Banyak kejadian-kejadian penting dalam dua tahun terakhir di blantikan sepakbola Noord Sumatra. Sportclub melawat ke Penang dan telah melakukan Rapat Umum Luar Biasa yang kedua. Ada klub baru Belanda L.Z. Club dan didirikannya klub pribumi pertama Toengkoe, dan juga didirikannya klub baru bernama Tiong Hoa. Kabar berskala internasional adalah kunjungan destinasi tunggal oleh ‘Menteri Olahraga Belanda’ Dudoc de Wit ke Deli*.
Majalah Olahraga
Pertama
Sepakbola
yang awalya bermula di Deli (Belanda) dan Penang (Inggris) telah berkembang
pesat, tidak hanya di Medan, tetapi juga di Batavia dan Soerabaija, Bahkan
popularitas sepakbola telah melampaui popularitas pacuan kuda sebelumnya di
Batavia dan Soerabaija. Perkembangan sepakbola di Semarang dan Bandoeng juga telah
tumbuh dengan baik. Kompetisi sepakbola telah bergulir di Soerabaija (1902)
dan Batavia (1904) dengan sendirinya mendongkrak frekuensi pertandingan
sepakbola di Nederlansch Indie.
Tribun Penonton Sepakbola di Esplanade, Medan (1925) |
Lantas
pada tahun 1905 adalah Algemeen Handelsblad yang mempelopori perlu didirikannya
majalah khusus olahraga. Nama majalah tersebut adalah Indische Sport: Weekblad voor
Sport in Indie. Pendirian
majalah ini dimaksudkan untuk memperkuat segmen olahraga dalam pemberitaan
sehubungan dengan semakin intensnya pemberitaan olahraga khususnya sepakbola.
Majalah ini tidak hanya menyatukan pemberitaan olahraga ‘nasional’ tetapi juga
untuk menyediakan ruang yang lebih luas terhadap berita-berita
olahraga/sepakbola internasional khususnya dari Negeri Belanda.
De Sumatra post,
13-03-1905 melaporkan majalah olahraga pertama: ‘Het Orgaan, Algemeen Sportblad
voor Ned.-Indiƫ, majalah yang terbit dua kali sebulan yang bertindak editor R.
Brons Middel. Sebuah "kata pengantar" dalam edisi perdana menyebutkan
tujuan dari jurnal berita ini adalah untuk menyediakan cara yang umum bagi
praktisi olahraga untuk tetap berhubungan dengan satu sama lain. Di Jawa,
olahraga kuda hingga saat ini adalah olahraga utama, majalah khusus yang ada
sebelumnya tentang sastra kini bertambah
lagi yang bersegmen olahraga, sehingga setiap orang dapat menemukan kejadian-keajdian
dalam olahraga. Majalah ini juga akan mencakup selain olahraga berkuda, balap
sepeda dan automobil, shooting game, olahraga air, senam dan atletik, tennis,
permainan sepakbola dan kriket serta kompetisi lainnya di berbagai bidang.
Para pembaca juga akan dapat menginformasikan hal apapun dari olahrga asing. Dalam
edisi pertama, hal yang membuat menguntungkan untuk warga Sumatra adalah adanya
laporan pertandingan sepakbola yang dilangsungkan pada tanggal 16 Januari di
Medan antara Sportclub Medan vs Langkat Sportclub’.
Klub Pribumi Mengalahkan Klub Belanda, Klub Tiong Hoa Didirikan
Sejumlah kejadian-kejadian tentang sepakbola Sumatra Utara kembali menghiasa koran-koran, khususnya surat kabar De Sumatra Post yang terbit di Medan.
De Sumatra post,
15-05-1905: ‘Besok sore pukul 5 sore akan diadakan pertandingan sepakbola di
Esplanade antara Medan Sportclub dan Langkat Sportclub. Nama-nama pemain kedua
tim belum diketahui’
De Sumatra post,
02-06-1905: ‘Minggu tanggal 4 ini sejak siang hingga 4.30 akan diadakan pertandingan
sepakbola di Medan mungkin antara klub Tamansafakat Bindjei melawan klub Letterzetters dari
Medan.
De Sumatra post,
26-06-1905: ‘Sebuah pertandingan sepakbola tanpa pemberitahuan sebelumnya antara dua tim Medan
dan Toengkoes kemarin sore di Esplanade. Pertandingan ini tampak seru. Tim
Medan mengawali gol. Setelah turun minum Toengkoe memulai serangan pertempuran
dan tercipta gol, yang lalu diikuti oleh tepuk tangan gemuruh dari penduduk
asli. Medan kemudian mengambil alih segera, dan tendangan sudut Antony disambut temannya
lalu tercipta gol. Kedudukan skor tetap sampai berakhir yang mana Medan menang
dengan 2-1. Pertandingan ini dipimpin wasit A.B.R. Verloet. Susunan
pemain Medan: A. S. van Dorp, keeper; Munters Jr. en I. Cornfield, back-; G. L.
Koek, J. P. Bjeke, en A. Ljlsz, half back, Bakkes, Autony, v. Druten, Munters
Jr. en A. Flinznar, forward'.
De Sumatra post, 07-08-1905: ‘seorang pembaca menulis. Di Bindjai kemarin sore berlangsung pertandingan antara Tamansafakat melawan Letterzetters Medan. Pertandingan itu dihadiri banyak penonton. Kedua tim lengkap. Pertandingan dimulai pukul lima sore yang dipimpin wasit Jongencel. Pertandingan kedua tim berjalan sengit dan saling menyerang. Dua gol tercipta hingga turun minum dalam kadaan imbang. Pada babak kedua Tamansafakat muncul dengan sangat beringas dan pada akhirnya berhasil menciptakan gol. Raungan besar meledak dari penonton, semua topi dan pernik lainnya diterbangkan ke udara sambil berjingkrak, melompat dan berteriak histeris. Pertandingan berakhir dengan skor 2-1 untuk kemenangan Tamansafakat’.
De Sumatra post, 30-08-1905: ‘Besok, tanggal 31 Agustus, di Esplanade akan memainkan pertandingan antara tim Sportclub Medan dan tim Medan lainnya, klub Toengkoe. Selanjutnya, pada hari Minggu, 3 September, sore pada pukul 4.30 juga memainkan pertandingan di Esplanade antara tim dari klub Taman Sefakat dari Bindjey melawan Letterzetters dari Medan’.
De Sumatra post,
11-09-1905: ‘Pertandingan sepak bola kemarin sore di Esplanade antara Letterzetters
Club dan Toengkoe-club di Bindjey. Klub Medan ini lebih kuat, hasilnya adalah 3-0
untuk Medan. Tim Medan ini ada pemain yang mantan Medan Sportclub. Antusiasme
para penonton warga Inlandsch tampak luar biasa’.
De Sumatra post, 07-08-1905: ‘seorang pembaca menulis. Di Bindjai kemarin sore berlangsung pertandingan antara Tamansafakat melawan Letterzetters Medan. Pertandingan itu dihadiri banyak penonton. Kedua tim lengkap. Pertandingan dimulai pukul lima sore yang dipimpin wasit Jongencel. Pertandingan kedua tim berjalan sengit dan saling menyerang. Dua gol tercipta hingga turun minum dalam kadaan imbang. Pada babak kedua Tamansafakat muncul dengan sangat beringas dan pada akhirnya berhasil menciptakan gol. Raungan besar meledak dari penonton, semua topi dan pernik lainnya diterbangkan ke udara sambil berjingkrak, melompat dan berteriak histeris. Pertandingan berakhir dengan skor 2-1 untuk kemenangan Tamansafakat’.
De Sumatra post, 30-08-1905: ‘Besok, tanggal 31 Agustus, di Esplanade akan memainkan pertandingan antara tim Sportclub Medan dan tim Medan lainnya, klub Toengkoe. Selanjutnya, pada hari Minggu, 3 September, sore pada pukul 4.30 juga memainkan pertandingan di Esplanade antara tim dari klub Taman Sefakat dari Bindjey melawan Letterzetters dari Medan’.
De Sumatra post,
01-09-1905: ‘Begitu banyak penonton di sisi-sisi lapangan. Banyak kepentingan
yang muncul, dalam pertandingan sepakbola antara Medan Sportclub dan Medan
Toengkoe Club. Penonton yang berdiri sepanjang sisi lapangan mengikuti dengan
perhatian. Menariknya terutama banyak perempuan berada disana. Para pemain yang
bermain tampak direbus oleh matahari Hindia yang indah kering. Para pemain
bersemangat, banyak yang jungkir balik. Dalam game ini harapan tim Toengkoe
telah menjadi kenyataan; hasilnya menang 2-1. Menurut penilaian penonton
pertandingan itu idealnya seharusnya kemenangan Toengkoes 3-2. Koordinasi
Toengkoe tampak jauh lebih baik daripada lawan. Hingga babak pertama berakhir,
Toengkoe sudah unggul dua gol. Namun
pada babak kedua Toengkoe mulai memudar, dan bahkan mereka membuat kontra-gol
akibat kesalahan pemain belakang mereka yang mengakibatkan gol bunuh diri.
Seperti yang kami katakan, Toengkoe telah mendapatkan dan telah berhasil
meningkatkan kinerjanya, namun masih perlu peningkatan koordinasi ke depan agar
sesuai harapan penontonnya’.
De Sumatra post,
02-09-1905: ‘Wartawan kami menulis tentang perayaan Ratu Wilhelmina di Bindjei.
Permainan popular, sepakbola dilangsungkan. Semua menyambutnya dengan semangat.
Karena pertandingan ini ada hadiahnya. Pertandingan pertama dimulai pukul dua
itu sempat terganggu karena ada kebakaran disamping pabrik es. Semua pihak
membantu, termasuk pemain dan penonton. Pada pukul 3 permainan antartim rakyat
ini dilanjutkan dan berlangsung sampai 4:30. Selanjutnya pada pertandingan
sepakbola kedua antara tim Inggris dan tim Belanda dimulai pukul 5 memiliki
hasil dengan rasio 1:1. Setelah pertandingan kami pergi bersama-sama ke
Societeit, dimana cukup tempat sampai tiba saatnya untuk makan malam. Sekitar
140 orang hadir di dalam yang diiringin Manila-band yang membawa kami
kegembiraan dengan melodi ceria, yang dinyanyikan dengan penuh semangat, yang
semuanya berjumlah ± 15 lagu. Dr. De
Jong berpidato untuk menghormati HM Ratu dan dengan harapan untuk kegembiraan.
Sebagai moderator Mr Van den Bosch yang bertugas sebagai pimpinan bank sentral
dan menyatakan bahwa ia selama bertahun-tahun di Langkat belum pernah Pesta
Ratu dilaksanakan. Kali ini pembicara mengajak untuk dilakukan ke depan.
Intinya: sosialisasi. Medan sejauh ini lebih baik dari Langkat. Di Medan
perayaan semacam ini garis panjang Esplanade. Semua, ladies and gentlemen,
melompat dan hosting yang satu dapat membayangkan diri pada adil Ratu
Hollandscbe. Selanjutnya acara masuk ke hiburan, banyak yang menari, sementara
yang lain roolette. Langkatters di Bindjey telah merayakan dengan cara yang
megah’.
De Sumatra post,
23-10-1905: ‘Kemarin, Minggu, pertandingan sepakbola berlangsung antara klub
China yang baru didirikan yang diberi nama Voetbal Club ‘Tiong Hoa’ dari Medan
dan tim kedua pribumi Voetbal Club ‘Taman Sefakat’ dari Bindjey. Dalam hal ini
tim Tionghoa diperkuat dengan empat pemain dari tim Taman Sefakat. Pertandingan
dimulai pukul lima dibawah wasit Mr Avis. Hingga menjadi waktu istirahat tetap
tanpa gol. Setelah sekitar 10 menit babak kedua mulai, Biudjeyers bertindak
ofensif. Sebuah tembakan baik ditujukan dari pemain tengah TS berhasil
diamankan oleh kiper Tiong Hoa. Lalu
selanjutnya Bindjei kerja sama tim yang sangat baik ditampilkan dibanding
sebelumnya akhirnya mampu untuk unggul satu gol. Para penonton bersorak keras.
Hal ini terjadi karena gol tercipta karena salah penanganan oleh kiper
Medanner menangkap bola pada lutut dan karena itu melompat ke dalam gawang
sendiri. Medan berusaha bangkit, tetapi Bindjei dapat bertahan bersama dengan
baik, sehingga yang mana Bindjey menang 1-0.
Seharusnya pertandingan memiliki rasio yang lebih baik. Setelah poewassa
pertandingan kembali akan dimainkan di Medan. Analisis: kiper Medan bermain
baik yang indah. Pemain gelandang cukup, tapi masih perlu ditingkatkan.
Forwards tidak cukup terlatih, tetapi melalui latihan yang tepat dapat diperoleh
dari banyak pemain bagus. Untuk Bindjey: kiper terbaik. Gelandang kondisi yang
baik. Forwards baik, tetapi dapat melakukan jauh lebih baik, dan bermain
koordinasi lebih bersama-sama’.
Tampak
bahwa sepakbola Medan dan sekitarnya semakin berwarna-warni. Dua klub seteru
yang berwarna putih sejak awal adanya pertandingan sepakbola di Deli antara tim
Inggris (Langkat) vs tim Belanda (Medan)
sudah mulai mendapat lawan-lawan yang bervariasi. Klub putih lainnya adalah
Letterzetters Medan yang awalnya kerap bermain dengan klub coklat Toengkoe dan
Taman Sefakat mulai diterima public. Sebab selama ini LZ.Club selalu di bawah baying-bayang
Sportclub. Lalu kemudian muncul lagi klub baru yang berwarna kuning yang diberi
nama Tiong Hoa.
Sepakbola
Deli saat itu sangatlah unik. Sangat beragam. Ini berbeda dengan di Batavia,
Soerabaija, Semarang dan Bandoeng, dimana di tempat-tempat itu interaksi klub
pribumi sulit terlaksana dengan klub lainnya. Di Medan dan Langkat (Deli) hal
itu justru dapat dengan damai terlaksana: ada Belanda, ada Inggris, ada Melayu
dan ada Tionghoa. Singkat kata, berbeda, unik dan menarik. Memang, ini Deli,
Bung!
Bagaimana
kelanjutan kisah sepakbola Deli (Medan dan sekitarnya) ikuti terus pada artikel
berikutnya. Kompetisi pertama akan segera dimulai. Klub-klub apa yang
berkompetisi? Simak terus, Bung!
***
*Dudoc de Wit datang dari Belanda ke
Medan (1904), jauh sebelumnya ada seorang gadis wisatawan Austria yang datang
ke Tapanoeli (1852). Pada waktu itu, wilayah Sumatra Utara yang sekarang
pemerintahan kolonial Belanda secara administrasi hanya terdapat di Afdeeling Natal,
Afdeeling Mandheling en Ankola, Afdeeling Baros dan Afdeeling Singkel. Semua
wilayah itu disatukan dalam satu keresidenan, yakni Residentie Tapanoeli.
Residen berkedudukan di Siboga dan seorang asisten residen ditempatkan di
Panjaboengan (afd. Mandheling en Ankola). Di Padang Sidempoean sendiri baru
ditempatkan pemerintah setingkat controleur.
Ida Pfeiffer |
Di kampong kecil
Saroematinggi, Ida Pfeiffer mulai ciut. Dan oleh karena Ida Pfeiffer sudah
memiliki rencana baru lagi ingin meneruskan perjalanan ke Toba, maka Ida
Pfeiffer memerlukan seorang pemandu (kata lain pengawal). Seorang Belanda
bernama Hamehs yang dengan istrinya yang sudah bermukin di kampong itu, coba
mencari dan menemukan seorang pemandu ulung yang bernama Dja Pangkat. Konon,
Dja Pangkat adalah mantan pemandu Franz Wilhelm Junghuhn. Dja Pangkat dipilih
karena sudah mengenal baik sejumlah wilayah dan juga memiliki beberapa teman
kepala kampong di Silindoeng. Ida Pfeiffer merasa lebih aman dan semakin bersemangat.
Kisah perjalanan
Ida Pfeiffer yang dilakukannya pada bulan Agustus 1852 yang diceritakannya
sendiri dapat dibaca pada Algemeen Handelsblad, 09-05-1853 dan dilengkapi
cerita yang ditulis Hamehs yang dimuat dalam Sumatra-courant: nieuws-en advertentieblad,
21-04-1881. Ringkasannya, begini (tulisan Ida Pfeiffer):
‘Segera setelah
tiba di Padang, Aku menghadap Gubernur Sumatra’s Westkust, lalu segera
berangkat dengan menunggang kuda dan pemberhentian pertama Fort de Kock (kini
Bukitttinggi). Aku dengan kuda, berjalan perlahan, lalu berlari kencang, keluar
masuk hutan, di semak ditemukan penuh jejak untuk harimau, gajah dan badak, aku
tidak takut pada siang hari bolong; Saya sering melaju selama berjam-jam
melalui hutan semak dan alang alang. Untuk Padang Sidempoean di Ankola, aku
menghadap Mr. Hammers, dimana aku berdiam dua hari. Dari Tuan Hammers (controleur Ankola) saya
dapat beberapa panduan dalam perbedaan bahasa Bataksche. Setelah semua.
diselesaikan, kataku yang terakhir kepada Europeer perpisahan hangat dan saya
diantar pergi bersama sejumlah Batakchen untuk memandu jalan sekitar 20 tiang’.
‘Selama malam, saya dengan yang lain istrirahat di hutan dengan memasak beras semi kering yang direbus dengan sedikit tambahan garam, lalu saya melihat mereka mempersiapkan beras dalam cara yang sama sekali baru bagi saya. Mereka membungkusnya dengan 'daun besar (daun pisang), dan memasukkan beras ke dalam potongan bambu, kemudian menuangkan sejumlah kecil air, lalu meletakkan tongkat bamboo itu pada api pembakaran, mereka membiarkan berbaring begitu lama sampai bamboo kelihatan mulai terbakar, cukup lama berlangsung sejak bamboo segar dan isinya dipanggang’.
‘Menurut
pernyataan dari pemandu saya, saya dilarang 15 sampai 20 pos ke arah danau.
Tapi saya tidak peduli, saya berjalan sendiri, tetapi pemandu saya tetap setia
mendampingi saya. Saya sekarang sudah sekitar selusin perjalanan di dunia dan
hingga sampai ke negara Batak, sejauh ini berhasil seorang Eropa. Yang jelas
memang satu hal saya tidak ada salahnya, saya hanya harus berterimakasih itikad
baik saya dan keluarga saya. Nyatanya de Batakers mencintaiku, lebih dari
duniawi. Bahwa saya yakin saya tidak akan berkelana tanpa bantuan mereka atau
perlindungan mereka untuk usaha saya. Perjalanan saya di Sumatera berada jauh
hingga 721 tiang (paal)’.
***
Diskusi tentang keberanian Id Pfeiffer sejak Maret 1881 di koran-koran membangunkan kesadaran Hamehs yang kini sudah bermukim di Padang. Hamehs memahami diskusi-diskusi itu ada yang tidak lengkap. Lalu Hamehs memberi kontribusi yang tulisannya dikirimkan ke surat kabar Sumatra Courant. Ringkasan tulisan Hameh sebagai berikut: ‘Awal
perjalanan ke Tapanoeli ini pertama kali dimulai tahun 1852 di Panjaboengan. Di
Panjaboengan ada Asisten Residen (Godon) dan Controleur di Ankola yang
berkedudukan di Padang Sidempoean. Saya di Koeringgi (antara Soeroematinggi dan
Sigelanggan) dapat kabar dari Mr. Godon tentang Ida Pfeiffer. Ketika jam 10
pagi saya ingin menaiki kuda saya, tiba-tiba di kejauhan ada seseorang datang
dengan pakaian mencolok mendekat. ‘Saya adalah Ida Pfeiffer’. Dia memakai
penutup kepala, mengenakan rok coklat yang penuh dengan lumpur dan stoking
serta sepatu tentara di kakinya. Lalu kemudian dia mandi ke sungai yang lagi
meluap. Dia bertubuh sangat kecil, rambut pirang, dan sangat ramping. Dia saya
bawa ke tempat saya dimana istri saya menjamunya makan siang. Dia mengatakan
membuat rencana perjalanan ke Toba. Malam kami menghibur untuk bermain bridge.
Keesokan paginya
dia memberitahu saya keinginannya untuk sesegera mungkin perjalanan ke Toba dan
meminta saya bahwa dia akan perlu pemandu. Saya mencari pemandu yang dapat
dipercaya, sebab ini adalah perjalanan yang banyak bahaya (di Silndoeng dan Toba belum ada pemerintahan). Ketidaksabaran untuk
segera berangkat sulit dimengerti untuk saya; dia absolutly tidak bisa sama
sekali ada bahasa Hindia bahkan kata-kata Melayu hanya tahu sedikit, mungkin
hanya sepuluh kata yang dipahaminya sendiri yang memang benar-benar dibutuhkan
seperti makan, minoem, tidor dan djalan yang dianggapnya sudah memadai. lda
Pfeilfer tinggal empat hari dengan saya. Saya telah berhasil mendapatkan
pemandu yang baik untuk mendampinginya. Namanya Dja Pangkat, seorang kepala
kampong dari Soeroemantinggi yang akan melakukan tugas berdiri di depannya. Dia
terkenal, berteman dengan sejumlah kepala kampong di Silindoengsche.
Pada tanggal 5
Agustus, 1852, Ida Pfeiffer tiba di Padang Sidempoean (onderfadeeling Ankola).
Dari tempat terakhir dimana ada orang Eropa di Padang Sidempoean, Ida Pfeiffer
dipandu oleh Dja Pangkat (yang juga mantan pemandu terbaik Friedrich Franz
Wilhelm Junghuhn, 1840-1845 dalam ekspedisi geologi di Zuid Tapanoeli /
Tapanuli bagian selatan). Singkat kisah, setelah Ida Pfeiffer berhasil melongok
danau Toba (orang Eropa pertama yang melihat danau Toba) langsung lekas pulang
(karena sakit), Ida Pfeiffer tiba kembali di Padang Sidempoean tanggal 25
Agustus 1852. [Untuk lebih
lengkapnya baca: Ida Pfeiffer, Gadis Pelancong Pemberani, Perempuan 'Bule' Pertama Memasuki Bataklanden
Ida Pfeiffer adalah wanita Eropa yang pertama kali melihat Danau Toba. Ida Pfeiffer di dalam perjalanan wisata menuju Silindoeng en Toba pada Agustus 1852 telah menyadarkan internasional bahwa Tanah Batak tidak seperti yang salah diceritakan secara horror oleh orang-orang sebelumnya. Publikasi perjalanan Ida ini telah dilansir oleh sejumlah koran yang terbit di Batavia, Semarang, Soerabaija dan Rotterdam. Sejauh yang diketahui, kisah perjalanan Ida Pfeiffer di Tanah Batak ini merupakan catatan yang terdokumentasi secara otentik bagaimana metode lemang dijelaskan secara lengkap. Seperti diakui sendiri Ida Pfeiffer bahwa metode memasak beras menjadi nasi ini juga disebutnya sebagai sesuatu yang unik dan baru seperti dikatakannya sendiri: ‘saya melihat mereka mempersiapkan beras dalam cara yang sama sekali baru bagi saya’.[Artikel terkait: Asal Usul Sejarah Lemang, Apakah Bermula di Tanah Batak?
***
*Dr Max Euwe adalah orang kedua Belanda
yang datang berkunjung ke Medan karena
alasan olahraga. Dr Max Euwe adalah Grand Master, juara catur Belanda sengaja
datang ke Medan pada Agustus 1930 hanya semata-mata karena ada dua orang anak
Batak yang mampu mengalahkan semua pecatur Belanda di Kota Medan. Setelah
merasakan kehebatan pecatur pribumi, Euwe melanjutkan perjalanan ke Djawa. Tapi
sebelum dia pulang ke Belanda, rupanya Dr. Euwe penasaran dengan kejeniusan
anak-anak Batak ini. Sebagaimana dilaporkan koran Het volk : dagblad voor de
arbeiderspartij, 09-10-1930:Dr. Euwe vs pecatur Batak di De Wiite Societit, Medan (Sept-1930) |
Ternyata Dr.
Euwe tidak kecewa. Keilmuannya mengalahkan gengsinya dikalahkan oleh anak Batak
dari kampung di pedalaman Tanah Batak. Mr. Euwe yang seorang sarjana, malah
ingin mengetahui lebih dalam mengapa ia kalah sama Si Hoekoem. Dr. Euwe ingin
menganalisnya langsung bersama Si Hoekoem. Yang tadinya ingin segera hengkang
dari Medan, malah Dr. Euwe menunda keberangkatannya. Dr. Euwe ingin
mewawancarai langsung Si Hoekoem. Dengan bantuan penerjemah di gedung De Wit
Societie Medan Dr. Euwe awalnya ingin wawancara tapi malah justru berdiskusi
(dialog). Dr. Euwe tidak menyangka bahwa Si Hoekoem bisa menganalisis
permainan, mulai dari pembukaan, gerakan dan endgame. Hasil wawancara, eh hasil
diskusi yang ditulis sendiri oleh Dr. Euwe itu (termasuk notasi caturnya)
dimuat di koran Het volk: dagblad voor de arbeiderspartij, 25-10-1930 dengan
judul beritanya: 'Dr. Euwe interviewt Si Hoekoem. De Batakker toont een
zeldzaam juist oordeel. Besloten werd met een partij volgens de Bataksche
spelregels'. Intinya: anak-anak Batak ini, terutama Si Hoekoem telah memberi
saya banyak pemahaman. Awalnya saya yakin menang, sebagaimana juga menurut
penonton, tetapi di akhir permainan Si Hoekoem melakukan gerakan diluar dugaan
saya. Dan Si Hoekoem menang. Saya bisa menyimpulkan bahwa permainan game
anak-anak Batak murni intuitif--tidak text book. Saya salut, dan saya banyak
belajar dari mereka anak-anak yang cerdas ini. Lihat selengkapnya pada artikel: Sejarah Catur Indonesia: Bermula di Tanah Batak
(bersambung)
*Dikompilasi
oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan
sumber tempo doeloe.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar