Jumat, Juni 05, 2015

Sejarah Marah Halim Cup (15): Parada Harahap, Pers dan Sepakbola, Pertja Barat vs Pertja Timor, Pewarta Deli vs Sinar Deli, Benih Mardeka vs Sinar Merdeka

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Marah Halim Cup dalam blog ini Klik Disini

Parada Harahap
Sepakbola dikenal karena diberitakan di koran. Surat kabar adalah media yang paling setia dan konsisten memberitakan kabar berita tentang sepakbola. Buku-buku sepakbola yang ditulis kemudian, umumnya mengacu pada pemberitaan surat kabar. Serial artikel sepakbola di Noord Sumatra khususnya di Medan sangat mengandalkan koran-koran yang terbit tempo doeloe. Artikel ini coba menelusuri pertumbuhan dan perkembangan pers di Noord Sumatra sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pemberitaan sepakbola. Salah satu pelaku pers di Noord Sumatra adalah Parada Harahap.

Pargarutan, Padang Sidempuan
Parada Harahap, lahir tahun 1899 di Pargaroetan, Padang Sidempoean. Pada usia 14 tahun merantau ke Deli. Bekerja di perkebunan sebagai krani. Tidak tahan melihat penderitaan para koeli di perkebunan, Parada Harahap coba bongkar kasus kekejaman di perkebunan (poenali sanctie). Laporannya dikirim ke redaksi koran Benih Mardeka di Medan. Tindakan keberanian ini menyebabkan Parada Harahap dipecat sebagai krani, lalu bergabung dengan Benih Mardeka menjadi editor (1918). Ketika koran Benih Mardeka.dilarang terbit karena penanggungjawabnya didakwa, Parada Harahap menerbitkan koran Sinar Merdeka di Padang Sidempoean (1919). Tahun 1922 Parada Harahap masuk gerakan pemuda di Sibolga dan selanjutnya hijrah ke Batavia menjadi wartawan dan mendirikan kantor berita Alpena, lalu menerbitkan Bintang Hindia.
Parada Harahap, pemain sepakbola
Di Batavia, Parada Harahap mendirikan klub sepakbola Bataksche Voetbal Vereeniging (De Sumatra post, 29-09-1925). Diapresiasi orang asing sebagai de beste journalisten van de Europeescbe pers (De Indische courant, 23-12-1925). Karirnya di bidang pers melejit, menerbitkan koran Bintang Timoer (1926). Parada Harahap adalah mentor Soekarno-Hatta (memancing Soekarno keluar kampus dan membimbing Hatta ke Jepang). Parada Harahap adalah pemilik belasan surat kabar yang dijuluki sebagai The King of the Javapress (Bataviaasch nieuwsblad 29-12-1933). Parada Harahap tidak punya 'hutang' kepada Belanda dan malah sebeliknya Parada Harahap selalu dimusuhi (101 kali disidang di meja hijau dan belasan kali dipenjarakan). Parada dan orang Indonesia pertama yang menyeberang dan berkunjung ke Jepang yang disambut bagai Menteri Luar Negeri Indonesi. Parada Harahap adalah pendiri PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) dan pendiri Persatuan Suratkabar Indonesia. Parada Harahap adalah pendiri Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia dan pendiri Akademi Wartawan serta pendiri Kopertis. Parada Harahap adalah sekretaris PPPKI yang menyelenggarakan Kongres Pemuda (1928) dan Parada Harahap adalah satu-satunya orang Batak yang menjadi anggota BPUPK (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan). Parada Harahap memimpin misi dagang dan industri Indonesia ke 15 negara dan ketua pembuat REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun) pada tahun 1957. Jangan lupa: Parada Harahap adalah orangtua yang ideal dan harmonis: putrinya, 'boru panggoaran' Aida Dalkit Harahap adalah perempuan pertama ahli hukum dari Sumatra (satu dari dua di Hindia Belanda) [Rangkaian sejarah perjalanan hidup Parada Harahap ini dapat anda baca mulai dari bagian tengah artikel ini].
***
Sumatra Courant, edisi No. 25 Tahun 1862
Koran pertama di Deli adalah Deli Courant. Surat kabar berbahasa Belanda dan investasi orang-orang Belanda ini diterbitkan pertama kali tahun 1884. Sepakbola belum dikenal. Berita sepakbola dilaporkan di Deli pertama kali tahun 1894. Yang memberitakan, bukan surat kabar Deli Courant, tetapi surat kabar Sumatra Courant yang terbit di Padang edisi, 02-01-1894. Koran ini adalah suksesi Padangsch N.e.E. Blad dan sudah eksis sejak 1862, dua puluh dua tahun lebih awal dari Deli Courant. Komplemen surat kabar Sumatra Courant adalah koran Pertja Barat berbahasa Melayu investasi orang-orang Belanda yang pertama kali terbit 1892.

Pertja Barat vs Pertja Timor

koran Pertja Barat, milik Dja Endar Moeda
Untuk meninggikan tiras koran Pertja Barat membutuhkan editor berkualitas. Kebetulan dua bulan sebelum datang seorang mantan guru (pensiunan) bernama Dja Endar Moeda menawarkan novelnya untuk diterbitkan oleh Percetakan Winkeltmaatschappij (sebelumnya Paul Bainmer & Co) yang menerbitkan koran Pertja Barat (Sumatra-courant, 25-10-1897). Manajemen Pertja Barat menawarkan posisi editor kepada Dja Endar Moeda. Tidak pikir panjang Dja Endar Moeda menerima pinangannya. Pertja Barat butuh editor yang berkualitas, Dja Endar Moeda butuh pekerjaan baru. Akhir November 1897, Dja Endar Moeda sudah resmi menjadi editor Pertja Barat sebagaimana namanya muncul di kolom editorial. Dja Endar Moeda adalah pribumi pertama yang menjadi editor pada surat kabar investasi Belanda. (Sumatra-courant, 04-12-1897).

Sumatra Courant edisi terakhir 11-8-1900
Sejak ditangani oleh Dja Endar Moeda, koran Pertja Barat makin laris manis. Lebih dari itu, ternyata surat kabar Sumatra Courant kerap melansir isi berita Pertja Barat dan juga melakukan wawancara terhadap Dja Endar Moeda.  Dja Endar Moeda yang mantan guru cukup kritis terhadap kebijakan pemerintah. Cukup sering Dja Endar Moeda mendapat peringatan.

Sumatra Post terbit di Medan (edisi perdana, 2-12-1898)
Pada bulan Agustus tahun 1900, surat kabar Sumatra Courant yang terbit di Padang ditutup. Diduga karena oplahnya telah jauh merosot, seiring dengan munculnya koran Sumatra Post di Medan. Segmen pasar orang-orang Eropa/Belanda selama ini menjadi target Sumatra Courant. Peningkatan oplah Sumatra Post juga semakin meningkat di Residentie Padangsch dan Residentie Tapanoeli yang mana segmen pasar ini merupakan pasar utama Sumatra Courant. Semua itu, karena perkembangan sosial ekonomi sudah jauh lebih pesat di pantai timur Sumatra (Sumatra’s Oostkust) jika dibandingkan di pantai barat Sumatra (Sumatra’s Westkust). Koran Sumatra Post terbit pertamakali pada tanggal 2 Desember 1898 di Medan. Sumatra Post nantinya menajdi sukses Sumatra Courant di Sumatra. [Pertja adalah getah karet (para). Pulau Sumatra adalah Pulau Perca. Pertja Barat merujuk pada lanskap Padangsche; Pertja Timor merujuk pada lanskap Tapanoeli; dan Pertja Selatan merujuk pada lanskap Palembang]..

Radja Surat Kabar
Ditutupnya koran Sumatra Courant mendatangkan berkah buat Pertja Barat. Segmen pasar Sumatra Courant orang-orang Belanda/pribumi beralih ke Pertja Barat. Akibatnya, portfolio Dja Endar Moeda meningkat pesat: tabungan, gaji pensiunan, hasil menulis (buku pelajaran dan roman) serta gaji sebagai editor. Pada tahun 1901, Dja Endar Moeda mengakuisisi koran Pertja Barat dan juga percetakannya. Juga Dja Endar Moeda menambah korannya Insulinde dan Tapian Na Oeli (lihat De locomotief: Samarangsch handels-en advertentie-blad, 02-05-1901). Tahun 1903 diundang Dr. AA Fokker ke negeri Belanda untuk melakukan kerjasama. Fokker adalah pemilik (mingguan) Bintang Hindia di Belanda (lihat Algemeen Handelsblad, 16-07-1903).

Iklan penerbitan Pertja Timor (De Sumatra post, 25-07-1902)
Pada tahun 1902 Pertja Timor terbit di Medan. Koran berbahasa Melayu ini investasinya dimiliki oleh orang-orang Eropa/Belanda. Diduga kuat investor Pertja Barat di Padang pindah ke Medan dengan menerbitkan Pertja Timor. Polanya sama dengan ditutupnya Sumatra Courant di Padang dengan terbitnya Sumatra Post.

Dengan semakin meningkatnya ketidakadilan oleh pemerintahan colonial, Dja Endar Moeda semakin kritis di dalam pemberitaan. Sejumlah peringatan sebelumnya tidak digubris Dja Endar Moeda. Pertja Barat dan Sumatraasch Nieuwsblad memberitakan kasus terlarang. Kedua editor dituntut. Dja Endar Moeda dihukum cambuk dan korannya dibreidel, sedangkan K. Baumer hanya dihukum denda dan korannya tetap bisa terbit (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 30-11-1905). Diskriminasi terjadi.

Atas kasus delik pers yang dialami Dja Endar Moeda kemudian memindahkan investasinya dan tersebar di Sibolga, Padang Sidempoean, Medan dan Kotaradja (Banda Aceh). Sementara Pertja Barat dialihkan kepada adiknya Dja Endar Bongsoe. Di Medan, Dja Endar Moeda membuka bisnis percetakan dan menerbitkan surat kabar. Percetakan Dja Endar Moeda ini mendirikan klub sepakbola bernama Letterzetter Voetbal Club (1903) dan korannya mendirikan klub Tapanoeli Voetbal Club (1907). Dja Endar Moeda mulai merintis di Kotaradja dan menerbitkan koran Pemberita Atjeh (1909). Koran Dja Endar Moeda di Medan diahlihkan kepada kawan-kawannya dan diterbitkan koran baru bernama Pewarta Deli (1910). Semboyan koran Pertja Barat dan Pewarta Deli persis sama: 'Organ Boeat Segala Bangsa'.

***
Koran Pertja Timor di Medan mulai mendapat saingan dengan terbitnya koran-koran berbahasa Melayu lainnya. Koran Pertja Timor merasa perlu meningkatkan kualitas agar tiras terdongkrak. Kini saatnya memerlukan editor yang berkualitas. Kronologisnya mirip dengan koran Pertja Barat dulu. Kebetulan ada seorang perantau baru tiba di Medan dan menganggur karena dipecat sebagai jaksa di Natal (Tapanoeli). Mangaradja Salamboewe menjadi jaksa di Natal sejak 1897. Perantau ini bernama Mangaradja Salamboewe. Anak seorang dokter di Mandheling en Ankola ini dipecat karena desersi karena tidak tahan melihat ketidakadilan pemerintah colonial dan terjun ke lapangan mengadvokasi masyarakat.  Mangaradja Salamboewe tidak memusingkannya dan malah senang (makin bebas untuk berjuang dengan rakyat).

Manajemen Pertja Timor menawari Mangaradja Salamboewe posisi editor. Gayung bersambut, kedua belah pihak saling membutuhkan. Terbukti dengan masuknya Mangaradja Salamboewe (1903) tiras Pertja Timor naik pesat. Soal kepiawaian tidak kalah dengan Saleh Harahap gelar (Mangara)Dja Endar Moeda di Pertja Barat, karena Abdul Hasan Nasoetion gelar Mangaradja Salamboewe sama-sama alumni Kweekschool Padang Sidempoean. Hanya saja, Mangaradja Salamboewe tidak menjadi guru tetapi menjadi penulis di Kantor Residen di Sibolga sebelum diangkat menjadi jaksa. Kemampuan menulis dan pengalaman di peradilan membuat Mangaradja Salamboewe menjadi wartawan pribumi yang disegani.

Koran Sumtra Post yang dikutip juga oleh Bataviaasch nieuwsblad mengakui bahwa Maharadja Salamboewe memiliki keingintahuan yang tinggi, memiliki kemampuan jurnalistik yang hebat. Koran ini juga mengakui bahwa Maharadja Salamboewe memiliki pena yang tajam dan memiliki kemampuan menulis yang jauh lebih baik disbanding wartawan-wartawan pribumi yang ada. Hebatnya lagi, masih pengakuan koran ini, Maharadja Salamboewe selain sangat suka membela rakyat kecil, Maharadja Salamboewe juga sering membela insane dunia jurnalistik baik wartawannya maupun korannya. Kami juga respek terhadap dia, demikian diakui oleh koran Sumatra Post yang juga diamini oleh Koran Bataviaasch nieuwsblad.

Mangaradja Salamboewe tidak berumur panjang. De Sumatra post edisi 29-05-1908 memberitakan kematian wartawan pemberani ini. Dalam berita koran ini, editor juga mengungkapkan rasa duka cita yang dalam, karena Maharadja Salamboewe tidak hanya membela rakyatnya tetapi juga dunia jurnalistik (yang sebagian besar wartawan pada waktu itu berbagsa Belanda/Eropa). Editor ini melanjutkan bahwa  "Di dalam seratoes orang pribumi tidak ada satoe yang begitoe brani’.  Saat mana Maharadja Salamboewe di waktu pemakamannya hampir semua wartawan Medan hadir termasuk yang berbangsa Belanda. Abdul Hasan gelar Maharadja Salamboewe dimakamkan di tempat pemakaman Jalan Sungai Mati.

Penerus Mangaradja Salamboewe di koran Pertja Timor adalah Soetan Parlindoengan.


Pewarta Deli vs Sinar Deli

Dja Endar Moeda yang coba mengadu peruntungan dalam bisnis pers di Medan tidak berhasil. Pertja Timor sudah terlalu kuat ketika Dja Endar Moeda memulai bisnis media di Medan. Koran Dja Endar Moeda selalu di bawah bayang-bayang koran Pertja Timor asuhan Mangaradja Salamboewe. Melihat kenyataan ini, Dja Endar Moeda coba merintis di wilayah baru di Kotaradja, sementara korannya di Medan distrukturisasi dengan manajemen baru dengan mengangkat editor sebagai penggantinya.

Dja Endar Moeda dengan korannya Pemberita Atjeh (terbit pertama kali 1909) terbilang sukses di Atjeh. Sementara korannya di Medan yang diberi nama baru Pewarta Deli dengan editor Panoesoenan gelar Soetan Zeri Moeda yang terbit pertama kali tahun 1910 ternyata sukses. Sukses Pewarta Deli ini besar kemungkinan karena Pertja Timor mulai kalah pamor karena tidak menggigit lagi setelah tidak digawangi oleh Mangaradja Salamboewe.

koran Pewarta Deli di Medan, 1910
Pewarta Deli akhirnya mendapat tempat di hati para pembaca di Medan dan Deli. Panoesoenan mengikuti jejak seniornya Mangaradja Salamboewe dengan menomorsatukan gaya kritis terhadap kebijakan pemerintah dan persoalan ketidakadilan. Oleh karena terlalu kencang, Panoesonan hilang kendali di jalan yang banyak rambu-rambu. Pada tahun 1915 Panoesoenan kena delik pers di pengadilan Medan dan mendapat hukuman kurungan 14 hari. Posisi Panoesoenan digantikan oleh Soetan Parlindoengan, seorang mantan jaksa. Kini pengasuh Pewarta Deli dipimpin oleh seorang editor mantan jaksa, sebagaimana sebelumnya Pertja Timor yang digawangi oleh Mangaradja Salamboewe, seorang mantan jaksa di Natal.

***
Redaktur yang berasal dari Padang Sidempoean tiada putusnya. Hilang satu tumbuh seratus. Baru-baru ini (1914) seorang anak muda belia sudah berada di Deli namanya Parada Harahap. Umurnya baru lima belas tahun, pendidikannya hanya lulus sekolah rakyat di kampong Pargaroetan, Padang Sidempoan. Parada Harahap bekerja di perkebunan di Sungai Karang sebagai asisten krani (asisten kepala kantor perkebunan). Parada Harahap memiliki memory lapse sangat tinggi dan di kantornya Parada harahap dapat menggantikan juru buku berkebangsaan Jerman. Parada Harahap dijuluki sebagai akuntan.

koran Benih Merdeka di Medan, media pertama kata merdeka
Selama bekerja di perkebunan itu Parada Harahap terus belajar supaya dapat berbicara bahasa Belanda membaca surat kabar De Sumatera Post. Semangat belajar Parada Harahap luar biasa. Sejak membaca Sumatra Post, Parada Harahap semakin terbuka pemikirannya. Lebih-lebih dengan terbitnya koran baru berbahasa Melayu, Benih Merdeka yang sangat intens menyoroti ketidakadilan utamanya soal koeli di perkebunan. Lambat laun rasa keadilan Parada Harahap mulai memuncak. 

Benih Mardeka vs Sinar Merdeka


Benih Mardeka terbit pertamakali di Medan tahun 1916. Editor pertama koran Benih Mardeka ini adalah Mohamad Samin. Semboyan koran baru ini adalah 'Orgaan Oentoek Menoentoet Keadilan dan Kemerdekaan'. Klop dengan jiwa Parada Harahap (apalagi Parada Harahap berasal dari keluarga pejuang di Pargaroetan).

Mohamad Samin, seorang mantan kepala krani het kantoor van Mr. JJ de Heer dan menjadi pimpinan awal untuk Sarikat Islam (SI) di Medan (Algemeen Handelsblad, 01-11-1913). SI telah berkembang di Jawa oleh Tjokroaminoto dkk. Lalu, Mohamad Samin membentuk kepengurusan baru (De Sumatra post, 11-02-1914). Sebagai ketua SI Medan dan sekitarnya, Mohamad Samin mewakili pertemuan SI seluruh daerah di Djokja untuk penciptaan perlunya sarikat pusat. Dari 108 asosiasi lokal hanya hadir 88 orang. Ketua panitia pertemuan adalah Tjokroaminoto. Kepengurusan terpilih, ketua Samanhudi dan wakil Tjokroaminoto. Penasehat Achmad Dahlan (Bataviaasch nieuwsblad, 24-04-1914). Mohamad Samin kemudian menjadi (salah satu) komisioner SI pusat (De Sumatra post, 15-04-1916). De Sumatra post, 11-09-1916 melaporkan adanya rapat umum di Medan: ‘Sarikat Islam Medan, Sarikat Islam Tapanoeli, Budi Oetomo, Roh Kita, Djamiatoel Moehabbah, Medan Setia, Sarikat Goeroe Goeroe, dll berkumpul di Bioskop Oranje yang diperkirakan dihadiri oleh 1.000 orang. Isu yang dibahas tentang ketidakadilan terhadap rakyat dimana pemerintah tidak hadir dan hanya menonton kepentingan Barat’.

Setelah rapat umum (wakil pribumi dan Tionghoa) di Medan, Mohamad Samin dkk mempelopori didirikannya koran dengan nama yang berbeda, yakni: Benih Mardeka (1916). Penggunaan kata mardeka (dalam hal ini mungkin dimaksudkan merdeka) ini bukan tanpa risiko. Hal ini karena pemerintah colonial sangat mudah mengajukan tuntutan dengan dalih delik pers terhadap setiap adanya gangguan yang dirasakannya. Dja Endar Moeda di Padang (Pertja Barat) dan Panoesoenan di Medan (Pewarta Deli) sudah pernah merasakannya. Namun itu bukan tanpa perhitungan oleh Mohamad Samin, karena sesungguhnya Mohamad Samin dkk dengan nama bendera baru ‘Benih Merdeka’ secara psikologis telah mendapat legitimasi yang luas dari berbagai kalangan di Medan (setidaknya setelah rapat umum di Bioskop Oranje) dan perkembangan ekspansif Sarikat Islam.

Mohamad Samin sendiri dalam hal ini memiliki latar belakang yang lengkap, dua sisi yang menyatukan idenya menyuarakan merdeka lewat Benih Mardika. Di satu sisi, Mohamad Samin pernah lama bekerja di perkebunan, sebagai krani yang dengan kasat mata melihat bagaimana kekejaman dari tuan kebun terhadap para pekerja (koeli). Para planter berlaku kejam karena ada aturan perundangan (legitimasi) tentang poenale sanctie. Di sisi lain, Mohamad Samin kini telah menjadi petinggi Sarikat Islam (awalnya bernama Sarikat Dagang Islam). Dengan sendirinya, persoalan koeli kontrak yang menjadi salah satu isu penting di Deli dan ide pembentukan surat kabar Benih Mardeka menjadi pertarungan legitimasi Planter bangsa Eropa/Belanda (formal) vs legitimasi penduduk local/rakyat pribumi (non formal).

Bataviaasch nieuwsblad, 16-04-1917: ‘Medan, 15 April (Part) yang diketuai oleh pemimpin departemen Sarikat Islam, Mohamad Samin, bertemu orang oriental, sebagian besar bukan non SI untuk membahas rencana pendirian sekolah Islam (Mohammedaanscbe), dimana sekolah ini yang pertama, studi Al-Quran yang diintegrasikan ke dalam kurikulum sekolah normal’.

De Sumatra post, 17-07-1917: ‘Telah diadakan di Medan rapat umum Insulinde, Minggu 24 Juni di bioskop Oranje, yang dikunjungi banyak orang. Asosiasi Insulinde ini bertujuan untuk membahas program kerja dan pembentukan organisasi’.

Insulinde adalah perhimpunan masyarakat yang bersifat umum. Berbeda dengan perhimpunan Sarikat Islam yang lebih khusus. Insulinde adalah nama yang dicetuskan oleh Multatuli (mantan controleur di Natal) dan ditemukan dalam Max Havelaar. Insulinde diambil dari bahasa Latin, ‘insula' = eiland/pulau dan ‘indiae’ = Indië/Hindia yang secara harfiah ‘Kepulauan Hindia’ yang berarti juga nama saat ini Indonesia. Nama Insulinde menjadi populer di Belanda sebagai nama panggilan untuk Hindia, tetapi tidak pernah secara resmi digunakan. Insulinde (1907–1919), a direct successor of the Indische Party (IP) and later renamed the Nationale Indische Party (NIP)

Nama Insulinde telah digunakan sebagai nama koran Dja Endar Moeda di Padang (terbit pertama tahun 1902). Koran Insulinde melengkapi koran yang dimiliki Dja Endar Moeda seperti Pertja Barat, Tapian Na Oeli, Pemberita Atjeh dan Pewarta Deli.

***
Parada Harahap mulai gerah melihat kekejaman di perkebunan. Sebagai krani, Parada Harahap boleh jadi melihat atau mendengar tiap hari apa yang terjadi terhadap para koeli. Sementara koran Benih Mardeka sebagaimana misinya tak pernah pula memberitakan permasalahan ketidakadilan terhadap koeli di perkebunan. Benih Mardeka memang menyoroti tentang ketidakadilan namun hanya pada tataran makro yang notabene intel Belanda tak ambil pusing dan karenanya Benih Mardeka tetap eksis dan dibiarkan terbit. Isinya tidak segarang namanya dan perilaku koran Benih Mardeka tetap berada pada mainstream seperti Pewarta Deli.

Parada Harahap tidak sabar menunggu kapan Benih Mardeka mulai bergerak dan menyentuh titik utama persoalan di Deli. Data-datanya sudah menumpuk di tas. Pelajaran bahasa Belanda secara otodidaktif Parada Harahap sudah beres. Kini, Parada Harahap mulai belajar menulis, langsung menulis konten yang berat-berat: soal Poenale Sanctie dan eksesnya. Parada Harahap mulai mengirim tulisan-tulisan ke redaksi Benih Mardeka, yang mana yang menjadi editor Benih Mardeka berikutnya adalah Mohamad Joenoes (yang telah menggantikan Mohamad Samin yang sudah sibuk dengan urusan organisasi SI). Mohamad Joenoes boleh jadi ragu dan gamang, seorang pembaca di perkebunan sudah berani-beraninya menulis hal yang sangat sensitif. Mohamad Joenoes boleh jadi semakin terpicu dengan munculnya semangat dan keberanian Parada Harahap. Sebaliknya, keraguan Mohamad Samin/Mohamad Joenoes muncul karena sudah terkooptasi karena kabarnya sekolah Islam yang didirikan mendapat sumbangan dari pemerintah. Benih Mardeka akhirnya mau tak mau harus menurunkan laporan yang bahannya sudah dipasok Parada Harahap. Parada Harahap, seorang independent besar kemungkinan memainkan peran yang lebih besar dari pers merdeka ini.


De Sumatra post, 15-04-1918: ‘Pematang Siantar dalam hal politik tidak kalah disbanding yang lain. Beberapa minggu yang lalu telah diadakan di sini rapat umum dan mendirikan (sarikat) Insulinde dan saat ini anggotanya sudah 175 orang. Menurut selebaran, Insulinde akan membuka clubhouse, Senin 15 April. Di dalam clubhouse itu baru terdapat sebuah meja besar dengan kursi kayu dan rotan serta di meja baca terdapat terbitan seperti Sumatra Post, Pewarta Deli, Poestaha dan lainnya. Menurut rencana Insulinde akan mengajukan ke dewan kota untuk pembangunan gedung yang lebih modern dan akan mengadakan sekolah sore. Rencana berikutnya untuk membangun perpustakaan umum yang menyediakan buku-buku bebrbahasa Belanda dan bahasa pribumi (bahasa Melayu dan Bahasa Batak)’.
***
Koran yang diberi nama Benih Merdeka awalnya tidak dipedulikan oleh (pemerintah) Belanda karena kata ‘mardeka’ diaggap sebagai kata-kata umum untuk independent atau kebebasan, seperti kebebasan berusaha, kebebasan berkumpul dan kebebasan pers dan sebagainya). Oleh karenanya koran Benih Mardeka diterima umum dengan sewajarnya, demikian juga (pemerintah) Belanda menganggap sama seperti nama-nama koran lain seperti Pewarta Deli.

Namun tidak demikian dengan seorang krani asal Padang Sidempoan bernama Parada Harahap yang tengah bekerja di perkebunan. Parada menganggap kata ‘mardeka’ atau ‘merdeka’ pada judul koran yang sering dibacanya diartikan sesuai dengan makna merdeka yang sesungguhnya (mengentaskan ketidakadilan). Parada Harahap mulai merespon sinyal yang diberikan koran Benih Mardeka dengan mengirim tulisan-tulisannya. Boleh jadi tulisan-tulisan Parada disambut dengan sumringah oleh editor Mohamad Joenoes, karena maksud yang tersembunyi dari nama dan semboyan koran Benih Merdeka sudah mulai ada follower. Follower pertama adalah Parada Harahap.

Tulisan-tulisan yang dipasok Parada Harahap kemudian dirangkum Mohamad Joenoes dan disajikan sebagai berita atau ulasan. Berita dan ulasan tentang poenali sanctie di Deli cepat meluas. Isu poenali sanctie melejit melampaui isu-isu pertanahan, pendidikan, kesehatan, perumahan dan kemiskinan. Adalah koran Soeara Djawa di pulau Jawa yang pertama memberi respon dan melansirnya sebagai berita serta menjadi heboh di Jawa. Ini mudah dipahami karena koeli yang banyak menerima saksi oleh planter selama ini adalah para pekerja yang umumnya didatangkan dari Jawa dan Asia Timur (Tionghoa).

De Sumatra post, 03-06-1918: ‘Berita tentang koeli di Medan oleh Benih Merdeka mendapat sorotan setelah koran Soeara Djawa melansirnya. Soera Djawa telah menulis ulang isi artikel dalam Benih Mardeka edisi 17 Februari tahun ini, sebagaimana tercantum dalam Benih Mardeka edisi 19, 27 dan 28 Febr. Serta edisi 2, 13 dan 14 Maret tahun ini. Artikel Soeara Djawa ini yang diberi judul ‘Bagimana halnja koeli contract sudah diroendingkan?’ yang dimuat pada edisi 1 Juni’.

Atas tulisan-tulisan yang menyoroti sepak terjang para planter Eropa/Belanda di perkebunan, Parada Harahap dipecat sebagai krani (posisi pribumi yang bergengsi di perkebunan). Parada Harahap sudah tahu betul risikonya. Parada Harahap siap lahir batin menerima risiko itu. Perjuangan Parada Harahap belum tamat, malah Parada Harahap merantau ke Medan dan bergabung dengan Benih Mardeka pada akhir 1918 (lihat De nieuwsgier, 15-10-1953).

Parada lahir di desa Pargaroetan, Padang Sidempoean. Setelah menyelesaikan sekolah dasar, Parada Harahap merantau ke Deli. Kini, Parada Harahap sudah berada di Medan. Parada Harahap terus belajar: belajar jurnalistik dan belajar bisnis media. Di Medan, Parada Harahap tidak kekurangan mentor. Tokoh-tokoh pers di Medan adalah anak-anak dongan sahuta, kampong halaman di Padang Sidempoean. Yang paling senior adalah Dja Endar Moeda (meski sudah menetap di Atjeh masih sering ke Medan), Panoesoenan, Soetan Parlindongan, Abdulah Loebis (Pewarta Deli), Mangaradja Ihoetan (Pertja Timor) dan lainnya. Mangaradja Salamboewe sudah lama telah tiada (Pertja Timor) .


Adalah koran Soeara Djawa di pulau Jawa yang pertama memberi respon dan melansirnya sebagai berita serta menjadi heboh di Jawa. Ini mudah dipahami karena koeli yang banyak menerima saksi oleh planter selama ini adalah para pekerja yang umumnya didatangkan dari Jawa dan Asia Timur (Tionghoa).

De Sumatra post, 03-06-1918: ‘Berita tentang koeli di Medan oleh Benih Merdeka mendapat sorotan setelah koran Soeara Djawa melansirnya. Soera Djawa telah menulis ulang isi artikel dalam Benih Mardeka edisi 17 Februari tahun ini, sebagaimana tercantum dalam Benih Mardeka edisi 19, 27 dan 28 Febr. Serta edisi 2, 13 dan 14 Maret tahun ini. Artikel Soeara Djawa ini yang diberi judul ‘Bagimana halnja koeli contract sudah diroendingkan?’ yang dimuat pada edisi 1 Juni’.

Ketika Parada Harahap bergabung ke Benih Mardeka hal yang pertama dipikirkannya adalah memperkuat persatuan dan kesatuan. Hanya dengan persatuan dan kesatuan diantara pribumi ketidakadilan dapat dilawan. Musuh bersama adalah Belanda, system koeli harus diperbaiki.

De Sumatra post, 24-02-1919: ‘Parada Harahap dari Benih Mardeka berpendapat perlunya kerjasama yang lebih antara kelompok penduduk pribumi di Pantai Timur Sumatera. Persaingan antara Mandhelinger dan Minangkabauer harus dihilangkan, orang harus merasa dirinya pribumi, rasa memiliki, satu untuk semua dan semua untuk satu, dan bukan seperti yang terjadi sekarang, semua untuk saya. Penulis berharap akan membawa hal besar ini ke pertemuan SI, untuk ditemukan perdamaian antara kelompok etnis pribumi yang berbeda’.

De Sumatra post, 03-03-1919: ‘Untuk mencapai penciptaan serikat buruh Sumatraanschen kemarin pagi mengadakan pertemuan di bioscop Oranje. Perserta yang hadir sangat tinggi: sekitar 400 orang. Pembicara dalam pertemuan itu adalah Mangoenatmodjo, Parada Harahap, presiden dari estate-kierkenbond, M. Soendoro, editor De Crani, Hie Foek Tjoy, mantan editor Andalas’.

Pada awal April 1919 di Medan dibentuk organisasi wartawan. Organisasi ini merupakan aliansi wartawan pribumi dan Tionghoa. Besar kemungkinan organisasi wartawan di Medan ini yang pertama untuk wartawan pribumi.

De Sumatra post, 04-04-1919 (Een jounalistén bond): ‘Asosiasi wartawan Inlandsch Chinesche didirikan. Pengurus dewan sebagai berikut: Presiden, Mohamad Joenoes; Sekretaris, Parada Harahap. Komisaris, satu diantaranya Mohamad Joenoes di Siantar. Sarikat telah memiliki tidak kurang dari 40 anggota. Asosiasi ini bukan untuk wartawan Belanda, untuk tujuan bersama, melainkan tujuan sendiri dan bisa meluas ke rekan-rekan mereka sesama oriental’.

***
Mohamad Joenoes di Siantar berbeda dengan Mohamad Joenoes di Medan.  Yang di Pematang Siantar adalah Mohamad Joenoes gelar Soetan Hasoendoetan, seorang mantan guru, novelis dan koresponden surat kabar Poestaha yang terbit di Padang Sidempoean.

Koran Poestaha didirikan oleh Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan tahun 1915 setelah pulang studi dari Negeri Belanda dan menjadi guru di Kweekschool Fort de Kock. Soetan Casajangan, anak Batoenadoea (bertetangga dengan Pargaroetan, kampong Parada Harahap) adalah alumni Kwekschool Padang Sidempoean, murid terbaik Charles Adrian van Ophuijsen. Setelah mengajar 13 tahun di Simapilapil, Radjioen melanjutkan studi ke Rijskweekschool di Haarlem (1905). Soetan Casajangan adalah mahasiswa pribumi kedua yang studi ke Negeri Belanda. Selama kuliah di Negeri Belanda hubungan murid guru di Padang Sidempoean berlanjut dengan Prof. van Ophuijsen yang mengajar di Universiteit Leiden (Soetan Casajangan diangkat van Ophuijsen menjadi asistennya untuk mengajar bahasa dan sastra Melayu). Soetan Casajangan adalah pendiri Indisch Vereeniging (Perhimpunan Hindia) yang lalu diubah namanya oleh Mohamad Hatta dkk (awal 1920an) menjadi Persatoean Pelajar Indonesia (PPI). Selama masa studi Soetan Casajangan pernah menjadi editor majalah Bintang Hindia (milik AA Fokker), Bintang Perniagaan dan yang paling serius menulis buku berjudul ‘Indische Toestanden Gezien Door Een Inlander’ yang diterbitkan oleh penerbit Hollandia-Drukkerij di Barn (buku pribumi pertama yang diterbitkan di Negeri Belanda tahun 1913).

Wartawan Mohamad Joenoes gelar Soetan Hasoendoetan juga adalah koresponden koran Pewarta Deli. Mohamad Joenoes setelah pension jadi guru adalah pengarang novel. Pada tahun 1920 dengan teman-temannya dari Padang Sidempoean di Pematang Siantar mendirikan bank: Bataksch Bank (bank pribumi pertama). Teman-teman Mohamad Joenoes (Siregar) ini adalah Dr. Muhamad Hamzah (Harahap), Soetan Pane Paroehoem (Harahap), dan Dr. Alimoesa (Harahap) [lihat De Telegraaf, 28-12-1920].

Novel terkenalnya adalah Sitti Djaoerah: Padan Djandji Na Togoe (Sitti Djaoerah: Sumpah Setia yang Teguh). Roman ini pertamakali diterbitkan di Pematang Siantar tahun 1927 dan dipublikasikan secara serial antara 1929 dan 1931 di surat kabar  Poestaha. Setelah pemuatan serial roman Soetan Hasoendoetan ini di surat kabar Poestaha, ternyata mendapat respon yang positif dari masyarakat luas di Tapanuli. Atas dasar itu, roman itu diterbitkan kembali dengan bentuk buku dalam dua jilid yang secara keseluruhan tebalnya sebanyak 457 halaman. Kedua jilid buku roman tersebut diterbitkan oleh Tpy Drukkerij Philemon di Pematang Siantar. Roman ini kemudian diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh Susan Rodgers dengan judul Sitti Djaoerah: a novel of colonial Indonesia, terbit tahun 1997 oleh University of Wisconsin (Amerika Serikat).

***
Pers bangsa Belanda di Medan diwakili oleh wartawan dan surat kabar Sumatra Post. Mereka juga adalah manusia yang kerap mewakili komunitasnya (Eropa/Belanda). Mereka juga menjadi penerjemah isi dan isu yang terdapat dalam koran-koran pribumi.

De Sumatra post, 25-07-1919 (Pers pribumi): ‘Soetan Parlindoengan dari Pewarta Deli, memprotes buku yang menistakan agama Islam. Parlindoengan menyalahkan penulis buku, “bahwa alih-alih berjuang untuk kesatuan semua orang pribumi. Kristen dan Muslim, seharusnya tidak saling mencela, dan justru perlu membangun kesatuan. Buku itu adalah racun bagi masyarakat”. Seorang tokoh Batak yang dikutip menganggap buku itu tidak tepat dan tidak layak jual. Kemudian buku itu ditarik dari peredaran’.

De Sumatra post, 25-07-1919: ‘Harahap (maksudnya Parada Harahap) dari Benih Merdeka menyoroti soal prostitusi di Medan: ‘Harahap memberikan protes keras terhadap bahaya besar prostitusi, seperti yang saat ini berlaku di Medan. Dia menunjukkan bahwa hukum pidana mengancam untuk menghukum mereka yang enzoovoort, objek publik terhadap moralitas, tetapi dalam hal ini di Medan tampaknya tidak mengganggu mereka di sana. Hotel Jepang disebut hanya kesempatan untuk prostitusi dan baboes dari pemilik pelacur. Ini adalah berlimpah di jalan-jalan dan dengan kelimpahan mereka menyebabkan bahaya besar, pertama untuk penyakit, dua sarang sebagai godaan untuk anak muda, karena wanita layak melalui tergoda untuk tersesat, empat sarang karena wanita layak keliru untuk pelacur dan mengalami perlakuan yang tidak menyenangkan. Penulis berpendapat bahwa diinginkan agar intelijen menginvestigasi izin untuk hotel dan menuduh menyelidiki pejabat yang terlibat, investigasi serius harus dapat mengungkapkan apa yang sebenarnya yang terjadi. Harahap juga meuntut dewan untuk menyatukan semua pelacur dan kemudian memberikan pembinaan terhadap perilakunya’.

Pada tahun 1919 koran Benih Merdeka mulai diperkarakan karena memuat isu sensitif bagi pejabat Belanda. Isu-isu poenale sanctie, prostitusi dan sebagainya. Sekarang peluru diarahkan kepada Mohamad Samin, karena dia adalah penanggungjawab koran Benih Mardeka. Sasaran lainnya adalah bahwa Mohamad Samin adalah pimpinan SI. Koran Benih Mardeka lalu dibreidel. Parada Harahap kehilangan media penyaluran aspirasi untuk membebaskan rakyat dari ketidakadilan Belanda. De Sumatra post, 19-11-1921 melaporkan bahwa Mohamad Samin didakwa lagi. Anehnya, dakwaan terhadap Mohamad Samin dalam kasus Benih Mardeka dalam soal poenale sanctie tidak dapat dibuktikan bersalah. Kini, dakwaan terhadap Mohamad Samin bukan soal politik tetapi pasal-pasal yang menyangkut perdata (bisnis) tentang pencatutan nama dan pidana tentang penggelapan dana pembangunan sekolah. Ada-ada saja yang bisa dicari oleh pemerintah colonial bagaimana cara membungkam seseorang yang dianggap politiknya berlawanan.

***

koran Sinar Merdeka di Padang Sidempoean, 1919
Parada Harahap tidak kehilangan akal. Parada Harahap sudah lama menyadari ketidakadilan juga merajalela di kampungnya. Parada Harahap lalu pulang kampong. Parada Harahap telah mengubah Benih Mardeka yang selama ini dorman menjadi vigornya menjadi siap tumbuh dan berkembang. Parada Harahap juga tidak mau benih itu hilang ditiup angin. Lalu benih merdeka itu dibawanya ke kampongnya di Padang Sidempoean untuk disemaikan. Mungkin Parada Harahap berpikir bahwa benih merdeka itu harus tetap selalu bersinar.

Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 02-09-1919: ‘Parada Harahap menjadi editor surat kabar Sinar Merdeka  di Padang Sidempoean. Editor Parada Harahap mengatakan dalam kata pengantar koran baru ini bahwa lembaga ini berusaha untuk melindungi kepentingan negara dan rakyat, dan memerangi secara penuh dan dengan semangat melawan penindasan dan kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh kapitalisme!’..

Parada Harahap Pulang Kampong: Sinar Merdeka Terbit di Padang Sidempoean

Sinar Merdeka di Padang Sidempoean, 1919
Kini (1919) pers merdeka sudah berada di Padang Sidempoan dengan koran yang diberi nama Sinar Merdeka. Ini koran bukan surat kabar lokal, tetapi koran nasional, karena saat ini (1919) hanya koran Sinar Merdeka yang mengusung kata 'merdeka' dari semua surat kabar pribumi yang tengah beredar.  Semboyan koran Sinar Merdeka: ;Organ Ontoek Kemadjoean Bangsa dan Tanah Air'. Penggunaan frase 'bangsa dan tanah air' melengkapi frase sinar merdeka pada nama koran berdimensi nasional ini.
Surat kabar Sinar Merdeka yang digagas Parada Harahap melengkapi surat kabar yang pernah ada di Padang Sidempoean: koran Tapian Na Oeli (oleh Dja Endar Moeda, 1903), koran Poestaha (oleh Soetan Casajangan, 1915), dan yang terkini koran Sinar Merdeka (oleh Parada Harahap, 1919). Parada Harahap mendapat tugas ganda yakni editor dua koran sekaligus: Poestaha dan Sinar Merdeka. Dalam tugas ganda ini, Parada Harahap bersama Mangaradja Goenoeng sebagai administrator (Bataviaasch nieuwsblad, 19-06-1920).
Selain koran yang terbit di Padang Sidempoean, juga di Sipirok , Afdeeling Padang Sidempoean ada koran yang diterbitkan yang diberi nama Sinar Sipirok (De Sumatra post, 26-06-1933). Koran Sinat Sipirok ini didirikan oleh Soetan Pangoerabaan Pane, seorang mantan guru dan novelis. Novel terkenalnya berjudul Tolbok Haleon. Soetan Pangoerabaan adalah individu yang lengkap dan sukses. Soetan Pangoerabaan, selain pendidik, novelis, jurnalis, juga adalah seorang pengusaha. Soetan Pangoerabaan Pane, kelahiran kampong Pangoerabaan, Sipirok kelak kebih dikenal sebagai ayah dari Sanoesi Pane (pengarang), Armijn Pane (pengarang) dan Lafran Pane (pendiri HMI).

Parada Harahap Menggebrak

Parada Harahap tidak hanya cerdas tetapi juga pemberani siapa pun yang harus dilawan jika berkaitan dengan ketidakadilan. Parada Harahap tidak hanya berbicara dengan pena yang tajam, juga dengan mulut dan tangan sendiri jika harus diperlukan. Inilah yang dilakukannya di Padang Sidempoean. Dia menggertak pemerintah Belanda: ‘Ini bukan di Jawa, Ini bukan di Rusia’. Jika diteruskan Parada Harahap menunjuk hidup Belanda itu dengan mengatakan: ‘Ini bukan di Medan, Bung! Ini kampong gue, tahu!’


Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 09-09-1919: Editor dari Sinar Merdeka mengeluh dalam edisi 18 Agustus, Lembaga hokum begitu sedikit di sini, konsekuensinya ketika orang berperkara harus melakukan perjalanan yang sangat jauh untuk menuju pengadilan akibatnya setiap perkara bisa memakan waktu yang sangat lama. Parada Harahap menantang pengadilan pribumi seperti doeloe. Parada Harahap juga mengkritik dewan tanah (landraad) yang orang-orang yang dipimpin pengacara sedangkan anggota lainnya tidak akrab dengan undang-undang. Juga soal penilaian pengadilan yang direvisi oleh dewan kehakiman (Raad van Justitie) dan kerap berbicara berbeda untuk hukum yang sama. Mengenai Adatrechtspraak, juga dikritik oleh dia, salah satu pejabat di BB Presiden lagi. dan anggota zyn tidak kompeten’.

De Sumatra post, 28-11-1919 Van 'n redacteur en 'n controleur. Parada Harahap, editor Sinar Merdeka baru-baru ini langsung menghubungi Controluer Padang Sidempoean atas banyaknya keluhan masyarakat karena soal pembayaran untuk berobat. Parada bertanya, mengapa obat harus dibayar dan bahkan dokter di rumah sakit meminta harga yang lebih tinggi, padahal obat harus gratis.. Controleur menjawab bahwa obat pemerintah gratis. Lalu Parada mendesak apakah obat yang dikutip seperti struk ini dapat dikembalikan. Controleur ini menjadi marah: Apa yang Anda katakana itu, akan menyulitkan Anda, itu penting bahwa Anda tidak berlanjut, Anda tahu, tidak ada cara untuk mendapatkan begitu dekat dengan saya; Anda hanya tidak tahu bagaimana harus bersikap. Saya tidak suka Anda lihat di sini. P. Harahap menjawab bahwa ia adalah untuk kepentingan banyak orang yang telah mengajukan keluhan mereka kepadanya, dan untuk kekasaran bahwa kontroler dia akan mencatat bahwa P. Sidempoean bukan di Java atau di Rusia. Lebih lanjut dia mengatakan kepada controller bahwa sikap anda yang justru tidak memiliki kehormatan, lihat saya ini bukan gelandangan yang harus berdiri di sini, sementara begitu banyak kursi di sini’.

Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 15-06-1920: Sebuah kontribusi di Sinar Merdeka telah datang pada ide brilian. Menteri van Kolonien harus memperhatikan bahwa hidup ini sekarang sangat sulit. Para pejabat pemerintah local tidak cukup gaji yang diberikan dan tidak bersisa, seharusnya ada pemberian gaji tambahan satu bulan. Sementara itu pemerintah selama beberapa tahun tidak ada pajak dituntut terhadap konsesi-konsesi yang diberikan. Kalau pemerintah tidak punya dana untuk tambahan gaji ini, pemerintah mengenakan blasting pada konsesi. Ini memang ide yang indah dan praktis. Hanya .... jika pemerintah tidak mampu membayar eksta bulan ini, mereka (pejabat dan pegawai) tidak bisa menyisihkan tiap bulan. Pemerintah berharap ada kepuasaan dari pejabat dan pegawai tetapi juga mereka harus dialokasikan anggaran. Demikian usul dari editor Sinar Merdeka (Parada Harahap)’.

Masuk Gerakan Pemuda dan Politik di Sibolga

De Indische courant, 07-01-1922 Pemimpim muda De Sibolgasche yang popular dalam De Jong Sumatraasche adalah Parada Harahap dan Manullang…’.

Parada Harahap Hijrah ke Batavia

Setelah merasa yakin bahwa kampong halamannya bebas dari ketidakadilan, penduduk makin sadar akan haknya, Parada Harahap dengan semakin intensnya melakukan pertemuan-pertemuan lewat gerakan pemuda dan gerakan politik, mulai manatap Batavia sebagai pusat pergerakan dan ruang pengembangan bakat bisnis di bidang media. Pelajaran jurnalistik Parada Harahap sudah selesai di Medan dan disempurnakan dengan inkubasi bisnis media di Padang Sidempoean.

editor Bintang Hindia, edisi No.1 (2-1-1923): Parada Harahap
Di Batavia Parada Harahap berkolaborasi dengan Dr. Abdul Rivai, editor majalah Bintang Hindia (pimpinan Dr. AA Fokker) di Belanda. Setelah Bintang Hindia ditutup karena bangkrut, Abdul Rivai pulang kampong ke tanah air. Dua pemudik ini sepakat menerbitkan kembali majalah Bintang Hindia menjadi bentuk koran di Batavia. Parada Harahap mudah akrab dengan Abdul Rivai, karena Parada Harahap tahu persis hubungan seniornya Dja Endar Moeda dan Soetan Casajangan dengan Abdul Rivai di Negeri Belanda. Abdul Rivai sendiri yang berasal dari Sumatra’s Westkust juga sangat akrab dengan anak-anak Padang Sidempoean.

Abdul Rivai adalah alumni Docter Djawa School di Batavia (1904).  Selama kuliah, Abdul Rivai sudah kenal paling tidak dengan lima anak Padang Sidempoean yang kuliah di Dokter Djawa School: Harun Al Rasjid Nasoetion (lulus 1902 berdinas di Padang dan buka praktek di Lampong), Muhamad Hamzah Harahap (lulus 1902, berdinas di Lampong, dan buka praktek di Pematang Siantar), Abdul Karim Harahap (masuk 1898, lulus 1905) dan Abdul Hakim Harahap (masuk 1899, lulus 1905) dan Muhamd Daoelaj (masuk 1902).

Setelah lulus kuliah Abdul Rivai direkrut oleh Dr. AA Fokker untuk menjadi editor Bintang Hindia. Fokker juga mengajak Dja Endar Moeda untuk kerja sama media yang kala itu menjadi pemilik Pertja Barat. Dja Endar Moeda dan Abdul Rivai berangkat ke Negeri Belanda 1904. Setelah selesai urusan bisnis dengan Fokker, Dja Endar Moeda balik ke Padang, sementara Abdul Rivai menetap di Leiden untuk menjadi editor Bintang Hindia. Pada tahun 1905 Soetan Casajangan  datang ke Negeri Belanda untuk studi di bidang pendidikan. Selama kuliah, Soetan Casajangan mantan guru di Padang Sidempoean banyak memasok tulisan-tulisan untuk Bintang Hindia yang notabene editornya sudah ditempati oleh Abdul Rivai. Soetan Casajangan adalah adik kelas Dja Endar Moeda di Kweekschool Padang Sidempoean, sama-sama murid dari Charles Adrian van Ophuijsen.  

Senior Abdul Rivai dan junior Parada Harahap tidak canggung karena keduanya sudah kenyang makan garam di dunia jurnalistik. Parada Harahap ketika menjadi editor di Benih Mardeka sangat akrab dengan pimpinannya, Mohamad Samin yang sekampung dengan Abdul Rivai. Keduanya menyetor saham, yang mana sebagai penanggungjawab perusahaan adalah Abdul Rivai dan yang bertindak sebagai editor koran adalah Parada Harahap. Bintang Hindia kembali muncul.

De Indische courant, 28-02-1924: ‘Investor Amerika bekerjasama dengan perusahaan penerbitan Bintang Hindia dengan komposisi saham 75 persen local dan 25 persen asing. Bintang Hindia akan menerbitkan serial novel detektif asal New York. Temanya mirip Nick Carter dan Lord Listers. Cerita pertama bertema istri yang cemburuan. Parada Harahap mengatakan tujuan pemuatan cerita bersambung ini agar masyarakat mendapat tema sastra baru tentang tokoh seorang investigator yang dikaitkan dengan area perkawinan dalam rumahtangga’.


Parada Harahap Melatjutkan Gerakan Politik dan Perjuangan Pers

Parada Harahap berjuang dengan caranya sendiri, jika tidak dapat dilakukan dengan organisasi atau berkelompok (bersama-sama), Parada Harahap dapat melakukannya dengan sendiri.  Ini bisa dilihat ke belakang: ketika membongkar poenali sanctie, mendatangi langsung kantor pemerintah colonial di Padang Sidempoean. Kini, Parada Harahap di Batavia, di ruang yang lebih luas, Batavia Bung!

Bataviaasch nieuwsblad, 13-01-1925 (De Indische Associatie Vereeniging): ‘Kemarin malam di Oost-Java Restaurant een diadakan pertemuan yang mengumpulkan asosiasi-asosiasi di Nederlandsch Indie. Di dalam pertemuan ini dibicarakan AD/ART program dan struktur kepengerusan. Program meliputi kegiatan poolitik yang sehat, pengembangan pendidikan, pelatihan kejuruan sesuai dengan prinsip-prinsip dasar. Disamping itu untuk mempromosikan tingkat kesehatan, kesejahteraan, hubungan keuangan Negara dengan daerah dan lainnya. Kepengurusan: voorzitter, PJA Maltimo, secretaris Tb van Nitterlk, penningmeester, Mobamad DJamli, commissarissen: Parada Harahap, Raden Goenawan, Oey Kim Koel, JK Panggabean, Pb. J.Krancber en A. Cbatib’.

Selama ini pers Eropa/Belanda terbilang non partisan. Tapi kini ada suara miring kalau tidak bisa dibilang menyesatkan dan membahayakan yang muncul dari Soerabaija HBL (Belanda). Sesungguhnya sesama editor tidak boleh ‘saling mendahului’ harus tetap pada kode etik jurnalistik. Artikel yang dimuat di SHBL yang bernada fascism membuat Parada Harahap menyerang balik. Ini tidak sulit bagi Parada Harahap untuk bertarung, melawan pemerintahan yang lalim saja Parada Harahap berani menunjuk hidungnya langsung. Selama ini, Parada Harahap beranggapan musuh pers adalah kelaliman pemerintah bahu membahu antar pers asing maupun pribumi. Parada Harahap tidak ambil diam, lalu bereaksi dengan menulis di Java Bode, milik sobatnya dari pers Tionghoa untuk melawan pers Belanda. [Pers Belanda merujuk pada kepemilikan, seperti Sumatra Post (berbahasa Belanda), Pertja Timor (berbahasa Melayu) dan Surabaija HBL (berbahasa Belanda). Pers Melayu hampir seluruhnya berbahasa Melayu. Pers Tionghoa ada yang berbahasa Belanda dan ada juga berbahasa Melayu. Java Bode di adalah surat kepemilikan Tionghoa berbahasa Belanda].

Parada Harahap (1950)
De Indische courant, 17-09-1925 (Indisch fascisme. Het blanke front): ‘Mr. Parada Harahap, editor Bintang Hindia, menulis dalam Java Bode tanggal 10 lalu dengan judul Kranten en Klanten (Koran dan Pelanggan) setelah posisi Lokomotif diambil oleh Soerabija HBL dengan operasi pasar di Semarang. Artikel ini di Soerabajasch Handelsblad dan Algemeen Handelsblad di Semarang. Parada Harahap mengatakan: ‘Sebagai pribumi, kemajuan negara-negara ini sangat dekat dengan hati saya, dan berusaha agar masyarakat tetap harmonis dari semua lapisan di HIndia, harus mencatat bawah saya pikir saya memiliki pemahaman, setidakanya mewakili wartawan dari pers Melayu. Mohon ijin saya harus member pendapat yang sama dikhususkan pada Soer. Hbld hari ini yang kesannya sikap yang diambil membahayakan kerjasama yang harmonis masyarakat di Hindia. Ini telah lama mengancam kepercayaan umum penduduk pribumi niat baik dari Belanda akan hilang di sini di Hindia, oleh tindakan beberapa pers Eropa/Belanda dan masyarakat ETI, terutama oleh cepat meluncurkan mereka dari tuduhan senegara mereka sendiri, yang mendukung keselamatan India dan rakyatnya dengan cara mereka, jika mereka bersalah mengkhianati rakyat dan negara mereka sendiri. Kesenjangan antara Timur dan Barat dan tidak sedikit Doori (tindakan yang dimaksudkan Anda dari Soer. Hbld) untuk membentuk sebuah front kosong, yang begitu banyak memiliki untuk menandakan tantangan resmi yang ditujukan kepada umat berwarna di Hindia. Bagaimana Pribumi dan disini yang mana Lokomotif, Cina berpikir, sempurna akrab bagi saya. Lokomotif adalah salah satu organ, menekankan sopan santun yang baik bagi kita. Dalam hal ini bagi kami adalah bukti bahwa tidak semua Belanda memusuhi kami, baik antar penduduk asli termasuk Cina, bahwa semua orang Eropa di Hindia kepercayaan rakyat tidak pantas berada sendirian dengan menunjuk ke item yang yang terdapat di Soer. Hbld. dan simpatisan nya. Memang benar bahwa Soer. Hbld. tidak hitam-putih terhadap pribumi, tetapi efek yang diperoleh oleh sesama seperti Mr Ant Lievegoed menunjuk sebagai anti-Belanda atau orang berbahaya bagi Nederlandsene di Hindia tidak berbeda dengan semakin yakin terletak di antara pribumi bahwa setiap pelatih asal Belanda, yang berusaha untuk kemajuan dan pengembangan tanah dan orang, dan yang tidak memperkuat depan putih, dan antagonisme abaian putih dan coklat, dengan bangsanya sebagai pengkhianat. Ini sekarang jelas tilisan anda  lebih berbahaya daripada tulisan wartawan pribumi. Pers ETI bergema di dunia asli tapi resonansinya jauh dari menguntungkan untuk hubungan timbal balik di Hindia. Menurut pendapat saya tugas pers putih sekarang jauh lebih besar dari sebelumnya, sekarang jadi harus memperhitungkan jutaan orang di Hindia, yang oleh pers sendiri dan melalui komunikasi yang lebih baik dan karena itu lebih menjamin kontak di antara mereka sendiri, akan diinformasikan diberitahu tentang apa yang terjadi di pers ETI tercermin apa yang mereka percaya sebagai yang kulit putih di wilayah ini. Anda telah mendorong ke arah fasisme. Hal ini unsur-unsur, seperti Komunis, akan datang untuk mengeksploitasi pernyataan tidak membantu seperti dan taktik dasar merusak mereka kemudian turun, dan digunakan sebagai alat propaganda. Soer. Hbld. Telah berusaha kebohongan, bahwa ada lebih kecurigaan terangsang antara pribumi melawan Belanda di Hindia? Bukankah sekarang delapan orang datang waktu untuk menahan suara seseorang dari journalistieken diucapkan sikap simpatik terhadap penduduk pribumi menunjukkan sikap yang menurut banyak pihak, melihat orang Barat telah mulai menaruh minat kompromi. Tapi kemajuan daerah ini telah membuat kemajuan besar juga, sudah ada terlalu banyak intelektual asli yang merupakan penilaian independen untuk mengetahui untuk membuat peristiwa politik saat ini dari yang klik taruhan reaksioner akan berani secara terbuka untuk keluar orang untuk prinsip-prinsip etika hanya sebagai musuh pemerintah Belanda. Oleh karena itu, adalah komunisme jika diperlukan untuk membenarkan kampanye…Ada yang mau mengikut Aku, yang akan menyelesaikan pekerjaan saya ini?’. [artikel ini juga dilansir De Sumatra post, 24-09-1925].

De Sumatra post, 29-09-1925: ‘Atas penangkapan editor Warna Warta bernama Keng Po, di Batavia, didirikan Asosiasi wartawan pribumi Pertemuan diadakan di gedung kantor berita Alpena (pimpinan Parada Harahap) di Weltevreden, dipimpin oleh editor Hindia Baru Tabrani. Hasil pertamuan ini mengusulkan dewan agar mengirimkan utusan ke Jaksa Agung. Parada Harahap, redaktur Bintang HIndia meminta menahan diri karena kasusnya masih dalam penyelidikan dan menunggu hingga pengadilan. Yang penting menurut Parada Harahap kita menyusun manifesto dulu. Setelah pertemuan ditutup kemudian dihasilkan manifesto, isinya: 1. Keluhan dari masyarakat pribumi dan China terhadap aksi bagian dari Pejabat pemerintah di seluruh wartawan membuat, termasuk sehubungan dengan penangkapan Mr Lauw Giok Lan, 2 Mengirim utusan kepada Jaksa Ge Jenderal (dalam advokasi selama masa penahanan) ditambah untuk lebih menahan diri dari tulisan-tulisan yang mengandung penuh kebencian)’.

Parada Harahap adalah sosok wartawan pribumi yang tiada takutnya. Keberaniannya adalah keberanian moral yang didukung kemampuan intelektual serta ditunjang dengan keberanian psikis dan fisik (berani menggulung lengan baju). Namun, itu baru dilakukan jika semua kebajikan telah dijalankan tetapi tetap buntu. Pengalaman delik pers Parada Harahap membuat dirinya makin matang dan lebih arif, tidak tergesa-gesa.

Parada Harahap Mendirikan Bataksche Voetbal Club di Batavia

Parada Harahap sesungguhnya masih muda, baru berusia 26 tahun. Sebagai pendiri klub sepakbola, Parada Harahap tidak bermain untuk pertandingan karena kalah kualitas dibanding yang lebih muda-muda. Akan tetapi dalam latihan, Parada Harahap selalu ikut bermain.

De Sumatra post, 29-09-1925: ‘Bataksche Voetbal Club di Batavia dalam pertandingan hari Sabtu di lapangan Decapark dalam perebutan piala (beker) bertandin melawan tim lainnya, yang dipimpin oleh Parada Harahap, seorang wartawan terkenal dari Batak’.

Parada Harahap, Wartawan Terbaik dari Europeescbe Pers

De Indische courant, 23-12-1925: ‘Sungguh luar biasa bagaimana kuat hari ini jumlah majalah Jawa meningkat. Banyak yang tutup tetapi lebih banyak yang muncul. Semakin berwarna (nasionalis, keagamaan) dan juga khusus perempuan. Wartawannya juga bertambah pesat, bahkan wartawan Sumatra sudah mencapai 700 anggota. Sangat disayangkan oleh Parada Harahap dari Bintang Hindia dan kantor berita Alpena, yang merupakan wartawan terbaik dari Europeescbe pers, bahwa majalah aksara Jawa kurang diperhatikan oleh komunitasnya. Perjalanannya melalui Sumatera dan Selat manjadi saksi ini

Indische courant, 23-03-1926 (Pers Melayu): ‘..di Tapanoeli majalah Soera Batak, yang artikel-artikelnya banyak dipasok oleh Parada Harahap, redaktur van Bintang Hindia..’.

Parada Harahap Menulis Buku dari Pantai ke Pantai

Bataviaasch nieuwsblad, 27-07-1926: ‘Dari Pantai kepanlai, Parada Harahap dari penerbitan Uitgeveremij Bintang Hindia-Weltevreden. Penulis dalam pemberitahuan pengantar ini bertujuan untuk meningkatkan pengenalam Hindia, terutama karena sejauh ini hanya penulis ‘orang luar’ dam memang bersinar terang sehingga disarankan juga mempertimbangkan pendapat dari penduduk pribumi sendiri untuk didengar. Dengan harapan bahwa buku ini akan bekerja untuk pengetahuan lebih lanjut seperti geografi dan etnografi Kepulauan Nusantara HIndia, termasuk penulis menyertakan gambar di laut, mencakup bagian dari deskripsi pada bagian kedua. Ini berisi ringkasan dari pengalaman yang diperoleh oleh pengalaman penulis selama perjalanannya dari Bengkulu ke Aceh, Pulau Penang, Kuala Lumpur, Singapura dan kemudian Jambi dan Palembang. Bagian pertama adalah wacana yang diberikan pada terlihat pantai timur Sumatra dan sisanya akan dibahas dalam bagian kedua dengan banyak ilustrasi, karya hiasan ini tentu akan memenuhi tujuan memberikan pembaca wawasan bidang sejarah, ekonomi dan politik dari bagian negara-negara yang dijelaskan, terutama legenda tentang asal-usul Minangkabau dan kasus poligami yang berkuasa, disamping kondisi di Batak (misi) yang layak dibaca. Namun, beberapa halaman yang dikhususkan untuk mata pelajaran yang tidak memiliki banyak uraian, harus dilakukan penyelidikan agar kemajuan pengetahuan tentang negara dan rakyat dapat dilanjutkan agar lebih baik ke depan’.

Parada Harahap Menerbitkan Koran Bintang Timur.

Bataviaasch nieuwsblad, 07-08-1926: “Muncul edisi pertama Bintang Timur, sebuah suratkabar Melayu, dibawah redaktur Parada Harahap, Koran ini diterbitkan kepada pembaca diprakarsai oleh perjalanannya. Koran ini, sampai akhir Agustus sementara seminggu sekali akan muncul, untuk berikutnya belum diketahui. Koran berbahasa Melayu ini juga terdapat lembar untuk ETI dengan memiliki beberapa gambar’. Nieuwe Rotterdamsche Courant, 30-08-1926: ‘…koran ini netral untuk dua hal: keagamaan dan politik’.

Pendiri dan Pengurus Sumatrabond

De Indische courant, 10-02-1927: ‘Tanggal tujuh, di rumah seorang mantan dewan di Weltevreden, berlangsung pertemuan warga Sumatera yang berbeda di Batavia, dimana hampir semua provinsi di Sumatera diwakili. Dengan populasi masing-masing pada pertemuan tersebut antara lain orang  Sumatera dari Minangkabau, Tapanoeli, Palembang, Lampongs dan Benkoelen. Para wakil dari Atjeh dan Oostkust Sumatera tidak dapat menghadiri pertemuan tersebut. Komite sementara terdiri dari antara lain Sutan Mohamad Zain, Parada Harahap dan Dr Rivai. Kepengurusan: Sutan Mohamad Zain (ketua), Parada Harahap (sekretaris), Hamid (bendahara). Board: M. Sjahriar (Minangkabau), MA Mohamad (Palembang), Boerhanoeddin (Lampong), Dr Joenoes (Bengkulu), sedangkan dua anggota, masing-masing Atjeh dan Oostkust Sumatera disediakan kolom kursi berpartisipasi’.

Parada Harahap-isme di Padang Sidempoean dan Soeara Batak

Parada Harahap, meski telah hijrah ke Batavia, namun pengaruhnya masih terasa di Padang Sidempoean. Para pejabat serba ketakutan hingga akhirnya ditemukan skandal.

De Sumatra post, 25-02-1927 (Inlandsche ambtenaren en pers): ‘sebuah artikel di Soeara Tapanoeli dengan judul Over zicht van de Inlandsche Pers  yang mana para pejabat pribumi saat ini dengan mudah di koran-koran menulis tidak seperti sebelumnya. Menurut penulis ini karena adanya Parada Harahap-isme, yang para pejabat takut dengan pers. Pejabat Pemerintah menulis di Padang Sidempoean yang dikeluarkan Inlandschblad, Poestaha yang dulu editor majalah ini, terutama Parada Harahap, Sekarang tidak lagi percaya kepada editor lembar asli dan ini adalah kerugian bagi masyarakat. Oleh karena itu berharap bahwa pejabat ETI dan dewan akan mengikuti arah gubernur yang melarang pejabat pribumi menyatakan pendapat di surat kabar itu. Kasus ini diduga muncul dari adanya kolaborasi besar antara administrasi pemerintahan dan Polisi. (pengkhianatan itu tentu saja tidak cukup, tapi tampaknya dapat diteruskan ke penjara. Kegunaan media untuk penduduk dapat dipertanyakan’.

Soera Tapanoeli, suksesi Sinar Merdeka telah mengingatkan sesama insan pers bahwa media tidak dapat dikooptasi, harus independent. Parada Harahap adalah taruhannya. Bisa saja di tempat lain, tapi jangan sampai terjadi di Padang Sidempoean. Ini dapat menghianati perjuangan Parada Harahap.

Pendiri dan Pengurus Inheemsche Vereenigingen


Bataviaasch nieuwsblad, 24-05-1927: ‘Sabtu, 21 Mei, Sumatranen in de Vrijmetselaarsloge melakukan pertemuan public pertama. Organisasi ini didirikan pada tahun 1918 dalam kaitan pencalonan Abdoel Moeis di Volksraad. Dalam pertemuan ini, Parada Harahap ke mimbar mewakili Tapanoeli. Anggota Volksraad di Pejambon berasal dari Sumatra juga turut hadir dalam pertemuan ini. Tiga diantaranya (anak Padang Sidempoean) adalah Todoeng (Harahap) gelar Soetan Goenoeng Moelia, wakil Batavia, Abdul Firman (Siregar) gelar Mangaradja Soeangkoepon, wakil Oostkust Sumatra dan Alimoesa (Harahap) wakil Tapanoeli’

Bataviaasch nieuwsblad, 26-09-1927: ‘Minggu di Weltevreden para pemimpin yang berbeda dari Serikat pribumi bertemu di Batavia di rumah Mr Djajadiningrat. Diputuskan untuk mendirikan organisasi yang terdiri dari para pemimpin dari berbagai serikat pribumi, dengan ketua komite adalah MH Thamrin dan sekretaris Parada Harahap. The  serikat:  Budi Utomo, Pasundan, Kaoern Betawi, Sumatranenbond, Persatoean Minahasa, Sarekat Amboucher dan NIB.


Parada Harahap Terus Disorot Pers Belanda

Soal tanah air, banyak ahlinya, tetapi soal tanah air di media, Parada Harahap jagonya. Hanya Parada Harahap yang bergelora dan berani memainkan penanya yang tajam ke depan hidung pers Belanda.  Sejak tulisan Parada Harahap (tentang isu fascism) yang dimuat di Java Boed dan disarikan oleh De Indische courant, 17-09-1925, pers Belanda terus mengikuti sepak terjang Parada Harahap. Perang sesama pers (Pribumi vs Eropa/Belanda ) terus memanas.

Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 08-11-1927 (Wat Gisteren in de Krant stond!...): ‘diskusi tentang mayoritas Indonesia, bahwa Indonesia adalah warisan nenek moyang, sebagai protes keras Parada Harahap dari Bintang Timur. ‘Jika Indonesia warisan nenek moyang, KW cs menganggap sebagai pemberontakan.. Jadi saya memahami komunikasi yang dilakukan oleh Pemerintah, bermain aman! Dan Anda? K.W’.

Ungkapan warisan nenek moyang sudah kerap digunakan Parada Harahap, bahkan ketika masih menjadi editor di Benih Mardeka di Medan dan Sinar Merdeka di Padang Sidempoean. Kini, jargon itu diulang oleh koran Benih Timoer di Medan.

Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 03-01-1928 (Wat Gisteren in de Krant stond!...): ‘Artikel utama pada Benih Timoer, Medan, pada tanggal 15 Desember membahas lebih lanjut usulan tentang mayoritas penduduk pribumi, yaitu pertanyaan, apa yang harus terjadi jika tidak diterima oleh Statan General. Menurut editorial tersebut, Indonesia tidak duduk diam, tapi protes, dimana Regeering di belakang mereka. Dan sebagai wakil dari Opini publik memberikan opini editor itu lagi, bahwa Pemerintah di sini dan Belanda akan memahami karena suara rakyat adalah suara Tuhan. "Sekarang, yang terjadi adalah non-coperative! Tapi sepertinya yang satu jari tidak diberikan sekali dan untuk semua satu menangkap seluruh tangan. Benih Timoer ingin di semua dewan kota, mayoritas Indonesia.  Pewarta Dcli mengatakan, 12 Des. ‘Ketika editor setelah kekuasaan di tangannya, mereka akan dengan Indonesia mencoba mereka yang mengatakan mereka sudah matang, dan Belanda harus menonton. Dia menyebut Lubis, Samin, Soekirman; Tjokroaminoto, Salim, Ibrahim Lubis, Mohamad Joenoes di daerah dan Parada Harahap di pusat’ KW..

Parada Harahap Wakil Sumatra dalam Pertemuan Publik PPPK

De Indische courant, 01-09-1928: ‘Pertemuan publik pertama PPPK (Permoefakatan Perhimpoenan-perhimpoenan Politiek Kebangsaan Indonesia) utuk melakukan kongres di Batavia. Berbagai duta Negara sudah hadir dalam pertemuan ini. Tjokroaminoto dari PSI sudah hadir. Delegasi dari Sumatera Sarekat, Mr. Parada Harahap, managing editor Bintang Timur, di sini hari sebelum kemarin tiba dengan mobilnya. Kongres dibuka jam delapan di tempat terbuka yang dihadiri lebih dari 2000. Di antara mereka yang hadir kami melihat Tuan Gobee dan Van der Plas dari Kantor Urusan Pribumi. Perwakilan dari asosiasi dan istri kongres perempuan berlangsung di aula tengah bangunan situs. Untuk membuka sekitar 9:00 Dr Soetomo atas nama panitia menerima kongres. Soetamo mengatakan bahwa ini hasil dari diskusi pada konferensi berlangsung di Bandung pada tanggal 17 Desember 1927, ketika pembentukan PPPKI diputuskan. Pada konferensi bahwa rancangan undang-undang diadopsi dan menyerah PSI itu., PN1., BO, Pasundan, Sarekat Sumatera, Studi Indonesia, Kaoem Betawi dan Sarekat Madura sebagai anggota. Organisasi dalam pembentukan PPPKI berdasarkan nasionalis. Dengan seru: Hidoeplah Persatoean Indonesia (Hidup unit Indonesia) memutuskan spr. sambutannya. Kesempatan untuk PPPKI. untuk mengucapkan selamat kongres pertamanya. Ir. Soekarno, yang berbicara atas nama PNI (Partai nasionalis Indonesia), bersukacita dalam realisasi PPPKI karena pemisahan antara sana dan sini dan akan ditentukan lebih tajam. Delegasi dari Sumatera Sarekat, Mr. Parada Harahap, menyesalkan sikap pasifnya Minahassiscbe dan Amboineesche sebangsa..’.

Parada Harahap Memperluas Cakupan Media

Parada Harahap selalu bekerja dengan caranya sendiri. Parada Harahap ingin cepat merdeka, itu saja. Apa pun dilakukan. Tidak hanya di sarikat dan pertemuan public, juga secara sadar memainkannya melalui media. Kini, Parada Harahap tidak cukup dengan Bintang Timoer di Batavia, Parada Harahap ingin juga dapat dibaca di daerah agar pesannya untuk merdeka dapat tertangkap jelas. Namun hal itu tidak berarti tidak ada tantangan, karena ada para pihak yang tidak senang.

De Indische courant, 13-09-1928: ‘De Indische courant, 13-09-1928: ‘Koran Melayu. Oleh NV Percetakan Bintang Hindia, Mr Parada Harahap direktur dan pemimpin redaksi dari Batavia mengeluarkan surat kabar Melayu Bintang Timoe, untuk Jawa Tengah di Semarang dan Jawa Timur di Surabaya sebagai edisi daerah. Mr Parada Harahap telah melakukan pertemuan lokal dalam rangka tujuan konferensi PPPKI. Selama perjalanan dan tinggal dengan tokoh terkemuka di daerah sangat antusias. Bintang Timoer sudah datang di sebuah iklan untuk kebutuhan yang staf diminta untuk kedua edisi tersebut’.

Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 08-10-1928: ‘Editor koran Bintang Timur, Mr. Parada Harahap, dalam beberapa hari terakhir telah banyak berbicara, kata Pr. Bode, hampir semua dikutip koran/majalah Maleisehe dan menulis segala macam hal yang tidak menyenangkan baginya. Ada yang bahkan mengatakan bahwa Perserikatan Joernalis Asia di Djokja akan membahas perilaku ini pada pertemuan pada tanggal 6 bulan mendatang dan bukan tidak mungkin bahwa pertemuan ini akan diputuskan apakah Mr. Parada disanksi untuk hal yang dilakukannya untuk ditulis secara khusus perihal pertemuan publik’.

Nieuwe Rotterdamsche Courant, 28-08-1928: ‘Mahasiswa Indopesia dl Eropa (Indonesische studenten  in Europa) telah mengoleksi tulisan-tulisan dr Abdul Rivai di surat kabar Melayu, Bintang Hindia di Batavia dari akhir 1926 sampai pertengahan 1928. Seluruh proses terhadap dilakukan oleh anggota dewan Perhlmpoean Indonesia. Hal tersebut baru-baru ini diumumkan Hatta, juga mencakup kerja jurnalistik kontribusi terhadap pengetahuan tentang apa yang terjadi di lingkaran mahasiswa Indonesia. Dr. Abdul Rivai terus-menerus dengan mereka untuk berhubungan. Editor Bintang Hindla. Parada Hararap, telah menulis kata pengantar rekomendasi.


Parada Harahap, Pulang Kampung

Setelah enam tahun merantau ke Batavia, Parada Harahap ‘mudik’ ke kampong halaman di Pargaroetan, Padang Sidempoean. Ketika dulu berangkat (1923), Parada Harahap berangkat dari Sibolga via BTL ke Batavia. Kini (1929) Parada Harahap pulang kampong via Medan. Selain lebih nyaman, juga transportasi Medan ke Padang Sidempoean via Sibolga sudah lebih baik.

De Sumatra post, 15-02-1929: ‘pada 12 Februari kapal ss ‘Melchior Treub’ telah berangkat dari Batavia. Di Belawan turun antara lain, istri Parada Harahap dan balita’.

De Sumatra post, 15-02-1929: ‘‘pada 26 Maret kapal ss Op ten Noort’ akan berangkat dari Batavia. Di Belawan akan turun antara lain, Parada Harahap’.

Parada Harahap, Seorang yang Humanis

Parada Harahap adalah petarung, tetapi juga seorang manusia yang humanis. Parada Harahap menghargai pertarung terbuka dan berhadap-hadapan. Itulah yang dilakukannya terhadap KW (Karel Wybrands) yang mewakili pers Belanda. Kini Mr. KW telah tiada. Parada Harahap menghormati lawannya, tidak hanya menyampaikan berita dukacita, tetapi juga menulis artikel di Bintang Timoer tentang perbuatan baik Karel Wybrands, seorang yang pernah menjadi seterunya.

Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 29-05-1929: ‘Direktur utama Bintang Timur, Mr. Parada Harahap, juga pernah mengirim satu pembenaran belasungkawa, berisi artikel pujian, tentang potret KW. Dalam majalah itu menunjukkan bahwa almarhum adalah tidak melawan penduduk asli; sebaliknya, bahwa ia telah melakukan banyak hal untuk pribumi. Catatan tersebut menginformasikan kualitas jurnalistik KW dan sukses yang diraihnya sebelum meninggal. RIP’.

Parada Harahap, Berbicara Poenali Sanctie pada Rapat Umum PPPKI

Bataviaasch nieuwsblad, 02-09-1929: ‘Kemarin pagi diadakan pertemuan public PPPKI di Clubhouse di Gang Kenari yang dipimpin ketua local, Mohamad Thamrin (ketua kaoem Betawi) dalam debat poenali sanctie. Ada sekitar 1500 yang hadir. Hadir Mr. Gobee penasehat Inlandsch Zaken dan Middendorp dari Volksraad. Mr. Wiraatmadja (Pasundan) yang memandu acara yang dihadiri sejumlah pembicara pimpinan organisasi, seperti Sumatranen Bond, BO dan lainnya. Pembicara terakhir naik tuan Parada Harahap, yang menceritakan pengalamannya sebagai pemegang buku di perusahaan waktu itu. Presiden kemudian membaca hasil rapat, setelah mendengar diskusi, yakin bahwa penghapusan poenali sanctie cepat terlaksana’.

Parada Harahap, Pendiri dan Presiden Kamar Dagang dan Industri Pribumi

Bataviaasch nieuwsblad, 16-09-1929 (Masyarakat Madani Pribumi): ‘Pertemuan pengusaha pribumi berlangsung kemarin di clubhouse di Gang Kenari. Di antara mereka yang hadir adalah Mr van Baalen, Presiden Masyarakat Madani Eropa, anggota Volksraad dan Mr. Thamrin. Ketua pertemuan, Mr Parada Hlarahap, managing editor Bintang Timoer membuka pertemuan dan menjelaskan secara ringkas perlunya masyarakat pribumi yang terorganisir dengan baik. Selanjutnya, studi/kajian akan ditugaskan Mr. Djajadiningrat. Mr Thamrin menyambut niat untuk merekomendasikan untuk membentuk Perhimpunan Masyarakat Madani (Middenstandsvereeniging). Diharapkan oleh Thamrin agar perdagangan dan industri pribumi dapat lebih maju. Mr van Baalen yakin bahwa ETI akan menyambut dengan sukacita sebagai kepentingan mereka masing-masing melalui kerjasama akan sangat menguntungkan. Mr van Baalen berharap bahwa organisasi baru ini akan dibentuk dan ditangani cukup baik untuk kepentingan negara dan rakyat Hindia. Lalu, beberapa peserta untuk berbicara.  Susunan pengurus terpilih: Presiden, Mr Parada Harahap (Bintang 'Timoer), Wakil Presiden Abdul Gani (industry perabaton), Sekretaris, Harun (Toko Haroen arahap), bendahara, Dachlan Sapi'ie (Schoenenmagazijn Sapi'ie). Komisaris: MT Moehamad (Siloengkangwinkel), Tarbin Moehadjilin (Toko Djokja), Djelami Salihoen (ledikantenhandel). Sedangkan Bapak Thamrin bertindak sebagai penasihat. Pak Thamrin diminta untuk mengkomunikasikan bahkan kemungkinan organisasi ini mendapat kursi di Kamar Dagang dan Industri di sini’.

Parada Harahap, Penulis Skenario Film

Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 20-06-1930: ‘Perusahaan Tan’s Film" saat ini tengah dalam pembuatan film pribumi. Ini merupakan lanjutan setelah sukses film novel pribumi, Njai Dasima. Segera akan siap datang film berjudul ‘Melati van Agam, yang ditulis oleh Mr. Parada Harahap dari Bintang Timoer. Cerita, sejarah cinta, saat ini bermain di tanah Menangkabauers, Cerita ini benar-benar terjadi Fort de Kock. Film ini syutingdi  Fort de Kock, Padang,  Sawah Loento dan tempat-tempat lain. Jika tidak ada halangan film akan diputar juga di Padang pada ulan Agustus’.


Parada Harahap, Pemilik Koran Edisi Bahasa Belanda

Koran berbahasa Melayu dengan investasi Eropa/Belanda cukup banyak, seperti dulu, ada Pertja Barat di Padang (editor Dja Endar Moeda) dan Pertja Timoer di Medan (editor Mangaradja Salamboewe). Koran berbahasa Belanda yang dimiliki pribumi nyaris tidak ada. Tidak perlu dan kurang relevan. Java Bode mungkin mewakili pers Tionghoa. Ternyata ada segmen pasarnya untuk kalangan orang Belanda. Karena itu, Java Bode tetap eksis. Parada Harahap kerap menulis di Java Bode agar pesannya sampai ke pers Belanda dan pembaca orang-orang Belanda. Kini, Parada Harahap telah memiliki koran berbahasa Belanda. Buat apa? Tentu saja, mungkin tidak hanya motif bisnis, barangkali motif politik, motif bertahan atau motif menyerang kebijakan pemerintahan colonial dan pers Belanda yang provokatif.

De Indische courant, 25-09-1930: ‘Volkscourant di Batavia, seperti yang kita baca di AID dijual kepada Mr. Parada Harahap. Sehubungan dengan ini maka Java Express (edisi Belanda Bintang Timoer) berhenti beroperasi. Volkscourant sekarang berpindah ke Krekot. Aneta, 25 September melaporkan bahwa kemitraan baru Volkscourant di Weltevreden akan terbit 1 Oktober dalam format yang lebih besar’. [Volkscourant adalah nama baru dari De Courant yang sebelumnya kepala redakturnya adalah A. Weeber].

Bataviaasch nieuwsblad, 26-11-1930 (persdelict): ‘Mr. Parada Harahap dan Kontjosoengkono masing-masing CEO dan editor Bintang Timoer kontra Mr. CW Wormser, directeur editor Alg. Ind. Dagblad di pengadilan kemarin. Koran edisi Belanda, Bintang Timoer digugat yang dalam hal ini Koentjosoengkono, asisten editor karena dianggap menghina Mr Wormser. Mr. Kontjosoengkono didenda f 20 dan penjara kurungan selama 10 hari’.

Parada Harahap, Menyindir Anggota Volksraad Pribumi

De Sumatra post, 06-01-1931: ‘Mr Parada Harahap berdiri untuk keseratus kalinya di meja hijau. Kali ini Parada Harahap dipanggil ke pengadilan karena korannya memuat iklan tagihan hutang. Si penagih hutang digugat karena dianggap mencemarkan nama dan juga editor Bintang Timoer, Parada Harahap juga diseret. Ketika dituduhkan Parada Harahap ikut bertanggungjawab karena iklan itu menjadi pendapatannya. Parada menjawab: Bagaimana saya bertanggungjawab?. Polisi mencecar: ‘Anda kan direktur editor?’ Ya, tapi saya hanya bertanggung jawab untuk bagian jurnalistik, jawab Parada Harahap. Bagian administrasi bertanggungjawab untuk iklan. ‘Ah, kata Sheriff, ‘tanya sekarang, setuju bahwa di koran Anda muncul iklan cabul, apakah Anda akan mengatakan tidak bertanggung jawab?. Oh, kalau soal itu tanggungjawab saya’.

De Sumatra post, 26-01-1931(De Buitengwesten in den Volksraad): ‘Editor Java Bode mengutip Bintang Timur yang mana Mr. Parada Harahap, editor pada tanggal 16 bulan ini menulis dengan judul ‘Djago Sabrang’ meski anggota dewan luar Jawa dan yang disebutnya provinsi bagian depan. Ini disebut ‘depan’ sehubungan dengan cukup dukungan untuk kepentingan di luar Jawa yang terletak tujuan Belanda – Inlandsch karena masing-masing dari mereka anggota dewan rakyat memiliki budaya yang diturunkan tidak jinak, tapi keberanian memiliki kepentingan umum terhadap siapa juga berdiri dari daerah luar sesuai Bintang Timur dilayani dengan baik. Para editor majalah menyambut hangat jabatan Dr Ratu Langi, M. Soangkoepon dan Soekawati, terutama dengan penambahan anggota Mukhtar, Dr. Rashid dan Koesad. Echo kondisi bahwa orang-orang di dewan kepentingan kepulauan besar di luar Jawa akan dipromosikan lebih intensif dari sebelumnya dan prospek pengembangan wilayah akan datang lebih kedepan’.

Soerabaijasch handelsblad, 03-01-1931: ‘Kami selalu melihat dia sebagai orang-ton putaran. Mungkin dia memiliki gagasan bahwa ia, seperti lingkaran memiliki jumlah tak terbatas sisi. Direkturnya, yang giat Parada Harahap, yang populer disebut Batavia Paradepap yang memiliki banyak delik pers sebagai pemimpin ..Bintang Timoer’.

Parada Harahap, Pendiri Organisasi Wartawan

Parada Harahap mempelopori organisasi wartawan pada tahun 1919 di Medan yang diberi nama Asosiasi Wartawan Inlandsch-Chinesche dimana Parada Harahap sebagai sekretaris (De Sumatra post, 04-04-1919. Kini (1931) Parada Harahap turut menggagas didirikannya organisasi wartawan nasional. Koran Bintang Timoer adalah yang terbaik untuk Koran pribumi.

Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 18-07-1931 (Congres Inlandsche Journalisten): ‘Kongres wartawan pribumi pertama diadakan di Semarang pada 8 Agustus. Kongres ini diketuai oleh jurnalis Semarang, sekretaris , jurnalis Sumatra, Paroehoem. Program: editor Bahagia Semarang, Pak Yunus, akan mengadakan kuliah tentang: "Jurnalisme dan pengembangan bisnis surat kabar"; Haji Salim akan berbicara pada "Jurnalisme dan kode etik; RM Soedarjo tentang ‘Orang-orang dan Jurnalisme; Maradja Loebis: ‘Jurnalisme dan kehidupan sosial’; Saeroen, Siang Po: ‘Jurnalisme dan gerakan rakyat’ dan Parada Harahap: "Jurnalisme dan ekonomi’, sementara editor Swara Oemoem akan berbicara pada ‘Jurnalisme dan malaise. Kemudian, organisasi wartawan, dengan Mr Saeroen sebagai ketua dan Bapak Parada Harahap sebagai sekretaris dan bendahara. Komisaris adalah  Bakrie, Yunus dan Koesoemodirdjo’.

Soerabaijasch handelsblad, 15-09-1931: ‘Wartawan muda Batak Parada Harahap, direktur dan editor Indonesisch nationalist meskipun ia mungkin dalam berbagai artikel mencerahkan bagi nasionalisme untuk hari yang akan datang, dia berada di atas semua realis. Dia melakukan, tanpa menjauhkan apa yang disebut orang Prancis il prend son bien öu il le trouve. Dia dengan senang hati merekomendasikan contoh Barat saat ia menemukan berguna, dan memuji dan menghargai dimana ia menemukan sesuatu untuk memuji dan menghargai, bahkan jika itu adalah dengan orang Eropa. Singkatnya, ia praktis dan turun ke bumi dan karena itu sangat dibenci dan kadang-kadang - dengan permukaan cemburu pada perusahaannya yang berjalan dengan baik - dibenci oleh orang-orang mabuk nasional. Yang menyebut dirinya nasionalis, tapi kutukan dan berkampanye untuk melukai dia. Ada banyak kebencian, persaingan dan kecemburuan dan disebut beberapa kejanggalan dan bertindak tidak sopan di pihaknya’.

Soerabaijasch handelsblad, 05-11-1931 (Een en ander over de Inlandsche Pers): ‘Bintang Timur telah menjadi salah satu yang terbaik adalah hanya karena Parada Harahap’.

Parada Harahap ‘Menimang’ Soekarno dan Hatta

Parada Harahap sudah berjuang sejak umur 17 tahun dalam kasus Poenali Sanctie. Berperang dengan pena yang tajam. Lebih dari seratus kali berada di meja hijau. Parada Harahap hanya berpendidikan sekolah rakyat, tetapi kemampuan berpikirnya jauh dari seorang mahasiswa di perguruan tinggi. Parada Harahap umurnya hanya beda dua tahun lebih tua dengan Soekarno, tetapi pengalamannya tentang arti kemerdekaan jauh melampaui Soekarno dan Hatta. Parada Harahap tahu betul siapa yang seharusnya memimpin bangsa pada waktunya. Parada Harahap adalah sekretaris PPPKI yang berkantor di Gang Kenari dan tentu saja yang mengatur potret siapa yang seharusnya dipajang. Ketika ada oknum yang menurunkan potret Soekarno dan Hatta dari dinding, Parada Harahap air matanya menangis bagaikan seorang ayah yang menangisi anak-anaknya yang dilecehkan oleh orang lain. Parada Harahap adalah orang yang turut membesarkan Soekarno dan Hatta. Parada Harahap berhak untuk menangisinya.

De Indische courant, 27-11-1931 (De nationalist Hatta):’Di antara pemimpin cemerlang, Hatta, seorang Sumatra, dianggap oleh banyak kalangan, setelah Ir Soekarno sebagai yang paling sesuai sebagai pemimpin Inlandsch baik saat ini maupun masa datang. Di dalam gedung pertemuan permufakatan di gang Kenari *c, potret Ir. Soekarno dan Dipo Negoro telah dipajang bertahun-tahun, diambil dari dinding dan disembunyikan di bawah. Tindakan ini telah membawa banyak keributan di antara penduduk pribumi, bahkan wartawan Parada Harahap di majalahnya menulis dalam ‘Surat Terbuka’ telah menginformasikan bahwa, saat melihat tempat pajangan telah kosong, air mata menangis dan pelaku  diduga telah melakukan tindakan kejahatan keji ini akan dicari di kalangan partai. Mr. Sartono menyangkal semua itu tindakan partainya dan menolak untuk membawa potret itu (kembali) ke tempat asalnya. Dan sekarang bahkan potret Hatta telah berdebu di bawah meja’.

Parada Harahap 13-13-13: Wartawan Angka 13

Parada Harahap, wartawan 13 koran
Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 13-02-1932: ‘Hari ini 13 Februari diperingati oleh rekan-rekan Parada Harahap, dari Bintang Timur, fakta bahwa ia adalah wartawan sejak 13 tahun yang lalu di bawah namanya sendiri dimana 13 koran pada umurmya pada tahun ketiga belas ini. Parade angka ini optimis wartawan tidak terlalu banyak dengan apa yang disebut untuk angka sial?’


Parada Harahap Konfirmasi Ir. Soekarno: ‘Tunggu tindakan saya, Bang’

Pada rapat umum (kongres) pemuda tahun 1928, Parada Harahap yang mengundang Soekarbo untuk dapat mengambila tempat untuk berpidato di kongres. Kongres ini diselenggarakan oleh PPPKI. Sekretaris PPPKI adalah Parada Harahap. Di kantor PPPKI di Gang Kenari, potret Soekarno termasuk salah satu yang dipajang di dinding. Ketika Parada Harahap mengetahui bahwa potret Soekarno telah diturunkan oleh oknum (partai) yang tak bertanggungjawab, Parada Harahap sempat menitikkan air mata dan lalu menulis di surat pembaca Koran Bintang Timoer untuk mencari siapa yang melakukan ‘kejahatan’ itu. Setelah sekian tahun, Parada Harahap tidak sabar, dan coba melacak dimana kini Soekarno. Parada Harahap membutuhkan calon pemimpin bangsa masa depan lebih cepat bergerak. Rakyat membutuhkan, Parada Harahap tidak bisa sendirian.   

Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië (Ir. Soekarno en zijn Wederoptreden): ‘Tunggu tindakan saya’. Ini pernyataan mahasiswa pribumi Ir. Soekarno yang telah secara khusus meminta untuk meluangkan waktu belajar tentang partai yang nantinya apakah akan memilih atau apakah harus tetap di belakang layar, sebagaimana dikonfirmasinya di Bintang Timoer. Ir. Soekarno telah menulis surat kepada editor Bintang Timoer yang diterbitkan kemarin, yang menunjukkan bahwa Soekarno bahwa mereka (siswa) tengah mempelajari ‘teori gerakan rakyat’. Saya perlu untuk belajar teori, karena saya ingin mengambil tindakan. Selanjutnya Soekarno menulis: "Ketika saya lagi kemauan politik yang aktif? Aku tahu itu saja. Aku hanya pada jawaban rakyat. Segera itu akan terlihat bahwa orang itu sendiri, yang sekarang aku ekspor. Saya tidak ingin bermain. Dengan nasib rakyat, politik bagi saya adalah bukan olahraga tapi masalah serius, yang membuat saya hidup.  Soekarno meminta kepada Mr Parada Harahap, editor Bintang Timoer komentar, Ir. Soekarno bukan seseorang yang berasal untuk Rakyat?’.

Perada Harahap dan Sepakbola Pers

Parada Harahap termasuk ‘gibol’. Ketika masih di Medan, Parada Harahap adalah pemain klub Tapanoeli Voetbal Club (1917). Ketika hijrah ke Batavia, Parada Harahap mendirikan klub sepakbola yang diberi nama Bataksch Voetbal Club dengan homebase di Decavelt. Kini (1932) di tengah keseibukan yang luar biasa, Parada Harahap masih sempat untuk bermain bola. ‘Gibol’ tidak ada tuanya.

Bataviaasch nieuwsblad, 13-05-1932: ‘Parada Harahap, anggota tim sepakbola Pers di Batavia’.


Pers dibungkam: Parada Harahap Teriak

Sinar Merdeka tidak berumur panjang tetapi koran Poestaha masih tetap eksis. Poestaha diterbitkan pertama tahun 1915, sedangkan Sinar Merdeka tahun 1919. Parada Harahap mendapat tekanan dari pemerintah Belanda dan bahkan dua tahun saja selama di Padang Sidempoean, Parada Harahap telah 12 kali diperkarakan sebagai delik pers dan dimasukkan ke penjara Padang Sidempoean. Dengan demikian, pers dibungkam sejak 1905 di Padang (Pertja Barat pimpinan Dja Endar Moeda) kemudian Benih Mardeka di Medan (1918) dan kini di Padang Sidempoean koran Sinar Merdeka. Penerus Sinar Merdeka di Tapanoeli adalah Soera Tapanoeli. Pers pribumi terus diawasi, dikebiri jika terlalu kencang menyoal pemerintahan.  Pada tahun 1932 sejumlah surat kabar dilarang terbit.

De Sumatra post, 13-06-1932 (Verboden periodieken en bladen): ‘Pihak berwenang militer pada kenyataannya hampir seluruh rakyat pribumi ditempatkan pada daftar hitam, diduga melarang. Lembar dan majalah yang dilarang adalah sebagai berikut : Persato'an Indonesia, Simpaj, Sedio- Tomo, Aksi, Indonesia Moeda, Balai Pemoeda Bandoeng, Garoeda, Garoeda Smeroe, Garoeda Merapi, Sinar Djakarta, Indonesia Merdeka, Impressa, Soeloeh Indonesia Moeda, Keng Po, Sm Po, Warna Warta, Sinar Terang, Indonesia Raja, Soeara Merdeka, Daulat Ra'jat, Banteng Indonesia, Panggoegah Ra'jat, Banteng Ra'jat, Darmo Kondo, Haloean, Kaperloean Kita, Mustika, Pahlawan (dengan pcmoeda Kita), Soeara Kita, Priangan Tengah, Soeara Oemoera, Soeara Oemoem Jav. Editie, Sipatahoenan, Medan Ra'jat, Fikiran, dan Ir. Soekarno djeung pergeraken Ra'jat. Seperti dapat dilihat, termasuk kedua suratkabar Melayu yang pribumi dan Chineesch. Di antara majalah yang bisa dibaca Bintang Timoer (Parada Harahap) dan" Siang Po ", baik yang muncul di Batavia, bahkan majalah Fikiran, anggota tubuh Dr Ratu Langi di Manado, adalah tabu. Majalah lainnya adalah organ nasionalis, semua link bahkan diucapkan sebagai arah revolusioner’.

Parada Harahap Peduli Sesama Teman Anak Rantau

Parada Harahap terbilang kloter pertama migrasi orang Batak ke Batavia. Tidak mudah memang, Parada Harahap telah merintis dari bawah. Parada Harahap kini telah sukses. Soal perjuangannya terhadap yang lain jangan diragukan. Namun migrasi anak-anak muda Batak terus mengalir dan semakin sulit mencari dan mengkreasi pekerjaan. Parada Harahap lalu coba menggagas bagaimana solusi untuk mengatasi pengangguran anak-anak Batak di Batavia.

Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 14-09-1932: ‘Minggu, tanggal 11 diadakan pertemuan di gedung Loge Gebouw Vry metselaarsweg Batavia Centrum van Bataks. Pertemuan tersebut dipimpin oleh Mr. Parada Harahap, editor dari BintangTimur. Hasilnya adalah membentuk sebuah komite untuk pengangguran para migran Batak. Komite ini terdiri dari: Mr. Mangaradja Soangkoepon (anggota Volkstaad) sebagai presiden. Parada Harahap sebagai wakil presiden. Sekretaris adalah ML Siregar. Bendahara M. Japandangan dan M. Siregar. Anggota: WO Mangunsong dan BA Siregar’.

Bataviaasch nieuwsblad, 14-07-1933 (Bencana Alam Sumatra Selatan): ‘Tadi malam komite lokal terbentuk, yang memiliki tujuan untuk mengumpulkan dana bagi yang membutuhkan di daerah yang dilanda gempa di Sumatera Selatan. Komite utama yang dimaksud adalah terdiri dari: Mochtar, anggota Volksraad sebagai Presiden. Sekretaris: B. Dachlan Abdullah dan Parada Harahap, dir. hoofdred. van Bintang Timoer. Bendahara: Mangaradja Soangkcepcn (anggota Voiksraad). Komite akan melakukan berbagai aksi penggalangan dana seperti pameran mewah, pertandingan sepakbola, pertunjukan film’. Selain itu, diminta untuk warga asal Sumatranenj dan warga Hindia umumnya untuk juga fokus di tempat lain membentuk subkomite dan dapat meminta Komite Batavia sebagai penghubung. Ditujukan kepada Bendahara, Mr M. Soangkoepon, alamat Jalan Petamboeran 47’.

Parada Harahap akan Berkunjung ke Jepang

Parada Harahap tidak memiliki hutang kepada pemerintah kolonial Belanda. Sebaliknya, Parada Harahap bertahun-tahun ‘dizalimin’ oleh polisi kolonial Belanda dan telah ratusan kali dipanggil ke meja hijau di pengadilan dan tak terhitung pula berapa kali harus masuk penjara. Tawaran ke Jepang, sesama Asia jelas jawabannya. Namun itu bukan tanpa konsekuensi (belum terpikirkan pada awal 1930an). Namun nantinya ternyata sama saja: keluar dari mulut harimau masuk ke mulut buaya.

De Sumatra post, 16-10-1933: ‘Pada 16 Oct. (Aneta). Pemimpin Bintang Timoer, Mr. Parada Harahap berangkat 7 November disertai sejumlah guru pribumi dan pengusaha ke Jepang. Rombonga akan kembali melalui Manila’.[Bataviaasch nieuwsblad, 24-10-1933: ‘Jumlah yang wisata ke Jepang sebanyak tujuh orang. Tiga wartawan, satu orang guru, satu orang  kartunis, dua pengusaha (Batavia da Solo). Tiga orang diantaranya dari pulau-pulau luar (Jawa)].

Parada Harahap Berdukacita: Dr. Abdul Rivai Meninggal

Parada Harahap adalah mata rantai sejarah pergerakan pemudan dan kemerdekaan. Sebagai rantai yang panjang, Dja Endar Moeda (Harahap) telah memulainya di Padang (1897), dan menjadi mentor Parada Harahap di Medan ketika mulai terjun ke dunia jurnalistik (1917). Dja Endar Moeda adalah mentor bagi Dr. Abdul Rivai ketika berangkat ke Belanda untuk bekerja sebagai editor Bintang Hindia (1904). Dja Endar Moeda adalah mentor bagi adik kelas Soetan Casajangan di Kweekschool Padang Sidempoean. Ketika Soetan Casajangan tiba di Belanda untuk studi tahun 1905, yang menyambut Soetan Casajangan di pelabuhan Amsterdam adalah Dr. Abdul Rivai. Kemudian, keduanya sama-sama membesarkan Bintang Hindia. Saat hijrah ke Batavia, Parada Harahap berkolaborasi dengan Dr. Abdul Rivai untuk menghidupkan kembali Bintang Hindia dan menerbitkannya. Setelah Dr. Abdul Rivai pension dan pindah ke Bandoeng, Parada Harahap menerbitkan Bintang Timoer (sebagai suksesi Bintang Hindia). Kini (1933), Dr. Abdul Rivai telah tiada, Parada Harahap kehilangan mentor dan sahabat yang baik, sahabat dari seniornya dongan sahuta: Dja Endar Moeda dan Soetan Casajangan. Selamat jalan, Uda Pa’i. 

De Sumatra post, 18-10-1933: ‘Kemarin sore di pemakaman Dr Abdul Rivai melayat cukup banyak. Beberapa anggota Volksraad hadir. Ada karangan bunga besar. Ada lima speaker: Mr van Breemen, berbicara atas nama kepala departemen DVGL Mr Tumbelaka,  atas nama manajemen pusat dari dokter pribumi, Ratulangi nama tokoh pribumi, Mr. Ajoestami atas nama Sumatranen dan Mr. Parada Harahap atas nama Persatuan Wartawan. Mr. Dahler berterima kasih, atas nama keluarga’


Bataviaasch nieuwsblad, 18-10-1933 (Menghormati Memory Dr Rivai): ‘Di Bandung dibentuk sebuah komite oleh teman-teman Dr Rivai yang baru saja meninggal. Pembentukan ini adalah usulan dan tindakan dari Parada Harahap, Dr. Latip dan lain-lain. Asosiasi Dokter Hindia dan asosiasi akademisi Indonesia berpartisipasi. Hal ini bertujuan untuk mengumpulkan semua tulisan-tulisan Dr. Rivai yang tersebar. Ekspresi simpati dengan senang hati diundang oleh Mr. Parada Harahap’.

Rantai tak pernah putus, hilang satu tumbuh seribu. Nama baik Dr. Abdul Rivai telah diabadikan oleh Mohamad Hatta ketika masih kuliah di Belanda sebagai buku yang merupakan kumpulan artikel yang ditulis oleh Dr. Abdul Rivai di Bintang Hindia. Abdul Rivai dan Mohamad Hatta senior-junior yang selalu bermain aman dan lebih lembut. Tetapi kombinasi Abdul Rivai dan Parada Harahap adalah perpaduan garis lembut dan garis keras. Parada Harahap adalah penerus Dja Endar Moeda daripada Soetan Casajangan. Dja Endar Moeda adalah wartawan garis keras (wartawan pribumi pertama yang terjerat delik pers tahun 1905 di Padang dan dihukum cambuk), sedangkan Soetan Casajangan sebagai akademisi lebih lembut. Lalu kemudian, Parada Harahap telah mengindentifikasi sejak lama penerusnya di estapet garis keras. Dia adalah Soekarno. Soekarno dan Hatta adalah dua sosok muda yang diimpikan oleh Parada Harahap untuk memimpin bangsa ini—kombinasi lembut dan keras. Kita lihat saja nanti: apakah ramalan Parada Harahap terbukti.


Parada Harahap Ikut Menerima Kunjungan Delegasi Mesir

Mesir dan Jepang adalah Negara berdaulat. Oleh karenanya, kedua Negara ini memiliki hubungan diplomatic dengan Nederlansch Indie yang dikuasai oleh Pemerintah Kolonial. Motif Jepang mengundang ‘delegasi’ pribumi ke Jepang kemungkinan besar karena alasan bisnis dan politik Asia. Sebaliknya, kedatangan delegasi Mesir ke Nederlansch Indie karena alasan kerjasama budaya (utamanya keagaaman dan pendidikan Islam).

De Sumatra post, 08-11-1933 (national dinner): ‘Pada tanggal 8 di rumah Mr. Thamrin diadakan jamuan makan malam untuk menghormati Komisi Mesir. Yang hadir adalah atas nama Liga Bupati (Bond van Regenten) yang dipimpin Mr. Soejono; atas nama Vereeniging dari Akademisi, Dr Soeratmo dan Dr Ratulangi; atas nama Nationale Fractie, Mochtar dan Soeangkoepon; atas nama pers Melayu, Mr Parada Harahap; dan atas nama masyarakat Arab, Mr Alatas’.

Parada Harahap dan tiga the rising star: Soekarno, Hatta dan Amir

Ini adalah tahun 1933. Tokoh pribumi yang berpengaruh di Batavia tentu saja belum banyak. Mr. Hoesni Thamrin adalah tokoh yang cukup menonjol, selain putra asli Kaoem Betawi, juga anggota Volksraad dan karenanya pas untuk Ketua PPPKI. Parada Harahap? Hanya seorang ‘anak kampung’ di Pargaroetan, Padang Sidempoean tetapi membuat heboh di Medan karena keberaniannya membongkar praktek poenali sanctie. Kini, Parada Harahap di Batavia berubah drastis (dalam 13 tahun saja) menjadi ‘anak kota’ yang sudah memiliki 13 media cetak (The King of Java Press), editor kelas atas (wartawan terbaik versi pers Eropa), pendiri dan presiden kamar dagang dan industri pribumi, pendiri dan sekretaris perhimpoenan jurnalistik pribumi, pendiri dan sekretaris Sumatranen Bond. Jangan lupa, Parada Harahap adalah pendiri dan sekretaris PPPKI, organisasi yang memprakarsai Kongres PPPKI atau Kongres Pemuda yang melahirkan Sumpah Pemuda: Satu Nusa, Satu Bangsa dan Satu Bahasa. Dalam posisi serupa ini, kedudukan social Parada Harahap di antara kalangan pribumi di Batavia adalah nummer one. Parada Harahap adalah mentor dari tiga the rising star: Soekarno, Hatta dan Amir.

Amir Sjatifoedin adalah cucu seorang terkenal di Padang Sidempoean yang bernama Sjarif Anwar gelar Soetan Goenoeng Toea dari Pasar Matanggor. Soetan Goenoeng Toea adalah (murid pertama Nommensen) di Sipirok tahun 1862, yang menjadi penulis di kantor Asisten Residen di Padang Sidempoean (1875) yang kemudian diangkat menjadi jaksa di Sipirok (1880). Soetan Goenoeng Toea memiliki dua anak: Hoemala gelar Mangaradja Hamonangan (guru menjadi pengusaha) dan Djamin gelar Baginda Soripada (mantri polisi menjadi jaksa). Mangaradja Hamonangan adalah ayah dari Dr. Todoeng gelar Soetan Goenoeng Moelia (anggota Volksraad, alumni Belanda). Baginda Soripada adalah ayah dari Amir Sjarifoeddin gelar Soetan Goenoeng Soaloon. Todoeng adalah kuliah ke Negeri Belanda 1911 dan lulus 1915. Sebelum Todoeng datang, sudah ada dua anak Padang Sidempoean di Negeri Belanda yakni Soetan Casajangan (1905) dan Mangaradja Soangkoepon (1910). Amir Sjarifoedin setelah lulus sekolah dasar ELS di Medan dikirim oleh kakeknya ke Negeri Belanda untuk melanjutkan sekolah menengah (1921). Sebelum ke Negeri Belanda, Amir bersama Todoeng di Batavia. Setelah lulus sekolah menengah, Amir melanjutkan ke pendidikan tinggi. Amir masuk perguruan tinggi di Haarlem (1926). Tahun 1927, Amir pulang kampong karena alasan ada masalah di dalam keluarga. Kuliahnya dilanjutkan di Batavia (Rechtschool). Setelah lulus kuliah dan mendapat gelar Mister (Mr) di Batavia, Amir langsung terjun ke dunia politik. Pada saat yang tidak berjauhan, Mohamad Hatta lulus kuliah di Belanda pulang ke tanah air dan terjun ke dunia politik. Demikian juga Soekarno lulus dari sekolah teknik di Bandoeng langsung terjun ke dunia politik. Dalam fase dimana tiga rising star ini muncul, Parada Harahap adalah tokoh penting pergerakan pemuda di Batavia. Parada Harahap adalah mentor dari ketiga the rising star ini. [Parada Harahap lahir 1899, Soekarno (1902), Amir (1907), dan Hatta (1901)].

Parada Harahap, The King of the Java Press ke Jepang, Hatta Bergabung

Inilah saat pertama muncul politik luar negeri Indonesia ketika anak-anak pribumi bekerjasama dengan Jepang. Selama ini gerakan politik anak-anak pribumi hanya terbatas politik dalam negeri (di dalam lingkup Nederlansch Indie dan Nederland). Ini ibarat anak-anak pribumi dipaksa harus memilih: blok barat (Nederland/Europe) atau blok timur (Japan/Asia). Parada Harahap (senior/jurnalistik) dan Mohamad Hatta (junior/mahasiswa) memainkan peran penting. Parada Harahap tidak punya hutang terhadap Belanda, maka pilihan Parada Harahap tidak ada pilihan harus bekerja sama dengan Jepang. Mohamad Hatta juga tergolong tidak punya hutang terhadap Belanda, namun seperti lazimnya anak-anak pribumi yang mendapat pendidikan dari guru-guru Belanda (di Nederlansch Indie atau Nederland) cenderung berkolaborasi (ingin kesetaraan) tetapi, Hatta tampaknya sedikit melenceng dan lebih revolusioner dibanding yang lain dan sudah terang-terangan ‘ogah’ sama Belanda dan masih ‘mikir-mikir’ berkolabari dengan Jepang. Parada Harahap dan Mohamad Hatta, dua pribumi revolusioner yang menjadi pusat perhatian intel/polisi di Hindia Belanda.

Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 17-11-1933 (Gratis Reisje. Inlanders naar Japan): ‘Dua jurnalis, satu dealer dan satu guru telah meninggalkan Priok dengan kapal Jepang, Nagoya Maru yang dipimpin Mr. Parada Harahap, editor dari Bintang Timoer. Disamping itu, seorang mahasiswa jurnalis akan tiba di Jepang secara terpisah untuk merekam situasi politik dan ekonomi, di Jepang’.

De Gooi- en Eemlander : nieuws- en advertentieblad, 28-11-1933: ‘Hatta, yang dikenal sebagai Gandhi ‘Indonesia’ disambut di Jepang, pergi ke sana untuk mendapatkan hubungan Commerciale. Sekarang pergi ke Jepang sebagai tokoh politik muda’.

Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 05-12-1933: ‘Inlanders ke Jepang. Aneta-Iwaki mentransmisikan tanggal 4 kelompok yang dipimpin oleh direktur BintangTimur, Mr. Parada Harahap, telah tiba di Kobe’.

Parada Harahap, Berangkat Bagaikan ‘Menteri Luar Negeri’: Belanda vs Jepang

Parada Harahap saat ini dapat dianggap sebagai ‘menteri luar negeri’ yang membuka ruang bagi tokoh-tokoh penting lainnya, utamanya Soekarno, Hatta dan Amir. Parada Harahap hanya berpendidikan formal sekolah rakyat (SD), tetapi semangat belajar sangat luar biasa (otodidak). Adik dongan sahuta Parada Harahap pada nantinya, Adam Malik (keduanya kebetulan pernah penghuni tetap penjara Padang Sidempoean) yang hanya sekolah menengah pertama (SMP) akan menjadi menteri luar negeri (sesungguhya) ketika membuka ruang bagi tokoh-tokoh lainnya seperti Widjojo Nitisastro, Emil Salim, Ali Wardhana, dan JB Soemarlin.


Parada Harahap, Orang Pertama Indonesia yang akan ke Jepang

Ini tahun 1933. Parada Harahap saat ini menjadi pusat perhatian intel dan pemerintah kolonial Belanda. Semua koran berbahasa Belanda di Nederlansch Indie menyajikan berita dan opini tentang Parada Harahap. Koran-koran yang terbit di Nederland juga tidak ketinggalan. Sebab tokoh sentral Parada Harahap dalam hal ini bukan soal Inlander vs Moderlander lagi, tetapi Eropa vs Asia (head to head). Dari sisi pers, Parada Harahap telah membuat pers Belanda tampak heboh. Dulu, tahun 1925, Parada Harahap pernah menyerang pers Belanda (lihat De Indische courant, 17-09-1925). Kala itu, hanya Parada Harahap yang berani perang terbuka dengan pers Belanda. Sekarang, sepak terjang Parada Harahap telah membuat gaduh pers Belanda. Di dalam kegaduhan pers Belanda tersebut, Parada Harahap tengah berada di atas angin. Angin yang berhembus ke arah timur. Entah ada kaitan atau tidak mengapa pula koran Parada Harahap diberi nama Bintang Timoer (sebelumnya Bintang Hindia)

Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 28-12-1933: ‘Unsur-unsur eksentrik revolusioner Indonesia ke Jepang dengan dalih kunjungan komersial, tidak hanya perhatian pemerintah! Juga menjadi hal-hal baru yang dipantau oleh bidang politik. Di tempat lain, di belakang nama-nama otoritas perdagangan Indonesia kualitas mereka, dan mereka seharusnya telah terlihat. Aneh di Jepang dua wartawan [salah satu Parada Harahap], seorang pedagang batik,‘master sekolah’ [M. Hatta] dan mahasiswa adalah penamaan orang sebuah ‘commissionnall’. Apakah Anda punya jawaban yang memuaskan untuk apa Mr Parada Harahap dari Bintang Timur di Jepang menyatakan baik di meja sebuah ‘sukiyaki dinner’ di Kikusui, hasil wawancara (ini tidak dikonfirmasi) Namun dia [Parada Harahap] mengatakan.; Kami ingin membantu membangun hubugan antara masyarakat Jepang dan Jawa, dan tujuan lain maka kita ingin (adat) masyarakat di Jawa di negara Anda dapat terhubung. Selanjutnya, berbicara tentang jutaan Java bahwa Jepang ingin tahu apa yang harus Parada Harahap dapat dilakukan. Terbaik melalui pers Melayu Karena Pemerintah Nederiandsche juga Hindia Belanda dan untuk kepentingan mereka mewakili Pemerintah Jepang melalui duta besar untuk Tokyo, Parada Harahap memberikan jaminan pada penciptaan hubungan harmonis antara bangsa-bangsa (sic) dari Jawa dan Jepang meskipun penting untuk melakukan, namun maksud terselubung dari seluruh disebut bandelsgedoe ini. Ini komite perdagangan tidak ada pejabat, adalah murni pribadi, agak transparan, hobi. Dan bahkan jika beberapa ‘acara resmi’ memiliki, maka itu bukan di jalan misi dagang untuk membuat hubungan ramah antara masyarakat’.

Parada Harahap, The King of the Java Press in Japan

Bataviaasch nieuwsblad, 29-12-1933 (Java in Japan: The King of the Java Press): ‘The King of the Java Press’ telah tiba di Jepang. Dan ada resepsi diberikan, dia dijamu layaknya seorang raja, Mr Parada Harahap dari Bintang Timoer dan partainya dari atas  tampaknya benar-benar melakukan yang terbaik mereka dan dengan demikian sepenuhnya diperlakukan tuan tamu mereka dalam roh, yang merupakan kunjungi lonjakan negara dari Jawa ke Jepang ini, untuk alasan apa pun, sehingga sekuat mungkin untuk mendorong, dan dengan cara lain yang begitu mahal dapat memfasilitasi kontak dengan gerakan masyarakat adat. Misi Perwakilan Comirercial dari Jawa, yang orang-orang ini wartawan koran, termasuk agen batik diizinkan berbicara. Di kapal mereka disambut oleh Mr Shinzaburo Ishiwara, ‘general manager’ dari Ishiwara Sangyo Kaisha Kabushiki Kobe. Berkenaan dengan tujuan kunjungan mereka, pemimpin kelompok, Raja dari Pers Jawa, Mr. Parada Harahap, yang memimpin lima surat kabar Melayu diantaranya Bintang Timoer, berbicara bahwa: ‘Kami datang ke sini untuk melihat-lihat dan menikmati tempat-tempat terkenal keindahan alam dan juga untuk melihat ke pemimpin lingkaran perdagangan dan industry. Kami dapat untuk membantu dengan pembentukan hubungan persahabatan antara masyarakat Jepang dan Jawa. Mr Parada Harahap juga murah hati dengan nasihat yang baik. Ia berpikir bahwa Jepang akan melakukan sendiri benar mengerti populasi millionen di Jawa, yang ingin datang untuk mengenal negara ini dan ini bisa dilakukan dengan bantuan pers cukup baik kemudian ternyata bahwa Mr Parada Harahap siap untuk menyebarkan berita tentang Jepang sebanyak mungkin dan mengatakan masih akan menulis tentang Jepang dalam sebuah buku-hampir tidak bisa membawa semua niat ini, karena ia takut kunjungan singkat hanya selama tiga minggu, ia berpikir ke Jepang untuk memutar kembali waktu berakhir tentang Cherry Blossom dan sebagai anggota dari ‘Indonesia Parliamentary Party’.

De Indische courant, 29-12-1933 (Harahap in Japan: The King of the Java Press): ‘Sudah pergi, sebagai salah satu di kalangan luas di negeri ini, dengan perusahaan dari editor kepala Bintang Timur, ParadaHarahap yang membuat perjalanan ke Jepang, menurut Java Bode. Tampaknya dari majalah Jepang terbaru adalah perusahaan menerima enam ini ke Kobe dengan kehangatan dan kehormatan, yang jauh melebihi pentingnya orang-orang yang bepergian. Bahkan pers - atau tampaknya - telah datang dari pria terkesan. Kita mengatakan tampaknya karena kemungkinan tidak dikecualikan bahwa Jepang berguna mulai kunjungan sebagai kesempatan untuk mengambil di Hindia Belanda, yang mereka dapat menghasilkan saja. The Osaka Mainichi, sebuah majalah yang memiliki sirkulasi tetap terhadap jutaan, ParadaHarahap menggambarkan sebagai ‘Raja pers Java. Dia adalah kepala dari lima surat kabar pribumi, termasuk "Bintang Timur. "Kami ingin membangun antara masyarakat Jepang dan Jawa hubungan baik dan untuk tujuan kita berniat, yang Anda inginkan. Jasa Jawa Pers Jepang akan melakukannya dengan baik untuk membuat dirinya dimengerti oleh jutaan orang baik di Jawa, dan ini mungkin - kami percaya - capai melalui pers. Ada saat ini 240.000 orang Eropa di Jawa dan sebagian besar dari mereka dapat berlibur di Eropa tidak mampu, karena ada hambatan harga tinggi dan perjalanan panjang. Jepang adalah posisi yang sangat menguntungkan untuk menarik pekerja keras Eropa, yang memiliki kebutuhan liburan, untuk dirinya sendiri. Hal ini sangat disayangkan bahwa, meskipun di Jawa banyak yang diketahui tentang politik, ekonomi, kehidupan sosial dan atletik di Eropa, pada saat ketika orang-orang sedikit yang diketahui tentang Jepang dan ini adalah Jepang sendiri dalam ukuran kecil yang bertanggung jawab karena saya takut bahwa itu adalah pertukaran berita tentang kehidupan di Jepang dan Jawa diabaikan. Saya bersedia bertukar berita dengan Jepang seluas mungkin untuk menyebar. Saya berencana untuk menulis buku tentang Jepang. Saya hampir tidak bisa berharap untuk mencapai perjalanan, tujuan saya tapi rencana saya untuk kembali ke Jepang pada saat cherry blossom sebagai anggota dari Indonesia Parliamentary Party’. [Berita ini dilansir De Sumatra post, 03-01-1934; oplah De Sumatra Post di Padang Sidempoean cukup tinggi]

Parada Harahap Pulang dari Jepang: Berperan Bagai ‘Menteri Ekuin’ Indonesia

Parada Harahap berangkat ke Jepang pada kunjungan pertama (7 November) hanya dilirik pers Belanda sebagai berita kecil. Kini, setelah Parada Harahap pulang, pers Belanda matanya mulai terbelalak.

Soerabaijasch handelsblad, 11-01-1934 (De Javasche Perskoning. Keert terug.): ‘Dengan kapal ‘Panama Maru, yang hari Sabtu kapal diharapkan merapat di Tandjong Perak, akan kembali Mr. Parada Harahap, Editori Chief dari Bintang Timoer, yang selama tinggal di Jepang memiliki kesan menjadi poster sebagai  tokoh jurnalieme Hindia Belanda. Kapal meninggalkan hari berikutnya ke Batavia, belum diketahui apakah di sini The King of Java Press akan pergi ke darat dengan Panama Matu akan terus berlanjut ke Batavia’.

De Indische courant, 13-01-1934 (Parada Harahap. Kembali dari Jepang. Wawancara): ‘Wartawan  pribumi Mr. Parada Harahap telah tiba disini pagi ini dengan Panama Maru dari Osaka Shosen Khaisa. Dia tinggal di sini selama beberapa hari, dan kemudian ke Batavia. Mr. Parada memiliki lima surat kabar pribumi, di Batavia dan Bandung. The "Bintang Timoer", yang Mr Parada kepala redaksi majalah adalah yang terbesar dan paling penting. Dari tujuh, dua warga Indonesia di Jepang tertinggal di belakang, agar sana untuk membuat kemajuan dalam belajar untuk universitas; baik belajar dalam kimia. Kelompok, yang mencakup seorang guru dan seorang apoteker yang diam di Jepang selesai sekitar satu bulan program ke Tokyo. Tapi itu bukan maksud Bapak Parada, hanya untuk dilihat, industri besar apa yang ia harus tur hanya Pabrik mobil, pesawat terbang, dll. Dia ingin melihat negara dengan mata kepalanya sendiri, juga membuat studi tentang perusahaan-perusahaan kecil, termasuk di bidang pertanian hortikultura dan daerah peternakan. Di sana mereka punya di Hindia lagi. Bahwa Jepang barang manufaktur sangat murah adalah dongeng. Barang yang diproduksi di semua rentang harga murah. Setiap negara akan menerima barang, yang bisa berada di sana. Disimpan jadi itu akan membuat akal untuk Jepang, di HIndia kini menjejalkan dengan barang-barang mahal. Populasi mereka tidak bisa membayar. Memang semakin mahal dan karena itu pergi barang yang lebih baik ke Amerika dan Eropa. Essentials untuk Jepang adalah bahwa ada pasar untuk itu. Dan itu saja. Jepang masih lebih murah menghasilkan mereka, daripada sebagian besar negara di dunia. Sebuah kecenderungan tertentu untuk Mr Parada telah membuktikannya. Upah rendah, metode untuk geperfectionneerd secara rinci, tingkat yen rendah. Harga jual juga rendah. Oleh karena itu, barang-barang Jepang terbang ke luar negeri. Dua yen secara kasar setara dengan emas. Jepang bertujuan untuk segalanya untuk mengepung Eropa. Pendidikan adalah baik-baik saja, menemukan satu universitas besar, yang memberikan yang terbaik profesor mengajar. Bahwa lembaga pendidikan tinggi yang disimpan di bangunan yang indah dan dilengkapi dengan cara yang paling modern perpustakaan luas dengan buku dalam semua bahasa. Pengajaran bahasa telah berkembang sangat dalam beberapa tahun terakhir. Setiap Jepang yang pergi ke luar negeri, diperbolehkan untuk mengajar bahasa Negara tujuan. Dengan demikian, ada dua orang Indonesia di Jepang, salah satu dari Hindia Belanda, yang lain dari Singapura, yang mengajar dalam bahasa pribumi. Dengan demikian, Mr Parada Harahap mengatakan kepada kami beberapa hal dari kesan-kesan. Dia yakin bahwa Hindia dalam beberapa hal dapat belajar banyak Jepang. Asli dari negara yang dapat belajar untuk menusuk, untuk menjadi aktif dan berkembang. Besar motivasi diri adalah hands. Hal ini hoognoodig baginya, dia tidak mendapatkan di belakang dan di bawah tekanan. Mr Parada mengatakan kepada kami akhirnya bahkan sebagian, bahwa ia akan menunjukkan. Tayangannya dalam artikel dan dalam bentuk buku. Buku yang ditulis dalam bahasa Melayu muncul sekitar bulan April sebagai terhadap waktu yang sama, sebuah kelompok kedua Indonesia akan berangkat ke Jepang’.

Parada Harahap Membuat Pers di Belanda Mulai Khawatir Keberadaan Bangsa Belanda di Indonesia

Parada Harahap yang datang dari pers merdeka, wartawan revolusioner yang kini pemilik lima surat kabar, yang juga ketua kamar dagang dan industry pribumi, ketika pulang dari Jepang berjalan dengan tegak. Wartawan dari pers Belanda mewawancarai Parada Harahap. Inilah kali pertama pers pribumi revans terhadap pers Belanda. Koran-koran di Belanda menurunkan laporan tentang Parada Harahap, diantaranya De Telegraaf (edisi 29-01-1934), Het Vaderland : staat-en letterkundig nieuwsblad (edisi 29-01-1934), De banier : staatkundig gereformeerd dagblad edisi 16-02-1934, Algemeen Handelsblad edisi 14-02-1934, De tribune : soc. dem. Weekblad edisi 15-03-1934 dan koran-koran lainnya. Untuk mendapat cover both side, wartawan Belanda harus sibuk pula menerjemahkan koran-koran berbahasa Jepang yang terbit di Jepang, seperti Osaka Mainichi, Tokyo Nichi Nichi dan lainnya. Algemeen Handelsblad merangkum isu Parada Harahap sebagai keprihatinan terhadap pemerintah Belanda.

Algemeen Handelsblad, 14-02-1934 (Onze Oost Japans Politike Belansg-Stelling. Meer aandacht gevraagd): ‘Ada juga diantara para pemimpin gerakan masyarakat adat untuk kepentingan Hindia Belanda di Jepang, negara Oriental, begitu luar biasa dalam waktu singkat, Westersch begitu luar biasa mampu untuk berbelanja dan jangan ragu untuk melemparkan dirinya sebagai juara Asia dan masyarakat. Perjalanannya telah menarik banyak minat di kalangan pribumi dan disebut akan, seperti yang telah dilaporkan, waarschijniyk diikuti oleh orang lain. kepentingan para pemimpin pribumi kami untuk Jepang didorong oleh serikat "Kaigai Kyolky Kyokai," serikat membuat propaganda untuk tujuan oleh Jepang, yang berbasis di Hindia. Seorang wartawan Jepang menulis tentang dalam lembar Maleisen, termasuk yang berikut: Serikat yang akan. segera memulai pendirian pesantren untuk kepentingan mahasiswa asing. Persiapan ini sudah hampir selesai. Biaya per bulan per siswa diperkirakan sekitar 50 yen (25 gulden). Ini akan dibangun sekolah menengah pertanian, sekolah perdagangan, sekolah teknik. Pada saat ini, menurut wartawan, satu telah berada di Tokyo beberapa mahasiswa dari Hindia. Pada yang terakhir Pan-Aziëeongres telah berbicara termasuk Sumatera, beberapa Gaoes bahwa kursus dalam bahasa Jepang. Saya minta maaf - demikianlah wartawan, bahwa ada begitu sedikit disebut mahasiswa Hindia, baik untuk kepentingan kemajuan Indonesia seperti untuk memperkuat persahabatan antara negara-negara Asia. Dianjurkan untuk mengirim sebanyak mungkin orang-orang muda ke Jepang. Mengapa hal ini menguntungkan untuk pergi ke Jepang tidak perlu dibahas lebih lanjut. Posisi Jepang di Dunia Dikenal. Mengenai ilmu, seperti astronomi, listrik, kedokteran, teknik, djiudjitsu, dll Jepang adalah No. 1 di dunia! Hindari propaganda ini Hindia tidak bisa meninggalkan acuh tak acuh. Dan meskipun kita tidak tahu bahwa di balik sutra Jepang mengintai kebijakan luar negeri resmi atau tidak resmi, kasus apapun, itu yakin bahwa kepentingan pribumi yang tertarik untuk Jepang, sebuah tahanan politik. Satu dapat sekitar mereka berbicara dan mengatakan bahwa ada interpretasi lain. Kami sangat menghormati tenaga kerja dan warga negara berada di bawah pemerintah pansche dan orang-orang Jepang, tapi di situlah letak bahaya, menyerukan Jepang sendiri dan bagi lingkungannya, bahwa yang terbaik adalah secara terbuka mendiskusikan. Jika Jepang memang untuk perdagangan dengan Hindia Belanda adalah mengembangkan, maka seharusnya tidak menggoda dengan para pemimpin terisolasi vftnjer gerakan masyarakat adat, tapi kehormatan ini  untuk semua sentuhan mengacu pada jalur resmi’.

Parada Harahap, Pengalaman Intelektual di Jepang: Nederland Tidak Ada Apa-apanya

De banier: staatkundig gereformeerd dagblad, 16-02-1934 (Pengalaman dari intelektual Indonesia di Jepang): ‘Mr Parada Harahap 13 Januari kembali. The Ind Ct. Surabaya telah berbicara dengannya dalam perjalanan, dan menceritakan hal-hal Jepang telah berada di industri dalam jangka pendek sangat diperluas. Sejumlah besar barang yang diproduksi dikirim ke luar negeri dari fabrleksboeken Mr Parada bisa memverifikasi bahwa jumlah yang dikirim ke Hindia benar-benar sangat signifikan dan dalam waktu dekat, jika memungkinkan, akan semakin besar. Dapat dimengerti bahwa Japenners peninggian akhirnya tugasnya untuk tidak berbicara. Pengajaran bahasa telah berkembang sangat dalam beberapa tahun terakhir. Setiap Jepang yang pergi ke luar negeri, diaktifkan bahasa negara yang belajar kesempurnaan. Dengan demikian ada dua orang Indonesia di Jepang, salah satu dari Hindia, yang lain dari Singapura, yang mengajar dalam bahasa pribumi. Itu sangat menarik untuk mendengar, kata traveler kami, bahkan pemuda Jepang bisa berbicaraMelayu beberapa kata dan wisatawan ke Indonesia dengan Slamet Dateng! (Welcome!) menyambut. Selama perjamuan, yang hanya duduk dengan Jepang Mr Parada Harahap yakin bahwa Hindia dalam beberapa hal banyak dari Jepang dapat belajar untuk mendalam, untuk secara aktif dan harus berkembang. Besar motivasi diri adalah hands ini untuk dia, sangat diperlukan, tidak akan jatuh di belakang dan kesengsaraan. Mr. Parada akhirnya diberitahu bahkan sebagian, bahwa ia tayangan dalam artikel dan akan muncul dalam bentuk buku. Buku ini ditulis dalam bahasa Melayu muncul kira-kira dalam April. Pada saat itu, kelompok kedua Indonesia akan berangkat ke Jepang.

Parada Harahap, suatu Keajaiban dan M. Hatta, suatu Kebajikan: Keduanya Memilih ‘Penawar Harga Tertinggi’

Parada Harahap hanya sekolah rakyat tetapi memiliki otak jenius. Ketika menjadi krani, prestasinya naik pesat bahkan ‘katanya’ mampu mengalahkan akuntan bangsa Jerman yang bekerja di perusahaan itu. Ketika melihat para pekerja perkebunan (asal dari Jawa dan Asia Timur/Tionhoa) dengan penerapan poenali sanctie, hatinya berubah total. Eropa/Belanda dirasakannya penghisap lalu membongkar kasus poenali sanctie. Setelah dipecat malah bergabung dengan pers yang menjadi pemicu dia dipecat. Pers yang merdeka: Parada Harahap mulai menanam di Benih Mardeka dan megolahnya di Sinar Merdeka. Itu tidak cukup, perlu organisasi pergerakan pemuda dan politik agar bisa  menghela gerbong pemikirannya menuju pintu kemerdekaan. Untuk memiliki portofolio yang tinggi, Parada Harahap memadukan bisnis dan jurnalistik dalam satu badan: Membangun dinasti persuratkabaran (seperti seniornya Dja Endar Moeda di Sumatra) di Jawa. Parada Harahap sadar mengukuisisi Bintang Hindia dan mengubahnya menjadi Bintang Timoer yang kelak menjadi ‘perahu’ untuk menuju bintang (matahari) timur. Hasilnya: bisnis Parada Harahap berkembang pesat lalu mendirikan Kadin sebagai kendaraan lain. Anehnya, semakin kaya, Parada Harahap justru semakin garang terhadap bangsa Eropa/Belanda. Bisnis dan jurnalistik merdeka adalah portofolio terpenting dari pribumi yang dijadikan sinyal yang dipantau terus-menerus dari Tokyo dan Kobe. Organisasi dan politik semakin memperkuat (fungsi produksi) portofolio Parada Harahap di mata Jepang. Sebaliknya, untuk kebutuhan Jepang, saat itu pribumi yang memiliki portofolio tertinggi hanyalah Parada Harahap. Karena itu, (fungsi kebutuhan) preferensi tertinggi pemerintah Jepang memilih Parada Harahap. Jepang sangat menyadari siapa yang harus dipilih, sebaliknya Parada Harahap sadar bagaimana meningkatkan fungsi produksi kemerdekaan. Ini semua tampak sebagai garis continuum Parada Harahap yang sangat intuitif—bagaikan cara berpikir anak jenius: suatu keajaiban yang meretas jalan menuju bintang timur (matahari terbit=Jepang).

Mohamad Hatta, seorang pelajar, seorang yang tekun seperti Parada Harahap. Bedanya: Parada Harahap bersifat radikal, sedangkan M. Hatta lebih incremental (smart). Di Belanda, Hatta dengan sadar mengubah artsitektur organisasi pelajari: dari kompromistis (Indisch Vereniging/IV) menjadi lebih terprogram (Persatoean Pelajar Indonesia/PPI). IV didirikan oleh Soetan Casajangan (Harahap) dan IV dikembangkan Hatta menjadi PPI yang lebih prodemokrasi. Pertemuan dua anak muda Indonesia (Parada Harahap dan M. Hatta) lewat Dr. Abdul Rivai dan Soetan Casajangan. Dr. Abdul Rivai alumni Docter Djawa School di Batavia berangkat ke Belanda 1904 dan menjadi editor Bintang Hindia. Kemudian menyusul Soetan Casajangan, alumni Kweekschool Padang Sidempoean untuk studi di Negeri Belanda (1905). Dr. Abdul Rivai (editor Bintang Hindia) bahu membahu dengan Soetan Casajangan di Belanda (penggagas didirikannya perhimpunan pelajar). Kini di Batavia, Dr. Abdul Rivai berkolaborasi dengan Parada Harahap untuk membangun kembali Bintang Hindia dan Soetan Casajangan tetap menjadi guru (Direktur Normaal School di Mister Cornelis/kini Jatinegara).

Singkat cerita: Parada Harahap adalah suksesi Soetan Casajangan, dan M. Hatta adalah suksesi Abdul Rivai. Pemikiran-pemikiran Abdul Rivai tersebar di banyak artikel majalah/Koran. Sedangkan pemikiran Soetan Casajangan terangkum dalam buku yang ditulisnya dan diterbitkan di Belanda tahun 1913 berjudul: 'Indische Toestanden Gezien Door Een Inlander' (negara bagian di Hindia Belanda dilihat oleh penduduk pribumi). Diterbitkan di Baarn oleh Percetakan Hollandia-Drukkerij. Buku ini adalah sebuah monograf (kajian ilmiah) setebal 48 halaman yang mendeskripsikan dan membahas tentang perihal ekonomi, sosial, sejarah budaya Asia Tenggara (nusantara) dan pertanian di Indonesia. Buku ini berangkat dari pemikiran bahwa sudah sejak lama penduduk pribumi merasakan adanya dorongan untuk penyatuan yang lebih besar yang kemudian dengan munculnya berbagai sarikat, antara lain Indisch Vereeniging (digagas oleh Soetan Casajangan), Boedi Oetomo (digagas oleh Wahidin) dan Sarikat (Dagang) Islam (Tjokroaminoto). Buku ini sangat mengejutkan berbagai pihak di kalangan orang Belanda baik di Negeri Belanda maupun di Hindia Belanda. Jangan lupa: Soetan Casajangan adalah pendiri koran Poestaha di Padang Sidempoean (1915). Ketika pulang kampong dari Medan (Benih Mardeka) Parada Harahap menerbitkan koran Sinar Merdeka. Sejak 1919 kedua koran yang terbit di Padang Sidempoan ini editornya adalah Parada Harahap (Bataviaasch nieuwsblad, 19-06-1920). Rintisan Soetan Casajangan diperkuat Parada Harahap. Sedangkan rintisan pemikiran Abdul Rivai di dalam artikel-artikelnya, setali tiga uang, juga diperkuat oleh M. Hatta dengan membukukan artikel-artikel tersebut menjadi buku (Nieuwe Rotterdamsche Courant, 28-08-1928).

Pada akhir 1933/awal 1934 Parada Harahap bertemu di Jepang. Parada Harahap ‘direkrut’ di Batavia lalu menuju Kobe. Sedangkan M. Hatta ‘direkrut’ di Rotterdam sebagai ‘sarjana ekonomi’ lalu berangkat langsung menuju Kobe. Parada Harahap dan M. Hatta adalah dua anak muda tokoh penting dalam kunjungan orang-orang Indonesia pertama kali datang ke Jepang. Dua orang ini terbilang ‘pembeli’ utama tawaran harga tertinggi yang kini diperebutkan dua competitor (Belanda vs Jepang). Jepang, valuenya sangat tinggi untuk semua aspek/negara dengan ekonomi tengah tumbuh pesat (dibanding value Belanda yang sudah sangat merosot harganya/negara hampir bangkrut). Dua pemuda Indonesia adalah pionir dalam hubungan internasional. Parada Harahap berkembang secara imajinatif, dan M. Hatta berkembang secara pragmatif.

De tribune: soc. dem. Weekblad, 15-03-1934: ‘Mr Parada Harahap, penerbit ‘netral’ majalah Melayu, dimana ‘netral’ terhadap propaganda Hitler dan General Haraki. Harahap dan rombongannya diterima oleh Walikota Kobe, oleh Gubernur Shirane dan Chamber of Commerce, serta pers Jepang yang membuat pengaruh besar didirikannya Institute Jepang-Indonesia, dimana pelajar Indonesia bisa belajar di Jepang dengan murah dan mendapatkan semua informasi tentang pendidikan tinggi di Jepang. Majalah pribumi ‘Soeara Oemoem’ menulis: ‘Tuan-tuan national reformisten menawarkan jasa mereka kepada imperialisme Jepang - sementara mereka mencoba untuk mendapatkan koneksi dengan Jepang dengan konsesi sedikit longgar untuk mengancam kolonial Belanda! Hal ini jelas bahwa tidak ada kebijakan yang dapat merusak bagi masyarakat Indonesia. Siapa di Jepang mencari dukungan melawan imperialisme Belanda berasal dari hujan menetes. Kaum burjuis Indonesia menawarkan dirinya kepada penawar tertinggi untuk bertindak sebagai agen. Penindasan kolonial. Namun, fakta bahwa colonial juga meneteskan cahaya terang seperti Hatta yang kini melakukan perjalanan ke Jepang, dalam rangka propaganda untuk ‘Pan-Asian’ oleh kebijakan Jenderal Araki. Satu akan mengatakan bahwa bahkan para pemimpin OSP dan Mohammad Hatta harus belajar, jika Anda tidak gulma, mereka melakukannya begitu lama tidak mampu lagi komandan fasis Belanda sangat takut tentara Jepang dan armada Jepang, mereka gemetar di kursi mereka, karena mereka membaca bahwa telegram Baron Gah dari Tokyo yang ditujukan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda, yang ia dari kelompok keuangan, yang ia mewakili, memprotes pembatasan impor Jepang, sebagai bertentangan dengan ditutup oleh perjanjian perdagangan Indonesia. Dan mereka melihat tapi satu jalan keluar: penguatan militerisme Belanda ‘The Rijkseenheid’ mengamati: bahwa armada kami di India jauh terlalu lemah! bahwa Hindia adalah basis cukup kuat ETI karena Angkatan Darat Hindia terrlalu banyak penyimpanan bahan bakar minyak berat yang cukup dipertahankan di Hindia; militer ETI memiliki cukup artileri, tank, sumber anti-pesawat tetapi denga armada yang lemah; bahwa kavaleri terlalu banyak berkurang; dengan jumlah cukup dari komandan latihan berulang-ulang, bintara dan laki-laki kehilangan kesempatan untuk berlatih cukup. Dan pisau teror fasis menunjuk ke ‘seringai Japansche’ dan bahaya besar yang mengancam provinsi Southern kita, sekarang Perancis dan België di border timur dalam kondisi yang tangguh disebabkan oleh cuaca. Kesimpulannya adalah, tentu saja, harus memperkuat Wehrmacht’ Tidak ada pemotongan tentara dan angkatan laut, tetapi menghabiskan unsparingly. Mari kita membeli kapal perang, bunker beton, artileri, amunisi dan pesawat dan untuk pengangguran untuk tenaga kerja! Perang Harness alih-alih bekerja dukungan berdaya tersebut adalah slogan mulia baru dari kaum fasis Belanda Kita tahu betul bahwa ini akan bertemu dengan oposisi yang besar, kaum borjuis Belanda tidak dalam limbo, bahwa kelas pekerja tidak berkenan dakwaan baru, ratusan untuk menanggung mereka diperlukan untuk tentara agak modern di darat, di laut dan di udara dalam jutaan dolar, tetapi perang mendekati dengan langkah-langkah cepat, baik di Eropa maupun di Asia, dan karena itu sangat mendesak. Jadi tidak rela atau terpaksa! Menulis tuan-tuan dari ‘Vaderlandsche club’ dan kaum borjuis Belanda karena itu meletakkan jarak yang memisahkan dirinya bahkan kediktatoran fasis dipercepat untuk mendapatkan perdagangan dan pembajakan. ‘Tiga hal ini tidak dapat dipisahkan’ kata Goethe tua, yang memendam ilusi tentang berkat-berkat dari kapitalisme. Satu dapat menyajikan kata yang tepat bervariasi: Koloni, perang dan fasisme, yang merupakan kudus Trinitas baru, yang tidak dapat dipisahkan. Dan perjuangan melawan fasisme, menentang perang imperialistischen dan penindasan kolonial juga merupakan kesatuan yang tak terpisahkan’. IL.

Pers di Belanda sangat berharap ada kedamaian di Nederlandsch Indie dan memperhatikan pribumi dengan sewajarnya. Tetapi tidak demikian kenyataannya. Pers di Belanda juga merasakan adanya krisis ekonomi yang berkepanjangan. Sebaliknya, pers di Belanda juga melihat lahirnya pemuda-pemuda revolusioner dari kalanga pribumi. Pers di Belanda juga melihat kekuatan Jepang dari segala segi ketika kekuatan historis Belanda telah mulai melorot.

Parada Harahap Kritik Pers Belanda: Pers Belanda, Welkom!

Parada terus berjuang habis-habisan di bidang pers dengan pena yang sangat tajam. Parada Harahap dulu pernah menulis dalam bahasa Belanda di Java Bode agar pesannya dapat dibaca oleh orang-orang Belanda (1925). Itu tidak cukup, Parada Harahap harus mengakuisisi koran berbahasa Belanda miliki orang Belanda di Batavia agar ada media pribumi berbahasa Belanda (1930) yang kemudian menjadi Bintang Timoer edisi bahasa Belanda. Lalu Parada Harahap ketika berangkat, selama dan setelah pulang dari Jepang pers Belanda mulai mengulik-ulik koran-koran pribumi untuk mendapatkan sepak terjang Parada Harahap. Sejak itu, pers Belanda mulai tidak malu dan tidak risi untuk membaca koran pribumi berbahasa Melayu. Momen ini dimanfaatkan oleh Parada Harahap untuk menunjukkan jiwa nasionalis sejati dan kebutuhan saling menghargai. Sebuah artikel editorial di Bintang Timoer terpaksa ditanggapi oleh editor Belanda dengan kepala dingin. Posisi Pers Belanda vs Pers Pribumi mulai berimbang.

De Indische courant, 09-05-1934 (Welkom!): ‘Parada Harahap, editor menulis di kolom editorial Bintang Timoer, bahwa banyak wartawan Belanda masih begitu parah bahwa pengetahuan tentang bahasa Melayu. Kita selama ini kurang memperhatikan tapi kita harus dengan jalan tengah. Kita kurang memiliki kesabaran untuk memaknai bahasa. Alih bahasa ini ternyata membuat pribumi tidak nyaman. Artikel ini menunjukkan bahwa untuk orang biasa mengapa harus disebut ‘oranghutan laki-laki’ dan ‘orangutan perempuan’ dan baru menyebutnya Mr (tuan) untuk orang yang terpandang. Untuk semua alasan ini, kita bisa memuji inisiatif Bintang Timocr sepenuh hati. Kita tidak meragukan perlunya di pers Belanda dapat diedit oleh pemuda pribumi. Bintang Timoer diharapkan dapat pemulihan hubungan dan ketenangan dalam hubungan yang ada selama ini antara orang Belanda vs orang pribumi, dan kami berharap itu juga. Hambatan bahasa bagi banyak pihak utamanya untuk apresiasi yang layak dari ide-ide dari kelompok lain, dan beberapa tawaran, pemahaman, pengertian simpatik hanya dapat berhasil dari membuka hati secara utuh. Media dalam hal ini (berbahasa) adalah sarana yang tepat: welcome!’.



Parada Harahap: Dulu Membongkar Poenali Sanctie, Kini Membrantas Kinderhandel (Child trafficking)

Poenali sanctie di Deli adalah eksploitasi manusia di perkebunan dan sanksi yang berlebihan. Parada Harahap membongkarnya. Kini, Parada Harahap harus menulis berdasarkan penyelidikan wartawannya di Brebes telah terjadi kinderhandel atau child trafficking atau perdagangan anak untuk dipekerjakan. Parada Harahap kini memang bagian dari pengusaha, tetapi untuk soal eksploitasi tenaga kerja apapun bentuknya tidak menerimanya.

Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 12-05-1934: ‘Kita diberitahu, memiliki beberapa Cina di Brebes, menyusul publikasi, termasuk Bintaing Timur, pada bagian mereka. "Anak trafficking" di Brebes, Seperti yang sudah kami melaporkan, penyelidikan oleh Bupati diadakan, mengungkapkan bahwa subdivisi harus dipertimbangkan. Sangat tendensius di Bintang Timoer. Semua surat kabar China turun sekitar jurnalis ini keras dan menuntut bahwa hal itu menjadi sesama subdivisi menghujat. Karena kita saat ini belum memiliki informasi lebih lanjut tersedia (yang akan ditransmisikan sehubungan dengan pertanyaan dari Pak Soetardjo diserahkan kepada Pemerintah segera), tidak mungkin bagi kami untuk memberikan. Jelas pendapat mengenai hal ini  mungkin dengan ini kami mengingatkan Anda tentang apa yang terjadi perkebunan dalam menanggapi permintaan dari Anggota Dewan Rakyat penting diperhatikan. Di perkebunan, yang dapat dianggap sebagai sejarah seperti di desa dikenal dianggap dibuat untuk mengetahui pendapatnya bahwa perdagangan anak sebagai dimaksudkan, pada kenyataannya, tempat ada (dan sehingga ditemukan, ini harus dianggap sebagai kasus yang sangat luar biasa), karena itu benar-benar fenomena langka disini di Hindia, bahwa anak-anak pribumi untuk dididik dan dibesarkan oleh Cina .

De Indische courant, 14-05-1934: ‘Asosiasi Perdagangan pribumi, dipimpin oleh Mr Parada Harahap, untuk penerimaan organiseeren selama kunjungan delegasi Jepang, yaitu mereka dipimpin oleh Osaka Mainichi’.

Parada Harahap: Pendiri Asosiasi Surat Kabar

Pers Belanda sudah dapat ditaklukkan oleh Parada Harahap. Yang sulit adalah menghadapi laras senjata polisi Belanda. Pers pribumi pernah dibungkam, hampir semua media pribumi dibreidel termasuk Bintang Timoer (1932). Kini, euporia media pribumi makin merebak. Untuk menjaga kemungkinan yang akan terjadi para pemilik surat kabar memerlukan asosiasi.

Bataviaasch nieuwsblad, 25-06-1934: ‘Rapat Direksi Koran di Solo. Hampir semua direktur surat kabar pribumi dipenuhi dengan tujuan untuk membangun Asosiasiini didirikan, dengan Dr R. Soetomo, direktur ‘Soeara Oemoem di Soerabaya sebagai presiden, Saeroen, direktur Pemandangan dan Parada Harahap, direktur Bintang Timoer sebagai komisaris’.

Parada Harahap: Buku Kedua Perjalanan Wartawan

Buku Parada Harahap: 'Menoedjoe Matahari..
Bataviaasch nieuwsblad, 20-07-1934: ‘The managing editor  Bintang Timoer, Mr Parada Harahap, telah berkunjung ke Jepang. Ini kami iri kepadanya. Ia telah menulis tentang Jepang, dalam makalahnya, dan, sekarang ditambah dan direvisi, dibundel dalam sebuah buku yang menyandang judul: Perjalanan ke Matahari Terbit. Selain Jepang, penulis juga menemukan dirinya agak penting bahwa pada cover kita menemukan dia digambarkan, baik di Hindia dan Jepang dan banyak foto dapat ditemukan Mr Parada didampingi oleh orang-orang terkemuka Jepang atau yang Bapak Harahap menganggap seperti itu, digambarkan. Penulis adalah, berkat dia iklim ekonomi yang menguntungkan di Jepang, dimana hubungan persahabatan dengan penduduk pribumi akan tampaknya lebih penting dibandingkan dengan penguasa Belanda, menerima hangat: mereka menunjukkan dia banyak dan menghibur dia dengan cara yang paling menyenangkan, yang mengarah ke hasil ganda penulis mungkin hal-hal yang memang menarik, tetapi mereka berada dalam ditulis setidaknya pada latar belakang simpati yang besar, yang tidak selalu diucapkan. Semua dalam semua cukup banyak cara masalah yang sangat menarik, yang sangat disayangkan bahwa buku ini muncul hanya dalam bahasa Melayu. Rupanya ragu untuk mempermanis pekerjaan yang kita diterima secara bersamaan dari pencetakan yang sama. Ini adalah buku kedua dalam genre ini yang menikmati wartawan travel ditulis berhasil. Karya pertamanya adalah Dari Pantai ke Pantai (From Coast to Coast)’.

Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 21-07-1934: ‘Mevr. S. Harahap dalam Drukkerij Bintang Hindia, penerbit Bintang Timoer telah menerbitkan  dua buku dalam bahasa Melayu, yang disusun oleh Ibu Satiaman Parada. Yang satu ini berjudul Boekoe Masakan (masak) dan yang lainnya adalah panduan yang baik untuk membuat segala macam manisan Eropa dan penduduk pribumi’.

Parada Harahap Digoyang: Menerbitkan Bendera Timoer Setelah Bintang Timoer Dilikuidasi

Parada Harahap dan Bintang Timoer adalah dua nama dalam satu badan. Sepak terjang Parada Harahap telah membuat gaduh pers dan pemerintah Belanda. Aliansi Parada Harahap dengan Jepang di satu sisi memperkuat pigur Parada Harahap dan di sisi lain menjadi ancaman besar bagi pemerintah dan pers Belanda. Apakah pemerintah dan pers Belanda akan tinggal diam. Setelah lama pers dan pemerintah Belanda menahan napas, tiba-tiba berhembus angin menerpa Parada Harahap.
Bataviaasch nieuwsblad, 13-08-1934: ‘NV. Bintang Hindia, editor di BintangTimur, terdiri sebagai berikut: Direktur, Parada Harahap. Board: PA Tambajong dan Padmahadisarwoko’.

Bataviaasch nieuwsblad, 24-09-1934: ‘Pada pertemuan pemegang saham NV. Bintang Hindia diselenggarakan kemarin memutuskan untuk melikuidasi perusahaan. Surat kabar BintangTimoer muncul dalam bentuk lain. Dalam manajemen sama kecuali Mr. Parada Harahap, sebagai anggota baru termasuk Mr JW Muntu’.

Parada Harahap digembosi dari dalam. Tiba-tiba Parada Harahap disingkirkan dari Bintang Timoer, namanya lenyap dari daftar redaksi. Namanya Parada Harahap, tidak mau berseteru dengan kawan sebangsa di Bintang Timoer, musuhnya hanya satu: Belanda. Parada Harahap tidak mau ambil pusing hanya sekadar Bintang Timoer, bagaikan ‘hukum kekebalan nasib’, jika ditekan di satu sisi akan menggelembung di sisi lain. Mengetahui tidak ada namanya di daftar editor Bintang Timoer, segera Parada Harahap menerbitkan koran baru dengan nama Bendera Timoer.

Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 02-10-1934 (Nieuw Inlandsch Blad): ‘Bendera Timoer, Mr Parada Harahap memiliki koran baru yang disebut Bendera Timoer. Kantor ini terletak di Brugstraat 48, Batavia’.

Bataviaasch nieuwsblad, 03-10-1934: ‘Mr. Parada Harahap mengatakan bahwa suspensi editor Bintang Hindia dilakukan oleh liquldateur dari kantor pemerintah. Suspensi akan ditenggat hingga 8 November.. Saat ini majalah yang diterbitkan oleh  Mr Parada Harahap sekarang nama Bendera Timoer untuk menghindari kebingungan’.

Parada Harahap tahu persis sejarah Bintang Hindia tempo doeloe. Ketika Bintang Hindia bangkrut (dilikuidasi), editor Abdul Rivai kehilangan pekerjaan. Kekosongan media ini, diterbitkan investor baru majalah sejenis dengan nama Bendera Wolanda dan kemudian Bendera Perniagaan yang menetapkan Soetan Casajangan sebagai editor. Kini, Parada Harahap boleh kehilangan nama Bintang Timoer, tetapi Parada Harahap sendiri masih dapat menerbitkan koran baru Bendera Timoer. Nama Bendera Timoer dipilih mungkin tidak hanya bercermin dari sejarah masa lalu tetapi juga meratas jalan untuk masa dating, karena bendera Parada Harahap sekarang bukan lagi merah putih biru (Belanda) tetapi bola matahari (Jepang). Awalnya pengadilan sempat bingung karena meminta manajemen Bintang Timoer seperti semula, tapi nasi sudah jadi bubur dan Bendera Timoer tetap terbit. Namun ternyata itu tidak cukup, kini dituntut di pengadilan dengan tuduhan lain.

Bataviaasch nieuwsblad, 18-10-1934: ‘Karena aset NV. Bintang Hindia dari Bintang Timur ada, Orphan Chamber telah memutuskan untuk melanjutkan kepemimpinan sebagai redactionecle publikasi koran ini: Mr Parada Harahap dan kepemimpinan administrasi Mr. Tambayong’.

Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië 02-01-1935: ‘Senin lalu Parada Harahap, wartawan, yang dianggap mismanagement dituntut dan diinterogasi oleh kepala Djaksa, yang menunjukkan bahwa tuduhan terhadap dirinya, pada saat ini. Komisi tindak pidana menganggap likuidasi itu pemalsuan karena akan dijual murah ketika kasus itu sangat tidak menguntungkan. Setelah interogasi Parada dimasukkan ke dalam perlindungan pemerintah’.

Parada Harahap dalam menghadapi laras senjata tidak akan berdaya. Meja hijau selalu solusi optimal untuk membungkam dan menghambat langkah Parada Harahap. Perjalanan Parada Harahap ke Jepang diduga alasan kuat mengapa dijepit dari dalam maupun dari luar. Komunitas media menyayangkan Bintang Timoer karena Koran ini memiliki oplah paling tinggi. Lalu Bintang Timoer dan Bendera Timoer lenyap dari dunia pers.  

De Indische courant 03-01-1935: ‘Kasus Parada Harahap. Perjalanan ke Jepang terasa mengganggu di gigi. Di kalangan pribumi wartawan begitu terkenal Parada Harahap kompetisi menjadi sasaran interogasi panjang setelah penangkapannya Jumat pagi’.

Bataviaasch nieuwsblad, 19-01-1935: ‘Bintang Timur memiliki sirkulasi lebih dari 3000 eksemplar’.

Parada Harahap tidak terbukti di pengadilan. Kunjungan Parada Harahap ke Jepang ternyata tidak hanya pers dan pemerintah yang berang, tetapi juga sejumlah oknum wartawan mengusulkan agar Parada Harahap dipecat dari Perdi. Kunjungan Parada Harahap ke Jepang ada yang merasa nyaman tetapi juga ada yang merasa tidak tenang. Semua peluru seakan diarahkan kepada Parada Harahap. Melihat pigur Parada Harahap coba dihancurkan dari semua arah, pihak Jepang mulai buka suara.

Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 21-01-1935: ‘Parada Harahap geroyeerd? Parada Harahap dipecat? Kita belajar bahwabeberapa wartawan pribumi ke administrasi pusat federasi wartawan pribumi, di Jogja miliki dengan permintaan Perdi lakukan untuk wartawan Parada Harahap, yang, seperti sudah diketahui, pada saat dalam langkah-langkah preventif masalah hak asuh malpraktek NV Bintang Hindia, yang ia direktur bertahun-tahun. Permintaan ini didasarkan pada pertimbangan bahwa PH akan dikenakan dirinya sebagai jurnalis tidak layak’.

De Indische courant, 26-04-1935 (Leiders, Pemimpin): 'Akhirnya, Mr Imamura Chusuke memberikan beberapa keterangan tentang beberapa pemimpin politik dan wartawan pribumi, yang jauh dari lengkap dan juga di sana-sini benar-benar salah. Berturut-turut, ia tidak menyinggung tuan-tuan Thamrin, Mohammad Hatta, Rais, Parada Harahap dan Saeroen setiap menggarisbawahi dan menyimpulkan pidatonya dengan cerita tentang organisasi Gerakan Nasional, yang belum bebas dari kesalahan. Jadi dia tidak menyinggung pengaruh gerakan Hitler disini, hanya untuk menyebutkan. kebodohan tunggali orang Belanda disini di Hindia. Kita tidak diberi waktu dan pergi meninggalkan tempat tanpa komentar, tapi kita harus takjub. Kami mendengar bahwa propaganda bersemangat ini bahkan belum diambil dirinya benar menginformasikan pemikiran tentang nilai sejarah Pan-Asia sejarah gerakan nasionalis di negara ini dan organisasi masa lalu dan sekarang dari kelompok masyarakat dan partai. Tidak bisa mencegah bahwa setiap orang dapat menyesuaikan diri peduli kehidupan rakyat, bahkan kebijakan penindasan pemerintah'.

Parada Harahap tetap tenang dan melenggang. Semua tuduhan tidak terbukti dan semua hasutan dianggap tanpa alas an. Kenyataannya Parada Harahap tetaplah editor Bintang Timoer.

De Indische courant. 04-11-1935: ‘De Bintang Timoer yang diberitakan Aneta 4 November bahwa hari Sabtu muncul kembali untuk pertama kalinya. Editor adalah Mr. Parada Harahap’.

Parada Harahap akan Melakukan Tour Java
Tunggu deskripsi lebih lanjut artikel ini


Parada Harahap Berkunjung ke Lampung

Parada Harahap Veteran Pemain Sepakbola

Parada Harahap Prihatin Kampung Halaman

Parada Harahap: BahasaIndonesia atauMelayu?

Parada Harahap Mendirikan  Tjaja Timur

Parada Harahap Dicalonkan untuk Volksraad

Parada Harahap Dukung M. Yamin Buat Partai

Parada Harahap, Komisaris  Bond van Inheemsche Dagbladdirecteuren"

Parada Harahap Keliling Djawa

Parada Harahap Wakil Presiden Perdi (Pensatoean Djoernalis Indonesia),

Parada Harahap Membuka Kantor Baru Tjaja Timoer

Parada Harahap: Indonesische Republikeinsche pers Dikunjungi Bataviasche republ. pers

Parada Harahap Menerbitkan Koran Detik di Bukittinggi (masa agresi), Hatta Memanggil Parada dengan Sebutan ‘Om Harahap’

Parada Harahap, hoofdambtenaar van het ministerie NIT

Parada Harahap dan Wage Rudolf Soepratman

Parada Harahap Menerbitkan Buku „Kemerdekaan Pers''

Parada Harahap dalam Kongres Pers

Parada Harahap Mengumpulkan Buku Bacaan Bagi Anak Bangsa (pasca pengakuan kedaulatan RI)

Parada Harahap Hoofd Documentatie Kementerian Penerangan RI

Parada Harahap dalam Konferensi ILO

Parada Harahap dalam Konferensi Wartawan Indonesia (PWI) dan Federasi Perusahaan Koran (SPS)

Parada Harahap Mendirikan Akademi Wartawan
Parada Harahap, Memberikan Kuliah PNS

Parada Haraha Pendiri Kopertis (Perguruan Tinggi Swasta)

Parada Harahap dan Java Bode

Parada Harahap, Dekan School of Journalism

Parada Harahap dan Tiga Windu Sumpah Pemuda

Parada Harahap Menerbitkan (kembali) Bintang Timur

Parada Harahap dalam Mengisi Pembangunan

Parada Harahap Paling Terkenal, Dja Endar Moeda Mengapa Terabaikan dalam Sejarah Pers

Nona Mr. Aida Parada Harahap, Hakim Perempuan Pertama di Sumatra

Parada Harahap, Sekjen Kadin Memimpin Misi Dagang dan Industri Indonesia ke 14 Negara

Parada Harahap Mantu ‘Pabagashon Boru’

Penutup

Ringkasan (sejarah) perjalanan pers Parada Harahap

Beberapa tokoh pers Sumatra Utara yang telah memberi kontribusi yang luar biasa dalam perjuangan kemerdekaan


Artikel terkait:




 

Bersambung ke:

Sejarah Marah Halim Cup (1): Sepakbola Indonesia Bermula di Medan

Sejarah Marah Halim Cup (2): Langkat Sportclub, Klub Sepakbola Kedua di Sumatera Utara

Sejarah Marah Halim Cup (3): Suporter Sepakbola Medan Dukung Klub ke Bindjei dan “Menteri Olahraga” Belanda Berkunjung ke Deli

Sejarah Marah Halim Cup (4): Majalah Pertama Olahraga Indonesia, Edisi Perdana Melaporkan Sepakbola di Medan

Sejarah Marah Halim Cup (5): Kompetisi Sepakbola Medan Kali Pertama Bergulir, Klub Tapanoeli Didirikan

Sejarah Marah Halim Cup (6): Klub Baru, Kompetisi Baru dan Deli Voetbal Bond Dibentuk

Sejarah Marah Halim Cup (7): Kompetisi Deli Voetbal Bond 1908 Menjadi Tiga Divisi

Sejarah Marah Halim Cup (8): Dr. Alimoesa, Pemain Sepakbola di Pematang Siantar, Anggota Volksraads Pertama dari Sumatra Utara

Sejarah Marah Halim Cup (9): Klub Sepakbola Bermunculan di Luar Deli, Kompetisi Bergulir Lagi

Sejarah Marah Halim Cup (10): Sepakbola di Perkebunan Berkembang Pesat, ‘Bond’ Baru Bertambah, Kejuaraan Antarbond

Sejarah Marah Halim Cup (11): Oost Sumatra Voetbal Bond (OSVB) Didirikan, Tapanoeli Voetbal Club Berkompetisi Kembali

Sejarah Marah Halim Cup (12): Mathewson-Beker, Cikal Bakal Marah Halim Cup? Suatu Wawancara Imajiner dengan Marah Halim Harahap

Sejarah Marah Halim Cup (13): Kajamoedin gelar Radja Goenoeng, Pribumi Pertama Anggota Gementeeraad Medan; Sepakbola Tumbuh, Pendidikan Berkembang

Sejarah Marah Halim Cup (14): GB Josua, Tokoh Pendidikan Medan dan Presiden Sahata Voetbal Club Sebagai Ketua Perayaan 17 Agustus 1945 dan Ketua Panitia PON III

Sejarah Marah Halim Cup (15): Parada Harahap, Pers dan Sepakbola, Pertja Barat vs Pertja Timor, Pewarta Deli vs Sinar Deli, Benih Mardeka vs Sinar Merdeka

Baca juga:

Sejarah Kota Medan (13): Kerajaan Aru di Sungai Barumun, Kerajaaan Batak, Kerajaan Islam Pertama, Suksesinya adalah Kerajaan Batak Deli (di Deli Toea) dan Kesultanan Melayu Deli (di Laboehan Deli)


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe.

2 komentar:

Ando Harapan Gurning mengatakan...

Informasi yang luar biasa. Saya sangat senang membaca artikel ini. Apakah mempunyai koran-koran lama yang berkaitan dengan gerakan feminis di Sumatera-utara (Mandailing, Angkola, Toba dan Karo)?
Salam

Akhir Matua Harahap mengatakan...

Saya belum mengeksplorasi tentang topik feminism. Sejauh ini saya tidak/belum memilikinya, jika saya temukan saya akan kirimkan. Untuk soal feminism di Sumatra Utara khususnya di daerah Batak seharusnya dilihat dari sisi adat. Adat dalihan na tolu: kahanggi, mora dan anakboru (di Mandailing dan Angkola) yang juga dengan nama yang berbeda di Toba, Karo, Simalungun pada hematnya merupakan esensi dari feminism. Hal ini yang mendasari desertasi Masdoelhak (Nasution) di Utrecht tahun 1940 yang berjudul De plaats van de vrouw in de Bataksche Maatschappij’ (Tempat perempuan dalam masyarakat Batak). Desertasi ini bisa diakses di internet. Mungkin idenya karena Ida Loemongga, seorang anak perempuan Batak bisa meraih PhD tahun 1930 di Leiden (doktor perempuan pertama Indonesia). Perempuan Batak yang menonjol adalah Ida Nasution, pendiri Persatuan Mahasiswa Universiteit van Indonesia 1947 dan Mr Aida Dalkit Harahap, perempuan ahli hukum pertama dari Batak, 1956. Semua itu timbul karena sudah ada emansipasi dari awal yg dapt ditelusuri dari core culture dalihan na tolu. Tks