Sejarah Kota Medan (41): Pemilu di Era Belanda; Radja Goenoeng, Pribumi Pertama Anggota Dewan Kota Medan
Sejarah Kota Medan (32): Hari Jadi Kota Medan, Suatu Interpretasi yang Keliru; Untuk Pelurusan Sejarah, Ini Faktanya!
Para komandan koeli Tjina di Deli, 1870 |
***
Pada
bulan Februari 1863 di Deli sudah terdapat sekitar dua puluh orang Tionghoa
(catatan Residen Riou, Netscher). Mereka ini berbaur dengan berbagai penduduk
yang bermukin di Laboehan Deli: Melayu, Atjeh, India berdarah campuran dan
Batak. Orang-orang Tionghoa ini tidak diketahui darimana datangnya: Apakah sisa
penduduk Cina era tempo doeloe (Boeloe Tjina) atau pendatang baru yang merantau
dari Penang atau pesisir pantai timur Sumatra (Riaou). Yang jelas mereka
hidupnya berdagang.
Pada
bulan Maret 1863 Nienhuys tiba di Laboehan Deli untuk tujuan membuka perkebunan
tembakau. Disepakati dalam suatu perjanjian: Sultan Deli menyediakan lahan dan
Nienhuys akan bebas sewa sepuluh tahun pertama dan 10 tahun berikutnya dengan
sewa f200 pertahun. Disamping itu disepakati: Sultan mengumpulkan lada (ekspor)
dari penduduk Batak dan Nienhuys mendatanngkan barang (impor) dari luar. Untuk
urusan distribusi opium dan garam menjadi monopoli Sultan.
Untuk
menyediakan tenaga kerja, Nienhuys, satu-satunya orang Eropa di Deli bersama
temannya seorang kepala suku Batak berkeliling di Deli untuk mencari orang
Batak dan orang Melayu yang bersedia bekerja di kebun tembakau. Beberapa tenaga
kerja yang didapat oleh Nienhuys hasil pekerjaannya tidak memuaskan: cenderung
bermalas-malasan, ceroboh dan kurang hati-hati soal pekerjaan yang memerlukan
penuh perhatian. Kepala suku Batak angkat tangan terhadap keluhan Nienhuys.
Nienhuys
berinisiatif pergi ke Penang untuk mencari tenaga kerja. Ditemukan selusin
pekerja yang berasal dari Jawa. Namun sang pimpinan tenaga kerja, malah lebih
konsentrasi menjadi guru agama buat orang-orang Melayu daripada mengawasi
anggotanya yang bekerja di kebun. Nienhuys kembali lagi ke Penang mencari
tenaga kerja dan berhasil membawa sebanyak 120 orang kuli Cina. Sangat
memuaskan Nienhuys dan sesuai yang diharapkan untuk bekerja di perkebunannya.
***
Keberhasilan
Nienhuys memproduksi tembakau dan dikirim ke Eropa ternyata diapresiasi sangat
baik. Para ahli tembakau memusatkan perhatian melihat Deli. Sejak itu investor
berdatangan dan semakin banyak lahan kosong yang dibuka menjadi kebun tembakau.
Dan semakin banyak pula kuli Cina yang dibutuhkan dan semakin banyak pula kuli
Cina yang didatangkan dari Penang, Malaka dan Singapora..Pada tahun 1869 jumlah kuli Cina di Deli terhitung
sebanyak 900 orang. Jumlah ini terus meningkat. Perputaran uang telah memicu berdatangannya
pedagang-pedagang Tionghoa dari pantai dan orang-orang Batak dari dataran
tinggi (bovenlanden) untuk menjual produk-produk surplus mereka. Pertemuan dua
kelompok pedagang ini tidak hanya di Laboehan Deli tetapi juga telah terjadi di
sejumlah kampong-kampung besar. Lambat laun kebutuhan sehari-hari penduduk
makin tersedia dan untuk mengamankan kelebihan pasokan dikirim ke Penang dan
munculnya pelayaran reguler (Laboehan Deli-Penang). Sementara itu kuli semakin banyak yang
didatangkan dari Cina, Siam, Kling dan Java dengan perjanjian kerja. Melihat
apa yang tengah terjadi di Deli, memicu minat Sultan Langkat dan Sultan Serdang
agar investor juga datang ke daerah mereka masing-masing. Praktis pada tahun 1875
(ketika ibukota Deli pindah ke Medan), jumlah kuli Cina di Deli sudah mencapai
6.000-7.000 orang. Sementara itu kuli dari Jawa hanya terdapat di beberapa
titik, mereka itu berasal dari Bagelan.
.
.
Pada tahun 1865, Deli ditetapkan masuk Residentie Riaou
dan menempatkan seorang controleur di Laboehan Deli sebagai ibukota. Pada tahun
1869 didirikan Deli Mij oleh Nienhyus dan Janssen dengan dukungan NHM dengan
menetapkan pusat aktivitasnya di kampong Medan Poetri. Pada tahun 1870 status
controleur di Laboehan Deli menjadi Asisten Residen dan di Medan ditempatkan
seorang Controleur. Pada tahun 1875 ibukota Deli dipindahkan dari Leboehan Deli
ke Medan. Pada tahun 1879 status Asisten Residen ditingkatkan menjadi Residen,
ibukota Sumatra’s Oostkust dipindahkan dari Bengkali ke Medan.
.
Lalu persoalan lain pun muncul. Ini bermula
ketika Mr H, pemilik perkebunan tembakau di Sungai Pertjoet (empat jam jarak
dari kota utama, Medan) dengan dua Eropa yang tengah berada di rumahnya,
terjadi kerusuhan oleh 70-100 dari kulinya (kuli Cina) memberontak dan membunuh
orang Eropanya dan sejumlah pegawainya dari Melayu. Dengan bantuan militer
dibawah komando Letnan Muller dengan satu detasemen yang dikirim, para
pemberontak dapat diamankan, efek domino terhadap ribuan kuli-kuli Cina dapat
terhindarkan..
.
Gubernur Jenderal Loudon di Batavia mulai
menerapkan undang-undang kolonial di Tanah Deli. Di satu sisi untuk mengamankan
para pengusaha di sisi lain, alasan pemerintahan kolonial untuk lebih intens di
Tanah Deli (kekuatan militer yang jumlahnya terbatas selama ini tidak sebanding
dengan 6000-7000 kuli Cina di dalam perkebunan-perkebunan (lihat Java-bode :
nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 22-05-1875). Untuk
mengamankan wilayah, terjadi perubahan yang cepat dalam organisasi militer di
Deli. Ini semua cepat terjadi karena eskalasi sosial yang semakin meningkat
utamanya dari kalangan Tonghoa seperti perdagangan opium, perampokan, dan
kerusuhan.
.
.
Kebutuhan militer di Deli berbeda dengan di daerah lain.
Di Jawa maupun di Sumatra’s Westkust (termasuk Tapenoeli), kebutuhan militer
meningkat karena ada pemberontakan atau perlawanan dari pemimpin masyarakat
terhadap kehadiran Belanda. Di Deli, yang terjadi adalah, kebutuhan militer
meningkat karena eskalasi ekonomi dimana pekerja dari kuli Cina meningkat
(hampir semua kuli perkebunan adalah kuli Cina). Para kuli Cina ini banyak yang
memberontak karena para planter yang kejam terhadap kuli (aturan ordonasi).
Banyak para kuli Cina yang desersi dan berbaur dengan komunitas Tioghoa yang berdatangan
ke Deli untuk tujuan berdagang. Para mantan kuli Cina ini banyak yang melakukan
gangguang social, seperti mabuk-mabukan, perampokan dan penodongan. Karena
itulah kebutuhan militer semakin diperlukan apalagi atas permintaan para
planter (demi menjaga ketertiban dan ordonansi) dan permintaan Sultan (atas
pengaduan masyarakat).
.
.
Pada fase inilah pemerintah (controleur dan
asisten residen) memerlukan para pemimpin Tionghoa untuk diangkat sebagai
letnan. Jabatan letnan ini pertamakali diterima oleh Tjong Yong Hian. Letnan
Cina ini berfungsi sebagai pemimpin Tionghoa dengan diberi gaji, sebagaimana
Sultan yang juga diberi gaji seperti halnya para koeria di Mandailing dan
Angkola (Tapanoeli). Di Deli pemerintah (controleur atau asisten residen)
berpartner dengan Sultan (pimpinan masyarakat asli) dan letnan (pimpinan
komunitas Tionghoa). Letnan Cina sangat efektif untuk mengatasi akibat-akibat
yang muncul di perkebunan yang dilakukan oleh para kuli Cina. Dengan
meningkatnya populasi Tionghoa (migrant baru dan mantan kuli yang tidak pulang
lagi ke kampungnya dan menetap di Deli) kebutuhan pimpinan Tionghoa juga
semakin diperlukan lebih banyak. Ketika di Medan ditempatkan seorang Letnan
Cina untuk menambah kekuatan Letna yang ada di Laboehan Deli maka Letnan Tjong
Yong Hian ditingkatkan statusnya dari Letnan menjadi Kapiten. Letnan Cina yang
diangkat di Medan adalah Tjong A Fie (adik dari Tjong Yong Hian).
Tjong A Fie, Dibimbing
oleh Abangnya (Tjong Yong Hian)
Tidak diketahui persis bagaimana Tjong A Fie tiba
di Medan. Dikabarkan Tjong A Fie datang ke Medan tahun 1875 untuk mengadu
nasib. Saat itu ia baru berusia 18 tahun, dengan berbekal sedikit uang. Ia datang
menyusul abangnya, Tjong Yong Hian, yang sudah beberapa tahun di Medan. Pada
saat itu sanga abang sudah menjadi pemimpin Tionghoa di Medan dengan pangkat kapitan.
Pemerintah colonial Belanda dalam mengatur system
pemerintahannya di suatu wilayah tidak hanya terdiri dari aparatur
Belanda/Eropa, tetapi di dalam pemerintahan juga melibatkan para pemimpin
masyarakat. Melalui para pemimpin yang dibentuk ini roda perekonomian
dijalankan. Kandidat pemimpin masyarakat yang dibentuk (boneka) adalah pemimpin
masyarakat yang dianggap mau berkolaborasi, tidak berseberangan dengan
kepentingan colonial. Pemimpin masyarakat asli diberi gelar sesuai gelar
setempat, seperti Sultan. Pemimpin masyarakat pendatang diberi gelar ala
militer, seperti letnan, kapten dan mayor. Level pangkat ini tergantung pada
luasnya territorial dan besar kecilnya skala ekonomi di wilayah tersebut.
Pengangkatan Tjong Yong Hian Kapten, Tjong A Fie Menjadi Letnan, 1893 |
Bataviaasch nieuwsblad, 25-07-1892: Untuk tgl 11 ini,
oleh daerah tampaknya Intendant ke Medan pasokan makanan, bahan bakar, kain,
dll atas nama Departemen Perang di Deli selama tahun 1893 dan juga untuk tahun 1894
dan 1895 telah didaftarkan oleh: Mohamed Jusouf, Tjong Yong Hian, Lie Sin Seng,
dan Hattenbach & Co
Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 29-09-1894: ‘Di Medan didirikan perusahaan air minum dengan
modal telah f 20.000 dengan investor sekaligus direktur KD van Assendelft.
Anggota komisaris P. de Klerk dan Tjong Yong Hian’.
De locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad,
30-12-1895: ‘Di Perusahaan Semebah Maatschappij di Patumbah, Deli baru-baru ini
terjadi keributan kuli, sehingga controller dari Medan, Asisten Controleur
Breukink dan letnan Cina, Tjong A Fie harus datang ke TKP, disertai oleh
beberapa polisi di bawah pimpinan sersan’
Keberadaan Tjong Yong Hian semakin menguat di
Medan. Tidak hanya sebagai pengusaha tetapi juga menjadi komisaris di berbagai
perusahaan. Tjong Yong Hian dan adiknya Tjong A Fie semakin diperhitungkan
karena menjadi bagian dari sindikat opium Hokkian (Keh-Kongsi) di Penang,
Singapura, Batavia, Padang dan Medan.
De locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad,
26-08-1896: ‘Opium di Pantai Timur Sumatera. Untuk leasings opium mendatang
untuk wilayah ini di abu September dapat dilihat menuju persaingan ketat. The
Hokian Cina di Penang, Singapura, Batavia dan Padang; persiapkanlah diri untuk
menguatkan diri terhadap sekarang di sini tenancy memiliki Keh-Kongsi yang
dikenal Tio Tiaaw Siat, sebagai kepala. Untuk perwakilan pantai timur Sumatra
oleh bersaudara Tjong Yong Hian dan Tjong A Fie’
Tjong A
Fie Naik Pangkat Menjadi Kapten, Tjong Yong Hian Menjadi Mayor
Tjong A Fie bukanlah Robin Hood, Tjong A Fie
adalah manusia biasa yang oportunis. Paham betul arti menumpuk kekayaan,
bagaimanapun itu caranya. Dan dengan kekayaan itu, kekuasaan akan terbentuk.
Dengan kekayaan tak terbatas, sisi pedang yang tajam akan menjadi lebih tajam
dari pedang yang benar-benar pedang. Garis nasib Tjong A Fie mulai bersinar
beberapa tahun sebelum berakhir abad ke 19. Posisinya di Medan menjadi orang
yang ditinggikan di kalangan Tionghoa karena pengaruh abangnya, Tjong Yong Hian.
Jauh sebelumnya, Tjong Yong Hian tidak hanya
sukses dalam bisnis, juga sebagai tokoh di dalam masyarakat Tionghoa.
Interaksinya dengan orang-orang pemerintah boleh jadi membuat jalan Tjong Yong
Hian lempang tanpa hambatan. Di dalam pergaulan Eropa juga Tjong Yong Hian
aktif seperti pacuan kuda. Kapasitas Tjong Yong Hian semakin kompleks, sehingga
status Tjong Yong Hian ditingkatkan dari kapten menjadi major, sedangkan Tjong
A Fie menjadi kapten. Peran Tjong A Fie juga telah mulai menonjol.
De locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad,
22-11-1898: Dari Cina di sini adalah lebih dari 500 kontraktor tiba untuk
bekerja sebagai kuli di beberapa perkebunan. Mereka disambut di sini dan
khawatir dengan linmigrantenasyl, Dewan Pengawas terdiri dari Mr. PJ. Kooreman,
Resident, GM Herekenrath, Administrator van Deli Spoorweg-mij, Tjong Yong Hian,
Mayor dari Cina dan Dr. HG W.
Utermöhlen. Tuan-tuan ini memberikan jaminan bahwa nasib para koeli tidak lagi
seperti sebelumnya yang disamakan dengan binatang’.
De locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad,
13-04-1899: ‘Kapten Cina, Tjong A Fie untuk memberikan kehormatan bahwa ia akan
mengadakan penerimaan atas kematian ibunya pada kesempatan Tahun Baru Cina’.
Dalam Dana Kota (Gementeefond) Tjong A Fie
aktif sebagai anggota. Komisi Dana Kota adalah suatu inisiatif pemerintah
membentuk kepanitiaan untuk melibatkan swasta dalam ikut berpartisipasi dalam
pembangunan kota. Kepanitiaan ini terdiri dari swasta dimana panitia dikepalai
oleh Presiden (ibarat pada masa kini Komite Sekolah). Presiden dalam hal ini
adalah Resident.
Jumlah pengusaha di Kota Medan pada tahun 1898 sudah
sangat banyak. Selain plantation sebagai sector utama, juga diiikuti dengan
berkembangnya perusahaan lainnya, seperti listrik, transportasi, dan
perdagangan serta lainnya.
Kepanitiaan ini mengumpulkan uang dari para
anggotanya untuk dianggarkan ke dalam berbagai pembangunan kota seperti
perbaikan jalanm drainasi, selokan dan lain sebagainya. Selain anggota
memberikan uang juga didorong untuk secara independen melakukan inisiatif
sendiri. Komisi Dana Kota menjadi semacam embirio Dewan Kota.
Sebagaimana anggota-anggota yang lain, Tjong
A Fie juga berinisiatif untuk membangun taman dan jembatan. Tjong A Fie tidak
hanya kaya dan mampu berpartisipasi tetapi juga telah memiliki rumah baru yang
megah.
De Sumatra post, 19-04-1899 (Cremeentefonds): ‘pertemuan
diadakan 30 Maret 1899 di di rumah Presiden.. dilaporkan anggaran tahun 1898
sebesar 18 700 telah membnegkak sebesar 2500. Anggaran ini telah digunakan
untuk pembangunan gorong-gorong, drainase…inisiatif swasta sangat diharapkan.. Hcrckenrath
pembangunan pasokan air, melalui filter pasir disaring air sungai yang akan
dipompa ke reservoir tinggi,.. penerangan jalan oleh Perusahaan Listrik Medan..
Presiden menginformasikan niat anggota Tjong A Fie untuk menyumbangkan taman
kota antara kantor hoofdmantri dengan
dan jembatan di atas Deli- sungai dekat penjara polisi..’
De Sumatra post, 21-02-1901: ‘Kemarin malam berkumpul di
rumah Mayor Cina, Tjong Yong Hian, kemudian secara bersama-sama menuju rumah
baru Kapten Cina, Tjong A Fie. Banyak otoritas yang hadir, Sultan diwakili oleh
Toengkoe Bandahara yang mewakili unsur asli, sementara pejabat tinggi adalah
Residen, Assisten Resident dan Sekretaris. Selain itu, banyak tokoh-tokoh
lainnya, pekebun dan individu, juga beberapa petugas. Setelah Mayor Cina memuji
Taoen Baru, mereka menuju rumah baru Kapten Cina yang berada di Kesawan.
Bertempat di aula besar sebanyak 120 orang tamu yang datang. Ruangan dan
sudut-sudut lain tampak terang benderang atas bantuan dari Electriciteits
Maatschappy yang mana lampu-lampu yang menyala besarnya tujuh belas tenaga kuda
energi. Cukup untuk memberikan gambaran tentang lautan cahaya dari bangunan
luas yang menyinari. Pengunjung disediakaan makanan minuman melimpah di
beberapa meja yang dilayani oleh istri dan dan dua putrinya. Acara berakhir
sekitar seperempat jam setelah pukul delapan’.
Tjong A
Fie Memiliki Banyak Nama dan Banyak Sumber Pendapatan, Sumber Penghasilan Utama Tetap dari Opium
Tsiong Tsiok Fie, nama lain Tjong A Fie |
Tjong Yong Hian memiliki nama lain Chang
Yu-nan (Tiongkok) dan Jung-hsuan (Mandarin). Tjong Yong Hian juga dikenal
sebagai Chong Yit Nam. Pemuda Chong Yit Nam di Deli dikenal sebagai Tjong Yong
Hian. Sementara itu adiknya Tjong Fung Nam dikenal di Medan sebagai Tjong A
Fie. Nama lahir Tjong A Fie adalah Tjong Foeng Nam. Tjong A Fie juga memiliki
nama lain, Chang Hung-nan (Tingkok) atau Yao-hsuan (Mandarin).Tjong A Fie juga
dikenal sebagai Cheung lu Hing. Tjong Moy Hian, Tsiong Tsiok Fie dan Tjong
Jiauw Hian.
Pabrik Opium di Batavia, 1900 |
Ketika pemerintahan colonial terbentuk, pemerintah
membatasi pemain perdagangan opium dengan memberi monopoli kepada penawar harga
tertinggi. Harga penawaran tertinggi adalah semacam pajak atau retribusi yang
menjadi sumber lain pendapatan pemerintah colonial. Pajak atau retribusi opium
ini sangat tinggi. Namun setinggi apapun harga yang dibayarkan oleh pengusaha,
bisnis opium ini sangat menguntungkan karena permintaannya cukup besar.
De Sumatra post, 14-01-1902: ‘Pagi ini hak penyewaan bukan untuk penjualan opium skala kecil di Residentie
Sumatra’s Oostkust kecuali untuk divisi Bengkaüs. Penyewaab terhitung untuk
periode dari i 1 April 1902 sampai akhir Maret 1905. Untuk sewa opium itu
penawar tertinggi, Kapten Cina di Medan, Tjong A Fie yang menawarkan jumlah
f128.300 untuk periode satu tahun dan selama tiga tahun f147,700 per tahun.
Tjong A Fie juga menarik keuntungan dari
akuisisi lahan-lahan penduduk. Entah ada kaitannya dengan dampak opium
(penunggakan utang) atau pengakuan lahan kepemilikan lahan yang ditempati oleh
warga, banyak warga yang harus dipaksa melepaskan tanah-tanahnya untuk dijual
murah. Dengan harga jual yang murah, lahan-lahan beralih kepemilikan dari warga
ke beberapa pengusaha besar termasuk Tjong A Fie.
De Sumatra post, 29-08-1902 (Exeoutoriale Verkoopen): ‘Kemarin
penyitaan penjualan oleh penduduk asli Hadji Abdul Rachman dilakukan tiga persil
lahan terletak di Kampong Sukkah Raja, dekat pabrik es Astana, beserta bangunan
yang terletak diatasnya. Pembeli adalah Kapten Cina Tjong A Fie seharga f2550.
Hari ini juga dilakukan penjualan lain dengan dipaksa, oleh Arab Sheik Islam
Algoebaidi terhadap sebidang tanah di desa Gloegoer beserta bangunan dan barang
yang terletak diatasnya yang mana pembelinya adalah Mr. J. van den Brand dengan
harga f800’.
Tjong A
Fie, Mondar-Mandir ke Singapore dan Bekunjung ke Cina
Tjong A Fie dan putra putrinya, 1905 |
Koran Pertja Timor adalah Koran pertama berbahasa Melayu
yang terbit di Medan. Koran ini terbit pertama kali tanggal 1 Januri 1902.
Koran investor Eropa ini (Jerman) editornya adalah Mangaradja Salamboewe,
seorang mantan jaksa yang desersi dan dipecat di Natal (karena tidak tahan
melihat ketidakadilan Belanda). Mengaradja Salambowe adalah alumni Kweekschool
Padang Sidempuan (1893), anak dari Dr. Asta (siswa pertama yang diterima di
Docter Djawa School yang berasal dari luar Djawa tahun 1854). Mangaradja
Salamboewa sebelum menjadi jaksa adalah seorang penulis di kantor residen
Tapanoeli di Sibolga. Kecerdasan dan keberanian apalagi berpengalaman sebagai
jaksa yang militant menjadi alas an utama investor Jerman untuk merekrut
Mangaradja Salamboewe sebagai editor korannya (tentu dimaksukkan untuk lebih
meningkat tiras surat kabar yang baru itu).
Meski demikian adanya, pemerintah memberikan
penghargaan kepada Kapten Cina, Tjong A Fie berupa tanda penghargaan perak
sebagai jasa kesetiaan (Bataviaasch nieuwsblad, 03-09-1904). Kapten Tjong A Fie
adalah anggota terlama menjadi Landraad Medan, yakni selama 17 tahun (sedangkan
abangnya, Mayor Tjong Yong Hian selama 18 tahun). Ini berarti Tjong A Fie telah
menjadi anggota Landraad sejak 1887 (Ibukota residentie pindah ke Medan, 1 Maret 1887).
De Sumatra post, 06-05-1904: ‘Konsul Cina di Penang berkunjung
ke Medan dan selama di kunjungan konsul menjadi tamu dari Tjong A Fie.
Bataviaasch nieuwsblad, 03-09-1904 Datoe lUdja Inlra
Moeda, hoofd van het landschap Bogab, afdeeling Batoo Bahra, (Oostkust van
Snmatra); Tsioug Tsiok Fie alias Tjong A Fie, luitenant der Cliiceezen met den
titulairen rang van kapitein te Medan (Oostkust van Samatra); verder de
zilveren en de bronzen ster voor trouw en verdienste san een paar honderd
inlanders.
Tjong A
Fie, Sejauh ini Hanya Peduli Komunitasnya
De Sumatra post, 28-11-1904: Landraad thans ijju de
kapitein der Cüineueu Tjong A Fie, die 17, en de maj jor-Cüinces
(iiinus iv Cuiaa vertoevend
De Sumatra post, 04-08-1905: Negorij-raad. pertemuan 24
Juli 1905 di rumah Presiden.
Untuk 91 / jam Pertemuan dibuka, hanya Toengkoe gede
tidak hadir karena berkabung. Risalah pertemuan voige dibaca oleh Secretaria yang
kemudian ca disetujui. Kapten dan Mayor dana yang ditunjuk Cina yang akan
digunakan untuk menutupi biaya rumah sakit Cina, yang saat ini rumah lebih dari
200 pasien yang dirawat. permintaan kapten akan diizinkan dengan ketentuan
sebagai berikut: le. bahwa iv otorisasi harus menentukan bahwa hasil yang akan
selalu digunakan untuk kepentingan Cina rumah sakit. Kemudian bötunield
permintaan dari dokter hewan Gouveruements kepadanya oleh sejumlah NLG 100.
Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 26-09-1905 ditunjuk (kembali): Kapten Tong Siok Fio, alias Tjong A. Fie, sekarang adalah kaptein Cina, .Luitenant So Po
Tjoan, sekarang Letnan, dan Lioe En Kou, sekarang Luitenant terhitung 23 April
1905.
Tjong A Fie telah berkontribusi sesuai dengan
kemampuannya. Sejauh ini kontribusi Sultan terhadap bidang social belum kelihatan.
Namun Tjong A Fie telah menyediakan bantuan untuk pengembangan rumah sakit
Cina. Dalam hal ini Tjong A Fie juga meminta pemerintah harus menyediakan
dokter. Tjong A Fie meminta agar fasilitas rumah sakit ini hanya digunakan
untuk masyarakat Tionghoa.
Siapa yang akan mengisi
posisi dokter pribumi di Deli dan Medan tentu saja adalah dokter-dokter alumni
Docter Djawa School asal Mandeling en Ankola. Sebagaimana diketahui,
pelajar-pelajar dari Mandailing en Ankola sudah sejak 1854 memenuhi Docter
Djawa School bahkan yang pertama diterima dari luar Djawa (ayah dari Mangaradja
Salamboewe). Mereka ada yang seangkatan dengan Dr. Wahidin dan sekelas dengan
Dr. Tjipto. Kini (satu dasawarsa terakhir) ada belasan pelajar-pelajar
Mandailing yang telah lulus menjadi dokter dan yang tengah menyelesaikan
studinya. Dr. Abdul Hakim (Harahap) sudah di Deli, baru-baru ini datang datang Dr.
Muhamad Daoelae di Medan dan Dr. Mohamad Hamzah (di Pematang Siantar). Setelah pension
Dr. Daoelae membuka rumah sakit swasta khusus penderita lepra di Pulau
Sicanang.
Di awal abad dua puluh ini (awal 1900),
dinasti Tionghoa (dibawah ‘komando’ Mafioso Tjong A Fie) di Medan mulai
terusik. Di Pemerintahan hanya ada Tionghoa lima orang (satu mayor, satu
kapten, dan tiga letnan). Selebihnya hanya terdapat di bidang perdagangan
semata. Orang-orang terpelajar dari Mandheling en Ankola telah banyak mengisi
pegawai-pegawai di pemerintahan dan krani-krani di perkebunan. Tokoh-tokoh
penting Mandheling en Ankola yang sudah mulai menonjol adalah Soetan Goenoeng
Toea (jaksa), Dja Endar Moeda (percetakan dan persuratkabaran), Mangaradja
Salamboewe (editor Pertja Timor), dokter, guru, mantri polisi dan lainnya. Para
pebisnis yang bergerak di bidang perdagangan dari Mandailing en Ankola dari Tapanoeli
yang selama ini berbasis di Padang, Sibolga, Padang Sidempoean, Singkel dan
Atjeh sudah merangsek dalam beberapa tahun terakhir ke Medan, karena marketnya
tengah tumbuh dan berkembang. Mereka datang mengikuti jalur transportasi laut
Padang, Sibolga, Kota Radja menuju Penang atau Medan.
Namun pebisnis Tionghoa yang sangat banyak di
Medan bukanlah tandingan dari pebisnis Mandailing en Ankola yang belum begitu
banyak. Namun kolaborasi antara pebisnis dan pelaku media yang didukung oleh
pejabat-pejabat asal Mandailing en Ankola bersatu dengan mendirikan persatuan
Sarikat Tapanoeli. Organisasi social ini melahirkan dua program (selain tolong
menolong) adalah membentuk klub sepakbola dan menerbitkan surat kabar. Klub
sepakbola ditunjukan untuk simpul para pemuda (anak-anak pengusaha) dalam
berkompetisi dengan klub Belanda, klub Inggris, klub Sultan Langkat dan klub
Tionghoa. Surat kabar ditujukan untuk mencerdaskan bangsa (penduduk Batak dan
Melayu), menyuarakan aspirasi, melaporkan berbagai kejahatan dan ketidakadilan
di Medan, dan tentu saja ruang promosi untuk produk-produk bisnis para
pengusaha Mandailing dan Ankola.
Sukses anak-anak Mandailing en Ankola di
Medan beritanya cepat menyebar di Mandailing en Ankola. Umumnya koran berbahasa
Melayu yang terbit di Padang, Sibolga dimiliki oleh orang-orang Mandailing en
Ankola kerap mengulas tentang kemajuan ekonomi di Medan dan Deli. Migrasi juga
terjadi secara besar-besaran ke Deli. Jika doeloe (dua dasawarsa sebelumnbya, migran
dari Swatow dari kampong halaman Tjong Yong Hian dan Tjong A Fie banyak yang
datang ke Deli, umumnya kuli), maka kini giliran migran dari Mandailing en Ankola
berdatangan (umumnya penduduk terpelajar: tamatan sekolah rakyat) untuk mengadu
nasib. Dengan adanya arus migrasi ini secara rutin lambat laun mulai ada
perimbangan ‘kekuatan’ di Medan (Tionghoa vs Mandailing en Ankola). Dominasi Tionghoa
mulai menyusut, apalagi komunitas Minangkabau dan Atjeh sudah mulai berkembang.
Penduduk Melayu dan penduduk Batak lainnya masih terpinggirkan (belum bangkit).
Tjong A
Fie Kedua Orangtuanya Meninggal: Kuli dari Swatow Semakin Dikurangi
Tidak hanya Tjong A Fie dan Tjong Yong Hian
yang berada di Sumatra’s Oostkust, tetapi juga orangtuanya. Ibu Tjong A Fie
meninggal April 1899. Kemudian ayahnya meninggal pada bulan Februari 1906. Ayah
Tjong A Fie adalah bernama Kim Sam Hap, berpangkat letnan dan meninggal di
Pangkalan Berandan.
De Sumatra post, 16-02-1906 (Kim Sam Hap): Ini
memberitahu kita bahwa letnan dari Cina Kim Sam Hap Pangkalan Berandan setelah
sakit singkat hari sebelum kemarin sudah meninggal. Pemakaman akan berlangsung
hari ini ada hebbeu, almarhum adalah ayah dari kapten Cina di Medan, Tjong A
Fie.
Gemeentefonds,menjadi Landraad, Negorijraad
dan Afdeelingraad
De Sumatra post, 13-03-1906. Delische Afdeelinggraad. Di
bawah dagteekeaing hari ini ditularkan kepada kita dari Weltevreden, yang
ditunjuk sebagai anggota efek nit Deli Chen Afdealingsraad dari 1 April 1906 Dari
21 anggota sehingga 11 petugas milik cabang yang berbeda dari layanan, empat
wakil dari Pribumi dan Timur Asing, yakni: Amaloedin, Toengkoe Basar dari Deli,
Datu Sri Lela Setia Raja, kepala Sapoaloeh Doawa Kota, Mohaoaad Alie, Ketua det
Klingaleezen, Tjong A Fie, kapten Cina di Medan, CLJD Kok, controller untuk
urusan Batak di Soenggal. Dari 1 April di akan ada keterbukaan dalam penanganan
urusan Delian
De Sumatra post, 25-06-1906 Boikot dan kondisi
perdagangan Medis Cina. Dalam edisi 15 kami ini kami melaporkan Boyco
"oleh sejumlah besar bahan makanan Cina, dan kedehs mengenakan tali
terhadap ETI perusahaan perdagangan di sini gundukan terakhir. Boikot ini sudah
peringkat kembali ke masa lalu. Bemiddelirg oleh kapten-Cina Tjong A Fie n).
penyelesaian antara pihak getreff-jn, yang disebabkan pencabutan boikot.
Tjong Yong Hian dan Tjong A Fie sudah kaya
raya. Jabatan mereka juga sudah banyak. Mereka berdua tampaknya tidak butuh
lagi dukungan kuli yang banyak untuk menjaga posisi mereka di rantau.
Pemerintah di Swatow tidak memerlukan uang kiriman dari TKI (tenaga kerja
internasional) mereka yang bekerja di Deli. Uang yang diinvestasikan oleh Tjong
Yong Hian dan Tjong A Fie di Swatow sudah lebih dari cukup untuk mengimbangi perolehan
devisa melalui TKI. Oleh karenanya, kuli dari Swatow lambat laun mulai
dikurangi jumlah tidak hanya ke Sumatra (utamanya ke Deli) tetapi juga ke
Semenanjung dan Siam.
De Sumatra post, 25-06-1906 Menurut laporan terbaru dari
konsul Inggris ke Swatow poin statistik emigrasi pada pengurangan jumlah
emigran Siam, Semenandjung dan Sumatera. The Swatow-kuli adalah situs
belangrjjkste ljjke ekspor dan tidak di bawah twjjfel berat atau dengan
buiten'slanda yang virtoevendo nas Cina upah dikirim pulang, berdampak besar
pada daya beli kabupaten. Jumlah kuli yang datang dari Swatow ke Sumatra tahun
1903 sebanyak 134.421 dan yang kembali
sebanyak 104.898, tahun 1904 yang datang sebanyak 107.456 yang kembali sebanyak
91.680 dan pada tahun 1905 yang datang 99.219 dan yang kembali 84.304.
Kuli Swatow (tempat asal Tjong Yong Hian dan
Tjong A Fie) yang datang dan yang kembali sudah mengalami penurunan dalam
beberapa tahun terakhir, tetapi secara absolut jumlah kuli asal Swatow yang
berada di Deli pernah mencapai 150.000 orang.
Masyarakat Bawah Terpuruk di Medan: Buta
Huruf dan Berbagai Penyakit
Tidak
ada penduduk Melayu dan orang-orang Tionghoa di Medan yang sukses kecuali
menunjuk kepada dua tokoh penting: Sultan Deli dan Tjong A Fie. Aset (kekayaan)
kedua tokoh ini bahkan telah melampaui semua pengusaha (investor) perkebunan
yang dari Eropa. Kedua tokoh ini hanya kalah dari Janssen (orang kedua Deli
Mij).
Penduduk
Batak telah lama dipinggirkan dan lebih memilih menjadi petani atau berkebun di
tengah-tengah hutan di luar kota Medan. Penduduk Melayu dan orang-orang
Tionghoa yang tidak terbiasa bertani hidup di kota: menjadi pedagang atau jenis
usaha yang lain. Meski ada dua tokoh yang fantastis soal kekayaan, penduduk
Melayu (non darah biru) dan orang-orang Tionghoa (utamanya mantan kuli) sangat
banyak yang melarat.
Di pasar, pengemis,
penyakit kusta dan sebagainya. Penduduk kelas bawah Tionghoa banyak yang ‘gila’
karena opium dan sepanjang jalan antara Laboehan Deli dan Medan di dalam pondok
remang-remang terdapat tidak kurang 2.000 perempuan Tionghoa dan Jepang yang
menjadi pelacur. Dimana-mana ditemukan penyakit kelamin. Sebagian yang lain
penduduk Tionghoa (utamanya mantan kuli) banyak yang desersi karena kekejaman
oleh para planter di perkebunan. Eksesnya kerap terjadi perampokan dan melakukan
keonaran dari mereka yang mantan kuli (utamanya Tionghoa dan Kling).
Korban Opium (1900) |
Ketimpangan mulai terasa.
Antara yang kaya sekali dengan yang miskin sekali menjadi sangat menganga.
Layanan perumahan penduduk, air bersih, kesehatan, lapangan kerja, pendidikan
sangat terabaikan. Yang menonjol adalah kemelaratan, penyakit, prostitusi,
perampokan dan gangguan social lainnya. Inilah Medan, Bung! Haterogen dalam
komposisi penduduk, tetapi terdapat variance yang besar soal kehidupan.
Dari
kalangan penduduk Batak tidak satupun yang menonjol dan tidak pernah muncul ke
permukaan (bahkan untuk pemimpinnya harus diwakili oleh seorang Belanda).
Mereka yang penduduk asli telah lama disingkirkan dari tanah-tanah mereka.
Namun dalam perkembangannya, pada kelas menengah mulai mengisi kebutuhan
pemerintahan dan pegawai perkebunan. Mereka ini tidak dari orang-orang Tionghoa
atau penduduk Melayu, melainkan orang-orang Batak yang datang (migrasi) dari pantai
barat Sumatra (Sumatra’s Westkust di Tapanoeli (khususnya dari Mandailing dan
Ankola). Untuk yang berpendidikan tinggi mengisi pemerintahan dan untuk yang
berpendidikan rendah menjadi krani-krani di perkebunan.
Penduduk Mandailing dan
Ankola sudah sejak lama mengecap pendidikan. Sebelum Willem Iskander berangkat
studi ke Belanda tahun 1857 sudah banyak yang menjadi guru-guru sekolah rakyat.
Setelah menamatkan sekolah guru Eropa, Willem Iskander pada tahun 1862
mendirikan sekolah guru (kweekschool) di Tanobato (Mandailing). Sekolah guru
ini kemudian diringkatkan kapasitasnya dengan mendirikan sekolah guru yang
lebih besar 1879 di Padang Sidempuan (Ankola).
Orang-orang
terpelajar inilah yang migrasi ke Medan baik untuk tujuan berbisnbis maupun
direkrut Belanda untuk mengisi kekosongan untuk berbagai fungsi dan jabatan di
Medan.
Pada tahun 1908, Mangaradja
Salamboewe dilaporkan telah meninggal dunia. Seorang wartawan pemberani di
Medan yang mengasuh (editor) Koran Pertja Timor sejak 1902 telah pergi
selama-lamanya ketiga pikiran dan keberaniannya masih dibutuhkan. Mangaradja
Salamboewe meninggal muda. Namun ibarat pepatah hilang satu tumbuh seratus. Penerus
Mangaradja Salamboewe ternyata bermunculan seperti Mangaradja Ihoetan, Soetan
Parlindoengan dan lainnya yang menggatikan posisi di Pertja Timor. Pada tahun
1910 mantan-mantan editor Pertja Timor (investor Eropa) menerbitkan Koran Pewarta
Deli yang dimotori oleh Dja Endar Moeda. Motto Koran Pewarta Deli di Medan
persisi sama dengan motto Koran Pertja Barat (milik Dja Endar Moeda yang terbit
di Padang) yakni ‘Kemadjoean Ontoek Segala Bangsa. Lambat-laun Perja Timor
makin redup dan Pewarta Deli makin popular di Medan sebagai satu-satu Koran berbahasa
Melayu yang bertiras sangat besar.
Tidak Ada Politik Etik di Medan: Hanya
Kerakusan yang Terjadi
Angin
politik etik bukan dimulai dari Medan, meski di Medan gap antara si kaya dan si
miskin paling lebar di nusantara (Nederlansch Indie). Implementasi politik etik
justru dimulai dari Djawa, di pulau dimana antara penduduk yang kaya dengan penduduk
yang miskin tidak terlalu menganga. Istana Sultan Djogja hanyalah bangunan yang
bersahaja, tetapi keraton Sultan Deli nyaris menyamai istana pemerintah di Bogor
dan istana pemerintah di Batavia.
Kota-kota
di Djawa yang mayoritas berpenduduk Islam, masjid-masjid yang dibangun swadaya
masyarakat hampir semuanya berlokasi di tengah kota (kauman). Oleh karenanya,
masjid-masjid menjadi pusat pertukaran pengetahuan dan munculnya tokoh-tokoh
alternative dalam masyarakat. Sebaliknya di Medan, masjid yang super megah
dibangun di luar kota di tempat yang sepi dan jauh dari aktivitas kehidupan
kota. Masjid ini dibangun baru persis di depan istana Sultan Deli. Masjid ini
seakan hanya masjid yang dikhususkan bagi Sultan, bukan untuk rakyatnya. Pertukaran
pengetahuan hanya terjadi di mushola-mushola kecil yang terdapat di pasar-pasar
dan di belakang pertokoan.
Oleh
karenanya, ketika pembangunannya berbagai donator menyerahkan sumbangan yang
tidak kecil. Itu bisa dipahami, hanya semata-mata untuk menyenangkan hati
Sultan agar keraton Sultan Deli setara dengan masjidnya Sultan. Konon,
dikabarkan sumbangan terbesar datang dari Tjong A Fie. Di satu sisi ini tampak
sebagai dermawan, tetapi di sisi lain kontribusi berbagai pihak ini tentu tanpa
pamrih. Masjid ini dibangun pada tahun 1906 dan selesai pada tahun 1909.
Tidak ada makan siang
gratis dan belum dikenal karitas pada masa itu. Semua orang demi uang. Jika
anda buang ayam harus dapat kambing, jika anda buang kambing harus dapat sapi.
Sebaliknya pada masa kini: berperkara senilai kambing, hilang senilai sapi.
Konon, Tjong A Fie juga coba ‘menyogok’ penduduk Mandailing en Ankola dengan
memberikan sumbangan untuk pembangunan mesjid di Sipirok. Seperti diketahui,
Tjong A Fie adalah oportunis sejati (kedermawanannya masih diragukan?), dengan
kekayaan yang melimpuh dan asset ada dimana-mana serta hidup di perantauan,
Tjong A Fie perlu mengamankan itu semua. Satu-satunya jalan untuk tetap membuka
kebaikan (Tjong A Fie jarang bersifat frontal dan lebih suka berkolaborasi) dengan
kerjasama, siapa pun yang harus menjadi toean. Awalnya, toeannya adalah
pemerintah Belanda yang korup, kemudian Soeltan yang lemah tetapi hidup dalam
kemewahan dan kini mulai melirik dan merangkul tokoh-tokoh pekerja keras, cerdas
dan cenderung militant yang sudah mulai banyak di Medan yang berasal dari
Mandailing en Ankola.
Guru-guru
dari Mandailing en Ankola khususnya alumni Padang Sidempoean yang selama ini digaji
dan bertugas di sekolah-sekolah yang didirikan perkebunan untuk para koeli dari
Djawa merasakan masih banyak penduduk di luar perkebunan yang buta huruf. Para
guru ini membagi waktu dengan membangun sekolah-sekolah swadaya bersama
penduduk, tidak hanya di Medan tetapi juga di seluruh Deli. Praktis pada tahun
1915 sudah sangat banyak sekolah rakyat. Pemerintah mulai memperhatikan mutu
sekolah-sekolah rakyat ini.
Pada tahun 1915 seorang
penilik sekolah di Medan ditempatkan. Orangnya adalah seorang guru yang
berpengalaman di Tapanoeli (yang telah banyak menulis buku pelajaran sekolah)
yang bernama Kajamoedin (Harahap) gelar Radja Goenoeng. Sebagai tugas yang
diberikan, maka dalam temnpo singkat Radja Goenoeng telah berhasil mendesain
program pengembangan sekolah rakyat. Namanyapun mulai dikenal secara luas,
tidak hanya di pemerintahan tetapi juga di masyarakat bawah.
Tjong A
Fie Menjadi Mayor: Hidup Sebatangkara
Abang
Tjong A Fie yang bernama Tjong Yong Hian telah lama meninggal dunia tahun (1911).
Untuk urusan komunitas Tionghoa, Tjong A Fie lantas diangkat menjadi pengganti
Tjong Yong Hian dan pangkatnya dinaikkan menjadi mayor. Bawahan Tjong A Fie
yang letnan menjadi kapten dan direkrut letnan baru. Namun, mereka itu bukan datang
dari saudaranya (ketika Tjong Yong Hian merekrut adiknya, Tjong A Fie untuk menjadi
letnan). Orangtua Tjong A Fie juga sudah lama meninggal. Ibunya meninggal di
Medan tahun 1899, kemudia ayahnya meninggal tahun 1906. Anak-anak Tjong A Fie
masih belum dewasa untuk bisa menggantikannya. Tjong A Fie bagaikan hidup
sebatangkara di perantauan.
Namun
demikian, Tjong A Fie sudah terlanjur mengakar di Medan. Tjong A Fie adalah
warga Medan, tetapi seperti yang lainnya, juga tidak melupakan kampong halaman
di Swatow dan menolong kawan-kawan sekampung yang tinggal di Penang dan Singapoera.
Tjong A Fie tidak memiliki keluarga atau teman-teman dekat di Jawa ataupun di
Batavia. Para perantau Hokkian umumnya berbasis di pantai timur Sumatra,
Semenanjung dan Siam (kini Thailand). Tjong A Fie adalah tokoh Tionghoa
terpenting di Medan, dan belum ada yang menyainginya dari kalangan Tionghoa.
Karenanya perannya di pemerintahan juga belum tergantikan.
Pada
tahun 1918 untuk menjadi anggota dewan kota Medan dilakukan dengan format baru:
melalui pemilihan (pemilu).Ini untuk kali pertama anggota dewan tidak lagi
ditunjuk tetapi harus bersaing melalui pemilihan. Para pemilih dibagi ke dalam
kelompok Eropa, pribumi dan timur asing. Untuk pemilih orang Eropa adalah
syaratnya dewasa (17 tahun), tetapi untuk orang pribumi dan timur asing mensyaratkan
calon pemilih didasarkan pada criteria tingkat pendapatan tertentu. Jadi, tidak
semua penduduk dewasa orang pribumi dan timur asing sebagai pemilih.
Di Medan sendiri pada tahun 1918, Kota Medan dipromosikan
menjadi Gemeente (Kota). Sebelumnya Kota Medan dianggap masih berstatus
Afdeeling (Kabupaten) yang dipimpin oleh Asisten Residen. Dalam pembentukan
Gemeente ini pemerintah pusat di Batavia mengangkat seorang Walikota
(Burgermeester) sebagai kepala pemerintahan kota. Walikota pertama adala Baron
Daniel Mackay. Sejak tahun 1918 ketua Gemeenteraad adalah Burgermeester.
Gemeenteraad dibawah kepemimpinan burgermeester ini adalah periode gemeeteraad
yang ketiga sejak 1 April 1909.
Dalam
pemilihaan umum (pemilu) tahun 1918 ini yang terpilih adalah Radja Goenoeng,
Dr. Mohamad Sjaf (alumni Docter Djawa School) dan Tan Boen An.
Radja Goenoeng adalah
penilik sekolah di Medan sejak tahun 1815. Kajamoedin gelar Radja Doenoeng
kelahiran Padang Sidempoean,1883 alumni Kweekschool Fort de Kock (1895) yang
telah menjadi guru di Tapanoeli. Atas pengalamannya membuat buku-buku pelajaran
sekolah, Radja Goenoeng diangkat pemerintah menjadi penilik sekolah di
Medan.Radja Goenoeng adalah salah satu guru asal Mandailing en Ankola yang
berada di Deli. Radja Goenoeng tidak hanya penilik sekolah di Medan tetapi juga
merangkap untuk penilik sekolah di seluruh Sumatra’s Oostkust.
Dalam
perkembangannya Tan Boen An digantikan oleh anggota dewan senior (wethouder)
Mayor Tjong A Fie. Salah satu anggota dewan yang menggantikan pada pertengahan
1919 adalah Mr. Alinoedin, hakim di pengadilan Medan. Setelah habis masa
jabatan Alinoedin Siregar gelar Radja Enda Boemi di dewan, melanjutkan studi ke
Belanda dan meraih gelar doktor (PhD) di bidang hukum tahun 1925.
Tjong A Fie Digugat: Tjong A Fie Meninggal Dunia
Tjong A Fie, Ultah ke 60 |
De
Sumatra post, 17-01-1921 melaporkan bahwa ketidakpantasan ini di satu sisi
Tjong A Fie adalah pejabat yang setia tetapi persoalan bagaimana pendapatannya
dari penyewaan opium di pantai timur Sumatra dan eksploitasi kuli Cina yang
dipekerjakan dengan jumlah jam kerja 20 jam sehari adalah noda. Memang penyewaan
opium telah dihapuskan tahun 1911 tetapi dianggap opiumlah yang menjadi sumber
kekayaan Tjong A Fie. Namun pendapat orangt-orang Belanda yang dialamatkan
kepada Tjong A Fie adalah ‘mengambil hal yang baik dari negara-negara di
wilayah kami tidak ada gunanya tapi bahaya’
Namun
pendapat serupa itu tidak dihiraukan oleh Tjong A Fie. Dia mengganggap itu
layak. Karenanya Tjong A Fie merayakannya secara besar-besaran di mansionnya di
Medan. Semua pejabat pemerintah di Medan hadir (lihat De Sumatra post, 22-01-1921).
Namun secara tidak terduga dan hanya beberapa setelah pesta perayaan itu usai,
Tjong A Fie dilaporkan meningga dunia. Tjong A Fie meninggal dunia di Medan, 4
Februari 1921. Disemayamkan di rumah duka di mansion Tjong A Fie di daerah
Kesawan.
Pemakaman Tjong A Fie |
Perubahan Radikal di Medan Dimotori oleh
Anak-Anak Padang Sidempuan: Afdeeling Angkola Mandailing Semakin Miskin
Parada Harahap, The King of Java |
Sebagaimana
pemerintah kolonial absen di Medan dan Deli pada awalnya, juga sultan-(sultan)
dan pangeran-pangeran tidak hadir dalam pergumulan masyarakat bawah. Tjong A
Fie tidak terlalu banyak diharapkan karena dirinya lebih banyak berperan di kalangan
atas dan komunitasnya sendiri (Tionghoa) baik di Medan maupun di luar Medan.
Kekosongan pada level bawah ini diisi oleh semakin banyaknya anak-anak Padang
Sidempuan (nama baru afdeeling Mandheling en Ankola) yang migrasi ke Medan.
Pada
tahun 1918, ketika Radja Goenoeng mengawali karir sebagai anggota dewan kota
(Gemeenteraad), seorang anak muda asal Padang Sidempuan tiba-tiba namanya
melambung, dan namanya dibicarakan dimana-mana. Anak muda tersebut bernama
Parada Harahap yang datang merantau ke Deli tahun 1914.dan bekerja sebagai
krani. Namun karena tidak tahan melihat penderitaan para kuli, lalu menulis
laporannya secara independen ke koran Benih Mardeka yang terbit di Medan pada
tahun 1917. Atas laporan tersebut, Parada Harahap dipecat sebagai krani. Tapi
tidak ambil pusing, lalu merantau ke Medan dan melamar sebagai wartawan Benih
Mardeka dan kemudian tahun 1918 diangkat menjadi editor koran Benih Mardeka.
Hal
yang membedakan anak-anak Padang Sidempuan (Mandailing dan Angkola) dengan
anak-anak Swatow (kampong halaman Tjong A Fie dan Tjong Yong Hian) adalah
anak-anak Padang Sidempuan membawa investasi dari kampong di Padang Sidempuan ke
Medan, sebaliknya anak-anak Swatow dari Medan membawa invcstasi ke kampong halamannya.
Akibatnya Swatow menjadi makmur (sebagaimana Amsterdam, Rotterdam dan lainnya
di Belanda menjadi makmur). Jika di Hindia Belanda penduduk semakin melarat,
maka di Padang Sidempuan semakin miskin. Namun bagi anak-anak Padang Sidempuan
itu adalah risiko merantau, namun itu soal investasi pindah kantong saja (dari
Padang Sidempoean ke Medan). Sebaliknya hal yang kurang lebih sama, perantau
dari Minangkaboeu di Medan yang membawa investasinya ke kampong halamannya,
hanyalah soal pindah kantong, Berbeda dengan ke Swatow, investasi y6ang
mengalir ke Swatow (maupun Penang dan Singapoera) haruslah dipandang sebagai
kebocoran ekonomi.
Pionir Tjong Yong Hian dan
Tjong A Fie telah tiada. Generasi kedua dari keluarga ini tidak muncul. Namun
di kalangan Tionghoa di Medan, hilang dua tubuh seratus. Namun mereka generasi
kedua tidak sehebat dua bersaudara terdahulu. Bisnis opium sudah sejak 1911
ilegal. Para pengusaha baru Tionghoa mulai dari bawah lagi, selain bergerak di
bidang perdagangan juga mulai secara rame-rame memasuki dunia perkebunan. Namun
mereka berbeda dengan dua bersaudara yang tanpa saingan, mereka ini sekarang
sudah mulai ada saingan dari orang-orang Tapanoeli khususnya dari Mandailing
dan Ankola.
Tjong A Fie, The King of Deli |
Kota
Medan mulai terang benderang. Sudah banyak pencerahan dari anak-anak Padang
Sidempuan, tidak hanya di bidang pendidikan, juga di bidang pers dan media.
Anak-anak Padang Siodempuan juga sudah banyak yang menjadi pejabat (legislatif,
eksekutif dan yudikatif) lulusan dari Jawa, seperti alumni kedokteran, sekolah
hukum maupun jenis-jenis sekolah lainnya. Tentu saja anak-anak Padang Sidempuan
telah banyak yang menjadi krani-krani di perkebunan asing. Ternyata anak-anak
Padang Sidempuan ini tidak hanya di Medan, tetapi juga menyebar di Tandjongpoera,
Bindjai, Tandjoeng Balai tetapi juga di Pematang Siantar dan Tebingtinggi.
Di
bidang ekonomi, anak-anak Padang Sidempuan juga banyak yang bergiat. Tentu saja
di antara mereka banyk juga yang masuk ke bisnis perkebunan. Perimbangan antara
Tionghoa dan pribumi utamanya dari Mandailing dan Ankola telah terasa, meski
belum sepenuhnya anak-anak Padang Sidempuan mampu menbandingi dari kalangan
Tionghoa. Sebagaimana pendirian Bank Deli yang dikhususkan kepada kalangan
Tionghoa, anak-anak Tapanoeli juga coba memfasilitas pembiayaan dengan
mendirikan Bataksche Bank pada tahun 1921 di Pematang Siantar.
Bataksche Bank
ini didirikan oleh anak-anak Padang Sidempuan dengan investor antara lain. Dr.
Mohamad Hamzah, Soetan Hasoendortan, Soetan Pane Paroehoem. Namun bank ini
bukan sekelas Deli Bank dan Java Bank. Gradasinya kira-kira: Bataksche Bank
adalah bank kecil, Deli Bank adalah bank menengah dan Java Bank adalah bank
besar.
*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber tempo doeloe (utamanya
koran-koran berbahasa Belanda).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar