Masjid Raya Medan, Al Mahsun selesai dibangun
tahun 1909. Pendirian masjid megah ini ada ruginya tetapi lebih banyak
manfaatnya di kemudian hari. Pembangunan masjid Al Mahsun pendanaannya yang
cukup besar didukung kapitalis (planter Eropa/Belanda dan handelaar Tionghoa)
dan prosesnya disokong penuh oleh pemerintah kolonial. Tujuannya adalah untuk
menyenangkan sultan, tetapi yang letaknya di luar kota mengindikasikan untuk
menyingkirkan pemukiman komunitas Muslim dan pusat kegiatan keagamaan (Islam) dari
tengah..
Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 18-08-1909
De nieuwe missigit te Medan. Masjid baru di Medan. Sebuah bangunan megah hampir
selesai…..Grand desainer oleh kapten (zeni) Van Erp…Kapten van Erp yang dibuat
pada pertengahan 1906 atas perintah dari desain Sultan…Mr. van Erp, diakui ahli
dalam Oriental. Dia bertanggung jawab atas pemulihan Boroboedoe…missigit akan
total biaya sekitar 4 ton….Dimensi bangunan pada 500,0 M, sementara bagian atas
pel tengah 27 M… bangunan Moor Vau Granada (Alhambra) dan
Seville stamping spesimen yang paling indah dari gaya Arabischen.....
Masjid Al Mahsun (1910): Jauh di pinggir kota dan sepi |
Besar kemungkinan perencanaan dan penetapan
lokasi masjid jauh dari tengah kota terkait dengan perencanaan perubahan status
kota menjadi kotapraja (gemeente) yang diberlakukan pada tahun 1909. Dengan
diangkatnya seorang walikota maka kota Medan sepenuhnya akan berada di bawah
seorang walikota (burgermeester). Dan memang terbuki kemudian, kekuasaan Sultan
yang sudah beberapa tahun pelan tapi pasti semakin dikurangi dan pada akhirnya
wewenang kesultanan itu hanya terbatas pada bidang keagamaan saja. Istana
Maimun dan Masjid Al Mahsun adalah scenario licik dari pemerintah kolonial di
Residentie Sumatra’a Oostkust.
Pada tahun 1903 Esplanade (kini Lapangan Merdeka) ‘dibersihkan’
dari kegiatan sepakbola pribumi dan Tionghoa. Pemerintah hanya memberi lisensi hanya
untuk klub-klub Belanda dan kegiatan orang-orang ETI (Eropa) untuk menggunakan
lapangan. Akibatnya, lapangan sepakbola pribumi mulai dirintis ke arah lokasi
dimana Istana Sultan berada.
Perencanaan kota ternyata kemudian ditawarkan
kepada Sultan untuk membangun masjid. Gayung bersambut, karena Sultan sudah
lama mengimpikan masjid yang besar dan megah (karena masjid terlalu jauh di tengah
kota) tetapi tidak punya biaya (dan bahkan lahan, karena sudah habis
dikonsesikan kepada para planter). Apalagi masjid besar dan megah Langkat di
Tandjoeng Poera sudah lama dibangun. Untuk menaikkan gengsi, tawaran pemerintah
ini disetujui Sultan dan Sultan berharap masjid Deli harus lebih besar dan
lebih megah dari masjid Langkat.
De Sumatra post, 08-02-1907 |
Untuk merealisasikan dua pihak yang berkeinginan
(pemerintah dan Sultan), pemerintah juga mengundang para planter. Deli Mij
menyediakan lahan yang berada di seberang istana Sultan (tempat masjid Al
Mahsun kelak berada). Lalu soal pembiayaan, pemerintah mengajukan ke dewan
untuk dibiayai tetapi dengan kompensasi tertentu (yang nilainya sama).
Pemerintah meminta Sultan menyediakan nilai tenaga kerja pembangunan jalan dan
saluran air mulai dari Sibolangit hingga ke dataran tinggi Batak senilai 20.000
Dollar (bukan gulden) ditambah nilai tenaga kerja pembangunan pipa air di
dataran tinggi Sibolangit untuk pengembangan sawah. Untuk pembiayaan saluran pipa
air ini diambil alih oleh Deli Mij karena melihat warga kesulitan air. Tentu
saja nilai 20.000 Dollar itu tidak mudah dipenuhi Sultan. Lalu Sultan meminta
perhatian para planter untuk membantu, karena biaya sewa lahan yang selama ini
boleh jadi terbilang rendah. Sultan berharap kepada para planter karena selama
ini Sultan sudah sangat banyak membantu dalam hal pembebasan lahan dari
penduduk asli (lihat De Sumatra post, 08-02-1907). Sultan dalam situasi terjepit:
ada kebutuhan (dan gengsi) tetapi tidak memiliki financial apa-apa lagi.
Bagaimana jalan keluarnya? Lihat penjelasan selanjutnya.
Desain masjid ini dibuat Sultan dan pihak
kerajaan dan memberikannya kepada sang arsitek Kapten (zeni) van Erp. Untuk
pengawasan arah kiblat Mr. van Erp meminta Mr. Schadee dari Meteorologisch
Instituut di Batavia. Meski demikian Sultan tetap khawatir soal arah kiblat,
lantas memanggil pihak Arab, seorang ulama Mufti dengan teknik yang berbeda
dari Mr. Schadee. Hasilnya tidak berbeda. Ini menunjukkan ilmu pengetahuan
Eropa dan ilmu pengetahuan Arab konsisten.
Masjid
pemberian para planter (N. v.h.Noorden, 09-06-1931)
|
Masjid yang megah untuk menggiring komunitas
ke dekatnya, tetapi selalu saja ada yang tertinggal karena bukan di situ
dunianya, melainkan tetap di tengah pasar dan di tempat-tempat lainnya.
Penampilan rumah-rumah tuhan menjadi tidak seimbang: ada yang megah sekali
tetapi lebih banyak yang megap-megap untuk menampung umatnya.
De Sumatra post, 12-07-1927 Masjid untuk Laboean Deli. Sekarang
kita telah mulai perbaikan ke masjid untuk Laboean Deli karena sudah sejak lama rusak berat. Masjid itu ketika hujan penduduk hanya sembahyang di
rumah karena bocor dan basah. Sultan coba mediasi ke pemerintah agar masjid
akan segera dapat layanan.
Algemeen Handelsblad, 23-08-1927: ‘Perbuatan simpatik di Deli.
Deli Mij menaruh perhatian pada penduduk muslim di Deli dan Langkat, mungkin
sebagai tanda penghargaan untuk keramahan dinikmati dari masyarakat Deli untuk
bekerja di lanskap ini. Di Langkat misigit yang ada dimana baru-baru ini Sultan
Langkat diperintahkan untuk menyediakan tanah untuk membangun menara ramping dengan harga mahal, dengan cara
yang sama di Medan. Untuk masjid tua yang sangat rusak di Laboeau Deli benar-benar
akan dipulihkan dan diperbaharui dengan biaya dari Deli Mij.
Ini ibarat habis manis sepah dibuang.
Kolaborasi Sultan, pemerintah colonial dan para planter yang dulunya, sejak di
Labuhan Deli begitu mesra kini berakhir sudah. Dulu, bahkan ketiganya secara bersama-sama
mendukung penuh penggunaan militer menghabisi perlawanan penduduk Batak yang
beragama Islam di Sunggal atas penyerobotan tanah-tanah mereka. Kini giliran
keluarga kesultanan yang ‘dihabisi’ dari tengah kota dengan konpensasi biaya
yang sangat mahal: Istana yang megah dan masjid yang megah juga.
Istana Sultan (1910) |
Tunggus deskripsi lebih lanjut
Setelah lama area sekitar istana dan masjid, pemerintah mulai menata sebagai upaya untuk memodernisasi kawasan yang terkesan terbelakang agar tampak modern dan seimbang dengan perluasan kota.
Setelah lama area sekitar istana dan masjid, pemerintah mulai menata sebagai upaya untuk memodernisasi kawasan yang terkesan terbelakang agar tampak modern dan seimbang dengan perluasan kota.
Tunggus
deskripsi lebih lanjut
Untuk merealisasikan tujuan tersebut, penataan
kawasan Matsum maka fungsi Masjid Al Mahsun akan dimaksimalkan. Konsekuensinya
masjid lama yang ada di tengah kota (jalan masjid) akan ditutup. Namun timbul
permasalahan baru.
Tunggus
deskripsi lebih lanjut
Sultan Deli sebagai pelindung masyarakat
cukup bijak membiarkan masjid Al Mahsun tidak digunakan secara sepihak diantara
kalangan Islam. Hak ini terkait dengan permintaan Pimpinan Pusat Muhammadiyah
yang menginginkan menjadi bagian dakwah seutuhnya. Sultan menolak, meski Sultan
sendiri diklaim sebagai anggota Muhammadiyah.
Tunggus
deskripsi lebih lanjut
Masjid Al Mahsun direncanakan untuk maksud
tertentu (menyingkirkan komunitas Islam dari tengah kota), tetapi pada akhirnya
letak masjid tersebut sangat sesuai dengan mengikuti jamannya. Selama masa-masa
awal penggunaan masjid tersebut banyak hal yang telah terjadi tentang
keberadaan masjid. Jadi masjid Al Mahsun sendiri telah menjadi pemandu sejarah
sendiri tentang dinamika di Kota Medan. Kini, masjid Al Mahsun tetap tegak
kokoh ditempatnya yang menjadi pusaran peradaban kota Medan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar