Pada
masa kini, organisasi mahasiswa tidak diperlukan lagi. Sudah lebih dari cukup
organisasi yang sudah didirikan. Yang diperlukan adalah bagaimana mahasiswa
mengisinya dan mendayagunakannya. Memikirkan perlu tidaknya organisasi
mahasiswa itu sudah ditunaikan oleh para pendahulu (pionir) mahasiswa. Mungkin
banyak yang tidak menyadari, ternyata para pionir itu berasal dari kampong yang
sama: Padang Sidempuan. Mereka itu adalah (mulai dari yang tertua): Soetan Casajangan (1908), Sorip Tagor (1917), Abdul Rasjid (1919), Parlindungan Lubis (1938), Lafran Pane (1947), Ida Nasution (1947), AM Hoetasoehoet (1952) dan Hariman Siregar (1974).
Padang Sidempoean, 1908 (klik gambar jika ingin memperbesar peta) |
Sejak era
Belanda, kota kecil Padang Sidempuan yang berada di pedalaman Tapanuli ini
selalu diperhitungkan di tingkat ‘nasional’ (Nederland-Indie). Mungkin banyak
generasi muda Indonesia yang tidak tahu dimana kota ini berada. Untuk mengingat
kembali: Kota Padang Sidempoean adalah ibukota Afdeeling (kabupaten) Padang
Sidempoean. Afdeeling ini terdiri dari dua onderafdeeling (kecamatan), yakni: Mandheling
en Ankola (Staatsblad 1937 No.563). Pelabuhan terdekat dari kota ini berada di Siboga, ibukota Residentie Tapanoeli.
Willem Iskander
(1875): Pelajar
Pribumi Pertama Sekolah di Luar Negeri, Pemimpin Guru-Guru untuk Studi ke Negeri
Belanda
Willem Iskander (Sati Nasoetion) memperoleh akte guru di negeri Belanda,
berangkat dari Batavia 1857 dan lulus 1861. Willem Iskander adalah pribumi pertama yang sekolah ke Negeri Belanda. Pada
tahun 1862 Willem Iskander mendirikan sekolah guru (kweekschool) di Tanobato, onderafdeeling Mandheling. Menurut Poeze (2008), hanya sekolah guru ini di
Nederlansche Indie yang dapat dianggap berjalan baik (karena gurunya menulis buku pelajaran sendiri
dan para siswa tiap tahun lulus 100 persen). Atas prestasi guru dan Kweekschool Tanobato, maka pada tahun 1875 Willem Iskander diminta untuk membimbing dan menjadi
mentor sejumlah guru di Jawa dan Sumatra untuk mendapat akte guru di negeri Belanda, sementara
Willem Iskander sendiri diberi beasiswa oleh pemerintah Hindia Belanda untuk
melanjutkan studi untuk memperoleh akte kepala sekolah. Namun sangat
disayangkan mereka semua yang berangkat bersama-sama dari Batavia tidak kembali. Mereka itu satu per satu meninggal dunia karena alasan yang berbeda-beda. Satu bentuk perjuangan yang lain oleh Willem Iskander dalam bukunya yang terkenal Sibulus-bulus, Sirumbuk-rumbuk yang terbit di Batavia 1871 yang didalamnya terdapat puisi yang mana dua baris sangat terang-terangan menentang penjajahan Belanda (ada yang berpendapat puisi inilah pemicu Willem Iskander diasingkan dan dibunuh di Belanda, bukan meninggal karena hal lain).
Sekadar untuk diketahui: Kakak kelas Willem Iskander di sekolah dasar swadaya penduduk asuhan Ny. Godon (asisten residen Mandheling en Ankola) bernama Si Asta dan Si Angan direkomendasikan sang guru untuk sekolah kedokteran di Batavia. Mereka berdua masuk Docter Djawa School pada tahun 1854. Saat mereka masuk, belum ada siswa yang lulus. Ini artinya mereka tergolong angkatan generasi pertama (Docter Djawa School dibuka 1851). Menariknya, ternyata dua anak ini terbilang siswa yang sangat pintar. Manariknya lagi, ternyata dua anak yang masih belia ini merupakan siswa pertama luar Djawa yang diterima di sekolah kedokteran tersebut (lihat: Nieuwe Rotterdamsche courant: staats-, handels-, nieuws-en advertentieblad, 18-01-1855)
Sutan Casajangan
(1908): Mantan
Guru, Alumni Kweekschool Padang Sidempoean, Pendiri Himpunan Pelajar Indonesia
di Belanda
Sutan Casajangan |
Pada
tanggal 5 Juli 1905 Sutan Casajangan berangkat dari Batavia dengan kapal Prinses Juliana dan tiba di Rotterdam 30 Juli 1905. Sutan Casajangan adalah
mahasiswa kedua yang kuliah di Negeri Belanda. Surat kabar Telegraaf mewawancara Soetan
Casajangan di Amsterdam yang dilansir Bataviaasch nieuwsblad, 02-07-1907 (hanya
mengutip beberapa saja di sini).
Pada tahun 1908 jumlah mahasiswa pribumi di Negeri Belanda sudah ada sekitar dua puluh orang. Sutan Casajangan sebagai senior (dan mantan guru) berinisiatif dan menggagas serta mendirikan perhimpunan pelajar Hindia Belanda di Negeri Belanda. Organisasi ini disebut Indisch Vereeniging yang diresmikan dirumahnya sendiri di Haarlem, Oktober 1908. Sutan Casajangan adalah Presiden pertama organisasi mahasiswa di Negeri Belanda. Organisasi ini kemudian pada tahun 1920 menjadi Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI). Setelah menjadi sarjana dan mendapat akte kepala sekolah, Radjioun Harahap gelar Soetan Casajangan Soripada yang pernah menjadi asisten dosen Prof. Charles Adrian van Ophuijsen (mantan gurunya di Padang Sidempoean) dalam pengajaran Bahasa Melayu di Universiteit Leiden. Ini juga mengindikasikan bahwa Sutan Casajangan adalah pribumi pertama yang mengajar di universitas di negeri Belanda. Setelah menyelesaikan buku yang diterbitkan di Belanda, Sutan Casajangan pulang ke tanah air dan kembali mengabdi sebagai guru dan kepala sekolah di sejumlah tempat seperti Buitenzorg, Fort de Kock, Dolok Sanggoel, Ambon dan terakhir menjadi Direktur Normaalschool di Meester Cornelis, Batavia.
‘…mengapa anda
mengambil risiko jauh studi kesini meninggal kesenangan di kampungmu, calon
koeria, yang seharusnya sudah pension jadi guru dan anda juga harus rela
meninggalkan anak istri yang setia menunggumu…anda tahu untuk masyarakat saya,
masih banyak yang perlu dilakukan, kami punya mimpi, kami diajarkan dengan baik
oleh guru Ophuijsen….tapi kini masyarakat kami sudah mulai menurun dan melemah
pada semua sendi kehidupan.. saya punya rencana
pembangunan dan pengembangan lebih lanjut dari penduduk asli di Nederlandsch
Indie (Hindia Belanda)..saya mengajak anak-anak muda untuk datang ke sini
(Belanda) agar bisa belajar banyak..di kampong saya kehidupan pemuda statis,
baik laki-laki dan perempuan..dari hari ke hari hanya bekerja di sawah (laki-laki)
dan menumbuk padi (perempuan)…mereka menghibur diri dengan menari (juga tortor)
yang diringi dengan musik, simbal, klarinet, gitar dan ensambel gong…(dansten zij
op de muziek van bekkens, klarinet, guitaar en gebarsten gong...)..anda tahu
dalam Filosofi Batak kuno, kami yakin bahwa jiwa itu berada di kepala, dan
karenanya kami harus tekun agar tetap intelek…
Pada tahun 1908 jumlah mahasiswa pribumi di Negeri Belanda sudah ada sekitar dua puluh orang. Sutan Casajangan sebagai senior (dan mantan guru) berinisiatif dan menggagas serta mendirikan perhimpunan pelajar Hindia Belanda di Negeri Belanda. Organisasi ini disebut Indisch Vereeniging yang diresmikan dirumahnya sendiri di Haarlem, Oktober 1908. Sutan Casajangan adalah Presiden pertama organisasi mahasiswa di Negeri Belanda. Organisasi ini kemudian pada tahun 1920 menjadi Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI). Setelah menjadi sarjana dan mendapat akte kepala sekolah, Radjioun Harahap gelar Soetan Casajangan Soripada yang pernah menjadi asisten dosen Prof. Charles Adrian van Ophuijsen (mantan gurunya di Padang Sidempoean) dalam pengajaran Bahasa Melayu di Universiteit Leiden. Ini juga mengindikasikan bahwa Sutan Casajangan adalah pribumi pertama yang mengajar di universitas di negeri Belanda. Setelah menyelesaikan buku yang diterbitkan di Belanda, Sutan Casajangan pulang ke tanah air dan kembali mengabdi sebagai guru dan kepala sekolah di sejumlah tempat seperti Buitenzorg, Fort de Kock, Dolok Sanggoel, Ambon dan terakhir menjadi Direktur Normaalschool di Meester Cornelis, Batavia.
Parlindoengan
Loebis (1938): Ketua
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Paling Radikal dan Ditawan di Kamp
Konsentrasi NAZI
Parlindungan Lubis |
Parlindoengan
Loebis dari Padang Sidempuan, Medan dan Batavia bersiap-siap menuju Nederland.
Parlindoengan berangkat dari Tandjong Priok dengan menumpang s.s. Ophir menuju
Singapura tanggal 6 Agustus 1932. Di Belanda, Parlindoengan Loebis diterima di
Fakultas Kedokteran, Universitas Leiden. Selama kuliah, waktunya banyak tersita
untuk kegiatan organisasi kemahasiswaan. Pada tahun 1936, Parlindoengan Loebis
dipilih menjadi Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI). Pada tahun itu,
Perhimpunan Indonesia telah berusia 30 tahun dihitung sejak pendirian Indisch
Vereeniging tahun 1908 yang didirikan oleh Sutan Casajangan. Parlindungan Lubis menjabat Ketua PPI antara tahun 1936 hingga 1940 (periode setelah M. Hatta).
Akhirnya,
Parlindoengan Loebis lulus ujian doktoral Januari, 1938 (lihat, De Tijd :
godsdienstig-staatkundig dagblad, 09-02-1938), lulus ujian dokter gelar pertama
(eerste gedeelte) September 1939 (lihat Nieuwsblad van het Noorden, 07-10-1939)
dan dipromosikan menjadi dokter setelah lulus ujian akademik Oktober 1940
sebagaimana diberitakan De standard, 26-10-1940. Parlindoengan yang selama
mahasiswa dianggap intelijen Jerman sebagai anti fasis, termasuk dalam list
orang-orang yang diburu. Parlindoengan Loebis ditangkap intelijen Jerman yang
telah menduduki Belanda pada Juni 1941 dan dimasukkan ke kamp konsentrasi NAZI. Parlindoengan
Loebis adalah satu-satunya orang Indonesia di kamp yang mengerikan ini. Parlindoengan
Loebis akhirnya bebas setelah empat tahun di tahanan. Pada tahun 1947 Parlinduengan Lubis dengan teman-temannya yang pro kemerdekaan pulang ke tanah air (menumpang kapal Weltevrede).
Lafran Pane (Februari,
1947): Anak Guru yang
Sastrawan dan Cucu Ulama Besar, Pendiri Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)
Sanusi, abang Lafran Pane |
Lafran
Pane, cucu dari Syekh Badurrahman Pane memulai pendidikan dasar di pesantren di
Sipirok, kemudian dilanjutkan di HIS (swasta) Padang Sidempoean dan kemudian
melanjutkan pendidikan menengah di Batavia di bawah bimbingan dua abangnya
Sanusi Pane dan Armijn Pane yang sudah dikenal sebagai sastrawan terkenal di
Batavia. Lafran Pane melanjutkan pendidikan tinggi tidak ke STOVIA seperti
sebelumnya dua abangnya (awalnya kuliah kedokteran tetapi dalam perjalanan
lebih menekuni sastra sebagaimana ayah mereka). Lafran Pane justru lebih
memilih bidang studi Islam. Boleh jadi, Lafran yang memulai pendidikan di pesantren
ini ingin meneruskan karir kakeknya. Lafran Pane akhirnya kuliah di Sekolah
Tinggi Islam Batavia.
Namun
dalam perkembangannya, Belanda kembali ke Indonesia dan kampus Lafran Pane
harus pindah ke Yogyakarta. Selama kuliah di Yogyakarta banyak berinteraksi dengan berbagai kalangan.
Lafran Pane yang tengah menekuni bidang studi Islam ini merasa terpanggil untuk
menyatukan berbagai elemen mahasiswa dari kalangan Islam untuk merapatkan
barisan dalam situasi perjuangan rakyat Indonesia. Lafran Pane menggagas
perlunya dibentuk organisasi mahasiswa Islam untuk turut memberi wadah dalam
situasi politik perang. Lafran Pane kemudian bersama teman-temannya yang lain
mendeklarasikan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) pada tanggal 5 Februari 1947. Lafran
Pane kemudian menjadi Presiden pertama Himpunan Mahasiswa Islam.
Situasi
politik yang berubah menyebabkan Lafran Pane yang sudah lulus sarjana muda Islam
ingin mengkombinasikan pengetahuannya dengan kebutuhan terkini yakni dengan menambah
ilmu baru yakni ilmu politik. Di Yogyakarta Lafran Pane masuk Akademi Ilmu Politik
yang merupakan bagian dari Universitas Gajah Mada pada bulan April 1948. Universitas swasta ini lalu
kemudian diakuisi pemerintah republik 1949 dan menjadi universitas RI dan
akademi ini berubah menjadi fakultas.
Lafran
Pane yang masih menjadi Ketua HMI dan juga sebagai mahasiswa di Universitas
Gajah Mada (universitas republik) sangat merasakan dampak perang terhadap
kehidupan para mahasiswa yang berasal dari Sumatra yang pembiayaannya sangat
tergantung dari orangtua. Hampir semua mahasiswa yang berasal dari Sumatra putus
kiriman uang dari kampong halaman karena dirampas oleh Belanda. Lafran Pane dalam hal ini masih terbantu oleh dua abangnya: Sanusi Pane dan Armijn Pane. Namun tidak demikian rekan-rekannya yang lain. Lafran Pane
coba membicarakan permasalahan itu dengan pemimpin republik di Yogyakarta.
Hasilnya, pemimpin republik memberi respon dan lalu dibentuk sebuah biro penghubung
yang dinamai Biro Kontak untuk Sumatra yang langsung diketuai oleh Menteri
Sosial RI, Ir. H.A. Tambunan dan sekretaris, Lafran Pane sendiri. Tujuan
pembentukan biro ini untuk menyelamatkan studi mahasiswa yang berasal dari
Sumatra. Dalam kepengurusan biro ini juga termasuk satu wakil dari
masing-masing keresidenan yang ada di Sumatra (lihat Het nieuwsblad voor
Sumatra, 30-11-1949).Untuk membantu mahasiswa lainnya agar tetap kuliah adalah salah satu bentuk nyata perjuangan Lafran Pane selama masa perang.
***
Masa kolonial telah berlalu, kemerdekaan yang
sempat dirampas oleh Belanda (NICA) telah diperoleh kembali dengan adanya pengakuan
Belanda terhadap kedaulatan NKRI (Desember, 1949). Babak baru Indonesia mulai
dibangun, namun demikian jasa-jasa para pelaku babak lama juga harus
mendapatkan haknya. Di Jakarta, Sutan Pangurabaan Pane, ayah Lafran Pane
menggagas pula untuk dibentuknya organisasi para pensiunan. Organisasi ini
diberi nama Kumpulan Kaum Pensioenan. Pimpinan pusat organisasi ini diketuai
oleh Sutan Pangurabaan Pane. Organisasi
yang berpusat di Jakarta ini dengan cabang yang baru 50 onderafdeeling di
seluruh Indonesia yang anggotanya sudah mencapai satu juta. Anggota organisasi
ini meliputi mantan pejabat, militer dan usaha negara. Dana simpanan yang besarnya telah mencapai Rp 10.000.000 dikembangkan dengan membangun
sejumlah usaha di berbagai daerah (lihat De locomotief : Samarangsch handels-
en advertentie-blad, 04-10-1951)Lafran Pane akhirnya lulus ujian dan menjadi sarjana di Universitas Gadjah Mada pada tanggal 26 Januari 1953. Lafran Pane sendiri terbilang sebagai sarjana ilmu politik pertama di Indonesia. Ayah Lafran Pane menjadi tersenyum, tidak hanya anaknya-anaknya yang berhasil sesuai keinginan mereka, tetapi Sutan Pangurabaan Pane juga berhasil telah menjamin jutaan pensiunan mendapatkan haknya kembali yang selama ini ditahan oleh Belanda selama perang.
Ida Nasoetion (November,
1947): Srikandi
dari Padang Sidempoean, Pendiri
Persatuan Mahasiswa Indonesia
Ida Nasution |
Ida
Nasoetion yang sudah menulis sejak sekolah menengah lalu mendaftar dan diterima
di Jurusan Sastra Bahasa (letteren faculty) Universiteit van Indonesie. Fakultas Sastra dan Filsafat (Faculteit der
Letteren en Wijsbegeerte) di Universitas Indonesia (Universiteit van Indonesie)
dibuka pada tanggal 1 Oktober 1940 dan memulai perkuliahan awal pada tanggal 4
Desember 1940. Ida Nasoetion termasuk mahasiswa angkatan pertama di Fakultas
Sastra Universitas Indonesia (awal pendiriannya bernama Fakultas Sastra dan
Filsafat, kini bernama Fakultas Ilmu Budaya). Ida Nasoetion sangat menikmati
sekolah tinggi ini karena bakatnya di bidang sastra sejak masuk di K.W. School.
Soerabaijasch handelsblad 28-08-1941 melaporkan Ida Nasoetion lulus ujian
preliminary (kelas satu) di Faculteit der Letteren en Wijsbegeerte.
Ida
Nasoetion yang baru kuliah satu tahun, tiba-tiba situasi dan kondisi di
Indonesia berubah. Pada akhir Desember 1941 pasukan Jepang telah melakukan
pemboman di Tarempa, Kepulauan Riau yang membuat Belanda mengalami sok. Satu
per satu kilang minyak di Kalimantan dan Sumatra diduduki tentara Jepang. Di
Batavia semuanya menjadi berhenti termasuk kampus Ida Nasoetion. Pada tanggal 1
Maret 1942 kapal-kapal perang Jepang telah merapat di luar Batavia di teluk
Banten dan Cirebon. Gubernur Jenderal Hindia Belanda menyerah tanpa syarat
kepada Jepang yang dipimpin Letnan Jenderal Hitoshi Imamura setelah diadakan perundingan
di Kalijati tanggal 8 Maret 1942. Setelah tanggal tersebut maka berakhir sudah
pemerintahan Belanda di Indonesia dan Universiteit van Indonesie ditutup. Ida
Nasoetion berhenti pula kuliah.
***
Setelah
suasana menjadi tenang, pemerintahan militer Jepang memberikan izin untuk
pendidikan tinggi dibuka kembali. Pada tanggal 29 April 1943 Fakultas Sastra
dan Filsafat melakukan aktivitas kembali. Namun karena dosen-dosen sebelumnya
adalah orang Belanda, kini mereka pulang ke Negeri Belanda, maka aktivitas
perkuliahan tidak berjalan semestinya. Lagi pula jumlah mahasiswa yang ada
hanya dapat dihitung dengan jari. Mahasiswa yang beberapa orang ini, salah
satunya Ida Nasoetion lebih banyak belajar mandiri dan melakukan aktivitas
sastra di luar kampus. Pada masa ini Ida Nasoetion banyak berinteraksi dengan
sastrawan-sastrawan angkatan Poejangga Baroe (nama majalah menggantikan Balai
Poestaka), seperti Soetan Takdir Alisjahbana dan Armijn Pane. Sedangkan
angkatan Balai Poestaka antara lain Merari Siregar dan Sanusi Pane plus
Muhammad Kasim dan Suman Hs. Semua nama-nama yang disebut tersebut berasal dari
kampungnya di Afdeeling Mandheling en Ankola, Residentie Tapanoeli. Dengan
demikian, Ida Nasoetion tidak kekurangan mentor.
Sejak
perang (1942) banyak sastrawan-sastrawan muda bermunculan bagaikan jamur di
musim hujan. Ini berbeda dengan era Belanda. Pada era Jepang, para pemuda lebih
menggebu untuk meraih kemerdekaan.
Semangat ini terasa di dalam jiwa raga para sastrawan muda. Sementara itu,
karena Jepang memberikan keleluasaan penggunaan bahasa asli (Bahasa Indonesia), yang di satu sisi
para pemuda yang berminat sastra tidak perlu membuang waktu untuk belajar
bahasa asing untuk menjadi penyair, penulis prosa dan penulis esai dan
sebagainya. Di sisi lain dirasakan adanya rasa bebas dan sedikit chauvinism.
Tiga diantara para pemuda yang menonjol mewakili entitas sastrawan muda
Indonesia adalah Chairil Anwar (penyair), Idroes (prosa), Ida Nasoetion (esai)
plus Usmar Ismail (drama).
Keutamaan
Ida Nasoetion dalam masa ini karena Ida Nasoetion merupakan satu-satunya
sastrawan (muda) yang berlabel mahasiswa. Meski kuliah sastra tidak menentu,
bukan hanya senin-kemis tapi bahkan Januari-Mei, Ida Nasoetion tetaplah
terdaftar sebagai mahasiswa yang ingin menjadi sarjana sastra. Dengan didukung
tingkat inteligensia yang memadai dan berasal dari sekolah elit Belanda
(Koniging Wilhelmina) kurikulum yang dibuatnya sendiri tidak terlalu sulit
untuk dilaksanakannya. Ida Nasoetion dalam keterbatasan system perkuliahan itu
dilihatnya sebagai suatu tantangan. Selain tetap belajar sendiri, Ida Nasoetion
juga bekerja keras menulis dan mengirimkan tulisan-tulisannya ke berbagai media
khususnya majalah-majalah sastra. Namanya semakin menggema di kalangan pegiat
sastra, apalagi kemampuannya untuk melakukan kritik sastra dan menyajikan esai
yang sudah sempurna (mungkin berkat didikan di KWS). Tidak butuh waktu lama,
Ida Nasoetion sudah diakui sebagai kritikus sastra dan penulis esai yang
berbakat. Adakalanya Ida Nasoetion menulis namanya sebagai samaran dengan nama
Ida Anwar (nama ayahnya Anwar Nasoetion).
Para
sastrawan muda ini lebih taktis dibanding senior mereka dari angkatan Poejangga
Baroe. Jika angkatan sebelumnya menulis lebih menggunakan gaya retorika
keindahan, tidak demikian dengan sastrawan muda yang hidup di awal era
revolusi—lebih nyata dan lebih bergelora (sastra revolusi). Chairil Anwar
(lahir di Medan, 1922) dan Ida Nasoetion yang sama-sama seusia lebih tajam dan
mengena. Chairil Anwar sangat piawai dalam puisi-puisinya yang hampir
seluruhnya dalam bahasa Indonesia dan hampir semua majalah Indonesia ada
karyanya. Semua puisinya itu kemudian dikumpulkan menjadi satu buku yang
berjudul ‘Deroe Tjampoer Deboe’. Ida Nasoetion lebih fokus pada pengembangan
kritik dan esai dan artikel-artikelnya dikirimkan ke koran dan terutama majalah
baik yang berbahasa Indonesia maupun yang berbahasa Belanda, seperti Het
Inzicht, Siasat, Sadar, Pembaroean, Opbouw. Ida Nasoetion juga menerjemahkan
beberapa buku bahasa Perancis (Malraux). Di dalam tulisan-tulisan Ida Nasoetion
seperti pada ‘Indonesie Culturaal’ kata-kata ‘merdeka’ kerap ditemukan.
Dua
sastrawan muda ini kerap berinteraksi dan sama-sama memiliki visi dan misi yang
sama: bangkit! Keduanya pernah sama-sama mengasuh rubrik ‘gelanggang’ dalam
majalah Siasat. Kedua sastrawan muda yang masih belia (berusia 20 tahunan)
tumbuh dan berkembang baik pada era Jepang maupun setelah Indonesia merdeka.
Ketika, Jepang bertekuk lutut sama sekutu, maka situasi dan kondisi berubah,
euforia kemerdekaaan hanya sekejap lalu kembali berada di bawah pemerintahan kolonial
Belanda. Chairil Anwar dan Ida Nasoetion tetap konsisten dengan penanya: cerdas
dan tajam. Perkuliahan Ida Nasoetion yang selama ini tidak berjalan lancar
justru menjadi lebih kacau balau lagi. Namun demikian tingkat kematangan Ida
Nasoetion semakin sempurna—Ida Nasoetion tumbuh dan berkembang justru di luar
ruangan kuliah.
***
Sejak
kedatangan kembali Belanda, perang terus terjadi antara tentara Belanda dan
pasukan gerilyawan republic, para sastrawan muda tetap terus berpikir dan
bekerja serta menghasilkan karya-karya. Pada tanggal 21 Januari 1946 kampus
Universiteit Indonesie dibuka kembali dengan status Nood Universiteit
(Universitas Darurat). Ida Nasoetion berada dalam situasi dilemma: di satu
pihak jiwa revolusioner sudah memuncak (sisi republic), di pihak lain suksesi
Jepang dengan Belanda akan membuat perkuliahan di Universiteit van Indonesie
akan memungkinkan berjalan normal seperti sediakala (awal pendiriannya tahun
1941).
Sementara
itu. kemampuan Ida Nasoetion dalam bahasa Belanda dipromosikan oleh penerbit
majalah-majalah opbouw (pembangunan) dan cultuural (kebudayaan) Belanda di
Indonesia. Ida Nasoetion direkrut menjadi anggota dewan redaksi Het Inzicht dan
Ida Nasoetion juga menjadi anggota staf redaksi majalah Opbouw yang ketuanya
seorang guru besar Belanda, Prof. dr. R.F. Beerling (lihat Het dagblad :
uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia 09-05-1947). Beerling
adalah associate professor di Fakultas Ekonomi Universiteit van Indonesia
(faculteit der economische). Meski Ida Nasoetion berada di lingkungan akademisi
sastra dan pembangunan di tengah orang-orang Belanda, tetapi rasa gerahnya
terhadap kolonialisme tidak berkurang. Untung para pegiat penerbitan Belanda yang
ada di Batavia tetap respek atas karakter independent dari Ida Nasoetion.
Ketika
situasi perkuliahan di Faculteit der Letteren en Wijsbegeerte, Universiteit van
Indonesie sudah mulai kondusif, Ida Nasoetion langsung sumringah, sebab ada
kebijakan baru setelah perang karena sulitnya ekonomi dan pembiayaan bagi
angkatan 1940 dan 1941 uang kuliah akan digratiskan (lihat Het dagblad :
uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 12-11-1946). Meski ini
dari sudut Belanda semacam politik membujuk, namun demikian, sekali lagi: jiwa
merdeka Ida Nasoetion tetap bergelora.
Dengan
dimulainya otonomi kampus, Ida Nasoetion bersama G. Harahap dari jurusan
jurnalistik melihat celah ini dengan menggagas dan mendirikan perhimpunan
mahasiswa. Dengan kawan-kawan yang lain, Ida Nasoetion meresmikan organisasi
mereka dengan nama Perhimpunan Mahasiswa Universitas Indonesia yang disingkat
PMUI pada tanggal 20 November 1947 (lihat Het
dagblad :uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 05-04-1948). Kala itu, perguruan tinggi di bawah
pemerintahan Belanda baru satu-satunya Universiteit van Indonesie yang
kampusnya tersebar di Batavia (menjadi UI), Buitenzorg (menjadi IPB), Bandoeng
(menjadi ITB), Surabaija (menjadi Unair) dan Macassar (menjadi Unhas). Pada
awal organisasi mahasiswa ini didirikan anggotanya baru sebanyak 30 mahasiswa
dan lambat laun sebelum ulang tahun yang pertama anggotanya sudah menjadi 100
mahasiswa (hanya memperhitungkan yang di Batavia). Ida Nasoetion adalah presiden pertama perhimpunan mahasiswa Indonesia.
Gelagat Ida Nasoetion dibalik memersatukan mahasiswa ini tercium juga oleh
intelijen Belanda.
Setelah
empat bulan menjadi presiden (ketua) PMUI, Ida Nasoetion dilaporkan koran
Nieusgier diculik tanggal 23 Maret 1948. Ida Nasoetion hilang selamanya dan
diduga kuat dibunuh oleh intelijen dan tentara Belanda (lihat juga Het
dagblad : uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 05-04-1948). Wanita muda berbakat
ini juga adalah redaktur beberapa majalah berhasa Indonesia dan berbahasa
Belanda serta menerjemahkan buku-buku berbahasa Perancis. Kehilangan wanita
pejuang, Srikandi Padang Sidempoean yang masih berumur 26 tahun ini adalah sebuah misteri yang belum
terungkapkan hingga kini.
Hariman Siregar
(1974): Ketua
Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia dan Peristiwa Malari (Malapetaka Lima Belas Januari)
Hariman Siregar, mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia di
era pembangunan. Hariman Siregar nyata-nyata tidak butuh organisasi baru lagi. Sudah
cukup. Hariman Siregar ingin menghargai pemikiran awal para seniornya ‘dongan
sahuta’: Sutan Casajangan Harahap, pendiri Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) di
luar negeri; Lafran Pane, pendiri Himpunan Mahasiswa Islam (HMI); dan Ida
Nasoetion, pendiri Perhimpunan Mahasiswa Universitas Indonesia (PMUI). Hariman
Siregar hanya ingin mengisinya, sebagaimana telah dilakukan oleh seniornya
Parlindungan Lubis di PPI Belanda. Hariman
Siregar paham betul risiko yang akan muncul. Parlindungan Lubis yang anti fasis
menuai risiko, ditangkap, dimasukkan ke kamp konsentrasi NAZI di Jerman.
Hariman Siregar tidak takut. Hariman Siregar adalah anak seorang pejuang di
medan perang yang membela rakyat banyak.
Hariman Siregar |
Sebelum memahami siapa dan mengapa Hariman Siregar, mari kita kilas balik
pada suasana perang di Padang Sidempoean, tempat dimana Hariman Siregar
dilahirkan dan melihat kiprah ayahnya dalam ikut mempertahankan Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) di Tapanoeli.
***
Sibolga, ibukota Residentie Tapanoeli. Setelah serangan angkatan laut Belanda dari teluk Tapanoeli
akhirnya jatuh ke tangan militer Belanda tanggal 20 Desember 1948. Pasukan Belanda
ingin segera menduduki Kota
Padang Sidempoean karena kota ini merupakan satu-satunya jalur dari utara menuju
Kota Bukittinggi, ibukota Republik
Indonesia di pengungsian. Namun itu tidak mudah. Perlawanan rakyat
Padang Sidempoean sangat heroik. Pada tanggal 28 Desember 1948, pasukan Belanda
kemudian tiba di Batangtoru. Untuk menahan akselerasi pasukan Belanda dari arah
Sibolga, pasukan republik yang dimotori para laskar Padang Sidempuan eks
anggota Kapten (anumerta) Koima Hasibuan untuk melakukan taktik pencegatan dan
bumi hangus. Karenanya, seluruh jembatan yang menuju Padang Sidempuan
diruntuhkan, pohon-pohon besar yang berdiri sepanjang jalan raya ditumbangkan
ke tengah jalan, jalan-raya yang rata diberi berlubang disana-sini agar
kendaraan militer Belanda tidak dapat melewatinya. Juga bangunan-bangunan yang
kemungkinan akan digunakan Belanda untuk markasnya dibakar atau dirubuhkan. Ini semua
adalah harga yang sangat mahal yang harus ditanggung rakyat Padang Sidempuan
dalam mengusir kedatangan kembali (pasukan) Belanda ke Padang Sidempuan.
Pasukan Belanda yang berpengalaman perang itu, lengkap dengan
persenjataan dan kendaraan lapis baja ternyata mampu mengatasi rintangan yang
ada. Semua taktik bergerilya yang dilakukan laskar republik ketika itu ternyata
pasukan Belanda tetap dapat mengatasinya dan terus saja merangsek. Akhirnya, pada tanggal 1 Januari 1949
pasukan Belanda berhasil memasuki Kota Padang Sidempuan. Setiba di dalam kota,
pasukan Belanda tampaknya 'kecele' karena menemukan ibukota Afdeeling Padang Sidempuan
itu sudah dibumihanguskan (Padang Sidempoean lautan api). Pasukan Belanda juga
menemukan kota dalam keadaan kosong karena telah ditinggalkan rakyat Padang
Sidempuan mengungsi ke luar kota.
Kota Padang Sidempoean, 1943 (klik gambar jika memperbesar peta) |
Pada
tanggal 30 Januari 1949, Binanga Siregar, Residen ‘adinterim’ Militer Tapanuli yang
datang dari Taroetoeng (ibukota Residen di pengungsian) datang ke Sipirok untuk
menyaksikan dari dekat pertahanan republik di garis depan. Binanga Siregar yang
pernah menjabat Djaksa di Padang Sidempoean membawa kabar yang dipantau melalui
radio Belanda dan Radio Australia bahwa Indonesia telah berhasil melakukan
diplomasi di PBB. Lalu pada tanggal 1 Februari 1949 Ayub Sulaiman Lubis dan
Kalisati Siregar berangkat ke Batang Angkola melalui rute gerilya dan
selanjutnya meneruskan perjalanan ke Panyabungan. Keesokan harinya jalan yang
sama dilalui pula oleh Binanga Siregar, Sutan Doli Siregar, Maraganti Siregar dan
Abdul Hakim Harahap (Wakil Komando Militer Tapanuli, yang mana kala itu yang
bertindak sebagai Gubernur Militer Noord Sumatra adalah Mayjen Dr. Gindo
Siregar) untuk mengabarkan keberhasilan bangsa Indonesia di PBB untuk bidang
diplomatik kepada masyarakat di pedalaman. Sementara itu, pasukan Belanda terus
melancarkan serangan kepada pasukan republic di berbagai tempat, seperti di
Arse, Simangambat, Goti dan Pijorkoling. Pertempuran yang paling dahsyat
terjadi di Benteng Huraba, Batang Angkola.
Pasukan
Belanda yang telah menguasai Padang Sidempoean dan Sipirok, kini dialihkan ke
Panyabungan dan Kotanopan lalu sasaran akhir ke Bukittinggi (ibukota RI di
pengungsian). Dalam pertempuran melawan republik, pasukan Belanda dapat
menguasai Pijorkoling. Lalu, untuk membendung pasukan Belanda, rakyat,
pemerintah dan laskar membangun benteng di Huraba. Akan tetapi benteng ini
tidak diduga, karena panduan dari dua orang penghianat, pasukan Belanda
berhasil menguasai benteng ini ketika pasukan republic dalam keadaan tidak
siap. Kemudian di Huta Tolang dari arah Panyabungan rakyat dan lascar melakukan
konsolidasi. Pada tanggal 5 Mei 1949 sekitar pukul 04.00.WIB penyerangan oleh
pasukan semesta republik dilancarkan ke jantung pertahanan pasukan Belanda di
Benteng Huraba
Dalam
pertempuran di benteng ini pasukan gabungan republik menggunakan mortir untuk
memperkuat daya tampur. Pertempuran ini
terjadi sangat heroik dan membutuhkan waktu dan baru pukul 16.30.WIB pasukan
gabungan berhasil memenangkan pertempuran dan Benteng Huraba dapat direbut
kembali. Pasukan Belanda yang dikalahkan lalu kocar-kacir dan mundur ke Padang
Sidempuan. Dalam pertempuran ini ditaksir cukup besar kerugian yang dialami
oleh pihak pasukan gabungan republik baik jiwa maupun materi. Dari anggota
pasukan Brimob Tapanuli sendiri yang gugur terdapat sebanyak 11 orang dan dari
pasukan Brigade–B sebanyak 16 orang. Sementara dari barisan laskar dan rakyat
yang tergabung dalam pertempuran itu tidak tercatat berapa orang yang gugur
dalam pertempuran yang heroik itu. Benteng Huraba sendiri adalah pertahanan yang
tidak bisa ditembus oleh pasukan Belanda untuk menuju Bukittinggi.
Memahami
situasi dan kondisi Benteng Huraba yang strategis dan sempit yang diapit bukit
dan dikelilingi hutan rimba membuat nyali pasukan Belanda agak kecut. Lalu
untuk sementara pasukan Belanda dialihkan ke Arse, Sipirok tanggal 8 Mei 1949.
Mungkin pasukan Belanda berupaya untuk membuka jalan keluar, karena jalan raya
menuju Batangtoru dan Sibolga sudah dikuasasi pasukan Republik. Praktis pasukan
Belanda terkepung di Padang Sidempuan dari tiga arah pintu exit. Ini berarti
wilayah Panyabungan masih tetap menjadi daerah aman, tempat dimana pemerintahan
Padang Sidempuan sebelumnya melakukan pengungsian.
Tepat pada
tanggal 23 Mei 1949, terjadi pertempuran besar lagi. Kini lokasi kejadian
berada di sekitar jembatan Aek Kambiri, kampong Aek Horsik, Sipirok, suatu area
yang mirip Benteng Huraba. Pasukan republik yang memimpin pencegatan ini di
bawah pimpinan Letnan Sahala Muda Pakpahan dan wakilnya Maskud Siregar. Cukup banyak pasukan Belanda yang
tewas. Atas peristiwa ini, pasukan Belanda mulai panic dan melancarkan
penyerangan dan memburu Letnan Pakpahan yang masih berusian 23 tahun itu hingga
ke kampong-kampung dan bahkan selama pencarian ini tidak sedikit penduduk sipil
yang ditembak mati ditempat karena dianggap menghalangi pengejaran. Dan
akhirnya Letnan Pakpahan berhasil ditangkap.
Ketika
rakyat Sipirok mengetahui Letnan Sahala Muda Pakpahan telah ditangkap Belanda maka
secara spontan rakyat Sipirok melakukan demonstrasi agar dia dibebaskan.
Masyarakat Sipirok merasa ikut serta dalam perjuangan fisik melawan Belanda
yang datang kembali untuk menjajah. Dibenak rakyat Sipirok, Sahala Muda
Pakpahan dianggap pimpinan laskar yang paling berani. Tapi pasukan Belanda
tidak bergeming. Dalam perkembangannya, serangan pasukan Belanda terpaksa
berakhir di front pertempuran di Arse (Sipirok), hal ini sehubungan dengan
berita terakhir bahwa Belanda telah mengakui kedaulatan RI. Lalu, pada tanggal
3 Agustus 1949 gencatan senjata antara Belanda dan Indonesia disepakati.
Kemudian dilanjutkan perundingan yang disebut Konferensi Meja Bundar (KMB),
sebuah pertemuan antara perwakilan pemerintah Republik Indonesia dan Belanda
yang dilaksanakan di Den Haag, Belanda dari tanggal 23 Agustus hingga 2
November 1949.
Dalam KMB
ini, Abdul Hakim Harahap ditunjuk sebagai penasihat delegasi Republik yang akan
pergi ke KMB di Den Haag. Wakil dari Sumatra Utara (Aceh, Sumatra Timur dan
Tapanoeli) diwakili oleh Gubernur Sumatera Utara, Mr. SM Amin Nasoetion dan
Residen Tapanoeli, Binanga Siregar. Selama di Den Haag, Abdul Hakim Harahap berpartisipasi
aktif sebagai penasihat umum dari delegasi Indonesia. Abdul Hakim Harahap
sendiri sebelum menjadi Wakil Residen/Wakil Komando Militer Tapanoeli adalah
seorang sarjana ekonomi yang pernah menjadi pejabat ekonomi Belanda/Jepang dengan
kedudukan terakhir di Makassar yang menguasai tiga bahasa asing (Belanda,
Inggris dan Perancis). Hasil perundingan
KMB itu antara lain dan yang terpenting bahwa kedaulatan NKRI akan diserahkan
selambat-lambatnja pada tanggal 30 Desember 1949.
Selanjutnya,
pada tanggal 30 November 1949, berlangsung serah terima pemerintah sipil
Kewedanaan Sipirok dari pejabat Belanda yang disebut kontrolir selaku PBA
(Plaatselijk Bestuurs Adviseur =
Penasehat Pemerintah Setempat) Belanda yang berkedudukan di Padang Sidempuan
kepada M. D. Harahap selaku Wedana di Sipirok yang disambut gembira warganya.
Di bidang keamanan PBA menyerahkannya kepada Komandan Brigade-B (mewakili
Maraden Panggabean, komandan militer di Residentie Tapanoeli) sebagai penanggungjawab pertahanan dan keamanan Keresidenan
Tapanuli di wilayah Padang Sidempuan. Hadir pada serah terima tersebut wakil
dari KTN (Komisi Tiga Negara). Puluhan ribu rakyat yang membanjiri halaman
balai Kota Sipirok menjadi saksi lalu bersorak gembira. Kontrolir itu ternyata
tidak lupa mengucapkan “Hidup Republik Indonesia”, usai penandatanganan dokumen bersejarah itu.
Setelah serah terima itu, anggota pasukan Belanda, pejabat sipil dan kaki
tangan NICA bergegas meninggalkan Sipirok.
***
Ayah Hariman Siregar bernama Kalisati Siregar turut aktif dalam perang
semasa agresi Belanda itu di Padang Sidempoean. Kalisati Siregar pada masa
perang tersebut menjabat sebagai Kepala Logistik (persediaan pangan bagi rakyat
dan pasukan republik) yang berada di pengungsian yang pindah dari satu tempat
ke tempat lainnya. Fungsi logistik ini tidak mudah, karena di satu sisi
berusaha menghalangi perampasan bahan pangan oleh pasukan Belanda dari penduduk
dan di sisi lain berusaha menyeimbangkan tingkat persediaan (logistic) antara kebutuhan
laskar rakyat dan pasukan republik dengan ketersediaan pangan untuk kebutuhan
penduduk di pengungsian. Dengan kata lain, Kalisati Siregar ‘bertempur dengan
amunisi pangan’ yang berada diantara pejuang republik di garis depan dan rakyat
yang mendukung sepenuhnya di garis belakang. Pemahaman statistik pangan
diperlukan dalam hal ini.
Kalisati
Siregar sendiri adalah salah satu putra Padang Sidempoean yang pulang dari
perantauan di jaman Jepang. Ketika tentara Jepang menduduki Batavia, suasana
tidak menentu, sandang dan pangan menjadi langka. Para orangtua umumnya memanggil
pulang anak-anaknya, karena di Afdeeling Padang Sidempoean masih mampu dipenuhi
kebutuhan anak-anak mereka sekalipun sudah berkeluarga. Anak-anak Padang
Sidempoean yang pulang semasa pendudukan Jepang dan mereka yang sudah sejak
awal sudah bertugas di Afdeeling Padang Sidempoean pada saat itu jumlahnya sudah sangat
banyak, namun tetap masih lebih banyak yang tidak bersedia pulang karena alasan masing-masing. Ketika tentara Jepang menduduki Tapanoeli, anak-anak Padang
Sidempoean ini segera dicari oleh tentara Jepang. Berdasarkan catatan registrasi Belanda, tentara Jepang
tidak sulit menemukan para penduduk terpelajar ini. Anak-anak Padang Sidempoean
yang pulang dari perantauan inilah yang direkrut tentara Jepang untuk menyusun
birokrasinya di setiap level pemerintahan. Tentara Jepang mengkonsolidasikan
penduduk yang sudah siap pakai. Kalisati Siregar termasuk bagian dari grand
design tentara Jepang dalam menyusun birokrasi pemerintahan di Padang Sidempoean. Kalisati Siregar memiliki kualifikasi dalam hal statistik dengan latar belakang keilmuan bidang perdagangan (handels).
***
Kalisati
Siregar lahir di kampong Liang, distrik Sipirok, Onderafdeeling Angkola-Sipirok, Afdeeling Padang Sidempoean.
Setelah lulus HIS di Kota Sipirok, Kalisati melanjutkan studi ke sekolah
menegah pertama, MULO yang berada di Kota Padang Sidempoean. Sebagaimana
umumnya, siswa-siswa yang telah lulus sekolah menengah di Padang Sidempoean
melanjutkan studi ke Djawa, biasanya mereka melanjutkan pendidikan ke sekolah
menengah atas dulu ke Medan atau langsung ke Batavia. Kalisati Siregar termasuk yang BTL berangkat
ke Batavia.
Kalisati
Siregar diterima di sekolah menengah atas bidang perdagangan di Batavia. Pada
tahun 1938, Kalisati Siregar termasuk diantara siswa-siswa Middlbare Handelsschool
yang lulus ujian transisi dari kelas satu ke kelas dua (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 28-05-1938). Namun
setelah lulus sekolah bidang perdagangan ini di Batavia, Kalisati Siregar ‘mentok’
pendidikannya. Karena sekolah tinggi ekonomi belum ada (Sekolah Tinggi Ekonomi
yang menjadi bagian dari Universiteit van Indonesie baru diselenggarakan pada
tahun 1948). Kalisati Siregar ingin kuliah ke Negeri Belanda tetapi itu tentu sangat
mahal, lalu demi menghormati orangtuanya di kampong, Kalisati Siregar memilih bekerja
langsung dan melamar di Kantor Pusat Statistik di Batavia. Kali Sati Siregar kemudian
diterima dan diangkat sebagai pegawai kelas-satu di Kantor Pusat Statistik di
Batavia (Bataviaasch nieuwsblad, 04-04-1941).
***
Indonesia
memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Anak-anak Padang
Sidempoean yang tidak sempat pulang atau memang tidak ingin pulang ribuan jumlahnya.
Di seputar kemerdekaan ini beberapa anak Padang Sidempoean di Batavia yang sangat
menonjol adalah Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap, Adam Malik Batoebara, Kol. Abdoel
Haris Nasoetion, Kol. Zulkifli Loebis, Parada Harahap, Sanusi Pane, Ing. Mangaradja
Onggang Parlindoengan, dan Drs. Todoeng Soetan Goenoeng Moelia Harahap, PhD.
Sementara anak-anak Padang Sidempoean yang berada di Medan yang cukup menonjol
adalah Mr. S.M. Amin Nasoetion, Dr. Gindo Siregar, Mr. Loeat Siregar, guru Madong
Loebis. Juga di kota-kota lain, seperti: Abdoel Hakim Harahap, SE. (Makassar), Dr.
Radjamin Nasoetion dan Apt. Ismail Harahap (Surabaya), Dr. Muhammad Daulay
(Semarang), Mr. Masdoelhak Nasoetion, PhD dan Dr. Parlindungan Loebis, Ing. Magaradja Onggang Parlindungan Siregar (Yogyakarta), wartawan Sakti Alamsyah Siregar
(Bandung), Drh. Anwar Nasoetion dan Mr. Radja Enda Boemi Siregar, PhD (Bogor), Mr.
Gele Haroen dan Haroen Al Rasjid Nasoetion (Lampung), Darwin Hamonangan Nasoetion dan Sutan Pangurabaan Pane (Palembang), Mr. Egon Nasoetion (Padang), Dr.
Diapari Siregar, Dr. Muhammad Hamzah Harahap dan guru Soetan Martoewa Radja Siregar
(Pematang Siantar).
***
Anak-anak
Padang Sidempoean baik yang di kampong halaman maupun yang berada di perantauan
bahu-membahu dan mengambil bagian dalam menyusun tata pemerintahan baru pasca proklamasi
kemerdekaan dan berusaha mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) yang dimotori tiga founding father: Ir. Soekarno, Drs. M. Hatta dan Mr.
Amir Sjarifoeddin Harahap. Di pusat, Mr. Amir Sjarifoeddin, Menteri Penerangan; Mr.
S.M. Amin Nasoetion menjadi Gubernur Sumatra Utara (Aceh, Sumatra Timur dan
Tapanoeli); Residen Sumatra Tengah (Sumatra Barat, Riau dan Jambi), Mr. Masdoelhak
Nasoetion, PhD; Walikota Medan, Mr. Loeat Siregar; Wakil Residen Tapanoeli,
Abdoel Hakim Harahap, SE dan di Tapanoeli Selatan, Bupati Sutan Doli Siregar,
Sekretaris Ayub Sulaiman Loebis, Wedana Maraganti Siregar, Kepala Bidang
Pertanian, Djohan Nasoetion dan Kepala Bidang Perdagangan, Kalisati Siregar.
Dalam
perkembangannya, sebagaimana tidak terduga, pada masa agresi militer Belanda pemerintahan
sipil diperkuat dengan pembentukan pemerintahan sipil-militer. Di Pusat, Mr.
Amir Sjarifoeddin merangkap Menteri Pertahanan; di Sumatra Utara diangkat Dr.
Gindo Siregar menjadi Gubernur Militer; di Tapanoeli, Wakil Residen Sipil,
Abdul Hakim Harahap didampingi Residen ‘adinterim’ Militer, Binanga Siregar; di
Padang Sidempoean, Kapten Koima Hasibuan (anumerta) digantikan oleh Letnan
Bedjo (tentara) dan Komisaris Maskadiran (brimob); dan di Sipirok perang
gerilya dipimpin Letnan Sahala Muda Pakpahan. Letnan Bedjo dan Komisaris Maskadiran adalah pemimpin laskar dan polisi dari Sumatra Timur yang mengungsi ke Tapanoeli Selatan.
***
Para orangtua di Padang Sidempoean sangat
menyadari betul bahwa memiliki anak-anak yang tengah berjuang di perantauan dan
mereka khawatir jika seandainya mereka kalah perang dan wilayah tempat mereka
diduduki Belanda, maka setidaknya jika mereka harus pulang masih ada tempat
tinggal kampung halaman yang bisa menampung mereka. Dalam konteks ini, menjadi mudah dipahami, mengapa begitu heroiknya orangtua dan anak-anak Padang
Sidempoean mempertahankan kedaulatan kampong halaman Padang Sidempoean ketika
pasukan tentara Belanda dikabarkan akan menduduki Kota Padang Sidempoean dalam
rangka menjepit ibukota Republik Indonesia di pengungsian di Bukittinggi. Dan, juga mudah dipahami mengapa rakyat Padang Sidempoean berani berkorban yang tak terkira dan berani melakukan bumi
hangus kota Padang Sidempoean (sebagaimana sebelumnya Bandung lautan api).
Oleh karenanya, anak-anak Padang Sidempoean berjuang di dua tempat: kampung halaman dan tanah perantauan. Anak-anak Padang Sidempoean yang berada di perantauan mengawal dan mempertahankan habis-habisan NKRI. Sementara orangtua dan anak-anak Padang Sidempoean yang berada di Tapenoeli khususnya di Afdeeling Padang Sidempoean juga berjuang mempertahankan kampong halaman. Para orangtua di kampung halaman dan anak-anak mereka di perantaun tidak satupun yang menginginkan kampung halaman menjadi negara boneka Belanda. Oleh karenanya sejarah perang di Padang Sidempoean harus dihitung sebagai bagian yang tidak terpisahkan dan pelaku penting dari sejarah perang mempertahankan kedaulatan NKRI.
Oleh karenanya, anak-anak Padang Sidempoean berjuang di dua tempat: kampung halaman dan tanah perantauan. Anak-anak Padang Sidempoean yang berada di perantauan mengawal dan mempertahankan habis-habisan NKRI. Sementara orangtua dan anak-anak Padang Sidempoean yang berada di Tapenoeli khususnya di Afdeeling Padang Sidempoean juga berjuang mempertahankan kampong halaman. Para orangtua di kampung halaman dan anak-anak mereka di perantaun tidak satupun yang menginginkan kampung halaman menjadi negara boneka Belanda. Oleh karenanya sejarah perang di Padang Sidempoean harus dihitung sebagai bagian yang tidak terpisahkan dan pelaku penting dari sejarah perang mempertahankan kedaulatan NKRI.
***
Hariman Siregar lahir pasca
perang melawan Belanda di Padang Sidempuan pada tanggal 1 Mei 1950. Prestasi
ayahnya, Kalisati Siregar sebagai pejabat di Padang Sidempoean sebelum dan selama perang diapresiasi pemerintah pusat dan
ditinggikan jabatannya lalu dipindahkan ke Medan pada saat mana Abdoel Hakim
Harahap menjadi Gubernur Sumatra Utara (yang ketiga: 25-01-1951 sd 23-10-1953). Setelah beberapa tahun di Medan, Kalisati Siregar
dipindahkan ke Palembang untuk menggantikan posisi jabatan yang ditinggalkan
oleh Darwin Hamonangan Nasoetion. Terakhir, Kalisati Siregar dipindahkan ke pusat sebagai pejabat di
Departemen Perdagangan RI tahun 1959 (hingga pension). Sebelum pindah ke Jakarta,
Hariman Siregar sendiri sempat beberapa tahun bersekolah di Palembang. Hariman Siregar,
anak keempat Kalisati Siregar lalu ditransfer ke Jakarta dan lulus sekolah
dasar (SD) tahun 1961. Pendidikan sekolah menengah (SMP dan SMA) juga diselesaikan
di Jakarta dan lulus 1967.
Tahun 1967 adalah tahun
pasca ‘perang saudara’ melawan paham komunis. Saat itu ayahnya mulai memasuki
usia pension, Hariman Siregar justru baru memulai pendidikan tinggi. Hariman
Siregar awalnya diterima di Institut Teknologi Bandung (ITB). Akan tetapi ayahnya
meminta untuk kuliah di Universitas Indonesia saja agar bisa menjadi mahasiswa
Fakultas Kedokteran. Hariman Siregar yang selalu hormat kepada orangtua ini mengiyakan permintaan sang ayah.
Hariman Siregar ujian saringan di Universitas Indonesia dan diterima. Karena itu, Hariman
Siregar baru terdaftar di Universitas Indonesia pada tahun 1968.
Hariman Siregar, sebagaimana
umumnya anak-anak Padang Sidempoean, para orangtua meminta anak-anaknya
mengutamakan pendidikan. Hariman Siregar sangat tekun belajar. Itu dilaluinya
hingga tingkat tiga. Hariman Siregar tidak tahu politik dan tidak berusaha
belajar politik. Karena itu Hariman Siregar tidak tergoda untuk terlibat dalam
organisasi sebagaimana teman-temannya justru sudah banyak yang karatan di
organisasi, meski di luar kampus, hingar bingar organisasi mahasiswa makin
menyeru. Bahkan Hariman Siregar tidak menyadari bahwa di dalam kampus pengaruh
HMI sudah sangat kuat.
Tapi lambat laun eskalasi diskusi permasalahan social dan ekonomi masyarakat yang semakin runyam menyadarkannya. Hariman Siregar
tersentak. Dalam pasca 'perang saudara' ini, Hariman Siregar seakan terlahir kembali, tetapi lahir sebagai aktivis mahasiswa. Darah pejuang dalam dirinya mulai bereaksi (like son, like father).
Hariman Siregar tidak perlu teori politik. Tidak punya waktu untuk
mempelajarinya. Soal itu, Hariman Siregar kalah jauh dari teman-temannya. Hariman
Siregar hanya mulai membagi perhatian antara pendidikan di satu sisi dan ikut berjuang
untuk kemasyarakatan di sisi lain. Untuk itu tidak perlu teori, Hariman Siregar
hanya mengikuti nalurinya, yakni: action!
Untuk mendalami situasi dan
kondisi lantas Hariman Siregar mulai intens mengikuti perkembangan yang ada dan
mulai berpartisipasi dalam diskusi-diskusi. Di dalam kampus Hariman Siregar
memulai organisasi dengan menjadi anggota Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM)
mewakili Fakultas Kedokteran. Ibarat motor diesel, Hariman Siregar makin lama
makin panas dan akselerasinya juga makin kencang. Pada tahun 1971, Hariman
Siregar sudah mengajukan diri untuk dicalonkan menjadi ketua senat. Hasilnya,
Hariman Siregar terpilih menjadi Ketua
Senat Mahasiswa Fakultas Kedokteran.
Eskalasi politik di kalangan mahasiswa makin
meningkat karena persoalan kemasyarakatan semakin menganga antara kebijakan
pemerintah dengan kenyataan yang dihadapi rakyat banyak. Hariman Siregar
menyadari organisasi intrakampus akan sangat terbatas. Kebetulan mahasiswa
kedokteran se-Indonesia akan melakukan kongres di Makassar 1972. Hariman
Siregar melepaskan jabatan Ketua Senat dan mengajukan diri untuk menjadi Sekjen Ikatan Mahasiswa Kedokteran Indonesia (IMKI).
Dalam kongres ini Hariman Siregar terpilih. Nama
Hariman Siregar mulai mencuat ke permukaan. Kini, Hariman Siregar sudah memiliki
portfolio. Suatu portfolio yang unik, suatu kombinasi modal aktivis politik (kemasyarakatan) dan
aktivis profesi (keilmuan). Figur Hariman Siregar mengubah mainstream politik kampus. Mahasiswa yang masih banyak dalam posisi
‘mengambang’ selama ini lalu hanyut dan mengidolakan Hariman Siregar sebagai calon pemimpin
baru.
Hariman Siregar menyadari
bahwa IMKI belum cukup. Hariman Siregar masih butuh ‘kendaraan’ politik
mahasiswa yang powerfull. Hariman Siregar mulai meretas jalan menuju Ketua Dewan
Mahasiswa Universitas Indonesia (DMUI), Teman-temannya sadar betul peluang
Hariman Siregar sangat kecil untuk bisa menjadi Ketua DMUI. Hal ini karena dari
masa ke masa yang menjabat posisi itu adalah mahasiswa yang memiliki basis yang
kuat. Saat itu HMI sangat kuat dan mahasiswa UI banyak yang berafiliasi dengan
HMI. Hariman Siregar tidak peduli dengan apa yang dipahami teman-temannya.
Hariman Siregar justru masih melihat ada celah. Dan itu tantangannya.
Seorang yang memiliki darah pejuang, menghadapi tantangan adalah perjuangan. Hariman Siregar mengajukan diri. Sekali lagi, teman-temannya menganggap keinginan Hariman Siregar itu sulit terlaksana, bahkan dari kalangan HMI sendiri juga menganggap Hariman Siregar tidak perlu diperhitungkan. Hariman Siregar yang cerdas mungkin menyimpulkan begini: ‘jika kawan dan lawan meremehkan saya, itu berarti kekuatan saya dan dapat dianggap sebagai bonus yang diterima di awal pertarungan’. Hariman Siregar tampaknya tidak takut dan memang tidak ada takutnya. Hariman Siregar tidak hanya mahasiswa pemberani tetapi juga mahasiswa cerdas serta memiliki talenta diplomasi yang kuat.
Seorang yang memiliki darah pejuang, menghadapi tantangan adalah perjuangan. Hariman Siregar mengajukan diri. Sekali lagi, teman-temannya menganggap keinginan Hariman Siregar itu sulit terlaksana, bahkan dari kalangan HMI sendiri juga menganggap Hariman Siregar tidak perlu diperhitungkan. Hariman Siregar yang cerdas mungkin menyimpulkan begini: ‘jika kawan dan lawan meremehkan saya, itu berarti kekuatan saya dan dapat dianggap sebagai bonus yang diterima di awal pertarungan’. Hariman Siregar tampaknya tidak takut dan memang tidak ada takutnya. Hariman Siregar tidak hanya mahasiswa pemberani tetapi juga mahasiswa cerdas serta memiliki talenta diplomasi yang kuat.
Hariman Siregar yang fasih berbahasa Batak itu
ternyata paham juga prinsip adat ‘dalihan natolu’ yang mengutamakan ‘relasi’
daripada ‘unsur’. Dalam bahasa sekolahan sesuatu itu tidak hanya membutuhkan
syarat perlu (necessary condition), tetapi juga dibutuhkan syarat cukup
(sufficient condition). Dalam bahasa sehari-hari: ‘lebih mungutamakan konten
daripada siapa yang menjadi pelaku’. Dalam adat dalihan natolu kedudukan setiap
marga adalah sama (unsur) tetapi kedudukannya berubah dengan situasi dan
kondisi tertentu (relasi). Mungkin Hariman Siregar berpikir: ‘jika saya lebih
muda dan tidak memiliki apa-apa (unsur-1) dan anda lebih alim dan lebih kaya
(unsur-2), tetapi saya adalah mora (relasi) dan anda adalah anakboru (relasi),
maka tempat dudukmu ada di belakang saya (relationship) dan suatu saat saya
duduk di belakangmu. Dalam bahasa politik praktis sekarang jelang pemilu:
‘menonjolkan figur (unsur) atau isi program’, massa yang cerdas akan cenderung
memilih isi program (relasi).
Hariman Siregar mulai
bekerja. Bekerja dengan caranya sendiri (soliter), karena Hariman Siregar
bangkit karena kesadaran sendiri. Hariman Siregar lalu bergerilya (sebagaimana
ayahnya dulu di medan perang) dengan melakukan pendekatan ke semua unsur yang
ada dan anehnya bahkan melakukan pendekatan ke orang-orang HMI sendiri. Padahal
HMI telah punya calon sendiri. Mungkin Hariman Siregar berpikir: ‘selagi mereka
semua adalah bangsa Indonesia, mereka adalah kawan’. Karenanya, Hariman Siregar
terus mendekati mahasiswa-mahasiswa HMI meski Hariman Siregar mengetahui mereka
sudah memiliki calon yang direstui oleh Pengurus Besar HMI (yang kala itu
dijabat oleh Akbar Tanjung). Bahkan Hariman Siregar, berani-beraninya datang
menghadap Akbar Tanjung. Anak Sibolga ini mungkin hanya tersenyum. Tersenyum
karena merasakan dalam dirinya sesama anak Tapanoeli, karena Hariman Siregar memiliki jiwa petarung
dan otak yang encer. Mungkin Akbar Tanjung dalam posisi dilematis: mengiyakan
berarti menciderai dirinya sendiri karena Akbar Tanjung adalah Ketua PB HMI;
menolak berarti takut ‘kualat’ sama Lafran Pane (pendiri HMI).
Hasil bergerilya Hariman
Siregar berbuah hasil. Para analisis menyimpulkan perebutan Ketua DMUI akan
sengit. Angka-angka yang beredar ternyata sudah fifty-fifty antara Hariman
Siregar dengan calon kuat dari HMI. Meski begitu, semua kalangan menganggap
Hariman Siregar akan tetap kalah. Tapi Hariman Siregar adalah joki terbaik dari
Padang Sidempoean dengan kuda poni terbaik dari Sipirok. Jika ketemu kombinasi kimia
‘joki terbaik’ dan ‘kuda terbaik’ maka suatu
pertempuran sekalipun itu dilangsungkan di Wild West akan meraih kemenangan.
Hariman Siregar adalah lone ranger van Sumatra’s Westkust. Hariman Siregar
mengabaikan opini orang lain. Hariman Siregar lebih percaya pada kearifan yang
dibangun di atas kecerdasan yang dibawa dari huta.
Ketika ‘pemilu’ DMUI
berlangsung dan saatnya perhitungan suara, Hariman Siregar kejar-kejaran dalam
pengumpulan suara. Ketika posisi 24-24, masih ada dua suara yang berada di
dalam stoples (total voter 50 suara perwakilan mahasiswa). Mahasiswa HMI yang
mengikuti perhitungan suara itu tetap yakin akan menang kandidatnya karena
secara defacto ada 25 voter yang berafilasi dengan HMI. Lalu kertas berikutnya
dibuka, dan ternyata suara untuk Hariman Siregar: skor menjadi 25-24. Hariman Siregar
berada di atas angin. HMI masih punya harapan dalam proses pemilihan ulang karena
suara terakhir adalah milik HMI sehingga skor 25-25 alias draw.
Sebagaimana lazimnya suara
terakhir yang menentukan selalu diulur-ulur oleh panitia untuk mempermainkan
emosi penonton. Akibatnya suasana di TPS itu semakin tegang. Akhirnya panitia
pemilihan membuka kertas suara, tetapi mau mengatakan apa malah terdiam tak
disadarinya. Dapat diduga bahwa panitia yang membuka dan akan membacakan
langsung itu adalah panitia yang berafiliasi kepada HMI. Tetapi hadirin
mendesak untuk segera dibacakan. Dengan setengah malu dan kecut menyeru:
Ha..riman! Lalu semua forum kaget dan tidak menduga yang menang adalah Hariman
Siregar. Dari sudut supporter Hariman Siregar lalu berteriak: Hidup Hariman,
Hidup Hariman, Hidup Hariman. Dari sudut supporter HMI yang sejak beberapa saat
terdiam, lalu menyadari calon mereka telah dikalahkan dan Hariman Siregar yang
menang.
PB HMI gusar: bukan terhadap
Hariman Siregar. Tetapi, siapa yang membelot dari 25 mahsiswa yang mewakili
(berafilasi) HMI itu? Pertanyaaan ini tidak terjawab sekian lama. PB HMI juga
tidak terlalu memusingkannya lagi, mereka sadar ‘pemilu’ DMUI adalah bagian
dari demokrasi. Hariman Siregar sendiri juga tidak perlu menyelidiki
siapa-siapa yang mendukungnya dan memberikan suara kepada dirinya. Hariman
Siregar ingin segera bekerja. Bekerja untuk menyusun pengurus DMUI yang baru.
Anehnya, Hariman Siregar justru memilih fungsionaris pertama adalah sekjen.
Anehnya lagi, Hariman Siregar justru mengangkat kompetitornya sebagai sekjen.
Dunia kampus terheran-heran. Tapi, orang lupa bahwa Hariman Siregar adalah
orang yang cerdas yang tidak pernah mau memusuhi siapapun selagi yang
bersangkutan masih bangsa Indonesia. Adat dalihan natolu ditunaikan oleh
Hariman Siregar: ‘mendahulukan relasi daripada unsur’, mendahulukan konten
(relasi) daripada siapa yang harus melakukan (unsur). Akbar Tanjung dari kubu
HMI paham betul suprateori dalihan natolu, dan jelas tidak kaget dan tidak
heran mengapa yang dipilih dari HMI dan mengapa Hariman Siregar berpikir
begitu.
Pengangkatan orang HMI sebagai sekjen disambut sukacita oleh semua kalangan HMI seluruh Indonesia. Mungkin Akbar Tanjung dan Lafran Pane hanya tersenyum-senyum saja. Hariman Siregar dalam hal ini tidak hanya merebut kemenangan dengan tanpa peluru, tetapi juga telah merebut hati kalangan HMI. Ini bonus kedua yang diperoleh Hariman Siregar pada posisi portfolionya sebelum memulai tugas baru: perjuangan untuk rakyat.
Pengangkatan orang HMI sebagai sekjen disambut sukacita oleh semua kalangan HMI seluruh Indonesia. Mungkin Akbar Tanjung dan Lafran Pane hanya tersenyum-senyum saja. Hariman Siregar dalam hal ini tidak hanya merebut kemenangan dengan tanpa peluru, tetapi juga telah merebut hati kalangan HMI. Ini bonus kedua yang diperoleh Hariman Siregar pada posisi portfolionya sebelum memulai tugas baru: perjuangan untuk rakyat.
Hariman Siregar telah memberi
contoh bagaimana seharusnya hidup berbangsa. Ayahnya dulu di masa perang dapat mempertahankan
NKRI tidak dengan peluru tetapi dengan amunisi pangan. Lalu dalam
perkembangannya, dan melihat kondisi objektif yang ada (apalagi sekjennya
adalah dari HMI), orang HMI yang dianggap membelot itu buka suara, namanya
Imran Hasibuan (sudah barang tentu asalnya dari Padang Sidempoean). Ketika
ditanyakan kepadanya mengapa membelot (partisan HMI) dan memberikan suara
kepada Hariman Siregar (non-partisan). Imran hanya menjawab enteng: ‘saya adalah HMI
tulen, tetapi saya juga adalah anak Batak’. Mungkin mendengar jawaban Hasibuan
ini, pendiri HMI Lafran Pane dan ketuanya yang kini dijabat Akbar Tanjung hanya tersenyum-senyum saja. Diplomasi Siregar
yang cerdas dibalas dengan diplomasi Hasibuan yang cerdas pula—diplomasi ‘halak
hita’, diplomasi ‘dalihan natolu’ (arti harpiahnya begini: saya dan engkau
adalah teman, jika dia adalah temanku atau jika dia adalah temanmu, maka dia
adalah teman kita untuk memperkuat berdirinya sebuah tungku).
Hariman Siregar menyadari betul bahwa dalam adat 'dalihan natolu' bahwa hidup dan kehidupan itu adalah unsur-unsur yang memiliki relasi dan bersifat komplementer (bukan substitusi). Sebab substitusi itu adalah saling menyingkirkan atau bahkan saling membunuh, sementara komplemen adalah saling memperkuat. Ketika Lafran Pane dulu di masa perang ketika mendirikan HMI di luar kampus (ekstrakurikuler), justru rekan 'dongan sahuta' Ida Nasoetion bersama G. Harahap mendirikan PMUI di dalam kampus (intrakurikuler), Kedua mahasiswa asal Padang Sidempoean itu membangun konsep pemikiran atas dasar saling memperkuat. Adagium saat itu: 'semua adalah kawan, musuh bersama adalah kolonialisme dan imperialisme. Kini Hariman Siregar paham betul bagaimana Lafran Pane dengan HMI dan Ida Nasoetion dengan PMUI membangun organisasi untuk tujuan bersama. Kedua anak Padang Sidempoea itu bersinergi bukan saling melukai. Hariman Siregar mengikuti pola pikir kedua seniornya yang kebetulan 'dongan sahuta' di Padang Sidempoean dengan memadukan kekuatan massa HMI dengan massa non-HMI dalam satu kekuatan mahasiswa bersatu melawan musuh bersama yakni yang menggerogoti negara kala itu: korupsi dan modal asing. Nyata bahwa ramuan Hariman Siregar itu paten rasanya.
***
Hariman Siregar, Ketua Dewan
Mahasiswa Universitas Indonesia selalu dikaitkan dengan peristiwa malapetaka
lima belas januari, 15 Januari 1974. Padahal kenyataannya tidak demikian.
Perjuangan Hariman Siregar dalam hal negeri ini adalah satu hal, tetapi terjadinya
huru-hara dan pembakaran massal di Jakarta (lautan api) adalah satu hal yang lain.
Hariman Siregar adalah anak pejuang, Kalisati Siregar, seorang pejuang di
Padang Sidempoean yang tidak ingin menyengsarakan penduduk. Hariman Siregar
adalah seorang yang cerdas dan juga pemberani. Hariman Siregar tidak sebodoh
itu sebagaimana dituduhkan kepadanya atas terjadinya kerusuhan dan pembakaran
massa di Jakarta 15 Januari 1974. Memang berkorelasi, tetapi tidak signifikan (tidak bisa digeneralisasikan).
Setelah Hariman Siregar terpilih menjadi Ketua DMUI,
eskalasi politik khususnya antara pemerintah dan kalangan mahasiswa semakin
meninggi. Kebijakan pro pemerintah yang menginginkan pertumbuhan ekonomi yang
menguntungkan segelintir penduduk Indonesia, tidak sejalan dengan harapan
masyarakat dan mahasiswa yang menginginkan pemerataan kesejahteraan. Ini semua
dipicu oleh semakin merajalelanya korupsi dan tekanan Negara asing melalui
modal asing. Eropa dengan ketuanya Belanda (via IGGI yang diketuai oleh Pronk)
dan invasi produk-produk Jepang (yang saat itu PM Jepang adalah Tanaka).
Dua isu ini yang membuat rakyat terpuruk. Hariman
Siregar paham betul masalah ini, karenanya pemerintah harus didesak untuk
menyelesaikan sumber masalah. Berbagai pendekatan telah dilakukan Hariman
Siregar melalui DMUI untuk mempercepat mengatasi permasalahan bangsa. Hariman
Siregar menghubungi semua unsur, dalam bahasa sekarang stakeholder.
Keluar: Hariman Siregar menghububungi Jenderal
Soemitro sebagai Pangkopkamtib dan Ali Moertopo sebagai asisten pribadi (aspri)
Presiden Suharto. Bagi sejumlah kalangan mahasiswa cara Hariman Siregar surapa
ini tidak lazim dan dianggap merendahkan mahasiswa. Apalagi Hariman Siregar
menjalin hubungan baik dengan Ali Moertopo.
Kedalam: Hariman Siregar melakukan konsolidasi
mahasiswa di dalam kampus. Hariman blusukan ke kampus-kampus dan berhasil
menjalin hubungan baik dan melakukan MOU dengan sepuluh kampus.
Hariman Siregar memimpin perwakilan sepuluh kampus
untuk bertemu dan menanyakan langsung kepada Suharto tentang permasalahan
Negara ini. Sejarah berulang bagaimana Willem Iskander dulu memimpin rombongan
guru-guru untuk studi ke Eropa. Pertemuan ini deadlock karena mahasiswa yang
dibawanya ternyata berdialog tidak taktis malah membuat Suharto agak kesal.
Diskusi-diskusi di kalangan mahasiswa semakin
intens. Intelijen yang selama ini memonitor di lapangan memberi laporan yang
membuat petinggi ABRI Jendral Soemitro dan Ali Moertopo menjadi sangat gelisah.
Ali Moertopo coba mengendalikan mahasiswa melalui Hariman Siregar yang
dianggapnya sebagai teman. Akan tetapi Ali Moertopo ‘kecele’, Hariman Siregar
terus maju dengan apa yang dipikirkannya. Akbar Tanjung pernah mengatakan bahwa
‘Hariman adalah orang yang tidak bisa dikendalikan’. Hariman Siregar adalah
orang yang independent.
Di internal DMUI sempat muncul mosi tidak percaya
kepada Ketua DMUI, Hariman Siregar. Pada tanggal 28 Desember 1973 satu kelompok
fungsionaris DMUI mengatakan bahwa Hariman Siregar dalam beberapa bulan
terakhir tidak menjalankan agenda kegiatan atas nama DMUI. Menanggapi hal ini
Hariman Siregar beserta petinggi DMUI lainnya mengambil tindakan cepat dan
tegas. Sehari setelah mosi tidak percaya
tersebut disampaikan, kelompok fungsionaris tersebut dicopot dari keanggotaannya
dari DMUI. Mungkin dalam hal ini Hariman Siregar menggertak: ‘lo mau apa, gue
ini anak Batak’. Dalam bahasa sekarang dapat diterjemahkan: ‘Saya tidak memandang
kalian itu siapa, saya berjuang untuk kepentingan rakyat. Mau ikut atau kagak. Titik’.
Respon yang lamban dari pemerintah disentil Hariman
Siregar dalam pidatonya di Universitas Indonesia pada malam pergantian tahun
baru 1973-1974. Statemennya jelas, antara lain:
“Tidak ada hasil yang diperoleh tanpa kerja keras,
tanpa perjuangan, dan tanpa keberanian. Karena, kalau kita tidak mau dikekang,
dianca, baik oleh kekuasaan maupun cecunguk-cecunguknya, maka kita mahasiswa
harus berani bersikap dan bergerak untuk mewujudkan
pendapat-pendapat yang diperoleh. Ingat, pada akhirnya yang menentukan bukanlah
analisis yng bagus-bagus yang ilmiah, tetapi tindak nyata yang mengubah
keadaan.
Kepada tukang becak, mari abang-abang, kita bergerak
bersama untuk membuka kesempatan kerja. Kepada para penganggur yang puluhan
juta, yang berada di desa-desa dan kota-kota untuk bergerak untuk kesejahteraan
sosial; kepada warga Negara Indonesia yang bekerja untuk perusahaan asing, mari
kita bergerak untuk menuntut persamaan hak dengan karyawan-karyawan asing, mari
kita bergerak untuk menuntut persamaan hak dengan karyawan-karyawan asing. Dan
akhirnya, kepada para koruptor penjual bangsa, pencatut-pencatut sumber alam
Indonesia yang mengejar-ngejar komisi sepuluh persen, kami serukan
bersiap-siaplah menghadapi gerakan kami yang akan datang.”
Eskalasi politik terus semakin meninggi tatkala ada rencana
kedatangan Perdana Menteri (PM) Jepang yang akan berkunjung ke Indonesia 15-17
Januari 1974 dan menambah kebencian terhadap asing. Hariman Siregar mencoba
untuk jalan dialog dan bertemu langsung dengan PM Tanaka. Namun Hariman Siregar
ditekan teman-temannya dari seluruh Indonesia agar menghindari dialog dan
langsung turun ke jalan. Hariman Siregar tidak berdaya lalu ikut menyetujui. Inilah kesetiaan Hariman Siregar terhadap kawan, selagi perjuangan masih berada di dalam relnya.
Pada tanggal 15 Januari 1974 mahasiswa yang dimotori
DMUI coba melakukan protes dengan turun ke jalan menuju bandara Halim tempat
kedatangan PM Jepang, tetapi itu tidak mudah karena sudah dihalangi oleh berikade
tentara. Lalu demonstrasi dialihkan menuju Grogol dengan longmarch dan
melakukan orasi di kampus Trisakti.
Pada hari yang sama, tidak disangka, ada pihak
ketiga yang mengacaukan Jakarta dengan memicu penjarahan, pembakaran
gedung-gedung, toko-toko dan mobil-mobil produk Jepang. Mendengar kejadian ini,
atas perintah Hariman Siregar, mahasiswa langsung balik ke kampus UI Salemba
dan di dalam terus memantau apa yang tengah terjadi. Hariman Siregar di dalam
kampus sesungguhnya tidak panik. Hariman Siregar meminta mahasiswa bertahan di
dalam kampus dan Hariman Siregar sendiri bergegas menuju Kantor TVRI untuk
melakukan siaran yang berisi seruan penghentian demonstrasi dan menyerukan agar mahasiswa tidak terlibat dalam kerusuhan yang tengah terjadi.
Esok harinya, opini berkembang dan semua menyudutkan
Hariman Siregar. Meski demikian, Hariman Siregar tidak gentar. Secara publik
kecaman itu diterimanya, tetapi di dalam hati dia tetap tenang karena merasa
tidak bersalah. Karena mahasiswa tidak menginginkan kerusuhan tetapi
mengkritisi pemerintah agar melakukan koreksi. Hariman Siregar paham. Ibarat
lempar batu ke utara, tetapi kali ini jatuhnya di selatan.
Lalu Petinggi ABRI dalam hal ini Jenderal Soemitro
memerintahkan Sudomo sebagai wakilnya untuk menangkap Hariman Siregar sebagai
yang pertama. Sewaktu ditahan Hariman Siregar sudah lulus doctorandus medicus
(dr.med). Hariman Siregar tidak melawan, malah tidak melarikan diri ketika mau ditangkap.
Hariman Siregar dibawa ke rumah tahanan militer Budi Utomo, Jakarta Pusat. Hariman Siregar menunggu proses hukum yang
dituduhkan kepadanya. Biar pengadilan yang menjelaskan. Hariman Siregar
‘diadili’ dan kemudian lalu divonnis enam tahun pada
tanggal 21 Desember 1974. Hariman Siregar lalu ditahan di penjara Nirbaya,
Podok Gede Jakarta.
Hariman Siregar tidak berusaha beretorika. Hariman Siregar
mengikuti semua prosedur peradilan yang dimainkan saat itu. Hariman Siregar dalam hati mengabaikan semua tuduhan dan berusaha berkelakuan baik meski sudah
berada di penjara. Hariman Siregar mengambil risiko itu, sebagaimana
Parlindungan Lubis dulu telah mengambil risiko itu. Hariman Siregar tidak ingin
menambah kegaduhan. [Anak-anak Padang Sidempoean lainnya yang ditangkap diantaranya Adnan Buyung Nasoetion dan Mochtar Lubis]. Melakukan pembelaan diri saat itu tidak tepat.
Hariman Siregar hanya berusaha untuk tetap kuat dan
tegar ketika kesedihan selalu mengusiknya: ada korban jiwa dan materi. Hariman
Siregar hanya sangat bersedih karena rakyat juga yang menderita. Kerusuhan yang
berlangsung selama dua hari itu tercatat sebelas orang meninggal. Kesedihan Hariman
Siregar terus bertambah. Hariman Siregar hanya bersedih pada penderitaan rakyat dan terhadap orang-orang yang sangat dicintainya. Istrinya yang masih bestatus mahasiswa FPsUI itu mengandung
untuk kali kedua. Akibat keadaan, istri Hariman Siregar menjadi stress dan anak kembar mereka yang lahir meninggal. Bapak mertua
juga ikut ditangkap yang juga tengah berada di dalam tahanan.
Kesedihan ternyata masih berlanjut. Beberapa waktu kemudian, ayahnya, Kalisati Siregar (pejuang Padang Sidempoean) dikabarkan telah meninggal dunia. Kalisati Siregar, pejuang Padang Sidempoean masih sempat melihat anaknya, 'sang petarung' Hariman Siregar berjuang habis-habisan demi rakyat banyak. Ayahnya tersenyum (like son, like father) dan lalu menutup mata untuk selamanya. Kalisati Siregar meninggal dengan tenang. Selamat jalan, Pak Komandan!. Hormat kami dari anak-anak Padang Sidempoean. Perjuanganmu menjadi inspirasi kami. Semoga diterima di sisiNya. Amin.
Kini, hanya tinggal ibu (boru Hutagalung) yang kerap bolak-balik datang ke penjara. Ketika semua itu datang bersamaan, Hariman Siregar berupaya mengelola kesedihannya agar tidak sampai merusak dan membunuh dirinya. Hariman Siregar berusaha tetap kuat dan tegar meski muncul ‘cobaan’ yang begitu berat. Hariman Siregar menganggap perjuangan yang dicita-citakan masih lama dan butuh waktu dan tenaga.
Kesedihan ternyata masih berlanjut. Beberapa waktu kemudian, ayahnya, Kalisati Siregar (pejuang Padang Sidempoean) dikabarkan telah meninggal dunia. Kalisati Siregar, pejuang Padang Sidempoean masih sempat melihat anaknya, 'sang petarung' Hariman Siregar berjuang habis-habisan demi rakyat banyak. Ayahnya tersenyum (like son, like father) dan lalu menutup mata untuk selamanya. Kalisati Siregar meninggal dengan tenang. Selamat jalan, Pak Komandan!. Hormat kami dari anak-anak Padang Sidempoean. Perjuanganmu menjadi inspirasi kami. Semoga diterima di sisiNya. Amin.
Kini, hanya tinggal ibu (boru Hutagalung) yang kerap bolak-balik datang ke penjara. Ketika semua itu datang bersamaan, Hariman Siregar berupaya mengelola kesedihannya agar tidak sampai merusak dan membunuh dirinya. Hariman Siregar berusaha tetap kuat dan tegar meski muncul ‘cobaan’ yang begitu berat. Hariman Siregar menganggap perjuangan yang dicita-citakan masih lama dan butuh waktu dan tenaga.
***
Pemerintah dan ABRI mengoreksi keputusannya. Vonnis
Hariman Siregar yang ditetapkan pada awalnya enam setengah tahun hanya dijalani
dua tahun tujuh bulan. Pejuang sejati tetaplah berjuang. Selepas keluar dari
tahanan, mahasiswa tetap menganggap Hariman Siregar sebagai figure kuat dan
ideal. Hariman Siregar diminta mendukung. Hariman Siregar tidak keberatan.
Hariman Siregar ikut mendukung gerakan mahasiswa 1978 yang menolak Soeharto
sebagai presiden kembali. Dalam perkembangannya, nama Hariman Siregar terrehabilisasi.
Jenderal Sumitro dalam biografinya meyakini Hariman Siregar tidak terlibat.
Sumitro balik menuduh kelompok jaringan intel lepas Opsus (Operasi Khusus) di
bawah komando Ali Moertopo seharusnya yang paling bertanggung jawab atas
peristiwa malapetaka lima belas januari itu. Jangan lupa, yang memerintahkan
untuk menangkap Hariman Siregar adalah Sumitro sendiri. Anehnya, dugaan siapa
yang berada di balik kerusuhan itu adalah sebagian dari kelompok mosi tak
percaya di DMUI itu yang kemudian dikenal sebagai ‘Kelompok Sepuluh’ yang
dikaitkan dengan peran Ali Moertopo. Hariman Siregar tahu siapa yang harus dipecat yaitu orang-orang yang ingin menodai perjuangan. Hariman Siregar telah menunaikan itu selagi menjadi ketua DMUI.
Hariman Siregar telah
mengisi organisasi mahasiswa yang telah dibentuk dan didirikan oleh
pendahulunya: Sutan Casajangan (PPI), Lafran Pane (HMI) dan Ida Nasoetion
(PMUI) dengan pahit dan manis. Hariman Siregar dipandang sebagai tokoh yang unik
dan berpolitik tanpa ambisi kekuasaan. Akan tetapi bagi anak-anak Padang
Sidempoean hal serupa itu dianggap lumrah. Prinsip dalihan natolu dalam tradisi
anak-anak Padang Sidempoean selalu hadir dimanapun berada. Organisasi adalah
bentuk modern dari system social dalihan natolu. Unsur dalam organisasi
mahasiswa adalah sangat penting tetapi yang lebih penting adalah relasinya. Tidak
akan kuat sebuah organisasi mahasiswa jika hanya terdiri dari unsur-unsur yang
tidak berkaitan satu sama lain (relasi). Hariman Siregar melihat mahasiswa
adalah kekuatan dan kekuatan itu powerfull jika satu sama lain disatukan.
Afdeeling Padang Sidempoean menjadi Kabupaten Tapanuli Selatan, 1956 |
***
Hariman
Siregar adalah Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia (DMUI) yang
memprakarsai ‘perang’ terhadap korupsi dan modal asing. Hariman Siregar berhasil
menggabungkan semua kekuatan mahasiswa Indonesia dalam satu barisan yang sangat
solid. Hariman Siregar ‘anak pejuang perang’ berhasil memadukan organisasi luar
kampus (interkampus) yang utama, yakni HMI yang dipimpin Akbar Tanjung dengan
organisasi dalam kampus (intrakampus). Hariman Siregar aktivis dalam kampus dan non-partisan
mampu merebut hati semua mahasiswa baik yang partisan (utamanya yang berafiliasi dengan HMI) maupun
yang non-partisan. Inilah sejarah kekuatan mahasiswa yang pernah digalang di negeri
ini ketika intelijen dan tentara (ABRI) terus memata-matai gerakan mahasiswa.
Sejarah turun kepada anak (like son., like father), ayah Hariman Siregar di masa perang berhasil merebut
hati penduduk untuk secara bersama-sama dengan laskar melawan musuh bersama:
menolak agresi Belanda.
'Tarombo' Pemimpin Mahasiswa Indonesia asal Padang Sidempoean |
Kombinasi
organisasi dalam kampus dengan organisasi luar kampus ini ternyata di masa
perang telah dilakukan secara bersama antara Lafran Pane, pendiri HMI organisasi
luar kampus dengan Ida Nasoetion, pendiri PMUI (Persatuan Mahasiswa Universitas
Indonesia), organisasi dalam kampus (yang menjadi cikal bakal DMUI). Kedua anak
Padang Sidempoean ini sadar betul bahwa dengan menyatukan mahasiswa akan
menjadi kekuatan yang maha besar. Hanya dengan kekuatan suatu misi perjuangan dapat
diraih yakni: kedaulatan NKRI. Lafran Pane dan Ida Nasoetion mendirikan
perhimpunan mahasiswa ketika intelijen dan tentara Belanda memata-matai mereka.
Kita berduka ketika Ida Nasoetion gencar-gencarnya menyuarakan kata-kata
merdeka dalam esainya, Ida Nasoetion harus diculik dan diduga dibunuh oleh
intelijen dan tentara Belanda. Ida Nasoetion telah mengambil risiko itu. Yang disayangkan, bahwa hingga kini, Ida Nasution tidak pernah diketahui
dimana makamnya.
Perlawanan
mahasiswa setiap jaman menghadapi musuhnya dengan cara yang berbeda-beda.
Demikian juga sebelum ada HMI dan PMUI/DMUI, mahasiswa yang dimotori oleh
mahasiswa di Negeri Belanda juga melakukan perjuangan. PPI Belanda dibawah
kepemimpinan Parlindungan Lubis menyuarakan anti fasis. Terbukti tidak lama
dengan kemenagan fasis, Belanda yang telah berkoloni cukup lama di Indonesia diambilalih oleh tentara Jepang yang berporos fasis untuk menguasai
bumi Indonesia. Ibarat lepas dari mulut harimau namun jatuh ke dalam mulut buaya.
Ketika Jepang menduduki Indonesia, Parlindungan Lubis ditangkap oleh intelijen
dan tentara Jerman dan dimasukkan ke kamp konsentrasi NAZI.
Demikian juga, jauh ke belakang, ketika guru Sutan Casajangan Harahap merasa perlu untuk menyatukan mahasiswa di negeri Belanda agar lebih mudah menyuarakan perlunya peningkatan pendidikan, pertanian dan perdagangan di kalangan rakyat pribumi. Pemikiran Sutan Casajangan dituangkannya dalam sebuah buku yang diterbitkan di Belanda (1913) yang isinya mengkritik strategi kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang selalu mengabaikan rakyat pribumi dan di dalam buku itu diusulkan bagaimana pendidikan, pertanian dan perdagangan rakyat dikembangkan. Guru juga tahu bagaimana harus berjuang, yakni dengan buku--yang konon buku yang ditulis Sutan Casajangan adalah buku pertama yang ditulis dalam bahasa asing oleh seorang pribumi yang diterbitkan di luar negeri.
Demikian juga, jauh ke belakang, ketika guru Sutan Casajangan Harahap merasa perlu untuk menyatukan mahasiswa di negeri Belanda agar lebih mudah menyuarakan perlunya peningkatan pendidikan, pertanian dan perdagangan di kalangan rakyat pribumi. Pemikiran Sutan Casajangan dituangkannya dalam sebuah buku yang diterbitkan di Belanda (1913) yang isinya mengkritik strategi kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang selalu mengabaikan rakyat pribumi dan di dalam buku itu diusulkan bagaimana pendidikan, pertanian dan perdagangan rakyat dikembangkan. Guru juga tahu bagaimana harus berjuang, yakni dengan buku--yang konon buku yang ditulis Sutan Casajangan adalah buku pertama yang ditulis dalam bahasa asing oleh seorang pribumi yang diterbitkan di luar negeri.
***
Hariman
Siregar kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Fakultas ini
merupakan rangkaian perkembangan pendidikan kedokteran di Indonesia dari era kolonial
Belanda yang dimulai tahun 1851 yang kemudian disebut Docter Djawa School, dan
berubah nama tahun 1902 menjadi STOVIA lalu tahun 1927 berubah menjadi Geneeskundige
Hoogeschool yang kemudian menjadi salah satu faculteit di Universiteit van
Indonesia (setelah pasca kedaulatan RI menjadi Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia). Hariman Siregar adalah generasi yang kesekian, anak-anak yang
berasal dari afd. Padang Sidempuan (sebelumnya bernama afd. Mandheling en Angkola).
Generasi
pertama adalah Si Asta dan Si Angan yang masuk docter djawa school pada tahun
1854. Sekolah kedokteran ini dibuka tahun 1851, dan saat masuk kedua anak
Padang Sidempuan belum ada siswa yang lulus. Ini artinya Si Asta dan Si Angan atau
anak-anak Padang Sidempuan adalah termasuk generasi pertama di sekolah
kedokteran. Dua tahun berikutnya (1856) menyusul dua siswa lagi, Si Doepang dan
Si Dorie. Demikian, seterusnya secara periodik dua anak Padang Sidempuan
direkrut studi di Docter Djawa School karena sejumlah criteria: lebih cerdas
(pendidikan dasar yang lebih baik), lebih mampu (karena dukungan financial orang
tua), lebih berani dan mandiri (saat itu belum ada komunikasi), lebih tekun,
lebih tabah dan lebih sehat, serta bersedia ditempatkan dimanapun (tidak
cengeng dan memiliki rasa pengabdian di bidang kesehatan).
Anak-anak
Padang Sidempuan ini ada yang sekelas dengan Dr. Wahidin, Dr. Tjipto, Dr.
Soetomo dan dokter-dokter lainnya yang cukup dikenal di Jawa pada waktu itu. Alumni
sekolah kedokteran asal Padang Sidempuan itu puluhan banyaknya, sementara
kebutuhan dokter di afd. Padang Sidempuan hanya satu orang (sesuai kebijakan
pemerintahan kolonial kala itu). Mereka itu ditempatkan di berbagai tempat, ada
yang di Batavia, Buitenzorg, Semarang, Soerabaja, kota-kota di Kalimantan,
Sulawesi, Nusa Tenggara, Papua, dan tentu saja kota-kota di Sumatra (termasuk
di Sumatra’s Westkust dan Sumatra’s Ooskust.
Bataviaasch nieuwsblad, 20-01-1931 |
Dr.
Muhamad Daulaj (lulus tahun 1905), setelah bertugas di Jawa Timur lima tahun
dipindahkan ke Medan untuk memberantas penyakit lepra. Pada tahun 1912, Dr.
Muhamad Daulaj membuka rumah sakit lepra (rumah sakit swasta) di Pulau
Sitjanang. Dr. Abdul Hakim (lulus 1903), setelah berdinas di Sumatra Barat selama
10 tahun dipidahkan ke Tanjung Poera lalu membantu Dr. Muhamad Daulaj untuk
mengembangkan rumah sakit lepra.
Dua anak Padang Sidempuan sekelas dengan Tjipto di STOVIA |
Adik-adik
kelas Radjamin Nasution di STOVIA antara lain yang cukup terkenal adalah Abdoel
Moenir Nasution (pendiri Sumatra Bond di Batavia Desember 1917, abang dari SM. Amin, Gubernur Sumatra Utara
yang pertama). Sumatra Bond pada
dasarnya, pertamakali didirikan oleh Dr. Sorip Tagor (kakek Inez Tagor)
di Belanda Januari 1917.
Sorip Tagor
Harahap berangkat studi ke Belanda untuk meneruskan bidang keahlian (spesialis)
pada tahun 1916. Baru setahun megikuti kuliah, Sorip Tagor, kelahiran Padang
Sidempuan ini menyadari bahwa ada hal-hal yang tidak berjalan semestinya. Di
satu sisi, sepeninggal Sutan Casajangan (pulang ke tanah air 1914), perhimpunan
nasional Indonesia (Indisch Vereeniging) makin melorot daya juangnya, sedangkan
di sisi lain organisasi Boedi Oetomo (yang bersifat kedaerahan) semakin menguat.
Satu hal lain lagi yang dilihat Sorip Tagor adalah pembangungan antara Jawa dan
luar Jawa semakin timpang. Atas dasar keinginan untuk mempercepat pembangunan
di luar Jawa (khususnya di Sumatra), Sorip Tagor mempelopori didirikannya organisasi
anak-anak Sumatra (Jong Sumatra) yang diberi nama Sumatra Sepakat yang secara
resmi di’proklamirkan’ pada tangga 1 Januari 1917. Dewan terdiri dari Sorip
Tagor (sebagai ketua); Dahlan Abdoellah, sebagai sekretaris dan Soetan Goenoeng
Moelia sebagai bendahara. (Salah satu) anggota (benama) Ibrahim Datoek Tan
Malaka (yang kuliah di kampus Soetan Casajangan). Pendirian Sumatra Sepakat ini
mendapat respon dari mahasiswa-mahasiswa asal Sumatra di STOVIA dengan diberi
nama Sumatra Bond yang secara resmi di’proklmairkan’ pada tanggal 8 Desember
1917. Susunan pengurus Jong Sumatranen di Batavia ini adalah Tengkoe Mansoer
sebagai ketua, Abdoel Moenir Nasoetion sebagai wakil ketua, Amir dan Anas
sebagai sekretaris serta Marzoeki sebagai bendahara. Catatan: Adik Abdoel
Moenir di STOVIA adalah Abdoel Moerad. Satu lagi adiknya di Recht School, SM
Amin Nasoetion, seangkatan dengan Amir Sharifoedin (SM Amin kelak menjadi
Gubernur Sumatra Utara yang pertama, Amir Sjarifoedin menjadi Perdana Menteri)
Dr. Abdoel Rasjid Siregar pendiri Jong Batak tahun 1919. Dr. Rasjid adalah adik dari Mangaradja Soangkoepon (alumni Belanda yang pada tahun 1924 menjadi anggota Volksraad pertama dari dapil Sumatra Timur, (empat periode berturut-turut). Dr. Rasjid Siregar menjadi anggota Volksraad tahun 1932 mewakili dapil Tapanoeli (dua periode) dimana sebelumnya diwakili oleh Dr. Alimoesa Harahap (yang saat itu menjadi kepala kesehatan di Pematang Siantar).
Abdoel Rasjid
selama kuliah di STOVIA juga melihat adanya sedikit distorsi di Sumatra Bond.
Lalu Abdoel Rasjid mempelopori didirikannya Bataksch Bond (mirip ide Sorip
Tagor), tetapi Abdoel Rasjid tetap berafiliasi dengan Sumatra Bond (mungkin
untuk menghormati seniornya Sorip Tagor). Alasan lain didirikannya Bataksch
Bond oleh Rasjid agar lebih optimal mengakomodir anak-anak Batak lainnya karena
ditengarai ada sedikit resistensi dari beberapa anggota Sumatra Bond (Islam) terhadap
anak-anak Batak lainnya (yang beragama Kristen). Prinsip dalihan natolu menjadi
sumber pengikat lagi.
Dr. Aminoedin Pohan, setelah bertugas di Jawa Tengah, melanjutkan studi dokter spesialis Ke Belanda dan ketika pulang tahun 1932 diangkat menjadi direktur rumah sakit Padang Sidempuan yang baru dibuka (mengalahkan calon seorang dokter Belanda). Dr. Paroehoeman, setelah bertugas di Malang dan sekitarnya lima tahun melanjutkan studi (spesialis) ke Belanda. Anak-anak Padang Sidempuan yang juga melanjutkan studi spesialias ke Belanda diantaranya Dr. Diapari Siregar, Dr. Daliloedin Loebis dan Dr. Djabangoen Harahap.
Ketika Dr. Aminoedin Pohan pulang kampong, Parada Harahap (yang bukan dokter) justru berangkat ke luar negeri untuk memimpin tujuh orang pertama orang Indonesia ke Jepang (1932). Riwayat Parada Harahap sangatlah langka: hanya lulus sekolah dasar alias SD (karena keadaan financial orangtua yang tidak mendukung ke sekolah tinggi), tetapi otaknya sangat encer. Ketika lulus SD tahun 1915, Parada Harahap merantau ke Medan, bekerja di perkebunan perusahaan asing sebagai krani. Tapi anak pejuang dari Padang Sidempuan ini tidak tahan melihat penderitaan para koeli perkebunan yang tersiksa (akibat penerapan poenale sanctie). Parada Harahap mulai belajar otodidak di tempat kostnya diluar jam kerja: belajar bahasa Belanda dan mulai menulis dalam bahasa Indonesia. Lalu tulisan-tulisannya tentang kekejaman di perkebunan terhadap para koeli dikirimkannya ke surat kabar Benih Mardika di Medan. Namun tindakan Parada Harahap diketahui oleh manajemen lalu dipecat dari pekerjaannya (1917). Parada Harahap hijrah ke Medan melamar menjadi wartawan, tetapi malah jabatan editor yang ditawarkan kepadanya. Dalam tahun 1918 Parada Harahap mulai memainkan penanya dengan lebih tajam. Oleh karena korannya dibreidel karena kasus lain (bukan disebabkan perihal jurnalistik),
Parada Harahap pulang kampong dan mendirikan surat kabar Sinar Merdeka di Padang Sidempuan tahun 1919. Di kota kelahirannya ini juga Parada Harahap kerap dimejahijaukan sebagaimana pernah dialami di Medan. Belasan kali masuk penjara di Padang Sidempuan karena kasus delik pers. Pada tahun 1922 Parada Harahap mendirikan cabang Bataksch Bond di Sibolga bersama Manullang. Pada tahun 1923 Parada Harahap hijrah ke Batavia dan bergabung dengan Bataksch Bond yang (tetap) berafiliasi dengan Sumatranen Bond. Parada Harahap langsung mendirikan surat kabar Bintang Hindia bersama Dr. Abdoel Rivai (alumni docter djawa school, teman Soetan Casajangan di Belanda). Koran mereka laris manis. Parada Harahap juga mendirikan kantor berita Alpena (kantor berita pertama pribumi) dimana editornya sekaligus wartawannya WR Supratman. Karir Parada Harahap terus meroket, tidak hanya ketua Bataksch Bond tetapi juga menjadi sekretaris Sumatranen Bond. Usaha medianya juga maju pesat, setelah Bintang Hindia, Parada Harahap mendirikan koran Bintang Timur (maju pesat memiliki tiras dan oplag tertinggi di Batavia). Tidak hanya itu, Parada Harahap juga menulis buku, mendirikan organisasi wartawan, menerbitkan surat kabar berbahasa Belanda (total jumlah medianya sebanyak tujuh buah), juga memiliki manufaktur di Batavia dan plantation di Jawa Tengah. Dengan portofolio setinggi itu, Parada Harahap mulai menggagas perlunya semua oraganisasi-organisasi kemasyarakat bersatu. Lalu Parada Harahap menghubungi semua pihak dan mengumpulkan pimpinan organisasi di Jalan Kenari. Trbentuklah organisasi Permofakatan Persatoen Perhimpunan Kemasyarakat Indonesia (PPPKI) tahun 1927 dimana Parada Harahap sebagai sekretaris dan didaulat M. Husni Tamrin sebagai tokoh menjadi ketua. Yang hadir dalam pembentukan itu adalah pimpinan dari Boedi Oetomo, Jong Ambon, Pasundan, Kaum Betawi, Sumatra Bond, perwakilan Sulawesi Utara dan sebagainya. Parada Harahap sendiri waktu itu masih berumur 30 tahun (terbilang masih muda), tetapi sangat heroik, sangat kaya dan tentu sangat cerdas, tentu saja sangat diterima oleh samua pihak. Di kantornya di Jalan Kenari beberapa tokoh pergerakan fotonya dipajang oleh Parada Harahap, termasuk tiga tokoh pemuda yang masih belia: Soekarno, Hatta dan Amir Sjarifoedin. Ketika foto-foto ketiga anak muda ini pernah diturunkan oleh orang tidak dikenal (mungkin spionase), Parada Harahap sempat menangis sebagaimana ditulisnya di surat pembaca. Beberapa waktu sebelumnya Parada Harahap pernah menulis di editorial Bintang Timur agar turun ke jalan dan keluar dari lingkungan kampus. Lalu dijawab Soekarno beberapa waktu kemudian di surat pembaca: ‘…saya tengah mempelajari teorinya…, tunggu tindakan saya Bang…’ Parada Harahap yang menjadi sekretaris PPPKI secara intens menjadi mentor para anak muda dan secara lahir (termasik material) dan batin (termasuk pemikiran) memfasilitasi untuk diadakannya Kongres Pemuda 1928. Ketua panitia kongres adalah Soegondo dan bendahara Amir Sjarifoedin (keduanya anak Medan, sama-sama kelahiran Medan). Jangan lupa, Parada Harahap adalah pendiri dan presiden persatuan pengusaha pribumi (semacam Kadin pada masa ini). Tiba waktunya, pada tahun 1933 Parada Harahap dimanfaatkan oleh agen Jepang (kala itu muncul istilah saudara tua).
Surat kabar militan di Indonesia hanya ada di Padang Sidempuan (1919)
Parada Harahap diminta Jepang untuk melawat ke Jepang dan memimpin rombongan orang Indonesia. Terdapat tujuh orang terpilih Indonesia yang mewakili bidang: Parada Harahap (pemimpin politik), Abdullah Loebis (pemilik dan editor Pewarta Deli), seorang guru dari Jawa Barat, seorang pengusaha dari Jawa Tengah, …, dan seorang sarjana ekonomi yang baru lulus dari Belanda, namanya M. Hatta Rombongan pada akhir tahun 1933 berangkat dari Surabaya dengan kapal Jepang menuju Makasar, Manila dan lalu tiba di Jepang. Peristiwa ini membuat heboh pers Belanda, baik di Batavia maupun di Amsterdam. Di Jepang, Parada Harahap dan kawan-kawan disambut bagaikan pimpinan sebuah Negara berdaulat. Pers Jepang menjuluki Parada Harahap sebagai The King of Java Press. Setelah pulang ke tanah air, Parada Harahap yang sudah sejak dari Padang Sidempoean dimata-matai, lalu ditangkap dan dimejahijaukan. Untuk yang kesekian kalinya, total Parada Harahap dimejahijaukan sebanyak 101 kali dan belasan kali harus dibui (untuk lengkapnya lihat artikel tentang Parada Harahap di dalam blog ini). Singkat kata: Parada Harahap boleh dibilang adalah mentor tiga para the founding father Republik Indonesia: Ir. Soekarno, Drs. Ec. M. Hatta dan Mr. Amir Sjarifoedin Harahap (mewakili tiga bidang keahlian yang akan lebih dibutuhkan nanti: teknik, ekonomi dan hukum). Terbukti bahwa ketiga orang yang dulunya masih muda, jelang kemerdekaan RI sudah matang. Merdeka! Last but not least: yang menjadi juri pemilihan lomba lagu Indonesia Raya adalah Parada Harahap yang mana pemenangnya adalah WR Supratman (editornya dan pernah tinggal di rumah Parada Harahap). Jangan juga lupa, setiap ketiga tokoh revolusioner tadi bermasalah dengan militer Jepang dan saat-saat persoalan menjadi kritis, Parada Harahap yang selalu mendinginkan situasi (meski Parada Harahap sudah dibatasi langkahnya oleh militer Jepang, Parada Harahap masih memiliki taktik dan tentu saja masih berpengaruh dihadapan para tokoh-tokoh sipil Jepang). Pada waktu pembentukan BPUPK, Parada Harahap termasuk di dalamnya.
De Indische courant, 29-12-1933
Tokoh muda, penerus tiga founding father di bawah bimbingan Parada Harahap adalah Adam Malik Batubara (pendiri kantor berita Antara), Mochtar Lubis (pendiri surat kabar Indonesia Raya) dan Sakti Alamsyah Siregar (pendiri surat kabar Pikiran Rakyat Bandung). Kebetulan atau sengaja ketiga orang ini pernah sama-sama bekerja di radio militer Jepang. Koran Indonesia Raya (Mochtar Lubis) dan Pikiran Rakyat (Sakti Alamsyah) memiliki motto yang sama: ‘Dari Rakyat, Oleh Rakyat, Untuk Rakyat). Setelah pasca kedaulatan RI, pada tahun 1956 orang Indonesia pertama yang diundang ke Jepang adalah Mochtar Lubis dan Adinegoro. Kisah kembali berulang: dari abang (Parada Harahap) turun ke anggi (Mochtar Lubis) dan dari uda (M. Hatta) turun ke adik (Adinegoro). Hubungan Parada Harahap dan Adinegoro sangat dekat. Ketika Adinegoro pulang studi jurnalistik dari Eropa, Parada Harahap meminta Adinegoro menjadi editornya di surat kabar Bintang Timur, karena Parada Harahap sudah sangat sibuk dalam urusan politik. Namun baru setahun, datang Abdullah Lubis dari Medan meminta kepada Parada Harahap agar Adinegoro menjadi editor Pewarta Deli (karena dirinya juga sibuk politik di Medan). Parada Harahap menyetujui dan Adinegoro berkarir di Medan. Parada Harahap tidak sulit menemukan editor lain di Batavia. Kebetulan adiknya, Panangian Harahap bersedia mengisi kekosongan itu, seorang mantan guru yang menjadi penilik sekolah di Bandung. Mochtar Lubis dan Adinegor sama-sama pendiri SPS dan PWI, Mochtar Lubis ketua SPS (pertama) dan Adinegoro ketua PWI (pertama). Kembali ke masa lampau: Parada Haraap adalah pendiri persatuan wartawan di Medan (organisasi wartawan pertama pribumi di era Belanda 1918) dan di Batavia, Parada Harahap adalah ketua sarikat perusahaan surat kabar pertama di era Belanda (1826). Pada tahun 1954 Soekarno meminta Bang Parada untuk menyusun buku repelita. Buku Repelita ini disusun selama setahun termasuk studi banding ke 14 negara di Eropa. Buku repelita ini adalah buku repelita Indonesia pertama. Pada seputar tahun-tahun ini Soekarno berseteru dengan Mochtar Lubis. Untuk urusan keributan ini (Mochtar Lubis vs Soekarno) Parada Harahap abstein, tidak intervensi dan tidak melakukan apa, mungkin karena keduanya adalah adik-adiknya yang pernah dibimbingnya. Inilah kearifan Parada Harahap, musuhnya hanya satu: Belanda. Demikianlah fakta yang sebenarnya. Segala sesuatunya tidak datang ujuk-ujuk (secara random), boleh jadi by design (secara systematic) oleh sang kreator: Parada Harahap. Sekali lagi: Merdeka! .
Dr.
Daliloedin adalah abang dari Parlindoengan Loebis. Sementara Parlindoengan
Loebis bukan alumni STOVIA, tetapi setelah tahun pertama di STOVIA karena
dianggap berprestasi direkomendasikan langsung studi kedokteran ke Belanda. Hal
serupa ini juga yang dialami oleh seniornya Ida Loemongga, langsung ke Belanda.
Dr. Djabangoen Harahap setelah bertugas di Jawa Timur dipindahkan ke Padang
Sidempuan dan kemudian menggantikan Dr. Paneth di Kabanjahe untuk memimpin
sanatorium (rumah sakit TBC). Pada tahun 1931 dipindah ke Medan menjadi kepala
biro epidemic TBC di rumah sakit kota Medan menyusul temannya Dr. Pirngadi
(anak Banten). Rumah sakit itu kelak menjadi RS Pirngadi Medan. Dr. Djabangoen
selama agresi militer Belanda menjadi Ketua Front Medan (di Surabaya, Ketua
Front adalah Doel Arinowo, seteru Dr. Radjamin Nasoetion). Tambahan: Dr. Amir Hoesin
Lubis alumni STOVIA adalah menantu Radjamin Nasution.
Selama
agresi militer Belanda di Sumatra Utara (Sumatra Timur, Tapanuli dan Atjeh)
yang menjadi Gubernur Militer adalah DR. Gindo Siregar (masuk STOVIA tahun
1921). Tiga teman seangkatan Gindo Siregar yang berasal dari Padang Sidempuan
adalah Daliloedin Loebis adalah Pamenan Harahap dan Kasmir Harahap. Dr. Pamenan
Harahap setelah berdinas di Buitenzorg, Semarang, Surabaya, Papua dan Ruteng
kembali ke Batavia tahun 1941 untuk memimpin rumah sakit Batavia (sekarang RS Cipto).
Dr. Abbas Siregar yang pulang kampong, selama agresi militer pertama menjadi
ketua Dewan di Padang Sidempuan (agresi militer Belanda di Tapanuli baru
terjadi pada agresi militer kedua, 1948). Ketua dewan di Sibolga adalah Dr. Ma’moer
Nasution. Satu lagi alumni STOVIA adalah Dr/ Radja Djoendjoengan Loebis nebhadu Gubernur Sumatra Utara (sebelumnya Bupati Tapanuli Selatan).
Last
but not least: Armijn Pane (abang dari Lafran Pane) adalah mahasiswa STOVIA
masuk tahun 1923, pada tahun ketiga meninggalkan kampus karena lebih tertarik
dunia sastra. Hal yang sama juga dialami oleh Sanusi Pane, yang awalnya masuk
STOVIA tetapi lebih tertarik sastra dan kemudian lebih memilih masuk
Kweekschool (sekolah guru) Goenoeng Sahari. Boleh jadi karena tarikan dari
bakat ayah mereka Soetan Pangoerabaan Pane, seorang guru dan pengarang (sastra lokal).
Hal serupa ini (sebagaimana dilaporkan) juga dialami oleh Adi Tirto Suryo
(Bapak Pers Indonesia) dan Adinegoro (pendiri PWI). Seangkatan dengan Soetan
Pangoerabaan Pane adalah guru Hamonangan Harahap, guru di Padang Sidempuan,
ayah dari Soetan Goenoeng Moelia, PhD, doktor kelima orang Indonesia yang
menjadi Menteri Pendidikan RI yang kedua. (DR. Soetan Goenoeng Moelia adalah saudara
sepupu Amir Sjarifoedin).
Penutup:
Organisasi
mahasiswa pertama yang didirikan adalah Indisch Vereeniging di Belanda oleh
Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan Soripada pada tahun 1908. Oleh karena
Indisch Vereeniging dianggap mengalami kelesuan sepeninggal Soetan Casajangan
yang pulang ke tanah air 1914, anak-anak Sumatra mendirikan organisasi
mahasiswa baru yang bernama Sumatra Sepakat tahun 1917 yang dipelopori oleh
Sorip Tagor Harahap. Pada tahun 1924, M.Hatta merevitalisasi Indisch
Vereeniging dengan nama baru Persatuan Pelajar Indonesia (PPI). Namun lagi-lagi
mengalami kelesuan setelah periode M. Hatta. Parlindungan Lubis melakukan
revitalisasi PPI tahun 1938 bahkan lebih radikal (anti fasis). Pada tahun 1947,
dua lagi anak Padang Sidempuan mendirikan organisasi mahasiswa. Pada bulan
Februari 1947 Lafran Pane mendirikan organisasi mahasiswa di luar kampus yang
bernama Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Bulan November 1947 Ida Nasution
bersama G. Harahap mendirikan organisasi mahasiswa di dalam kampus yang diberi
nama Perhimpunan Mahasiswa Universitas Indonesia yang disingkat PMUI. Kala itu,
perguruan tinggi di bawah pemerintahan Belanda baru satu-satunya Universiteit
van Indonesie yang kampusnya tersebar di Batavia (menjadi UI), Buitenzorg
(menjadi IPB), Bandoeng (menjadi ITB), Surabaija (menjadi Unair) dan Macassar
(menjadi Unhas). Para pendiri itu, semuanya berasal dari Padang Sidempuan.
Debat Dja Endar Moeda di koran Sumatra Courant, 1899 |
Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad, 20-02-1900 |
De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 21-08-1902 |
Organisasi
profesi yang didirikan oleh anak-anak Padang Sidempuan juga cukup banyak.
Beberapa yang penting diantaranya: Pertama, organisasi wartawan pribumi pertama
digagas oleh Parada Harahap di Medan tahun 1919 (De Sumatra post, 04-04-1919). Parada
Harahap, wartawan terbaik versi Europeescbe Pers (1924) menggaas didirikannya Inheemsche
Vereenigingen (organisasi himpunan organisasi-organisasi sosial) yang diberi
nama Permoefakatan Perhimpoenan-perhimpoenan Politiek Kebangsaan Indonesia
(PPPKI) tahun 1927 di Batavia. Parada Harahap juga pendiri dan presiden pertama
Kamar Dagang dan Industri Pribumi tahun 1929. Parada Harahap yang pernah mempelopori
organisasi wartawan pada tahun 1919 di Medan, pada tahun 1931 kembali menggagas
didirikannya organisasi wartawan nasional (Het nieuws van den dag voor
Nederlandsch-Indie, 18-07-1931). Saat itu koran Bintang Timoer adalah yang
terbaik untuk koran pribum yang dimiliki oleh Parada Harahap. Selain itu, Parada
Harahap yang dijuluki oel pers Jepang sebagai The King of the Java Press adalah
pendiri asosiasi surat kabar yang kini disebut SPS (Bataviaasch nieuwsblad,
25-06-1934). Parada Harahap juga adalah pendiri Akademi Wartawan yang pertama.
Juga jangan lupa Parada Harahap adalah pendiri organisasi perguruan tinggi
swasta (semacam Kopertis pada masa ini). Terakhir, Parada Harahap di era
Presiden Soekarno, memimpin Misi Dagang dan Industri Indonesia ke 14 negara dan
pulang dari situ Parada Harahap menyusun buku repelita atas permintaan Soekarno
(buku repelita RI pertama).
Jika
Parada Harahap berkiprah di dalam negeri, Mochtar Lubis di luar negeri. Mochtar
Lubis adalah pendiri dan ketua International Press Institute (IPI) pertama chapter
Indonesia (1952). Mochtar Lubis memimpin demonstrasi untuk Kebebasan Pers
(1953). Atas sepak terjangnya dalam melawan tirani, Mochtar Lubis dipenjara di
rumah tahanan CPM (jalan) Guntur, lalu dipindahkan ke penjara militer (jalan)
Boedi Oetomo (1956): Pada tahun 1957 Mochtar Lubis dibela M. Yamin (abang ari
Adinegoro) dan didukung oleh PWI Bandung (ada di situ Sakti Alamsjah) sedangkan
PWI pusat diam saja (tetapi akhirnya dukung tetapi setengah hati). Juga didukung
Internationale Pers Instituut di Zürich. Tentu saja juga ada dukungan dari para
sastrawan. Juga ada dukungan dari para penulis dari Himpunan Pengarang Islam. Tahun 1966 Mochtar Lubis bebas, sebaliknya Soekarno ‘ditahan’.
Indonesia Raya terbit kembali tahun 1967. Mochtar Lubis bereaksi ketika De
Spiegel menuduh Adam Malik korupsi (akhirnya koran De Spiegel meralat dan minta
maaf). Hariman Siregar diterima di Fakultas Kedokteran UI. Pada tahun 1968 Mochtar
Lubis berteman dekat dengan Profesor Soemitro Djojohadikoesoemo. Pada tahun 1969
Mochtar Lubis kritik wartawan amplop dan juga ‘menyerang kerajaan’ Ibnu Soetowo.
Pada tahun 1970 di era Soeharto, tetap konsiten anti korupsi dan juga masih
wartawan paling terkenal di pers asing. Mochtar Lubis bertemu dengan Hariman
Siregar dalam Malari 1974. Pada tahun 1979 Mochtar Lubis dijuluki The Musketeer
in International Press. Mochtar Lubis dan Princen, dua anak bangsa beda ras di
Indonesi berjuang ‘tiada ujung’ (1986). Hariman Siregar is: The Last Mochican dari
dunia kampus.
Edward Doewes
Dekker alias Multatuli tidak tahan melihat perjuangan para penduduk di afd. Mandheling en Ankola, Residentie Tapanoeli
tahun 1942-1943. Sebagian penduduk Angkola dan Mandailing (tentu termasuk ompung dari Mochtar
Lubis dan Hariman Siregar) antara tahun 1842-1845 (satu abad
sebelum penduduk Jepang, 1952-1945) memberontak atas kekejaman koffiestelsel
yang diterapkan pemerintah Belanda di Afd. Mandheling en Ankola. Edward yang
kala itu menjadi controleur di afd. Natal juga tidak tega hati terhadap
penderitaan penduduk Mandheling en Ankola, merekam peristiwa lalu ikut membela dan menjadi tempat
keluh kesah penduduk bagaimana mereka diperlakukan tidak adil. Akhirnya, Edward yang baru berdinas setahun dipecat
pemerintah di Padang, terkatung-katung selama setahun di Padang tidak
diperbolehkan pemerintah pusat di Batavia istrinya untuk menjenguk ke Padang.
Dari sinilah awal kisah pembela hak azasi yang dalam buku Edward Douwes Dekker yang terkenal: Max
Havelaar, terminologi 'multatuli' dan 'insulinde' muncul. Sebagian penduduk
Mandheling en Ankola lalu eksodus ke Semenanjung Malaya (dan kini menjadi warga
negara Malaysia). Edward Douwes Dekker dan Princen adalah tokoh asing yang
melegenda di Indonesia, sebaliknya Mochtar Lubis dan Hariman Siregar adalah dua
orang Indonesia yang sangat dikenal di luar negeri. Intinya: anak-anak afdeeling.Padang
Sidempuan (yang dulu bernama afdeeling Mandheling en Ankola) berjuang demi
keadilan, hak azasi dan mendorong ke arah kemajuan di segala bidang. Horas! Merdeka!
Untuk
urusan organisasi di Indonesia baik yang berada di kalangan mahasiswa (kampus)
maupun yang berada di dunia sosial (non kampus), yang berasal dari Padang
Sidempuan adalah sebagai berikut:
A.
Kampus dan kemahasiswaan
1.
Pelopor: Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan Soripada
2.
Penegak: Sorip Tagor Harahap, Parlindungan Lubis dan Abdul Rasjid Siregar
3.
Pendobrak: Lafran Pane, Ida Nasution dan G. Harahap
4.
Penerus: Hariman Siregar (The Last Mochican)
B.
Sosial dan kemasyarakatan
1.
Pelopor: Sati Nasution gelar Willem Iskander
2.
Penegak: Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda
3.
Pendobrak: Parada Harahap, Abdullah Lubis dan Adam Malik
4.
Penerus: Mochtar Lubis (The Musketeer)
Catatan: Dalam Perang Padang Sidempuan, tokoh penting:
- Kalisati Siregar, Kepala Bidang Perdagangan (Logistik): Ayah dari dr. Hariman Siregar.
- Djohan Nasoetion, Kepala Bidang Pertanian: Ayah dari Prof. Ir. Lutfi Ibrahim Nasution, MSc. PhD (gruru besar IPB dan Kepala BPN RI)
- Abdul Hakim Harahap: menjadi Gubernur Sumatra Utara (yang ketiga).
- Maskud Siregar, wakil komandan AGS Sipirok: Ayah dari Dr. Arfin Siregar (Menteri Perdagangan RI dan Gubernur BI)
- Mayor Maraden Panggabean, komandan militer Residen Tapanuli: Pada saat peristiwa Malari berpangkat Jenderal yang menjabat sebagai Menteri Pertahanan RI.
*Dikompilasi oleh Akhir
Matua Harahap dari berbagai sumber tempo doeloe (referensi tidak disebut lagi dalam artikel ini tetapi dapat dilihat dalam berbagai artikel di dalam blog Tapanuli Selatan Dalam Angka. Smber pendukung artikel ini: https://airlambang.wordpress.com).
Baca juga:
Sejarah Kota Medan (13): Kerajaan Aru di Sungai Barumun, Kerajaaan Batak, Kerajaan Islam Pertama, Suksesinya adalah Kerajaan Batak Deli (di Deli Toea) dan Kesultanan Melayu Deli (di Laboehan Deli)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar