Sabtu, Mei 22, 2021

Sejarah Peradaban Kuno (19): Sejarah Hilir Sungai Barumun, Pelabuhan Langga Payung; Kerajaan Panai, Kota Pinang, Bilah, Kualuh


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Peradaban Kuno di blog ini Klik Disini 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Padang Sidempuan di blog ini Klik Disini

Sejarah sungai Barumun di (pulau) Sumatra adalah sejarah yang cukup tua bahkan dari namanya menunjukkan tanda navigasi pelayaran kuno. Aru dalam bahasa India selatan (Ceylon) adalah air atau sungai. Oleh karena pada era Hindoe-Boeda sungai itu disebut ‘aru’ boleh jadi penduduk asli menyebut Aek B-aru-mun yang mana ‘aek’ dalam bahasa Angkola Mandailing diartikan sebagai sungai (rivier). Sungai Barumun atau Aek Barumun adalah sungai besar yang berhulu di pegunungan Bukit Barisan (di aek Siraisan). Sungai Aek Barumun ini  pada masa kini bermuara di desa Labuhan Bilik, kecamatan Panai Tengah, kabupaten Labuhan Batu.

Bagian hilir sungai Barumun ini pada era Pemerintah Hindia Belanda dikenal sebagai suatu district yang ditingkatkan menjadi suatu afdeeling (Afdeeling Laboehan Batoe) dengan ibu kota di kampong Laboehan Batoe kemudian direlokasi ke Laboehan Bilik. Radja Kerajaan Siak di Siak Indrapoera mengklaim wilayah district Laboehan Batoe ini sebagai wilayahnya yang menjadi dasar Pemerintah Hindia Belanda bekerjasama dengan membentuk cabang pemerintahan (residentie Sumatra’s Oostkust dengan ibukota Belanda di Bengkalis dan ibu kota raja Siak di Siak (Indrapoera) dengan penempatkan seorang Controleur di (kampong) Laboehan Batoe sejak 1863. Pada tahun 1887 ibu kota Residentie Sumatra’s Oostkust dipindahkan ke Medan (onderafdeeling Medan) yang mana Afdeeling Bengkalis dipisahkan dan dimasukkan ke wilayah Residentie Riau. Ini mengindikasikan klaim Radja Siak seakan dibatalkan. Afdeeling Laboehan Batoe ini pada era Republik Indonesia dijadikan menjadi satu kabupaten dengan ibu kota di Rantau Prapat. Pada tahun 2008 kabupaten Labuhan Batu dimekarkan dengan membentuk kabupaten Labuhan Batu Utara (dengan ibu kota di Aek Kanopan) dan kabupaten Labuhan Batu Selatan dengan ibu kota di Kota Pinang (seperti halnya Kotanopan, awalnya Kota Pinang adalah Hoeta Pinang).

Lantas bagaimana sejarah hilir daerah aliran sungai Barumun? Seperti disebut di atas pada saat pembentukan cabang pemerintahan di Afdeeling Laboehan Batoe sudah eksis beberapa kerajaan kecil yakni Kerajaan Panai yang berpusat di Laboehan Bilik dan Kerajaan Kota Pinang yang berpusat di Kotapinang (kini dimasuk wilayah kabupaten Labuhan Batu Selatan). Dua lagi kerajaan yang berada di Afdeeling Laboehan Batoe berada di sungai Bilah yakni Kerajaan Bilah yang berpusat di Negeri Lama dan berada di sungai Kualu yakni Kerajaan Kualu yang berpusat di Tanjung Pasir (kini masuk wilayah kabupaten Labuhan Batu Utara). Sebelum terbentuk pelabuhan Kota Pinang di zaman kuno pada era Hindoe Boedha sudah ada pelabuhan di hilir sungai Baroemoen yakni Langga Payung (merujuk pada nama Lingga). Bagaimana ceritanya? Bukan bagaimana ceritanya, tetapi bagaimana sejarahnya? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Sejarah Hilir Sungai Barumun: Langga Payung

Membicarakan wilayah hilir sungai Barumun tidak bisa dipisahkan dengan membicarakan wilayah hulu sungai Barumun sendiri. Ada dua nama Panai di daerah aliran sungai Barumun yakni di muara sungai Barumun yang sekarang (desa Labuhan Bilik, kecamataan Panai Tengah, kabupaten Laboehan Batoe) dan muara sungai Batang Pane di dekat Binanga (di kecamatan Portibi, kabupaten Padang Lawas). Yang jelas dua nama geografi ini berada di sungai yang sama (sungai Barumun). Namun nama Pane atau Panai dimana berada lebih dulu, di hulu atau di hilir.

Sangat naif jika lebih dulu di hilir (Labuhan Bilik). Nama Panai atau Pane yang digambarkan dalam prasasti Tanjore (era Chola, 1108 M) dan prasasti Panai yang ditemukan di candi Bahal I (tanpa tahun) sesuai dengan kawasan muara sungai Batang Pane (dekat Binanga). Untuk lebih detailnya dapat dibaca pada artikel Lisda Meyanti dengan judul ‘Prasasti Panai: Kajian Ulang tentang Lokasi Kerajaan Panai’ (Pusat Penelitian Arkelogi Nasional (tanpa tahun), Prasasti Batugana (Bahal 1).

Nama Panai di hulu sungai Barumun sudah sangat tua, Nama Panai di hilir sungai Barumun adalah nama baru. Bentuk topografi muara sungai Panai di hulu sungai Barumuen dan jenis tanah aluvial hasil sedimentasi, diduga kuat sekitar Binanga adalah suatu teluk dimana dua sungai bermuara sungai Barumun dan sungai Batang Pane. Akibat proses sedimentasi jangka panjang terbentuk awalnya rawa dan kemudian terbentuk daratan. Kini seolah-olah sungai Batang Pane bermuara ke sungai Barumun. Hal ini terjadi karena sungai Barumun lebih besar, maka sungai Barumun yang membentuk jalan air menuju ke pantai melalui rawa-rawa. Proses ini bertahap hingga berakhir pada posisi muara sungai Barumun yang sekarang di Labuhan Bilik.

Kapan terbentuknya kota Pane di hulu sungai Barumun (tempat dimana candi Bahal berada) tidak diketahui secara jelas. Namun jauh sebelunya sudah terbentuk pusat peradaban (kerajaan) di sebelah barat pegunungan Bukit Barisan di muara sungai Angkola (di danau Siais) dimana kini ditemukan candi kuno candi Simangambat yang sudah ada sejak abad ke-9.. Di sebelah timur pegunuan Bukit Barisan inilah terletak kerajaan Panai (saling membelakangi pegununungan Bukit Barisan dengan puncak tertinggi gunung Malea (merujuk pada nama Himalaya). Aktvitas yang tinggi di pusat peradaban di sisi timur pegunungan Bukit Barisan (seperti pertambagan dan pembakaran hutan untuk pertanian) menyebabka material padat (lumpur atau pasir dan batang-batang pohon) terbawa ke muara sungai yang menyebabkan terjadinya proses sedimentasi. Proses yang sama terjadi di daerah aliran sungai Rokan. Kawasan laut antara sungai Barumun dan sungai Rokan menjadi kawasan tangkapan air yang awalnya terbentuk rawa-rawa secara bertahap hingga membentuk daratan yang luas. Seperti halnya sungai Barumun dan kemudian sungai Batang Pane, di hilir awalnya sungai Kanan dan sungai Bilah (serta sungai Kualuh) bermuara ke laut yang kemudian terbentuk rawa kemudian menjadi daratan.

Sebelum terbentuk muara sungai Barumun di kecamatan Panai (kebupaten Labuhan Batu) yang sekarang terlebih dahulu muara sungai di sekitar Langga Payung (tempat bertemunya sungai Barumun dan sungai Kanan). Sungai Kanan sendiri berhulu di pegunungan Bukit Barisan di sekitar kecamatan Dolok (ibu kota Sipiongot). Demikian seterusnya muara sungai Barumun bergeser lagi yang membentuk pertemuan sungai Bilah dan sungai Barumun di Labuhan Bilik (kecamatan Panai yang sekarang). Itulah Riwayat perjalanan (pergeseran) muara sungai Barumun pada zaman kuno era candi-candi (Hindoe Boedha). Tentu saja tidak hanya di daerah aliran sungai Barumun, juga sepeerti sungai Asahan, sungai Rokan, sungai Kampar di pantai barat seperti sungai Batang Toru, sungai Batang Gadis dan sungai Batang (Natal).

Nama Langga Payung diduga merujuk pada nama Lingga sebagai nama sebuah pelabuhan pada periode tertentu di muara sungai Barumun dan sungai Kanan, seperti halnya pelabuhan Lingga Bayu di muara sungai Batang (Natal), pelabuhan Sangkoenoer di muara sungai Batang Toroe dan pelabuah Loemot di muara sungai Lumut. Seperti halnya di pelabuhan Binanga, pedagang-pedagang dari seberang lautan berdatangan untuk berdagang di pelabuhan Langga Payung dan kemudian bergeser ke Kota Pinang dan seterusnya ke Laboehan Bilik. Penduduk di pedalaman juga lambat laut semakin jauh ke pantai membawa barang dagangannya melalui sungai Barumun dengan perahu yang terus bergeser ke timur.

Dimana letak pelabuhan Panai tempo doeloe di muara sungai Barumun berada di arah hulu tidak jauh dari pelabuhan baru Laboehan Bilik yakni suatu tempat yang disebut pelabuhan atau Labuhan Batoe yang berada di hilir pelabuhan Kota Pinang. Nama Panai kemudian menjadi nama wilayah (kerajaan) dan Labuhan Batu menjadi pelabuhannya (pada era Portugis atau sebelumnya), kemudian nama Labuhan Batu (pada era VOC-Hindia Belanda) menjadi nama wilayah (yang lebih luas) dan pelabuhannya di Labuhan Bilik (wilayah Kerajaan Panai) hingga sekarang.

Panai yang dimaksud pada zaman kuno pada saat invasi kerajaan Chola (dari India selatan) era Singhasari abad ke-13 (dan kemudian Majapahit abad ke 14) pada era Hindoe Boedha bukanlah Panai yang di pelabuhan Laboehan Bilik, tetapi Panai di muara sungai Barumun dekat Binanga. Pada saat itu yang menjadi pelabuhan laut adalah dekat Binanga di muara sungai Barumun dan sungai Batang Pane. Pada era Singhasari candi yang dibangun adalah candi Sipamutung dekat Binanga. Sebagai pelabuhan yang ramai maka banyak pedagang dari manca negara berdatangan untuk berdagang. Oleh karena itu bahasa yang digunakan di Panai atau Binanga adalah lingua franca bahasa Sanskerta (Melayu Kuno) sementara penduduk di belakang pantai (pedalaman) adalah bahasa Batak. Dalam prasasti Sitopayan dan prasasti Panai (Bahal I) bahasa yang digunakan adalah percampuran bahasa Sanskerta (Melayu Kuno) dengan bahasa Batak Kuno. Ibarat masa kini di kantor kecamatan Binanga dan kecamatan Portibi bahasa resmi (lingua franca) yang digunakan bahasa Indonesia sementara penduduk sekitar berbahasa (Batak) Angkola Mandailing.

Pasca era kejayaan Majapahit, kerajaan Panai semakin besar yang merupakan federasi kerajaan-kerajaan kecil di Angkola dan Mandailing yang berpusat di Panai atau Binanga yang diduga telah berubah nama menjadi Kerajaan Aru. Pada saat inilah Kerajaan Aru beraliansi dengan Tiongkok yang mana ekspedisi Cheng Ho (1403-1433) juga menyambangi Kerajaan Aru. Namun dimana letak pelabuhan Kerajaan Aru tidak diketahui, tetapi ibu kota tetap di Panai sedangkan pelabuhan sudah bergeser ke arah hilir apakah di Langga Payung atau Kota Pinang. Pelaut-pelaut Cheng Ho disebut tidak perlu turun ke darat untuk mendapatkan air minum (karena muara sungai yang besar airnya adalah air tawar (bukan air asin).

Orang-orang Moor beragama Islam dari Afrika Utara yang semakin banyak di selat Malaka diduga Kerajaan Aru telah diperkuat oleh pedagang-pedagang Moor. Pada saat inilah kejayaan Kerajaan Aru pada puncaknya sehingga memiliki aliansi dengan kerajaan Indragiri, Jambi, Broenai dan Luzon (Filipina). Pedagang-pedagang Moor yang diperkuat Kerajaan Aru mencapai navigasi pelayaran perdagangan hingga ke Maluku bahkan ke selat Torres di Australia. Gambaran ini masih ditemukan oleh orang-orang Portugis yang pada tahun 1511 menaklukkan dan menduduki Malaka. Menurut Tome Pires dan Barbosa, Kerajaan Aru adalah kerajaan yang sangat besar, melebihi yang lain di Sumatra. Kerajaan Aru ini beribukota di pedalaman di tempat dimana ditemukan banyak sungai (boleh jadi sungai-sungai itu sungai Batang Pane, aek Sirumambe, Aek Sangkilon, aek Batang Onang atau Aek Sihapas). Kerajaan ini sangat kuat tidak bisa dipenetrasi dikelilingi oleh pegunungan dan jaraknya ratusan mil dari laut. Kerajaan Aru memiliki banyak (orang) Mandarin yang disisi luar (selat Malaka) kerap melakukan perampokan dan ancaman di selat. Kerajaan Malaka selalu waspada kepada Kerajaan Aru, karena dimasa lalu Kerajaan Aru pernah menyerang Malaka.

Pada saat kunjungan utusan Portugis di Malaka Mendes Pinto ke Kerajaan Aru pada tahun 1537 ibu kota tetap berada di Panai. Mendes Pinto menyebut ibu kotanya bernama Panaju dingai sungai Paneciao (Pana-ju dan Pane-ciao). Untuk mencapai ibu kota ini Mendes Pinto membutuhkan perjalanan selama lima hari. Ini mengindikasikan bahwa muara sungai Barumun sudah sangat jauh ke hilir sungai Barumunn. Di palabuhan Panaju banyak dilihatnya kapal-kapal yang berlabuh. Mendes Pinto mencatat kekuatan Kerajaan Aru Batak Kingdom sebanyak 15.000 orang yang mana 7.000 didatangkan dari Indragiri, Jambi, Broenai dan Luzon. Disebutkannya Radja Kerajaan Aru beragama Muslim, pasukan Kerajaan Aru dipimpin oleh seorang Moor. Laporan Mendes Pinto ini sesuai dengan laporan Tome Pires yang menyatakan pusat Kerajaan Aru sulit dipenetrasi jauh di pedalaman yang dikelilingi pegunungan. Masih Menurut Mendes Pinto Kerajaan Aru tengah berselisih dengan Kerajaan Atjeh karena dua anaknya tewas dalam mempertahankan wilayah dari invasi Kerajaan Atjeh yakni pangeran di Nagur dan pangeran di Lingga.

Menurut Tome Pires dan Barbosa Kerajaan Aru yang berada di pantai timur Sumatra dengan deskripsi, sebagai berikut: (1) Kerajaan besar yang tidak ada yang melebihinya [setelah menurunnya Sriwijaya dan Jambil]; (2) Posisinya sangat sulit dipenetrasi dan dikelilingi oleh pegunungan [karena jauh ke pedalaman, sungainya berliku-liku]; (3) Nama Aru adakalanya ditulis Ara dan dipertukarkan dengan Bata, Bara, Baros [nama-nama di teritori penduduk Batak]; (4) Berseberangan dengan Malaca [dipisahkan oleh selat]; (5) Kerajaan Malaka di masa lalu selalu waspada kepada Kerajaan Aru, karena dimasa lalu Kerajaan Aru pernah menyerang Malaka; (6) Memiliki wilayah kekuasaan antara Ambuara dan Rokan (termasuk Deli, karena Kerajaan/Kesultanan Deli baru muncul belakangan); (7) Beribukota di pedalaman, dapat dilayari, ratusan mil jauhnya (Sungai Baroemoen sangat jauh ke pedalaman, lima hari perjalanan); (8) Pusat kerajaan di sekitar banyak sungai (boleh jadi sungai-sungai itu sungai Batang Pane, aek Sirumambe, Aek Sangkilon, aek Batang Onang atau Aek Sihapas); (9) Menghasilkan banyak emas dan daging (emas dari Batang Angkola di Angkola dan Batang Gadis di Mandailing serta populasi ternak besar banyak di Padang Bolak); (10) Menghasilkan benzoin, kamper, rotan, madu, gaharu, dan beras (produk-produk alami asal penduduk Batak); (11) Produk-produk alamiah dijual melalui Pedir dan Pase dan melalui Panchur atau Baros (pengaruh Kerajaan Aru hingga jauh ke Gajo); (12) Terdapat pasar budak (keluar/masuk) terutama di Kualu, Bila dan Panai (Bila, Kualu dan Panai adalah pelabuhan Kerajaan Aru); (13) Perdagangannya, dipimpin oleh orang Moor dan memiliki banyak mandarin yang disisi luar kerap melakukan perampokan dan ancaman di selat (ada kaitan dengan pedagang-pedagang Moor yang mencapai Tiongkok yang mana Kerajaan Aru telah memiliki hubungan dengan Tiongkok sejak era Cheng Ho).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Kerajaan-Kerajan Kecil: Panai, Kota Pinang, Bilah, Kualuh Era VOC dan Hindia Belanda

Seperti halnya kerajaan besar di masa lampau (Singashari, Sriwijaya dan Majapahit) setelah era kejayaannya, mulai menurun. Besar dugaan karena Kerajaan Atjeh semakin berjaya di lautan (sisi luar Kerajaan Aru). Hal itulah beberapa kerajaan di bawah federasi Kerajaan Aru mulai berdiri sendiri seperti kerajaan-kerajaan kecil di sekitar danau Toba (Silindung, Boetar dan Simamora), Simalungun (Goenoeng Raya) dan Karo (Sibayak Lingga). Dua kerajaan yang terakhir terbentuk afiliasi sebagai Kerajaan Dilli (di Deli Toea) yang diperkuat Portugis. Pada tahun 1619 Kerajaan Dilli diserang Kerajaan Atjeh (namun kembali bangkit) tetapi kemudian diserang Siak dan diambilalih oleh Atjeh.

Pada tahun 1772 Kerajaan Dilli diserang oleh Kerajaan Siak. Ibu kota kerajaan relokasi dari hulu sungai ke hilir sungai Deli (Laboehan). Pemangku kepentingan yang baru ini kemudian ditabalkan Kerajaan Siak sebagai kesultanan (Deli).  Keudian dalam perkembangannya diambilalih oleh Kerajaan Atjeh hingga kehadiran Pemerintah Gindia Belanda yang berkolaborasi dengan Kerajaan Siak (1863). Pada fase era VOC inilah dimana pelabuhan-pelabuhan Kerajaan Aru di Kualu, Bilah dan Panai sebagai vassal mendapat pengaruh (besar) dari kerajaan-kerajaan Melayu (Siak dan Atjeh).

Pada permulaan era Pemerintah Hindia Belanda, banyak kerajaan-kerajaan di Hindia Belanda yang masih independen. Setelah Kerajaan Pagaroejoeng dilikuidasi Pemerintah Hindia Belanda menjelang Perang Padri. Pasca Perang Padri Pemerintah Hindia Belanda membentuk cabang pemerintahan di Pantai Barat Sumatra (Padansche Benelanden, Padangsche Bovenlanden dan Tapanoeli. Pada permulaan Pemerintahan di Tapanoeli (1840-1850) hanya terdiri dari afdeeeling Angkola Mandailing, Padang Lawas, Natal, Sibolga dan sekitar, Baros dan Singkil. Ini mengindikasikan wilayah-wilayah pendukung Residentie Tapanuli tersebut adalah yang notabene sisa eks Kerajaan Aru.

Pada tahun 1850an Pemerinta Hindia Belanda membentuk cabang peerintahan di Riau dengan ibu kota residetie di Riau (Tanjung Pinang). Pada tahun 1862 Pemerintah Hindia Belanda bekerjasama dengan Sultan Siak membentuk cabang pemerintah di Residentie Sumatra’s Ooskust dengan ibu kota di Bengkali. Dalam kerjasama ini Kesultanan Siak mengklaim distrik-distrik Laboehan Batoe, Asahan, Batoebara dan Deli sebagai wilayahnya (boleh jadi berdasarkan serangan ke Kerajaan Dilli pada tahun 1772, namun saat ini Kesulatan Atjeh yang menguasai yang sebelumnya pernah diabilalih Siak. Dalam hal inilah Siak bekerjasama dengan Pemerintah Hindia Belanda untuk mendaptkan kembali klaim wilayahnya sekaligus untuk mengusir (pengaruh) Atjeh.

Pada saat pembentukan cabang pemerintah di Residentie Sumatra’s Ooskut ini kerajaan-kerajaan kecil di pantai tiuur seputar muara sungau Barumun (kerajaan Kualu, kerajaan Panai dan kerajaan Bilah) mendapat angin untuk berkembang sehingga menjadi kesultanan-kesultanan kecil (kesultanan besarnya adalah Siak dan kemudian dipromosikan kesultanan Deli). Dalam perkembangannya menyusul kerajaan Kota Pinang (yang sudah mendapat pengaruh Melayu). Tetangga Kerajaan Kota Pinang yang tidak mendapat pengaruh Melayu adalah Kerajaan Huristak. Hal itulah mengapa Afdeeling Padang Lawas hanya sampai di Kerajaan Hurista (tidak lagi masuk Kerajaan Kotapinang, lebih-lebih Kerajaan Panai, Kerajaan Bilah dan Kerajaan Kualu).

Kerajaan-kerajaan kecil sisa eks Kerajaan Aru yang membentuk cabang pemerintahan Hindia Belanda (Residentie Tapanoeli) terdiri sejumlah kerajaan di Natal, Mandailing, Angkola, Sibolga dan sekitar, Barus dan Singkil yang kemudian masing-masing disebut Koeria (setara dengan kerajaan-kerajaan di pantai timur seperti Kota Pinang, Panai, Bilah dan Kualu). Koeria-koeria di Residentie Tapanoeli ini antara lain Batoe Na Doea, Hoetaimbaru, Sabungan dan Pijor Koling di Angkola Julu; Sipirok, Parau Sorat dan Baringin di Angkola Dolok; Muara Tais, Pintu Padang dan Sayur Matinggi di Angkola Djae. Di Padang Lawas seperti Huristak, Goenoeng Tua, Portibi, Siunggam disebut Luhat. Koreia-koeria di Sibolga dan sekitar antara lain Batang Toru, Sianggunan, Loemoet. Demikian juga di Barus dan Singkil terdiri dari koeria-koeria. Hingga tahun 1870 wilayah Kerajaan Silindoeng masih independen (tapi sudah ada misionaris Nommenson).

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

 

Tidak ada komentar: