Selasa, Mei 18, 2021

Sejarah Peradaban Kuno (14): Candi Biaro Sangkilon, Candi Hindu di Padang Lawas; Biaro Diantara Candi Boedha di Sumatra

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Peradaban Kuno di blog ini Klik Disini 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Padang Sidempuan di blog ini Klik Disini

Candi Sangkilon adalah salah satu candi Hindoe di wilayah percandian Padang Lawas, Candi Hindoe umumnya ditemukan di Jawa. Era Hindoe dan era Boedha relatif bersamaan yang dibedakan dengan sesudahnya era Islam, karena itu era tersebut dijadikan satu era Hindoe-Boedha. Tentulah ada perbedaan antara (agama) Hindoe dan Boedha, namun adakalanya ditemukan candi (tempat ibadah) digunakan oleh Hindoe maupun Boedha (yang kemungkinan) pada era fase yang berbeda, seperti halnya eks candi kuno dijadikan masjid. Candi Sangkilon tampaknya khas Hindoe (saja).

Situs biaro, biara atau candi Sangkilon berada di desa Sangkilon, kecamatan Lubuk Barumun, kabupaten Padang Lawas, provinsi Sumatera Utara. Luas areal situs sekitar 1.680 M2 dengan luas bangunan sekitar 90 M2. Situs ini kini berada di antara kebun-kebun kelapa sawit. Jarak situs ini dari ibu kota kabupaten Padang Lawas (Sibuhuan) sekitar 9,9 Km di arah baratdaya. Di dalam situs terdapat 4 buah gundukan tanah yang mana 3 gundukan tidak terlihat lagi strukturnya dan 1 lagi masih berdiri di atas permukaan gundukan tersebut. Terdapat 3 buah gundukan yang diduga reruntuhan bangunan. Reruntuhan 1 berada disamping biara induk bagian utara dengan ukuran 6 x 9 M dan tinggi 6 M. Gundukan B berada di sisi timur laut atau di sisi timur gundukan A dengan ukuran 6 x 9 dan tinggi 4 M. Gundukan  C di sebelah selatan gundukan B atau di sisi timur dari biaro induk yang berhadaoan dengan tangga masuk dengan ukuran 5 x 6 M dengan tinggi 1 M.

Bagaimana sejarah situs biaro candi Sangkilon di Padang Lawas? Seperti disebut di atas, situs Sangkilon adalah candi yang khas Hindoe di Padang Lawas dan umumnya candi Hindoe ditemukan di Jawa seperti Prambanan. Lantas apa yang menarik dari situs candi ini di kawasan Padang Lawas di zaman kuno? Lalu mengapa candi Sangkilon terkesan terpisah dari candi-candi lainnya (Bodha)? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Candi Sangkilon, Candi Hindoe di Padang Lawas

Sejak kerajaan Aru berakhir dan terbentuk kerajaan-kerajaan kecil, wilayah Padang Lawas jarang ketahui beritanya. Hanya candi-candi dan kuburan tua kelak yang menjelaskan. Pada era VOC diketahui ada jalur yang ramai antara pantai timur (di Panai) sepanjang sisi sungai Baroemoen dan pantai barat (di Baroes) melalui Padang Lawas di Angkola Mandailing (lihat Daghregister 1 Maret 1703).  Tujuh puluh tahun berikutnya (1772) jalur dari pantai barat di teluk Tapanoeli ke Hoetaimbaroe via Loemot dan Hoetalambieng terus ke Batang Onang (Padang Lawas) via Morang (Aek Godang yang sekarang). Tujuh puluh tahun berikutnya (1840) dari pantai barat tersebut via Hoetalambeong terus ke Pidjorkoling ke Batang Onang via gunung Simardona.

Jalur ke Padang Lawas tidak hanya itu. Pada saat Perang Portibi tahun 1838 (penduduk Angkola dan Mandailing yang dibantu militer Hindia Belanda melawan Tuanku Tambusasi di Daloe-Daloe) jalur yang dipakai selain jalur Pidjorkoling Simardona, juga jalur dari Siaboe via daerah aliran sungai Moeara Sada dan jalur dari Panjaboengan dan Kotanopan. Beberapa tahun kemudian (1850) diketahui jalur lainnya ke Padang Lawas dari Sipirok via Djamboerbatoe, Goenoeng Manoengkap dan Simaninggir terus ke Goenoeng Toea via Sioenggam. Portibi adalah pusat pertemuan pasukan menuju Daloe-Daloe. Portibi pada masa kini dikenal sebagai desa dimana terdapat beberapa candi (candi Bahal). Dari gambaran di atas, pusat candi terhubung dengan semua tempat di wilayah Angkola Mandailing. Ini seakan menggambarkan pusat percandian di Padang Lawas adalah pusat (kota Metropolitan) seluruh penduduk Angkola Mandailing (juga dari Silindoeng). Portibi, Gunung Tua, Binanga diduga adalah kota-kota pelabuhan di zaman kuno.

Candi-candi yang berada di Portibi, Binanga dan Gunung Tua (Schnitger, 1935) disebut candi peninggalan Boedha yang berada di sekitar muara sungai Batang Pane (Binanga) dan muara sungai Sirumambe (Portibi). Namun ada satu candi yang agak terpisah dari kota metropolitan Padang Lawas itu di hulu sungai Baroemoen di sekitar muara sungai Sisangkilon (dekat ke pegunungan Bukit Barisan). Candi yang terpisah ini khas peninggalan Hindoe.

Candi Sangkilon berada di hulu sungai Baroemoen dekat ke Sibuhuan. Sumber air terjauh dari hulu sungai Baroemoen ini di gunung Sibualbuali melalui sungai Aek Batang Toera dan sungai Aek Batang Siahapas. Sumber air lainnya di pegunungan Bukit Barisan di gunung Malea (merujuk pada nama Himalaya) melalui sungai Aek Siraisan. Di sebelah barat gunung Malea sendiri terdapat candi yang lebih tua, candi Simangambat (dekat Siabu).

Meski candi-candi di sekitar Portibi sudah dilaporkan oleh FW Jung Huhn pada tahun 1843, namun candi Sangkilon kali pertama dilaporkan pada tahun 1889 (lihat Sumatra-courant : nieuws- en advertentieblad, 12-03-1889). Disebutkan candi Sangkilon di district Oeloe Baroemoen muara sungai Sangkilon di singai Baroemoen, Bagaimana karakateristik candi-candi candi Sangkilon disebutkan peninggalan (era) Hindoe. Ekskavasi telah dimulai pada tahun 1902 dan kemudian dilanjutkan pada tahun 1926 di sekitar Batang Pane. Baru pada tahun 1935 FM Schnitger melakukan ekskavasi di candi Sangkilon, Sibuhuan (lihat Deli courant, 13-07-1935).

Disebutkan lebih lanjut, Schnitger memulai dengan penggalian Sangkilon, sebuah kuil setinggi 11 meter yang terletak di semak lebat di utara Sibuhuan. Pertama, seluruh situs dibersihkan; bagian selatan dan timur atap candi ditemukan telah roboh dan menjadi puing-puing jatuh di dalam ruangan. Ketika puing-puing ini telah dibersihkan, penemuan yang mengejutkan segera terlihat; Di tengah ruangan, di samping sisa-sisa guci perunggu, ada piring emas dengan delapan baris tulisan dan empat yang disebut wajra. Wajra adalah simbol petir dan atribut unggulan para penyihir Boedha. Dengan demikian, temuan ini menunjukkan bahwa Sangkilon pernah menjadi pusat pemujaan Boedha, dimana ilmu sihir memainkan peran penting. Kita akan segera melihat bahwa pemujaan haus darah dan animisme ini pernah terbentang di seluruh Padang Lawas, berjalan ke atas gedung dan di tangga dilengkapi dengan pita bermotif berlian; atapnya persegi. Dua bangunan lagi dan tiga singa ditemukan di bagian utara situs. Penggalian lainnya oelh Schnitger di Binanga, Bara, Poelo dan Bahal dan Djoreng Blangah.

Hasil penggalian situs-situs itu, FM Schnitger berpendapat bahwa candi-candi mengindikasikan Boedha sekte Bhairawa. Penduduk Batak tampaknya telah mengkhianati pengaruh (agama) Hindoe dan dari struktur bangunan yang ada di sini mirip dengan reruntuhan Angkor Wat yang terkenal di Indocina selatan. Hal ini menjadi hal yang sama sekali baru bagi sejarah Padang Lawas. Dua radja terkenal di luar Padang Lawas menurut Schnitger, penganut agama Batak Boedha sekte Bhairawa adalah radja Singhasari Kertanegara (meninggal 1292) dan Radja Minangkabau (Kerajaan Mauli) Adityawarman (meninggal 1375).

Pendapat Schnitger ini di satu sisi telah menjelaskan bahwa agama yang dianut di Padang Lawas adalah agama Boedha sekte Bhairawa yang telah menghianati ajaran Hindoe. Sebagaimana diketahui candi di Simangambat yang dibangun pada abad ke-9 adalah berkarakter Hindoe. Jika hal ini diinterprestasi maka penjelasannya sebagai berikut: Pusat pertumbuhan ekonomi Angkola Mandailing telah bergeser dari Simangambat ke Sibuhuan (Candi Sangkilon) dimana terdapat pelabuhan-pelabuhan perdagangan. Pengaruh Boedha di Padang Lawas diduga kuat datang dari Indo China melalui pedagang-pedagang Indo China yang memperkenalkan agama Boedha di Padang Lawas diolah menjadi sekte Bhairawa. Candi-candi Padang Lawas, yang awalnya hanya satu Hindoe di Sangkilon kemudian berubah menjadi Boedha sekte Bhairawa dan membangun candi lebih banyak lagi candi di pelabuhan-pelabuhan besar di Binanga dan Portibi (yang menyebabkan terbentuknya metropolitan Padang Lawas). Penduduk Angkola Mandailing sendiri sudah sejak lama Hindoe (Simangambat) hingga invasi Kerajaan Chola di selat Malaka tahun 1030 di Kedah, Panai (muara sungai Baroemoen) dan Palembang. Pasca Chola inilah kemudian terbentuk di Padang Lawas Boedha sekte Bhairawa, yang mena dua pendukung fanatiknya adalah Kertanegara dan Adityawarman.

FM Schnitger setelah selesai ekskavasi di Padang Lawas, mendapat laporan bahwa ditemukuan puing candi di hulu sungai Rokan. FM Schnitger segera melakukan penyelidikan dan menemukan hubungan candi-candi di Padang Lawas dengan Candi Muara Takus di hulu sungai Kampar melalui candi Manggis di hulu sungai Rokan. Awalnya Schnitger berpendapat hubungan Padang Lawas dengan Muara Takus melalui Padang Sidempoean dan Kotanopan. Dengan ditemukan candi Manggis di hulu sungai Rokan maka hubungan Padang Lawas dan Muara Takus lewat Rokan. Candi Padang Lawas, Rokan dan Muara Takus (Bangkinang) memiliki kemiripan dan dibangun di era yang relatif sama.

Apa yang dapat dipelajari dari temuan candi Manggis di hulu sungai Rokan ini telah menjelaskan bahwa pertumbuhan ekonomi perdagangan yang bermula di candi Candi Sangkilon (Sibuhuan) Kerajaan Aru seakan menggambarkan lebih luas bahwa wilayah perdagangan dari wilayah Angkola berorientasi ke Binanga (Padang Lawas) yang juga disusul dari wilayah perdagangan Silindoeng dan wilayah perdagangan dari wilayah Mandailing berorientasi ke Rokan (dari Panjaboengan) dan Bangkinang (Kotanopan). Jika dihubungkan dengan nama-nama yang terdapat pada Negarakertagama (Majapahit) yakni Mandailing, Panai dan Haru dapat diartikan sebagai tiga pelabuhan utama Kerajaan Aru (Mandailing di hulu sungai Rokan untuk Panjaboengan dan Kotanopan); Panai di muara sungai Baroemoen untuk Angkola dan Silindoeng; dan Haru di muara sungai Wampu untuk Karo, Toba dan Simalungun). Catatan: pelabuhan Kerajaan Mauli di hulu sungai Batanghari menjadi cikal bakal kerajaan Minangkabau (Adityawarman).

Untuk pembaca pada masa kini, pada zaman kuno wilayah pantai timur Sumatra ini di Mandailing, Panai dan Haru tidak dilihat dengan kacamata sekarang. Hal ini sangat berbeda situasi kondisi zaman dulu dengan sekarang. Pada zaman kuno garis pantai itu begitu dekat ke pegunungan (Bukit Barisan), sungai-sungai lebih pendek dari yang sekarang. Tentu saja pada era ini belum terbentuk (pemukiman) penduduk Melayu di sekitar Kerajaan Aru ini. Cikal bakal Kerajaan Mauli masih sangat jauh di selatan di hulu sungai Batanghari (kini wilayah Dharmasraya). Kerajaan Mauli baru kemudian bergeser ke Tanah Datar (Minangkabau).

Seperti kita lihat nanti pada artikel lain, wilayah Mandailing lebih dari batas wilayah yang sekarang. Pelabuhan Mandailing di pantai barat berada di Linggabayu atau Muara Soma (muara sungai Batang Natal), Batahan (muara sungai Batahan), Oedjoeng Gading (muara sungai Batang Sikabau) dan Pasaman (muara sungai Pasaman). Hal itulah mengapa penduduk Kabupaten Pasaman pada masa kini dominan Mandailing. Sebelum Perang Padri di era VOC, wilayah Rao, Oedjoeng Gading dan hulu sungai Rokan adalah wilayah Mandailing yang dikelilingi penduduk Melayu yang datang kemudian dari arah pantai timur dan arah pantai barat. Pada era Perang Padri, wilayah Rao hingga Bondjol berada di luar wilayah yurisdiksi Kerajaan Pagaroejoeng (sebagai wilayah independen seperti halnya Mandailing dan Angkola). Pasca Perang Padri, Pemerintah Hindia Belanda membentuk residentie tersendiri (Residentie Air Bangis) yang meliputi Air Bangis, Rao dan Ophir serta Mandailing dan Angkola. Pada tahun 1840 wilayah batas administrasi ini, untuk memudahkan pembangunan, wilayah Residentie Air Bangis dibagi dua, yakni Air Bangis dan Ophir dimasukkan ke wilayah Residentie Padangsche Benelanden dan wilayah Angkola Mandailing plus Natal ke wilayah Residentie Tapanoeli (yang baru dibentuk). Dalam perkembangannya, sehubungan dengan semakin intensnya migrasi dari wilayah Agam (eks Kerajaan Pagaroejoeng) ke wilayah Rao, Ophir dan Air Bangis, wilayah yang sebelumnya masuk wilayah Residentie Padangsche Benelanden (pantai) dimasukkan ke wilayah Residentie Padangsche Bovenlanden (pedalaman). Memang betul bahwa orang Mandailing di wilayah Pasaman sekarang berada di provinsi Sumatra Barat, sejatinya sejak zaman kuno masuk dalam wilayah budaya Mandailing en Angkola (Kerajaan Aru). Jadi orang Mandailing di Pasaman dan Rokan bukanlah migran tetapi penduduk asli sejak zaman kuno. Lebih awal berinteraksi dengan Melayu (barat dan timur) sebelum penduduk Minangkabau menemukan jalan lebih jauh ke utara (Rao dan Ophir). Hal serupa ini juga terjadi di wilayah Angkola, Toba, Simalungun, Karo dan Pakpak plus Alas pengaruh (migrasi) Melayu dari barat dan timur semakin jauh ke pedalaman plus migrasi Atjeh lebih jauh ke pedalaman ke wilayah selatan Gajo.

Melayunisasi yang lebih awal diduga telah terjadi pada wilayah-wilayah Agam, Tanah Datar dan Limapuluh Kota. Hal itu karena bergesernya pusat kerajaan yang awalnya di hulu sungai Batanghari (Kerajaan Mauli) ke wilayah hulu sungai Indragiri (Kerajaan Minangkabau atau Kerajaan Pagaroejoeng). Proses melayunisasi ini boleh jadi yang menyebabkan soal adat dan sistem aksara (yang berbasis aksara Palawa) seakan terbelah (terputus) atas aksara Batak Mandailing dan Pasaman dengan aksara Kerinci (lihat artikel sebelumnya). Sejauh ini tidak pernah ditemukan aksara Minangkabau (yang mirip dengan aksara Kerinci dan aksara Batak).

Proses melayunisasi di wilayah Agam, Limapuluh Kota dan Tanah Datar terbentuk sistem nagari dan laras (teritorial) di wilayah Minangkabau, yang berbeda dengan sistem huta dan koeria (genealogis) di Mandailing dan wilayah Batak lainnya). Sistem huta dan koeria adalah kerajaan-kerajaan kecil (wujud kecil dari kerajaan besar Kerajaan Aru di masa lampau). Di Minangkabau kerajaan besar Kerajaan Pagaroejoeng menghilang setelah dilikuidasi Belanda pada tahun 1831. Dalam hal ini sistem laras yang yang sudah terbentuk pada era Kerajaan Pagaroejoeng digunakan oleh Belanda dalam menyusun pemerintahan sebagaimana sistem koeria tetapi dengan pendekatan yang beberda, karena laras dan koeria memang berbeda.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Era Hindoe-Boedha: Java vs Sumatra

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar: