Sabtu, April 18, 2015

Sejarah Marah Halim Cup (1): Sepakbola Indonesia Bermula di Medan

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Marah Halim Cup dalam blog ini Klik Disini


Esplanade, 1890: Awal mula sepakbola di Medan
Marah Halim Cup adalah suatu turna- men sepakbola yang diselenggarakan setiap tahun sejak 1972 di Kota Medan. Turnamen yang masuk agenda FIFA sejak 1974 ini telah mengundang sejumlah tim kesebelasan dari dalam dan luar negeri (Asia, Eropa dan Australia), baik sebagai klub (amatir atau professional) maupun sebagai tim nasional. Terselenggaranya turnamen ini setiap tahun secara konsisten (berturut-turut) selama 18 tahun dapat dianggap sebagai turnamen yang dikelola dengan baik dan juga dapat dianggap sebagai salah satu turnamen non liga yang memiliki masa hidup (life time) terlama di dunia.

Sukses penyelenggaraan Marah Halim Cup, sekurang-kurangnya dapat dilihat dari tiga dimensi: (1) memiliki masa hidup yang lama (2) sangat popular di wilayah Asia-Pasifik dan (3) minat yang tinggi dari kesebelasan yang datang dari wilayah Eropa. Sukses ini tentu saja tidak datang secara random. Ada sejumlah faktor mengapa turnamen Marah Halim Cup terbilang sukses dan mendapat apresiasi di dalam negeri maupun di luar negeri.

Pertama, Marah Halim Harahap (lahir di Padang Sidempoean, 1921) yang pada saat awal penyelenggaraannya telah menjabat sebagai Gubernur Sumatera Utara sejak 1967. Marah Halim sebagai 'gibol' ingin mensinergikan warga Sumatra Utara yang sebagian besar 'gibol' dengan pencanangan Sumatra Utara sebagai destinasi wisata yang baru. Dengan adanya turnamen diharapkan marketing Sumatra Utara semakin menguat. Marah Halim merangkul pengusaha untuk berpartisipasi diantaranya meminta TD. Pardede untuk membangun hotel berkelas di Medan dan Parapat agar tamu di dalam Marah Halim Cup dan wisatawan lainnya nyaman ketika berada di Medan dan Danau Toba. Marah Halim mempertemukan semua kepentingan: pemerintah, swasta dan masyarakat.

Kedua, Penduduk Sumatra Utara sangat menggemari permainan sepakbola rakyat ini sejak jaman Hindia Belanda. Hal ini dapat dilihat bahwa setiap kampong baik di wilayah urban maupun wilayah rural di Sumatra Utara memiliki lapangan sepakbola sendiri. Ketika Abdul Hakim menjabat Gubernur Sumatra Utara (1951-1953), anak Padang Sidempoean ini meminta setiap bupati dan walikota agar membangun stadion yang layak minimal satu buah di dalam satu kabupaten/kota. Abdul Hakim (Harahap) adalah penggagas dan mempelopori pembangunan Stadion Teladan Medan (1851). Ketika Sumatra Utara ditunjuk menjadi tuan rumah PON 1953, Abdul Hakim yang juga kala itu sebagai Ketua Panitia PON jelang pesta olahraga nasional tersebut (hanya sekali itu saja PON diselenggarakan di Sumatra Utara) meminta agar setiap afdeeling perkebunan menyediakan lahan untuk digunakan sebagai lapangan sepakbola. Karenanya, animo masyarakat Sumatra Utara terhadap sepakbola tetap terus terjaga.

Stadion Teladan, Medan (1953)
Ketiga, pemain berbakat yang menjadi pemain kunci dalam sejumlah klub Indonesia dan dalam pembentukan tim nasional banyak yang berasal dari daerah Sumatra Utara baik sejak jaman Hindia Belanda maupun setelah kemerdekaan. PSMS sebagai puncak piramida sepakbola di Sumatera Utara, yang dihuni oleh pemain-pemain lokal berkelas menjadi daya tarik tersendiri bagi tim tamu untuk ikut berpatisipasi di dalam Marah Halim Cup. Salah satu pemain berbakat tipe stylish adalah Kapten PSMS bernama Zulham Effendi. PSMS sebagai tim kesebelasan tuan rumah di satu sisi menjadi simpul dari animo masyarakat untuk mengikuti hiruk pikuk turnamen dan datang langsung menonton ke stadion dan di sisi lain PSMS yang saat itu sangat disegani di Asia Teggara menjadi pemicu semangat tim tamu untuk datang dan ingin menantang tim kebanggaan Sumatra Utara itu di tengah hegemoni tuan rumah.

Keempat, Wilayah Sumatera Utara adalah pemilik perkebunan (real estate) terbanyak dan terluas di Indonesia dimana komunitas bangsa asing khususnya Eropa di Medan terbilang terbanyak di Indonesia setelah kemerdekaan. Sebagai daerah investasi, Sumatra Utara ingin menunjukkan bahwa bangsa asing juga berkesempatan untuk melihat pesta (turnamen) sepakbola. Mengundang tim-tim Eropa untuk berpartisipasi dalam turnamen Marah Halim Cup adalah wujud mempertemukan komunitas sepakbola asing di tempat asal (Negara asal) dengan suasana di tempat tujuan (ekspatriat di Medan).Oleh karenanya, turnamen Marah Halim Cup selalu dipandang sebagai event sepakbola internasional. Di Sumatera Utara sendiri, event Marah Halim Cup ini tidak hanya dibicarakan di kota-kota besar, juga di daerah terpencil, seperti kota kecil Padang Sidempuan.
***
Dalam hal ini, Marah Halim Cup, tidak hanya simbol sepakbola Sumatera Utara, tetapi Marah Halim Cup juga adalah simpul dan menjadi puncak piramida, tempat para pemain hebat yang lahir sepanjang sejarah perjalanan yang panjang sepakbola di Sumatera Utara yakni sejak dikenalnya sepakbola di Sumatra Utara. Ini dengan sendirinya, sejarah sepakbola di Sumatra Utara adalah prominent dari sejarah sepakbola Indonesia. Demikian juga, sejarah Marah Halim Cup juga adalah sejarah penyelenggaraan sepakbola Asia Tenggara di Indonesia. Ini berarti membicarakan sepakbola Sumatra Utara berarti membicarakan turnamen sepakbola Marah Halim Cup, atau sebaliknya membicarakan turnamen sepakbola Marah Halim Cup juga berarti membicarakan turnamen sepakbola Indonesia di Sumatra Utara.

Namun demikian, sukses penyelenggaraan Marah Halim Cup dan kisah manis sepakbola Sumatera Utara, sangat disayangkan informasinya tidak lengkap dan kurang valid hingga ini hari. Untuk itu, serial tulisan ini dimaksudkan untuk mengisi kekosongan tersebut agar generasi yang lebih muda dapat lebih menyadari bahwa Sumatera Utara memiliki heritage tersendiri tentang sepakbola. Agar lebih mudah mengikutinya, serial tulisan ini akan dikelompokkan ke dalam tiga bagian sesuai dengan sejarah perkembangan sepakbola Sumatra Utara. 

Ketika Medan masih sebuah kampung, Padang Sidempuan adalah kota besar
(klik gambar untuk memperbesar peta)
Bagian pertama adalah merupakan serial (sejumlah artikel) yang berisi rangkaian perkembangan sepakbola awal di masa pemerintah Hindia Belanda (Nederlandsch Indie) yang coba melacak sejak kapan sepakbola dikenal di Sumatra Utara, bagaimana peranan 'gibol' bangsa Belanda dan bagaimana penduduk pribumi dapat berpartisipasi dalam pertandingan-pertandingan resmi. Bagian kedua, merupakan serial rangkaian yang berisi dinamika sepakbola Sumatra Utara pasca kemerdekaan utamanya dalam kaitannya dengan peristiwa-peristiwa sepakbola Indonesia di bawah naungan PSSI. Ketiga,  merupakan serial rangkaian perjalanan Marah Halim Cup sendiri dengan tokoh sentral Marah Halim Harahap sebagai penggagas dan keberadaan PSMS serta kiprah para pemainnya di level sepakbola nasional dan internasional.

Mari kita mulai dengan artikel seri pertama.

Sepakbola Indonesia Bermula di Medan

Kondisi awal Esplanade Medan (1886)
Medan belumlah setua Batavia, Soerabaija, Semarang, Bandoeng, Padang, Siboga dan Padang Sidempoean*. Singkat cerita, tidak lama setelah Batavia memiliki Gymnastiek Vereeniging (Perhimpunan Senam), juga menyusul perhimpunan sejenis di kota-kota lainnya. Pada bulan Mei 1888 di Medan dilaporkan bahwa telah didirikan suatu perhimpunan senam (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 30-05-1888). Perhimpunan senam ini merupakan bagian dari salah satu organisasi social. Pada waktu itu ada dua organisasi social di Medan, yakni: De Witte Sociëteit dan De Deli Wedren-club. Perhimpunan Deli Wedren memiliki perhimpunan senam yang diberi nama Gymnastiek-club (lihat Algemeen Handelsblad, 23-03-1890). De Witte Sociëteit, organisasi kalangan atas memiliki klub catur terkenal di Nederlansch Indie (lihat De Sumatra Post, 18-06-1910).

Stasion Medan (1895)
Dalam perkembangannya, klub senam Medan ini tidak hanya menghimpun peminat-peminat senam, tetapi juga tennis, kriket dan sepakbola serta balap sepeda. Pada akhir tahun 1893 (tahun baru 1894) dilaporkan ada pertandingan sepakbola antara klub Deli dengan tim dari Penang (lihat Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad, 02-01-1894). Namun demikian, hanya senam dan balap sepeda (Deli Wielrijders Club) yang sangat pesat perkembangannya (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 05-12-1896). Akan tetapi, pelan tapi pasti sepakbola (Deli Voetbal Club) juga berkembang. Menariknya, sepakbola Deli ini tidak hanya berkembang di komunitas Eropa, tetapi juga di kalangan Tionghoa dan kaum pribumi. De Sumatra post* edisi 24-05-1899 melaporkan bahwa di Medan telah diselenggarakan pertandingan sepakbola dengan tajuk pergaulan bersahabat (verbroedering). Isi beritanya sebagai berikut:

Awal sepakbola Medan: Belanda, Tionghoa dan pribumi (1899)
‘Kemarin sore yang berada di lapangan Esplanade (kini Lapangan Merdeka) di Medan terlihat tontonan yang menggembirakan. Sejumlah orang Eropa berada di pertandingan sepak bola tersebut dengan warga Tionghoa dan kaum pribumi. Hidup persaudaraan!!’

Orang-orang Eropa yang memiliki minat sepakbola yang tergabung dalam klub sepakbola De Deli Wedren-club pada akhirnya meresmikan klub mereka dengan nama Sportclub Sumatra's Oostkust yang disingkat dengan Sportclub pada tanggal 1 Juni 1899. Klub Medan ini sebagai klub sepakbola terbilang telat diproklamirkan meski sesungguhnya sepakbola justru di Medan pertamakali dilaporkan adanya di Nederlansch Indie. Sedangkan klub sepakbola (secara formal) yang pertama didirikan adalah klub Bataviasche Voetbal Club (BVC) di Batavia (lihat infonya di sini).

Formasi 2-3-5: Inggris, Langkat vs Belanda, Medan (1900)
De Sumatra Post edisi 03-01-1900 melaporkan telah berlangsung pertandingan sepakbola antara Sportclub dengan tamunya kesebelasan Langkat. Uniknya tim Langkat ini merupakan tim yang didominasi oleh orang-orang Inggris. Dengan kata lain pertandingan ini bagaikan tim Belanda versus tim Inggris. Pertandingan yang dipimpin wasit J. Langeveld dan hakim garis W.C van Yzeren ini dimulai pada pukul lima sore di Esplanade. Pertandingan yang dilangsungkan dengan tempo 2x35 menit ini pada turun minum dengan kedudukan skor 1-0 untuk Sportclub Sumatra’s Oostkust. Pada akhir pertandingan skor menjadi 2-0. Untuk menyemangati jalannya pertandingan ini terdapat tiga pemandu sorak (three cheer) untuk Langkat dan tiga pemandu sorak untuk Sportclub.

Medan Hotel, since 1880
Pertandingan antara ‘XI-an Inggris’ vs ‘XI-an’ Belanda yang dilaksanakan Kamis 1 Januari 1900 ini adalah pertandingan yang kala itu dianggap sebagai big match. Tim Inggris Langkat datang dengan kereta api pertama dari Bindjei dan disambut di stasion oleh Pemerintah kota (gementee bestuur). Pada pagi hari dilangsungkan pertandingan kriket. Sebelum permainan dilakukan semua peserta melakukan makan bersama dengan cara prasmanan. Pada sore hari dilakukan pertandingan sepakbola dengan tim yang sama dalam pertandingan kriket pagi hari. Usai pertandingan, pada malam hari tamu dari Langkat ini dijamu makan malam di tempat mereka menginap di Medan Hotel.

Witte Societeit, Medan (1890)
Pemain-pemain Sportclub Medan ini ternyata bukanlah pemain sembarangan. Semua pemain memiliki latarbelakang sepakbola. Algemeen Handelsblad, 14-03-1900 mendeskripsikan darimana asal-asul pemain Sportclub tersebut: Stok yang bertindak sebagai kiper adalah mantan pemain Sparta, Reesema (Rapiditas), van Hell (Quick Amsterdam), Muntinga (Sparta), Buck yang bertindak sebagai kapten tim adalah mantan pemain Victoria Rotterdam, Heinsius (Quick Amsterdam), Scout (HFC), Roelants (Rapiditas), Muller (HFC), Wijerman (Quick Amsterdam) dan P. Langeveld (Volharding Amsterdam).
Sebagai gambaran, klub-klub yang berkompetisi di Nederland pada saat itu antara lain sebagai berikut: Afdeeling-I, Eerste klass: Ajax, RAP, HVV, Sparta, HFC, Haarlem, HBS; Tweede klass: Swift Amsterdam, Swift Den Haag, Volharding, Quick, Celeritas, Rapiditas; Darde klass: Unitas, de Germaan, Voorwaarts, Eendracht. Afdeeling-II, Eerste klass: Hercules, Quick, Go ahead, Victoria; PW, Vitesse; Tweede klass-A: PW II, Zwolche AC; Tweede klass-B: Quick II, Victoria II, Vitesse II, Go ahead II; Tweede klass-C: Hilversum, Wilhelmina. Afdeeling-IV, Tweede klass-A: Velocitas, , NOAD, Olympia; Tweede klass-B: Willem II, Voorwaarts..

***
Peta Esplanade, Medan 1895
Pertandingan antara Inggris, Langkat dengan Belanda, Medan ternyata kemudian dapat disebut sebagai awal penataan sepakbola Medan. Namun ada korbannya. Geliat sepakbola yang juga meningkat di kalangan Tionghoa dan kaum pribumi mulai dipinggirkan. Sedangkan untuk komunitas sepakbola Eropa/Belanda mulai dikedepankan. De Sumatra post, 09-01-1900 melaporkan bahwa Sportclub diberi lisensi khusus untuk menggunakan lapangan Esplanade sebagai tempat latihan dan hanya dimaksudkan untuk kebutuhan sepakbola ETI (Eropa/Belanda) di Medan dan sekitarnya. Pemerintah kota memiliki kepentingan untuk membangkitkan sepakbola Medan seiring dengan semakin semaraknya sepakbola di Batavia. Direncanakan dalam waktu dekat akan dilangsungkan pertandingan antara Sportclub dengan tim militer.

Iklan pertandingan Sportclub (Sumatra Post 29-03-1900)
De Sumatra Post edisi 31-01-1900 kembali melaporkan bahwa besok hari akan dilangsungkan pertandingan antara Langkat Inggris versus Belanda Medan. Seperti sebelumnya, dua musuh bebuyutan ini (Belanda vs Inggris) akan bertanding pada fase pertama kriket dan fase kedua untuk sepakbola. Persiapan telah dilakukan. Lapangan Esplanade telah dipermak dengan memangkas rumput lapangan. Di satu sisi lapangan telah dibuat satu bangunan yang dimaksudkan untuk tribun yang dikerjakan oleh Firma Larengeis & Co. Di seputar lapangan Esplanade telah dihiasi dengan berbagai umbul-umbul. Juga disediakan tempat khusus untuk ruang ganti dan ruang makan prasmanan. Untuk ‘markas’ tuan rumah Sportclub menyediakan sendiri dengan meminjam tenda militer dan sebagian tenda itu digunakan untuk menutupi tribun agar terhindar dari panas matahari terutama untuk anak-anak dan perempuan. Pukul delapan pagi tim Langkat akan datang dengan kereta dan setelah pertandingan kriket tamu dibawa ke Medan Hotel dan sorenya dilakukan pertandingan sepakbola. Catatan: Beberapa hari sebelumnya sudah dimuat pemerintah iklan pertandingan tersebut di koran Sumatra Post.

***
Esplanade Medan (1931, foto udara/Tropenmuseum)
Kegiatan sepakbola Medan adalah yang pertama diketahui (dilaporkan) di Indonesia (Nederlandsch Indie). Namun klub sepakbola Medan baru menyusul kemudian didirikan setelah ada beberapa klub yang didirikan di Batavia dan Soerabaija. Klub Medan, Sportclub dengan sengaja dibangkitkan oleh pemerintah kota untuk tujuan ganda: membangun sepakbola Medan dan sekaligus menyingkirkan sepakbola kaum pribumi khususnya dari tengah kota (lapangan Esplanade/kini lapangan Merdeka). Klub Sportclub muncul sendirian ke permukaan. Bagaimana riwayat sepakbola Medan selanjutnya, tunggu seri artikel berikutnya.

Dalam artikel-artikel berikutnya dapat dibaca Sportclub menjadi klub terbaik di Medan. Sementara klub-klub Belanda semakin banyak. Sumatra’s Oostkust Sportclub alias Sportclub berganti nama menjadi Medansche Sportclub. Tim kesebelasan Langkat menjadi Langkat Sportclub. Klub lainnya yang menonjol adalah Deli Sportclub. Klub-klub Belanda ini kemudian bergabung dan membentuk asosiasi yang diberi nama Oost Sumatra Voetbal Bond (OSVB). Asosiasi klub Belanda ini melakukan kompetisi sendiri. 

Esplanadee/Lapangan Merdeka Medan masa kini (googlemaps)
Pada tahun 1923 asosiasi sepakbola pribumi dibentuk yang diberi nama Deli Voetbal Bond. De Sumatra Post terbitan 13-02-1923 menyebutkan bahwa pendiri Deli Voetbal Bond adalah Dr. Radjamin Nasoetion (anak Padang Sidempoean alumni STOVIA, kawan akrab Dr. Soetomo). Dalam perkembangan lebih lanjut, Radjamin Nasoetion pindah ke Batavia dan lalu pindah ke Soerabaija. Radjamin Nasoetion menjadi anggota dewan kota (Gementeeraad) Soerabaija dan melanjutkan hobinya di bidang sepakbola sebagai pembina sepakbola pribumi di Soerabaija. Radjamin Nasoetion lalu kemudian diangkat menjadi walikota Soerabaija. Radjamin Nasoetion adalah walikota pribumi pertama Kota Soerabaija (walikota tiga era: Belanda, Jepang dan Republik).




Sejarah Marah Halim Cup (1): Sepakbola Indonesia Bermula di Medan

Sejarah Marah Halim Cup (2): Langkat Sportclub, Klub Sepakbola Kedua di Sumatera Utara

Sejarah Marah Halim Cup (3): Suporter Sepakbola Medan Dukung Klub ke Bindjei dan “Menteri Olahraga” Belanda Berkunjung ke Deli

Sejarah Marah Halim Cup (4): Majalah Pertama Olahraga Indonesia, Edisi Perdana Melaporkan Sepakbola di Medan

Sejarah Marah Halim Cup (5): Kompetisi Sepakbola Medan Kali Pertama Bergulir, Klub Tapanoeli Didirikan

Sejarah Marah Halim Cup (6): Klub Baru, Kompetisi Baru dan Deli Voetbal Bond Dibentuk

Sejarah Marah Halim Cup (7): Kompetisi Deli Voetbal Bond 1908 Menjadi Tiga Divisi

Sejarah Marah Halim Cup (8): Dr. Alimoesa, Pemain Sepakbola di Pematang Siantar, Anggota Volksraads Pertama dari Sumatra Utara

Sejarah Marah Halim Cup (9): Klub Sepakbola Bermunculan di Luar Deli, Kompetisi Bergulir Lagi

Sejarah Marah Halim Cup (10): Sepakbola di Perkebunan Berkembang Pesat, ‘Bond’ Baru Bertambah, Kejuaraan Antarbond

Sejarah Marah Halim Cup (11): Oost Sumatra Voetbal Bond (OSVB) Didirikan, Tapanoeli Voetbal Club Berkompetisi Kembali

Sejarah Marah Halim Cup (12): Mathewson-Beker, Cikal Bakal Marah Halim Cup? Suatu Wawancara Imajiner dengan Marah Halim Harahap

Sejarah Marah Halim Cup (13): Kajamoedin gelar Radja Goenoeng, Pribumi Pertama Anggota Gementeeraad Medan; Sepakbola Tumbuh, Pendidikan Berkembang

Sejarah Marah Halim Cup (14): GB Josua, Tokoh Pendidikan Medan dan Presiden Sahata Voetbal Club Sebagai Ketua Perayaan 17 Agustus 1945 dan Ketua Panitia PON III

Sejarah Marah Halim Cup (15): Parada Harahap, Pers dan Sepakbola, Pertja Barat vs Pertja Timor, Pewarta Deli vs Sinar Deli, Benih Mardeka vs Sinar Merdeka 

Peta militer Belanda, 1837: Padang Sidempoean (belum ada)
*Belanda pertamakali membentuk pemerintahan di Noord Sumatra (Tapanoeli, Oost Sumatra en Atjeh) di Afdeeling Mandheling en Ankola pada tahun 1841 yang ketika itu masih bagian dari Sumatra's Weskust. Padang Sidempoean adalah kota (town) yang pertamakali dirancang oleh pemerintah Belanda (1843-1845) dalam rangka menyiapkan kedatangan Gubernur Sumatra's Westkust (Jenderal Michiels) dan Utusan Raja langsung dari Negeri Belanda (Jenderal von Gagen) tahun 1846 (lihat Algemeen Handelsblad, 09-12-1847).
*Sumatra Courant dan Sumatra Post adalah koran yang sama. Sumatra Courant berbasis di Padang dan setelah sekian puluh tahun beroperasi di Sumatra's Westkust, koran ini pindah pada awal tahun 1899 ke Medan dengan nama baru De Sumatra Post sehubungan dengan semakin pesatnya perkembangan Kota Medan dan sekitarnya (Sumatra's Oostkust). Investor Belanda juga menerbitkan koran berbahasa Melayu. Di Padang, koran Pertja Barat dengan editornya yang terkenal (Mangara)Dja Endar Moeda (naik jadi editor pribumi pertama, 1897) dan di Medan, Pertja Timoer dengan editornya yang terkenal Mangaradja Salamboewe (diangkat jadi editor pribumi pertama, 1908) dan Soetan Casajangan, editor Bintang Hindia di Leiden (1910). Sumatra Courant hampir setiap edisi mengutip Pertja Barat. Demikian juga, Sumatra Post hampir setiap edisi mengutip Pertja Timoer.
Padang Sidempoean, 1908
Dja Endar Moeda (Harahap), Soetan Casajangan, Mangaradja Salamboewe, Mangaradja Gading (ayah Abdul Hakim, gubernur Sumatra Utara yang ketiga) dan M. Taif (ayah S.M. Nasoetion, gubernur Sumatra Utara yang pertama) adalah anak-anak Mandheling en Ankola, alumni Kweekschool Padang Sidempoean yang mana salah satu guru mereka yang sangat tekenal bernama Charles Adrian van Ophuijsen. Kweekschool Padang Sidempoean (1879-1893) adalah sekolah guru terbaik di Nederlandsch Indie. Sedangkan van Ophuijsen menjadi guru Kweekschool Padang Sidempoean selama delapan tahun yang mana lima tahun terakhir diangkat menjadi direktur sekolah. Soetan Casajangan (Harahap) adalah pribumi kedua yang kuliah di Negeri Belanda (1905) dan pendiri Perhimpoenan Hindia Belanda (Indische Vereeniging) pada tahun 1908 (cikal bakal PPI=Perhimpunan Pelajar Indonesia). Mangaradja Salamboewe (Nasoetion) adalah anak dokter Asta (Si Asta dan Si Angan adalah dua anak from Mandheling en Ankola yang menjadi siswa pertama luar Jawa yang diterima di Docter Djawa School, Batavia tahun 1854). Docter Djawa School sendiri didirikan tahun 1851 (cikal bakal STOVIA).
Padang Sidempoean, 1875
Si Asta dan Si Angan adalah kakak kelas Si Sati (Nasoetion) alias Willem Iskander yang menempuh pendidikan guru di Haarlem, Nederland  tahun 1857. Setelah selesai studi, Willem Iskander pulang kampung dan mendirikan sekolah guru (kweekschool) di Tanobato tahun 1862. Willem Iskander adalah guru dari kaum pribumi satu-satunya berlisensi Eropa di Nederlandsch Indie. Dalam perkembangan lebih lanjut, Kweekschool Tanobato dilikuidasi sehubungan dengan dibukanya sekolah guru yang lebih besar, Kweekschool  Padang Sidempoean, Akreditasi-A, 1879. Willem Iskander adalah Pelopor Pendidikan Republik Indonesia.
Padang Sidempuan masa kini
C.A. van Ophuijsen yang awalnya seorang dokter yang ditempatkan di Mandheling en Ankola beralih profesi menjadi guru (1879) hanya karena tertarik untuk mempelajari sastra dan kehidupan masyarakat Batak. Anak seorang mantan Controleur di Natal ini pada akhir karirnya diangkat menjadi guru besar di Universiteit Leiden di bidang sastra dan tatabahasa Melayu yang kemudian van Ophuijsen dikenal sebagai penyusun tatabahasa Melayu (cikal bakal tatabahasa Indonesia) dan penyusun ejaan Ophuijsen (cikal bakal ejaan Soewandi/EYD). Mr. van Ophuijsen belajar sastra dan tatabahasa dari Mr. van der Tuuk yang sebelumnya telah menyusun tatabahasa Batak (1857). Kedua tokoh ini adalah akademisi yang fasih berbahasa Batak (dengan beberapa dialek).
***

Peta Medan, 1873
*Residentie Riouw en onderhoorigheden tahun 1870 terdiri dari beberapa afdeeling: Siak Sri Indrapoera, Lingga, Karimon, Batam, Noord Bintang, Zuid Bintang dan Tandjong Pinang. Afdeeling Siak Sri Indrapoera terdiri dari onderafdeeling, yakni: Siak, Deli, Batubara, Asahan, Bengkalis dan Laboean Batoe. Asisten Residen ditempatkan di Siak, sedangkan di Deli, Batubara, Asahan, Bengkalis dan Laboean Batoe masing-masing ditempatkan seorang controleur.

Jalan poros Laboehandeli, 1867
Pada waktu yang sama (1870) di Sumatra hanya ada satu yang berstatus province yang dikepalai oleh seorang Gubernur, yakni: Province Sumatra’s Westkust--terdiri dari tiga Raesidentie: Padangsche Benedenlanden, Padangsche Bovenlanden dan Tapanoeli. Gubernur di  Padangsche Benedenlanden dan masing-masing Residen di Padangsche Bovenlanden dan Tapanoeli. Residentie Tapanoeli terdiri dari tiga afdeeling: Natal, Siboga dan Mandheling en Ankola. Residen di Siboga, Asisten Residen di Mandheling en Ankola dan Controleur di Natal. Afdeeling Mandheling en Ankola terdiri dari tiga onderafdeeling: Ankola en Sipirok, Groot Mandheling en Natal, dan Klein Mandheling, Oeloe en Pakanten. Asisten Residen di Ankola en Sipirok dan masing-masing controleur di Groot Mandheling en Natal dan Klein Mandheling, Oeloe en Pakanten. [Status pemerintahan di Benkoelen adalah Asistent Resident; Lampongsche setingkat Resident; Palembang setingkat Resident; Banka sebagai Resident; Billiton setingkat Assitent Resident. Jambi, dan Atjeh belum terbentuk dan Tapanoeli sendiri baru Afdeeling Mandheling en Ankola dan Afdeeling Siboga].
Peta Laboean Deli, 1873
Dalam perkembangannya, seorang Asisten Residen ditempatkan di Deli. Pada tahun 1879, kedudukan Asisten Residen yang awalnya di Laboehandeli dipindahkan ke Medan. Selanjutnya pada tahun 1887, Residen yang sebelumnya berkedudukan di Bengkalis diturunkan menjadi Asisten Residen, sementara Asisten Residen di Medan ditingkatkan menjadi Residen.
Pada tahun 1905 Residentie Tapanoeli dipisahkan dari Province Sumatra’s Westkust. Residen bertanggungjawab langsung kepada Gubernur Jenderal di Batavia.
Peta Desain Kota Medan, 1906
Pada tahun 1915 Residentie Sumatra’s Oostkust ditingkatkan menjadi province yang dikepalai seorang Gubernur berkedudukan di Medan. Residentie Tapanoeli dan Residentie Atjeh berdiri sendiri tetapi sejak 'pemilu' Volksraads (1924), dua residentie ini digabung menjadi satu 'dapil' yang diberi nama Noord Sumatra (province Oost Sumatra sebagai satu dapil). Setelah kemerdekaan/pasca pengakuan kedaulata RI, Tapanoeli, Oost Sumatra dan Atjeh disatukan sebagai Provinsi Sumatra Utara. Untuk wilayah kota sendiri, pada tahun 1918 Kota Medan dibentuk menjadi Gemeente (kota) dengan pimpinan tertinggi Walikota. Kota-kota lain yang menyusul menjadi gementee di Sumatra's Ooskust dan Tapanoeli adalah Sibolga, Pematang Siantar, Tandjoengbaleh dan kemudian Tebingtinggi. Setiap kota memiliki dewan kota (raads).
Walikota dan anggota dewan kota adalah bangsa Belanda. Dalam perkembangannya wakil pribumi diadopsi karena banyaknya protes/tuntutan kaum pribumi agar di dewan, pribumi dapat terwakili. Anggota-anggota dewan kota dari pribumi pada fase-fase awal sejak 1920-an yang jumlah pribumi satu atau dua orang pada setiap kota: di Medan adalah Abdul Hakim Harahap, SE (kemudian menjadi Gubernur Sumatra Utara); di Pematang Siantar adalah Dr. Muhamad Hamzah Harahap (alumni Docter Djawa School), Madong Loebis dan Soetan Martoeawa Radja Siregar (alumni Kweekschool Padang Sidempoean); di Tandjoeng Balei adalah Mr. Mangaradja Soangkoepon Siregar (kemudian menjadi Volksraads di Batavia); di Sibolga adalah Dr. Abdul Rasjid Nasoetion (kemudian menjadi Volksraads). Anggota Volksraads lain terkenal dari Noord Sumatra adalah Dr. Alimoesa Harahap, anggota Volksraads pertama wakil Noord Sumatra.

Alimoesa (bersama rekannya Dr. Muhamad Hamzah Harahap, Hasan Harahap gelar Soetan Paroehoem Pane dan Muhamad Yunus Siregar gelar Soetan Hasoendoetan adalah para pendiri Bataksche Bank di Pematang Siantar tahun 1920 (bank pribumi pertama). Soetan Paroehoem Pane adalah notaris satu-satunya pribumi di Sumatra (satu diantara enam notaris di Nederlansch Indie).Soetan Paraoehoem Pane adalah pembuat akte pendirian Fakultas Kedokteran yang menjadi cikal bakal USU. Soetan Hasoendoetan adalah mantan guru dan pengarang novel. Novelnya yang terkenal Sitti Djaoerah yang kemudian dimuat menjadi cerbung (cerita bersambung) di koran Poestaha yang terbit di Padang Sidempoean antara 1929-1931.yang kemudian diterbitkan penerbit Tpy Drukkerij Philemon di Pematang Siantar. Oleh karena kontennya mengandung pesan yang sangat berisi kemudian seorang akademisi Amerika Serikat Dr. Susan Rodger diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul: Sitti Djaoerah: A Novel of Colonial Indonesia. [M.J. Soetan Hasoendoetan, Sitti Djaoerah, A Novel of Colonial Indonesia, University of Wisconsin-Madison Center for Southeast Asian Studies, 1997]. Pengarang roman lokal terkenal lainnya di Noord Sumatra adalah Soetan Pangoerabaan Pane (ayah dari Armijn Pane dan Sonoesi Pane) dengan novelnya berjudul Tolbok Haleon dan Soetan Martoeawa Radja dengan novelnya berjudul Doea Sedjoli.

 .
Sumber foto: KITLV; foto Marah Halim: Sandra Pohan

(bersambung)

*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber tempo doeloe.(koran berbahasa Belanda)

Tidak ada komentar: