

Peta Kampung Medan Poetri dan  Deli Maatschappij (1875)
Sejauh ini (1877) Medan menjadi tempat utama (tanah Delimaatschappij). Perkembangannya sangat pesat, jauh melebihi perkembangan kota Labuhan Deli, namun tidak terlihat kehadiran pemerintah. Swasta yang memainkan peran. Controleur, militer dan polisi tidak banyak berbuat seperti di tempat-tempat yang lain. Aparat pemerintah dimana-mana di wilayah ini bertugas dengan pistol di pinggang. Bagaikan kota-kota di wild west. Intrik-intrik di antara planter juga muncul antara perusahaan-perusahaan Belanda dan perusahaan-perusahaan non Belanda. Kebetulan Delimaatschappij adalah perusahaan Belanda yang dalam kedekatannya, perusahaan ini cukup banyak membantu pemerintah. 

Peta konsesi lahan di Deli, 1875
Dalam hal perebutan kuli juga terjadi intrik, ketika ada kuli yang lari atau dipecat justru dimanfaatkan perusahaan lainnya. Satu hal, garnisun yang memiliki personel 600 orang yang ditempatkan di Medan, dekat dengan Delimaatschappij. Implikasinya, perusahaan Belanda terkesan lebih aman dibanding dengan kebun-kebun yang lain, yang lebih jauh dari garnisun. Sementara itu di Langkat jumlah perkebunan jauh lebih banyak dibandingkan di Deli. Antara satu perkebunan yang satu dengan yang lain lebih berjauhan. Terbatasnya transportasi darat, terpaksa harus dilalui melalui jalan sungai. Perkebunan ini sudah mulai mencapai Gajoland. Permusuhan antara komunitas lokal dengan perkebunan juga sudah mulai terdeteksi.

Rumah di Soeka Moelia, bakal rumah Asisten Residen (f 1876)
Good newsnya adalah bahwa keberhasilan budidaya tembakau (tabakskultuur) di Deli dan Langkat sudah menuai hasil. Harga tembakau atas nama Deli di Eropa sudah berada pada level tertinggi dunia (sebagaimana dulu di Mandheling en Ankola, harga kopi tertinggi dunia). Namun apa yang dicapai ini tidak sepadan dengan banyaknya permasalahan yang terjadi di Deli dan Langkat. Aspirasi para planter agar Resident yang kini berkedudukan di Bengkalis dapat dilakukan relokasi ke Deli. Bahkan planter sudah menyediakan rumah khusus bagi Resident jika berada di Deli dan diharapkan itu akan menjadi rumahnya di Soeka Moelia jika relokasi ke Deli. Sementara penempatan controleur yang ada sekarang di Medan dapat lebih khusus untuk membidangi masalah kepolisian saja. Namun itu tidak akan mudah karena jika ada relokasi akan membuat ketidaknyamanan antara Resident dengan Sultan Siak yang selama ini dianggap menjadi ‘Tuhan’ bagi  sultan-sultan di Deli, Langkat dan Serdang.

Pada tahun 1877, Bataviaasch handelsblad memasang iklan untuk mencari koresponden di Deli. Rupanya kisruh yang terjadi di Deli dan produksi tembakau yang terus meningkat dan bahkan telah mendapat apresiasi harga tertinggi di Eropa (sudah jauh mengalahkan tembakau dari Jawa) nama Deli semakin populer di Nederlansch Indie. Bataviaasch handelsblad dalam hal ini mendapat ide, karena cukup banyak pembaca mengirim tulisannya ke berbagai koran, termasuk Soematra Courant yang terbit di Padang (Sumatra’s Westkust) yang telah memiliki koresponden sendiri di Deli..

Ibukota pindah ke Medan: Bataviaasch handelsblad, 02-07-1879
Selama tahun 1878 telah terjadi beberapa perubahan di Deli. Pemerintah pusat akan menempatkan seorang notaris independen, pergantian komandan garnisun Medan. Lalu, controleur pertama Medan, akan berakhir masa tugas yang dijabatnya sejak 1875 dan digantikan oleh controleur klas-1 EWE Burger. Kemudian, di Medan juga dibangun penjara yang lebih besar dan sebuah kantor post. Selain itu juga ditempatkan seorang pendeta Katolik. Ternyata berita-berita sebelumnya telah menandai akan pindahnya kantor asisten residen Deli dari Labuhan Deli ke Medan sebagaimana diberitakan Bataviaasch handelsblad, 02-07-1879.

Perpindahan ibukota Deli tersebut mirip yang dialami oleh Mandheling en Ankola yang mana ibukota dipindahkan ke Padang Sidempuan dari Panjaboengan pada tahun 1870. Alasan utama perpindahan adalah agar Padang Sidempuan dikembangkan menjadi pusat pengembangan budaya dan kota pendidikan yang pada nantinya dapat memenuhi kebutuhan guru di seluruh Tapanoeli, Sumatra’s Oostkust, Atjeh, Riaou, Djambi dan Bengkoelen.Medan sendiri akan dikembangkan menjadi pusat administrasi perkebunan dan pusat perkembangan internasional di Nederlandsch Indie.[kelak sumber daya manusia Padang Sidempuan akan memenuhi kebutuhan Medan sebagai kota melting pot (mix population)].

Medan Masih Kampung, Padang Sidempuan Sudah Menjadi Kota

Dengan pindahnya ibukota Deli ke Medan, maka permintaan para planter dan Sultan telah ditunaikan sebagian. Alasan utama perpindahan ibukota Deli karena pengembangan perkebunan dan ketidakamanan yang semakin meningkat di perkebunan-perkebunan, Dan itu, berarti pada tahun 1879 ini, Medan memulai babak baru sebagai ibukota afd. Deli (ibukota Residentie Sumatra's Ooskust masih di Bengkalis)..

Lokasi Kweekschool dan ELS di Padang Sidempuan, 1879
Pada tahun yang sama 1879 di Padang Sidempuan dibuka sekolah guru (kweekschool) berkapasitas 25 siswa yang dianggap sebagai sekolah guru kategori A. Sekolah ini merupakan pengganti Kweekschool Tanobato yang didirikan oleh Willem Iskander pada tahun 1862. Si Sati Nasoetion gelar Soetan Iskandar alias Willem Iskander berangkat studi ke negeri Belanda tahun 1857 untuk mendapat akte guru (orang pertama pribumi studi ke Belanda). Lalu, Willem Iskander berangkat lagi tahun 1875 ke Belanda untuk mendapat akte kepala sekolah agar bisa menjadi direktur Kweekschool Padang Sidempuan. Sejak keberangkatannya, Kweekschool Tanobato ditutup. Namun sekolah ini sudah menghasilkan banyak guru. 

Pada tahun 1872, dari delapan sekolah negeri yang didirikan tujuh diantaranya di afd. Mandheling en Ankola dan satu buah di Singkel (afd. Singkel), dan pada tahun 1875 bertambah tiga lagi sekolah negeri yakni di Natal (afd. Natal), Baros (afd. Tapanoeli) dan Simapil-apil (afd. Mandheling en Ankola). Namun Willem Iskander dengan beberapa guru pribumi di Sumatra dan Jawa semuanya tidak kembali, karena meninggal dunia karena sakit yang berbeda-beda. Sekolah guru Kweekschool Padang Sidempuan yang dibuka tahun 1879 itu dipimpin oleh Mr. Harnsen dan tiga tahun kemudian digantikkan oleh salah satu guru di sekolah tersebut menjadi direktur yang namanya Charles Adrian van Ophuijsen. Anak mantan controleur di Natal ini, belajar bahasa Batak dan Bahasa Melayu di Mandheling en Ankola. Sangat tertarik dengan tatabahasa dan kamus Batak yang disusun oleh van der Tuuk. Charles van Ophuijsen berdinas di Kweekschool Padang Sidempuan selama delapan tahun yang mana lima tahun terakhir berfungsi sebagai Direktur sekolah. Kelak, Ophuijsen membuat buku sejenis tatabahasa Batak yang disebut tatabahasa dan ejaan melayu Ophuijsen.  

Contoh surat dari Padang Sidempuan (cap pos 1889)
Di Medan pada tahun 1879 belum satu sekolah pun didirikan. Sementara di Padang Sidempuan jumlah sekolah negeri terdapat di tiga tempat. Di kota ini juga sudah terdapat sekolah dasar eropa (ELS). Tentu saja dengan adanya kweekschool menambah semaraknya suasana kota. Untuk komunikasi di kota ini sudah dibangun kantor pos sejak 1871. Anak-anak Padang Sidempuan khususnya, dan Mandheling en Ankola umumnya yang berada di perantauan sudah berinteraksi satu sama lain dengan adanya kantor pos ini. Mereka itu di perantauan sebagai guru (alumni Kweekschool Tanobato), dokter (para alumni docter djawa school) dan para penulis, penulis (pegawai pemerintah), adjunct djaksa dan sebagainya.



*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap. Semua bahan berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe (koran-koran berbahasa Belanda).

Artikel terkait:



Sejarah Marah Halim Cup (1): Sepakbola Indonesia Bermula di Medan



Sejarah Marah Halim Cup (2): Langkat Sportclub, Klub Sepakbola Kedua di Sumatera Utara


Sejarah Marah Halim Cup (3): Suporter Sepakbola Medan Dukung Klub ke Bindjei dan “Menteri Olahraga” Belanda Berkunjung ke Deli



Sejarah Marah Halim Cup (4): Majalah Pertama Olahraga Indonesia, Edisi Perdana Melaporkan Sepakbola di Medan



Sejarah Marah Halim Cup (5): Kompetisi Sepakbola Medan Kali Pertama Bergulir, Klub Tapanoeli Didirikan

Sejarah Marah Halim Cup (6): Klub Baru, Kompetisi Baru dan Deli Voetbal Bond Dibentuk

Sejarah Marah Halim Cup (7): Kompetisi Deli Voetbal Bond 1908 Menjadi Tiga Divisi

Sejarah Marah Halim Cup (8): Dr. Alimoesa, Pemain Sepakbola di Pematang Siantar, Anggota Volksraads Pertama dari Sumatra Utara

Sejarah Marah Halim Cup (9): Klub Sepakbola Bermunculan di Luar Deli, Kompetisi Bergulir Lagi

Sejarah Marah Halim Cup (10): Sepakbola di Perkebunan Berkembang Pesat, ‘Bond’ Baru Bertambah, Kejuaraan Antarbond

Sejarah Marah Halim Cup (11): Oost Sumatra Voetbal Bond (OSVB) Didirikan, Tapanoeli Voetbal Club Berkompetisi Kembali

Sejarah Marah Halim Cup (12): Mathewson-Beker, Cikal Bakal Marah Halim Cup? Suatu Wawancara Imajiner dengan Marah Halim Harahap

Sejarah Marah Halim Cup (13): Kajamoedin gelar Radja Goenoeng, Pribumi Pertama Anggota Gementeeraad Medan; Sepakbola Tumbuh, Pendidikan Berkembang

Sejarah Marah Halim Cup (14): GB Josua, Tokoh Pendidikan Medan dan Presiden Sahata Voetbal Club Sebagai Ketua Perayaan 17 Agustus 1945 dan Ketua Panitia PON III

Sejarah Marah Halim Cup (15): Parada Harahap, Pers dan Sepakbola, Pertja Barat vs Pertja Timor, Pewarta Deli vs Sinar Deli, Benih Mardeka vs Sinar Merdeka