Amir Sjarifoeddin, semasa remaja di Medan |
Dari Sipirok ke
Medan, Murid Pertama Nommensen
Saat
Ludwig Ingwer Nommensen meninggal pada tanggal 23 Mei 1918, Sutan Gunung Tua
sudah tinggal di Medan. Murid-murid Nommensen tentu saja sudah banyak yang
tinggal di Medan. Diantara murid-murid Nommensen di Medan, Sutan Gunung Tua
adalah yang tertua. Sebab Sutan Gunung Tua adalah murid pertama Nommensen sejak kehadirannya di Tanah Batak.
Nommensen tiba
di Sipirok menyusul dua pendeta Jerman, Heine dan Klammer. Di Sipirok sendiri
sudah ada dua pendeta Belanda, Gustav van Asselt dan Betz. Empat pendeta yang
pertama mengadakan rapat 7 Oktober 1861 huta Parau Sorat (yang menjadi hari
kelahiran HKBP). Hasil rapat itu yang terpenting membagi wilayah misi: Belanda
di Angkola dan Sipirok, Jerman di Silindung dan Toba. Keputusan yang kedua
adalah dalam fase transisi ini kedua belah pihak mendirikan sekolah rakyat di
Parau Sorat karena belum ada sekolah yang dibangun oleh penduduk di Sipirok.
Sekolah itu berdiri tahun 1862 yang mana gurunya adalah Nommensen yang baru
datang di Sipirok. Salah satu murid sekolah swasta yang dibangun oleh misi ini
adalah Sjarif Anwar gelar Sutan Gunung Tua. Pada tahun yang sama (1862) Willem
Iskander yang baru pulang studi di Belanda membangun sekolah guru di huta Tanobato.
Besar kemungkinan, Sjarif Anwar gelar Sutan Gunung Tua melanjutkan ke sekolah
guru di Tanobato (asuhan Willem Iskander).
Pada
tahun 1841 Afdeeling Mandheling en Ankola dibentuk. Asisten Residen
berkedudukan di Panjaboengan. Asisten Residen dibantu dua controleur di Ankola
dan Oeloe Pakanten. Pada tahun 1871, ibukota afdeeling dipindahkan dari Panyabungan
(onderafdeeling Mandheling en Batang Natal) ke Padang Sidempoean
(onderafdeeling Ankola en Sipirok). Kemudian pada tahun 1875, tiga koeria
(Sipirok, Goenoeng Bringin dan Paraoe Sorat) dipisahkan dari Onderafdeeling
Ankola en Sipirok dan menyatukannya dengan membentuk Onderafdeeling Sipirok.
Sjarif Anwar
gelar Sutan Gunung Tua menggantikan Si Gali gelar Dja Alim menjadi penulis
pribumi (inlandsch schrijver) yang merangkap sebagai petugas (officer van
justitie) di dalam kerapatan di controleur Sipirok (lihat De locomotief :
Samarangsch handels- en advertentie-blad, 04-12-1875).
Rapat atau
Kerapatan adalah suatu dewan (institusi) yang dibentuk pemerintah di bidang
peradilan (raad van justitie). Institusi ke(rapat)an ini ada pada setiap level
pemerintahan mulai dari Gouvernement, Residentie, Afdeeling hingga
onderafdeeling. Anggota dewan merupakan kombinasi Belanda (umumnya pejabat
pemerintah) dan pribumi (tokoh masyarakat dan atau tokoh keagamaan).Untuk
pimpanan rapat (ketua sidang) biasanya anggota dewan yang berasal dari dewan
yang berada di wilayah lain. Jenis kasus yang ditangani sesuai dengan level
ke(rapat)an. Untuk posisi jaksa ditunjuk atau diangkat oleh pemerintah sebagai
pejabat pemerintah.
Sebelumnya
Sutan Gunung Tua bertugas sebagai penulis pribumi di kantor Asisten Residen
Mandheling en Ankola di Padang Sidempuan. Ketika Sutan Gunung Tua menjadi murid
Nommensen tahun 1863 dan kemudian menjadi penulis di kantor controleur Sipirok
tahun 1875 itu berarti sudah berselang 12 tahun. Artinya Sutan Gunung Tua sudah
mengikuti sekolah rakyat di Sipirok (Nommensen) dan sekolah guru di Tanobato
(Willem Iskander) serta diterima sebagai penulis di kantor Asisten Residen di
Padang Sidempuan. Sutan Gunung Tua sendiri lahir di huta Baringin tahun 1840
(setahun sebelum pemerintahan sipil dibentuk di afdeeling Mandheling en Ankola).
Ketika Medan masih kampung, Padang Sidempuan sudah kota |
.
Sutan
Gunung Tua kemudian dipindahkan ke Baros pada tahun 1878. Setelah beberapa kali
pindah, Sutan Gunung Tua dipindahkan kembali ke Sipirok pada tahun 1885.
Kemudian Sutan Gunung Tua beberapa kali lagi pindah termasuk ke Sibolga dan ke
Medan (1892). Setelah dari Medan pindah beberapa kali dan kembali ke Sibolga. Pada
tahun 1910 atas permintaannya pension dengan hormat dari layanan Negara sebagai
Djaksa dalam Rapat di Sibolga. Dari Sibolga, keluarga Sutan Gunung Tua pindah (kembali)
ke Medan agar lebih dekat dengan anaknya yang tinggal di Medan (Djamin gelar
Baginda Soripada).
Sutan Gunung
Tua, Ayah dari Djamin gelar Baginda Soripada dan Humala gelar Mangaradja Hamonangan
Sutan
Gunung Tua memiliki beberapa anak, dua diantaranya laki-laki: Djamin (gelar
Baginda Soripada) dan Humala (gelar Mangaradja Hamonangan). Djamin lahir di
Sipirok tahun 1885. Djamin mengikuti sekolah dasar berbahasa Belanda,
Europeesche Lagere School (ELS) di Medan tahun 1893 dan lulus 1900. Setelah
lulus ELS, Djamin Harahap magang di kantor pemerintah di Medan. Pada tahun 1906
Djamin menikah dengan boru Regar bernama Basunu. Setelah menikah Djamin diberi gelar
sehingga namanya menjadi Djamin Baginda Soripada. Anak pertama Djamin gelar
Baginda Soripada lahir pada tangga 27 April 1907 di Medan yang diberi nama Amir
Sjarifuddin.
Humala (gelar Mangaradja
Hamonangan) lahir di Padang Sidempuan. Salah satu anak Mangaradja Hamonangan
adalah Todoeng gelar Soetan
Goenoeng Moelia (lahir di Padang Sidempuan). Kelak Sutan Gunung Mulia menjadi
Menteri Pendidikan RI yang kedua (menggantikan Ki Hadja Dewantoro). Salah satu
boru dari Sutan Gunung Tua menjadi istri dari Soetan Martoewa Radja (lahir
di Sipirok 1877). Sutan Matua Radja adalah alumni terakhir dari Kweekschool
Padang Sidempoean, 1893. Sutan Martua Radja adalah ayah dari MO Parlindungan
(penulis buku kontroversi Tuanku Rao).
Setelah
beberapa tahun sebagai calon pegawai, akhirnya Djamin gelar Baginda Soripada
diangkat sebagai pegawai di kantor Residentie di Medan (De Sumatra post,
27-02-1911). Di lingkungan residenti ini, kemudian Djamin diangkat menjadi
mantri polisi. Pada bulan Mei 1914, Djamin diangkat sebagai Adj-hoofddjaksa di
Tanjoeng Poera (Bataviaasch nieuwsblad, 12-05-1914). Lalu kemudian pada tahun
1915 Djamin Baginda Soripada dipindahkan ke Sibolga sebagai Hoofddjaksa. Tidak
lama kemudian, Djamin dipindahkan lagi ke Sabang.
Dalam manifest
kapal s.s. de Weert yang berangkat tanggal 16 Januari 1916, Djamin berangkat
dengan istri dan empat orang anak. Kemudian, setelah dari Aceh, Djamin
dipindahkan lagi ke Sibolga sebagai kepala djaksa. Sebagaimana diketahui bahwa Djamin
Baginda Soripada memiliki tujuh anak, empat diantaranya adalah Amir Sjarifoeddin, Arifin, Anwar
Mahajoedin dan Bachroem. Arifin Harahap adalah Menteri Perindustrian di era
Soekarno.
Amir
Sjarifoeddin yang sudah memasuki usia sekolah dimasukkan ke sekolah ELS di
Medan (1914). Ketika Djamin Baginda Soripada berpindah-pindah tugas sebagai
djaksa, Amir tetap meneruskan sekolahnya dan diasuh oleh oppungnya, Sutan
Gunung Tua. Amir Sjarifoeddin berhasil menyelesaikan ELS tahun 1921. Pada tahun itu juga, Amir akan dikirim ayah
dan oppungnya untuk mengikuti pendidikan menengah ke negeri Belanda. Hal ini
tidak sulit untuk merealisasikannya, karena saudara sepupunya, Todoeng Harahap
gelar Soetan Goenoeng Moelia, yang berangkat tahun 1911 sudah lulus sarjana
(1915) di negeri Belanda dan sudah kembali ke tanah air di Batavia.
Amir
berangkat ke Batavia untuk menemui Todoeng Soetan Goenoeng Moelia. Dari
Batavia, Amir berangkat ke Belanda dan sekolah di Leiden. Setelah lulus sekolah
menengah, Amir melanjutkan ke pendidikan tinggi. Amir masuk perguruan tinggi di
Haarlem (1926). Namun baru naik tingkat dua, tahun 1927, Amir pulang kampong
karena alasan ada masalah di dalam keluarga.
Djamin gelar
Baginda Soripada sudah lama bertugas di Sibolga setelah bertugas di Aceh. Namun
tiba-tiba, pada tanggal 10 Desember 1925 Djamin gelar Baginda Soripada yang
status sebagai kepala jaksa mendapat cobaan. Polisi menangkap Djamin atas
permintaan hakim dan lalu diamankan ke Padang. Djamin masuk bui selama menunggu
persidangan. Djamin dituduh karena menangkap luitenant China (sekarang Tionghoa) bernama Loei Tjoen
Tjoea dan dianggap menyalahi procedural.
Pada
tanggal 10 Januari 1926, Djaksa Penuntut Umum meminta menghadirkan kepala
penjara dan penjaga penjara di Sibolga agar hadir sebagai saksi. Dalam
persidangan Mei 1926, Djamin Baginda Soripada membantah, bahwa penangkapan yang
dilakukan justru berdasarkan instruksi lisan dari hakim. Total saksi yang
dihadirkan dalam persidangan sebanyak 17 orang.
Residentie
Tapanoeli dipisahkan dari Sumatra’s Westkus pada tahun 1906. Meski berstatus
residen, namun pemerintahannya langsung di bawah Gubernur Jenderal di Batavia.
Sedangkan provinsi Sumatra’s Westkust, gubernur berkedudukan di Padang. Untuk
permasalahan yang tidak dapat ditangani di Sibolga harus dibawa ke Padang.
Koran
Bataviaasch nieuwsblad, 09-04-1927 memberitakan
bahwa Djamin Baginda Soripada diberhentikan dari layanan negara sebagai
Djaksa dalam Rapat di Sibolga yangt berlaku efektif 30 April 1927 karena
peristiwa tanggal 10 Desember 1925. Namun dalam perkembangan selanjutnya, nasi
sudah jadi bubur (terlanjut dipecat), Djamin Baginda Soripada ternyata tidak
terbukti bersalah. Namanya kemudian direhabilitasi.
Koran
Bataviaasch nieuwsblad, 30-05-1929 melaporkan bahwa Djamin Baginda Soripada
mantan djaksa di Sibolga diangkat menjadi komisi di kantor Binnenlandsch
Bestuur Tapanoeli di Sibolga. Selanjutnya dalam Bataviaasch nieuwsblad,
24-05-1939 memberitakan bahwa Djamin
Baginda Soripada diangkat menjadi komisi-3 di Kantor Pelayanan Pegawai Negeri
Sipil Luar Jawa (Buitengewesten), yang mana yang bersangkutan sekarang
sementara berugas sebagai komisi kelas-3 di kantor tersebut.
Sutan Gunung Tua, Kakek dari Amir Sjarifuddin gelar Sutan
Gunung Soaloon dan Todung gelar Sutan Gunung Mulia
Sutan
Gunung Tua adalah murid pertama Ludwig Ingwer Nommensen, misionaris terkenal di
Silindoeng en Toba. Nommensen memulai tugasnya di Sipirok. Sutan Gunung Tua
juga adalah murid dari Willem Iskander di Kweekschool Tanobato. Sutan Gunung
Tua tidak hanya berhasil dalam karirnya, tetapi juga mampu membesarkan
anak-anaknya dengan baik, khususnya Djamin gelar Baginda Soripada (menjadi jaksa)
dan Humala gelar Mangaradja Hamonangan (menjadi guru).
Seperti
kata pepatah Melayu: ‘Air cucuran jatuhnya ke pelimbahan juga’. Inilah yang
terjadi di dalam keluarga Sutan Gunung Tua. Djamin gelar Baginda Soripada (menjadi
jaksa) adalah penerus karirnya sebagai jaksa dan Humala gelar Mangaradja
Hamonangan (menjadi guru) adalah penerus karirnya sebagai penulis dengan latar
pendidikan guru. Sutan Gunung Tua adalah pribadi yang berhasil, yang dapat
menularkan kepribadiannya kepada cucunya: Amir Sjarifoeddin gelar Sutan Gunung
Soaloon yang berjuang di bidang keadilan yang kemudian menjadi Perdana Menteri
RI; Todung gelar Sutan Gunung Mulia yang berjuang di bidang pendidikan yang
kemudian menjadi Menteri Pendidikan RI.
Itulah
Sutan Gunung Tua, jaksa pribumi pertama yang ditempatkan di Medan pada tahun
1892. Sutan Gunung Tua kelahiran Sipirok 1840 adalah oppung (kakek) dari Amir
Sjarifoeddin yang lahir di Medan pada tangga 27 April 1907. Amir Sjarifoeddin
adalah revolusioner sejati kelahiran Medan.
Lihat juga:
Gelar Doktor Pertama di Indonesia: Dr. Ida Loemongga, PhD, Doktor Perempuan Pertama di Indonesia
Sejarah Musik Batak: Musik Tradisi yang Kali Pertama Dicatat di Mandailing dan Angkola, Lebih Tua dari Musik Jawa dan Musik Bali
Nama Danau Toba Sudah Disebut oleh Orang Batak Angkola Sejak dari Doeloe: Junghuhn yang Berasal dari Jerman Hanya Sekadar Mencatat
Prof. Dr. Mr. Todung Harahap gelar Sutan Gunung Mulia, Kelahiran Padang Sidempuan: Menteri Pendidikan RI yang Kedua
Prof. Dr. Mr. Todung Harahap gelar Sutan Gunung Mulia, Kelahiran Padang Sidempuan: Menteri Pendidikan RI yang Kedua
*Dikompilasi
oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan
sumber-sumber tempo doeloe.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar