Kepala suku Batak di Deli, 1870 |
Sesungguhnya antara penduduk Batak dan penduduk
Melayu yang bertetangga di Deli sejak doeloe sudah banyak yang bersaudara
(terjadi perkawinan). Kedua belah pihak membangun ekonomi lada hitam. Penduduk
Batak di belakang garis pantai aktif dalam produksi lada hitam sementara penduduk
Melayu di pantai aktif dalam perdagangan komoditi. Kedua belah pihak bersifat
mutualistik, peran masing-masing bersifat komplemen (saling memperkuat). Namun
Sultan Deli yang hanya menguasai Laboehan Deli dan Pertjoet memiliki
hitung-hitungan sendiri terhadap penduduk Melayu maupun penduduk Batak. Sultan
Deli bergerak dengan caranya sendiri berkolaborasi dengan pihak luar yang kerap
merugikan penduduk: tidak hanya merugikan penduduk Batak tetapi juga penduduk
Melayu sendiri. Bagaimana itu terjadi? Mari kita lacak!
***
Sultan di Deli, 1870 |
Kota Sampei kemudian berubah nama menjadi Boeloe Tjina
dan kemudian menjadi Hamparan Perak. Tiga pelabuhan penting di pantai timur
Sumatra di dalam buku Negarakertagama adalah Panai (muara sungai Baroemoen),
Haroe (muara sungai Wampu) dan Sampei (muara sungai Belawan/Boeloe Tjina).
Pelabuhan Sampei pada awalnya dihuni oleh mayoritas penduduk Batak.
Sultan Deli Perang dengan Suku Batak: Perdagangan Lada
Macet
Popularitas Laboehan Deli semakin kencang
ketika Deli yang pernah ditaklukkan Sultan Siak (1770), pada tanggal 8 Maret
1811 pemimpin Deli, Mangedar Alam, oleh pangeran Siak diberi gelar Sultan.
Sejak itu, Deli semakin dikenal secara luas
yang mana pemimpinnya adalah Sultan Deli dan beribukota di Laboehan
Deli.
Sungai Deli bermuara di Laboeh Deli (dataran yang lebih
rendah) dan berhulu di Bataklanden (dataran yang lebih tinggi). Di daerah
aliran sungai (DAS) sungai Deli, di sekitar pantai umumnya dihuni oleh penduduk
Melayu, di sekitar pegunungan umumnya dihuni oleh penduduk Batak. Batas teritori
kedua penduduk ini di DAS sungai Deli tidak begitu jelas, dimana batas tersebut
berada diantara kota Laboehan Deli dengan kota Medan. Di era colonial Belanda
antara area yang tidak jelas itu dengan pantai menjadi ondersfadeeling Laboehan
Deli, antara area yang tidak jelas itu dengan pegunungan menjadi onderafdeeling
Medan. Laboehan Deli berada di onderfadeeling Laboehan Deli dan Medan berada di
onderafdeeling Medan.
Sultan Deli di Laboehan Deli kali pertama dikunjungi oleh
orang asing pada tahun 1823 (kala itu Inggris belum begitu lama membangun basis
perdagangan di Pulao Penang, 1816 dan di Singapoera, 1819; sementara di Malaka sendiri
sudah sejak lama diduduki Belanda yang diambilalih dari Portugis). Orang yang mengunjungi
tersebut adalah seorang Inggris bernama Anderson. Pada saat kunjungan Anderson ini,
suasana di Deli masih dirasakan adanya ‘genjatan senjata’ antara Melayu dan Batak. Menurut Anderson, beberapa waktu sebelumnya Sultan
Mangedar Alam yang didukung Kesultanan Siak pernah melancarkan perang dengan suku Batak
yang berada diantara sungai Deli dan sungai Langkat. Pasukan Batak memilih
mundur ke belakang garis pantai (lebih ke pedalaman) ketika mengetahui kapten kapal Inggris membantu pasukan
Melayu (Sultan Deli dan Sultan Siak) dengan meminjamkan senjata.
Berdasarkan cerita yang dikumpulkan, Anderson mulai paham situasi
politik regional Deli. Anderson, sesai misinya, coba menengahi dan berupaya untuk turut
mendamaikan para pemimpin yang masih perang dingin. Anderson sangat paham
positioning penduduk Batak di daerah pengaliran sungai Belawan/Boeloe Tjina dan
di hulu sungai Deli (sekitar sungai Babura) sebagai pemasok komodi perdagangan dunia. Langkah pertama yang dilakukan Anderson
adalah mengunjungi kepala suku Batak di Boeloe Tjina. Kepala suku yang dikunjunginya
adalah Sultan Ahmed dan Anderson masih menemukan sisa perkebunan lada di
sekitar Klumpang.
Menurut Anderson pada tahun 1823 hasil budidaya lada
hitam penduduk Batak sangat banyak. Untuk Pulau Penang saja sebanyak 35.000
pikul dari total 60.000 pikul yang diekspor melalui pantai timur Sumatra.
Jumlah ini menurut Anderson telah meningkat pesat yang di tahun 1817 hanya
sekitar 1.800 pikul. Sisa perdaganag lada di pantai timur Sumatra mengalir ke Pulau Singapoera (yang berasal melalui DAS Baroemoen dan Das Asahan).
Pada tahun 1824 antara Belanda dan Inggris dilakukan
perjanjian di London, dimana Malaka menjadi milik Inggris, sebaliknya Bengkulu
milik Belanda. Dengan demikian seluruh Sumatra bagian dari Belanda dan seluruh
semenanjung plus Singapoera menjadi bagian Inggris.
Bandar Laboehan Deli yang secara geopolitik dan ekonomi tengah kondusif buat Kesultanan Deli, pada tahun 1834, Kesultanan Deli dibawah
pimpinan Sultan Osman Perkasa Alam coba memaksa Sultan Atjeh untuk menerima kedaulatannya
sebagai Sultan Deli. Lalu Sultan Atjeh merealisasikannya Desember 1834 meski Sultan
Atjeh menganggap siasat Kesultanan Deli ini sebagai ‘perampokan’ atas bagian
Atjeh, ketika Sultan Atjeh menganggap tidak dalam perang atau bermusuhan dengan
Siak (karena Kesultanan Atjeh sendiri telah lama membatasi pengaruhnya hanya sampai
di Perlak saja). Namun dalam perkembangannya kedaulatan Kesultanan Deli
digugat dan kedaulatan Kesultanan Deli tersebut tidak diterima oleh Kesultanan Atjeh. Cara yang dilakukan Kesultanan
Deli dianggap Atjeh sangat merendahkan. Pandangan politik Atjeh mengganggap Sultan Deli telah menyalib di tikungan
harus diluruskan: Kesultanan Deli harus dibawah supremasi Kesultanan Atjeh.
Sultan Osman dan putranya dan penggantinya,
Sultan Mahmoed Perkasa Alam setelah kembali di bawah supremasi Atjeh, merasa terus dalam kesulitan alias tidak berkembang. Lalu pada
tahun 1863 ketika Kesultanan Deli sudah mengetahui Kesultan Siak sudah berada
dibawah ‘kekuasaan’ Belanda, Sultan Mahmoud bergegas untuk meminta perlindungan
kepada Belanda dan kemudian memaksa Atjeh kembali untuk melakukan keadilan atas
supremasi Atjeh. Inilah yang mendasari mengapa Residen Riaou mengerahkan segera
angkatan laut ke Deli untuk menekan Atjeh (saat itu oengaruh Belanda di pantai barat Sumatra sudah sampai di Singkel dan Taroemon).
Pada tahun 1863, menurut Netscher, Resident Riaou berdasarkan
laporan Controleur bahwa pelabuhan Laboehan Deli masih mengeskpor lada hitam
sekitar 8.300 pikul. Menurut Netscher semua suku Batak di Noord Sumatra telah
membudidayakan lada hitam secara eksklusif
sejak lama. Produk-produk lainnya yang diperdagangkan di Deli: gambir,
tembakau, buah pinang, getah pertca, gading gajah, pala dan resin, serta kuda
yang baik.
Laboehan Deli, Ibukota Deli: Pelabuhan Melting Pot
Pada bulan Februari 1863, angkatan laut
Belanda membuang jangkar di muara sungai Deli. Langkah pertama yang dilakukan Belanda (sesuai pesan Sultan Deli?) adalah melakukan
psywar terhadap para pemimpin suku Batak di belakang garis pantai di Deli. Ini juga menjadi sinyal buat Sultan
Atjeh (ibarat sekali mendayung dua pulau terlampaui). Resident Riaou, Netscher lalu mengundang dua piimpinan suku Batak untuk
bertemu di atas kapal perang tersebut. Dua pemimpin suku Batak datang memenuhi
undangan dengan pakaian perang lengkap dengan membawa pasukan sebanyak 500
orang. Di atas kapal, secara diplomatis dengan sopan santu mengajak dua
pimpinan suku itu keliling kapal dan menunjukkan kecanggihan peralatan tempur
yang dimiliki. Kedua pemimpin suku Batak tersebut cepat maklum. Inilah kali
kedua kemenangan ke(Sultan)an Deli atas suku Batak tanpa harus berperang. Sinyal psywar ini sudah tentu dapat ditangkap di Atjeh.
Sebagaimana diketahui hubungan Atjeh dan Batak sejak dari doeloe baik-baik saja dan tidak pernah dilaporkan ada friksi. Kesultan Deli sangat tergantung pasokan lada hitam yang diusahakan suku Batak dari belakang garis pantai di Deli dan Bataklanden, sementara Kesultanan Atjeh sangat tergantung pasokan lada hitam dari suku Batak di Gayo dan Alas serta pelabuhan-pelabuhan di pantai Barat (Singkel, Baros dan Tapanoeli). Hubungan Batak dan Atjeh sangat baik terdeteksi ketika Kesultanan Siak menduduki Laboehan Deli suku Batak bereaksi yang menyebabkan timbulnya Perang Langkat, sebaliknya ketika Kesultanan Atjeh mengiasai Laboehan Deli suku Batak tenang-tenang saja (tidak memihak). .
Di DAS Deli sendiri, secara head to head, penduduk Batak bukan
tandingan Kesultanan Deli. Kesultanan Deli yang menurut C. de Haan (Controleur
Deli yang pertama), Kesultanan Deli hanya menguasai wilayah Laboehan Deli dan
Pertjoet yang terdiri dari beberapa ribu penduduk Melayu yang umumnya bersiam di pantai, sedangkan selebihnya
didiami oleh penduduk Batak yang populasinya mencapai 40.000 jiwa yang dipimpin
oleh empat kepala suku. Oleh karenanya, Kesultanan Deli mengetahui persis
kelemahannya, tetapi cukup lihai untuk memperkuat dirinya dengan bantuan dari
luar. Jika sebelumnya berkolaborasi dengan Siak dan Inggris, maka kini Sultan
Deli berkolaborasi dengan Belanda, tidak hanya untuk menekan penduduk Batak
tetapi juga mengebiri supremasi Kesultanan Atjeh terhadap Kesultanan Deli.
Menurut laporan Netscher, Laboehan Deli pada tahun 1863
terdiri dari 200 rumah dimana masyarakatnya terdiri dari beberapa ratus
penduduki Melayu, Sultan dengan pengawalan pria Atjeh yang dipersenjatai (supremasi Atjeh atas Deli masih terlihat jelas). Terdapat sebanyak 20
orang Tionghoa dan sekitar seratus Hindu berdarah campuran (apakah ini merupakan sisa peradaban India dan Cina dari masa lalu?). Juga di Laboehan Deli terdapat empat rumah panggung yang dihuni
oleh orang Batak. Bangunan rumah Batak ini sangat berbeda denga yang lainnya. ditutupi dengan atap idjoek yang rapi dengan dekorasi Batak yang menggunakan cat. Rumah kepala Batakscbe
seperti berbentuk cottage (empat rumah ini besar kemungkinan mewakili empat kepala suku
di hulu sungai Deli/pedalaman).
Era Perkebunan Tembakau: Penduduk Batak Kehilangan Lahan
(tunggu
deskripsi lebih lanjut)
*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber tempo doeloe (utamanya
koran-koran berbahasa Belanda).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar