Selasa, Oktober 22, 2024

Sejarah Pantai Timur (12): Tamiang, Tamjam di Wilayah Utara dan Selatan Pantai Timur Sumatra; Atjeh, Siak, Deli, Sumatera Timur


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Pantai Timur Sumatra di blog ini Klik Disini

Pada era Pemerintah Hindia Belanda Residentie Sumatra’s Oostkust dari Siak hingga Tamiang. Demikian juga di province Sumatra’s Westkust, wilayah residentie Tapanoelie dari Natal hingga Singkel. Pada tahun 1887 Siak dan Bengkalis dipisahkan dari Residentie Sumatra’s Oostkust. Lalu pada tahun 1905 Residentie Tapanoeli dipisahkan dari province Sumatra’s Westkust. Terakhir pada era Republik Indonesia Tamiang dipisahkan dari Sumatra Timur dan Singkel dipisahkan daru Tapanoeli. Wilayah kabupaten Aceh Tamiang berdekatan dengan wilayah kabupaten Langkat.


Kabupaten Aceh Tamiang di provinsi Aceh di perbatasan Aceh-Sumatera Utara. Kerajaan Tamiang puncak kejayaannya semasa Raja Muda Setia (1330–1366) yang pada masa itu kerajaan dibatasi: sungai Raya di utara, Besitang di selatan, selat Malaka di timur, gunung Segama di barat. Pada masa Kesultanan Aceh, Kerajaan Tamiang telah mendapat cap Sikureung dan hak Tumpang Gantung dari Sultan Aceh atas wilayah Negeri Karang dan Negeri Kejuruan Muda. Sementara negeri Sultan Muda Seruway, Negeri Sungai Iyu, Negeri Kaloy, dan Negeri Telaga Meuku dijadikan sebagai wilayah pelindung bagi wilayah cap Sikureung. Tahun 1908 wilayah Tamiang dipisakan Oost Sumatra. Nama Tamiang berasal dari Te-Miyang atau "Da-Miyang artinya tidak kena gatal dari miang bambu. Eksistensi wilayah Tamiang pada prasasti Sriwijaya. Sastra Cina karya Wee Pei Shih mencatat keberadaan negeri Kan Pei Chiang (Tamiang) atau Tumihang dalam Kitab Negara Kertagama. Pada masa ini kabupaten Aceh Tamiang satu-satunya kawasan di Aceh mayoritas etnis Melayu Tamiang (Wikipedia).

Lantas bagaimana sejarah Tamiang, Tamjam di wilayah utara dan wilayah selatan pantai timur Sumatra? Seperti disebut di atas, wilayah Tamiang berada di perbatasan Aceh dan Sumatra, sementara nama Tamjam tempo doeloe berada di batas Sumatra Utara dan Riau. Bagaimana dengan nama-nama Atjeh, Siak, Deli dan Sumatera Timur? Lalu bagaimana sejarah Tamiang, Tamjam di wilayah utara dan wilayah selatan pantai timur Sumatra? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Tamiang, Tamjam di Wilayah Utara dan Selatan Pantai Timur Sumatra; Atjeh, Siak, Deli, Sumatera Timur                                                      

Nama Tamiang di wilayah Atjeh, yang dapat dikatakan berada di perbatasan antara Sumatra Timur dan Atjeh. Nama Tamiang, nama yang juga ditemukan di Angkola dan di Mandailing. Nama Tamiang juga ditemukan di wilayah Banten, di wilayah Tangerang, di wilayah Karawang, di wilayah Barito Timur. Juga ditemukan di wilayah Soekaboemi sebagai Tjitamiang.


Nama Tamiang tentu ditemukan dalam teks Negarakertagama (1365) sebagai Tumihang. Nama-nama lain yang disebut dalam teks antara lain adalah Djambi, Palembang, Tëba (Toba), Dharmagraya, Kandis, Kahwas, Manangkabo, Siyak, Rekan (Rokan), Kampar, Pane, Kampe, Haru, Mandahiling, Tumihang (Tamihang), Batan, Lampung, Barus. Dalam peta-peta Portugis nama Tamiang ditemukan dalam Peta 1595 sebagai Tanjam. Nama Tanjam ini berada di sisi selatan daerah aliran sungai Baroemoen (kerajaan Tanah Daru, Terra Daru, Terra d’Aru). ) (lihat Itinerario, Voyage ofte schipvaert, van Jan Huygen van Linschoten naer Oost ofte Portugaels Indien door Jan Huygen van Linschoten. 1596). Tanjam inilah yang diduga kuat terkait dengan nama Tamiang di perbatasan Atjeh/Sumatra Timur.

Nama Tamiang di wilayah Atjeh diidentifikasi pertama sebagai nama sungai yang kemudian dikenal sebagai nama wilayah. Sebagaimana lazimnya nama geografis lainnya biasanya didasarkan pada nama kampong. Lantas dimana letak/GPS kampong Tamiang di daerah aliran sungai Tamiang? Tidak ditemukan lagi. Demikian juga nama kampong Tamiang di wilayah Tanjam (Baroemoen) tidak diketahui. Yang diketahui Tamiang sebagai nama kampong ditemukan di wilayah Angkola (kampong Si Tamiang di Padang Sidempoean) dan di wilayah Mandailing (kerajaan Tamiang di Kotanopan).


Nama Tamiang paling tidak sudah disebut tahun 1858. Pada Peta 1877 nama Tamiang tidak hanya nama wilayah, juga nama sungai Tamiang. Nama Tamiang juga diidentifikasi sebagai penanda navigasi pelayaran (tanjung). Dalam Peta 1877 ini wilayah Tamiang masuk wilayah residentie/province Oost Sumatra. Dalam hal ini nama Tamiang (Tumihang/Tanjam) sudah lama eksis, lantas sejak kapan nama Tamiang muncul di wilayah perbatasan Atjeh?

Yang jelas nama kerajaan (koeria) Tamiang di wilayah Mandailing/Kotanopan sudah dilaporkan oleh TJ Willer tahun 1846 (lihat Tijdschrift voor Neerland's Indie, 1846). Lantas apa arti Tamiang?


Keberadaan (nama) Tamiang di perbatasan Atjeh disebut sudah lama (lihat Tijdschrift voor Neerland's Indie, 1850). Disebutkan Siak awalnya bergantung pada Djohor, yang didirikan oleh pemukim Melayu di semenanjung tersebut. Siak juga mengakui, seperti semua raja Melayu, supremasi Menangkabau; tapi ini tidak lebih dari sebuah kewajiban. Namun pada tahun 1613 menurut W Marsden, Siak berada di bawah supremasi Atjeh melalui penaklukan. Kemudian, dengan runtuhnya Kerajaan Atjeh (1874?), kerajaan Siak melepaskan semua dominasi asing, dan sebaliknya memperoleh supremasi atas sebagian besar pantai timur Sumatra, ke selatan di Kampar, ke utara di semua negara sampai ke Tamiang. Radermacher, yang menulis uraiannya tentang Sumatera sekitar tahun 1780, mengatakan bahwa Siak saat itu diperintah oleh seorang pangeran Melayu, bernama Radja Ismail, salah satu bajak laut terhebat di kawasan.

Di Jawa tamiang adalah nama jenis bamboo (lihat Natuurkundig tijdschrift voor Nederlandsch-Indie, 1856). Disebutkan vegetasinya sebagian besar terdiri dari beberapa jenis bambu, seperti beton, appoes, hauër, ampel dan tamiang. Di Sumatra selatan tamian adalah nama rotan (lihat Natuurkundig tijdschrift voor Nederlandsch-Indie, 1859). Disebutkan di Briengien-teloe dikumpulkan 18 jenis rotan, namun semuanya tanpa buah atau bunga. Spesies disini sepertinya tidak ada habisnya, karena selain disebutkan di atas, disebutkan juga hal-hal berikut ini, seperti; rottan dahon-goadja, r. lalu, r. geta-talang, r. manan-riang, r. saboet, r. tamiang.


Tamiang sebagai nama tempat tidak hanya di Mandailing (1846) dan Tamiang di pantai timur Sumatra (1858), juga nama Tamiang di Borneo dilaporkan tahun 1862 (lihat Militaire spectator; tijdschrift voor het Nederlandsche leger, 1862).

Nama Tamiang di perbatasan Atjeh semakin penting dengan kehadiran Pemerintah Hindia Belanda di pantai timur Sumatra (lihat Tijdschrift voor Neerland's Indie, 1867). Disebutkan pada tahun 1865 satu ekspedisi dikirim ke Asahan dan Tamiang untuk mengusir Atjeh. Sebelumnya, tahun 1863 Pemerintah Hindia Belanda telah mengusir Atjeh dari Deli. Pantai timur Sumatra (Sumatra’s Oostkust) dari Djambi hingga Tamiang (lihat Tijdschrift voor Neerland's Indie, 1870). Mengapa disebut demikian? Dalam hal ini di utara Tamiang adalah wilayah Atjeh dan di selatan Djambi adalah wilayah Palembang.


Apa yang menjadi dasar sejarah mengapa pantai timur Sumatra (Sumatra’s Oostkust) disebut dari Djambi hingga Tamiang? Ini berarti ini tidak termasuk Atjeh di utara dan Palembang di selatan. Satu-satunya sumber yang tercatat dalam laporan seorang Portugis di Malaka, Mendes Pinto (1537) yang melakukan kunjungan ke wilayah kerajaan Aru Batak Kingdom di pantai timur Sumatra. Menurut Mendes Pinto kerajaan Aru Batak Kingdom tengah berselisih dengan Atjeh. Masih menurut Mendes Pinto kekuatan kerajaan Aru Batak Kingdom sebanyak 15 ribu pasukan, yang mana delapan ribu orang Batak dan sisanya didatangkan dari Indragiri, Djambi, Broenai dan Luzon. Besar dugaan kerajaan Indragiri dan Djambi adalah vassal (kerajaan bawahan) dari kerajaan Aru Batak Kingdom. Setelah kekalahan kerajaan Aru Batak Kingdom dari Atjeh, lambat laun kerajaan Aru Batak Kingdom memudar, dan kemudian kerajaan-kerajaan yang berada di wilayah eks kerajaan Aru Batak Kingdom berdiri sendiri seperti kerajaan Indragiri dan kerajaan Djambi. Wilayah pesisir kerajaan Aru Batak Kingdom sendiri kemudian diokupasi oleh Atjeh (lihat Tijdschrift voor Neerland's Indie, 1873). Disebutkan pada zaman dahulu, Atchin merupakan kerajaan yang sangat luas dan kuat. Seluruh pesisir barat sampai ke Benkoelen dan di timur hingga sampai sungai Kampar. Sebagaimana diketahui sejak 1641 VOC/Belanda mengusir Portugis dari Malaka yang kemudian lambat laun semakin kuat keberadaan VOC di selat Malaka. Dalam fase inilah kemudian seperti disebut di atas, Radja Ketjil (Radja Ismail) dari Djohoe mengokupasi wilayah Siak di pantai timur Sumatra (lihat Radermacher, 1780) yang kemudian menjadikan wilayahnya sebagian besar pantai timur Sumatra, ke selatan di Kampar, ke utara di semua negara sampai ke Tamiang. Ini seakan Atjeh mundur ke utara ke wilayahnya di batas Tamiang. Wilayah kerajaan Siak ini yang awalnya (sebelum diokupasi Atjeh) berada di bawah kerajaan Aru Batak Kingdom telah menjadi wilayah Siak (Kampar di selatan dan Tamiang di utara). Indragiri dan Djambi hanya sebagai vassal kerajaan Aru Batak Kingdom. Seperti disebut juga di atas, wilayah inilah yang kemudian diklaim Siak ketika Pemerintah Hindia Belanda membentuk cabang pemerintahan di pantai timur Sumatra.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Atjeh, Siak, Deli, Sumatera Timur: Dari Zaman Kuno Tamjam hingga Zaman Hindia Belanda 

Nama Tamiang di perbatasan Atjeh diduga kuat ada hubungannya dengan wilayah selatan di pantai timur Sumatra (Padang Lawas). Nama Tamiang di wilayah Atjeh hanya ditemukan di daerah aliran sungai Tamiang. Nama Tamiang tidak ditemukan di daerah aliran sungai Langkat, sungai Deli, sungai Binomon/Bah Bolon (Simaloengoen) dan sungai Asahan. Nama Tamiang ditemukan di daerah aliran sungai Baroemoen di sisi selatan muara sungai (Peta 1595) dan di hulu sungai di Angkola dan di Mandailing (hingga sekarang).


Di daerah aliran sungai Tamiang ditemukan nama-nama yang dapat dikatakan khas. Nama Aru sebagai nama teluk besar dimana sungai Tamiang dan sungai Basitang bermuara. Nama Aru merujuk pada daerah aliran sungai Barumun (B-aru-mun) yang dulu menjadi pusat kerajaan Aru Batak Kingdom. Nama Tamiang merujuk pada suatu wilayah di hilir daerah aliran sungai Barumun. Basitang diduga merujuk pada nama sungai Batang Sihitang (Ba-sitang) yang terdapat di Angkola. Ba adalah singkatan Batang sebagaimana Bah di wilayah Simaloengoen. Batang dalam bahasa Angkola Mandailing adalah sungai. Nama-nama khas lainnya di daerah aliran sungai Tamiang adalah kampong Batang Ara, kampong Djambi dan kampong Karang tidak jauh di arah hulu sungai dari kota Koeala Simpang. Nama-nama khas lainnya adalah nama pulau Sambilan dan nama pulau Kompai. Semua nama-nama yang disebut tersebut memiliki padanan di wilayah selatan yang terkait dengan wilayah kerajaan Aru Batak Kingdom. Nama khas yang berbeda di daerah aliran sungai Tamiang adalah Madjapahit. Catatan: Padanan nama Tamiang (Tanjam di muaraa Barumun), Tamiang di Angkola Mandaailing; Basitang (Batang Sihitang di Angkola); Batang Ara (Batang Aru di Padang Lawas dan Batang Arau di Padang dan Batang Ari/Batanghari di Djambi); kampong Djambi (nama Djambi di sungai Batang Ari); kampong Karang (nama sungai Karang yang menjadi nam sungai Bah Bolon); pulau Sambilan (nama pulau di pantai barat Semenanjung dekat Kedah); Kompai (nama Kompei di sungai Deli/Hamparan Perak, dan nama pulau/tempat di hilir Djambi di sungai Batanghari). Bagaaimana dengan nama Madjapaahit?

Nama Madjapahit di wilayah Atjeh (di utara wilayah Tamiang) adalah nama yang menarik perhatian karena nama ini dapat dihubungkan dengan Jawa. Lalu mengapa ada nama Modjopahit di daerah aliran sungai Tamiang? Yang jelas nama yang terkait Jawa juga ditemukan di daerah aliran sungai Binomon (Bah Bolon) di wilayah Simaloengoen disebut Tanah Djawa. Nama (wilayah) Modjopahit dan nama (wilayah) Tanah Djawa di pantai timur Sumatra diduga saling berhubungan karena merujuk pada situasi dan kondisi masa lampau di daerah aliran sungai Baroemoen. Nama sungai Binomon di Simaloengoen diduga kuat merujuk pada nama sungai Barumun (yang juga diidentifikasi dalam peta-peta sebagai Barumon atau Baromon).


FM Schnitger setelah melakukan eskavasi candi-candi di Padang Lawas tahun 1936 menyimpulkan ada hubungan erat antara Singhasari (Jawa Timur) dengan Panai (Padang Lawas) di pantai timur Sumatra. Itu dihubungkan ada salah satu bentuk candi di Singhasasi yang mirip dengan candi-candi di Padang Lawas. FM Schnitger menyimpulkan bahwa radja Kertanegara dari Singhasari sebagai salah satu pendukung fanatic agama Boedha Batak sekte Bhirawa. Radja Kertanegara meninggal pada tahun 1292. Suksesi kerajaan Singhasari di Jawa Timur adalah (kerajaan) Madjapahit. Dalam teks Negarakertagama (1365) disebut nama-nama tempat di wilayah Padang Lawas seperti Panai, Rokan, Harw dan Mandailing. Besar dugaan hubungan antara Panai dengan Singhasari/Madjapahit yang menyebabkan muncul nama Tanah Djawa dan Madjapahit di pantai timur Sumatra.

Nama Madjapahit di daerah aliran sungai Tamiang diduga kuat sudah lama adanya. Hubungan Singhasari dan Panai di masa lampau diduga berawal dari hubungan intens antara Sumatra dan Jawa. Satu-satunya petunjuk tentang itu adalah adanya kesamaan salah satu candi di Singhasari yang mirip dengan candi-candi di Padang Lawas. Hubungan tersebut terus berlanjut hingga era Madjapahit. Lalu bagaimana dengan masa lampau?


Adanya hubungan nama Jawa dengan nama Sumatra (mungkin) dapat ditelusuri (disambungkan) dari masa lampau. Sebagaiman diketahui salah satu sumber tertua di pantai timur Sumatra ditemukan pada prasasti-prasasti abad ke-7. Dalam prasasti Kedoekan Boekit disebut nama Minanga (yang diduga kuat adalah Binanga di daerah aliran sungai Barumun/Padang Lawas). Disebutkan Radja dan pasukannya berangkat dari Minanga. Pada prasasti Kota Kapur disebut pasukan berangkat untuk menyerang Bhumi Jawa. Minanga dan Jawa adalah dua nama tempat dalam prasasti-prasasti abad ke-7 yang dapat dihubungkan dengan pada masa ini. Minanga di (pulau) Sumatra dan Jawa di (pulau) Jawa. Dalam hal ini pada abad ke-7 nama Sumatra (dimana Minanga berada) dibedakan dengan nama Jawa. Bagaimana disebut Jawa? Orang Persia menyebut dengan Djawa dan orang Arab menyebut dengan nama Djawi. Orang Arab menyebut nama (produk) kemenyan sebagai Luban Djawi (produk wewangian dari Djawi). Sebagaimana diketahui produk kemenyan (luban Djawi) hanya ditemukan di pantai barat Sumatra antara Air Bangis dan Singkil (wilayah Tanah Batak). Besar dugaan nama pulau Sumatra oleh oraang Arab maupun Persia adalah Djawa/Djawi. Pada abad ini sebagai permulaan agama Islam, orang Arab menyebut bahasa Djawi (bahasa di Sumatra) dan aksara yang digunakan. Yang tidak lain adalah aksara Arab dengan nama aksara Djawi. Pada masa ini nama bahasa Djawi telah bergeser menjadi nama bahasa Melayu, tetapi aksaranya tetap disebut aksara Djawi. Perlu disisipkamn disini, bahasa Persia berbeda dengan bahasa Arab, tetapi bahasa Persia menggunakan aksara Arab. Nama Djawa (Persia) dan nama Djawi (Persia) diduga merujuk pada nama yang sudah dikenal di masa lampau yakni Iabadiu di Yunani Kuno sebagaimana Ptolomeus pada abad ke-2 menggunakan nama Iabadiu tersebut. Nama Iabadiu ini mirip dengan nama yang disebut di India sebagai Ywadwipa. Dalam hal ini diu dan dwipa adalah pulau, yakni pulau Iaba/Ywa (pulau padi-padian). Selain nama Iabadiu, Ptolomeus pada abad ke-2 juga mengidentifikasi dalam peta yang dibuatnya dengan nama (Aurea) Chersonesos. Dalam hal ini nesos dalam bahasa Yunani Kuno diartikan sebagai pulau, yang dengan demikian Cherspnesos sebagai pulau Cherso. Ptolomeus dalam peta tersebut menambahkan bahasa Yunani Kuno di depan nama Cherspnesos dengan Aurea (yang dalam bahasa Yuani Kuno diartikan emas). Lantas apakah Cherso adalah Aurea (emas)? Dalam bahasa Batak emas disebut sere. Lalu apakah sere dalam hal ini adalah cherso dalam pelafalan orang Yunani Kuno? Pada abad ke-11, dalam prasasti Tanjore (1030) disebut nama Pannai, nama yang diduga adalah Panai di daerah aliran sungai Barumun di Padang Lawas. Nama Panai ini menjadi nama sungai dimana sungai Panai ini bermuara di sungai Barumun di Binanga (Minanga). Nama Panai ini juga masih eksis hingga era Madjapahit (teks Negarakertagama. 1365). Nama Panai kemudian juga ditemukan di Simaaloengoen (di bagian dalam daerah Tanah Jawa) di daerah hulu aliran sungai Binomon (nama yang mirip dengan nama sungai Baroemoen/Baromon di Padang Lawas). Dalam teks Negarakertagama (1365) tidak disebut nama Jawa. Namun sebelumnya Marcopolo menyebut Java adalah pulau Sumatra dan orang Eropa selanjutnya menyebut nama Java Majoor dan Java Minor dan pulau Sulawesi disebut Djawa/Djawi. Para ahli kartografi Eropa ada kalanya menyebut nama Java Majoor adalah pulau Sumatra dan Java Minor adalah pulau Jawa tetapi ada juga yang menyebut nama Java Minor adalah pulau Jawa dan Java Majoor adalah Australia. Simpang siur penamaan Jawa/Java di Eropa yang jelas nama Jawa/Java sudah eksis sejak masa lampau sebagai Ywadwipa, Iabadiu, Djawa/Djawi dan Java (Majoor/Minor). Dalam hal inilah nama Jawa yang disebutkan dalam prasasti Kota Kapur yang berasal dari abad ke-7 adalah pulau Jawa. Jika orang Arab/Persia tidak menyebut secara tepat Sumatra, lalu bagaimana dengan nama Sumatra sendiri di masa lampau? Satu yang jelas Ptolomeus mengidentifikasi nama pulau Chersonesos (Aurea), pulau yang diduga sebagai Pulau Emas (Pulau Sere).

Hibungan masa lampau antara Sumatra dan Jawa diduga sudah ada sejak abad ke-7 sebagaimana terinformasikan dalam prasasti-prasasti yang berasal dari abad ke-7. Hubungan tersebut berlanjut berabad-abad hingga era (abad) Majapahit.Namun nama Majapahit di Sumatra (Tamiang) baru eksis pada era Majapahit. Lalu bagaimana dengan nama Tamiang itu sendiri?


Nama Tamiang sebagai Tumihang sudah disebut dalam era Majapahit (teks Negarakertagama, 1365). Nama Tamiang dalam peta-peta Portugis mengindikasikan suatu wilayah di daerah aliran sungai Baroemoen/Padang Lawas sebagai Tanjam. Jika nama Tumihang dan Tanjam adalah Tamiang, lantas apa arti nama Tamiang? Sebagaimana umumnya penamaan nama tempat (geografi) di masa lampau umumnya terkait dengan arti nama sesuatu (yang penting dan berguna) antara lain nama yang dihubungan dengan botani seperti nama padi-padian (Jawa), yang dihubungkan dengan nama tambang seperti nama emas/sere (pulau Sumatra, Chersonesos). Nama Tamiang diduga nama yang dihubungkan dengan kebiasaan/cara penduduk dalam melakukan sesuatu. Lalu apakah nama Tamiang dihubungkan dengan tamiang dalam bahasa Batak? Dalam kamus bahasa Angkola Mandailing oleh HJ Eggink tahun 1936 tangiang adalah doa, martangiang adalah berdoa dan partangiangan adalah tempat sembahyang. Tidak ada nama tamiang dalam kamus HJ Eggink. Nama tamiang dalam kamus Tobabataksch-deutsches Wörterbuch oleh Johannes Warneck tahun 1906 tamiang adalah sinonim dari tangiang. Dalam kamus ini tangiang didefinisikan, sementara tamiang hanya disebut sebagai sinonim. Satu yang jelas dalam hal ini, tamiang atau tangiang adalah sembahyang. Lantas bagaimana dengan arti sembahyang? Dalam kamus HJ Eggink: somba= penghormatan, dimana puncaknya jari-jari disatukan, sambil kedua telapak tangan saling berhadapan berbalik dan kepala menoleh pada saat yang bersamaan lengkung; manyomba, beribadah; marsomba=untuk memberi isyarat hormat kepada, memuja; marsombahon, meminta sesuatu dengan hormat; manjombahon dosa, ampunan, menanyakan dosa-dosanya; parsombaan, tempat orang beribadah; sombaon, siapa yang dihormati; sombajang, Islam, praktik keagamaan ritual;yang melakukan praktek keagamaan (marsombajang). Jadi, tamiang, tangiang dan somba (dan sombayang) memiliki kemiripan (dalam religi/keagamaan). Nama somba ini mungkin menjadi penting karena memiliki masa lampau. Dalam prasasti Kedoekan Boekit yang berasal dari abad ke-7 disebut ‘ekādaśī śuklapakşa vulan vaiśākha ḍapunta hiyaṁ nāyik di sāmvau maṅalap siddhayātra’ (dalam Wikipedia terjemahannya: pada hari ke sebelas paro-terang bulan Waiśakha Dapunta Hiyang naik di sampan mengambil siddhayātra). Pada era Pemerintah Hindia Belanda ada salah satu peneliti menginterpretasi ‘sāmvau’ sebagai tempat peribadatang (samvau/sambau/somba). Jika ‘samvau’ ini diartikan somba/semba maka terjemahan menjadi ‘pada hari ke sebelas paro-terang bulan Waiśakha Dapunta Hiyang naik di Somba mengambil siddhayātra). Penulis-penulis masa ini mengartikan siddhayātrā sebagao dia yang mengacu pada ‘perjalanan laut yang sukses’. Dalam perkembangannya, seperti halnya Tanjam/Tumihang/Tamiang, nama Samvau/Somba menjadi nama tempat seperti Somba Opu (kerajaan Gowa). Somba Dewata (nama kampong di Sipirok/Dolok Hole, hulu sungai Batang Pane). Singkatnya: apakah dalam hal ini tangiang/tamiang adalah nama lama untuk somba/sombayang? Pada masa kini somba dalam hubungannya dengan religi lama (era Hindoe/Boedha) dam sombayang dalam hubungannya dengan keagamaan Islam. Sombayang (somba-hyam/hyang—somba kepada Dapunta/Hyam) dalam bahasa Batak bergeser menjadi sembahyang dalam bahasa Melayu.

Nama Tamiang diduga ada kaitannya dengan tamiang atau tangiang dalam bahasa Batak. Lalu nama tamiang juga ada kaitannya dengan nama somba atau sombayang. Dengan demikian tamiang atau sombayang adalah kosa kata yang diduga telah eksis sejak masa lampau di pantai timur Sumatra.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar: