Ekspedisi ke Bataklanden (1866): Dari Laboehan Deli via Medan |
Labuhan
Deli (Melayu) vis-Ã -vis Kota Medan (Batak)
Sesungguhnya antara Batak dan Melayu di Deli sejak doeloe sudah bersaudara. Meski datang dari arah dan asal-usul yang berbeda, tetapi Batak dan Melayu di Deli sama-sama menghadapi musuh yang sama: kelesuan ekonomi. Penduduk Batak di belakang garis pantai aktif dalam produksi lada hitam. Penduduk Melayu di pantai aktif dalam perdagangan komoditi. Kedua belah pihak bersifat mutualistik, peran masing-masing bersifat komplemen (saling memperkuat).
Penyebaran penduduk Melayu sudah masuk jauh
ke pedalaman (sepanjang DAS Deli) dan sebaliknya penduduk Batak sudah menempel ke
bibir pantai (DAS Boeloe Tjina). Perang Langkat yang terjadi tahun 1823
menyebabkan dominasi Batak di pantai (Boeloe Tjina) menghilang lalu digantikan penduduk
Melayu, sebaliknya dominasi Melayu di pedalaman (Deli Toea) menghilang
lalu digantikan penduduk Batak. Perang antara Batak dan Melayu ini dengan
sendirinya telah menjadi koreksi bagi kedua pihak untuk kembali ke posisi alamiah
(keseimbangan awal): perdagangan era komoditi kuno (kemenyan, kamper dan
benzoin).
Bagaimana itu terjadi? Mari kita lacak!
Labuhan Deli adalah kota baru di pantai timur
Sumatra (dari sudut pandang masa doeloe). Sebuah kota pelabuhan (bandar) yang
menjadi simpul (market) produk-produk alami dari Tanah Batak (Bataklanden)
utamanya lada yang dipertukarkan (economic exchange) dengan produk-produk manca
negara yang dibutuhkan penduduk Tanah Batak utamanya garam, batang besi dan
kain. Hampir semua produk yang diperdagangkan di Laboehan Deli berasal dari
penduduk Batak. Selain penduduk Tanah Batak menjadi makmur, penduduk Laboehan
Deli juga turut menjadi makmur hanya dari jasa-jasa pelabuhan (ibarat Singapura
pada masa kini). Sebaliknya penduduk Labuhan Deli akan sangat menderita
(kelesuan ekonomi) jika penduduk Batak tidak mengusahakan produksi lada hitam.
Laboehan Deli (1863) |
Deskripsi Laboehan Deli, sebagai bandar (pelabuhan
komoditi) tampaknya telah terabaikan dalam literatur masa kini (sengaja atau
tidak sengaja). Artikel ini akan mengungkapkan fakta-fakta yang dikesampingkan
dan juga menguraikan fakta-fakta baru. Fakta-fakta baru ini didasarkan pada
laporan Residen Riaow (1861-186?), E. Netscher yang pernah berkunjung ke Deli
awal tahun 1863. Kemudian didukung laporan Baron de Raet van
Cats (controleur Deli yang pertama) yang pernah berkunjung ke Bataklanden akhir
tahun 1866. Controleur Deli yang kedua,
C. de Haan (bersama fotografer Denmark) yang pernah melakukan eskpedisi ke
Bataklanden pada akhir tahun 1870 (sebelum de Haan, ekspedisi ke Bataklanden
dilakukan oleh Nienhuys tahun 1868).
Fakta-fakta baru ini ditambah dengan laporan J.S.G.
Gramberg (seorang investor), laporan Willer (asisten residen di Mandheling en
Angkola, 1845-1847) dan buku Junghuhn (1847), peneliti yang dikirim ke
Tapanoeli). Tentu saja fakta-fakta baru ini masih ada yang tercecer yang bisa
dipungut dalam buku Marsden (1811) dan buku Anderson (1826).
Semua sumber-sumber tersebut akan disajikan
dalam suatu sketsa (analisis sederhana) untuk memperkaya pemahaman kita tentang
afdeeling (kebupaten) Deli di Residentie (provinsi) Sumatra’s Ooskust, yakni: penduduk
Melayu di Laboehan Deli di onderafdeeling (kecamatan) Laboehan Deli dan penduduk
Batak di Medan di onderfadeeling (kecamatan) Medan.
Labuhan Deli: Atjeh vs Siak
Pertumbuhan
dan perkembangan pelabuhan-pelabuhan di Sumatra Utara pada masa doeloe selalu
dikaitkan dengan keberadaan hasil-hasil bumi dari Tanah Batak sebagai produk
komersil (mata dagangan utama) dunia. Namun pelabuhan-pelabuhan tersebut tidak
dikelola oleh penduduk Batak, tetapi dikelola oleh penduduk pendatang. Uniknya,
penduduk Batak tidak merasa keberatan. Karena penduduk pendatang itu (Mesir,
Persia, Arab, India, Tjina, dan bahkan Melayu?) selain memiliki kepentingan
untuk berdagang, penduduk Batak sendiri manganggap mereka sebagai perpanjangan
tangan penduduk Tanah Batak ke dunia luar. Sebaliknya penduduk pendatang tidak
merasa penduduk Batak akan menghancurkannya, karena penduduk Batak membutuhkan
‘devisa’ untuk membeli produk-produk yang tidak dihasilkannya tetapi sangat
dibutuhkan seperti garam dan batang besi (hubungannya besifat mutualistik).
Laboehan Deli
adalah salah satu dari pelabuhan besar yang langsung terhubung secara historis
dengan penduduk Tanah Batak. Dua pelabuhan kuno, yakni Pelabuhan Baros (pantai
barat Sumatra) dan Pelabuhan Pertibie (pantai timur Sumatra) adalah dua
pelabuhan fase awal di era komoditi kuno seperti kemenyan, benzoin, dan kamper
(kapor baros). Pelabuhan Pertibie
awalnya berada di pedalaman Padang Lawas, kemudian bergeser ke pantai menjadi Pelabuhan
Panai/Bila di mulut sungai Baroemoen yang dalam perkembangannya, popularitasnya
Pelabuhan Bila (Laboehan Bilik) menurun dengan semakin meningkatnya transaksi
dagang di Pelabuhan Deli (Laboehan Deli). Sedangkan Pelabuhan Baros yang dalam
perkembangan awal didukung dua pelabuhan kecil (Pelabuhan Natal dan Pelabuhan Singkel) dan dalam
perkembangan selanjutnya Pelabuhan Baros bergeser ke Pelabuhan Tapian Na Oeli. Pada era
kolonial Belanda, Pelabuhan Tapian Na Oeli lalu bergeser lagi ke Pelabuhan Sibolga
(hingga sekarang) dan Pelabuhan Leboehan Deli bergeser ke Pelabuhan Belawan (hingga
sekarang).
Pelabuhan-pelabuhan
itu hanya eksis jika penduduk Batak mau mendukungnya. Beberapa kali
pelabuhan-pelabuhan itu bangkrut (sepi perdagangan) misalnya hanya karena Tanah
Batak dianeksasi kaum padri (Pelabuhan Tapian Naoeli mati suri) atau ketika
penduduk Batak tengah sibuk menghadapi perang (selama persiapan dan perang
menghadapi ekspansi Belanda ke Tanah Batak, (Pelabuhan) Laboehan Deli nyaris bangkrut alias
tutup).
Beberapa
dekade sebelumnya, Laboehan Deli juga sempat tutup hanya karena Kesultanan Siak
menundukkan Kesultanan Deli di Laboehan Deli. Dalam aneksasi Siak di Deli, penduduk
Batak bereaksi keras, karena menganggap selama ini Kesultanan Deli adalah
partnership setia penduduk Batak. Atas reaksi ini, Kesultanan Siak tidak senang
dan coba melawan penduduk Batak yang dikenal sebagai Perang Langkat Perang terjadi di Langkat).
Pertarungan yang sengit itu penduduk Batak sesungguhnya telah memenangkan
pertarungan, tetapi pada injury time,
pihak Siak meminjam persenjataan artileri dari militer Inggris di Penang (kala
itu Belanda belum hadir, dan masih konsentrasi di Djawa). Penduduk Batak tidak
melanjutkan pertarungan dan tidak bersedia mati konyol lalu lebih memilih
mundur dan kembali ke belakang garis pantai.
Dengan
jatuhnya Langkat maka Langkat, Boeloe Tjina, Deli, Serdang, Batoebara, Asahan
dan Laboehanbatoe menjadi tunduk dan berada dibawah supremasi Kesultanan Siak. Satu
lanskap lainnya yang menjadi area ‘abu-abu’ adalah Tamiang juga dianggap Siak berada
di bawah supremasinya.
Sesungguhnya Siak
tidak pernah menganeksasi Tamiang, tetapi menganggapnya di bawah supremasinya,
karena lanskap ini semata-mata sudah lama ditinggalkan Kesultanan Atjeh karena kebijakan
politiknya yang hanya membatasi wilayah kekuasaan hingga Pidie saja. Demikian
juga di pantai barat Sumatra, Taroemon ditinggalkan dan hanya membatasi diri di
Tapaktoean. Belanda hanya membuat kolonisasi hingga di Singkel. Taroemon
disebut Belanda sebagai ‘sekutu’ dan bukan ‘pengikut’. Hal yang sama juga juga
boleh jadi baik Atjeh maupun Siak menganggap Tamiang bukan pengikut tetapi
sekutu. Oleh karenanya, Tamiang dan Taroemon adalah dua lanskap independen yang
di pantai timur Sumatra, Tamiang membatasi Melayu dan Atjeh, dan di pantai
barat Sumatra, Taroemon yang membatasi Atjeh dengan Batak. Penguasa bandar di
Tamiang dan Taroemon bukan Atjeh dan bukan juga Melayu tetapi Batak.
Sementara
itu di selatan, Laboehan Batoe adalah satu-satunya pelabuhan dimana dikelola
penduduk Batak sejak awal yang merupakan garis continuum dari bandar Pertibie
(pertemuan sungai Baroemon dan Sungai Panai) bergeser ke pantai bernama
Pelabuhan Panai lalu kemudian bergeser lagi bernama Pelabuhan Bila yang
didukung pelabuhan di pedalaman di Kota Pinang. Pelabuhan Bila bergeser lagi ke
Laboehan Bilik (Labohanbatoe). Satu lagi pelabuhan di selatan adalah Natal,
sebuah bandar yang silih berganti penguasanya sebagaimana Laboehan Deli.
Pelabuhan Natal adalah bandar pendukung yang berkembang untuk menggantikan
Baros. Bandar Natal penguasanya seperti Persia, Portugis, Prancis, Inggris, dan
kemudian Belanda.
Kesultanan
Atjeh sendiri di pantai barat Sumatra memainkan peran yang sama seperti halnya
Kesultanan Siak di pantai timur Sumatra. Kesultanan Atjeh pernah menguasai
Taroemon, Singkel, Tapoes, Baros dan bahkan Tapian Naoeli serta Natal. Tidak
pernah dikabarkan ada rumor pertikaian antara Atjeh dengan penduduk Batak.
Ketika pengaruh kolonial Belanda muncul yang dimulai dari Padang, satu per satu
pelabuhan itu lepas dari supremasi Atjeh: yang diawali dengan pendudukan Natal,
kemudian merangsek ke utara di Tapian Naoeli, Baros, Tapoes dan Singkel.
Lanskap
Taroemon, seperti halnya Tamiang di pantai timur Sumatra ditinggalkan Atjeh
karena hanya membatasi wilayah hingga sampai Tapaktoean. Lanskap Tamiang (di
pantai timur Sumatra) dan Taroemon (di pantai barat Sumatra) menjadi seakan daerah
‘demarkasi’ manakala pengaruh kolonial Belanda (politik) semakin menguat ketika
peran dagang Inggris (ekonomi) atas Siak menyusut.
Pelabuhan-pelabuhan
di pantai timur Sumatra pada tahun 1847 sebelum kedatangan Belanda terbagi tiga
golongan: (1) pelabuhan Langkat, Boeloe Tjina dan Deli yang terletak di sungai
yang pada saat air surut masih bisa dilayari oleh kapal ukuran menengah, (2)
pelabuhan Serdang dan Batoebara, yang terletak di sungai yang hanya bisa
dilayari pada saat pasang dengan kapal ukuran kecil dan (3) pelabuhan lainnya
di Asahan, Kwaloe dan Bila-Pane.
Bataklanden:
Tanah Subur Pedalaman, Kaya Sumber Alam
Jauh
sebelum ada bandar-bandar, dan jauh sebelum ada penduduk yang berdiam di pantai-pantai, sudah sejak
lama penduduk berdiam di dataran tinggi pedalaman. Bahkan penduduk ini telah
ada jauh sebelum ada koloni asing di Baros (Arab dan India) dan koloni asing
lainnya di Padang Lawas (India). Tentu saja penduduk ini sudah ada jauh sebelum
ada koloni asing di muara sungai Belawan (India, Tjina dan Melayu). Penduduk
ini memiliki akar bahasa yang sama (meski dialeknya telah berbeda-beda) yang
dapat dibedakan dengan akar bahasa Melayu Riaou, Melayu Minangkabau dan Melayu
Atjeh. Penduduk ini diidentifikasi oleh Pires (Italia) dengan nama Bateh, oleh
Miller/Marsden (Inggris) Batta dan oleh Belanda dipertegas menjadi Batak.
Penduduk
Batak sebagaimana dikatakan Marsden (dalam bukunya: The History of Sumatra,
1811) adalah representasi orisinalitas penduduk Sumatra sendiri. Penduduk Batak
menurut Marsden bukanlah pelaut meski mereka memiliki pelabuhan terbaik di
dunia (Tapian Na Oeli). Namun karena penduduk Batak sangat kaya dari
hasil-hasil produk-produk alami (kemenyan, kamper, benzoin), mereka lebih
tertarik untuk mengembangkan pertaniannya. Para pedagang seluruh dunialah yang
datang ke pelabuhan-pelabuhan mereka, seperti Baros, Tapoes, Singkel, Taroemon,
Singkwang dan Natal. Setali tiga uang: para pedagang seluruh dunialah yang
datang ke pelabuhan-pelabuhan di Pertibie, Panai, Bila, Laboehan Bilik, Tandjong
Balai, Batoebara, Rantau Pandjang, Laboehan Deli (suksesi Boeloe Tjina dan Kota
Tjina).
Tujuan
para pedagang hanya satu: berdagang dan mengangkut hasil-hasil produksi yang
berasal dari Tanah Batak. Hanya penduduk Batak yang menghasilkan produk
komersil dunia, dan karena itu tumbuh kembangnya pelabuhan-pelabuhan di
sepanjang pantai timur Sumatra sangat tergantung dengan keberadaan penduduk di
Tanah Batak. Pelabuhan-pelabuhan ini tumbuh kembang, juga diikuti dengan
pertumbuhan dan penyebaran penduduk di sepanjang pantai barat maupun pantai
timur.
Di
pantai timur, pertumbuhan penduduk dan penyebaran yang sangat masif itu
terutama didominasi Melayu yang migrasi dari Riaou (kepulauan) dan
(semenanjung) Malaya. Di pantai barat, pertumbuhan penduduk dan penyebaran yang
juga sangat masif didominasi Melayu yang migrasi dari Nias (kepulauan) dan
(pesisir) Padangsche. Sementara semua penduduk sisi dalam garis pantai baik di
pantai barat maupun pantai timur didiami oleh penduduk Batak, yakni
penduduk Batak yang mengalami penyebaran ke arah pantai akibat tekanan densitas
penduduk di pedalaman dan kebutuhan untuk mendekatkan diri ke TKP, tempat
terjadinya transaksi dagang di pantai-pantai (pantai barat Sumatra) dan
muara-muara sungai (di pantai timur Sumatra).
Penduduk Batak
berada di dataran tinggi Bukit Barisan dari Gayo, Alas, Dairi, Pakpak, Karo,
Simaloengoen, Toba, Angkola dan Mandailing yang mulai dari batas Gunung Kulabu di perbatasan
Pasaman hingga Gunung Batu Gapit di batas Atjeh. Wilayah-wilayah pantai yang
sepi dan kosong lambat laun diisi oleh penduduk Batak yang menyebar ke pantai
dan penduduk pendatang yang memulai dari garis pantai. Penduduk Melayu dan
penduduk Atjeh adalah tipikal penduduk pantai (dataran rendah). Sebaliknya,
penduduk Batak dan penduduk Minangkabau tipikal pegunungan (dataran tinggi). .
Secara
kronologis, penyebaran penduduk di sekitar garis pantai ini didahului penyebaran
penduduk Batak, baru kemudian menyusul penduduk Melayu. Penduduk Batak yang
menyebar dan telah menyentuh ‘bibir pantai’ secara teoritis karena alasan
ekonomi (supply side). Hal ini juga yang terjadi di pedalaman Minangkabau,
penduduk menyebar ke segala arah mata angin. Sedangkan penduduk Melayu secara
teoritis datang untuk berdagang atau memperluas kesultanan baru melalui pantai
timur Sumatra lalu menetap dan merangsek ke arah pedalaman (demand side).
Pertemuan-pertemuan
ini yang mengindikasikan adanya pertemuan Batak dan Melayu di Langkat, Deli,
Serdang, Batoebara dan Asahan, serta pertemuan Minangkabau dan Melayu di hulu
sungai Siak, Kampar, Indragiri. Beberapa titik pemukiman Melayu di DAS Siak
memiliki koneksi dengan kesultanan Johor dan Pahang. Hal yang sama juga dengan
Deli yang memiliki koneksi dengan kesultanan Johor. Melayu kepulauan Riau juga
memiliki koneksi dengan penduduk Melayu di Riau daratan. Akan tetapi tidak ada
indikasi Melayu kepulauan Riau memiliki koneksi denga Melayu di Deli dan
sekitarnya.
Namun
perlu dipahami bahwa antara satu titik pertemuan dengan titik pertemuan
lainnya, kurun dan intensitas penyebaran berbeda-beda. Ada titik dimana Melayu
masuk jauh ke pedalaman dan sebaliknya dimana Batak keluar hingga menyentuh
garis pantai. Penyebaran dari pedalaman yang telah melakukan okupasi diduga
kuat menjadi cikal bakal munculnya dua kerajaan (bukan kesultanan) di dua
tempat yakni di Panai/Bila di hulu sungai Baroemoen dan Boeloe Tjina/Kota Tjina
di hulu sungai Belawan atau sungai Hamparan Perak.
Dalam literatur
lain, kerajaan Panai/Bila ini disebut Kerajaan Aru dan kerajaan Boeloe
Tjina/Kota Tjina ini disebut kerajaan Haru. Di awal kedatangan Belanda, lanskap
Pertibie meliputi Bila, Panai, Padang Lawas, Dolok, Baroemoen dan Tamboesei.
Sedangkan lanskap Boeloe Tjina adalah lanskap yang berdiri sendiri sebagaimana
lanskap-lanskap lainnya di sekitarnya seperti Langkat, Tamiang, Deli dan
Serdang.
Setelah
era pelabuhan kuno dari era kerajaan kuno ini mulai terbentuk kerajaan-kerajaan
kecil yang disebut kemudian kesultanan (mengikuti terminologi penduduk Melayu)
yang selanjutnya dikenal sebagai kesultanan Laboehan Batoe, Asahan, Batoebara,
Serdang, Deli dan Langkat (minus Boeloe Tjina/Kota Tjina dan Tamiang). Laboehan Batoe adalah
nama berikutya dari Laboehan Bilik/Bila/Panai/Pertibie..
Penyebaran penduduk
Melayu di Riau haruslah dibedakan penyebaran penduduk di Deli dan sekitarnya.
Penduduk Melayu di Riaou sejak kurun waktu tertentu telah berkembang di
kepulauan dengan pusat kerajaan di Pulau Lingga (dan kerajaan Djohor di
semenanjung). Penduduk Melayu kepulauan Riaou ini bermigrasi ke daratan melalui
muara-muara sungai, seperti Siak, Kampar, Indragiri dan Rokan. Seperti yang
disebut oleh peneliti-peneliti Belanda, Rokan adalah batas wilayah Melayu dan
Batak. Penduduk Batak telah lama mendiami di sepanjang DAS Baroemoen mulai dari
Pertibie hingga muara sungai Baroemoen/Bila.
Tandjong Balai (di pantai timur Sumatra) adalah pelabuhan (melting pot) yang dihuni penduduk Tjina yang masuk dari lautan, penduduk Batak yang dari pedalaman (barat) dan selatan (Laboehanbatoe) dan penduduk Melayu dari timur (semenanjung) dan dari utara (Deli, Serdang dan Batoebara). Hal yang mirip doeloe di Natal (di pantai barat Sumatra) yang penduduknya mix population yang dihuni penduduk Persia dari lautan, penduduk Batak yang dari pedalaman (timur) dan selatan (Minangkabau) dan penduduk Atjeh dari utara. Penduduk Melayu sendiri di Batoebara, Serdang dan Deli diduga kuat tidak terkait dengan penyebaran penduduk di Riaou.
Tandjong Balai (di pantai timur Sumatra) adalah pelabuhan (melting pot) yang dihuni penduduk Tjina yang masuk dari lautan, penduduk Batak yang dari pedalaman (barat) dan selatan (Laboehanbatoe) dan penduduk Melayu dari timur (semenanjung) dan dari utara (Deli, Serdang dan Batoebara). Hal yang mirip doeloe di Natal (di pantai barat Sumatra) yang penduduknya mix population yang dihuni penduduk Persia dari lautan, penduduk Batak yang dari pedalaman (timur) dan selatan (Minangkabau) dan penduduk Atjeh dari utara. Penduduk Melayu sendiri di Batoebara, Serdang dan Deli diduga kuat tidak terkait dengan penyebaran penduduk di Riaou.
Di daerah penyebaran
Melayu antara Tamiang dan Bila, hanya Melayu Deli yang berhasil mampu merangsek
jauh ke pedalaman (DAS sungai Deli). Tidak terjadi pada Melayu Langkat, Melayu
Serdang, Melayu Batoebara dan Melayu Asahan. Penjelasan ini datang dari Marsden
dan Anderson bahwa pada tahun 1613 Atjeh menganeksasi Deli, tetapi kesultanan
Johor dan Pahang gerah dengan tindakan Atjeh ini. Lalu dengan dukungan Johor
dan Pahang, Deli malah menjadi binasa oleh kekuatan Atjeh (1619). Deli baru
kemudian bersinar kembali setelah adanya bantuan kekuatan Portugis di Malaka
(1643) akan tetapi lagi Atjeh menaklukkan Deli tahun 1669.
Di
bawah supremasi Atjeh, lalu Deli melemah. Namun dalam perkembangannya kebijakan
politik Atjeh membatasi kekuasaan hanya sampai di Perlak (pantai timur Sumatra)
dan sampai di Tapaktoean (pantai barat Sumatra). Situasi ini dipahami oleh
Deli, lalu merelokasi ibukota ke pedalaman untuk mempererat hubungan dengan
Batak dan juga untuk memperpendek jarak dalam hal perdagangan lada dengan
penduduk Batak di pedalaman di hulu sungai Deli dengan ibukota Deli Toewa (Deli Toea). Saat
inilah masa keemasan kesultanan Deli. .
Namun hubungan manis antara Batak dan Melayu ini membuat iri kesultanan Siak. Pada tahun 1770 tidak disadari oleh Deli, lalu datang kekuatan dari selatan, Sultan Radja Ismail dari Siak menganeksasi Deli dan menangkap Sultan Deli. Anehnya, dalam hal ini, tidak ada reaksi Atjeh dalam soal ini, juga tidak ada reaksi Johor dan Pahang atas masalah ini. Deli harus menghamba kepada Yang Dipertuan Agung dari Siak.
Namun hubungan manis antara Batak dan Melayu ini membuat iri kesultanan Siak. Pada tahun 1770 tidak disadari oleh Deli, lalu datang kekuatan dari selatan, Sultan Radja Ismail dari Siak menganeksasi Deli dan menangkap Sultan Deli. Anehnya, dalam hal ini, tidak ada reaksi Atjeh dalam soal ini, juga tidak ada reaksi Johor dan Pahang atas masalah ini. Deli harus menghamba kepada Yang Dipertuan Agung dari Siak.
Dalam
perkembangannya di kesultanan Siak juga terjadi intrik-intrik. Kebijakan
politik Siak berubah. Pada tanggal 8 Maret 1811, kepala Deli yakni Panglima
Mengindra Alam, oleh pangeran Siak diberkahi sebagai Sultan. Rupanya kolaborasi
Deli dan Siak ini tidak semua suku-suku Batak menyetujuinya. Para pimpinan suku
Batak (baik di pantai maupun di pedalaman) hanya melihat Deli sebagai boneka
dari Siak. Batak sendiri tampaknya lebih menyukai Atjeh daripada Siak dalam
penguasaan Kesultanan Deli (karena alasan kultural dan territorial)..
Lalu pada tahun 1823 Deli yang semakin menguat yang dipimpin Mengindra Alam yang disokong penuh kekuatan Siak melakukan perang dengan suku Batak di Langkat dan sekitarnya. Perang yang sebanding itu, pada injury time, Deli dibantu oleh kapten kapal Inggris, bernama Stuart yang meminjamkan senjatanya. Suku Batak dapat dikalahkan. Atas kejadian ini, suku Batak (Boeloe Tjina?) yang berada di garis pantai mundur ke belakang pantai, sebaliknya atas ekses kerusuhan yang juga terjadi di Deli Toea, Sultan Deli memindahkan ibukota ke muara sungai Deli yang kemudian munculnya nama Laboehan Deli.
Lalu pada tahun 1823 Deli yang semakin menguat yang dipimpin Mengindra Alam yang disokong penuh kekuatan Siak melakukan perang dengan suku Batak di Langkat dan sekitarnya. Perang yang sebanding itu, pada injury time, Deli dibantu oleh kapten kapal Inggris, bernama Stuart yang meminjamkan senjatanya. Suku Batak dapat dikalahkan. Atas kejadian ini, suku Batak (Boeloe Tjina?) yang berada di garis pantai mundur ke belakang pantai, sebaliknya atas ekses kerusuhan yang juga terjadi di Deli Toea, Sultan Deli memindahkan ibukota ke muara sungai Deli yang kemudian munculnya nama Laboehan Deli.
Bagaimana hal ini bermula dapat dijelaskan sebagai
berikut: Batak adalah nama kuno, lebih kuno dari komunitas-komunitas yang
mendiami bandar kuno seperti Baros dan Pertibie. Batak adalah suatu
territorial, wilayah yang didiami oleh penduduk Batak. Teritorial ini ada di
pedalaman, dimana penduduknya menghasilkan komoditi kuno, seperti kamper baros,
kemenyan, benzoin dan lain sebagainya. Ke daerah territorial inilah pedagang dari
berbagai arah datang untuk berdagang. Dua dari pelabuhan niaga yang terbilang
awal adalah Baros dan Pertibie.
Pelabuhan Pertibie terletak di muara sungai Panai atau
pertemuan sungai Panai dengan sungai utama Baroemon. Pelabuhan Pertibie sebagai
sebuah pelabuhan besar dapat dijelaskan adanya komunitas besar di pelabuhan
tersebut yang sisanya dapat dilihat sebagai kompleks percandian. Pelabuhan
Pertibie adalah simpul ekonomi yang menjadi tujuan dari simpul-simpul ekonomi
di hulu sungai Pane dan sungai Baroemon.
Beberapa sungai cabang sungai Pane adalah sungai Rumambe,
cabang sungai Baroemoen seperti sungai Sangkilon dan Batang Onang/Aek Sihapas.
Hulu dari semua sungai-sungai tersebut yang masih dapat dilayari dengan perahu
merupakan batas-batas territorial (economic exchange) penduduk Batak yang
menghasilkan komoditi alami: kemenyan, kamper, benzoin, cassia, emas dan
lainnya.
Setelah ekonomi Pertibie menurun, ekonomi di Deli muncul.
Produk-produk yang diperdagangkan di Deli kurang lebih sama dengan yang di
Pertibie. Penduduk Batak di sekitar Pertibie telah berkurang yang mengusahakan
komoditi alami dan penduduk telah beralih pada pengembangan pertanian seperti
sawah. Sementara penduduk Batak di sekitar Deli masih tetap mengusahakannya.
Pertibie, Panai, Rumambe, Sangkilon, Deli (Delhi) adalah
nama-nama yang berasal dari India. Nama-nama lainnya adalah Ankola, Siunggam.
Komunitas India di Deli, sebagaimana di Pertibie, tentu
saja produk yang diperdagangkan adalah kemenyan, kamper, benzoin dan lain
sebagainya. Para pendatang dari India ini sebagaimana di Pertibie, mereka juga
menyusuri pedalaman melalui sungai-sungai untuk lebih mendekatkan diri ke TKP.
Sungai yang menjadi nama sungai Deli boleh jadi merupakan lalu lintas yang
intens di lokasi dimana Deli Toea yang sekarang merupakan salah satu pelabuhan
di pedalaman yang cukup penting.
Komunitas lain yang menyusul kemudian adalah komunitas
Cina yang mengambil posisi di pantai yang mengambil jalur sungai Boeloe Tjina
atau sungai Hamparan Perak yang sekarang. Komunitas Cina tidak dalam mengambil
peran India, melainkan bersinergi karena besarnya volume perdagangan yang ada
di daerah tersebut. Dengan demikian di daerah tersebut terdapat dua komunitas
yakni komunitas India di DAS Deli dan komunitas Cina di DAS Boeloe Tjina.
Suksesi komunitas India di DAS Deli adalah Melayu yang
menyebar dari pantai masuk ke pedalaman, sedangkan suksesi komunitas Cina di DAS
Boeloe Tjina adalah Batak yang menyebar dari pedalaman mendekati pantai. Empat
komunitas ini di satu pihak (India dan Melayu) dan di pihak lain (Cina dan
Batak) secara estafet berlangsung sekian puluh tahun. Namun dalam perkembanganya Deli jauh lebih popular
disbanding Boeloe Tjina hingga teridentifikasi sekarang sebagai nama Deli dan
nama Boeloe Tjina.
Pada
tahun 1854, Deli yang telah pindah ibukota di Laboehan Deli, selama di bawah
supremasi Siak dipimpin oleh Sultan Osman Perkasa Alam memaksa Sulhan Atjeh untuk
menerima kedaulatannya. Namun desakan itu baru diakui pada tanggal 20 Desember
1854. Tindakan Deli ini dianggap Atjeh sebagai aksi perampokan pada bagian Aceh
karena Atjeh tidak merasa tidak dalam perang atau permusuhan dengan Siak.
Sulthan
Osman dan putranya (dan penggantinya), Sultan Mahmoed Perkasa Alam terus
mendapat resistensi dari Aceh. Akan tetapi ketika pada tahun 1862 terjadi
kesepakatan antara Pemernitah Nederlansch Indie dengan Sultan Siak, Deli yang
dibawah supremasi Siak untuk pemulihan hak-haknya sebagai supremasi Atjeh, Sultan
Mahmoud bergegas untuk mengambil perlindungan kepada Belanda dan memaksanya
kembali untuk melakukan keadilan atas dominasi Aceh.
Kesultanan Deli adalah
kekuasaan yang rapuh. Kesultanan yang hanya hidup semata-mata untuk kepentingan
komersil (Inggris). Kesultanan ini selalu dibawah bayang-bayang kekuatan besar
(Atjeh dan Siak), tetapi tidak berhasil sepenuhnya membuat aliansi dengan tetangganya,
penduduk suku Batak (karena ada yang pro kontra diantara suku-suku Batak atas
kehadiran atau semakin menguatnya kesultanan Deli). Kesultanan Deli telah
menyebabkan nasibnya hancur karena perang saudara, hingga akhirnya memutuskan
untuk meminta perlindungan kepada Belanda, rezim kekuatan baru di pantai timur
Sumatra, rezim yang menginginkan kesultanan Deli barada di dalam pelukannya
(didahului oleh Siak yang meminta perlindungan kepada Belanda).
Beberapa Ekspedisi ke
Tanah Batak
Pelabuhan
di pantai-pantai sangat tergantung pada penduduk Batak. Ketika dua pedagang
besar datang (Inggris dan Belanda), kinerja pelabuhan yang ada di pantai timur
Sumatra dianggap terlalu kecil untuk kebutuhan mereka dalam memenuhi skala
perdagangan dunia. Perkembangan yang bersifat evolutif sudah tidak sesuai lagi.
Untuk melakukan langkah-langkah yang revolutif mereka (Inggris dan Belanda) coba
memahami lebih lanjut aliran perdagangan dari pedalaman ke pelabuhan-pelabuhan di pantai dengan
mengirim orang-orang mereka dalam berbagai ekspedisi.
Kegiatan
ekspedisi inilah sesungguhnya awal kolonialisasi di pantai timur Sumatra yang
mana pada awalnya penduduk adalah penduduk yang independent (dengan pimpinan
yang disebut sultan) yang kemudian kolonialisasi memasuki pedalaman dimana
penduduk Batak yang independen berada. Para ekspedisi (peneliti) Inggrislah
yang pertama memasuki Tanah Melayu (di pantai) dan Tanah Batak (di pedalaman).
Berdasarkan laporan-laporan terdahulu dari Inggris, pemerintah kolonial Belanda
mengirim ahlinya ke pedalaman Tanah Batak.
Orang
pertama Inggris yang merekod perkampungan Melayu dan penduduk di Tanah Batak
adalah Marsden, seorang yang sangat jenius dalam menyusun sejarah Sumatra. Marsden
besar kemungkinan hanya sampai di pantai-pantai dan tidak pernah melakukan
ekspedisi (penelitian) jauh ke pedalaman. Namun demikian, Marsden terbilang
cukup berhasil mendapatkan catatan-catatan dari para peneliti maupun para
pelancong Inggris sebelumnya yang pernah melakukan ekspedisi ke pedalaman,
seperti ekspedisi Miller ke Tanah Batak di Angkola dan Padang Lawas tahun 1773. Miller adalah orang Eropa pertama yang memasuki Tanah Batak..
Peneliti
Inggris lainnya yang sangat terkenal adalah Anderson yang telah melakukan
ekspedisi tahun 1820-1823 dan berhasil mendeskripsikan pantai Timur Sumatra, Atjeh dan juga
termasuk di dalamnya Bataklanden di dalam bukunya yang diterbitkan tahun 1848
dibawah judul ‘Atjeh dan Pelabuhan-Pelabuhan di Sebelah Pantai Utara dan
Timur Sumatra’. Anderson telah melakukan perjalanan ke Karo dan Toba. Penemuannya adalah:
Peneliti-peneliti
Belanda banyak yang mengacu pada hasil-hasil laporan dari Anderson. Peneliti-peneliti
Belanda berhutang banyak kepada Anderson, ketika mereka semua sibuk dalam
penelitian-penelitian selama Perang Padri di Sumatra’s Westkust (Padangsch en
Tapanoeli). Dengan jatuhnya Bonjol baru perhatian para peneliti Belanda
dialihkan ke Sumatra’s Ooskust.
'Anderson menemukan beberapa orang Melayu yang tinggal di pesisir Sumatera Timur dan, apa yang ia sebut, Karau mendominasi dataran rendah dan dataran tinggi. Orang-orang di pedalaman melakukan pembakaran hutan dan menggunakan untuk ladang pertanian untuk menanam tanaman seperti padi, sayuran, lada, tebu dan pisang. Beberapa tanaman ini digunakan sebagai barang perdagangan. Mereka tidak melakukan perlawanan (sebagaimana di dataran tinggi) dan bahkan memiliki kesan bahwa penduduk lokal mengharapkan lebih banyak kontak dengan para pendatang baru terutama pedagang'.
Selama
ketidakhadiran Belanda di pantai timur Sumatra dan Atjeh, peran dagang
dimainkan oleh Inggris. Aneksasi ke pantai timur Sumatra ini pada dasarnya
terhambat (Sumatra’s Oostkust) seakan dikorbankan karena konsentrasi Belanda
terbagi untuk sejumlah pemberontakan seperti di Batipoe, Tapanoeli. Inggris
sebenarnya menginginkan Sumatra’s Ooskust namun terhalangi oleh Treatise London
(1824), meski demikian kamar dagang Inggris di Singapore kerap mengompori agar
Sumatra’s Oostkust ‘dinegosiasikan’. Perjanjian London 1824, setelah 'tukar guling' Bengkulu (Inggris) dengan Malaka (Belanda) maka seluruh wilayah Sumatra berada dibawah kendali Belanda dan semua wilayah timur laut selat Malaka menjadi berada dibawah kendali Inggris..
Invasi Belanda
di Pantai Timur Dirancang dari Pantai Barat
Percepatan
aneksasi ke Sumatra’s Oostkust terjadi karena implikasi perang Padri untuk
lebih mengamankan Sumatra’s Westkust (Padangsche dan Tapanoeli).
Pengikut-pengikut Padri dalam Perang Bondjol dan Perang Pertibie telah memasuki
lanskap-lanskap di Sumatra’s Oostkust.
Praktis
pada awal September 1838 Indragiri diduduki oleh militer Belanda. Sultan
Lingga yang berdomisili di kepulauan bereaksi atas pendudukan ini karena merasa
wilayah Indragiri adalah miliknya (dibawah kekuasaannya). Belanda tidak peduli,
karena sebelumnya ada hubungan yang tidak kondusif antara Indragiri dengan
Lingga. Lalu Belanda membangun benteng dengan empat puluh pasukan dan penempatan
kapal perang di sungai Indragiri di Rengat sebagai pertahanan dan bukti
kehadiran Belanda di Riaou.
Setelah
itu menyusul ditempatkannya seorang Asisten Residen di Rengat sebagai kepala
pemerintahan di Riaou. Wilayah baru ini awalnya meliputi Indragiri sendiri dan Kwan
Tang yang telah berinisiatif lebih dahulu mengakui kehadiran Belanda karena
wilayah itu diduduki oleh pasukan Padri yang telah berhasil diusir militer
Belanda. Ini dengan sendirinya pantai barat Sumatra dan pantai timur Sumatra menjadi
terhubung melalui pedalaman. Hal serupa ini sudah lebih dahulu terhubung dengan
pendudukan Bila di muara sungai Baroemoen via Angkola dan Padang Lawas.
Di Riaou sendiri
orang yang paling ditakuti adalah Radja Ismail yang memerintah sejak 1780 yang
dianggap Belanda sebagai salah satu bajak laut yang paling menakutkan di
Nusantara yang mengenakan tariff impor lima persen pengangkutan hasil bumi yang
berasal dari Minangkabou (para sultan-sultan yang sah dianggap tidak berdaya).
Di Mandheling en Ankola kehadiran pasukan Tamboesei telah merecoki kehidupan
damai yang telah lama ada (menghancurkan system pertanian dan berbagai
dokumen-dokumen ilmu pengetahuan yang beraksara Batak. Wilayah-wilayah ini
meliputi Mandiling, Angkola dan Padang Lawas.
Peneliti
Inggris yang pernah berkunjung ke Riaou daratan ini adalah Marsden (1808)
melaporkan bahwa Sultan yang sah (Sultan Abdoel Djalil Khaliloedin) sudah
pindah ke tepi sungai Siak. Sultan Siak menjalin hubungan baik dengan
pengendali di Pulau Penang untuk memasok kayu untuk pembangunan dermaga Pulau
Penang.
Pada
masa itu Malaka berada dibawah kekuasaan Belanda (pada nantinya Malaka
tukar guling dengan Bengkoelen yang dikuasai oleh Inggris, Traktat London, 1824). Pada tahun 1818
Residen Malaka diutus untuk pergi ke Siak untuk melakukan perjanjian dengan
Sultan Abdoel Djalil Khaliloedin. Lalu Kapten Siren ditempatkan di Siak sebagai
komisaris. Dihasilkan perjanjian dengan 12 pasal. Sejak itu, banyak
sultan-sultan yang mencari perlindungan
kepada Belanda.
Menurut laporan
Resident Netscher awal Januari 1963 otoritas Belanda pertamakali didirikan di Bengkalis
tahun 1858, suatu pulau yang menghadap ke muara sungai Siak. Pendirian otoritas
ini sekaligus mengangkat sultan sebagai yang ditinggikan. Asisten residen di
Bengkalis dibantu seorang kapten dan letnan plus seorang perwira kesehatan. Rumah
asistenm residen tidak terlalu jauh dari pemukiman penduduk dab beberapa orang
Cina. Penduduk pesisir di Bengkalis hidup terutama dari troeboek, ikan asin dan
juga dalam jumlah besar beras. Menurut pandangan kami populasi akan banyak yang
akan menetap disini. Penduduk sendiri sangat mengharapkan perlindungan dari
Belanda (mungkin karena sejak lama daerah muara sungai ini sering terjadi
perompakan).
Dalam
perkembangannya disebutkan Netscher, ibukota Siak bergeser ke Siak Indrapoera yang
terletak 40 mil dari muara sungai Siak. Pada abad sebelumnya (1739) sudah
pernah ada pos VOC di Gontong di muara sungai lalu ditinggalkan karena
diserang. Desa Siak Indrapoera (berasal dari Sankrit kota suci indra) sendiri
sebagai ibukota dimana terdapat sebanyak 50 rumah sederhana dimana sebanyak 30
rumah berada dipinggir sungai Siak. Rumah sultan Siak berada di ujung. Wilayah
sekitar desa rawan terhadap gajah, perdagangan hampir tidak ada lagi disini.
Beberapa kali masih datang pedagang Arab untuk mengangkut rotan dan hasil
lainnya. Pedagang Cina tidak ada yang datang lagi menyebabkan ekonomi penduduk
sudah sangat menurun. Di sisi lain, sudah dibangun benteng untuk melindungi
asisten Residen dan juga telah dibuat barak sementara untuk militer. Tidak jauh
dari desa tampak perahu lama dan rusak yang mengingatkan penduduk pernah ada
perdagangan dan mengirim dan mengangkut produk. Pada tahun 1823 Anderson atas
pemerintah di Penang pernah datang ke sini dimana perdagangan di sini sudah
jauh merosot, karena sering ada perpecahan yang saling memperkaya diri,
pemerasan dan penjarahan. Mereka adakalanya merasa lebih aman membawa hasil produk
ke pedalaman untuk diteruskan ke pantai barat Sumatra’.
Semua ini terjadi sebelum terjadinya
penaklukan Daloe-Daloe (yang menjadi markas pasukan Padri dibawah pimpinan
Toeankoe Tambusai). Dalam Perang Pertibie (1838) banyak pemimpin pasukan Tamboesei yang
melarikan diri ke Rokan. Lanskap Rokan sendiri menurut peneliti-peneliti
Belanda adalah lanskap yang membatasi antara penduduk Melayu (yang berpusat di
DAS Rokan) dengan penduduk Batak (yang berpusat di DAS Baroemoen).
Pertibie sendiri
meliputi wilayah yang luas yang jarang penduduknya dengan pusat sungai
Baroemoen hingga ke Panei dan Bila dihuni oleh penduduk Batak telah diduduki
oleh Belanda. Pada kunjungan Anderson tahun 1823 wilayah ini juga mengakui
supremasi Siak. Untuk mengamankan daerah ini pasca perang Pertibie dibangun pos
militer di Kota Pinang dan benteng di Bila (di pertemuan sungai Bila dan
Baroemoen) dengan kekuatan pasukan berjumlah 75 tentara Ambon dan beberapa
orang Eropa.
Dengan demikian antara pantai barat Sumatra
dan pantai timur Sumatra semakin terhubung dengan baik. Pengaruh Inggris secara
ekonomi mulai memudar dengan meningkatnya kekuasaan (politik) Belanda di pantai
timur Sumatra. Peningkatan eskalasi militer Belanda juga terjadi dengan titik
paling utara di Bila. Tidak lama setelah Riaou diduduki, juga Singkel telah berhasil
diduduki. Pemerintah Inggris di Penang mewanti-wanti para sultan di Deli dan
sekitarnya.
.
Setelah
pendudukan Singkel, Belanda coba menduduki Deli melalui pengaruh Belanda
terhadap Kesultanan Siak. Untuk menunjukkan hubungan baik antara Deli dan
Inggris, atas adanya aneksasi Belanda terhadap Singkel diberitahukan pemerintah
Inggris di Penang yang mana Inggris tidak akan ikut campur (sebagaiman dikutip
Anderson dari Koran yang terbit di Penang). Seperti diketahui
pelabuhan-pelabuhan di pantai timur Sumatra sangat erat dalam perdagangan
dengan Inggris di pelabuhan-pelabuhan semenanjung seperti Penang dan Singapura.
Sejak
mangkalnya Inggris di Pulau Penang telah banyak yang berubah cepat di pantai
timur Sumatra. Selama ketidakhadiran Belanda di Deli dan sekitarnya, Laboehan
Deli telah berkembang pesat di bawah hubungan dagang antara Leboehan Deli di
pantai timur Sumatra dan Pulo Penang dan (pulo) Singapura di sisi semenanjung
Malaya. Pada masa kini, gambaran itu masih nyata, ketika Belanda tidak hadir
lagi di Indonesia (pasca pengakuan kedaulatan), Inggris secara politik masih
diakui keberadaannya di Singapura dan semenanjung Malaya. Bagaimana kisahnya di
Deli pada masa doeloe? Mari kita lacak!
Laboehan
Deli, Pelabuhan Independen yang Mulai Dincar Belanda
Laboehan
Deli sudah beberapa kali berganti tuan: antara Atjeh dan Siak. Pelabuhan yang
dikelola oleh penduduk yang minim kekuatan dan tidak berdaya harus berhadapan dengan
kekuatan besar dari Atjeh dan Siak. Deli adalah lumbung Atjeh dan disebut
Valentine Pedir. Namun ketika Anderson mengunjungi Laboehan Deli, mereka telah
mengakui supremasi Siak. Hal ini karena menurut Anderson, Atjeh tidak
memperpanjang lagi wilayah kekuasaan dan tidak lebih jauh dari Tandjong Perlak
(Diamond Cape). Dan itu dengan sendirinya Tamiang dianggap dalam bayang-bayang
Siak (Tamiang sendiri tak peduli siapa yang menguasai mereka). Dalam laporan
Belanda disebutkan:
‘Kami menemukan
antara Bila dan Tamiang enam lanskap terpisah yang tak bertuan (stateless),
yakni Batoebara, Asahan, Serdang, Deli, Baloe Tjina dan Langkat yang wilayah
satu sama lain dibatasi oleh sungai. Hanya Laboehan Deli yang dapat dilayari
dengan kapal-kapal bertonase besar. Para pangeran di Deli ini mengangap dirinya
menguasai Boeloe Tjina dan Langkat. Produk utama pelabuhan ini adalah lada
hitam, sebagaimana disebut Anderson, bukan oleh penduduk pesisir Melayu, tetapi
dibudidayakan oleh penduduk Batak pedalaman dan di belakang pesisir.
Sebagai gambaran yang disebutkan Anderson antara Siak dan Tamiang dimana ekspor pada tahun 1823-1824 hampir 35.000 pikul hanya untuk Pulau Penang saja dan secara keseluruhan sebanyak 60.000 pikul yang juga meliputi Singapore. Disebutkan Anderson, antara tahun 1817 hingga 1824 ekspor ke Pulau Penang telah meningkat dari 1.800 pikul menjadi 35.000 pikul. Untuk perdagangan lada hitam ini untuk Batoebara dan Asahan sebagaimana juga Siak tampak kurang penting, tetapi untuk pelabuhan di sebelah utara Serdang, Deli, Baloe Tjina dan Langkat dan beberapa pelabuhan yang dikuasai orang Atjeh di pantai barat, produk yang mendominasi adalah lada yang lalu semuanya dikenal sebagai pelabuhan-pelabuhan pepper (Pepper Port)’.
Sebagai gambaran yang disebutkan Anderson antara Siak dan Tamiang dimana ekspor pada tahun 1823-1824 hampir 35.000 pikul hanya untuk Pulau Penang saja dan secara keseluruhan sebanyak 60.000 pikul yang juga meliputi Singapore. Disebutkan Anderson, antara tahun 1817 hingga 1824 ekspor ke Pulau Penang telah meningkat dari 1.800 pikul menjadi 35.000 pikul. Untuk perdagangan lada hitam ini untuk Batoebara dan Asahan sebagaimana juga Siak tampak kurang penting, tetapi untuk pelabuhan di sebelah utara Serdang, Deli, Baloe Tjina dan Langkat dan beberapa pelabuhan yang dikuasai orang Atjeh di pantai barat, produk yang mendominasi adalah lada yang lalu semuanya dikenal sebagai pelabuhan-pelabuhan pepper (Pepper Port)’.
Dengan
mengacu pada laporan itu, pernyataan Anderson sangat masuk akal, karena
pelabuhan-pelabuhan yang dimaksud sebagai pelabuhan lada adalah sisi luar dari
penduduk Batak yang membudidayakan lada hitam. Pelabuhan-pelabuhan utama Atjeh
seperti Taroemoen, Singkel yang memiliki hubungan dagang dengan Tapoes, Baros,
Tapian Naoeli dan Natal. Dalam laporan itu tidak ada indikasi pelabuhan lada di
utara dan timur Atjeh dan Siak.
Meski
tidak disebut keberadaan pelabuhan di sekitar Sungai Baroemoen, namun karena
Singapore juga mendapat porsi yang cukup besar dalam perdagangan lada, besar
kemungkinan lada mereka di Singapore berasal dari DAS Baroemoen dan
pelabuhan-pelaboehan kecil lainnya di pantai timur Sumatra. Seperti diketahui
dari sumber lain, sudah sejak lama pedagang-pedagang dari Singapoera keluar
masuk ke Tanah Batak di Angkola melalui DAS Baroemoen dan Padang Lawas (suatu
hal yang tidak ditemukan di pelabuhan lainnya, kecuali hanya sebatas di
pelabuhan).
Perdagangan
di Deli terutama didorong oleh Inggris di Pulau Penang yang pada gilirannya
menarik produksi dari Tanah Batak.
Awalnya belum begitu penting, baru setelah tahun 1819 terjadi
peningkatan. Kala itu sempat ada kekhawatiran karena masalah politik di Malaka
dan Riau. Menurut laporan Belanda pemimpin-pemimpin di Deli, Serdang dan
Langkat tidak senang dengan kehadiran Belanda. Akan tetapi seperti diketahui,
tekanan Atjeh terhadap Kesultanan Deli membuat Sultan Mahmoed dan ayahnya harus
bergegas untuk meminta perlindungan kepada Belanda (dimana tuannya sudah lebih
dahulu telah melakukannya).
Resident Riaou
ke Deli untuk Meneror Pimpinan Suku Batak
Bengkalis di Siak |
Siak bukanlah
tanpa alasan menyerahkan diri begitu saja kepada Belanda. Pada era VOC (seratus
tahun sebelumnya) telah membuka pos perdagangan di muara sungai Siak di pulau
Gontong, tetapi dihancurkan oleh Siak berantakan. Pengaruh Belanda lenyap
hampir seabad, lalu pengaruh Inggris muncul. Namun dalam perkembangan terakhir,
Siak selalu dihantui para bajak laut dari Kepulauan Riau dengan penadah
pelabuhan Singapore dan terakhir semakin banyaknya migrant Cina yang masuk dari
Singapore dan kerap membuat kerusuhan. Atas pertimbangan ini semua Sultan Siak
meminta perlindungan kepada Belanda yang tengah aktif memburu para pengikut
Padri yang menyusup ke Riau. Lalu perjanjian dibuat (termasuk lima lanskap di
bawah supremasi Siak, Langkat, Deli, Serdang, Batoebara dan Asahan).
Perjanjian
dibuat di Siak Indrapoera bahwa Belanda akan membentuk otoritasnya mulai dari
Indragiri hingga ke Tamiang. Inilah pendudukan Belanda atas suatu wilayah yang
begitu luas dengan daya upaya yang paling mudah dilakukan. Indragiri yang
dianeksasi sejak 1839 ibukotanya akan dihapuskan tahun 1843 dan dipindahkan ke
Siak di Bengkalis. Pada 31 Desember 1857
Belanda melakukan tandatangan kontrak dengan Sultan untuk tatakelola
perpajakan. Kemudian beberapa tahun kemudian ibukota Bengkalis dipindahkan ke
Siak Indrapoera.
Pada nantinya, berdasarkan
Staatsblad No.48 tanggal 27 Maret 1864 organisasi pemerintahan sipil di Siak
terdiri dari Asisten Residen dan dua Controleur. Berdasarkan Almanak Pemerintah
tahun 1867 ada tambahan controleur untuk Asahan, Deli, Batoebara, Laboehan
Batoe, Siak. Sebagaimana diketahui Resident Riaou berkedudukan di Tandjong
Pinang (Bintan). Residentie Riaou terdiri dari: Kepulauan Riaou dan Kesultanan
Siak (pantai timur Sumatra).
Tugas
pertama Resident Riau ke Deli ternyata bukanlah untuk bernegosiasi dengan
Sultan Deli (penaklukan Kesultanan Deli sudah selesai dengan perjanjian Siak)
tetapi justru untuk membungkam para pemimpin suku-suku Batak di Deli. Belanda
ingin menundukkan para pemimpin suku Batak di Deli, karena secara ekonomi, kendali
pasokan sumber komodiri perdagangan untuk pelabuhan di Laboehan Deli adalah penduduk
Batak; secara perdamaian, Belanda membutuhkan keamanan untuk kepentingannya di
pedalaman; dan secara territorial mengajak pimpinan suku Batak di Deli menjadi
pengikut (sebagaimana Deli dan Siak) yang pada gilirannya nantinya memudahkan
pembentukan sekutu dengan pemimpin suku Batak di pedalaman dalam rangka mmenuhi
strategi Belanda untuk menjepit perlawanan dua kekuatan yang secara ekplisit
menunjukkan anti terhadap Belanda di pedalaman (Sisingamangardja/Perang Toba)
dan Sultan Atjeh/Perang Atjeh).
Kesultanan Deli
dan suku-suku Batak tidak dalam situasi perang dan permusuhan. Itu sudah lama
berlalu tahun 1823, dimana ibukota kesultanan pindah ke Laboehan Deli, dan Deli
Toewa diokupasi suku Batak. Namun karena kedua belah pihak saling membutuhkan
dalam ekonomi lada, kedamainlah yang terjadi. Dalam situasi damai, para
pemimpin suku Batak mengakui status Sultan Deli, tetapi tidak ada upeti yang
harus diberikan. Akan tetapi jika Kesultanan Deli diserang musuh di pantai,
suku Batak yang berada di belakang garis pantai harus membantu dengan dibayar.
Para pemimpin suku Batak juga masih ada yang pro atau kontra.
Pada
bulan Februari 1863, Residen Riau tiba di Deli dengan kapal perang dan membuang
jangkar di muara sungai Deli sebagaimana dilaporkannya sendiri pada tahun 1864.
Sari atas kapal, Residen mengundang dua pimpinan suku Batak (mungkin yang
kontra), Sebaja Lingga dan Goenoeng Radja dalam suatu pertemuan. Dua pempimpin
ini datang dengan pengikut sebanyak 500 orang bersenjata lengkap ke Laboehan
Deli. Residen mengundang dua pimpinan suku Batak ini untuk datang di atas kapal uap HM Haarlem-mermeer. Pemimpin ini memenuhi undangan Residen dan datang
dengan gagah berani namun tetap dengan berperilaku sangat layak (tentu dengan
seragam kebesaran).
Di
atas kapal, Residen melakukan psywar tanpa disadari kedua pimpinan suku Batak
tersebut dengan cara mengajak berkeliling di dalam kapal dan dengan santun memperlihatkan
kecanggihan pesenjataan besar yang dimiliki dan memperlihatkan para awal kapal berbangsa
Eropa/Belanda yang jumlahnya cukup banyak dengan persenjataan lengkap. Taktik
Residen dengan cara ini mungkin ingin mempercepat proses perdamaian dan
menghindari perang terbuka. Tampaknya berhasil untuk membungkam kedua pimpinan
ini. Keberhasilan Residen dalam hal ini karena sudah berpengalaman di Tapanoeli
(sebagai resident).
***
Resident
Riau adalah seorang sipil yang berpengalaman dalam pemerintahan. Residen Riau
adalah seorang pejabat yang cerdas, yang juga anggota Bataviasch Genooschap,
mantan Residen Tapanoeli yang berkedudukan di Sibolga. Berikut disajikan bagian
dari Laporan Residen yang telah dipublikasikan untuk diketahui public, yang
disarikan sebagai berikut:
Wilayah Deli. Batas-batas
lanskap Deli adalah sepanjang pantai dari huk Langkat Toeah (5’83’’) dan sungai
Pertjoet (5’43’). Panjang pantai ini tidak lebih dari 20 mil Inggris. Bagian
sisi dalam lebih lebar. Garis sebenarnya dari batas ini tidak diketahui, atau
bahwa dari perbatasan barat, karena bagian dalam sepenuhnya dihuni oleh suku
Batak yang hanya memberikan penghormatan saja kepada Pangeran Deli. Daerah ini
dihuni oleh suku-suku Batak meluas ke batas pegunungan yang jauhnya 50 mil
Inggris dari lepas pantai. Seluruh daerah ini mengalir sungai-sungai yang
bermuara ke laut dimana beberapa pulau cukup besar yang merupakan dua muara
utama sungai Hamparan Perak dan sebelah selatan sungai Deli atau Laboehan yang
mana yang disebut terakhir tempat berlabuh kapal komersil.
Laboehan Deli, 1875 |
Rumah Sultan dan Masjid. Di bawah pemerintahan dikendalikan dan kuat. Pada ujung
desa adalah rumah dari Sultan dan masdjid. Yang pertama adalah luas, bangunan papan, trotoar
ditutupi terhubung dengan satu depan dan satu achtervaranda. Semua bangunan ini
berdiri di atas tiang, hampir delapan kaki di atas tanah, dan ditutupi dengan
atap. Voorvaianda adalah sekitar sembilan puluh kaki panjang dan tiga puluh
lebar, tanpa pilar di tengah, dan dengan demikian menciptakan, luas ruangan
yang indah, yang oleh tinggi atap dan dinding berkisi-kisi juga sangat lapang.
Masyarakat. Satu pemandangan yang aneh, diantara beberapa ratus penduduk asli, tampak sejumlah
pria Atjeh dipersenjatai dengan belati dan pedang panjang Atjeh dengan gagang perak. The
House of sultan dikelilingi pagar. Juga
terdapat empat rumah panggung rendah yang dihuni
oleh orang Batak. Bangunan rumah Batak ini ditutupi dengan serat dari paku sawit dan rapi dengan dekorasi Batak seperti dicat. Rumah kepala Batakscbe
seperti cottage, yang mengakui supremasi Deli. The Mesdjid adalah sebuah bangunan papan yang cukup
terawat dengan baik ukuran rendah.
Pakaian. Gaun dari
penduduk pribumi terdiri dari satu lebar, celana pendek dan korset lebar atau
salah satu dari yang sarung hit bahu. Celana dan korset ziin linen biasanya putih
atau biru. Dimediasi katun atau sutera memakai celana Atjehsch. Kelas bawah terkesan kotor. Para wanita memakai sarung, yang diikat berada di atas payudara.
Barang dagangan. Sebagian baris wade pembuatan Eropa dan diimpor dari Pulu Pinang. t Hampir
tidak ada rumah di desa Deli, di mana tidak hanya barang-barang yang
ditampilkan. Namun, sebagian besar kasus adalah nilai yang kecil, seperti ikan
kering, gambir, buah. Di beberapa toko juga bahasa Inggris atau Aljehsche garis
rendam, pakaian satu-ken, besi, obat-obatan, dll untuk mendapatkan.
Penerangan. Bagi kebanyakan rumah adalah salah satu pers minyak, menunjukkan sederhana,
blok melingkar, disimpan memanjang pada dua trestles dan memberikan satu takik
persegi, di mana daging kelapa parut halus melalui wedges yang gepersd. Minyak
bocor akibatnya adalah kualitas yang sangat baik dan harga murah.
Penduduk. Populasi
Deli ada di pantai dari Maleijers, di pedalaman Batak. Penduduk Melayu kecil jumlahnya; mereka tidak lebih dari beberapa ribu
jiwa. Mereka mendiami tanah pesisir rendah dan terutama kampung Deli. Sementara sekitar dua puluh Cina dan sekitar seratus Hindu berdarah campuran. Sedangkan Batak dapat dikatakan sangat banyak. Daerah yang dihuni oleh Batak terhitung mulai dari pantai dan terus memanjang hingga atas pegunungan tinggi. Dikatakan bahwa penduduk Batak
ini ada kepala suku yang memerintahkan
sekitar 40.000 jiwa. Diantara mereka Mohammedanism tampaknya klaim telah dibuat.
Produksi dan
Perdagangan Lada
Kampong Batak di Deli, 1878 |
Jika suku pedalaman
beristirahat dipahami untuk dibawa, tidak akan lebih baik untuk pantai timor Sumatra.
Jalan keluarnya, pertama: melakukan pemukiman berimbang
mereka untuk memastikan perselisihan mereka, maka pepper-productie pasti dalam
beberapa tahun, lagi meningkat secara signifikan. Kedua orang-orang dan tanah
yang 'budaya tampaknya sangat cocok. Semua suku Batak dari Noors
Sumatra telah sejak lama secara eksklusif membudidayakan
lada. Selain lada, barang
perdagangan ke
Delische adalah gambir, tembakau, buah pinang, lilin, gading gajah, dan resin, dan tentu saja kuda yang sangat baik. Menurut salah satu pernyataan dari bandar, pada bulan Agustus tahun
1862, posisi
arus perdagangan selama dua belas bulan sebagai berikut:
8.500 pikul lada.
3.000 batang rotan.
200 ekor kuda.
500 pikul pinang.
500 pikul pala dan fuli.
500 pikul tembakau.
500 pikul gambir.
400 pikul getah pertjah dan
getah majang.
300 pikul was
250 pikul widjen.
400 pasang gading gajah.
Sementara
barang yang masuk sebanyak 10 kotak opium dengan nilai 10,000 Sp, garam dan besi untuk kebutuhan perang,
dll. Nilai ini tampaknya harus ditentukan untuk terlalu
rendah,
tentu jauh lebih banyak opium yang dibawa. Dalam tahun-tahun sebelumnya dan di bawah kondisi panas
perdamaian dan kemakmuran yang dipasok lebih dari 200.000 gantang garam dari Deli.
Saat ini cabang lampaunya
industri dan tampaknya bahwa garam dari pantai barat Sumatera menemukan jalan
ke Batak
akibatnya impor dari Deli telah menurun lumayan. Sebelumnya, garam impor dipajak 2 Sp. per 100 gantang. Sekarang menjual garam adalah monopoli dari Sultan, yang garam disuplai dari Pulu Pinang
dan Siamschen dan asal Arab. Perdagangan Deli hampir secara eksklusif dengan Pocloe Pinang. Perdagangan
ini akan banyak peningkatan, jika di Deli lebih damai dan ketertiban. Hanya mereka yang menarik
keuntungan di air keruh, karena itu dapat menganggap dengan mata iri
bahwa era pemerintahan yang lebih baik datang di Deli. Industri tampaknya di
Deli hingga
saat ini masih sangat rendah.
Dinamika Politik
di Deli
Menurut
laporan Residen, ada pemisahan yang sangat besar
antara Maleyers dan Batak. Mereka dari beragam asal, memiliki satu bahasa yang
berbeda, masing-masing dengan tulisannya, dan sementara Maleijer Mohameuaan,
Batak tidak ada agama selain penyederhanaan jabatan roh yang mengatur alam
semesta.
Batak mengakui sampai batas tertentu kedaulatan penguasa Melayu dari pantai. Mereka yang mengakui sultan Deli seperti itu, membawanya tidak ada upeti, tetapi memiliki dia dalam perang melawan bantuan pembayaran. Kedua belah pihak melakukan kesepakatan dalam tanaman lada. Para sultan berharap tidak ada saling mengganggu antar kedua belah pihak.
Kampong Batak di Deli Toea, 1878 |
Berdasarkan
laporan dari sumber lain (Bataviasch Genooschap, 1870): Diantara para pemimpin
Melayu juga terjadi saling iri (tidak kompak, bahkan sangat mendalam) namun
tidak pernah menimbulkan perang antar sesama. Ketika Controleur pertama di
Laboehan Deli mengundang para sultan-sultan setahun setelah Residen mengundang
pemimpin suku Batak ke dalam kapal. Sultan Serdang tidak menggubris dan tidak pernah
datang dan selalu memberi alasan. Sultan
Serdang memiliki caranya sendiri, dan tidak setuju Sultan Deli mengatasnamakan
semua sultan-sultan. Reaksi Sultan Serdang cukup keras ketika Sultan Deli
menganggap para sultan dan pangeran di lanskap Boeloe Tjina dan Langkat adalah
dibawah supremasinya (situasi dan kondisi yang berulang ketika Sultan Siak
menganggap semua sultan dari Bila hingga Tamiang berada dibawah supremasinya).
Atas hal ini Sultan Serdang melakukan kekerasan terhadap kesultan Deli. Pada
tahun 1865 ketika Controleur ditempatkan di Batoebara terjadi kerusuhan di
pedalaman. Ada dugaan Sultan Serdang dan satu atau lebih dari empat pemimpin
suku Batak di dataran rendah (Tanah Djawa, Siantar, Panai dan Silau) turut
campur dalam kerusuhan tersebut.
Dengan
memperhatikan dinamika politik tersebut, terkesan Sultan Deli telah memainkan
peran penting. Kesan serupa ini sebenarnya salah alamat. Sultan Deli sesungguhnya
hanya karena terpilih, meski dapat dianggap sebagai korban, yakni korban dari
taktik Belanda. Hal ini dapat bercermin dari kasus di Riau. Sultan Lingga di
kepulauan disingkirkan (diabaikan) dan meninggikan Sultan Siak yang sudah lama
terpuruk. Sultan Ismail telah merepotkan para sultan-sultan di Siak. Dalam hal
ini, Sultan Deli ingin ditinggikan derajatnya. Strategi Belanda mengisyaratkan
hanya ada satu pemimpin pribumi (tidak ada dua atau tiga matahari). Namun
pandangan ini juga tampaknya keliru. Sebab dasar pembentukan tujuan Belanda
hanya satu: keuntungan finasial. Atas dasar keuntungan dari perdaganganlah
sultan-sultan tersebut terpilih. Oleh karenanya sultan-sultan terpilih adalah
sultan-sultan yang kebetulan berada di wilayah yang memiliki potensi ekonomi
yang prospektif.
Hal
inilah yang terjadi dengan Sultan Deli (yang pro Belanda) dan dua pemimpin suku
Batak (yang kontra Belanda). Sultan Deli yang lemah sebenarnya tidak dalam
situasi mengambil keuntungan diantara para sultan. Belandalah yang memainkan
peran sesungguhya. Namun bagi sultan Serdang, peran Sultan Deli adalah
mengambil keuntungan di air keruh. Hal ini dulu pernah terjadi terhadap Atjeh. Sedangkan
dua pemimpin suku Batak yang kuat menelan kerugian ganda karena telah terjebak
dalam teror yang dilancarkan oleh Residen di atas kapal. Sultan Deli tampaknya
telah menemukan jalan yang terbaik bagi dirinya ke tangga kemakmuran, tetapi
tidak dengan sultan-sultan lain (terutama Serdang) dan para pemimpin suku-suku
Batak di dataran rendah.
Pada tahun 1867 kehadiran otoritas Belanda telah mendistorsi perdagangan antara Deli dengan Penang. Sebagaimana diketahui Serdang, Deli dan Langkas sudah sejak lama menjadi pelabuhan utama lada di pantai timur Sumatra. Pelabuhan-pelabuhan ini sekarang mengeluh kepada Pulo Penang karena permintaan Penang menurun drastic. Hal ini efek dari intervensi kebijakan pemerintah Belanda yang mengenakan tariff ekspor yang lebih tinggi. Ekspor lada berkurang dimana penyebabnya justru terletak dalam Negara, dimana kini pedagang dari Pulo Penang jadi mengeluh. Kerugian lagi pedagang Pulo Penang karena impor batangan besi menurun drastic. Namun di sisi lain, perdagangan komoditi lain meningkat seperti beras dan pala. Lagi pula pedagang Cina dan penduduk asli sudah jauh menurun pemerasan dan kekerasan. Memang akan terasa di Penang dan itu menjadi dapat mengalami resonansi di Inggris. Pers di Singapoera menyebut: ‘gangguan-gangguan baru dari Belanda di Sumatra’.
Controleur Deli Melakukan
Ekspedisi ke Bataklanden
Benar,
bahwa Belanda benar-benar mengincar Deli. Pada tahun 1863 yang didahului oleh
penempatan pasukan yang dipimpin oleh seorang kapten sudah berada di Laboehan
Deli. Kemudian menyusul ditempatkan seorang controleur. Fungsi Controleur tidak
hanya untuk pengendalian tetapi juga orang pemerintah yang ditugaskan untuk
membuka jalan.
Tugas
pertama Controleur adalah lebih banyak berkonsentrasi untuk urusan di lingkar
kerajaan, dimana satu dengan yang lainnya saling tidak akur alias bermusuhan.
Meski Langkat dan Serdang masuk otoritas Belanda, tetapi Controleur belum
memahami sepenuhnya. Controleur sulit menjalin hubungan sesame kerajaan, karena
perjalanan ke lanskap-lanskap itu melalui daratan Controleur banyak mendengar
kabar adanya bahaya orang Batak terhadap Melayu seperti pemerasan, perampokan,
penjualan perempuan dan anak-anak. Oleh karenanya, Controleur mengabaikan
pembinaan ke Serdang dan Langkat dan lebih memprioritas hubungan Deli dengan
Bataklanden.
Controleur
yang ditempatkan di Laboehan Deli, setelah tiga tahun bertugas, pada tahun 1866
membuat rencana untuk melakukan ekspedisi ke Bataklanden. Tentu ini sangat
penting, karena kemajuan transaksi dagang di pelabuhan Laboehan Deli sangat
tergantung aliran komoditi dari penduduk Batak baik yang berada di belakang
pantai (dataran rendah) maupun yang berada di pegunungan (dataran tinggi).
Sebab tujuan utama kolonisasi adalah perdagangan dan keuntungan. Inilah yang
dilakukan Controleur untuk memahami kunci keberhasilan Deli itu melakukan
ekspedisi ke Tanah Batak pada bulan Desember 1866 hingga Januari 1867.
Untuk
melancarkan tugas Controleur ini ke pedalaman yang pertama dilakukan Controleur
adalah membuat perdamaian antara orang-orang Batak dengan Sultan. Tokoh kunci
dalam hal ini adalah dua orang, yakni seorang tokoh independen yang telah lama
tinggal di sekitar sungai Deli dan sungai Babura yang berasal dari Boekoem dan
satu lagi tokoh kepala adat di Senembah (Patumbak). Controleur berhasil
mempertemukan tokoh-tokoh Batak ini dengan Sultan dimana Si Boekoem datang
sendiri dan kepala adat dari Patumbak datang dengan pengikut limapuluh orang
Batak.
Dalam
pertemuan ini Controleur didampingi kapten militer (Belanda) dan para kerabat
sultan (pangeran). Hasil pertemuan di kraton Sultan Deli adalah perdamaian yang
isinya sebagai berikut:
Tokoh Batak mencoba
menghalangi munculnya pencurian, perampokan dan pembunuhan terhadap Melayu dan
berusaha untuk mencoba menghidupkan kembali perdagangan dengan penduduk Batak
di pegunungan (dataran tinggi).
Sultan akan
memberikan perlindungan bagi penduduk yang dari pegunungan atas perjalanan
mereka mengantarkan mata dagangan mereka ke pelabuhan.
Selanjutnya
disusun langkah-langkah yang akan dilakukan untuk ekspedisi ke Bataklanden. Dalam
perjalanan ini Controelur mengajak seorang letnan Inggris dari Paulau Penang yang
tengah berkunjung di garnisun (Belanda) di Laboehan Deli. Juga dalam perjalanan
ini empat kepala suku bersedia ikut serta. Sebagai wakil dari Sultan Deli
adalah paman Sultan, disebut Raja Moedin. Satu lagi yang ikut dalam ekspedisi
ini adalah Albert Breker seorang industri di Deli (mungkin orang ini adalah
wakil dari Nienhuys).
Menurut laporan
Controleur, wilayah kekuasaan Sultan Deli hanyalah Laboehan Deli dan sekitarnya
ditambah lanskap kecil Pertjoet. Wilayah-wilayah lainnya di sekitar pengaliran
sungai Deli ke hulu terdiri dari daerah yang dikepalai oleh empat kepala suku. Kempat
kepala suku itu Orang Kaya Agoe, juga disebut Orang Kaya Indra.di Radja dari
suku Sukkah Piring, Orang Kaya Stiha Radja dari suku XII Kota, Orang Kaja Sri
di Radja dari suku X Kota, dan kedjoeroehan dari Senembah dari suku Roemah Reh
[catatan: suku XII Kota yang berada di sekitar pertemuan sungai Deli dan sungai
Babura berbeda dengan suku XII Kota yang berada di muara sungai Belawan
(Hamparan Perak).
Rombongan
ekspedisi ini berangkat tanggal 9 Desember. Pada pagi hari pukul Sembilan
berangkat dari Labuan, ibukota Deli, kami akan menuju Kampong Baru (kini Medan
Baru) yang diperkirakan akan tiba pukul lima sore. Beberapa kampong yang kami
lewati adalah kampong Alai, kampung Gengah, kampoog Besar, Rantoe-Blimbing,
Mertoeboeng, Rengas Sambilan, Kota Bangon, Mabar, Rengas Sekoepang, Poeloe Braian,
Gloegoer, Medan Poetri, Kesawan dan Tebing Tinggi.
Meskipun tempat-tempat
tinggal tersebut menggunakan nama kampung, penghuninya tidak dapat benar-benar
dianggap seperti sebuah kampung. Diantara deretan kampong ini terdapat kampong
Medan Poetri. Pada dasarnya rumah penduduk tersebar satu dengan yang
lainnya, Controleur itu memastikan tidak
menyebut sebagai kampung, tetapi lebih menganggap bahwa nama-nama ini sebagai daerah
(area). Setiap populasi area ini memiliki seorang kepala atau seorang pengetua
yang disebut Datoe yang hanya berfungsi untuk membuat putusan dalam kasus-kasus
kecil di mana denda diterapkan. Untuk hukuman berat seperti seperti pembunuhan
atau pencurian dikirim ke Sultan Deli di Laboehan Deli.
Setelah
melewati jalan ini tidak lebih dari jalan setapak, di TebingTinggi baru terasa agak
berbukit. Sepanjang jalan memasuki Tebingtinggi ini terdapat beberapa kebun
kelapa, kebun pala dan banyak aren. Di boven Tebing Tinggi ini tampak beberapa
kebun lada yang diusahakan dan terpelihara dengan baik oleh Battakkers (penduduk
Batak).
Pada jaman dulu (di
era kakek dan kemudian ayah Sultan) menurut Controleur di area ini merupakan
area lada namun hancur oleh kerusuhan antara Batak dan Melayu. Petani-petani
Melayu melarikan diri sementara petani-petani Batak terus mengusahakan hingga
kini. Menurut penglihatan Controleur, kebun-kebun lada masih terpelihara dengan
baik; cabang diarahkan oleh dedap, jenis kayu tertentu yang tumbuh dimana biji
lada tumbuh dengan cepat dan merata.
Ekspedisi ke Bataklanden (1905) |
Pukul
delapan rombongan meninggalkan Kampoeng Baro (kini Medan Baru) dan diperkirakan
tiba pukul lima di Deli Toea. Sekitar satu jam jelang kampong Deli Toea, tampak
pada sisi kampung arah rombongan datang terdapat benteng tanah, yang dikatakan doeloenya
itu merupakan tempat yang diperkuat ketika Deli Toea melawan musuh yang datang mengganggu
dari arah laut. Deli Toea ini doeloenya merupakan jalur yang terhubung dengan laut
dimana sungai di dekat kampong ini mampu jangkar. Rombongan sempat keliling
selama sejam lalu mendaki ke daerah perbukitan dimana rombongan tiba di Deli
Toea. Nasib Deli Toea kini hanya kenangan bahkan saat rombongan melihat bahkan
untuk perahu yang sangat kecilpun tidak ada yang bisa lagi melayarinya.
Di pintu masuk kampung
dalam jumlah besar orang Batak penduduk kampong sedang menunggu kedatangan
rombongan. Rumah-rumah para penduduk kecil-kecil dan mereka tidak bisa
membayangkan bahwa begitu sedikit tempat tinggal yang cukup untuk memberikan
perumahan bagi begitu banyak orang yang datang yang jumlahnya dua ratus orang.
Namun gubuk-gubuk sederhana semua harus berbagi. Rumah ini semua pada tingkat
dasar, bangunan yang terbuat dari bamboo dengan atap terbuat dari idjoek. Di
tengah-tengah kampong terdapat sebuah bangunan tempat dimana semua beras mereka
disimpan. Tampak bahwa rumah mereka sudah memiliki beberapa tahun dengan
melihat lumut yang tumbuh di atap. Rumah penghoeloe kampong (kampongsboofd)
adalah tiga puluh kaki panjang dan sepuluh kaki lebar.
Penduduk
kampong terdiri dari Battakkers; Namun, pakaian pria memiliki
banyak kesamaan dengan orang Melayu. Sarung Melayu dan syal. Kampung ini
mirip kampong orang Melayu, kecuali di sini tampak babi yang bebas berjalan-jalan di sekitar. Rombongan disambut panghoeloe kampong
yang datang bersama istri dan anak perempuan mereka. Mereka menawarkan kepada tiap
anggota rombongan sirih yang dilengkapi dengan gambir dan kapur. Tanpa terkecuali
semua ditawarkan. Tidak ada yang menolak, adalah penghinaan untuk menolak.
Kampung Batak di Boekoem (1867) |
Laboehan Deli, Kampung Melayu dan Medan
Poetri, Kampung Batak
Pada
awal kehadiran Belanda di Deli (1863-1866) Laboehan Deli hanya sebuah kampong
dengan sekitar 200 rumah yang terdiri dari Melayu, Atjeh, Cina dan Batak.
Aktivitas perdagangan sudah jauh menurun dibanding doeloenya. Namun begitu,
Laboehan Deli adalah ibukota lanskap Deli tempat dimana Controleur bertugas.
Nienhuys, industrialis pertama di Deli sudah hadir. Kehadiran letnan Inggris
dari Penang di Laboehan Deli besar kemungkinan sebagai wakil Inggris.
Jalur transportasi darat dari Laboehan Deli ke Bataklanden |
Suku Sukapiring di Medan |
Pengertian suku
dalam hal ini adalah bersifat territorial bukan genealogis. Namun gelar para
pimpinan suku ini mengikuti gelar yang digunakan di dalam lingkungan kesultaan.
Masing-masing suku terdiri dari beberapa kampong (area) yang dikepalai oleh
seorang Datoe. Kampung Medan Poetri yang berada di pertemuan sungai Deli dan
sungai Baboera adalah bagian dari suku Soeka Piring. Penduduk kampong Medan
Poetri dan tetangganya Kampung Soeka Moelia adalah
perkampungan Batak.
Dengan demikian, kampung Medan
Poetri dan Kampung Soeka Moelia bertetangga dekat dengan Kampung Tebing Tinggi,
Kampung Baru dan Kampung Deli Toea yang teridentifikasi sebagai perkampungan
Batak. Nama Kampung Soeka Moelia juga ditemukan di dataran tinggi. Suku Suka
Piring juga adalah area yang menjadi kampong-kampung Batak yang berasal dari
Siberaya, Urung Soekapiring (lihat Bonatz, Miksic and Neidel). Hal ini diperkuat dengan kepala suku Suka Piring yakni Orang Kaya Indra.Diradja
adalah yang menjadi pemandu (penghubung antara rombongan dengan kepala-kepala kampong)
selama ekspedisi ke Bataklanden tahun 1866.
Selanjutnya…
Pada tahun 1863
Belanda secara defacto sudah berada di Deli (dengan kehadiran Residen Netscher
dan Controleur van Cats). Pada tahun 1865 secara dejure Deli menjadi salah satu
bagian pemerintah tingkat terendah dari Asisten Residen di Siak Indrapoera
dengan menempatkan controleur di Deli.
Pada tahun 1875
status controleur Deli ditingkatkan menjadi Asisten Residen dan di
onderafdeeling Medanditempatkan seorang controleur. Kemudian, berdasarkan
beslit nomor 12 tanggal 28 Juni 1879 ibukota Deli (Asisten Residen) pindah dari
Laboehan Deli ke Medan. Pada tahun 1879 bangunan termewah yang ada di Medan
adalah rumah (huis) kepala administratur dari NV. Deli Maatschappij.
Pada tahun 1881
terjadi perubahan pemerintahan di Deli. Selain sudah terdapat controleur di
Medan, Langkat (Tandjoengpoera) dan Laboehan Deli serta Serdang, juga
ditempatkan seorang controleur di onderafdeeling Tandjoeng Djati (Bindjei) dan
Tamiang. Pada tahun 1887 Asisten Residen Deli ditingkatkan menjadi Residen
(ibukota Sumatra’s Oostkust pindah dari Bengkalis ke Medan) yang parallel Sumatra’s
Oostkuts dipisahkan dari Riouw.
Pada tahun 1905
Residentie Tapanoeli dipisahkan dari Province Sumatra’s Westkust dan Residentie
Tapanoeli menjadi bersifat otonom (BB/setingkat province) yang langsung dibawah
Gubernur Jenderal di Batavia. Pada tahun 1909 Kota Medan menjadi Kotamadya
(Gemeente). Pada tahun 1915 Residentie Sumatra’s Oostkust ditingkatkan menjadi
Province. Paralel dengan ini Tamiang dipisahkan
dari Sunatra’s Oostkut dan Singkel dipisahkan dari Residentie Tapanoeli dan
secara bersama-sama dimasukkan ke Residentie Atjeh. Lalu.
Pada tahun 1824
dalam pemilu pertama Residentie Tapanoeli dan Residentie Atjeh disatukan
menjadi satu dapil, sedangkan Province Sumatra’s Oostkust menjadi satu dapil.
Pada tahun 1945, pemerintah RI, Sumatra’s Oostkuest menjadi Residentie dan
secara bersama-sama dengan dua residentie lainnya (Tapanoeli dan Atjeh) menjadi
satu province (Noord Sumatra).
Untuk memahami detail kronologisnya, mulailah membaca dari serial
pertama Sejarah Kota Medan (klik link di bawah).
.Para sultan mulai memainkan peran penting atas penduduk Batak. Awalnya menyewakan tanah-tanahnya di Laboehan Deli dan Pertjoet, kemudian membeli tanah-tanah penduduk Batak di Medan dan sekitarnya lalu disewakan dalam bentuk konsesi kepada investor asing. Sultan mendapat keuntungan besar dari transaksi besar-besaran atas konsesi ini, tetapi penduduk Batak tidak menerima konpensasi apapun. Oleh karena penduduk Batak yang belum begitu paham atas siasat Sultan ini maka tidak timbul reaksi dari penduduk Batak. Baru setelah misionaris masuk tahun 1890, masalah ini ditemukan. Atas keuntungan 'menggadaikan' tanah-tanah penduduk tersebut (beli murah tetapi menyewakannya dengan mahal) Sultan mampu membangun istana megah di Medan dan meninggalkan istana yang bersahaja di Laboehan Deli (jauh lebih megah dari semua istana di Nederlansch Indie). Sementara penduduk yang bersahaja baik Melayu maupun Batak tidak mendapat apa-apa. Kemewahan dan kemakmuran di kalangan istana tidak berdampak apa-apa terhadap penduduk di sekitarnya. Dalam hal ini Belanda (pemerintah maupun pengusaha) telah berhasil meninabobokkan sultan dan para pangeran, kecuali Sultan Serdang yang tetap waspada yang memang sejak dari awal sudah disingkirkan terlebih dahulu. Belandalah yang menjadi aktor penting tentang dinamika di Deli dan khususnya Medan, yang boleh jadi Sultan Deli hanya sebagai korban. Dan memang itulah tujuan kolonialisasi: 'mengambil keuntungan sebanyak-banyak, dengan mengorbankan banyak penduduk dan memberi keuntungan sebagian kepada segelintir orang'..... ..
Bersambung:
Baca juga:
*Dikompilasi
oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan
sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama Sumatra Courant tahun 1864 dan 1875..
1 komentar:
mantap min artikelnya bisa menambah wawasan orang medan, horas.
salam dari Berita Kuliner Terbaru
Posting Komentar