Budidaya lada di Kampong Batak di Deli (1878) |
Boeloe Tjina adalah tetangga Deli, dua lanskap yang
dibatasi oleh sungai Deli. Lanskap Boeloe Tjina dulunya beribukota Sampei,
suatu pelabuhan disisi kanan sungai Boeloe Tjina. Nama Boeloe Tjina adalah nama
baru Sampei. Dalam buku Negarakertagama disebutkan tiga pelabuhan besar yang
ditaklukkan oleh kekuatan maritim Majapahit dibawah panglima Gajah Mada, yakni:
Panai (muara sungai Baroemoen), Sampei (muara sungai Boeloe Tjina/Hamparan
Perak) dan Haroe (muara sungai Wampu). Pelabuhan Sampei pada 1860 masih eksis
yang dihuni oleh lima puluh rumah penduduk yang dikepalai oleh syah Bandar.
Pelabuhan ini masih aktif untuk ekspor lada, gading, tembakau dan impor garam
dan opium. Laboehan Deli adalah nama pelabuhan yang muncul kemudian dan telah
menggantikan posisi penting Sampei (Boeloe Tjina).
Asal Usul Perkebunan Tembakau yang Sebenarnya di Deli
Jacob Nienhuys, anak seorang broker tembakau
di Amsterdam mulai belajar tembakau diperkebunan milik Willem III di dekat
Rhenen (Jerman). Dengan pengetahuan budidaya tembakau, kemudian atas ajakan
seorang Jerman, Nienhuys berlayar ke Nederlandsch Indie, 1860. Nienhuys, pemuda
umur 23 tahun mulai bekerja pada sebuah perkebunan tembakau di Rembang dan
Probolinggo, suatu perkebunan milik pemerintah yang menjalin kerja sama dengan
perusahaan rokok Nicot (Ngladjoe).
Pada tahun 1862, Nienhuys dan koleganya,
seorang Arab (sebut saja Mr. Arab) dari Surabaya tergugah untuk mengunjungi
Deli sebagai tanah yang menjanjikan bagi petualang tembakau: ‘land van belofte
voor tabakkers’. Nienhuys, mendapat
informasi dari koleganya, Mr. Arab, bahwa di Deli juga (selain di Jawa) tembakau
dibudidayakan oleh penduduk Batak. Kedua orang ini lalu berangkat ke Batavia
untuk melakukan persiapan. Mereka berdua pertama menemui pimpinan perusahaan JF
van Leeuwen & Co. Perusahaan ini dipimpin oleh Mr. Falk yang mana JF van
Leeuwen & Co sendiri berpusat di Amsterdam.
Mr. Arab memulai pembicaraan dengan Mr. Falk bahwa
dirinya telah lama di Jawa dan memiliki koneksi dengan Sultan di Deli yang
merupakan keponakan dari istrinya. Mr. Arab menceritakan bahwa kondisi yang
luar biasa di Deli dimana lada dan tembakau dibudidayakan dan telah
berkembvang. Informasi ini juga diperolehnya dari artikel yang dibacanya di
Jawa. Mr. Arab meyakinkan calon partner ini bahwa dia dapat menghubungkan orang
Eropa dengan Sultan dan bersedia menemaninya. Mr. Arab akan meminta Sultan
menyediakan lahan dan memberikannya monopoli opium dan garam. Cerita ini
menarik bagi Mr. Falk lalu mencoba untuk menghubungi Mr. Maintz.
Akhirnya dibuat kesepakatan bahwa perjalanan
ini akan dibiayai oleh dua perusahaan JF van Leeuwen & Co dan Maintz &
Co. Dalam hal ini perjalanan akan terdiri dari JCLB Falk mewakili JF van
Leeuwen & Co, Mr. Elliot ditunjuk mewakili Maintz & Co dan Mr. Arab akn
ikut mendampingi ke Deli. Juga diputuskan Mr. Nienhuys yang telah lama bekerja
di Perusahaan Tempeh dalam misi ini ditambahkan. Oleh karena perjalanan dari Batavia
ke Deli bukanlah hal yang mudah, bahkan sangat sulit dan akan banyak waktu yang
hilang, maka kemudian disepakati akan
mencarter kapal ‘Josephine’ dengan kapten Kuipers dipekerjakan dengan upah f100
per hari ditambah f15 yang mana untuk makan tiga penumpang lainnya tanpa
anggur.
Pada Sabtu malam bulan Maret 1863 perjalanan dimulai yang berangkat dari Batavia menuju
Singapore dimana penumpang yang naik Falk, Elliot, Nienhuys dan Mr. Arab yang
dilepas oleh Mr. v. Leeuwen, Mr. Maintz, Driessen dan Kolft dengan sampanye.
Perjalanan kapal uap ini singgah di Bangka lalu diarahkan ke Riaou untuk
berkunjung kepada Resident di Tandjong Pinang (P. Bintan).
Tim menghadap Residen Netscher dan
menjelaskan tujuan perjalanan, lalu menggali informasi tentang situasi dan
kondisi di Deli, juga meminta surat untuk disampaikan kepada yang berwenang di
Sumatra. Residen menyatakan bahwa dirinya sangat senang dengan rencana tim ke
Deli apalagi untuk urusan tembakau yang merupakan pertanda baik. Residen
menceritakan beberapa hal tentang Deli dan orang-orang disana serta memberi
petunjuk kepada kapten bagaimana menuju ke sana.
Netscher pada bulan Februari
1863 telah melakukan ‘kunjungan dinas’ ke Deli (lihat artikel sebelumnya).
Netscher datang dengan kapal perang yang buang jangkar muara sungai Deli dan
melakukan kontak damai di atas kapal dengan dua kepala suku Batak (Sebaja
Lingga dan Goenoeng Radja). Bandar Laboehan sendiri dibawah penguasaan Sultan
Deli berada setengah mil ke arah hulu sungai Deli. Kampung Deli ini terdiri
dari 200 ratus rumah sederhana terbuat dari bamboo dan atap nibung. Istana
Sultan Deli, hanya sebuah bangunan rumah biasa yang terbuat dari kayu berbentuk
panggung berukuran panjang sembilan puluh kaki dan lebar tiga puluh kaki.
Di Laboehan Deli terdapat sejumlah pria Atjeh yang
dipersenjatai dan empat rumah panggung dengan arsitektur Batak. Wilayah kekuasaan
sultan sendiri hanyalah Laboehan Deli dan Pertjoet. Sedangkan penduduk keseluruhan
Deli terdiri dari beberapa ribu jiwa Melayu terutama di Kampung Laboehan, sementara
sekitar duapuluh Tionghoa dan sekitar seratus Hindu berdarah campuran.
Sedangkan Batak dapat dikatakan sangat banyak, yang sebarannya mulai dari
pantai hingga ke batas pegunungan yang dipimpin oleh kepala suku yang jumlahnya
ditaksir sekitar 40.000 jiwa. Empat rumah Batak di kampong Laboehan adalah
empat keluarga pimpinan (kepala suku) Batak (mungkin semacam konsulat Batak di
Laboehan)
Berdasarkan informasi dari Netscher yang baru
beberapa minggu sebelumnya ke Deli, tim dari Riouw berangkat ke Singapura lebih
dahulu, dimana tim turun dan menginap di Hotel de l’Europe. Tujuan utama adalah
untuk melakukan persiapan dengan membeli opium dan lijnwaden dan uang tunai
20.000 dollar. Persinggahan pertama setelah dari Singapore adalah Bengkalis
untuk menyerahkan surat dari Residen kepada Asisten Residen Arnoudt dan juga
untuk meminta surat kepada Controleur.
Lalu perjalanan dilanjutkan dan singgah di
Batoebara, kemudian dilanjutkan ke Bedagai dan akhirnya Josephine belabuh
jangkar pada rabu malam di muara sungai Deli, tidak jauh dari kediaman Sultan
Deli. Pada pagi hari berikutnya, pukul satu dinihari, dua kapal besar berlabuh
di Laboean. Oleh karena perjalanan yang melelahkan tim akan ke darat pada pukul
empat sore. Kesan yang pertama dirasakan bahwa tidak mencerminkan suatu tempat
yang makmur.
Laboehan hanya terdiri dari beberapa rumah
dan beberapa penduduk lokal sehingga untuk mengangkat barang-barang harus
dilakukan oleh anggota tim sendiri. Kemudian atas nama Sultan, kami diberitahu
dan ditunjukkan sebuah rumah tempat dimana kami tinggal. Lalu kami mendapat
kabar bisa menemui Sultan keesokan hari. Namun karena hari Jumat, Sultan ke Mesjid
dan baru pukul 4.30 kami dapat diterima di istananya. Istana Sultan adalah
rumah panggung biasa yang berukuran besar yang berada di atas tanah yang dapat
dibilang jauh dari bersih.
Sebelum sampai di rumah, kami disambut dengan
tembakan meriam sebanyak 13 kali dan kemudian kami diajak masuk ke dalam tanpa
ada furniture dan kami bertiga Falk, Elliot dan Nienhuys duduk. Sultan duduk
didampingi oleh pasukan. Sedangkan Mr. Arab duduk di dekat kami. Sultan
diperkirakan berumur empat puluhan, berwajah besar dengan sepasang mata yang
hidup. Penerimaan yang sopan dan santun. Kami ditawarkan rokok dan air kelapa.
Kami melaporkan tujuan kedatangan dan sultan
mendengar dengan penuh perhatian melalui terjemahan Mr. Arab. Kami meyakinkan
sultan bahwa daerah ini sangat sesuai untuk perkebunan tembakau, dan sultan
sendiri menyampaikan baru ini pertama kali orang Eropa menaruh minat untuk
berkebun di Deli. Hari berikutnya Sultan membawa kami mengunjungi lokasi. Pada
hari berikutnya kami berkeliling jauh hingga menyeberangi sungai tanpa Sultan,
tapi sultan sendiri menyediakan kami kuda. Kami mencatat beberapa tanah yang
sangat cocok untuk tembakau.
Setelah itu kami bertemu kembali dengan
Sultan untuk melakukan perjanjian kontrak dengan dua perusahaan. Sultan Deli
sendiri telah memberikan tanah sekitar 4.000 bau sepanjang sungai untuk jangka
waktu 20 tahun dengan rincian sebagai berikut: sepuluh tahun pertama bebas sewa
dan sepuluh tahun berikut dengan sewa $200 per tahun. Juga disepakati lebih lanjut bahwa kami
menyediakan impor berbagai produk tetapi opium dan garam akan menjadi monopoli Sultan. Sebagai imbalnya, Sultan akan mengusahakan
pasokan lada buat kami dengan menyediakan dana $2.000. Dengan cara begini kami dapat konsentrasi untuk
melakukan budidaya tembakau.
Netscher adalah mantan Residen Tapanoelie (1853-1855). Pada tahun 1864, Asisten Residen Mandheling en Ankola melarang impor opium atas permintaan para permintaan pribumi (Staatblaads No 112 Tahun 1864). Sebelumnya, opium masuk ke Mandheling en Ankola melalui pedagang-pedagang Tionghoa dari Padang via pelabuhan Natal dan pelabuhan Djaga-djaga.
Selama kami tinggal di Laboean, kami memiliki kesempatan berbicara dengan beberapa
Batakhoofden (pimpinan suku Batak) dan kesediaan mereka untuk menyediakan tenaga kerja dan juga kesepakatan
untuk penyewaan tanah-tanah Batak dengan sistem ‘maro’ yakni memberikan uang
muka dan makanan sampai panen yang mana hasilnya diserahkan kepada kami. Hasil tembakau setengah menjadi milik kami dan setengah lainnya untuk para
pekerja yang mengusahakan tanah dan memperhitungkan
kembali setiap jumlah deposit per lahan akan dipotong.
Setelah menghabiskan waktu sekitar tiga minggu kami harus
memperhatikan kembali ke Jawa. Kami sepakat bahwa Mr Nienhuys dan Mr. Arab akan tinggal di Laboean dan segera setelah kami tiba di Batavia kami akan mengirimkan orang Eropa yang akan
memungkinkan cocok dengan pekerjaan tersebut. Sebelum pulang, kami membeli beberapa kuda yang terkenal tangguh dari daerah Batak.
Dalam perjalanan pulang, kapal uap Jesephine bergerak sangat lambat selain karena cuaca juga kami di Malaka kami harus singgah untuk mengambil rumput dan air untuk
kuda. Sementara itu di Malaka kami mendapat tumpangan surat dan seorang penumpang dari
Melaka ke Singapora dan juga menjemput di Singapura dua wisatawan Eropa. Akhirnya setelah cukup lama kita datang kembali ke Singapura, Josephine membuang jangkar yang telah membawa orang Eropa
pertama ke Deli. Lalu di pantai Cina kapal mengambil alih kargo kayu. Istri kapten kembali ikut perjalanan juga. Sebelum berangkat melanjutkan ke Batavia, Mr Falk ke Riau dulu sendiri untuk melapor (rappporteeren) kepada Residen
Netscher sekalian
pengesahan tentang permintaan dan persetujuan kontrak
tanah kepada Sultan Deli. Residen tidak keberatan dan memberikan persetujuan untuk kontrak
tanah pertama di Deli kepada orang Eropa yang mana kontrak
tanah yang dikeluarkan yang dalam arsip atas
nama dua perusahaan yang berkantor di Batavia.
Setelah kembali ke Batavia Mr. Falk melaporkan. Kedua firma menawarkan untuk
kepala bisnis di Deli
adalah Mr. Falk. Namun untuk alasan pribadi dia menolak tawaran itu dan menawarkan kepada Mr. Nienhuys dengan gaji sementara Æ’500 sebulan dan saham keuntungan. Untuk
memudahkan perjalanan Batavia-Deli kedua perusahaan ini membeli sebuah kapal uap
trayek Palembang- Singapoere yang diberi nama Henriette sesuai dengan nama putri Mr. Falk yang baru lahir.
Di Deli Mr. Nienhuys mulai bekerja. Wakil
pemerintah, Mr. Arnoudt, Asisten Resident di Bengkalis menunjuk Mr Locker de Bruin.
Pelabuhan Singapore sejauh ini berperan penting bagi usaha baru ini sebagai
penghubung antara Batavia dan Deli. Singkat cerita, dalam perkembangannya, gudang
lada yang berhasil dikumpulkan oleh Sultan terbakar. Kedua perusahan menanggung
rugi dan karena tidak ingin menanggung rugi lebih banyak, kedua perusahaan ini mengakhiri
program perkebunan di Deli ini. Kapal Henriette dijual murah di Singapoera.
Mr. Nienhuys sendiri
tetap meneruskan usaha yang telah dirintis. Dalam hal ini,
Nienhuys tidak meninggalkan kerugian apa-apa (karena hanya sebagai pekerja) di
Jawa Timur atas kepindahannya ke Deli, juga tidak menanggung kerugian karena
uang selama ini hanya disupply dua investor dan hanya dijanjikan berbagi saham.
Tetapi kini di Deli, setelah dua investor mengundurkan diri, Nienhuys sudah
memiliki impian: ladang tembakau yang tengah berjalan. Intinya: meskipun kedua perusahaan investor ini tidak menuai manfaat, namun dua perusahaan JF van
Leeuwen dan Maintz haruslah dicatat sebagai perusahaan investor pertama perkebunan
tembakau di Deli. Mr. Nienhuyslah yang meneruskannya: ibarat pemain bola, Nienhuys adalah second striker..
Nienhuys Mencari Tenaga Kerja ke Singapore
Para koeli Tjina, Djawa, India dan Batak di Deli, 1870 |
Nienhuys tahu diri. Seorang pemuda lajang
yang secara financial tidak memiliki apa-apa. Hanya seorang pekerja di
perkebunan tembakau di Rhennen, Rembang dan Probolingo. Meski temannya, Mr.
Arab tidak betah dan baru beberapa hari memulai pekerjaan harus kembali ke
Jawa. Pekerjaan land clearing sudah tuntas dan proses penanaman dimulai. Nienhuys
yang masih berusia 23 tahun tinggal sendiri di tengah hutan belantara Deli.
Namun Nienhuys beruntung masih ada teman
setianya seorang kepala suku Batak (sebut Mr. Batak) yang selama ini memasok
pekerja untuk kebutuhan Nienhuys dalam mengolah lahan dan menanam tembakau. Nienhuys
dan Mr. Batak tidak mudah mendapatkan pekerja baik dari penduduk Melayu maupun
penduduk Batak di Deli. Namun usaha mereka berdua yang telah berkeliling jauh
ke pedalaman ke kampong-kampong Batak hingga jauh di pertemuan sungai Deli dan
sungai Babura mendapatkan hasil beberapa pekerja.
Mr. Nienhuys adalah orang Eropa pertama yang masuk ke
pedalaman di Deli tempat dimana kampong-kampong penduduk Batak berada. Nienhuys
dapat diterima dengan senang hati (dengan dipandu kepala suku Batak) meski baru
itu pertama kali mereka melihat orang berkulit putih (Eropa).
Namun penduduk Batak dan penduduk Melayu yang
dipekerjakan tidak sesuai harapannya. Menurut Nienhuys para pekerja itu
cenderung bermalas-malasan, agak ceroboh untuk menangani hal yang detail dan
nilai terbaik mereka terutama pekerja Batak hanya dalam urusan membuka hutan
(land clearing). Mr. Batak angkat tangan atas keluhan rekan bulenya itu, lalu
Mr. Nienhuys punya inisiatif untuk mencari alternatif ke Penang.
Mr. Nienhuys pergi ke Penang dengan perahu kecil. Setelah dua minggu
Nienhuys berhasil membawa tenaga kerja asal Jawa yang banyaknya selusin. Namun
pimpinan tenaga kerja ini, seorang haji (sebut Mr. Hadji) yang diharapkannya
mampu memimpin tenaga kerja, namun malah kekecewaan yang didapatkan Mr.
Nienhuys, karena Mr. Hadji lebih terkonsentrasi menjadi guru agama untuk
membimbing Melayu daripada tenaga kerja yang berada di perkebunan. Meski begitu, Mr. Nienhuys, pengusaha muda dalam bidang tembakau ini, masih mampu menghasilkan lima puluh paket tembakau yang sangat bermanfaat dan mengirimnya untuk dibagikan kepada para pemegang saham.
Namun tidak disangka tiba-tiba api yang menghanguskan
gudang lada menjadi penyebab kongsi dengan investor bubar. Nienhuys harus
mencari investor baru. Kini, Mr. Nienhuys tidak saja kehilangan teman Mr. Arab,
tetapi juga benar-benar kehilangan investor utama dari van Leeuwen & Co dan
Maintz & Co.
Untuk memulai kembali, dengan investor baru (Mr. van de Arend), Mr. Nienhuys melakukan upaya kali kedua untuk
pergi lagi melakukan perjalanan ke Penang untuk mencari tenaga kerja baru. Nienhuys berhasil merekrut sebanyak 120 kuli Cina. Nienhuys merasa sesuai dengan yang diharapkan dengan
kuli Cina, tetapi memiliki perilaku yang berbeda. Untuk itu Nienhyus harus melatih
mereka sebagai orang asing dan harus adaptif dalam budaya setempat. Ini dimaksudkan untuk menjaga ketertiban di tengah masyarakat, termasuk dirinya
sebagai satu-satunya orang Eropa.
Meski usaha yang dilakukan lebih banyak duka daripada
suka, tetapi hasil yang diperoleh tidak terlalu mengecewakan. Pada tahun 1865, Mr. Nienhuys menghasilkan panen sebanyak
189 paket yang mana dikirim sendiri Mr. Nienhuys ke Belanda, dimana
harga yang diperoleh di Rotterdam rata-rata dengan 140 per paket.
Panen tahun 1866 posisi Mr. Nienhuys digantikan oleh yang lain, namun
gagal sepenuhnya karena
berbagai keadaan. Pada tahun berikutnya, bagaimanapun, kembali menuai sukses besar dan menghasilkan keuntungan murni sebesar 35 ribu gulden. Saat ini beberapa
ahli tembakau mulai fokus mata mereka pada Deli yang banyak menjanjikan. Mr. van de Arend yang menjadi investor pensiun. Untuk musim tanam 1868 investasi disediakan oleh Mr. PW Jansen.
Pada tahun 1869 Nienhuys bersama Jansen mendirikan perusahaan
yang diberi nama Deli Maatschappij yang mengambil alih konsesi Mr Nienhuys untuk dijadikan asset perusahaan. Janssen
duduk sebagai direktur.
Usaha tidak kenal menyerah Mr. Nienhuys di Deli dengan mitranya yang dimulai dari pabrik kecil yang dengan begitu banyak masalah, namun usaha tetap tumbuh meski tertatih-tatih, kini
telah berkembang menjadi
sebuah pohon yang indah. Satu keajaiban yang
telah mengangkat Deli melalui Deli Maatschappij. Kelak, tembakau di Deli telah ditanam di 110 kebun
(onderneming) yang dimiliki oleh 38 maatschappij. Panen 50 bungkus oleh Mr. Nienhuys yang dibuat pada musim tanam tahun pertama (1864), naik dalam empat puluh
tahun menjadi 234.000 karton, senilai 36
juta gulden pada tahun 1904. Pada tahun ini
Mr. Nienhuys, sang pelopor telah memasuki usianya yang ketujuhpuluh tahun.
PW Janssen: Investor baru mitra Nienhuys
Investor baru PW Janssen masuk pasca van
Leeuwen, Maintz dan van de Arend. Ini artinya pada tahun 1868 secara teknis
(plantation) budidaya tembakau sudah memperlihatkan prospek baik di Deli. Namun
secara ekonomis masih harus berjuang keras. Kehadiran Peter Wilhelm (PW)
Janssen sangat diperlukan dalam tim Nienhuys.
PW Janssen sangat menaruh kepercayaan
terhadap keteguhan hati Mr. Nienhuys. Inilah modal yang sesungguhnya dari
Janssen, mempercayai Nienhuys. Lalu dengan masuknya PW Janssen segala
sesuatunya menjadi berubah. Kebetulan keduanya memiliki latar belakang yang
mirip: Nienhuys, asli Belanda yang memulai kerja sebagai buruh kebun tembakau
di Jerman, Janssen, asli Jerman yang memulai kerja sebagai buruh kebersihan dan
tukang pengosok sepatu di Amsterdam, Belanda. Nienhuys dimata Janssen bukanlah
petualang, tetapi seseorang yang tekun dan memiliki kejujuran. Inilah yang
membuat Janssen tertarik bermitra dengan Nienhuys. Perpaduan antara petani
(Nienhuys) dan pedagang (Janssen) dalam menggerakkan ekonomi tembakau di Deli.
(tunggu
deskripsi lebih lanjut)
Bersambung:
*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber tempo doeloe (utamanya koran-koran
berbahasa Belanda).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar