Sabtu, Januari 02, 2016

Sejarah Kota Medan (11): Sultan Deli, Setiap Berkolaborasi dengan Luar, Penduduk Batak di Deli Selalu Disingkirkan



Kepala suku Batak di Deli, 1870
Sesungguhnya antara penduduk Batak dan penduduk Melayu yang bertetangga di Deli sejak doeloe sudah banyak yang bersaudara (terjadi perkawinan). Kedua belah pihak membangun ekonomi lada hitam. Penduduk Batak di belakang garis pantai aktif dalam produksi lada hitam sementara penduduk Melayu di pantai aktif dalam perdagangan komoditi. Kedua belah pihak bersifat mutualistik, peran masing-masing bersifat komplemen (saling memperkuat). Namun Sultan Deli yang hanya menguasai Laboehan Deli dan Pertjoet memiliki hitung-hitungan sendiri terhadap penduduk Melayu maupun penduduk Batak. Sultan Deli bergerak dengan caranya sendiri berkolaborasi dengan pihak luar yang kerap merugikan penduduk: tidak hanya merugikan penduduk Batak tetapi juga penduduk Melayu sendiri. Bagaimana itu terjadi? Mari kita lacak!  

***
Sultan di Deli, 1870
Laboehan Deli adalah kota penting di Deli yang terletak di muara sungai Deli. Sementara kota lainnya, tidak jauh dari Laboehan Deli terdapat kota kuno bernama Sampei, kota yang berada di pinggir sungai Boeloe Tjina dengan pintu masuk muara sungai Belawan. Pelabuhan Sampei sebagai pelabuhan ekspor lada hitam—yang dibudidayakan penduduk Batak sejak era sebelumnya—lalu digantikan oleh Laboehan Deli.

Kota Sampei kemudian berubah nama menjadi Boeloe Tjina dan kemudian menjadi Hamparan Perak. Tiga pelabuhan penting di pantai timur Sumatra di dalam buku Negarakertagama adalah Panai (muara sungai Baroemoen), Haroe (muara sungai Wampu) dan Sampei (muara sungai Belawan/Boeloe Tjina). Pelabuhan Sampei pada awalnya dihuni oleh mayoritas penduduk Batak.

Sultan Deli Perang dengan Suku Batak: Perdagangan Lada Macet

Popularitas Laboehan Deli semakin kencang ketika Deli yang pernah ditaklukkan Sultan Siak (1770), pada tanggal 8 Maret 1811 pemimpin Deli, Mangedar Alam, oleh pangeran Siak diberi gelar Sultan. Sejak itu, Deli semakin dikenal secara luas  yang mana pemimpinnya adalah Sultan Deli dan beribukota di Laboehan Deli.

Sungai Deli bermuara di Laboeh Deli (dataran yang lebih rendah) dan berhulu di Bataklanden (dataran yang lebih tinggi). Di daerah aliran sungai (DAS) sungai Deli, di sekitar pantai umumnya dihuni oleh penduduk Melayu, di sekitar pegunungan umumnya dihuni oleh penduduk Batak. Batas teritori kedua penduduk ini di DAS sungai Deli tidak begitu jelas, dimana batas tersebut berada diantara kota Laboehan Deli dengan kota Medan. Di era colonial Belanda antara area yang tidak jelas itu dengan pantai menjadi ondersfadeeling Laboehan Deli, antara area yang tidak jelas itu dengan pegunungan menjadi onderafdeeling Medan. Laboehan Deli berada di onderfadeeling Laboehan Deli dan Medan berada di onderafdeeling Medan. 

Sultan Deli di Laboehan Deli kali pertama dikunjungi oleh orang asing pada tahun 1823 (kala itu Inggris belum begitu lama membangun basis perdagangan di Pulao Penang, 1816 dan di Singapoera, 1819; sementara di Malaka sendiri sudah sejak lama diduduki Belanda yang diambilalih dari Portugis). Orang yang mengunjungi tersebut adalah seorang Inggris bernama Anderson. Pada saat kunjungan Anderson ini, suasana di Deli masih dirasakan adanya ‘genjatan senjata’ antara Melayu dan Batak. Menurut Anderson, beberapa waktu sebelumnya Sultan Mangedar Alam yang didukung Kesultanan Siak pernah melancarkan perang dengan suku Batak yang berada diantara sungai Deli dan sungai Langkat. Pasukan Batak memilih mundur ke belakang garis pantai (lebih ke pedalaman) ketika mengetahui kapten kapal Inggris membantu pasukan Melayu (Sultan Deli dan Sultan Siak) dengan meminjamkan senjata.

Berdasarkan cerita yang dikumpulkan, Anderson mulai paham situasi politik regional Deli. Anderson, sesai misinya, coba menengahi dan berupaya untuk turut mendamaikan para pemimpin yang masih perang dingin. Anderson sangat paham positioning penduduk Batak di daerah pengaliran sungai Belawan/Boeloe Tjina dan di hulu sungai Deli (sekitar sungai Babura) sebagai pemasok komodi perdagangan dunia. Langkah pertama yang dilakukan Anderson adalah mengunjungi kepala suku Batak di Boeloe Tjina. Kepala suku yang dikunjunginya adalah Sultan Ahmed dan Anderson masih menemukan sisa perkebunan lada di sekitar  Klumpang.

Menurut Anderson pada tahun 1823 hasil budidaya lada hitam penduduk Batak sangat banyak. Untuk Pulau Penang saja sebanyak 35.000 pikul dari total 60.000 pikul yang diekspor melalui pantai timur Sumatra. Jumlah ini menurut Anderson telah meningkat pesat yang di tahun 1817 hanya sekitar 1.800 pikul. Sisa perdaganag lada di pantai timur Sumatra mengalir ke Pulau Singapoera (yang berasal melalui DAS Baroemoen dan Das Asahan).

Pada tahun 1824 antara Belanda dan Inggris dilakukan perjanjian di London, dimana Malaka menjadi milik Inggris, sebaliknya Bengkulu milik Belanda. Dengan demikian seluruh Sumatra bagian dari Belanda dan seluruh semenanjung plus Singapoera menjadi bagian Inggris.

Bandar Laboehan Deli yang secara geopolitik dan ekonomi tengah kondusif buat Kesultanan Deli, pada tahun 1834, Kesultanan Deli dibawah pimpinan Sultan Osman Perkasa Alam coba memaksa Sultan Atjeh untuk menerima kedaulatannya sebagai Sultan Deli. Lalu Sultan Atjeh merealisasikannya Desember 1834 meski Sultan Atjeh menganggap siasat Kesultanan Deli ini sebagai ‘perampokan’ atas bagian Atjeh, ketika Sultan Atjeh menganggap tidak dalam perang atau bermusuhan dengan Siak (karena Kesultanan Atjeh sendiri telah lama membatasi pengaruhnya hanya sampai di Perlak saja). Namun dalam perkembangannya kedaulatan Kesultanan Deli digugat dan kedaulatan Kesultanan Deli tersebut tidak diterima oleh Kesultanan Atjeh. Cara yang dilakukan Kesultanan Deli dianggap Atjeh sangat merendahkan. Pandangan politik Atjeh mengganggap Sultan Deli telah menyalib di tikungan harus diluruskan: Kesultanan Deli harus dibawah supremasi Kesultanan Atjeh.

Sultan Osman dan putranya dan penggantinya, Sultan Mahmoed Perkasa Alam setelah kembali di bawah supremasi Atjeh, merasa terus dalam kesulitan alias tidak berkembang. Lalu pada tahun 1863 ketika Kesultanan Deli sudah mengetahui Kesultan Siak sudah berada dibawah ‘kekuasaan’ Belanda, Sultan Mahmoud bergegas untuk meminta perlindungan kepada Belanda dan kemudian memaksa Atjeh kembali untuk melakukan keadilan atas supremasi Atjeh. Inilah yang mendasari mengapa Residen Riaou mengerahkan segera angkatan laut ke Deli untuk menekan Atjeh (saat itu oengaruh Belanda di pantai barat Sumatra sudah sampai di Singkel dan Taroemon).  

Pada tahun 1863, menurut Netscher, Resident Riaou berdasarkan laporan Controleur bahwa pelabuhan Laboehan Deli masih mengeskpor lada hitam sekitar 8.300 pikul. Menurut Netscher semua suku Batak di Noord Sumatra telah membudidayakan lada hitam secara eksklusif  sejak lama. Produk-produk lainnya yang diperdagangkan di Deli: gambir, tembakau, buah pinang, getah pertca, gading gajah, pala dan resin, serta kuda yang baik.

Laboehan Deli, Ibukota Deli: Pelabuhan Melting Pot

Pada bulan Februari 1863, angkatan laut Belanda membuang jangkar di muara sungai Deli. Langkah pertama yang dilakukan Belanda (sesuai pesan Sultan Deli?) adalah melakukan psywar terhadap para pemimpin suku Batak di belakang garis pantai di Deli. Ini juga menjadi sinyal buat Sultan Atjeh (ibarat sekali mendayung dua pulau terlampaui). Resident Riaou, Netscher lalu mengundang dua piimpinan suku Batak untuk bertemu di atas kapal perang tersebut. Dua pemimpin suku Batak datang memenuhi undangan dengan pakaian perang lengkap dengan membawa pasukan sebanyak 500 orang. Di atas kapal, secara diplomatis dengan sopan santu mengajak dua pimpinan suku itu keliling kapal dan menunjukkan kecanggihan peralatan tempur yang dimiliki. Kedua pemimpin suku Batak tersebut cepat maklum. Inilah kali kedua kemenangan ke(Sultan)an Deli atas suku Batak tanpa harus berperang. Sinyal psywar ini sudah tentu dapat ditangkap di Atjeh. 
Sebagaimana diketahui hubungan Atjeh dan Batak sejak dari doeloe baik-baik saja dan tidak pernah dilaporkan ada friksi. Kesultan Deli sangat tergantung pasokan lada hitam yang diusahakan suku Batak dari belakang garis pantai di Deli dan Bataklanden, sementara Kesultanan Atjeh sangat tergantung pasokan lada hitam dari suku Batak di Gayo dan Alas serta pelabuhan-pelabuhan di pantai Barat (Singkel, Baros dan Tapanoeli). Hubungan Batak dan Atjeh sangat baik terdeteksi ketika Kesultanan Siak menduduki Laboehan Deli suku Batak bereaksi yang menyebabkan timbulnya Perang Langkat, sebaliknya ketika Kesultanan Atjeh mengiasai Laboehan Deli suku Batak tenang-tenang saja (tidak memihak).  .
Di DAS Deli sendiri, secara head to head, penduduk Batak bukan tandingan Kesultanan Deli. Kesultanan Deli yang menurut C. de Haan (Controleur Deli yang pertama), Kesultanan Deli hanya menguasai wilayah Laboehan Deli dan Pertjoet yang terdiri dari beberapa ribu penduduk Melayu yang umumnya bersiam di pantai, sedangkan selebihnya didiami oleh penduduk Batak yang populasinya mencapai 40.000 jiwa yang dipimpin oleh empat kepala suku. Oleh karenanya, Kesultanan Deli mengetahui persis kelemahannya, tetapi cukup lihai untuk memperkuat dirinya dengan bantuan dari luar. Jika sebelumnya berkolaborasi dengan Siak dan Inggris, maka kini Sultan Deli berkolaborasi dengan Belanda, tidak hanya untuk menekan penduduk Batak tetapi juga mengebiri supremasi Kesultanan Atjeh terhadap Kesultanan Deli.

Menurut laporan Netscher, Laboehan Deli pada tahun 1863 terdiri dari 200 rumah dimana masyarakatnya terdiri dari beberapa ratus penduduki Melayu, Sultan dengan pengawalan pria Atjeh yang dipersenjatai (supremasi Atjeh atas Deli masih terlihat jelas). Terdapat sebanyak 20 orang Tionghoa dan sekitar seratus Hindu berdarah campuran (apakah ini merupakan sisa peradaban India dan Cina dari masa lalu?). Juga di Laboehan Deli terdapat empat rumah panggung yang dihuni oleh orang Batak. Bangunan rumah Batak ini sangat berbeda denga yang lainnya. ditutupi dengan atap idjoek yang rapi dengan dekorasi Batak yang menggunakan cat. Rumah kepala Batakscbe seperti berbentuk cottage (empat rumah ini besar kemungkinan mewakili empat kepala suku di hulu sungai Deli/pedalaman).  

Era Perkebunan Tembakau: Penduduk Batak Kehilangan Lahan

Pada bulan Maret 1863 seorang Arab broker tembakau di Oost Java datang ke Deli dengan membawa tiga calon investor lain: Mr. Falk, Mr. Eliot dan Nienhuys. Para investor ini menemui Sultan Deli di rumahnya di Laboehan Deli dengan mengajukan permintaan untuk membuka perkebunan tembakau dengan kesepakatan: Sultan menyediakan lahan dan investor memfasilitas impor. Kesepakatan lain, Sultan mengumpulkan lada hitam dari penduduk Batak untuk ekspor dan memonopoli distribusi garam dan opium. Dengan kesepakatan tersebut era perkebunan (plantation) tembakau dimulai di Deli.



(tunggu deskripsi lebih lanjut)

*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber tempo doeloe (utamanya koran-koran berbahasa Belanda).

Tidak ada komentar: