Senin, Oktober 21, 2024

Sejarah Pantai Timur (11): Sungai Wampu di Langkat, Sungai Lau Biang di Karo; Selesei, Stabat, Tanjungpura dan Nama Teluk Haru


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Pantai Timur Sumatra di blog ini Klik Disini

Sungai Wampu a sungai mengalir melalui di kabupaten Karo dan kabupaten Langkat. Di kabupaten Karo, hulu sungai dikenal Lau Biang (berhulu di Siberaya) bertemu sungai Bohorok, di hilir di Langkat dikenal nama sungai Wampu. Kabupaten Langkat ibu kota di Stabat dan kabupaten Karo di Kabanjahe. Nama Langkat diambil dari nama Kesultanan Langkat.  Bagaimana dengan nama Karo?


Pada era Pemerintah Hindia Belanda, sultan Langkat pertama Musa Almahadamsyah 1865-1892. Di bawah pemerintahan Kesultanan struktur pemerintahan disebut Luhak dan di bawah luhak disebut Kejuruan (Raja kecil) dan Distrik, secara berjenjang disebut Penghulu Balai (Raja Kecil Karo) yang berada di desa. Luhak dipimpin seorang Pangeran, Kejuruan dipimpin Datuk, Distrik dipimpin kepala Distrik. Untuk jabatan kepala kejuruan/Datuk oleh penduduk asli yang pernah menjadi raja di daerahnya. Kesultanan di Langkat dibagi 3 Luhak: Luhak Langkat Hulu berkedudukan di Binjai terdiri dari 3 Kejuruan dan 2 Distrik yaitu: Selesai, Bahorok, Sei Bingai, Kwala, Salapian. Luhak Langkat Hilir berkedudukan di Tanjung Pura mempunyai 2 kejuruan dan 4 distrik yaitu: Stabat, Bingei, Secanggang, Padang Tualang, Cempa, Pantai Cermin. Luhak Teluk Haru berkedudukan di Pangkalan Berandan terdiri dari satu kejuruan dan dua distrik: Besitang, Pulau Kampai, Sei Lepan. (Wikipedia).

Lantas bagaimana sejarah sungai Wampu di Langkat, sungai Lau Biang di Karo? Seperti disebut di atas, Langkat di hilir daerah aliran sungai Wampu, Karo di hulu daerah aliran sungai Lau Biang. Nama tempat di Langkat seperti Selesei, Stabat, Tanjungpura dan Teluk Haru. Lalu bagaimana sejarah sungai Wampu di Langkat, sungai Lau Biang di Karo? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Sungai Wampu di Langkat, Sungai Lau Biang di Karo; Selesei, Stabat, Tanjungpura dan Teluk Haru                                                                 

Di kota Tandjoeng Poera yang sekarang bertemu tiga sungai besar: sungai Wampoe (selatan), sungai Basilam (tengah), dan sungai Batang Sarangan (utara). Sungai yang bersatu ini kea rah hilir Tandjoeng Poera hingga ke laut disebut sungai Langkat. Sungai Wampoe ini di arah hulu beberapa cabang termasuk sungai yang melalui kota Bindjai. Anak-anak sungai Wampoe ini berhulu di Dolok Palpalan.


Mengapa disebut sungai Langkat? Nama Langkat paling tidak sudah terinformasikan pada tahun 1858 (lihatNederlandsch Indie, 12-11-1858). Disebutkan dalam kontrak perjanjian Pemerintah Hindia Belanda dengan Sultan Siak mengklaim wilayah di utara miliknya, yakni: Bila, Pane, Koealoe, Asahan, Batoebara, Bedageh, Padang, Serdang, Pertjoet, Pebangoengan, Deli, Langkat dan Temiang. Wilayah yang disebut semuanya wilayah-wilayah muara sungai sesuai namnya. Artinya, nama Langkat sudah ada jauh sebelum tahun 1858 sebagai nama sungai. Biasanya nama sungai mengacu pada nama kampong di muara sungai.

Nama Tansdjoeng Poera diduga merujuk pada suatu tanjung. Penamaan geografis sesuai lekukan (tanjung dan teluk) sangat lazim sejak era Portugis. Sungai, teluk dan tanjung adalah penanda navigasi yang penting. Seperti disebut di atas, Tandjoeng Poera sebagai nama tempat di pertemuan sungai Wampoe dan sungai Basilam yang ke arah hilir disebut usngai Langkat.


Sungai Basilam bermuara di sungai Wampoe dimana diidentifikasi kota Tandjoeng Poera. Di arah hulu sedikit, sungai Batang Sarangan bermuara di sungai Basilam. Secara geomotfologis ketiga sungai ini awalnya di masa lampau sama-sama bermuara di suatu perairan/laut (suatu teluk). Akibat proses sedimentasi jangka panjang, di muara sungai Batang Serangan ini lebih awal terbentuk daratan (sebagai daerah tangkapan air dari arus kuat sungai Wampoe) yang kemudian sungai Batang Saranga menemukan jalan menuju jaan sungai Basilam yang juga terjadi proses sedimentasi. Lalu selanjutnya sungai Basilam ini ke hilir menemukan jalan ke perairan/laut yang bersama-sama dengan sungai Wampoe membentuk seperti tanjung. Di tanjung inilah dulunya diduga muncul suatu kampong/kota (poera). Proses sedimentasi terus berlangsung di hilir sungai Wampoe hingga ke perairan/laut yang sekarang.

Kota Tandjoeng Poera adalah kota/kampong baru. Kampong/kota yang lebih tua darinya haruslah dicari di arah hulu sungai Wampoe, sungai Basilam dan sungai Batang Sarangan. Di arah hulu sungai Basilam di sisi timur terdapat wilayah kampong Stabat (wilayah yang berada diantara sungai Basilam dan sungai Wampoe). Tidak jauh di arah hulu wilayah Stabat ini di sungai Wampoe bermuara sungai Bindjai (sungai yang mengalir dari kota Binjai yang sekarang).


Peta-peta Portugis mengidentifikasi nama Songi Dilly yang diduga sebagai sungai Deli. Di arah utara diidentifikasi Rio Sorgo dan lebih ke utara lagi diidentifikasi Cabo Vera. Besar dugaan Cabo Vera adalah Tanjung Ferelak dan Rio Sorgo diduga sebagai sungai Tamiang. Dua nama ini di era VOC masih diidentifikasi dengan nama sama dalam Peta 1657. Pada Peta 1704 di utara diidentifikasi nama Tandjong Boero. Diantarea T Boero dan Cabo Vera diidentifikasi dua sungai. Sungai yang dekat ke T Boroe ditandai sebagai Hollandrs Diamont Plaats sebagai wilayah Ferelak (yang diduga pos perdagangan VOC). Pada Peta 1724 antara Cabo Vera dan Tandjoeng Boero hanya satu sungai yang diidentifikasi Hollandrs Diamont Plaats (dimana di depan muara sebagai teluk yang terdapat pulau besar sejajar daratan). Dalam hal ini belum ada pengidentifikasian sungai Langkat maupun sungai Tamiang. Yang sudah dikenal sejak lama adalah Djamboe Aer (Tandjong Boero) di utara dan Perlak (Cabo Vera) di selatan serta Rio Sorgo (sungai Tamiang) di selatannya lagi.

Dalam Peta 1877 di pantai timur Sumatra diidentifikasi sungai Langkat. Tidak ada nama tempat yang diidentifikasi di arah hilir, Hanya ada satu kampong yang diidentifikasi di arah hulu sungai Langkat yakni (kampong) Sarangan. Saat itu boleh jadi hanya kampong Sarangan yang dikenal luas, kampong yang berada di daerah aliran sungai Batang Sarangan (nama sungai merujuk pada nama kampong Sarangan). Wilayah Langkat diidentifikasi di sisi barat dan wilayah timur sungai diidentifikasi sebagai wilyah Boeloe Tjina. Di arah hulu sungai Langkat di pedalaman diidentifikasi nama gunung Batoe Hapid (yang menjadi batas wilayah Langkat dan wilayah Alas.


Dalam Peta 1883 Hollandrs Diamont Plaats diidentifikasi Oedjoeng (Tanjung) Djamboe Aer dimana sungai Djamboe bermuara dan di selatan diidentifikasi Oedjoeng (Tanjung) Perlak dimana sungai Perlak bermuara. Nama sungai Rio Sorgo dulu menjadi nama sungai Tamiang (yang dibagian dalam bercabang Kiri/Kanan—Koeala Simpang). Di arah selatan sungai Tamiang ini diidentidikasi suatu teluk yang disebut Aroe Baai. Beberapa sungai bermuara di teluk diantaranya sungai Besitang. Sementara pulau-pulau di teluk adalah pulau Pandjang, pulau Sambilan dan pulau Kompej. Nama kampong Pangkalan Soesoe di teluk dekat muara sungai Besitang.

Dalam perkembangannya, sejak kehadiran Pemerintah Hindia Belanda di pantai timur Sumatra (termasuk Tamiang) sejak 1863, pemetaan wilayah semakin lengkap dan lebih detail sebagaima yang dipublikasikan pada tahun 1887 (Peta 1887).


Tahun ini adalah dimana Siak dan Bengkalis dipisahkan dari Residentie Oost Sumatra (yang mana ibu kota residentie yang sebelumnya di Bengkalis dipindahkan ke Medan). Medan sendiri sejak 1879 sudah menjadi ibu kota afdeeling Deli (dipindahkan dari Laboehan).

Dalam Peta 1887 kota Tanndjoeng Poera berada di pertemuan sungai Wampoe dan sungai Basilam/Batang Sarangan. Tidak teridentifikasi nama kampong ke hilir Tanjoeng Poera (sungai Langkat) hingga ke laut kecuali satu kampong: Paloh Nipah. Ini mengindikasikan hilir Tanjung Poera adalah wilayah rawa-rawa (seperti halnya Laboehan Deli). Makin ke hulu sungai (Wampoe, Basilam dan Batang Serangan) semakin banyak kampong.


Dalam perkembangannya, pada Peta 1907 sungai Tamiang (dan kota Langsa) masuk Atjeh, tetapi teluk yang berada di selatannya (Aroe Baai) masuk Oost Sumatra. Seperti halnya Singkel (awalnya masuk Tapanoeli) mengapa wilayah Tamiang dipisahkan dari Oost Sumatra dan dimasukkan ke Atjeh? Dalam sejarah lama dicatat para pemimpin local di pantai barat Sumatra bekerjassama mengusir Atjeh.  Pada tahun 1665 dikirim ekspedisi ke pantai barat Sumatra. Pada tahun 1666 benteng VOC di Baroes dibangun. Dua tahun kemudian VOC membuka pos perdagangan di muara sungai Singkel. Pada tahun 1667 utusan dari (daerah aliran sungai) Dilly ke Batavia meminta proteksi. Sebagaiman diketahui sejak 1641 VOC mengusir Portugis dari Malaka. Sejak kehadiran VOC di pantai barat dan pantai timur Sumatra, pengaruh (perdagangan) Atjeh semakin berkurang dan mundur k utara Tamiang dan ke utara Singkel.

Di sekitar pertemuan sungai sungai Wampoe dengan sungai Basilam/Batang Sarangan terdapat kampong-kampong Teloek Bakang dan Pinang (sungai Langkat), Lalang dan Tjampa (sungai Wampoe), Laboehan Dagang, Toewalang dan Teloek Djiringm (Basilam/Batang Sarangan) yang semuanya membentukl kota Tandjoeng Poera. Kantor Controleur berada sisi timur sungai Langkat antara kampong Pinang dan kampong Teloek Bakoeng.


Nama Tanjoeng Poera diduga berasal dari suatu tanjung (antara sungai Wampoe dengan sungai Basilamh/Batang Sarangan). Letak kampong asli Tandjoeng Poera berada di sisi utara sungai Wammpoe di hulu arah hulu kampong Lalang. Lantas sejak kapan kampong Tandjoeng Poera muncul? Yang jelas ada nama kampong Tjampa. Apakah ini mengindikasikan nama kampong Tandjoeng Poera sudah kuno seperti kampong Tjampa? Posisi GPS kampong Tjampa di sisi selatan sungai Wampo (bagian ujung dari tanjung yang terbentuk antara sungai Wampoe dan sungai Basilam/Batang Sarangan). Artinya kampong Tjampa berada di area yang lebih kering jika dibandingkan kampong Lalang dan kampong Tandjoeng Poera.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Selesei, Stabat, Tanjungpura dan Teluk Haru: Tanjung Pura di Kalimantan Barat, Aru di Sungai Barumun

Daerah aliran sungai Langkat/sungai Wampu adalah satu hal, daerah aliran sungai Basitang di wilayah (kebupaten) Langkat adalah hal lain lagi. Di hilir daerah aliran sungai Basitang inilah kini diketahui keberadaan Teluk Aru. Wilayah Teluk Aru adalah lanskap (bentang alam) yang berbeda dengan lanskap Langkat di selatan dan lanskap Tamiang di utara. 


Tribuntrends.com. Provinsi Sumatera Utara siap memecahkan wilayah Kabupaten, salah satunya adalah Kabupaten Langkat (ibukota berada di Kecamatan Stabat). Kabupaten Langkat terdiri dari 23 kecamatan. Nantinya Kabupaten Langkat segera berpisah dengan 289 ribu jiwa penduduk mereka setelah akan memiliki wilayah baru. Nama daerah pemekaran dari Kabupaten Langkat tersebut adalah Kabupaten Teluk Aru. Terdapat tujuh kecamatan yang dikabarkan telah siap bergabung bersama dengan Kabupaten Teluk Aru. Berikut ini 7 kecamatan yang akan ada di Kabupaten Teluk Aru: Pematang Jaya, Pangkalan Susu, Besitang, Berandan Barat, Babalan, Gebang dan Sei Lepan. Rencananya dari ketujuh kecamatan ini akan dipilih Pangkalan Berandan yang akan menjadi ibukota Kabupaten wilayah ini. 


Seperti disebut di atas, masih sulit menemukan asal-usul nama Langkat. Bagaimana dengan nama (Teluk) Aru? Mungkin nama Aru lebih mudah ditelusuri. Pada masa lalu ada nama kerajaan besar di pantai timur Sumatra yakni Aru Batak Kingdom (lihat Mendes Pinrto, 1537). Nama Aru diduga brermula di wilayah Padang Lawas (Angkola Mandailing). Nama Aru ini di Mandailing digunakan sebagai nama gelar raja. Nama Aru juga menjadi asal usul nama sungai Barumun (B-aru-mun).

 

Nama Aru tidak hanya di di pantai timur Sumatra. Ada nama Teluk Aru, yang merujuk nama desa di wilayah kecamatan Pulau Laut Kepulauan, kabupaten Kotabaru, provinsi Kalimantan Selatan. Ada juga nama pulau Aru (Laut Arufuru) di tenggara wilayah Maluku. Tentu saja nama Aru juga dapat dikaitkan dengan nama Saparua (Sap-aru-a). Aru juga menjadi nama gelar radja di Bone. Selain nama sungai Barumun, juga dapat dikaitkan dengan nama sungai Batang Arau (Padang); dan tidak tertutup kemungkinan dengan nama sungai Batang Ari (kini Batanghari). Nama Aru juga masih eksis di dekat muara sungai Barumun sebagai nama pulau Aru (kini Kepulauan Aru). Bagaimana dengan nama Barus (B-aru-s). Peta 1724


Nama Aru yang diduga kuat bermula di Padang Lawas, dalam perkembangannya menjadi nama generik, nama yang digunakan secara umum untuk penamaan geografis seperti sungai, pulau, teluk dan tanjung. Hal inilah diduga kuat mengapa nama Aru muncul di wilayah Langkat sebagai nama teluk (Teluk Aru). Perlu ditambahkan disini, tidak jauh dari Teluk Aru mengalir dua sungai besar: Tamiang dan Basitang. Di arah hulu daerah aliran sungai Tamiang (Simpang Kanan) terdapat nama wilayah Modjopahit, wilayah Langsar dan wilayah Karang. Di arah hilir daerah aliran sungai Tamiang (yang berbatasan lanskap Teluk Aru (Aru Baai) diidentifikasi lanskap Moeda (mungkin merujuk pada nama Radja Iskandar Moeda pada era VOC).

 

Nama Aru diduga tercatat pertama kali dalam teks Negarakertagama (1365) sebagai Hraw (bahasa dan aksara Jawa Kuno). Dalam teks ini juga disebut nama-nama lainnya seperti Pane, (Padang) Lawas, Mandailing dan Rokan serta Barus. Nama-nama tersebut merupakan nama-nama lanskap (benteng alam) di wilayah Tapanuli bagian Selatan pada masa ini, yang tempoe doeloe sebagai nama-nama kerajaan. Nama Pane diduga termasuk salah satu nama paling tua. Dalam prasti Tanjore (1030) disebut nama-nama Panai (Pane), Vidyadhara-torana (Torgamba). Malaiyur (Maleya), Mayirudingam (Runding), Ilangasogam (Binang-Sunggam), Mappappalam (Sipalpal), Mevilimbangam (Limbang/Lembang), Valaippanduru (Balai/Paran Julu), Takkolam (Angkola) dan Madamalingam (Mandailing). Peta 1595 


Lantas bagaimana sejarah nama Teluk Aru (Aru Baai)? Nama Aru dalam hal ini adalah nama kuno (yang berasal dari selatan di daerah aliran sungai Barumun). Nama Aru di sekitar Teluk Aru (Langkat) tidak sendiri. Ada nama Tamiang, Langsar, Karang dan Modjopahit serrta nama Basitang. Nama Tamiang muncul pada peta-peta Portugis sebagai Tanjam (wilayah di sisi selatan muara sungai Barumun). Hal itulah mengapa ada nama-nama kampong Tamiang di Angkola dan Mandailing.

 

Sementara nama Karang ditemukan sebagai nama Songi Carang pada peta-peta awal era VOC (misalnya Peta 1657). Songi Carang ini diduga kuat merupakan nama awal sungai Bah Bolon (kerajaan Pane di Simaloengoen). Sedangkan nama Langsar diduga kuat nama yang lebih tua seperti nama kampong Lingsar di Lombok, nama kampong Langsar di Madura/Sumenep, nama kampong Langsar di Angkola/Sipirok. Nama kota Langsa di Aceh) diduga merujuk pada nama Lamgsar. Nama Modjopahit nama yang unik di pantai timur Sumatra, tentu saja dapat dihubungkan dengan Jawa (Kerajaan Madjapahit). Nama Basitang sulit dicaru toponiminya, tetap dapat juga dapat dihubungkan dengan nama Batang (sungai di Angkola Mandailing) atau Sihitang nama kampong di Angkola. Apakah nama sungai di kampong ini dulunya disebut sungai Batang Sihitang yang kemudian mereduksi menjadi Basitang (Batang Sihitang menjadi Ba-si-tang).

 

Penamaan Teluk Aru diduga bermula pada era Portugis (Aru Baia) yang kemudian berlanjut pada era VOC/Belanda sebagai Aru Baai. Seperti tanjung, teluk juga adalah penanda navigasi pada perlayaran Eropa (yang sudah dilengkapi pengetahuan navigasi dalam pembuatan peta oleh ahli kartografi di Eropa). Namun pada masa ini kawasan Teluk Aru di muara sungai Basitang terkesan kecil, sangat sempit (seakan-akan bukan suatu teluk). Apa yang telah terjadi di kawasan sejak masa lampau? Yang jelas Aru dan Basitang adalah nama kuno.

 

Secara geomorfologis Teluk Aru tempo doeloe adalah suatu teluk besar. Ke dalam sebagian teluk besar ini bermuara tiga sungai besar, yakni sungai Basitang di selatan, sungai Simpang Kiri di tengah dan sungai Simpang Kanan di utara (seperti kita lihat nanti gabungan sungai Simpang Kiri dan sungai Simpang Kanan ini bergabung di kota Kuala Simpang yang sekatang, yang ke hilir membentuk sungai yang lebih besar yang dikenal sebagai sungai Tamiang. Dalam hal ini garis pantai awalnya di kampong/kota Kuala Simpang, Sungai Liput, Balaban, Boekitkoeboe, Pangkalan Brandan dan Tandjoeng Poera. Dalam perkembangannya, dari masa ke masa, telah terjadi proses sedimentasi jangka panjang, teluk besar tersebut terbentuk daratan baru yang mana sungai Tamiang (gabungan Simpang Kiri dan Simpang Kanan) mencari jalan sendiri ke laut kea rah utara dan sungai Basitang membentuk jalan sendiri. Muara sungai Basitan yang terus maju hingga Teluk Aru yang begitu besar di masa lampau menjadi lebih kecil dan lebih sempit. Proses sediomentasi jangka panjang di muara sungai Basitang terus berlangsung hingga dimana terbentuk pulau-pulau baru seperti pulau Kompeij dan pulau Sambilan di bagian luar teluk dan pulau-pulau kecil terbentuk baru di muara sungai Basitang seperti pulau Talang dan pulau Panjang. Pulau Sambilan terus membengkak, sementara pulau Kompei yang juga terus membengkak sehingga kini terkesan pulau Kompei telah menyatu dengan daratan. Dalam konteks inilah kita kembali membicarakam nama-nama lanskap Basitang, Karang dan Langsar di pedalaman.

 

Pada masa ini elevasi di kota Koeala Simpang hanya sekitar 2 m dpl. Bisa dibayangkan elevasi setinggi 2 m dpl jauh di pedalaman. Itu adalah masa kini, Bagaimana dengan di masa lampau? Ketinggian di kota Boekitkoeboe di daerah aliran sungai Basitang hanya 1 m dpl. Bisa dibayangkan elevasi setinggi 1 m dpl jauh di pedalaman. Kota Tandjung Poera juga sekitar 1 m dpl (bahkan banyak area du luar kota Tanjung Pura dengan elevasi minus 1 dpl. Bagaiamana itu minus terjadi? Proses sedimentasi dan terbentuknya daratan baru sebagai factor penentu demikian. Catatan: Elevasi yang sedikit lebih tinggi di kota Pangkalan Brandan (meski lebih dekat ke laut) sekitar 5 m dpl.

 

Seara umum dari Kuala Simpang (sungai Tamiang), Sungai Liput, Balaban, Boekitkoeboe (sungai Basitang), Pangkalan Brandan ke arah pedalaman elevasi semakin meninggi Sebaliknya, ke arah laut dengan segera menurun pada titik rendah. Oleh karena wilayah sekitar Teluk Aru yang sangat rendah. Namun ada elevasi yang cukup tinggi. Antara kota Koeala Simpang dan kota Sungai Liput ada garis ketinggian ke arah laut, yang besar dugaan di masa lampau ada suatu pulau (di dalam Teluk Aru kuno). Terjadinya proses sedimentasi di sekitar Koeala Simpang (menyatunya Kiri dan Kanan) sungai yang terbentuk lebi besar (sungai Tamiang) semakin ke hilir menjauhi garis ketinggian (pulau) tersebut. Hal itulah mengapa sungai Tamian di hilir mengarah ke timur laut. Di Kawasan muara sungai Basitang (teluk Aru) terdapat beberapa area ketinggian yang diduga lebih awal terbentuk daratan sebagai pulau termasuk pulau Sambilan dan pulau Koempai.  

 

Dari deskripsi di atas, pada masa lampau terdapat teluk besar (Teluk Aru awal) dimana sungai Simpang Kanan, sungai Simpang Kiri dan sungai Basitang bermuara. Sebelum terbentuknya daratan baru, di bagian luar teluk sidah ada pulau-pulau yang terbentuk lebih dulu seperti pulau Sambilan dan pulau Koempai. Besar dugaan dulunya pos pedagangan berada di pulau Sambilan dan pulau Koempai untuk transaksi perdagangan dengan penduduk di pedalaman melalui muara sungai Basitang, muara sungai Simpang Kiri dan muara Simpang Kanan.

 

Dengan pendekatan geomorfologis tersebut di atas, menjadi lebih jelas bagaimana sejarah awal yang terjadi di wilayah Teluk Aru. Dalam hubungan inilah situasi dan kondisi yang berkembang di kawasan teluk dapat dipahami seperti kawasan kota Tandjoeng Poera haruslah dianggap relative baru dibandingkan dengan pulau Sambilan dan pulau Kompai. Lalu dalam kontek situasi dan kondisi kawasan teluk dapat dihubungkan dengan peristiwa sejarah yang terjadi di tempat lain (dalam konteks perdaganga zaman kuno), seperti nama Aru, Basitang, Sambilan dan Koempai. Nama Aru yang lebih tua ditemukan di Padang Lawas, nama Sambilan sebagai suatu pulau di pantai barat Semenanjung Malaya dan nama Koempai yang diduga mirip dengan nama Kompei di daerah aliran sungai Batanghari. Nama Kompai ini juga ditemuka di daerah aliaran sungai Deli/sungai Hamparan Perak.

 

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar: