Minggu, Juni 24, 2012

Letnan Sahala Muda Pakpahan (‘Jenderal Naga Bonar’) vs Letnan Jenderal Simon Hendrik Spoor (Sipirok, 1949): Lahirnya Tokoh-Tokoh Militer Utama di Indonesia


*Dikompilasi dari berbagai sumber: Akhir Matua Harahap




Prakondisi di Tapanuli Selatan dan Padang Sidempuan

Belanda pertama kali masuk ke Tapanuli Selatan tahun 1833 dari arah Natal yang ketika itu di Tapanuli masih suasana Perang Paderi (1825-1838). Pihak Belanda lalu mendirikan benteng Fort Elout di Panyabungan untuk menyatakan keberadaannya di Tanah Batak sekaligus basis untuk mengepung perlawanan Imam Bonjol di daerah Pasaman. Setahun kemudian, Belanda memulai pemerintahan sipil di Tapanuli yang dipimpin Asistent Resident berkedudukan di Natal. Waktu itu wilayah Tapanuli masih bagian dari keresidenan yang berkedudukan di Air Bangis. Sebelum Belanda masuk ke Tapanuli Selatan  kawasan selatan Tanah Batak ini terdiri dari berbagai luhat--dimana setiap luhat  mempunyai pemerintah sendiri dan berdiri secara otonom dan belum pernah berada dibawah pengaruh siapapun. Luhat-luhat yang dimaksud adalah Sipirok, Angkola, Marancar, Padang Bolak, Barumun, Mandailing, Batang Natal, Natal, Sipiongot dan Pakantan.

Selasa, Juni 19, 2012

Pertempuran ‘Benteng Huraba’ di Padang Sidempuan: Peran Laskar dan Rakyat Tapanuli Selatan dalam Mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia

*Semua artikel Sumatera Tenggara di Asia Tenggara dalam blog ini Klik Disini


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap


Prakondisi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
Benteng Huraba, latar hutan

Pembentukan pemerintahan dan pertahanan Republik Indonesia terjadi hampir bersamaan waktunya. Ini sangat mungkin, karena Indonesia merebut kemerdekaan dari tangan penjajah (Jepang) dalam suasana euphoria pasukan Sekutu, dimana Belanda yang dikalahkan Jepang yang bernafsu kembali untuk menjajah telah datang kembali dengan memanfaakan kehadiran pasukan Inggris ketika tengah melucuti pasukan Jepang dan membebaskan tawanan perang yang ada di Indonesia. Dengan situasi dan kondisi tersebut, maka pembentukan dan penyusunan struktur pemerintahan RI dilaksanakan dari pusat ke daerah-daerah (top down), tetapi tidak demikian dalam proses terbentuknya struktur pertahanan RI, justru pertahanan rakyat sudah dimulai dan terbentuk dari kalangan rakyat (bottom up) yang kemudian disempurnakan dan dilegitimasi oleh pemerintah pusat..

Pada awalnya, inisiatif membentuk pertahanan rakyat muncul sporadis. Mereka yang dulunya eks pasukan militer/polisi penjajah (Jepang/Belanda) dan rakyat--pihak yang paling menderita selama penjajahan spontan mengangkat senjata dan mempersenjatai rakyat. Semua yang disebut para ‘pentolan’ rakyat ini bercermin pada pahlawan-pahlawan pendahulu dan tentu saja karena di depan mata adanya potensi ‘chaos’ karena kurang jelasnya estafet kaum penjajah, yang mana pasukan penjajah Jepang sudah ‘lesu darah’ sementara pasukan Inggris mewakili sekutu tampaknya kurang berminat terhadap keelokan bumi Indonesia—mungkin dengan dalih untuk menjaga rasa hormat terhadap mantan penjajah Belanda yang boleh jadi terus ‘merayu’ atau ‘dirayu’ untuk masuk kembali ke Indonesia. Situasi dimana Belanda ingin menjajah kembali dan pasukan Jepang sudah mati kutu di markas masing-masing, maka kesempatan inilah yang ingin diraih oleh rakyat untuk membentuk kekuatan bersenjata dimana-mana.

Sabtu, Juni 16, 2012

Laskar ‘Pelangi’ Sipirok, Letnan Sahala Muda Pakpahan dan Benteng Huraba di Padang Sidempuan: Lahirnya Tokoh-Tokoh Militer dari Tapanuli Bagian Selatan

*Semua artikel Sumatera Tenggara di Asia Tenggara dalam blog ini Klik Disin
 
Oleh Akhir Matua Harahap


Bagian-1: Laskar ‘Pelangi’ dari Sipirok Merantau Menuju Medan

Kafilah ‘Padati’ Trayek Sipirok-Sidimpuan

Seorang pemuda belia (lima belas tahun) kelahiran desa Sunge Durian, Kecamatan Sipirok, Tapanuli Selatan. Kehidupan di desanya di jaman pendudukan Jepang tidaklah begitu sulit, bahkan berkecukupan, karena letak desa ini jauh dari jalan raya di tengah hutan (luat harangan). Akan tetapi pemuda ini selalu gelisah jika berdiam di huta, karena ia sendiri tidak ingin selalu disuruh ibunya ke sawah-ladang. Jika waktunya tiba hari poken (hari pasar) setiap hari kamis ia mendapat tugas untuk mengangkut hasil-hasil bumi dengan kuda beban ke suatu tempat di pinggir jalan raya Sipirok-Padang Sidempuan di desa Situmba.

Padati jaman 'doeloe' (Illustrasi/foto Basyral Hamidy Harahap) 
Hasil-hasil bumi ini ditampung oleh pedagang pengumpul untuk diteruskan ke pasar Padang Sidempuan. Pada masa Jepang transportasi mobil (truk dan bis) dari Sipirok ke Sidempuan digantikan dengan padati (pedati). Konon, bis-bis yang ada di Sipirok semuanya disita oleh militer/polisi Jepang untuk kebutuhannya sendiri. Karena itu, angkutan barang dan orang dilakukan dengan pedati. Jumlah pedati ini sangat banyak. Biasanya perjalanan Sipirok-Padang Sidempuan (dan sebaliknya) ditempuh dalam dua malam. Dari Sipirok/Situmba berangkat malam hari dan pagi hari tiba di Aek Pargarutan. Siang hari para kafilah ini beristirahat (memasak, tidur, mengumpulkan rumput dan memberi kesempatan kerbau untuk beristirahat juga). Malam hari kafilah berangkat lagi dan tiba di Kantin/Padang Sidempuan pagi hari. Pedati di parkir di dekat jembatan Siborang (kerbau di arahkan ke sungai, para crew padati beristirahat, memasak dan bongkar muat barang. Untuk sarana angkutan dari terminal padati ke pasar Sidempuan dilakukan oleh para kuli angkut dengan menggunakan osaka. Pada sore hari memuat barang dan malam hari perjalanan kembali ke Sipirok dilakukan lagi. Diharapkan pagi hari tiba di sub terminal di Aek Pargarutan dan malam harinya perjalanan dilanjutkan ke Sipirok.