*Untuk melihat semua artikel Sejarah Benteng Huraba di blog ini Klik Disini
Ada
benteng di Huraba, Pintu Padang, Angkola Jae, Tapanuli Selatan. Benteng ini
merupakan benteng perjuangan pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia (Perang
Kemerdekaan). Meski benteng ini sudah dikenal lama, tetapi pada masa ini
tentang keberadaan benteng ini kurang terinformaikan secara komprehensif.
Mengapa? Boleh jadi orang Angkola Mandailing kurang mempromosikannya ke publik
nasional. Namun seiring perubahan zaman, orang lain ingin mengetahui bagaimana sejarahnya.
Monumen Benteng Huraba Bukti Sejarah Perjuangan di Tapsel. Antara, Minggu, 5 Mei 2024. Bupati Tapanuli Selatan (Tapsel), Sumatera Utara, Dolly Pasaribu menyebutkan Monumen Juang Benteng Huraba merupakan simbol dan bukti sejarah perjuangan para pejuang di bumi Tapanuli Selatan. Hal itu disampaikan saat menghadiri peringatan Hari Juang Benteng Huraba Ke-75 di Desa Huraba, Kecamatan Batang Angkola, Tapanuli Selatan, Minggu. Bupati mengatakan bahwa 75 tahun silam tepatnya 5 Mei 1949 adalah hari berkabung pejuang Mobrig yang sekarang menjadi Brimob dan TNI serta pejuang dan masyarakat lainnya di Tapanuli Selatan: ‘Sebanyak 27 pejuang di bawah kepemimpinan Mayor Mas Kadiran rela berkorban nyawa atau gugur sebagai melati kusuma bangsa saat mengusir penjajah di wilayah itu’. Menurut Bupati, Monumen Benteng Huraba merupakan lambang dari semangat perjuangan, patriotisme, dan pantang menyerah masyarakat bersama Polri: ‘Oleh karena itu, kita jangan melupakan sejarah. Semangat patriotisme atau semangat rela berkorban harus kita warisi dengan meningkatkan rasa cinta kita terhadap tanah air melalui semangat nasionalisme’. (https://www.antaranews.com).
Lantas bagaimana sejarah nama Huraba di Pintu Padang, Angkola Jae, Tapanuli Selatan? Seperti disebut di atas, di Huraba, Pintu Padang terdapat benteng, benteng yang terus diletarikan hingga masa ini. Memahami benteng di Huraba perlu memahami benteng Belanda hingga benteng Republik di Tapanuli (Bagian) Selatan. Lalu bagaimana sejarah nama Huraba di Pintu Padang, Angkola Jae, Tapanuli Selatan? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.
Nama Huraba di Pintu Padang, Angkola Jae, Tapanuli Selatan; Benteng Belanda hingga Benteng Republik
Huraba sebagai nama awalnya adalah nama khas di wilayah Angkola Mandailing. Tidak ditemukan di wilayah lain dan bahkan di wilayah Padang Lawas nama Huraba tidak ditemukan. Demikian juga nama Huraba tidak ditemukan di wilayah Silindung. Nama Huraba diduga kuat adalah nama lama yang menjadi nama-nama kampong di wilayah Angkola Mandailing. Salah satu diantara nama kampong disebut Huraba ditemukan di wilayah Pintu Padang, Batang Angkola (Angkola Jae).
Menurut kamus (bahasa) Angkola Mandailing yang disusun HJ Eggink tahun 1936, kata ‘huraba’ dalam hal ini ‘manguraba’ diartikan saat wabah dari epidemi atau permusuhan meninggalkan kampong dan tinggal di hutan; ‘pangurabaan’, perlindungan di hutan. Nama Huraba pada masa ini sebagai nama desa tidak hanya ditemukan di wilayah kecamatan Batang Angkola, juga ditemukan di kecamatan Marancar, di kecamatan Angkola Timur, di kecamatan Sipirok dan di kecamatan Siabu. Oleh karena desa awalnya adalah gabungan beberapa kampong, sudah barang tentu tempo doeloe banyak nama kampong Huraba. Dalam daftar ini juga dimasukkan nama-nama kampong Pangurabaan (desa di kecamatan Sipirok).
Nama
Huraba terinformasikan pada tahun 1838 (lihat Dr Muller
en Dr L Horner, 1955 di bawah bab Rei van Pitjat Kolling door Mandaheling Naar
Rau). Dr Muller en Dr L Horner adalah dua sarjana geologi yang dikirim
Pemerintah Hindia Belanda ke pantai barat Sumatra termasuk ke wilayah pedalaman
di Angkola, Mandailing dan Padang Lawas.
‘Hari pertama kami pergi ke Serama-tinggi (kini Sayur Matinggi), dekat
perbatasan selatan, di lembah Angkolah Hilir (kini Angkola Jae); perjalanan
sehari yang panjang dan melelahkan, yang merupakan tantangan bagi pasukan yang
lewat. Awalnya sampai di kampung Singalangang (kini Sigalangan), jalannya tidak
terlalu jauh dari pegunungan barat. Sekarang lalu kami melewati ladang tempat
jagung ditanam. Hanya sekali kami melihat di antara tanaman jagung yang tinggi
dan hampir matang, batang padi muda muncul dari dalam tanah. Sedikit jauh
melewati Singalangang, terletak di sisi kanan jalan adalah kampung
Pintoe-padang (kini Pintu Padang) artinya Poort de vlakte (gerbang dataran),
lambat laun menjadi lembah dari sana hingga Tolang. Sungai yang mengalir di
Pintoe-padang diberi nama Ajer Tamahin, dan yang di Tolang diberi nama Ajer
Siondop. Keduanya bersumber dari barat gunung dan mengalirkan airnya ke Batang
Angkolah. Masa lalu Tolang jalan melewati hutan. Pegunungan di sisi timur sungai
Angkolah mempunyai kemiringan yang sangat curam dan seringkali berbentuk bulat puncak,
tanpa memperlihatkan bebatuan yang gundul. Pendekatan sedikit lebih jauh lereng
bagian dalam kedua pegunungan bertemu hampir sampai ke tepian sungai Batang
Angkolah. Jalannya kini berganti-ganti antara naik dan turun beberapa
ketinggian, sampai ke desa Serama-tinggi, sebelah utara yang mengalir sungai
kecil Tolakma. Desa ini terletak 177 meter di atas laut. Terdiri dari sekitar
lima puluh rumah bamboo. Bahan makanannya, misalnya beras, jagung, ubi jalar,
pisang raja, ungags dll., tidak terlalu langka di sini dan dapat diperoleh
dengan harga yang wajar. Kami tidak melihat adanya babi di sana. Sekitar tengah
malam kami mendengarnya jeritan berbahaya, terutama dari suara perempuan,
seperti yang diberitahukan kepada kami keesokan paginya cerita itu diucapkan,
dengan tujuan untuk mengusir kawanan gajah yang mendekati kampung tersebut’.
Dr Muller en Dr L Horner memulai perjalanan dari Pulau Pontjang di Teluk Tapanoeli. Dengan perahu memasuki sungai Lumut hingga ke kampong Lumut. Lalu perjalanan diteruskan melalui Angkola hingga ke Portibi di Padang Lawas. Perjalanan selanjutnya dari Padang Lawas ke Pijor Koling (dan kemudian ke Mandailing melalui Pintu Padang).
Rute perjalanan Dr Muller en Dr L Horner tampaknya mengikuti jalan yang pernah
dilalui oleh seorang ahli botani Inggris, Charles Miller pada tahun 1772 (lihat
William Marsden, 1781). Charles Miller dari Loemoet menyeberangi sungai Batang
Toru di atas jembatan suspensi dari rotan (rambin) terus ke Hoeta Lamboeng hingga
terus ke Hoeta Imbaru. Dengan melalui Simasom, terus ke Hoeta Morang sampai ke
Batang Onang (dan Pangkal Dolok). Charles Miller kembali melalui rute yang sama
ke Batang Toru tetapi dilanjutkan dengan naik perahu dari Sipisang ke pulau
Pontjang. Orang pertama yang melaporkan situasi dan kondisi di wilayah Angkola
adalah seorang pedagang Cina yang tinggal selama 10 tahun di Angkola dan
kembali ke Batavia pada tahun 1703 (lihat Dahgregister 01-03-1703).
Kehadiran Dr Muller en Dr L Horner di Angkola, Padang Lawas dan Mandailing pada masa Perang Padri (perlawanan Tuanku Tambusai). Dr Muller en Dr L Horner dari Sisoendoeng pada tanggal 27 Agustus 1938 untuk selanjutnya menuju Pijor Koling.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Benteng Belanda hingga Benteng Republik: Perjuangan Orang Angkola Mandailing Sejak Era Pemerintah Hindia Belanda
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar