**Fakta-fakta baru yang belum pernah dilaporkan sebelumnya.
Mochtar Lubis (1956) |
Garis silsilah tokoh pers dari Padang
Sidempoean di dalam peta pers nasional adalah garis lurus yang tercetak tebal yang
kapabilitasnya selalu berada di peringkat atas. Tokoh pers Padang Siempoean antara yang satu dengan yang lainnya terdapat
garis continuum, sambung menyambung tanpa ada putusnya. Tokoh pers nasional
dimulai dari Dja Endar Moeda yang memulai kiprah pertama kali tahun 1897 yang
diangkat sebagai editor pribumi pertama dalam pers Hindia Belanda di Padang. Ini
berarti pada periode pertama (sebelum tahun 1900) Dja Endar Moeda adalah satu-satunya
pribumi yang memiliki kapabilitas dalam pers era kolonial (Nederlansch Indie).
Editor kedua yang diangkat adalah Tirto Adhi
Soerjo di Batavia. Ketika Tirto Adhi Soerjo diangkat sebagai editor tahun 1902,
Dja Endar Moeda sudah menjadi pemilik koran Pertja Barat dan sekaligus pemilik
percetakannya. Editor ketiga yang diangkat adalah Mangaradja Salamboewe pada
tahun 1903 pada Pertja Timor di Medan. Mangaradja Salamboewe di koran Pertja
Timor menjadi editor hingga tahun 1908. Selama lima tahun di Pertja Timor koran
Sumatra Post (di Medan) dan Batavia Nieuwsblad (di Batavia) mengakui kecerdasan
dan keberanian Mangaradja Salamboewe. Pada masa kejayaan Mangaradja Salamboewe
ini, situasi dan kondisi yang dialami oleh Tirto Adhi Soerjo tidak menetap dan
beberapa kali gonta-ganti media. Baru pada tahun 1908 Tirto Adhi Soerjo dan
kawan-kawan mendirikan koran Medan Prijaji di Batavia. Dengan demikian
kapabilitas tertinggi pada periode kedua (1901-1910) tetap pada Dja Endar
Moeda, disusul oleh Mangaradja Salamboewe lalu baru Tirto Adhi Soerjo.
Statistik entri nama tokoh pers Indonesia dalam koran Belanda |
Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar |
***
Peringkat kapabilitas tokoh pers nasional setiap era (periode) |
Dengan demikian, sejak diakuinya wartawan
pribumi dalam pers Hindia Belanda (1897) hingga pers Indonesia Merdeka (pasca
kemerdekaan) wartawan asal Padang Sidempoean selalu berada dalam top
performance dan berada di peringkat teratas pada setiap periode (era): De Pionier
adalah Dja Endar Moeda (mulai 1897), kemudian disusul The King of Java Press, Parada
Harahap (mulai 1917) dan pada berikutnya adalah The Last of the Mohicans of
Indonesian Journalism, Mochtar Lubis (1945). Tiga wartawan pribumi asal Padang
Sidempoean ini tidak tertandingi pada setiap eranya masing-masing. Itu good
newsnya. Karena itu, kepada ketiga wartawan ini seharusnya mendapatkan
pernghargaan yang pantas. Namun kenyataannnya tidak satu pun dari mereka yang
menerima perhargaan yang sepatutnya dari Negara. Itu bad newsnya. Bahkan,
Mochtar Lubis yang dapat dianggap sebagai The Musketeer in International Press
hanya menerima penghargaan dari Negara sebatas diberi hadiah penjara. Itu saja,
lain tidak!
Untuk bahan renungan bagi anak cucu bangsa
Indonesia, mari disimak kronologis perjalanan karir Mochtar Lubis di pentas
pers nasional dan pers internasional. Sumber data dan informasi diambil dari berbagai
surat kabar tempo doeloe. Disajikan semua bahan secara lengkap berikut nama koran
dan tanggal terbitnya agar pembaca dapat menelusurinya kembali dan yang lebih
penting dapat dibandingkan dengan isi tulisan-tulisan lain yang menyangkut
Mochtar Lubis.
Mochtar Lubis lahir di Sungai Penuh, Kerinci, Jambi
Mochtar Lubis lahir di Sungai Penuh, Kerinci,
Jambi pada tanggal 7 Maret 1922. Ayah Mochtar Lubis bernama Marah Hoesin gelar
Radja Pandapotan adalah pegawai pemerintah yang pindah dari satu tempat ke
tempat lainnya, antara lain Padang Sidempoean, Selat Pandjang, Medan (1907) dan
Kerintji. Radja Pandapotan dipindahkan
ke Soengei Penoeh ibukota Kerintji tahun 1915 sebagai schrijver (penulis) dan
terus berkarir di wilayah Kerintji hingga menjadi districthoofd (demang) pada tahun 1937.
Mochtar Lubis sendiri adalah anak keenam dari sepuluh bersaudara. Ayahnya
berasal dari huta Muara Soero, dekat Kotanopan, afdeeling Padang Sidempoean.
De Sumatra post, 30-11-1907: ‘Marah Hoesin gelar Radja
Pandapotan diangkat menjadi PNS penulis di kantor Residen di Medan, CPNS
penulis di kantor Controleur di Selat Pandjang (yang mana sebelumnya adalah
kepala komisi) bernama Marah Hoesin gelar Radja Pandapotan’.
De Sumatra post, 16-02-1915: ‘van Soengei Penoeh
[Korintji] met een…door den inlandschen klerk van den controleur, Radja
Pandapotan..’.
Bataviaasch nieuwsblad, 11-01-1917: ‘Moeara Tembesi yang
terletak sungai Tembesi.. helpers aangewezen de beide onderwijzers, de
vaccinaleur en de gewezen hulpschrijver (asisten penulis) Pandapotan..’.
Bataviaasch nieuwsblad, 30-08-1937: ‘Marah Hoesin gelar
Radja Pandapotan menjadi kepala distrik (districthoofd) di Kerintji, Sumatra’s
Westkust’.
***
Mochtar Lubis (185 cm) |
Mochtar Lubis menulis sejak di bangku sekolah dasar
Mochtar Lubis memulai pendidikan di sekolah rakyat.
Namun hanya selama setahun kemudian pindah karena dibukanya sekolah dasar
berbahasa Belanda (HIS) empat tahun di Sungai Penuh (selesai tahun 1936). Di
sekolah inilah Mochtar Lubis mulai kegiatan sastra dengan belajar menulis
cerita dan mengirimnya ke surat kabar Sinar Deli. Setelah Kemudian masuk sekolah
ekonomi Indonesische Nationale School (INS) di Kayutanam (selesai tahun 1940).
Mochtar Lubis hijrah ke Batavia dan bekerja
pada Bank Factory. Ketika Jepang mengambil alih dari Belanda, Mochtar Lubis
berhenti bekerja dan mencoba mencari pekerjaan baru. Oleh karena sudah memiliki
bakat menulis, Mochtar Lubis lalu bekerja sebagai redaktur Radio Militer
Jepang. Setelah kemerdekaan, Mochtar Lubis menjadi wartawan kantor Berita
Antara.
Kantor Berita Antara didirikan pada tanggal 13 Desember
1937 oleh AM Sipahoetar, Soemanang, Adam Malik dan Pandoe Kartawigoena. Sebagai
Direktur pertama adalah Soemanang dan Adam Malik sebagai Redaktur (wartawan
muda, usia 17 tahun pada waktu itu) merangkap Wakil Direktur; Pandoe
Kartawigoena sebagai Administratur serta dibantu wartawan AM Sipahutar. Tahun
1942 kantor berita Antara berkolaborasi menjadi kantor berita Domei (Adam Malik
dan AM Sipahutar tetap bertugas). Setelah Jepang takluk (bom Hirosima dan
Nagasaki) kantor berita Antara eksis kembali (seperti semula) dan dilanjutkan
oleh Adam Malik dan AM Sipahutar.
Pada masa kepemimpinan Adam Malik di Antara,
Mochtar Loebis masuk sebagai wartawan Antara. Namun tidak lama kemudian, posisi
Adam Malik digantikan oleh Mochtar Lubis karena kesibukan Adam Malik sendiri
dalam urusan republik. Pada saat Belanda datang kembali, situasi menjadi
berubah. Kantor berita Antara lalu ditutup oleh penguasa.
De tijd: dagblad voor Nederland, 21-07-1947: ‘Sepuluh jam
setelah penangkapan sejumlah anggota kantor berita Antara Indonesia dilakukan
konferensi pers. Mochtar Lubis, Direktur Antara, mengatakan: Belanda telah
memperlakukan kami dengan baik, pemancar kami diambil. Ketika kami ditangkap,
kami tegang. Keluhan utama bahwa mereka telah menyita mobil saya. Kemudian
kantor berita Antara ditutup’.
Alasan penutupan kantor berita ini tidak
diketahui. Mochtar Lubis kemudian muncul namanya di terbitan baru bernama Masa
Indonesia. Mochtar Lubis dalam terbitan baru berada dalam jajaran redaktu.
Selanjutnya, Mochtar Lubis kemudian menjadi editor kepala dalam majalah
bergambar Merdeka, group koran Merdeka.
Het dagblad : uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te
Batavia, 12-08-1947: ‘Minggu lalu. edisi pertama dari koran pagi republik baru
di Batavia, bernama "Masa Indonesia Masa", subjudul "The Times
of Indonesia". Direktur editorial majalah adalah Mr Asa Bafagih, general
manager Mr MT Hoetagaloeng, penerbit adalah Mr BM Diah Dalam redaksi sekarang
termasuk Tuan Soemadi dan Mochtar Lubis. Majalah ini juga termasuk kolom berita
domestik singkat dalam bahasa Inggris’.
Het dagblad : uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te
Batavia, 13-01-1948: ‘Selain koran republican Merdeka terbit majalah berita
bergambar bernama Merdeka di Batavia, yang mana sebagai editor adalah Mochtar
Lubis’.
Het vrije volk : democratisch-socialistisch dagblad,
27-01-1948: ‘…sebagai wartawan Indonesia, Mochtar Lubis (di majalah Merdeka)
telah menyatakan bahwa Republik akan mengajukan "enam poin" yang akan
digunakan di bawah ..verduidelijking ..der Komisi Jasa Baik… Dalam
"Merdeka" tulis Mochtar Lubis menambahkan’.
Mochtar Lubis dan Adam Malik Memimpin Kantor Berita
Antara
Namun tidak lama kemudian kantor berita
Antara diizinkan kembali beroperasi, Mochtar Lubis kiembali menjadi kepala
editor. Mochtar Lubis adalah salah satu wartawan yang sudah dikenal luas,
sebagaimana terungkap dalam surat pembaca.
Het dagblad: uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te
Batavia, 04-03-1948: ‘Berita Indonesia melaporkan bahwa kantor berita Republik,
Antara akan segera dibuka kembali yang berkantor di Batavia. Mochtar Lubis akan
termasuk dalam pimpinan, dan oleh karena itu, kantor berita akan melayani koran
republik, Merdeka’.
De vrije pers: ochtendbulletin, 02-05-1949: ‘..surat terbuka…pers
bebas.. Ini adalah tentang kehormatan kami sebagai tentara, martabat kita
sebagai Najie, pada hati nurani dicemarkan… pengalaman saya selama 30 bulan,
hanya sedikit dan dangkal… Itu percaya pada kebebasan sebagai Menselyk-hukum,
yang percaya pada akal dan keadilan sebagai tugas manusia. Saya menunggu
jawaban Anda. Di Amsterdam, di mana saya berasal, saya memiliki beberapa
rekan-rekan Anda bertemu selama dan setelah perang. Saya bertemu termasuk
Mochtar Lubis, salah satu tokoh terkemuka di pers republik di pihak keberadaan
Anda. Saya memiliki banyak kenangan indah dari mereka...’. Te Velde, April 26,
1949 Sgt. Maj. H.J. Reijn.
Sebagaimana wartawan Adinegoro yang telah
melakukan tugas jurnalistik internasional di Belanda baru-baru ini, Mochtar
Lubis juga melakukan yang sama tetapi dengan menggunakan saluran wancara via
telegram. Ini menunjukkan bahwa pers Indonesia sudah mulai menginternasional.
Het nieuwsblad voor Sumatra, 25-07-1949: ‘wawancara by
telegram, kepala editor Antara, Mochtar Lubis dengan Ho Chi Minh, pemimpin
gerakan komunis Vietminh (Vietnam, Indocina). Pemimpin mengatakan bahwa
kemungkinan bekerja sama dengan Prancis masih mungkin, jika Prancis memberikan
kemerdekaan dengan ketulusan. Dalam menanggapi pertanyaan lain, ia menyatakan
pendapatnya bahwa kemenangan Cina pengaruh besar pada situasi di Asia dan
mungkin dari seluruh dunia’.
Mochtar Lubis bersama wartawan yang lainnya
mendirikan organisasi wartawan Indonesia yang disebut Persatuan Wartawan Indonesia.
Dalam kepengurusan organisasi wartawa yang baru ini (setelah kemerdekaan)
Mochtar Lubis duduk sebagai komisaris (bersama Rosihan Anwar). Sebagai ketua,
diangkat wartawan senior, Adinegoro (lihat di atas: Het dagblad: uitgave van de
Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 03-08-1949). Sementara itu, Mochtar Lubis
dan Adam Malik meresmikan kembali pembukaan kantor berita Antara.
Het nieuwsblad voor Sumatra, 19-08-1949: ‘Untuk menandai
pembukaan kembali kantor berita republic, Antara di Batavia, hari Rabu, Adam
Malik, direktur dan Mochtar Lubis, pemimpin redaksi mengundang kolega dan
melakukan receptive di pavillioen Hotel des Indes’.
Mochtar Lubis dan Adam Malik adalah estafet
insan pers dari Padang Sidempoean. Mochtar Lubis berasal dari Hoeta Muara Soero
dan Adam Malik dari Hoeta Poengkoet sedang Parada Harahap dari Hoeta
Paragaroetan. Parada Harahap, sang
abang, yang kini telah menjadi pemilik koran berbahasa Belanda (Java Bode)
sangat bangga kiprah para adik-adiknya yang telah turut membangun pers internasional
di Indonesia. Sebagaimana Adinegoro (adik kemanakan) sebelumnya yang telah
bertugas jusrnalistik di luar negeri, kini giliran adik sendiri yang
melakukannya. Jika dirunut ke belakang, jika Dja Endar Moeda masih hidup, akan
turut bangga pula (Dja Endar Moeda adalah editor pribumi pertama yang memulai
kiprahnya di Padang, Sumatra’s Westkust, 1897).
Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 05-01-1950: ‘Adam Malik dan Mochtar Lubis, masing-masing
direktur dan kepala departemen internasional Antara segera meninggalkan (tanah
air) ke beberapa negara di Asia Tenggara seperti Thailand dan Burma untuk
mempelajari situasi di sana dan untuk bertukar berita dengan beberapa kantor
berita di negara-negara tersebut’.
Mochtar Lubis di Korea |
Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode, 22-11-1950: ‘Editor
"Indonesia Raya" (Jakarta), Mr. Mochtar Lubis, yang berada di Korea,
dalam editorialnya memberikan kesan
sehubungan dengan situasi di Korea’.
Mochtar
Lubis wartawan terbaik versi Persatuan Wartawan Indonesia, Wartawan asal Padang
Sidempoean yang terbaik menurut pers asing (Eropa/Belanda)
Dja Endar Moeda dulu (1900) pernah mengatakan
bahwa pendidikan dan jurnalistik sama pentingnya. Dja Endar Moeda kala itu
adalah mantan guru dan memiliki profesi baru di bidang jurnalistik sebagai
pemilik sekaligus editor Pertja Barat di Padang. Karena itu statetement
dibuktikan dengan perlunya menambah jumlah media buat masyarakat agar penduduk tercerdaskan. Di dua bidang
itu, msalah penghargaan adalah sangat esensial. Jika di sekolah diidentifikasi
siapa yang menjadi pelajar terbaik, maka setali tiga uang di jurnalistik juga
siapa yang terbaik. Sebagai siswa sekolah guru, Dja Endar Moeda adalah yang
terbaik di masa awal karir guru Charles van Ophuijsen. Juga sebagai
jurnalistik, Dja Endar Moeda adalah yang terbaik sebagaimana dirinya
diapresiasi dan diminta investor Belanda menjadi editor Pertja Barat (1897).
Dalam fase berikutnya Mangaradja Salamboewe yang menerima
pujian dari pers Belanda/Eropa. Perhatikan berikut ini: Koran Sumtra Post yang
dikutip juga oleh Bataviaasch nieuwsblad mengakui bahwa Maharadja Salamboewe
memiliki keingintahuan yang tinggi, memiliki kemampuan jurnalistik yang hebat.
Koran ini juga mengakui bahwa Maharadja Salamboewe memiliki pena yang tajam dan
memiliki kemampuan menulis yang jauh lebih baik disbanding wartawan-wartawan
pribumi yang ada. Hebatnya lagi, masih pengakuan koran ini, Maharadja
Salamboewe selain sangat suka membela rakyat kecil, Maharadja Salamboewe juga
sering membela insane dunia jurnalistik baik wartawannya maupun korannya. Kami
juga respek terhadap dia, demikian diakui oleh koran Sumatra Post yang juga
diamini oleh Koran Bataviaasch nieuwsblad. De Sumatra post edisi 29-05-1908
memberitakan kematian wartawan pemberani ini. Dalam berita koran ini, editor
juga mengungkapkan rasa duka cita yang dalam, karena Maharadja Salamboewe tidak
hanya membela rakyatnya tetapi juga dunia jurnalistik (yang sebagian besar
wartawan pada waktu itu berbagsa Belanda/Eropa). Editor ini melanjutkan
bahwa "Di dalam seratoes orang priboemi tidak ada satoe jang begitoe
brani”. Saatmana Mangaradja
Salamboewe di waktu pemakamannya hampir semua wartawan Medan hadir termasuk
yang berbangsa Belanda. Abdul Hasan gelar Maharadja Salamboewe dimakamkan di
tempat pemakaman Jalan Sungai Mati, demikian Sumatra Post melaporkan.
[Mangaradja Salamboewe menjadi editor Perja Timor selama lima tahun
(1903-1908)].
Pada fase berikutnya insan jurnalistik
pribumi terbaik diberikan kepada Parada Harahap. Pers Eropa/Belanda
mengapresiasi kepiawaian Parada dalam bidang jurnalistik. Parada Harahap yang
baru dua tahun berkarir di Batavia (1925) yang sebelumnya tahun 1923 masih di
Padang Sidempoean (editor koran Sinar Merdeka) berani melawan editor Karel
Wjibrands dari Soerabaija HBL dengan judul ‘Indisch fascism: Het blanke front’
yang dilawan Parada Harahap, editor Bintang Hindia, yang menulis di Java Bode
tanggal 10 bulan ini dengan judul Kranten en Klanten (lihat (lihat De Indische
courant, 17-09-1925), Atas dasar itu, Europeescbe
pers memberi apresiasi sebagai wartawan terbaik kepada Parada Harahap (lihat De
Indische courant, 23-12-1925).
Kini (1951) giliran anak Padang Sidempoean
kembali mendapat apresiasi dari sesama sebangsa. Adalah Mohctar Lubis yang
pertama mendapat apresiasi di era kemerdekaan. Oleh karena pers asing nyaris
tidak ada lagi, maka yang memberikan sekarang adalah pers nasional.
Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 19-02-1951: ‘Pada jamuan makan malam Persatuan Wartawan
Indonesia lingkaran Jakarta, sebesar Rp. 1000,
kepada kepala redaksi Indonesia Raya, Mochtar Lubis, diberikan sebagai
pengakuan atas artikel berjudul "Kemiskinan di Korea". Penilaian ini
atas dasar pendapat para juri, yang terdiri dari Mr. Maria Ulfah Santoso,
Sjamsuddin Sutan Makmur dan Mr. Andi Zainal Abidin. Persatuan wartawan
menyelenggarakan PWI-Prijs 1950 untuk
tulisan yang terbaik dalam pencapaian jurnalistik pada tahun 1950’.
Dari rangkaian sejarah penilaian jurnalistik
pribumi mungkin semua ‘hadiah’ dimenangkan oleh anak-anak Padang Sidempoean.
Ini bukan mengada ada, bukti-bukti sudah disajikan dan dapat dikonfirmasi ke
sumber yang masih bisa dilacak dengan terang benderang di era teknologi informasi
masa kini. Tentang Tirto Adhi Soerjo hanya Pramoedya Ananta Toer yang
memberikan penilaian yang sangat berlebihan. Sumber hanya dapat dikonfirmasi
pada penilaian Pram sendiri dalam roman sejarahnya berjudul Sang Pemula.
Mangaradja Salamboewe dan Parada Harahap justru diapresiasi oleh pers asing
(kalau mau dikatakan itu musuh pada sudut pandang masa kini). Bahkan lawan
tanding Parada Harahap dalam beropini/polemik di surat kabar adalah Karel Wijbrands
yang notabene adalah guru jurnalistik dari Tirto Adhi Soerjo.
Pada masa kini hadiah jurnalistik dikenal
dengan sebutan ‘Adinegoro Award’. Hadiah jurnalistik tersebut mungkin hadir
untuk menggantikan PWI-Prijs. Bagaimana kalau dilakukan ‘kocok ulang’ mungkin
ada yang memilih ‘Dja Endar Moeda Award’, ‘Mangaradja Salamboewe Award’,
‘Parada Harahap Award’ atau ‘Mochtar Lubis Award’. Untuk Mochtar Lubis Award
sudah ada yang memulainya (lihat www.lspp.org).
Mochtar
Lubis dipanggil jaksa dan malah terbang ke Amerika Serikat untuk studi
jurnalistik
Mochtar Lubis dan Adinegoro sama-sama studi
ke luar negeri. Bedanya, Adinegoro studi ke Jerman atas biaya sendiri setelah
sekolahnya di Stovia gagal. Sedangkan Mochtar Lubis studi ke Amerika Serikat
atas biaya deplu AS.
De nieuwsgier, 02-03-1951: ‘Karena ada keluhan oleh
Presiden, diperintahkan oleh Jaksa Agung, ex officio, Mochtar Lubis redaktur
Indonesia Raya, Senin dipanggil oleh kepala jaksa A. Karim sehubungan dengan tulisan
dimana presiden adalah yang bertanggung jawab atas kematian banyak orang Indonesia
selama pendudukan’.
De nieuwsgier, 17-05-1951: ‘Pemimpin redaksi dari koran
Indonesia Raya, Mochtar Lubis, Jumat ada undangan dari Deplu Amerika Serikat berangkat
cuti untuk ke New Fork. Setelah tur orientasi di AS, Pak Lubis akan mengunjungi
beberapa negara di Eropa’.
De nieuwsgier, 28-05-1951: ‘Editor Indonesia Raya, Mochtar
Lubis adalah Zaterdag dari Djakarta ke New York, AS meninggalkan untuk suatu kunjungan
orientasi Mr. Mochtar Lubis termasuk negara Eropa. Pak Lubis akan melakukan sekitar
empat bulan’.
De vrije pers: ochtendbulletin, 28-05-1951: ‘Daftar
penumpang KLM, Sabtu. Berikut nama-nama penumpang (antara lain) Mochtar Lubis’.
De nieuwsgier, 11-06-1951: ‘Mochtar I.ubis, editor dan
co-direktur Indonesia Raya, pada tanggal 1 Juni tiba di Washington untuk orientasi
selama empat belas minggu, menurut US Information Service menyatakan, dia penuh
pujian. undang-undang tenaga kerja Amerika Serikat yang mengatur kondisi kerja
wanita dan anak-anak. Lubis melakukan kunjungan ke Amerika Serikat atas
undangan Departemen Luar Negeri AS. Bapak Sujono Surjotjondro, koresponden
asing mingguan Mimbar Indonesia, yang sama diundang untuk mengunjungi Amerika
Serikat, mengatakan itu menunjukkan kepadanya bahwa Amerika Serikat ada minat
yang besar dalam masalah timur dan selatan Asia. Bapak. Surjotjondro, baru saja
menyelesaikan studi di Universitas Yale dan sekarang akan membuat studi tiga
bulan. Penelitian di Universitas Yale telah memungkinkan mendapat hibah dari
Rockefeler Foundation’.
Het nieuwsblad voor Sumatra, 29-08-1951: ‘Dua wartawan
dari Surabaya, Tan Poh Khwat dari Pewarta dan A. Aziz dari Suara Rakyat Minggu
dari Jakarta berangkat untuk kunjungan empat bulan ke AS, di mana mereka akan
mempelajari publisitas. Mereka termasuk kelompok lima wartawan yang dibayar
oleh Departemen Luar Negeri AS ke AS. Beberapa minggu yang lalu, Mochtar Lubis,
editor Indonesia Raya meninggalkan Jakarta, BM Diah dari Merdeka dan Sanjoto
dari Pedoman akan mengikuti dalam waktu enam minggu, Layanan Informasi AS di
Jakarta mengumumkan’.
Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 30-08-1951: ‘The hoofdredacter dari Indonesia Raya, Mochtar
Lubis, Jumat akan melakukan sebuah wawancara dengan program Indonesia dari
Voice of America’.
Mochtar Lubis, ketua International Press Institute (IPI) chapter
Indonesia
Lawatan wartawan pribumi/Indonesia setiap era
memiliki cerita sendiri-sendiri. Pada era awal Dja Endar Moeda diundang Fokker
ke Belanda (1903). Pada era Parada Harahap diundang ke Jepang (1932). Pada era
Mochtar Lubis diundang oleh International Press Institute (IPI). Uniknya,
ketiga wartawan beda generasi asal Padang Sidempoean ini masing-masing menjadi
kepala rombongan.
Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 30-01-1952: ‘Misi goodwill untuk Burma oleh kabinet sebagai
berikut: Ketua, Menteri Leimena; Wakil Ketua, Sultan Hamengku Buwono;
Sekretaris Jenderal, Ms Maria Ulfah Santoso. Wartawan: Rosihan Anwar (Pedoman),
Mochtar Lubis (Indonesia Raya) Dajat Hardjahkusuma (Antara), H. Rondonuwu
(Pedoman Rakjat, Makassar). Diperkirakan misi yang berangkat sekitar 20
Februari’.
Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 28-02-1952: ‘Atas prakarsa surat kabar Merdeka, Pedoman,
Abadi dan Indonesia Raya, hari Selasa di Jakarta dibentuk sebuah komite untuk
International Press Institute. Komite ini terdiri dari: Mr. Mochtar Lubis
(Indonesia Raya) sebagai ketua, S Tasrif (Abadi) sebagai sekretaris, BM Diah
(Merdeka) sebagai bendahara dan Rosihan Anvvar (Pedoman) sebagai auditor hokum.
International Press Institute (IPI) bertujuan, antara lain, mendorong untuk adanya
menekan pers. IPI berkantor pusat berada di Paris dan mengadakan pertemuan
tahunan dan menawarkan bagi wartawan Indonesia untuk turut hadir. Organisasi
ini telah telah menerima undangan’.
De nieuwsgier, 09-05-1952: ‘Hari Minggu berangkat tiga
wartawan Indonesia yaitu Bapak Mochtar Lubis (Indonesia Raya), S. Tasrif (Abadi)
dan Rosihan Anwar (Pcdoman) ke Paris untuk menghadiri rapat umum pertama dari
International Press Institute. Ini akan menjadi pertama kalinya bahwa wartawan
Indonesia untuk berpartisipasi dalam konferensi wartawan internasional. Lebih
lanjut perwakilan Indonesia akan setelah berlangsung konferensi, yang diselenggarakan
dari 14 sampai 16 Mei, untuk mengunjungi negara-negara Eropa Tengah’.
Mochtar
Lubis, The Rising Star diajak bergabung ke grup Bintang Timur oleh Parada
Harahap, The King of Java Press
Parada Harahap sebelum perang (era colonial
Belanda) adalah The King of Java Press, pemilik percetakan dan enam media. Setelah
selesai parang (pangakuan kedaulatan RI), Parada Harahap mengakuisi koran
berbahasa Belanda, Java Bode pada tahun 1950. Lalu kemudian bersama
teman-temannya mendirikan kembali koran miliknya Bintang Timoer, yang dulu
sangat Berjaya di era Belanda. Percetakan dan penerbit Bintang Timoer dengan
manajemen baru yang sekarang, juga akan menerbitkan majalah (Lukisan Dunia) dan
koran berbahasa Inggris (Times of lndonesia). Yang menjadi redaktur koran
berbahasa Inggris ini adalah Mochtar Lubis.
De nieuwsgier, 17-01-1953: ‘di Djakarta, penerbitan dan
percetakan perusahaan baru yang didirikan dengan nama. Bintang Timur. Modal
saham ditetapkan sebesar Rp. 1.000.000.- yang disetor Rp. 500.000.-. Sebagai
CEO adalah Mr Parada Harahap, yang saat ini difungsikan di Departemen
Pendidikan. Yang menjadi komisaris adalah Mr. MT Hutagalung (Komisaris Utama), serta
Mr. JK Panggabean (CEO NV Piola Handelsmaatschappij), Tuan Andjar Asmara dan MT
Djody Gondokusumo sebagai anggota komisaris. Perusahaan baru ini akan menerbitkan
koran dan majalah non-politik yang obyektif. Sebagai langkah pertama, pada awal
Januari isu percobaan majalah Lukisan Dunia yang dikeluarkan yang dimulai, pada
Februari akan muncul secara teratur, sekarang sedang mempersiapkan edisi baru
koran dengan nama Bintang Timur, yang akan muncul pada Maret atau April.
Selanjutnya, NV juga akan menerbitkan The Times of lndonesia. Staf editorial adalah
Pak Mochtar Lubis dan Hafner Jr. Semua terbitan akan dicetak di percetakan The
Union. Kantor akan berlokasi di gedung Uni’.
Untuk sekadar mengingatkan kembali: The Times
of lndonesia bukanlah Koran baru. Sebelumnya Koran ini dibawah Mr Asa Bafagih sebagai editor, Mr MT
Hoetagaloeng sebagai pemimpim umum dan Mr BM Diah sebagai penerbit (lihat Het
dagblad : uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 12-08-1947).
Dalam manajemen Bintang Timoer Group, Mr MT Hoetagaloeng bertindak sebagai
Komisaris Utama. Ini berarti The Times of lndonesia dibawa oleh Mr MT
Hoetagaloeng. Sementara itu, Bintang Timur adalah koran yang pernah Berjaya di
era Belanda (terbit pertama kali 1930, pimpinan Parada Harahap) sekarang ingin
dihidupkan kembali. Sedangkan majalah Lukisan Dunia adalah baru sama sekali.
Hubungan Parada Harahap dengan Mochtar Lubis sangatlah
dekat. Parada Harahap (lahir 1899) adalah mentor dari Adam Malik, Mochtar Lubis
dan Sakti Alamsjah (di bidang jurnalistik). Jangan lupa: Parada Harahap juga
adalah mentor dari Soekarno dan M. Hatta (di bidang politik). Parada Harahap
adalah orang pribumi pertama ke Jepang (1932), selama pendudukan Jepang,
aktivitas Parada Harahap tidak diketahui tetapi besar kemungkinan sangat dekat
dengan pimpinan pendudukan Jepang. Yang jelas menjelang kemerdekaan, Parada
Harahap adalah anggota BPUPKI (Badan Penyilidik Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia) yang dirancang oleh Jepang.
Adam Malik (lahir 1917), Mochtar Lubis (1922) dan Sakti
Alamsjah (1922) selama pendudukan Jepang
bekerja di broadcast militer Jepang. Adam Malik pada tahun 1937 bersama
teman-temannya mendirikan kantor berita Antara. Kantor berita pertama pribumi
didirikan oleh Parada Harahap tahun 1925 yang mempekerjakan WR Supratman
sebagai wartawannya (WR Supratman adalah penggubah lagu Indonesia Raya). Parada
Harahap adalah sekretaris PPPKI yang menyelenggarakan kongres pemuda 1928 yang
untuk pertamakali lagu Indonesia Raya diperdengarkan. Sekadar diketahui penciptaan
lagu Indonesia Raya ini dilakukan lewat lomba. Juara pertama adalah WR
Supratman dan runner up adalah Nahum Situmorang. Soal siapa yang pemenang
adalah masalah lain, tetapi yang jelas kampong Parada Harahap dan Nahum Situmorang
sangat berdekatan. Nahum Situmorang, lahir di Sipirok, 14 Februari 1908,
tetangga dari Prau Sorat, kampong dari Sakti Alamsjah (kelak menjadi pendiri
Pikiran Rakyat Bandung). Singkat kata: Parada Harahap adalah tokoh Padang
Sidempoean di Batavia yang paling berpengaruh, pengusaha media mantan radja
delik pers yang keberaniannya nanti diteruskan oleh Mochtar Lubis.
Dalam perjalanannya, tahun 1957 koran Bintang
Timur ini akhirnya berhenti karena dibreidel bersama sejumlah koran lainnya di
Jakarta (termasuk Java Bode milik Parada Harahap). Ketika Bintang Timur
diizinkan untuk terbit lagi, manajemen lama tidak ingin melanjutkannya lagi dan
kemudian dijual. Koran ‘perjuangan’ di masa era Belanda ini kemudian menjadi
bagian dari propaganda partai komunis dengan editor eksekutif Pramoedya Ananta
Tour. Setelah peristiwa G30 S/PKI, Bintang Timur dilarang terbit dan hilang
untuk selamanya. Koran, Java Bode diizinkan terbit lagi, namun tidak lama Java
Bode tahun 1958 dilarang terbit (karena alasan koran berbahasa Belanda).
Mochtar Lubis mengingat kembali Multatuli (mantan
controleur di Natal yang membela penduduk Mandheling en Ankola)
Mochtar Lubis tentu tidak asing baginya who
is who Multatuli. Nama Multatuli adalah nama lain dari Eduard Douwes Dekker (2
March 1820 - 19 Februari 1887). Pengarang novel terkenal, Max Havelaar (1860).
Novel ini berkisah tentang perlakuan buruk para penjajah terhadap orang-orang
pribumi di Hindia Belanda. Kata multatuli (dari bahasa Latin, multa tuli) yang
artinya ‘banyak yang aku sudah derita’. Penderitaan pertama Eduard Douwes
Dekker adalah melihat langsung penderitaan yang dialami penduduk Mandheling en
Ankola (kampong asal dari Parada Harahap, Adam Malik, Sakti Alamsjah dan
Mochtar Lubis).
Eduard Douwes Dekker pertama kali diangkat pemerintahan
colonial sebagai pejabat pemerintah, sebagai controleur tahun 1842 dan
ditempatkan di kota pelabuhan Natal. Sementara sejak 1838 di afdeeling
Mandheling en Ankola sudah dilaksanakan budidaya kopi. Setahun sebelum
kedatangan Dekker, tahun 1841 dua controleur di tempatkan, yakni FW. Godin di
distrik Oeloe en Pakanten dan VPJ Happe di distrik Ankola. Ketiga controleur
ini menjadi pelaksana budidaya kopi. Dekker di hilir (Natal) untuk memantau pintu masuk distribusi (input dan output), di
hulu Godin di Oeloe en Pakanten dan
Happe di Ankola. Bisa dibayangkan bagaimana mengangkut input dan output dengan
cara dipikul dari Laroe ke Natal melewati gunung yang terjal, dingin dan sangat
jauh. Banyak yang mati di tengah jalan karena kelelahan. Sempat terjadi
pemberontakan tetapi dengan mudah diredam dengan senjata (sebagian penduduk
melakukan eksodus ke Semenanjung Malaya). Kejadian ini dilihat sendiri oleh
Dekker dan Dekker sendiri berbalik justru melindungi penduduk dan kerap menjadi
tempat curhat para pemimpin penduduk yang rakyatnya sangat menderita. Atas
simpati Dekker ini terhadap penduduk yang menderita, dianggap pemerintah
membelot lalu Dekker dicopot dan diambang-ambingkan oeleh pemerintah di Padang
hampir setahun.
Rumah Multatuli di Natal 1842 (foto 1910) |
Pada tahun 1953, Eduard Douwes Dekker alias
Multatuli sudah meninggal 66 tahun lalu. Peringatan untuk pertama kali atas
Multatuli oleh pribumi, bagi Mochtar Lubis barangkali lebih ingat kejadian
tahun 1843 saat Eduard Douwes Dekker dicobat dari jabatannya karena ‘membela’
penduduk Mandheling en Ankola, yang notabene adalah kakek moyangnya. Nilai
peringatan Multatuli ini bagi Mochtar Lubis lebih dari pada sekadar peringatan
biasa.
Het nieuwsblad voor Sumatra, 19-02-1953: ‘Baru-baru ini,
atas inisiatif dari Badan Musjawarat Kebudajaan Nasional (dewan konsultatif
untuk budaya nasional) sebuah komisi (herdenkingscomité) didirikan di Jakarta
dalam rangka memperingati fakta bahwa 66 tahun yang lalu Multatuli sudah
meninggal. Komite yang diketuai oleh Bapak Mochtar Lubis, duduk sebagai komisi,
yakni: Mr Joebaar Ajoeb, Armijn Pane, dr. Ir. S.Udin, Pramoedya Ananta Toer, HB
Jasin, Achdiat K.Mihardja, Buyung Saleh dan RF Sumarto. Menurut program,
kemarin pukul 20.00 dilakukan sebuah upacara peringatan yang akan diadakan di
gedung proklamasi di Jalan Pegangsaan Timur 56, dengan beberapa kutipan dari
novel Multatuli akan dibacakan. Hari ini pukul 21:30-22:00, RRI Jakarta akan
menyiarkan hasil reportase dari peringatan tersebut’.
Mochtar Lubis menerbitkan Novel Pertama
Mochtar Lubis awalnya sebagai guru, lalu
berpindah profesi sebagai pegawai bank swasta. Di masa pendudukan Jepang,
Mochtar bekerja di broadcast militer Jepang. Pasca kemerdekaan Mochtar Lubis
menjadi redaktur kantor berita Antara. Pada saat Belanda kembali, Mochtar Lubis
ingin mengangkat senjata, tetapi dilarang Adam Malik (bosnya di Antara), karena
pena lebih tajam dari senjata. Dari sini karir Mochtar Lubis di bidang
jurnalistik melesat.
Di sela-sela tugas jurnalistik, Mochtar yang
memiliki bakat mengarang ditekuninya kembali. Mochtar Lubis sejak sekolah dasar
sudah aktif menulis dan mengirim tulisannya ke koran Sinar Deli yang terbit di
Medan. Uf..Bagaimana itu bisa, sementara
Mochtar Lubis tinggal dengan orangtuanya di Sungai Penuh, Kerinci, Djambi. Itu
mudah dijelaskan. Tulangnya, Mangaradja Ihoetan sebagai gurunya dan mereka
kerap berkorespondensi antara Sungai Penuh-Medan. Mangaradja Ihoetan adalah
editor koran Sinar Deli.
Di Batavia, meski Mochtar Lubis sudah terbilang wartawan top, tetapi
keinginan untuk memperkuat kemampuan sastranya tidak pernah luntur. Sebagaimana
untuk memperkuat kemampuan jurnalistik, Mochtar Lubis memiliki mentor: Parada
Harahap. Untuk sastra, Mochtar Lubis tidak kekurangan mentor: Sanoesi Pane
(lahir 1905) dan Armijn Pane (1908). Keduanya lahir di Moeara Sipongi. Satu
lagi mentornya adalah Sutan Takdir Alisjahbana (lahir di Natal, 1908). Sanoesi
Pane dan Armijn Pane adalah abang-adik, ayah mereka bernama Soetan Pangoerabaan
Pane, seorang guru terkenal di Moeara Sipongi. Soetan Pangoerabaan Pane adalah
guru dari ayah Mochtar Lubis. Kini (1947) Mochtar Lubis ‘berguru’ ke anak-anak Soetan
Pangoertabaan Pane (Sanoesi Pane dan Armijn Pane).
Hasilnya terasa, Mochtar Lubis mengirm
cerpen-cerpennya ke majalah Mutiara dan Siasat sejak 1948. Kumpulan
cerpen-cerpen ini lalu dikumpulkan menjadi buku di bawah judul Si Jamal (terbit
1950). Sebagai mantan guru, keinginan mendidik muncul lagi yang disajikannya
dalam bentuk buku: Teknik Mengarang (1951). Pada tahun 1952, terbit novel
Mochtar Lubis berjudul Djalan Tak Ada Oedjoeng yang diterbitkan oleh Balai
Poestaka. Isinya mengenai kisah dalam suasana perang. Novel pertama ini, seakan
anggukan ‘siap bos’ dari Mochtar Lubis, ketika Adam Malik pernah bilang: ‘Anggi,
pena lebih tajam dari senjata’. Lihat itu, Bang Parada.
De nieuwsgier, 25-03-1953: ‘Mochtar Lubis. Djalan Tak Ada
Udjung. Balai Pustaka Jakarta. Muncul pada tahun 1948 hasil karya Mochtar Lubis
di majalah Indonesia, Mutiara dan Siasat, sejumlah cerita pendek, yang indah
dalam genre yang sama. Dia menggambarkan petualangan Si Djamal sangat antusias,
sangat energik, seorang pemuda yang sangat giat, seorang jenius dalam
kefasihan. Karunia kata dan ini hanya keterampilan ia digunakan untuk membujuk
lingkungannya dari keunggulan dan keahlian sendiri dalam berbagai profesi, yang
satu per satu dimulai ketika sebelumnya hilang’.
Yang menjadi redaktur di Balai Pustaka saat
itu adalah Sanoesi Pane. Novel Djalan Tak Ada Oedjoeng ternyata laris di
pasaran dan digemari oleh banyak kalangan. Novel ini tahun 1952 telah mendapat
penghargaan hadiah sastra dari BMKN. Badan BMKN adalah yang menyelenggarakan
Peringatan Multatuli. Novel Djalan Tak Ada Oedjoeng kelak diterjemahkan ke
bahasa Inggris dengan judul A Road with no End (1968) oleh A.H. Johns dan
diterjemahkan ke dalam bahasa Mandarin (1988). Novel ini sering dijadikan topik
tesis dan disertasi, baik di dalam maupun luar Indonesia.
Mochtar Lubis memimpin demonstrasi untuk Kebebasan Pers
Di era Belanda, sesungguhnya pers sangat
bebas. Akan tetapi pers yang melanggar akan dituntut dengan dalih delik pers,
Sang penguasa memanipulasi undang-undang yang ada untuk membungkam seorang
wartawan maupun medianya. Wartawan yang paling banyak terkena jaring delik pers
ini adalah Parada Harahap, lebih dari seratus kali dipanggil ke meja hijau dan
belasan kali dijebloskan ke penjara. Rupanya di era kemerdekaan ini, kebebasa
pers juga mulai diganggu oleh pemerintah. Dalih pemerintah adalah melindungi
hak-hak azasi manusia. Lantas para jurnalistik bereaksi dan melakukan
demonstrasi.
Mochtar Lubis memimpin demo untuk Kebebasan Pers |
Mochtar Lubis peraih juara cerita pendek
Reputasi Mochtar Lubis terus meroket. Namanya
sudah mulai melekat dengan koran Indonesia Raya, sudah dikenal di luar negeri
lewat International Press Institute, novelnya Djalan Tak Ada Oedjoeng sudah
diapresiasi tinggi (1952). Itu semua tidak membuat dirinya lupa daratan.
Mochtar tetap membumi, bahka berani turun ke jalan: memimpin langsung demo.
Setelah novelnya, kini (1953) cerpennya yang mendapat apresiasi.
De nieuwsgier, 26-08-1953: ‘Pameran karya yang
dilaksanakan oleh BMKN (Badan Musjawarah Kebudajaan Nasional). Dalam bagian
lain dari pameran ini adalah penialaian karya-karya sastra yang telah diberikan
oleh juri yang terdiri dari Mr. Bakri Siregar, Nur St Iskandar, Usman Effendi,
dan Buyung Saleh. Taslim Ali menerima
penghargaan yang memang layak untuk antologinya sastra dunia. Para pemenang
lainnya adalah penulis Pramoedya Ananta Toer untuk koleksi cerita dari Blora dan
Mochtar Lubis, dengan novelnya Djalan
Tak Ada Oedjoeng menerima hadiah, Utuy T. Sontani untuk dramanya, dan Mirah S.
Roekiah untuk puisi dalam koleksinya Tandus. Kami berharap pada waktunya untuk
kembali ke ini penghargaan sastra dan memberikan kesan itu dengan beberapa
terjemahan’.
De nieuwsgier, 10-02-1954: ‘Memenangkan penghargaan
cerita pendek majalah bulanan Kisah untuk cerita pendek. Putusan dari panel
juri yang telah memegang salah satu dari lusinan cerita pendek yang sejauh ini
muncul di majalah, itu yang terbaik. Artinya, mereka tidak bisa menemukan satu
cerita yang itu terbaik, ia menemukan empat cerita yang layak hadiah. Empat
orang yang beruntung masing-masing dengan Rp. 200.-, Vincent Mahieu untuk
ceritanya Santapan (V. Mahieu adalah nama lain dari penulis yang di bawah belum
nama lain, Tjalie Robinson, Anda tidak diketahui), Mochtar Lubis untuk Musim Gugur,
Yusach Ananda untuk Kampungku jang Sunji dan keempat adalah Gayus Siagian untuk
Psrpisahan nya. Juri terdiri dari para editor majalah, penulis M. Balfas, krtikus
HB Jassin dan penulis prosa, Idrus’.
Mochtar Lubis dan lawatan ke Eropa
Sebagai ketua International Press Institute (IPI)
Chapter Indonesia, ini adalah lawatan ke Eropa dalam hal urusan organisasi.
Pada kunjungan pertama adalah tahun 1952 ke Paris untuk konsolidasi dengan
Ketua IPI. Pada tahun ini (1954) lawatan ke Eropa dalam rangka konferensi IPI
yang dilaksanakan di Wina (Austria).
De nieuwsgier, 21-05-1954: ‘Jenewa, 19 Mei (Reuters).
Tiga editor surat kabar Indonesia: BM Diah (Merdeka), Tasrif (Abadi) dan
Mochtar Lubis (Indonesia Raya), didampingi dua pejabat dari kementerian
pendidikan tiba Selasa di Jenewa. Mereka mengambil bagian dalam konferensi
International Press Institute di Wina dan akan tetap selama beberapa hari di
Jenewa sehubungan dengan akan diadakannya konferensi. Mereka akan ke Korea
sebelum kembali ke Jakarta’.
Mochtar Lubis secara dewasa memuji kemajuan ekonomi
Belanda dan menganggap pemerintahan Soekarno tidak menunjukkan kedewasaan
diplomatik dan politik
Setelah KMB ada yang tersisa soal Irian
Barat. Tapi Belanda tidak pernah merespon. Soekarno ngotot. Belanda dengan cara
terang- terangan pada tahun 1953 dalam forum PBB mengemukakan niatnya untuk
membentuk Negara Papua yang lepas dari Indonesia. Lantas pada tahun 1954
pemerintah Indonesia membatalkan kesepakatan Uni Indonesia-Belanda tersebut,
sebab dirasakan tak berguna bagi Indonesia.
Dalam situasi ini, Mochtar Lubis dan
kawan-kawan dalam rangka perjalanan ke Wina. Transit di Belanda. Namun karena
hubungan Indonesia-Belanda memburuk, persoalan visa di Belanda terganjal. Lalu
Mochtar Lubis melalui jalan darat dengan menyewa mobil lewat Jerman ke Wina. Inilah
kesempatan Mochtar Lubis melihat sisi dalam Belanda dalam perjalanan darat dari
Amsterdam ke Wina.
De nieuwsgier, 10-06-1954: ‘Di bawah judul Belanda,Mochtar
Lubis di koran Indonesia Raya menunjukkan contoh kerja keras bangsa Belanda. Mochtar
Lubis di Indonesia Raya melaporkan perjalanan melalui Belanda, Jerman dan
Austria. ‘Setelah kesulitan Belanda dan telah mengalami (perang, hilangnya
Indonesia dan banjir besar), Mochtar Lubis mencatat bahwa Belanda sekarang
negara termurah di Eropa, dengan tingkat pengangguran terendah, standar hidup
yang tertinggi. Udara dipenuhi dengan nafas dari orang energik, rajin, bekerja
secara efisien dan memberikan hasil yang luar biasa. Belanda adalah negara
pertama di Eropa yang memutuskan itu bisa hidup tanpa dukungan ekonomi dan
keuangan lebih dari Amerika. Sebagai contoh harga rendah di Belanda, Lubis
menyebut makanan beras di Amsterdam yang hampir (nilai tukar resmi) ketiga,
atau kurang dari dua pertiga (ras kulit hitam) membutuhkan beberapa waktu
matahari biaya Indonesia. Ini perasaan yang sangat aneh untuk mendapatkan
makanan Indonesia di Belanda pada harga yang jauh lebih rendah daripada di
Indonesia’.
Nieuwsblad van het Noorden, 24-06-1954: ‘Mochtar Lubis,
yang dianggap sebagai jurnalis terkemuka Indonesia meski terlambat, meskipun
sangat kuat kontras dengan kata-kata pahit, yang pada sebagian besar pers
Indonesia akhir-akhir ini didedikasikan untuk Belanda. Dia ingat artikelnya
pertama di Indonesia Raya, lembar orfafhankelijk politik yang memiliki banyak
pembaca di kalangan militer, dalam kesulitan yang Belanda telah mengalami dalam
beberapa tahun terakhir. Hilangnya nyawa dan kehancuran kota dan pabrik-pabrik
di dunia, hilangnya Indonesia dan banjir besar dari tahun sebelumnya. Namun
demikian - ia menyimpulkan - Belanda saat ini di Eropa negara dengan tingkat
pengangguran terendah, dengan standar hidup tertinggi. Itu juga merupakan
negara termurah di Eropa, katanya. (Dari wartawan di Jakarta). Mochtar Lubis,
editor koran Indonesia Raya menunjukkan
masalah ini, bahwa dalam pemahaman memadai Indonesia dari situasi politik di
Belanda dan bahwa Sukarno pada saat ini tidak benar disarankan oleh Departemen
Luar Negeri di Jakarta. Jika Indonesia goodwill dari ingin mendapatkan
orang-orang Belanda mengenai kembalinya New Guinea, jelas bahwa kita berada
dalam kelompok komunis di tempat yang salah, kata Mochtar Lubis. Lubis
diberikannya kritik lebih lanjut dari kurangnya koordinasi antara perwakilan
Indonesia di Belanda, yang memiliki pemahaman yang benar tentang situasi politik
di negara itu, dan pemerintah di Jakarta. Seperti yang ditunjukkan oleh
persiapan untuk diskusi tentang pencabutan Uni. Kedua Belanda dan Indonesia di
Belanda terkejut dengan pernyataan di Jakarta, pemutusan sepihak, karena
Belanda untuk bernegosiasi sendiri memang telah disepakati pada bulan Juni.
Salah satu memiliki kesan bahwa Jakarta bagaikan anak yang masih tidak
menunjukkan kedewasaan diplomatik dan politik, kata Mochtar Lubis’.
Mochtar
Lubis dan Indonesia Raya bagai dua sisi koin: Mochtar Lubis adalah Indonesia
Raya dan Indonesia Raya adalah Mochtar Lubis
Hanya sedikit orang yang konsisten dengan
prinsipnya dan hanya beberapa koran yang mengusung kebenaran. Diantara yang
sedikit itu Indonesia Raya dan sosok Mochtar Lubis yang paling terdepan. Koran
dan pimpinannya sebangun: Mochtar Lubis adalah Indonesia Raya, dan Indonesia
Raya adalah Mochtar Lubis.
De nieuwsgier, 03-01-1955: ‘Pada tanggal 29 Desember, Indonesia
Raya genap lima tahun dan itu adalah fakta yang menyenangkan. Dalam dunia surat
kabar, Indonesia Raya Indonesia menempati tempat yang unik. Kebanyakan surat
kabar di sini, jika tidak berfiliasi partai dalam arti sempit, atau menjadi
bagian dari golongan tertentu. Dalam lagu pertama Indonesia Raya ditulis antara
lain bahwa koran itu akan tetap jauh dari satu sisi pelaporan yang yang
menyenangkan tetapi merugikan yang lain. Hal ini ingin mendidik masyarakat
untuk berpikir jernih. Terhadap tindakan tidak adil dan tidak tepat dari mereka
juga datang, bagaimanapun, akan praktek-praktek ini. Kami tidak akan ragu-ragu
untuk mengusir apa yang salah dan berbahaya, kami mendukung apa yang harus
didukung dan benar dipertimbangkan untuk kebaikan bersama. Mudah untuk menulis
hal seperti itu, tetapi sulit untuk diterapkan. Ini adalah keutamaan Indonesia
Raya di bawah pimpinan energik, Mochtar Lubis, bahwa selalu berpegang motto
ini; ancaman dan intimidasi diabaikan. Indonesia Raya dalam ketidakadilan
berpikir, melihat, bahkan menyerang, secara terbuka dan keras. Sekarang
Indonesia Raya melakukan oposisi terhadap pemerintah saat ini. Ia melakukannya
karena percaya bahwa pemerintah ini terlalu sedikit yang mengoreksinya, dan menulis
di editorial. Jika pemerintah berikutnya, tidak peduli siapa yang bemar yang
akan melakukan sesuai dengan prinsip Indonesia Raya dia akan vinoen bahwa
majalah di antara lawan-lawannya. Dan itulah tradisi bahwa Indonesia Raya
dengan beberapa surat kabar terbaik di dunia memiliki kesamaan. Selamat
berdjoang, Indonesia Raya’.
Yang paling ditakutkan oleh koran adalah
pembreidelan dan yang paling ditakutkan oleh seorang editor adalah ditangkap
lalu dipenjara. Mochtar Lubis tidak takut dipenjara, dan Indonesia Raya tidak
takut dibreidel. Misi keduanya adalah kebenaran dan mengentaskan ketidakadilan.
Inilah ciri-ciri editor dan koran yang benar-benar koran kelas dunia.
Mochtar
Lubis menghadiri konferensi kebebasan budaya di Rangoon
Mochtar Lubis adalah orang yang komplit. Mochtar
Lubis adalah sastrawan terpandang (jauh melampuai seniornya, Adam Malik dan Adinegoro),
juga Mohctar Lubis adalah wartawan kawakan meski baru berusia 33 tahun. Mochtar
Lubis juga penganut paham kebebasan dalam pers. Ini mengingatkat kiprah Mochtar
Lubis ini dengan dua seniornya Parada Harahap dan Mangaradja Salamboewe. Parada
Harahap pengarang buku Kebebasan Pers dan Mangaradja Salamboewe yang tidak
memandang bulu apakah Belanda atau pribumi, keduanya perlu dilindungi jika itu
dibutuhkan untuk menjalankan tugasnya.
Dalam konferensi kebebasan budaya Asia yang
pertama di Ranggoon, Mochtar Lubis satu dari tokoh penting Indonesia yang
diundang. Dua lagi adalah pakar ekonomi Soemitro Djojohadikusumo, dan sastrawan
senior Sutan Takdir Alisjahbana. Mochtar Lubis adalah juga ketua International
Press Institute. Ini berarti Mochtar Lubis adalah tokoh internasional di bidang
budaya maupun bidang budaya. Sebagaimana diketahui Mochtar Lubis tidak hanya
seorang wartawan, tetapi juga sastrawan, pelukis dan perupa.
De nieuwsgier, 11-03-1955: ‘Konferensi Asia tentang kebebasan
budaya. kemiskinan, stagnasi dan sisa-sisa kolonial. Komunisme mengancam
kebebasan di Asia. Dari 17-20 Februari adalah untuk pertama kalinya di Asia
mengadakan konferensi tentang kebebasan budaya di Asia, yakni di Rangoon. Pada
konferensi ini mengundang beberapa pakar, seniman, penulis dan jurnalis dari
berbagai negara Asia. Indonesia diwakili oleh Prof. Dr. Soemitro
Djojohadikusumo, Mr. Sutan Takdir Alisjahbana dan Mochtar Lubis. Yang terakhir
(yang juga atas permintaan konferensi SEATO hadir sebagai pengamat) editor di
Indonesia Raya, yang menulis untuk Koran ini tentang catatan konferensi ini. Setelah tiga hari bertukar
pikiran untuk memiliki kebebasan budaya di Asia, ia menulis, konferensi telah usai
yang operator bangsa Asia telah
nilai-nilai budaya yang tinggi, tetapi dengan berbeda menyebabkan nilai-nilai
ini karena beku dan mereka momentum hilang. Hal ini juga diakui bahwa
kemiskinan di sebagian besar negara-negara Asia umumnya masih ada sumber
ancaman untuk kebebasan budaya, karena kemiskinan Asia sebagian besar terpaksa
mematuhi hanya dengan perjuangan sehari-hari untuk hidup. Selain semua ini
adalah sisa-sisa dari sistem kolonial ekonomi dan hukum kolonial hambatan atau
ancaman terhadap kebebasan budaya di Asia. Dalam diskusi komunisme, konferensi
ada kesepakatan bulat bahwa komunisme adalah ancaman terhadap kebebasan budaya
di Asia karena doktrin komunisme tidak bisa bernapas kehidupan ke kebebasan
budaya’.
Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 22-06-1955: Institut Pers Internasional telah meminta
mediasi di markas IPI di Zünch, untuk memprotes Kementerian Luar Negeri Belanda
terhadap sikap diskriminatif terhadap koresponden Antara di Belanda ketika
Menteri Luar Negeri Belanda, Luns melakukan konferensi pers tentang publikasi White Paper Belanda. Argumen
dari Luns, seperti yang akan orang Indonesia tidak dapat diharapkan bahwa ia
akan belajar menghargai embargo yang telah ditetapkan untuk White Paper, karena
setelah semua itu adalah negaranya sendiri, dianggap sebagai serangan terhadap
kebebasan pers. Juga percaya itu dugaan tidak dapat diandalkan dari koresponden
Indonesia yang masih terikat dengan kode etik jurnalistik. The International
Press Institute di Swiss adalah sebuah lembaga untuk wartawan di seluruh dunia,
yang memiliki untuk memastikan bahwa, dimana saja di dunia, kebebasan pers
dihormati. Ketua Komite Nasional Indonesia Mochtar Lubis (Indonesia Raya) dan
sebagai sekretaris Tasrif (Abadi).
Mochtar Lubis menerima apresiasi berupa medali dari para
pembaca
Pembaca adalah penilai yang paling jujur.
Dalam tradisi bisnis, pelanggan adalah radja. Ini berarti di dalam jurnalistik,
pembaca koran adalah pelanggan. Parada Harahap tahun 1926 pernah menulis di
Java Bode sebuah artikel dengan judul Kranten en Klanten (Koran dan Pelanggan).
Baru sekarang terdengar bahwa para pelanggan member medali sebagai apresiasi
terhadap koran yang mereka baca. Adalah Indonesia Raya yang dipimpin Mochtar
Lubis sebagai penerimanya.
De nieuwsgier, 19-09-1955: ‘Editor Indonesia Raya, Mochtar
Lubis, menghadiri upacara di Balai Wartawan Minggu menerima medali sebagai
apresiasi dari pembaca, koran yang dipimpin oleh dia. Pemberian medali
berlangsung oleh sebuah komite yang dibentuk untuk membawa rasa terima kasih
dari para pembaca koran tersebut. Inisiator adalah Mr. Z Granit menyatakan
bahwa apresiasi menyatakan bahwa salah satu bahwa Indonesia Raya sebagai pejuang keadilan dan dalam
memerangi semua korupsi dan penyimpangan dalam masyarakat Indonesia. Mochtar
Lubis mengatakan ia melihat madaille ini hanya sebagai apresiasi masuk ke
Indonesia Raya saja, tetapi juga untuk semua lembar, yang sebenarnya menjaga
kode jurnalistik di pelaporan mereka. Dalam kesempatan ini hadir juga ketua PWI,
T. Sjahril’.
Mochtar Lubis melawat ke Australia
Mochtar Lubis mungkin satu-satunya wartawan
Indonesia yang memiliki frekuensi tinggi berkunjung ke luar negeri dalam
berbagai agenda. Sebagai wartawan, Mochtar Lubis tidak hanya sekadar berkunjung
seperti konferensi tetapi dimanfaatkan sebagai bentu perjalanan jurnalistik
untuk koran.
De nieuwsgier, 27-10-1955: ‘Rabu pagi Sübanto Taif (dari PIA)
dan Tan Kiat H (dari Antara) berangkat dengan pesawat ke Australia dimana mereka
akan bergabung dengan misi goodwiil Indonesia yang mengunjungi negara ini. Sedangkan
Selasa sore sebelumnya, Mr. Mochtar Lubis (dari Indonesia Raya) dan Basri (dari
Suluh Indonesia) sudah berangkat untuk bergabung dengan misi goodwill Indonesia
di Australia’.
Uniknya, wartawan pribumi yang pertama kali
berkunjung ke luar negeri adalah wartawan asal Padang Sidempoean. Yang pertama
orang pribumi adalah Dja Endar Moeda yang mengunjungi Nederland pada tahun
1903. Yang kedua adalah Parada Harahap pada tahun 1932 ke Jepang. Yang ketiga
adalah Adinegoro ke Belanda tahun 1949. Yang keempat adalah Mochtar Lubis
bersama Adam Malik ke Thailand dan Burma Januari 1950.
Mochtar Lubis sejauh ini, sudah sebanyak sembilan
negara yang telah dikunjungi. Selain ke Thailand dan Burma (kegiatan
jurnalistik) adalah ke Korea meliput perang Korea (November 1950), Amerika
Serikat untuk studi jurnalistik empat bulan (Mei 1951), Burma (Januari 1952),
Prancis (Mei 1952), Belanda, Swiss dan Austria (Mei 1954), Burma (Maret 1955).
Kini (Oktober 1955) Mochtar Lubis berangkat ke Australia. Pada tahun depan
(Maret 1956) ke Jepang.
Mochtar Lubis dan Adinegoro ke Tokyo mengulangi kunjungan
Parada Harahap dan M. Hatta (1932)
Perjalanan ke luar negeri bagi seorang
wartawan adalah kelanjutan dari perjalanan-perjalanan jurnalistik yang telah
dilakukan di dalam negeri. Perjalanan di dalam negeri akan memperkaya pemahaman
sang wartawan tentang tanah air. Perjalanan ke luar negeri bagi seorang
wartawan untuk menarik pengalaman agar bisa membandingkan dengan yang dialami
atau yang terjadi di dalam negeri. Itulah arti penting perjalanan wartawan ke
luar negeri. Pemahaman yang kritis seorang wartawan dengan sendirinya akan
terbentuk. Wartawan Mochtar Lubis pemikiran kritisnya semakin menguat dengan
semakin banyaknya negara yang telah dikunjunginya dalam lima tahun terakhir
ini.
Kini (1956) Mochtar Lubis kembali berkunjung
ke luar negeri, yakni Jepang. Wartawan Indonesia ke Jepang adalah sebuah
pengulangan. Pada tahun 1932/1933 Parada Harahap memimpin rombongan ke Jepang
yang di dalamnya terdapat beberapa wartawan, salah satunya Abdullah Lubis
(editor Pewarta Deli). Dalam kunjungan ke Jepang itu juga turut serta M. Hatta
(waktu itu baru lulus kuliah, dan kini menjabat sebagai wakil presiden).
Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode. 15-03-1956: ‘Kamis
ini ada tujuh wartawan Indonesia dari Jakarta ke Tokyo untuk mengambil bagian
dalam konferensi wartawan Asia, yang diselenggarakan oleh Intertional Press
Institute. Ketujuh wartawan Indonesia tersebut adalah Adinegoro (PIA), Adarn
Malik (Antara), Tahsin S. (Bintang Timur). S. Tasrif (Abadi), Rosihan Anwar (Pedoman),
AK Lubis (SPS) dan Mochtar Lubis (Indonesia Raya).
Algemeen Indisch dagblad : de Preangerbode, 19-03-1956: ‘Orang
pers Indonesia tiba di Tokyo. Enam wartawan Indonesia, Sabtu pagi di Tokyo dalam
konferensi Asia ikut menghadiri International Press Institute, yang saat ini
dibuka. Mereka adalah Djamaluddin Adinegoro (Pers biro Indonesia), Adam Malik (dari Antara), Rosihan Anwar (dari
Pedoman), Mochtar Lubis (dari Indoriesia Raya). Marbangun (dari Indonesian
Institute for Pers dan Opini Publik dan Tahsin (dari PWI=Persatuan Wartawan
Indonesia)’.
Algemeen Indisch dagblad : de Preangerbode, 21-03-1956: ‘Pada
sesi kedua adalah kritik diterapkan pada tidak adanya kebebasan pers di Cina
komunis. Lebih dari 100 delegasi dari Asia, Eropa dan Amerika Serikat sedang
mendengarkan delegasi lainnya. Mereka mengatakan dalam perjalanan mereka ke
China komunis kesulitan mendapatkan berita dari daratan dan untuk menentukan
nilai. Kebanyakan speaker yang kritis terhadap sikap komunis dibandingkan pers
(semua menghujat pemerintah China terhadap pers). Mochtar Lubis berbeda:
Mochtar Lubis, dari Indonesia Raya (Jakarta), mengomentari memberikan
penangkaran, menunjukkan bahwa penjajah Barat di Asia sama pemimpin nasionalis memiliki gerakan menekan pers
(sama saja)’.
Komposisi tahun 1956 ini mirip dengan
komposisi tahun 1932. Kini pimpinan rombongan adalah wartawan Mochtar Lubis
(Ketua IPI) sementara dulu adalah wartawan Parada Harahap (Ketua Kadin). Dulu
ada M. Hatta dalam rombongan Parada Harahap. Kini ada Adinegoro dan Rosihan
Anwar dalam rombongan Mochtar Lubis. Hanya saja bedanya, jika dulu hanya ada
dua orang Padang Sidempoean, kini ada tiga orang. Jika ditambahkan Adinegoro,
maka ada empat orang adik Parada Harahap dalam dunia pers.
Yang menarik adalah statement Mochtar Lubis di
Jepang ketika pers asing menyoal pers di China. Mochtar Lubis menyebut penjajah
asing di Asia dan pemimpin nasionalis di Asia juga menekan pers. Mochtar Lubis
tampaknya lebih paham (cover both side)
dibanding sejumlah wartawan asing. Secara tidak langsung Mochtar Lubis
menyinggung pemerintah di Negara sendiri (Indonesia). Itulah kebebasan pers
yang dimaknai oleh Mochtar Lubis, sebagaimana juga Mochtar Lubis menyuarakan
kebebasam dalam budaya kontemporer.
De nieuwsgier, 11-04-1956: ‘Kamis, panitia Indonesia
Congress for Cultural Freedom, pertemuan diadakan di Taman Suropati 2 pukul 20.00. Mr
Prabhakar Padhye, Perwakilan Asia dari CCF, IAI berbicara tentang arti
kebebasan dalam hidup kultural kontemporer. Kongres Kebudayaan Freedom adalah
sebuah organisasi internasional, seniman, pemikir dan pakar yang dengan
memegang simposium, konferenties dan tentoonstell agen, dan tulisan-tulisan
penerbitan, berjuang untuk kebebasan berpikir, penciptaan dan kritik. Awal diselenggarakannya
ini adalah di Rangoon, yang hadir waktu itu antara lain S. Takdir Alisjahbana dan
Mochtar Lubis, yang dilaksanakan tahun lalu di Rangoon’.
Mochtar Lubis mengungkap skandal korupsi lalu
diinterogasi militer
Mochtar Lubis dipanggil jaksa untuk kali
kedua. Pertama tahun 1951 mengenai tuduhan terhadap Soekarno yang harus
bertanggungjawab banyaknya peduduk Indonesia yang tewas selama pendudukan
Jepang dan agresi Belanda. Kini (1956), Mochtar Lubis menyuarakan korupsi di
tubuh pemerintahan Soekarno, cabinet Ali Sastroamidjojo. Tidak hanya dipanggil
jaksa tetapi juga diinterogasi oleh militer. Sementara itu, antara jaksa
(pemeritah) dan tentara (militer) tampak berseberangan.
De nieuwsgier, 22-08-1956: ‘The hoofdredakteuren koran
Harian Rakjat hari Senin dipanggil kepala jaksa. Pemimpin redaksi Harian
Rakyat, Naibaho mengatakan mendengar selama dua jam terkait dengan
besobuldiginen wakil Presiden Hatta. Kemudian
pemimpin redaksi, Indonesia Raya, Mochtar Lubis mendengar terkait dengan
13 Agustus Affaire’.
De Tijd: godsdienstig-staatkundig dagblad, 25-08-1956 (Tiga
editor Indonesia mempertanyakan): ‘Tiga editor Indonesia terkenal diinterogasi mengenai
berita yang telah diterbitkan tentang skandal korupsi di dada pemerintah. Dalam
hal ini Jaksa Agung Suprapto meminta Asosiasi Jurnalis Indonesia untuk bekerja
dengan membatasi publikasi berita sensasional tentang korupsi. Tiga editor yang
masih harus menjalani pertanyaan lebih lanjut dalam beberapa hari mendatang.
Mochtar I.ubis, dari koran independen Indonesia Raya, koran yang pertama kali
datang dengan cerita tentang upaya untuk menangkap menteri luar negeri, Ruslan
Abdoelgani; Naihabo dari kelompok komunis, Harian Rakyat, koran telah meminta Wakil
Presiden Mohammad Hatta untuk memahami bahwa korupsi yang bersangkutan; Suhardi dari koran nasionalis, Berita Minggu
menantang surat kabar Indonesia Raya, Mochtar
Lubis untuk berduel karena cerita korupsinya’.
De Tijd: godsdienstig-staatkundig dagblad, 20-09-1956: ‘Asosiasi
penerbit surat kabar Indonesia saat ini menuntut agar keputusan pemerintah
militer yang menekan kritik dilarang pada pejabat pemerintah, dan menarik diri.
Mereka mengeluarkan pernyataan di mana keputusan tersebut dianggap sebagai
hambatan bagi pemerintahan yang demokratis dan ancaman terhadap hak fundamental
berbicara. Pada malam keberangkatan delapan wartawan senior Indonesia ke Zurich,
editor dari harian independen Indonesia Raya, Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar dari
koran sosialis, Pedoman selama sembilan jam oleh polisi militer diinterogasi
untuk memberikan account pada editorial, yang termasuk komentar disampaikan
dengan peraturan militer yang dikeluarkan pada pekan lalu. Mochtar Lubis
mengumumkan bahwa dirinya ditanya tentang sebuah artikel di mana dia mengutarakan
bahwa Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo tidak melindungi koruptor. Dia
mengatakan ingin memprovokasi perintah pengadilan atau peraturan militer
melanggar konstitusi interim atau tidak. Dalam sebuah editorial yang ditulis
Indonesia Raya lagi hari ini, bahwa Perdana Menteri adalah kegagalan sebagai
negarawan’.
Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 21-09-1956: ‘Para editor dari empat surat kabar Rabu
diinterogasi selama beberapa jam oleh polisi militer di Jakarta sehubungan
dengan peraturan kepala staf (KSAD) pada 14 September 1956, kata kepala juru
bicara tentara, Pirngadie, kepada pers. Ini menyangkut Mochtar Lubis dari Indcoesia
Raya, Rosihan Anwar dari Pedoman, Naibaho dari Harian Rakjat dan Sohardi dari Berita
Minggu. Mereka ditanyai Rabu oleh polisi militer dari pukul 08.00- 13.00 dan dilanjutkan
dari pukul 17.00-21.00. Polisi militer dalam interogasi mengatakan editor
meminta klarifikasi pada beberapa artikel di surat kabar mereka, yang dianggap bertentangan
dengan peraturan KSAD dan mempertanyakan Mochtar Lubis terkait dengan sebuah
editorial di lndonesia Raya pada tanggal 15 September berjudul ‘Pemerintah,
Djangan Panik!’. Dan dalam edisi 17 September bawah artikel yang berjudul: ‘Ali
Sastroamidjojo adalah Sebuah Kegagalan; Rosihan Anwar dari Pedoman diinterogasi
sehubungan dengan penerbitan karikatur dalam korannya pada tanggal 19
September. Karikatur dengan judul: Heil Ali! Heil Nasution’.
Dalam kasus interogasi militer ini antara
Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar berbeda. Mochtar Lubis menyoroti kasus korupsi
di tubuh pemerintah. Sedangkan Rosihan Anwar yang terkait dengan pemuatan
karikatur yang mana terdapat teks: Heil Ali! Heil Nasution!. Yang dimaksud
Nasution dalam hal ini adalah nama KASAD yakni Mayor Jenderal Abdul Haris
Nasution.
Ini mengingatkan kembali era masa colonial
berulang kembali di era republic (pasca kemerdekaan). Siapa yang paling berani,
apakah Parada Harahap dalam mengungkapkan kasus poenale sanctie (1918) dibanding
Mochtar Lubis dalam kasus korupsi sekarang. Sulit dijawab, karena beda era,
beda kasus dan beda pemerintah yang dilawan. Yang jelas, esensinya sama:
keadilan (berusaha) dan keadilan bernegara. Bedanya, yang satu mendahului yang
lain: Parada Harahap yang lebih dahulu.
Yang jelas, jika dulu semasa Parada Harahap
semua yang dihadapi adalah pemerintah dan polisi yang semuanya adalah wong
Belanda. Di era Mochtar Lubis ini yang dihadapi adalah sesama sebangsa bahkan
sesama sahuta. Kini (1956) Parada Harahap adalah Ketua Kadin yang ditunjuk
pemerintah (Soekarno-Hatta) untuk memimpin misi dagang keluar negeri dan
ditugaskan untuk menyusun repelita. Parada Harahap juga adalah pemilik Java
Bode. Untuk nama-nama pimpinan militer antara lain Kolonel Zulkifli Loebis
(Kepala Intelijen) dan Mayjen Abdul Haris Nasoetion (KASAD). Sebagai Panglima
Militer adalah Soekarno (Presiden). Ini suatu dilemma diantara mereka yang
berasal dari Padang Sidempoean.
Mochtar Lubis sejauh ini, sudah sebanyak sembilan
negara yang telah dikunjungi. Selain ke Thailand dan Burma (kegiatan
jurnalistik) adalah ke Korea meliput perang Korea (November 1950), Amerika
Serikat untuk studi jurnalistik empat bulan (Mei 1951), Burma (Januari 1952), Prancis
(Mei 1952), Belanda, Swiss dan Austria (Mei 1954), Burma (Maret 1955). Kini
(Oktober 1955) Mochtar Lubis berangkat ke Australia. Pada tahun depan (Maret
1956) ke Jepang.
Mochtar
Lubis, Rosihan Anwar, Adam Malik dan Suwardi Tasrif berangkat ke Belanda dalam pertemuan pers bilateral,
tetapi militer memerintahkan pulang
Mochtar Lubis berangkat lagi ke luar negeri.
Ini lawatan yang ke dua belas ke luar negeri. Rekor tertinggi wartawan
Indonesia. Ini yang mempertebal sosok Mochtar Lubis sebagai satu-satu Indonesia
yang berpredikat wartawan internasional dan namanya sudah dikenal luas di dunia
internasional. Kali ini Mochtar Lubis ke Swiss. Ini sebenarnya kunjungan kali
kedua Mochtar Lubis ke Swiss. Pada Mei 1954 tak sengaja ‘terdampar’ di Swiss
dalam perjalanan ke Wina untuk menghadiri konferensi IPI. Kini (September 1956)
Mochtar Lubis akan ke Swiss lagi untuk melakukan bilateral dengan pers Belanda.
Namun kepergian kali tak diinginkan pemerintah, apa karena factor Mochtar Lubis
atau factor hubungan Indonesia-Belanda yang telah memanas.
Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 21-09-1956: ‘Mochtar Lubis dari Indonesia Raya dan Rosihan
Anwar dari Pedoman sekarang telah meninggalkan Kamis pagi dengan pesawat ke
Zurich untuk menghadiri pertemuan wartawan Indonesia dan Belanda, yang
berlangsung di bawah naungan International Press Institute. Menurut PIA, dari
polisi militer tidak ada informasi yang diperoleh, atau pertanyaan tentang para editor Indonesró Raya dan Pedoman’.
De Tijd: godsdienstig-staatkundig dagblad, 25-09-1956: ‘Dua
wartawan terkemuka, yang saat ini di Zurich untuk menghadiri pertemuan wartawan
Indonesia dan Belanda telah diperintahkan oleh pihak militer Indonesia untuk
kembali ke Indonesia lagi. Mereka adalah editor sosialis Pedoman, Rosihan
Anwar, dan editor independen, koran actual, Indonesia Raya, Mochtar Lubis’.
Mochtar Lubis tidak bisa ditekan, dan terus
berjalan apa adanya sesuai misi pers Indonesia. Mochtar Lubis bahkan
mengabaikan panggilan pulang dari anak-anak buah Mayjen Abdul Haris Nasoetion.
Sebaliknya, anak-anak buah Parada Harahap di Java Bode terus menginformasikan
sepak terjang Mochtar Lubis ini. Mungkin, Parada Harahap yang berada di sisi
pemerintahan tetap menganut prinsip bahwa sesama insan pers Indonesia harus
saling memperkuat. Parada Harahap adalah orang pertama yang menyuarakan
kebebasan pers dan menulis buku berjudul Kebebasan Pers (lihat De vrije pers :
ochtendbulletin, 04-02-1950).
Mochtar Lubis menganggap pertemuan pers bilateral dengan
Belanda berjalan sukses
Misi para wartawan adakalanya mengambil
fungsi pemerintah di sisi lain. Ketika pemerintah dalam suatu negara
(Belanda-Indonesia) tengah berseteru, para wartawan sebaliknya ingin melakukan
rekonsiliasi. Hubungan antar pemerintahan Negara di bawah naungan PBB, maka
antar wartawan beda Negara di bawah naungan IPI. Inilah dunia yang diperankan
oleh Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar di Zurich. Hasilnya memuaskan.
Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 26-09-1956: ‘Wartawan Indonesia dan Belanda pada Rabu di
Zurich berakhir pertemuan pertama mereka pada "bevorderiig hubungan
jurnalistik antara dua negara". Para wartawan yang ikut berpartisipasi, setelah
itu mereka menunjukkan bahwa pertemuan itu adalah succes besar’ kata laporan
United Press Zurich. Kedua delegasi setuju bahwa cara terbaik untuk
mempromosikan hubungan jurnalistik antara kedua Negara. Selain itu, kedua belah
pihak setuju adalah pelaksanaan objektivitas, moderasi dalam nada dan saling
membantu. Pertemuan di Zurich itu ditandai oleh suasana yang ramah. Mochtar
Lubis dari Indonesia Raya, yang bertindak sebagai juru bicara dari wartawan
Indonesia, menyatakan: ‘sebelum kami meninggalkan negara kami, kami agak
meragukan hasil pertemuan ini, tetapi ternyata bahwa pertemuan telah sangat
sukses’.
Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 26-09-1956: ‘Para editor dari harian Indonesia Raya dan
Pedoman masing-masing Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar, yang ikut berpartisipasi
dalam konferensi antara Indonesia-Belanda dibawah mediasi Internasional Press
Instilute di Zurich telah menerima panggilan dari CPM untuk kembali ke
Indonesia. Panggilan ini berkaitan dengan bertaruh interogasi orang-orang yang
disebutkan di atas oleh CPM sebagai akibat dari regulasi Kepala Staf Angkatan
Darat pada pelaporan oleh pers tersebut. Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar telah
mengumumkan bahwa akan kembali setelah konferensi berakhir’.
Mochtar Lubis ke Zurich tidak sekadar
kebebasan pers, juga soal inisiatif. Pers Indonesia dalam hal ini adalah
merespon inisiatif pers Belanda. Hal yang sama juga dirasakan oleh pers Israel
yang akan menjadi tuan rumah pada pertemuan IPI tahun berikutnya. Ketika,
Israel tengah bermusuhan dengan dunia Arab (boleh jadi dengan dunia Islam),
pers Israel menganggap perlu untuk memajukan inisiatif untuk mengundang pers mewakili
negara mayoritas Islam (Indonesia). Ini berarti pers mengambil inisiatif lagi.
Pers Israel mengundang pers Indonesia. Undangan ini tampaknya dapat dipenuhi.
Mereka yang berangkat adalah peserta pertemuan bilateral Belanda-Indonesia
dibawah naungan IPI di Zurich (Swiss), yakni: Mochtar Lubis, Rosihan Anwar,
Adam Malik dan Suwardi Tasrif.
Mochtar Lubis, Orang Indonesia pertama ke Israel
Setelah Perang Dunia I, Liga Bangsa-Bangsa
menyetujui dijadikannya Mandat Britania atas Palestina sebagai tempat negara
orang Yahudi. Pada tahun 1947, PBB menyetujui pembagian Palestina menjadi dua
negara, yaitu satu negara Yahudi dan satu negara Arab. Pada 14 Mei 1948, Israel
memproklamasikan kemerdekaannya, sementara Negara-negara di sekitarnya menolak
atas pembagian tanah itu apalagi soal kemerdekaan Israel sendiri. Sejak itu,
imigran Israel semakin banyak yang dating dari berbagai penjuru memasuki tanah
Palestina tempat dimana negara Israel didirikan oleh PBB.
Selama tahun 1950-an, Israel terus menerus
diserang oleh militan Palestina yang kebanyakan berasal dari Jalur Gaza yang
diduduki oleh Mesir. Pada tahun 1956, Israel bergabung ke dalam sebuah aliansi
rahasia bersama dengan Britania Raya dan Perancis, yang betujuan untuk merebut
kembali Terusan Suez yang sebelumnya telah dinasionalisasi oleh Mesir. Walaupun
berhasil merebut Semenanjung Sinai, Israel dipaksa untuk mundur atas tekanan
dari Amerika Serikat dan Uni Soviet sebagai gantinya, Israel mendapat jaminan
hak atas pelayaran di Laut Merah dan Terusan Suez. Gambaran serupa inilah
situasi dan kondisi terkini di Israel, Negara yang akan dikunjungi oleh Mochtar
Lubis dan kawan-kawan.
Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 26-09-1956 (Pertama ke Israel). United Press melaporkan dari
Zurich, bahwa Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar telah ditarik oleh polisi militer
Indonesia untuk diinterogasi lebih lanjut. Namun, mereka menyatakan bahwa
tentara harus menunggu, karena mereka ingin mengunjungi Israel. Keduanya
menolak untuk menjelaskan, mengapa mereka diinterogasi oleh militer dan polisi.
Sementara itu, Mochtar Lubis, Rosihan Anwar bersama dengan Adam Malik dari
Antara dan Suwardi Tasrif dari Abadi diundang oleh lembaga pers nasional Israel
untuk mengunjungi Israel. ‘Kami adalah wartawan Indonesia pertama, yang telah
diundang untuk mengunjungi Israel’, kata Mochtar Lubis. ‘Kami berharap
kunjungan ini dan kami tidak akan melewatkan kunjungan ini’. ‘Tapi kami
berharap akan kembali sekitar 10 Oktober ke Indonesia’, tambahnya. Mochtar
Lubis juga menyatakan bahwa kontribusi sangat penting dan tentara Indonesia
telah diberitahu oleh Delegasi Indonesia di Bern. Sebelum bepergian ke Israel,
empat editor mengatakan pertama akan ke Den Haag dulu’.
Mochtar Lubis pulang dari luar negeri dan akan terus
berjuang demi kebebasan pers
Parada Harahap sangat dekat dengan
Soekarno-Hatta. Karena Parada Harahap dulunya adalah mentor dari Soekarno-Hatta
di bidang politik. Mochtar Lubis sebaliknya menyerang Soekarno dan menterinya.
Akan tetapi Parada Harahap justru ‘membela’ Mochtar Lubis. Sementara itu,
Mochtar Lubis yang sangat dekat dengan militer (Abdul Harus Nasution dan
Zulkifli Lubis) justru ‘memusuhi’ Soekarno. Oleh karena militer dengan Soekarno
lebih tampak ‘berseberangan’, maka di satu sisi posisi Parada Harahap dan
Mochtar Lubis terjepit tetapi di sisi yang lain keduanya dapat memainkan peran
penting dalam hal dikotomi sipil-militer ini. Dalam situasi ini anak-anak
Padang Sidempoean tengah berada di dalam lingkaran ‘dalihan na tolu’. Kita
tunggu kartu As dari para anak boru (Parada Harahap dan Mochtar Lubis) dalam
drama ini.
De Tijd: godsdienstig-staatkundig dagblad, 05-10-1956: ‘Sementara
itu, polisi militer sudah mulai mempertanyakan empat editor dan termasuk
artikel dan karikatur, yang dianggap melanggar peraturan. Salah satu editor,
Mochtar Lubis dari Indonesia Raya menyatakan bahwa mereka yang sengaja dalam editorial
berjudul ‘Premier Ali adalah Kegagalan’ telah menulis untuk menentang perangkat
penuntutan dan dengan demikian memicu penuntutan dan perintah pengadilan.
Menurutnya, regulasi melanggar konstitusi, yang menjamin kebebasan pers. Banyak
tokoh politik terkemuka memiliki masalah peraturan militer sangat dikecam atau
yang tercantum setidaknya tidak perlu. Bahwa dia mendapat pujian dari seluruh
pers Indonesia (dengan pengecualian dari yang berhaluan komunis, Harian Kakjat.
Persatuan Wartawan Indonesia, secara resmi menuntut pencabutan peraturan dalam
waktu satu bulan dan mengancam bahwa jika penanggulangan akan diambil. Juru
bicara tentara di sisi lain menyatakan bahwa peraturan tersebut sudah mulai diterapkan,
surat kabar sekarang harus menjadi jauh lebih moderat. Untuk editor Pedoman dan
Indonesia Raya yang baru dari Zurich, menghadiri konferensi tidak hanya sekadar
kebebasan pers tetapi menghadapi penguasa militer di Indonesia’.
Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar tiba di bandara (1956) |
Para anak boru (Parada Harahap dan Mochtar
Lubis) telah memanfaatkan fungsi dalihan na tolu. Parada Harahap dan Mochtar
Lubis adalah bagian dari PWI, maka kedua anak boru ini mendapat dukungan
sepenuhnya dari PWI (kahanggi para wartawan). Berdasarkan statement terbaru
dari Mochtar Lubis, ternyata kemudian mengabaikan panggilan militer (Abdul
Haris Nasution) karena sudah mendapat persetujuan keberangkatan dari intelijen
(Zulkifli Lubis). Sekarang pendulum berada di tangan intelijen-militer (Zulkifli Lubis dan Abdul Haris Nasution).
Mochtar Lubis dituntut. SPS dan PWI bereaksi membentuk
komite aksi
Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 22-10-1956: ‘Editor Indonesia Raya Mochtar Lubis, yang
Jumat telah tiba dari perjalanan ke luar negeri, akan dituntut karena menerbitkan
berita di Indonesia Raya pada 14 Agustus 1956 di bawah judul: Ada menteri terlibat
skandal Rp. 1,500.00,-. Mochtar Lubis sebagai editor yang bertanggung jawab,
dituduh telah menyinggung kehormatan dan reputasi pemerintah (dalam hal ini
Menteri Luar Negeri) dan telah dikompromikan penyelidikan dalam kasus ini serta
akan ditangani oleh pengadilan. Maengkom saat ini sebagai hakim dan mewakili
Jaksa, Dali Mutiara. Mochtar Lubis sekarang menyatakan hingga Sabtu masih belum
menerima panggilan’.
***
Penjelasan baru dari PWI. Dewan PWI, Sabtu mengeluarkan
pernyataan baru, menyesalkan bahwa sejauh pada nasib peraturan KSAD, peraturan
bagi pers, tidak ada solusi yang dibuat. Manajemen pusat PWI memanggil anggotanya
untuk menjaga disiplin dan hati-hati untuk tidak melupakan di setiap langkah,
yang harus selalu konsisten dengan tanggung jawab korps wartawan Indonesia di
seluruh negara bangsa dan demokrasi. Pernyataan baru dari PWI Pusat adalah
sebagai berikut: ‘Sebulan telah berlalu setelah penerbitan pernyataan PWI Pusat
Peraturan KSAD No. PKM 001.9.1956 yang mereka menerapkan Peraturan, yang
merupakan ancaman terhadap kebebasan pers, menolak dan menuntut penarikan regulasi
itu. Selama ini PWI telah dengan sabar dan tenang menunggu, di bawah sementara
jauh kinerja dan sikap, yang dapat mencapai bisa mempersulit solusi. Dan upaya
ini oleh semua departemen dan dihormati oleh para anggota PWI, Ketua dari PWI
mengucapkan terima kasih. Ketua PWI mencatat dengan penyesalan, yang belum
menjadi pertandingan pemberi sejauh pada Peraturan KSAD yang dapat
dipertimbangkan sesuai persyaratan dari PWI. Namun demikian, Dewan PWI
membiarkan harapan dan keyakinan tidak berkembang, yang pada akhirnya (paduan akan
melihat kewajaran kebutuhan PWI sadar tanggung jawabnya untuk baik di dalam dan
luar), dan setelah memiliki pengetahuan diambil dari pengalaman antara anggota
menanggung memindai, memberikan dewan
PW'I sekarang keputusan tetapnya lagi untuk melanjutkan perjuangan dengan
langkah-langkah yang jelas di masa depan dan dengan karakter yang lebih luas
dan metode, bekerja sama dengan organisasi surat kabar di Indonesia. Pada ukuran
berikutnya akan diambil dalam waktu dan situasi, dan berdasarkan kebutuhan asli,
yang, menurut pendapat PWI, tidak hanya mempengaruhi kepentingan wartawan,
tetapi juga kepentingan umum masyarakat di sana, masyarakat pers, pada
kenyataannya, bagi masyarakat dan bagi negara. Dalam konteks ini, Dewan PWI meyakini
bahwa mereka akan memiliki pemahaman terbesar masyarakat’.
***
Komite Aksi wartawan. Dalam venklaring umum, Minggu
dirilis, mengumumkan bahwa Serikat Perusahaan Suratkafoar (SPS), dan Persatuan
Wartawan Indonesia (PWI) telah membentuk komite aksi dalam konteks mereka
sendiri, mencoba untuk mencapai regulasi tentara pada pelaporan. Komite ini
akan menjadi langkah umum, dilakukan untuk mendapatkan diterima klaim untuk
pencabutan peraturan, koordinasi dan kontrol. Para anggota dipanggil, bahwa
mereka akan tunduk pada keputusan komisi actie, menurut deklarasi bersama dari
SPS dan PWI’.
Lantas, apakah militer akan mengendor tentang
aturan kebebasan pers ini, ketika intelijen memberi angin ke Mochtar Lubis yang
kini telah mendapat dukungan dari PWI dan spirit pers internasional? Apakah
faksi militer vs intelejen menjadi pecah? Apakah faksi Parada Harahap vs
Soekarno akan pecah? Jika intelijen abstain dan Parada Harahap pro ke Mochtar
Lubis (PWI), lalu apakah militer (Nasution) dan pemerintah (Soekoarno) akan
berkolaborasi di bawah payung pemerintahan melawan Mochtar Lubis?
Mochtar
Lubis di pengadilan, dihadiri banyak massa tetapi ditunda karena tidak
didampingi pembela
Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 23-10-1956: ‘Persidangan terhadap Mr Mochtar Lubis, editor
Indonesia Raya, pada hari Kamis, tanggal 25 di Pengadilan Negeri Jakarta untuk
memulai dengan Mr. Maengkom sebagai hakim dan Mr D. Mutiara sebagai jaksa. Mr.
Mochtar Lubis diduga sengaja untuk menyinggung kehormatan dan reputasi seorang
menteri’. ***Di Semarang, Sabtu, editor
surat kabar Sunday ‘Minggu Bulletin’ Pak Agus Sujudi, di panggil ke kantor pengadilan
sehubungan mengenai karikatur di salah satu halaman dari koran Minggu,
penempatan yang mana melanggar Peraturan Kepala Staf Angkatan Darat.***Di
Makassar. The hoofdredachteur koran Makassarse, Sulawesi Bergolak, Aminuilah
Lewa, Sabtu diinterogasi oleh militer karena publikasi yang menyinggung Presiden
Sukarno. Setelah pemeriksaan ini bahwa artikel tersebut berasal gerakan ilegal,
yang mana editor Sulawesi Bergolak telah diancam akan dibunuh jika artikel
tidak akan dipublikasikan 20 Oktober. Selain itu artikel juga dikaitkan dengan pidato
Kahar Muzakkar, pemimpin pemberontak di Sulawesi Selatan’.
Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 24-10-1956: ‘Mochtar Lubis, editor dari Indonesia Raya,
akan membenarkan HRH memiliki dua tuduhan, ketika kasusnya besok untuk
pengadilan negeri di Jakarta. Jaksa sebagaimana dikatakan Dali Mutiara, yang
dalam hal ini sebagai jaksa, kepada pers. Kedua tuduhan pada pesan di Indonesia
Raya pada 14 Agustus 1956 dengan judul "Menteri Luar Negeri terlibat dalam
hitungan keuangan dari setengah juta rupiah sehubungan dengan masalah Thay Lic
Hok, dan sebuah pesan pada 6 tanggal September 1956 dengan judul "Neraka Kabinet
Ali memiliki konspirasi politik mengenakan Tali. Dalam hal ini, Mochtar Lubis
dapat dituduh Pasal 154 dan Pasal 207 KUHP telah melanggar, kata Jaksa Dali
Mutiara. Sidang akan dipimpin oleh Hakim Maengkom. Dia yang secara terbuka
mengungkapkan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap
Pemerintah Indonesia, dipidana dengan pidana penjara tidak melebihi tujuh
tahun, atau denda tidak melebihi tiga ratus rupiah. ‘.
Mochtar Lubis di depan pengadilan (1956) |
Mochtar Lubis, Wartawan Terkenal; Soekarno melawat ke
Eropa di waktu yang salah
Sudah duabelas kali Mochtar Lubis berkunjung
ke berbagai Negara, dan selalu dilakukan pada waktu yang tepat. Kunjungannya
karena alas an tugas atau memenuhi undangan resmi. Sebaliknya, dikabarkan
Soekarno dan rombongan melawat ke Eropa dengan banyak penolakan karena
dilakukan tidak tepat waktu. Akibatnya Soekarno sebagai Prseiden RI tidak
diterima secara kenegaraan.
De Tijd: godsdienstig-staatkundig dagblad, 02-11-1956
(Dari koresponden kami di Indonesia): ‘Wartawan terkemuka Indonesia yang
menulis laporan perilaku Presiden Sukarno dan kabinet selama perjalanan mereka
ke Eropa dan Amerika, di mana disebutkan berbagai aktivitas selama perjalanan
ini, tidak kurang dari pengungkapan mungkin disebut keempat jurnalis Adam
Malik, kepala kantor berita Antara, Mochtar Lubis, editor koran Indonesia Raya,
Rosihan Anwar, editor koran Pedoman dan S. Tasrif, editor koran Abadi. Terlepas
Indonesia Raya, Pedoman dan Abadi adalah artikel ini, yang dibagi menjadi dua
bagian yang diterbitkan pada dua hari berturut-turut, ditempatkan di sangat
banyak surat kabar Indonesia. Artikel tidak diterbitkan oleh surat kabar lebih
kiri-oriented’.***Artikel ini mengungkapkan bahwa Presiden Sukarno sebenarnya
tidak diundang oleh Italia untuk kunjungan kenegaraan, tetapi bahwa proposal
untuk melakukannya didasarkan pada Indonesia. Pada awalnya muncul dari sisi
Italia untuk memiliki keberatan karena kunjungan hanya selama liburan akan
jatuh, tapi akhirnya mereka menyerah pada keinginan Indonesia. Indonesia juga
mendekati Inggris, tapi negara ini menunjukkan bahwa agenda kunjungan
kenegaraan selalu mencari yang sudah mapan satu tahun di muka sehingga mereka
bisa menerima orang Indonesia hanya sebagai tamu biasa. Ini ditolak oleh pihak
Indonesia. Di Swiss, di mana presiden berubah setiap tahun, itu sama sekali
tidak adat untuk menerima tamu-tamu negara, tetapi mereka menyerah setelah
semua tekanan Indonesia yang relevan. Austria juga mengatakan artikel ini hanya
setelah Indonesia bersikeras telah siap untuk menerima tamu Indonesia, jumlah
tamu negara itu secara tegas terbatas pada dua belas.
Mochtar
Lubis didampingi pengacara mantan menteri kehakiman dari kabinet Mr.
Burhanuddin Harahap
Pada fase pengadilan Mochtar Lubis ini,
Soekarno-Hatta dengan cabinet Ali Sastro. Sebelumnya cabinet Suwardi Tasrif
adalah cabinet Burhanuddin Harahap. Untuk mendampingi Mochtar Lubis tentu saja
Parada Harahap telah menghubungkan koneksinya dengan Burhanuddin Harahap untuk
meminta Lukman (mantan menteri kehakiman).
Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 03-11-1956: ‘Pcngadilan Negeri Jakarta pagi ini, untuk
kedua kalinya. bertemu untuk melakukan sidang Mochtar Lubis, editor Indonesia
Raya, tapi ditunda atas permintaan pembela dan dilanbjutkan untuk Sabtu 17
November. Sesi pertama, yang diselenggarakan pada 25 Oktober ditunda atas
permintaan terdakwa. Tersangka mengatakan bahwa ia membutuhkan waktu untuk
mempelajari dokumen dan mencari bantuan dari penasihat hukum. Pada pertemuan
pagi ini tersangka didampingi dua pengacara, yaitu: Mr. Lukman Wiriadinata (mantan
Menteri Kehakiman dalam kabinet Mr. Burhanuddin Harahap), dan Mr. Tan Kian Lok.
Tapi tidak lama setelah hakim Maengkom duduk di kursi, Mr. Lukman Wiriadinata
meminta penundaan dua minggu karena pembelaan membutuhkan waktu untuk
mempelajari dokumen. Permintaan ini dikabulkan oleh pengadilan. Banyak penonton
kecewa pada berita tentang keputusan ini. Seperti diketahui, Mochtar Lubis dituntut
Pasal 154 KUHP (pasal primer) dan Pasal 207 (sekunder) telah melanggar. Wartawan
terkenal ini dituduh menabur kebencian. Pasal 154 terkait mengungkapkan
perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap pemerintah secara
terbuka (hukuman maksimal tujuh tahun) dan Pasal 207 KUHP mengenai sengaja di
depan umum Indonesia ditetapkan dalam menulis kekuasaan atau badan publik yang didirikan
ada penghinaan (hukuman maksimum setengah tahun). Ini adalah maksud dari
pengadilan untuk menerapkan prosedur ringkasan dalam penanganan kasus Mochtar
Lubis’.
De nieuwsgier, 17-11-1956: ‘Pemimpin redaksi dari
Indoncsia Raya, Mochtar Lubis, rekannya dari Merdeka. BM Diah ditantang untuk
debat publik di Balai Wartawan, gedung olah raga atau dimanapun, tetapi juga
cakupan pada Roeslah Abdulgatn. Menurut Merdeka pesan di Indonesia Raya telah muncul
sebagai bagian dari persiapan untuk kudeta. Halaman terakhir mengklaim memiliki
bukti bahwa Menteri Ruslan Abdulgani terlibat dalam tindakan korruptie dengan Lic
Hok Thay dan Queljoe. Bukti ini adalah siap untuk menunjukkan kepada debat
publik’.
Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 17-11-1956: ‘Kasus Mochtur
Lubis, Permintaan terhadap Kolonel
Kawilarang sebagai saksi. Duduk di Pengadilan Negeri dari kasus pidana terhadap
jonrnalist Mochtar Lubis, editor Indcneria Raya ' yang dituntut dengan Pasal
154 dan Pasal 207 KUHP telah melanggar; Kepada hakim, itu tidak niatnya sama
sekali menyinggung pemerintah Ali Satroamidjojo, permusuhan atau penghinaan
pemerintah. Tujuan saya adalah untuk demi kepentingan umum dan kebenaran, kata
Motrhtar Lubis. Hakim mencatat bahwa Mochtar Lubis dalam salah satu artikelnya
menulis bahwa Perdana Menteri Ali dan Mayor Jenderal Nasution jahat dan melindungi Kabinet Ali yang
konspirasi politik telah ditempa merugikan patriot Indonesia. Hakim bertanya
apakah hal ini termasuk tidak ada penghinaan terhadap otoritas. Mochtar Lubis menanggapi
memberi tahun antara lain berikut: ‘Jika saya benar-benar ingin menyinggung
otoritas selain keyakinan saya, hanya mengungkap secara tajam. Hakim: ‘Apa yang
akan Anda lakukan jika seseorang mengatakan bahwa Anda adalah jahat’. Destination:
Barrel melindungi Anda tidak penghinaan?. Saksi: Tidak sama sekali. Saya suka
mengkritik diri sendiri. Jika itu benar-benar benar bahwa aku pelindung jahat,
saya akan memperbaiki diri’. Ketika ditanya oleh hakim kepada terdakwa bahwa cabinet
Ali konspirasi politik karena memiliki komite menteri dibentuk untuk melindungi
Ruslan Abdulgani sementara itu yakin bahwa, Ruslan Abdulgani corrurptie.
Terdakwa meminta pengadilan saksi, termasuk memanggil Kolonel Kawilarang untuk
membuktikan bahwa dengan Indonesia Raya yang diluncurkan laporan korupsi, dll
memang benar. Sesi ini menarik publik yang sangat besar. Sebelumnya, pembela
Mr. Tan dan Mr Lukman, untuk menempatkan bahwa Pasal 154 dan 207 (diumumkan
pada tahun 1918. Dengan demikian pada masa penjajahan) seharusnya tidak lagi
dijelaskan secara paksa, dan bahwa pidana tidak mungkin ditangani dengan
sewenang-wenang . Permohonan dari pembela Maengkom menolak bahwa hal tersebut
memang untuk di Indonesia’.
Kasus Mochtar Lubis ini adalah pengadilan
terbesar di era kemerdakaan. Tidak hanya prosesnya lama (beberapa kali
ditunda), juga melibatkan banyak saksi, seperti: Kolonel Kawilarang, Lic Hok
Thay, Piet de Queljoe, Letkol. Prajogo. Generaal-Majoor Nasution, Mr. Moh. Roem
en adj.hoofdkommissaris Saud Wirjasendjaja. Dalam persidangan itu sendiri
terjadi perdebatan sengit antara pembela di satu sisi dan Jaksa dan hakim di
sisi lain. Namun yang menarik adalah ketika hakim mengaitkan artikel Mochtar
Lubis--edisi 14 Agustus 1955 dan edisi 6 September 1955--(Abdul Haris
Nasution). Mochtar menjawab, tidak ada permusuhan dengan Nasution, karena kami
adalah kawan lama yang baik, kata Mochtar Lubis.
De nieuwsgier, 19-11-1956: ‘…Hakim bertanya apakah
laporan yang menyatakan bahwa Kepala Staf Nasution melindungi Ruslan Abdulgani
yang diduga korupsi…Pembela menjawab: bahwa pesan ini adalah benar dan berasal
dari pernyataan Kol. Zulkifli Lubis dan silahkan mengkonfirmasi hal ini.. Saya
menganggap pernyataan ini juga, karena berasal dari mulut seorang pejabat
tinggi militer..
Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 19-11-1956: ‘Ketika ditanya oleh hakim apakah artikel anda
akan menyiratkan permusuhan? Mochtar Lubis menjawab: Tidak. Kepala Staf
Angkatan Darat, Nasution, adalah teman lama yang baik, kata Mochtar Lubis.
Ketika ditanya oleh hakim apakah artikel di Indonesia Raya menuduh Perdana
Menteri Ali melakukan kekotoran nama patriot Indonesia dan Indonesia Raya
menuduh pemerintah melakukan konspirasi politik? Mochtar menjawab: Tidak ada
maksud permusuhan, negatif dan artikel ini mengatakan bahwa koreksi pada
pemerintah. Ketika ditanya oleh jaksa apa yang dimaksud dengan konspirasi
politik, jawab terdakwa, bahwa istilah konspirasi politik untuk Perdana Menteri
Ali adalah istilah yang terlalu sopan, karena pada kenyataannya, Perdana
Menteri Ali membela Roeslen Abdulgani, yang bersama dengan Lic Hok Thay
terlibat melakukan korupsi dalam sebuah kasus’.
Kasus Mochtar Lubis ini telah mengungkapkan
sendiri tentang dinamika di dalam musyawarah dalihan natolu yang menghadirkan
tokoh-tokoh penting Padang Sidempoean saat itu: Mochtar Lubis sendiri
(media/terdakwa), Mayjen. Abdul Haris Nasution (militer/saksi), Kol. Zulkifli
Lubis (intelijen/saksi), Parada Harahap (media dan Kadin/media) dan Burhanuddin
Harahap (mantan perdana menteri/pembela) dan bisa ditambahkan ‘anak boru’
Kawilarang, mantan petinggi militer di Padang Sidempoean pada era agresi. Dalam
masa kini, teringat Kasus Century, tokoh-tokoh penting from Padang Sidempoean: Dr.
Darmin Nasution (saksi), Prof. Anwar Nasution (saksi), Aulia Pohan, Ramadhan
Pohan (media/legislative), Chairuman Harahap (legislative), Mulfachri Harahap
(legislative), Dr. Adnan Buyung Nasution (pembela) dan dapat ditambahkan Mulia
P. Nasution (pendamping Sri Mulyani/pemerintah).
Kabinet Ali Sastroamidjojo
(30 Juli 1953 -
12 Agustus 1955)
|
|||
Kabinet Burhanuddin Harahap
(12 Agustus 1955
- 24 Maret 1956)
|
|||
No
|
Jabatan
|
Nama Menteri
|
Partai
|
1
|
Masjumi
|
||
PIR-Hazairin
|
|||
PSII
|
|||
2
|
Demokrat
|
||
3
|
NU
|
||
4
|
Burhanuddin
Harahap
|
Masjumi
|
|
5
|
PSI
|
||
6
|
PIR-Hazairin
|
||
7
|
PSII
|
||
8
|
Katolik
|
||
10
|
Masjumi
|
||
11
|
PRN
|
||
Menteri
Muda Perhubungan
|
Buruh
|
||
12
|
-
|
||
13
|
Buruh
|
||
14
|
PSII
|
||
15
|
-
|
||
16
|
NU
|
||
17
|
Parkindo
|
||
18
|
PRN
|
||
19
|
Masjumi
|
||
PRI
|
|||
PIR
|
|||
Kabinet Ali Sastroamidjojo
(24 Maret 1956 -
9 April 1957)
|
Tokoh-tokoh asal afdeeling Padang Sidempoean
sejak Willem Iskander (pribumi pertama studi ke Belanda, 1857) bukan hanya
puluhan tetapi ratusan. Sebuah afdeeling (kabupaten) di era Belanda, yang
penduduknya tidak lebih dari seratus ribu orang telah melahirkan banyak tokoh di
level regional (Kresidenan Tapanoeli) dan level province (Sumatra) dan level
nasional. Karena itu, pada era perang kemerdekaan dan sesudahnya (sebelum 1956)
jumlah tokoh asal Padang Sidempoean di tingkat nasional (di Jakarta dan
sekitarnya) masih signifikan jumlahnya. Mereka tidak hanya berkiprah di bidang
pers, juga pemerintahan, militer, kebudayaan, kesehatan, pendidikan dan
lainnya. Mereka antara lain:
Pers: Parada Harahap (pemimpin Bintang Timur dan Java
Bode), Adam Malik (pemimpin Antara, Menteri Perdagangan pada cabinet Kerja-4,
13 November 1963-27 Agustus 1964, Menteri Koordinator Pelaksanaan Ekonomi
Terpimpin, cabinet Dwikora-1, 27 Agustus 1964-22 Februari 1966, Menko
Diperbantukan Pada Presiden Urusan Hubungan Ekonomi Luar Negeri cabinet Dwikora-2,
24 Februari 1966-27 Maret 1966 dan merangkap Wakil Perdana Menteri III dan
Menteri Luar Negeri & Hubungan Ekonomi Luar Negeri, ad-interim sejak 18
Maret 1966, Wakil Perdana Menteri untuk urusan Sosial dan Politik merangkap
Menteri Luar Negeri pada cabinet Dwikora-3 31 Maret 1966 sampai 25 Juli 1966,
Menteri Utama bidang Politik merangkap Menteri Luar Negeri pada cabinet
Ampera-1, 28 Juli 1966-11 Oktober 1967--Ketua Presidium Kabinet atas
persetujuan Presiden Soekarno/pejabat Presiden, Soeharto mulai dari 12 Maret
1967), Menteri Luar Negeri pada cabinet Ampera-2, 14 Oktober 1967-6 Juni 1968),
Mochtar Lubis (pemimpin Indonesia Raya), Sakti Alamsjah (pimpinan Pikiran
Rakyat), AM Hoetasoehoet (pimpinan akademi wartawan), Hasjim Rachman (pimpinan
Bintang Timur).
Pemerintahan: Amir Syarifoedin (Menteri Penerangan
cabinet presidensial, 19 Agustus 1945-14 November 1945, kabinet pertama RI yang
mana wakilnya waktu itu Ali Sastroamidjojo yang kini menjadi ‘seteru’ Mochtar
Lubis; menteri penerangan hingga 3 Januari 1946 dan menteri keamanan rakyat,
periode cabinet Sjahrir-I, 14 November 1945-12 Maret 1946 dan menteri
pertahanan pada cabinet Sjahrir-2, 12 Maret 1946-2 Oktober 1946, menteri
keamanan rakyat pada cabinet Sjahrir-3, 2 Oktober 1946-3 Juli 1947, perdena
menteri merangkap menteri pertahanan 3 Juli 1947-11 November 1947 dan perdana
menteri merangkap menteri pertahanan 11 November 1947-29 Januari 1948); Abdul
Hakim (wakil perdana menteri, Kabinet Halim, 21 Januari 1950-6 September 1950)
dan menteri Negara, cabinet Burhanuddin Harahap, 12 Agustus 1955-24 Maret
1956); Burhanuddin Harahap (perdana menteri, 12 Agustus 1955-24 Maret 1956). Arifin
Harahap (Menteri Muda Perdagangan pada cabinet Kerja-1, 10 Juli 1959 - 18
Februari 1960, menteri perdagangan cabinet Kerja-2, 18 Februari 1960 - 6 Maret
1962, Menteri Urusan Anggaran Negara pada kabinet Kerja-3, 6 Maret 1962- 13
November 1963, Menteri Urusan Anggaran Negara pada cabinet Kerja-4, 13 November
1963-27 Agustus 1964, Menteri Negara, cabinet Dwikora-1, 27 Agustus 1964-22
Februari 1966, Wakil Menteri Urusan Bank Sentral pada cabinet Dwikora-2, 24
Februari 1966-27 Maret 1966, Asisten II Waperdam untuk Ekonomi, Keuangan dan
Pembangunan pada cabinet Dwikora-3)
Militer: Abdul Haris Nasution (kepala KSAD semasa kasus
Mochtra Lubis, Menteri Keamanan dan Pertahanan merangkap KASAD pada cabinet
Kerja-1, 10 Juli 1959 - 18 Februari 1960, menteri keamanan nasional merangkap
KASAD pada cabinet Kerja-2, 18 Februari 1960-6 Maret 1962, Wakil Menteri
Pertama/Koordinator Pertahanan/Keamanan merangkap KASAD pada cabinet Kerja-2,
Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan pada cabinet Kerja-4, 13 November
1963-27 Agustus 1964, Menteri Koordinator/Kepala Staf ABRI pada cabinet
Dwikora-1), Zulkifli Loebis (kepala intelijen), MO Parlindoengan (kepala
perusahaan pabrik senjata dan mesiu di Bandung).
Pendidikan dan Kebudayaan: Sanoesi Pane, Armin Pane,
Soetan Takdir Alisjahbana, Panangian Harahap dan Dr. Mr. T.S.G. Mulia (menteri
pengajaran pada cabinet Sjahrir-I dan menteri muda pengajaran pada cabinet
Sjahrir-2).
Tokoh wartawan yang menjadi pejabat
pemerintah adalah Adam Malik sejak
cabinet Kerja-4, 13 November 1963-27. Kemudian,
BM Diah baru diangkat menjadi Menteri Penerangan sejak cabinet Ampera-1,
14 Oktober 1967 dan berlanjut pada cabinet Ampera-2. Sementara itu, seteru
Mochtar Lubis, Roeslan Abdoel Gani dan Ali Sastro Amidjojo sudah tidak menjabat
lagi dalam pemerintahan sejak berakhir cabinet Dwikora-3 pada tanggal 25 Juli
1966.
Trio arsitek Orde Baru (1966) |
Pada cabinet Pembangunan-1, 10 Juni 1968- 28 Maret 1973 hanya Adam Malik mantan wartawan
satu-satunya yang terus bertahan sebagai pejabat pemerintah yakni Menteri Luar
Negeri. Sementara itu, Mochtar Lubis sejak 1966 sudah dibebaskan dari tahanan
yang telah dialaminya sejak era Soekarno. Pada tahun 1968 Mochtar Lubis
diizinkan untuk menghidupkan kembali Koran Indonesia Raya yang telah dibreidel
pada era Soekarno. Pada 1 April 1969, dimulailah pelaksanaan Repelita-I
(1969-1974).
Dalam hal repelita ini, mengingatkan bagaimana repelita
dibuat pada tahun 1957 sebagai repelita yang pertama ada yang disusun oleh
Parada Harahap dan kawan-kawan.
Adam Malik, Ketua Sidang PBB (1971) |
Pada cabinet Pembangunan-4 (19 Maret 1983-21
Maret 1988), Adam Malik tidak lagi berada di pemerintahan. Lalu kemana Adam
Malik? Pensiun. Namun tidak lama kemudian dikabarkan Adam Malik meninggal di
Bandung pada 5 September 1984. Lantas apakah, tokoh asal Padang Sidempoean
sudah habis? Belum. Pada cabinet Pembangunan-4 ini muncul dua The Rising Star:
Hasjrul Harahap dan Arifin Siregar. Dalam cabinet ini Hasjrul Harahap menjabat
sebagai Menteri Muda Urusan Peningkatan Produksi Tanaman Keras dan Dr. Arifin
Siregar menjabat Gubernur Bank Indonesia. Pada cabinet Pembangunan-5 (23 Maret
1988-17 Maret 1993) Hasjrul Harahap
menjadi Menteri Kehutanan dan Arifin Siregar menjadi Menteri Perdagangan.
Pada cabinet Pembangunan-6 yang dimulai 17
Maret 1993 dan pada cabinet Pembangunan-7 yang dimulai 14 Maret 1998 hingga
lengsernya Soeharto (21 Mei 1998), tidak ada lagi tokoh generasi lama asal
Padang Sidempoean di pemerintahan. Dalam hal ini, generasi baru tidak
diperhatikan dalam artikel ini (itu artikel tersendiri), antara lain, yakni: Bomer Pasaribu, Darmin Nasution,
Mahendra Siregar, dan Syamsir Siregar. Namun demikian, jangan lupa bahwa di era
demokrasi (pasca Soeharto) masih ada satu tokoh lagi generasi lama yang belum
habis, yang justru menjadi pokok perhatian, yakni: Mochtar Lubis. Mari disimak
lagi.
Mochtar
Lubis mengkritik parlemen dan pers, Partai Masjumi akan menarik diri dari
perlemen dan cabinet akibat masalah korupsi di pemerintahan
Pada era Hindia Belanda pemerintahan di
tangan seorang Gubernur Jenderal yang berkedudukan di Batavia. Dalam mengawasi
fungsi pemerintahan, sudah sejak lama dibentuk dewan nasional (Volksraad).
Anggota dewan nasional yang berasal dari pribumi baru disertakan pada tahun 1920.
Sedangkan untuk dewan kota (gementeeraad) sebelumnya pribumi sudah lebih dahulu
disertakan yakni tahun 1918. Anggota dewan nasional dan dewan kota untuk
pribumi dilakukan melalui pemilihan oleh voter yang sudah ditentukan
syarat-syaratnya (utamanya berdasarkan tingkat pendapatan tertentu).
Anggota dewan nasional untuk pribumi yang berasal dari
Sumatra yang yang pertama dan satu-satunya pada tahun 1920 yang terpilih adalah
Abdoel Moeis (jurnalistik). Pada waktu itu, Sumatra hanya satu dapil. Pada
periode berikutnya (1924) jatah Sumatra ditambah dengan empat dapil: Sumatra’s
Weskust, Zuid Sumatra, Oost Sumatra dan Noord Sumatra (Tapanoeli en Atjeh). Dua
tokoh asal Padang Sidempoean yang terpilih untuk menuju Pejambon (kini
Senayan). Kedua tokoh tersebut adalah Dr. Alimoesa Harahap dari dapil Noord
Sumatra dan Abdul Firman Siregar gelar Mangaradja Soangkoepon dari dapil Oost
Sumatra. Pada periode berikutnya (1930), kembali terpilih Mangaradja
Soangkoepon. Sedangkan dari dapil Noord Sumatra yang terpilih adalah Dr. Abdul
Rasjid. Pada periode berikutnya (1936) kembali terpilih Mangaradja Soangkoepon
dari dapil Oost Sumatra dan Dr. Abdul Rasjid dari Noord Sumatra. Dalam periode
ini satu lagi anak Padang Sidempoean adalah penunjukan mewakili golomgan
pendidik adalah Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia, PhD. Dengan
demikian anggota Volksraad asal Padang Sidempoean pada periode terakhir dewan
era Belanda ini terdapat tiga orang anggota Volksraad yang berasal dari Padang
Sidempoean.
Dari tujuh belas anggota dewan nasional
(Volksraad) yang pribumi, hanya satu orang yang berani menggebrak Pejambon,
yakni Mangaradja Soangkoepon. Banyak usulan yang diperjuangkan oleh Mangaradja
Soangkoepon yang diterima dewan sebagai kebijakan atau undang-undang.
Mangaradja Soeagkoepon dalam fungsi pengawasan tidak segan-segan mengkritik
pemerintah dan berani bersuara lantang dan militant. Boleh jadi waktu itu, yang
dilawan adalah pemerintahan colonial yang notabene dikuasasi oleh orang-orang
Belanda. Mangaradja Soeangkoepon juga mengkritik teman-temanya sesama pribumi
yang kurang berani memperjuangkan hak-hak rakyat.
Kini (1956) setelah era kemerdekaan pasca
pemilihan umum 1955, banyak anggota dewan yang tidak kompeten dan yang lebih
menyedihkan adalah tidak berbuat banyak untuk rakyat, apalagi sukarela untuk
memperjuangkan kebebasan pers. Mochtar Lubis yang selama ini mengkritik
pemerintah, kini (1956) para legislative juga tidak luput dari perhatiannya.
Kalau dulu, anggota dewan mengkritik pemerintah dan legislative, kini rakyat
biasa yang diwakili oleh Mochtar Lubis yang tidak hanya mengkritik pemerintah
tetapi juga anggota dewan yang terhormat.
Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 01-12-1956: ‘Pada sidang Pengadilan Negeri pagi ini untuk
melanjutkan persidangan wartawan Mochlar Lubis, editor Indonesia Raya, yang
diproduksi oleh terdakwa hanya berupa fotokopi pada partisipasi menteri Ruslan
Abdulgani dalam hal manipulasi yang dilakukan oleh Lic Hok Tay sebagaimana laporan
dari penyelidikan awal yang dilakukan oleh polisi di Jakarta dalam kasus Lic Hok
Tay. Dari laporan ini menunjukkan bahwa Lic Tay Hok sejumlah Rp. 3.750.000.-
menggelapkan dana pemilu. Dari uang gelap ini jumlah yang diberikan, menurut
Lic Hok Tay, diterima Menteri Luar Negeri (Ruslan Abdulgani) sebsar Rp.
930,000.-. Penangkapan Lic Hok Tay menyita saham besar berupa barang oleh
polisi, dimana lebih rumah dan mobil dari Ruslan Abdulgani. Terdakwa: Saya
punya alasan mengapa saya tidak ingin percaya kabinet. Ketika Lic Hok Tay
selama pemeriksaan pendahuluan ke polisi. mantan menteri pendidikan, Sjamsudin
Sutan Makmur, berpartisipasi dalam korupsi, itu segera ditangkap dan
diinterogasi. Tapi ketika Lic Hok menegaskan bahwa Ruslan Abulgani melakukan korupsi,
Ruslan tidak sama sekali dipertanyakan atau ditangkap. Pemerintah membuat
sebaliknya, bahwa diketahui Ruslan tidak dianggap bersalah. Bagaimana aku bisa
percaya dengan keyakinan saya tentang pengumuman itu, sementara aku tahu betul. Saya
bersalah? Ketika ditanya oleh hakim kepada sesama terdakwa, bahwa ia telah
diterbitkan dalam artikel surat kabar dengan sadar, tidak dengan maksud
menyinggung pemerintah, tetapi hanya untuk melayani kebenaran dan membela kepentingan
rakyat’.
Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 01-12-1956: ‘Menteri Informasi Sudibjo menyatakan kepada
pers bahwa laporan akan Perdana Menteri Ali Sastronmidjoja yang dari Rabu lalu
telah diberikan tekanan untuk "memaksa" orang untuk mengambil yaitu,
bahwa Kolonel Lubis Znlkifli memang telah melakukan tindakan untuk
menggulingkan pemerintah, sama sekali diadakan. Menteri Sudibjo menyatakan
bahwa masalah ini harus pertama diserahkan ke parlemen, sebagaimana telah
disampaikan ke bagian pertahanan parlemen, yang kemudian akan menentukan hanya
pemerintah pandangannya. Mochtar Lubis: Parlemen Indonesia saat ini telah
menunjukkan bahwa tidak dapat melakukan tugasnya dengan baik. Tidak hanya parlemen
tetapi juga cara pers memiliki tugas untuk memantau regeringshande imgen’.
Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 05-12-1956: ‘Akankah Mr. Roem pengunduran diri? Pendapat
tentang pembubaran reshuffle cabinet. Menurut Pedoman dan "Indonesia Raya,
manajemen pusat dari Masyumi pada pertemuan terakhir membahas masalah tersebut kemungkinan
apakah penarikan menteri Masyumi dari taruhan pemerintah saat ini. Sudah?
Langkah pertama, Mr. Moh. Roem, mengundurkan diri fungsi Rhine. The besüssing
tentang masalah ini akan dibawa lambat dua minggu oleh partai. Pengunduran diri
Mr. Roem akan diikuti oleh langkah kedua, akan mengundurkan diri semua menteri
Masyumi. Pedoman juga menyatakan bahwa partai Masyumi hampir dengan suara bulat
berpendapat bahwa menteri dari partai harus ditarik dari kabinet. Posisi
menteri mengatakan, bagaimanapun, perubahan datang setelah wartawan Mochtar
Lubis duduk di kursi pengadilan "bukti baru" telah menyerahkan peran
menteri Ruslan Abdulgani pada oleh Lic Hok Tay melakukan korupsi’.
Mochtar Lubis atas keberanianya diberi hadiah Quran
De nieuwsgier, 08-12-1956: ‘Hadiah untuk Mochtar Lubis. Himpunan
Pengarang Islam, pemimpin redaksi dari Indonesia Raya, Mochtar Lubis, sebagai
pengakuan atas perjuangannya untuk kepentingan tanah air dan orang-orang, ditawarkan
Qur'ani. Asosiasi percaya bahwa Mochtar Lubis adalah salah satu wartawan Indonesia
yang berani dengan pendapatnya, dan juga pentingnya membela tanah air dan
orang-orang, meskipun dituntut. Asosiasi ini menganggap bahwa Mochtar Lubis yang
memimpin Indonesia Raya penulis yang benar-benar berani memberi komentar untuk
keluar, untuk kepentingan tanah air da berani membela, bahkan sebelumnya
dituntut’.
Mochtar Lubis, Zulkifli Lubis dan Indonesia Raya
Ada tiga pihak elemen bangsa saat itu: Pers
(Mochtar Lubis, Rosihan Anwar, BM Diah, dll), Pemerintah (Soekarno, Hatta, Ali
dan Abdulgani, dll) dan Militer (Abdul Haris Nasution, Zulkifli Lubis, dll).
Ketika elemen ini berada di pusat permasalahan. Pemerintahan (Ali dan Abdul
Gani) dikritik oleh pers (Mochtar Lubis) soal korupsi dan dikaitkan karena
kritik ini juga menyinggung militer (dianggap tidak bereaksi). Sementara itu
pemerintah (Soekarno dan Hatta) dalam menjalankan pemerintahan dianggap lalai
melaksanakan pembangunan menyeluruh (Djawa vs Luar Djawa). M. Hatta dan
Zulkifli tampak memiliki padangan yang sama soal ini. Zulkifli semakin gerah
karena dirinya terabaikan, seperti Luar Djawa terabaikan. Lalu Zulkifli dituduh
merencanakan penggulingan pemerintah. Hatta dengan Soekarno sempat retak karena
kisruh ini, yang mana Soekarno lebih mendahulukan soal Irian Barat daripada
soal ketidakadilan.
Mochtar Lubis berteman baik dengan Abdul
Haris Nasution dan Zulkifli Lubis. Musuh utama Mochtar Lubis hanya satu: soal
korupsi. Mochtar Lubis meminta militer menangkap koruptor. Siapa yang menangkap
diperjelas oleh Rosihan Anwar yang menganggap Ali dan Nasution sama-sama tidak
bersedia dalam soal kasus Abdulgani. Zulkifli yang berada di intelijen, karena
dekat dengan Mochtar Lubis ikut menjadi penyandang dana Indonesia Raya dengan
cara membeli saham. Wakil Zulkifli Lubis di Indonesia Raya adalah Kapten
Sulistiadi yang berperan sebagai wartawan. Ketika persoalan ada dua kasus yang
terpisah (korupsi dan penggulingan), Mochtar Lubis yang menyerang korupsi dianggap
berkolaborasi (dikaitkan) dengan penggulingan pemerintahan. Dari sudut lawan-lawan
Mochtar Lubis: membalik pendulum bahwa Mochtar Lubis terlibat penggulingan
untuk dalih menyelamatkan korupsi.
Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 17-12-1956 (Ajudan juga wartawan): ‘koran Bintang Timur
melaporkan bahwa di rumah Kapten Sulistiadi, ajudan Kolonel Zulkifli Loebis, ditangkap
hari ini, yang dikaitkan dengan Sulistiadi petugas dari harian Indonesia Raya.
Kartu pers yang ditandatangani oleh Mochtar Lubis, editor Indonesia Raya.
Tanggal penandatanganan adalah 12 Agustus, koran ini dapat melaporkan lebih
lanjut bahwa mayoritas saham NV Indonesia Raya baru-baru ini dibeli oleh
Kolonel Zulkifli Lubis sehingga kolonel ini benar-benar memiliki Indonesia Raya.
Sementara itu, laporan Indonesia Raya, Kapten Sulistiadi memang seorang
karyawan dari Indonesia Raya. Sehubungan dengan pengakuan dari Indonesia Raya ini,
Harian Rakyat (Komunis), menanykan mengapa kartu pers dari Kapten Sulistiadi bertanggal
12 Agustus hanya ditandatangani oleh pemimpin redaksi Mochtar Lubis (yaitu satu
hari sebelum terjadinya kasus 13 Agustus, dan dua hari setelah dalam laporan
pemerintah mengatakan diadakan pertemuan rahasia di rumah Kolonel Lubis’.
***
Pedoman (opposilieMad) mengingatkan komunikasi dari Mr Daljono
(Masyumi) beberapa waktu lalu, bahwa sebenarnya tidak ada perbedaan mendasar
antara kebutuhan Kolonel Zulkifli Lubis dan Mayor Jenderal AH Nasution. Pada
saat itu deklarasi Daljono tidak begitu jelas, tapi sekarang, setelah
penerbitan surat terbuka Lubis, telah menjadi jauh lebih jelas. Kedua perwira
senior tampaknya, perbedaan menjadi keinginan yang sama, yaitu pembubaran
peraturan yang ada saat ini, sedikit, itu membatasi kekuasaan parlemen, dan
dengan demikian seluruhnya atau sebagian mandul dari partai-partai politik.
Kedua perwira senior untuk membentuk pemerintahan baru. Nasution akan
pemerintahan yang dipimpin oleh dua unit Soekarno-Hatta, dimana militer
sebenarnya sutradara akan terjadi di belakang layar untuk mengontrol
pemerintah. Lubis akan pemerintahan yang dipimpin oleh Hatta-Hamengkubuwono.
Kolonel Zulkifli Lubis menambahkan (elemen baru) bahwa kelompok Bung Karno yang
juga pemerintah saat ingin menggulingkan, dan kemudian membentuk konstelasi
negara baru, di mana Bung Karno akan memenuhi peran yang sama semua Mao Tse
Tung di Republik Rakyat China. Hal ini, di lain kata, mengatakan bahwa semua
bisnis pemerintah di negeri ini hanya akan dilakukan dengan persetujuan
terlebih dahulu dari Sukarno. Lalu, pemerintah sekarang menuduh Kolonel Zulkifli
Lubis melakukan upaya kudeta. Sebaliknya, pada dasarnya juga telah meluncurkan
tuduhan yang sama untuk menjadi Nasution dan pada Bung Karno. Namun, terlalu
banyak, sehingga menuntut sesuatu dari pemerintah saat ini, demikian Pedoman’.
Mochtar Lubis dalam hal ini abstain soal
masalah kekuasaan. Fokusnya hanya satu: korupsi agar militer bertindak. Soal
bahwa Zulkifli Lubis memiliki masalah lain, itu soal yang jauh dari yang
dipikirkan oleh Mochtar Lubis. Saham Zulkifli Lubis di Indonesia Raya menjadi alasan
pemerintah untuk menjerat Mochtar Lubis. Dalam karut marut persoalan yang kait
mengkait ini Mochtar Lubis terjepit: Tuduhannya terhadap korupsi dibungkam
dengan menuduh dirinya terlibat penggulingan. Mochtar Lubis tampaknya tetap focus
pada satu tujuan: menanggulangi korupsi. Soal perebutan kekuasaan tidak mau
tahu, itu bukan urusan Mochtar Lubis. Sejauh ini Mochtar Lubis hanya memandang
militer itu satu faksi (tanpa membedakan adanya pemikiran yang berbeda antara Abdul
Haris Nasution dan Zulkifli Lubis, sebab keduanya adalah teman lamanya). Yang
justru secara terbuka adalah Rosihan Anwar dari Pedoman yang menganggap
Nasution dan Ali sehaluan, dan Zulkifli Lubis dan Hatta sebagai satu faksi dan
Soekarno dan Nasution sebagai faksi yang lain. Tambahan lagi: faksi yang lain
adalah Soekarno dengan pengikut/kelompok di belakangnya. Itulah episode
pertama.
Pada episode kedua, pada waktunya nanti akan berlanjut,
kira-kira begini: Mochtar Lubis, anti komunis dan berseberangan dengan
Pramoedya Ananta Tour. Ketika partai komunis melakukan kudeta oleh pengikut
Soekarno, tampak bahwa Abdul Haris yang anti komunis juga menjadi sasaran
tembak (sebagaimana jenderal-jenderal yang dibunuh pada malam G30S/PKI). Saat
Soeharto muncul ke permukaan, Mochtar Lubis dibebaskan dan menerbitkan lagi
Indonesia Raya, Abdul Haris Nasoetion mulai pension dan Zulkifli Lubis sendiri terbebaskan
namun tetap diawasi. Soekarno sendiri ‘dirumahkan’ seperti Mochtar Lubis pada
era Soekarno. Sedangkan Ali Sastroamidjojo dan Roeslan Abadul Gani yang selalu
punya jabatan semasa Soekarno dipinggirkan alias dipensiunkan. Dugaan Zulkifli
Lubis tentang elemen yang ketiga terbukti ada benarnya tetapi tidak menduga akan
ada elemen yang keempat (Soeharto, Sultan dan Adam Malik).
Pada episode ketiga di era Soeharto, Mochtar Lubis (Indonesia
Raya) dan Rosihan Anwar (Pedoman) tetap bekerja pada misi pers, tetapi
berseberangan lagi dengan penguasa (yang kini Soeharto). Mochtar Lubis dan
Rosihan Anwar ditangkap, Indonesia Raya dan Pedoman dibreidel. Indonesia Raya
dan Pedoman berhenti untuk selamanya. Abdul Haris Nasution dan Zulkifli Lubis
sudah menua dan tidak terlalu peduli lagi jika muncul lagi gonjang-ganbjing
dalam bernegara. Mereka berdua hanya mengisi sisa hidup sebagai rakyat biasa
dengan tenang hingga tiba waktunya mereka menghadap Allah SWT. Ending episode
ini: Soeharto dilengserkan (mahasiswa) seperti halnya Soekarno dilengserkan
(pemuda). Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar mengakhiri sisa hidup masing-masing
dengan tenang hingga tiba waktunya mereka menghadap Allah SWT.
Intinya: Mochtar Lubis tetap lurus-lurus saja (tidak
pernah bengkok-bengkok).
Mochtar
Lubis Effect-1: Kolonel Simbolon di Medan kecam Ali Sastroamidjojo dan Kolonel
Ahmed Hussein Melakukan Kudeta di Bukittinggi
De Tijd: godsdienstig-staatkundig dagblad, 22-12-1956: ‘Radio
Medan mengatakan: Noord Sumatera dipisahkan dari Jakarta, Soekarno ingin
menyatakan keadaan darurat, pesan disensor. Pemberontakan militer Indonesia
membentang di atas seluruh Sumatra Tengah dan Utara, markas besar militer di Jakarta
kemarin sore telah menetapkan kebijakan penuh sensor pcrstclegrammen. Pagi ini:
disebut radio Medan, dalam siaran untuk iptriile bahwa Kolonel Simbolon, salah
satu komandan Indonesia, kekuatan di Tengah dan Noord Sumatra, ketaatan mengecam
pemerintah Ali Sastroamidjojo. Editor harian Indonesia Raya, Mochur Lubis, pagi
ini ditangkap oleh militer tetap setia kepada politie di Jakarta. Mochtar Lubis
adalah orang yang telah berbicara untuk waktu fcfchuldiging pertama korupsi
terhadap Menteri Luar Negeri Indonesia, Ruslan Abdulgani.
Mochtar
Lubis Effect-2: Soekarno Berpendapat Revolusi Indonesia belum selesai karena
Irian Barat masih belum dikembalikan ke Indonesia
De Tijd: godsdienstig-staatkundig dagblad, 22-12-1956: ‘Kolonel
Simbolon adalah atasan langsung dari Letnan Kolonel berusia 34 tahun, Ahmed Hussein,
yang kemarin dengan garis divisi Banteng sekitar Bukittinggi (sebelumnya Fort
de Kock) telah melakukan kudeta tak berdarah. Berita Indonesia melaporkan bahwa
Soekarno mempertimbangkan seluruh negara Indonesia kondisi darurat. Kabinet Indonesia
pada sesi khusus memutuskan untuk mengirim militer dan delegasi sipil ke Pos
Sumatra untuk bernegosiasi dengan komandan yang memberontak. Mengikuti ini di
kalangan politik Soekarno dengan para pemimpin partai Indonesia untuk memenuhi panggilan
pihak betraven, serta pesan majalah berpengaruh Keng Po dari Windy Days lalu
bahwa Sukarno Zao Zedong Indonesia pesanan liar. Dalam kuliah untuk anggota
pasukan mengemudi di Djogja yang presiden kemarin diberitahu bahwa ia memiliki
untuk mengatasi arus moeilukhekn. Hierlan ke Hu menambahkan. Itu rencana ini
bertujuan lemocratite yang negara yang
sakit ter jarak kami. Sukarno ada menekankan bahwa terug? Alasan untuk takut
bahwa Hu dan diktator yang Hu akan berkonsultasi partieleiders ilitieke rencana garis. Lagi dan
lagi ia menekankan bahwa Presiden Indonesia rata-rata kde demokrasi perlu
kesulitan yang dihadapinya pada ijenblik untuk mengatasi. Kesulitan-kesulitan
ini tercantum secara rinci di koran segala arah politik mungkin, karena
ketidakpuasan melawan corruptite, lambatnya perkembangan negara, menduduki
posisi kunci yang paling penting dalam pemerintahan oleh orang Jawa,
mengabaikan pulau lain oleh pemerintah pusat dan tawar-menawar antara pihak yang merupakan bagian dari pemerintah koalisi
Ali Sastroamidjojo ini. Dalam kemarin mengadakan ceramah ditekankan Presiden
Soekarno, revolusi Indonesia belum selesai, karena Nugini belum dikembalikan ke
wilayah Indonesia dan yang imperialisme dan kolonialisme belum mati. Dr.
Mohammad Hatta, yang tiga pekan lalu sebagai wakil presiden mengundurkan diri,
tetapi memberi pendapat diametral berlawanan diungkapkan di atas ketika ia
mengatakan bahwa sejarah akan membuktikan bahwa semua anarki politik dan
ekonomi merupakan hasil dari revolusi, yang tidak selesai tepat waktu. Banyak
pemimpin partai Islam telah menyatakan harapan bahwa Hatta anti-komunis yang
kuat, untuk memimpin ekonom terkenal bisa disiapkan di saat kritis ini pemerintah.
Lainnya sangat berharap bahwa Sukarno pengaruh akan terapkan untuk mengatasi
masalah multifaset saat ini. Yang lain berharap bahwa kedua pemimpin Indonesia
terkemuka, yang digambarkan sebagai diganggu gugat karena mereka menyatakan
bersama-sama pada tahun 1945 kemerdekaan Indonesia, akan berusaha untuk
bersama-sama mengatasi situasi saat ini. Tapi tidak ada yang mau memprediksi
sesuatu tentang apa yang akan terjadi dalam waktu dekat’.
Mochtar
Lubis ditangkap CPM dengan alasan yang tidak jelas, berkas tulisan diredaksi
Indonesia Raya disita
Mochtar Lubis pada malam ketika dalam
perjalanan ke rumah saudaranya Aminuddin Lubis ditangkap oleh CPM. Sementara
itu, di kantor redaksi Indonesia Raya sejumlah berkas yang akan dimuat besok
hari disita.
Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 22-12-1956: ‘Untuk alasan yang tidak diketahui, Mochtar
Lubis ditangkap kemarin (jumat) oleh CPM. Menuntut hari ini (Sabtu) dua bulan
karena penyalahgunaan kebebasan pers. Diamati oleh Jaksa Dali Mutiara, pagi ini
menuntut hukuman penjara dua bulan Mocbtar Lubis, editor Indonesia Raya untuk
pelanggaran Pasal 154 dan 207 KUHP (disebut haatzaaiartikekn). Mochtar Lubis
tadi malam, untuk diketahui ditangkap oleh CPM. Tak seperti biasanya, ia muncul
di rechtsgebonw dijaga oleh tentara. Hal ini dimengerti bahwa ia saat ini berada
di gedung CPM di Jalan Guntur. Kepentingan umum adalah sangat tinggi. Jaksa Dali
Mutiara dinyatakan dalam pidato penutupan singkat, kebebasan pers di Indonesia
pasti dijamin, tetapi itu tidak sah menyalahgunakan wijheid ini. Dia lebih
lanjut mengatakan bahwa artikel yang relevan dari wefcwaar hukum dari masa
kolonial, tetapi mereka tetap saja masih berlaku karena mereka belum dihapuskan
parlemen. Hal ini tugas pengadilan untuk kita. Dia akhirnya menyatakan dalam
pidato penutupannya bahwa saya menyesal Mochtar Lubis di krantina: sering
menegaskan positif bahwa orang-orang tertentu (termasuk menteri Roeirlan
Abduilgani) kejahatan yang dilakukan sementara negara masih padat sekali apakah
individu-individu. Persidangan ditunda selama tiga minggu. Pada sesi berikutnya
pembela akan membaca pidato mereka’.
Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 22-12-1956: ‘Penangkapan. Penangkapan Mochtar Lubis adalah
malam pukul 21.15. Mochtar Lubis pada kunjungan di rumah keluarga Aminuddin
Lubis, ketika jalan beberapa orang dari CPM datang untuk menangkapnya. Dia
tinggal di Jalan Bonang. Dalam edisi Indonesia Raya dari pagi ini beberapa
kolom yang terisi penyebab ini, menurut pernyataan dari editor, terletak pada
kenyataan bahwa salinan tulisan atau artikel yang relevan, tadi malam juga
mengambil oleh pasukan. CPM, yang datang ke kantor redaksi majalah., untuk
menyelidiki pada target tulisan yang akan diterbitkan pagi ini. Militer akan
salinan editorial dengan judul. ‘Kami mengundang Anda untuk mengundurkan diri
secara sukarela’, apalagi pesan tentang pendapat politisi mengenai ‘peristiwa
di Sumatera Tengah’ juga diambil. Selama tidak adanya Mochtar Lubis adalah E.
Bahauddin. editor majalah, yang bertanggung jawab atas editorial. Alasan
penangkapan Mochtar Lubis sejauh ini belum diketahui’.
Meski Mochtar Lubis ditangkap tadi malam, dan
sejumlah berkas di kantor redaksi Indonesia Raya disita. Berkas yang disita
tentang artikel permintaan halus mengundurkan diri Sokarno dan tentang pendapat
para politisi tentang peristiwa di Sumatra Tengah. Koran independen ini pagi
ini tetap terbit dengan E. Bahauddin bertindak sebagai editor.
Mochtar Lubis Effect-3: Kolonel Simbolon digantikan
Letkol Djamin Ginting dan Komando Taktis langsung dibawah KASAD Nasution
Situasi dan kondisi yang dihadapi Negara saat
yang bersamaan adalah multifaset yang satu dengan yang lainnya boleh jadi
berkaitan. Kasus Mochtar Lubis murni perang pers dengan korupsi. Soekarno di
pusat vs daerah melahirkan pemberontakan soal ketidakadilan Djawa vs Luar
Djawa. Diduga, pemberontakan di Sumatra Tengah merupakan rangkaian yang lain
pada berikutnya atas adanya dugaan terhadap Kolonel Zulkifli Lubis melakukan
upaya penggulingan pemerintah (Soekarno). Dalam hal pemberontakan di Sumatra
Tengah, dikaitkan bahwa Zulkifli mendukung. Lantas pemberontakan di Sumatra
Tengah yang dipimpin Letkol Ahmad Hussein tampaknya didukung oleh Kolonel
Simbolon yang menjadi komandan militer tertinggi di Sumatra yang bermarkas di
Medan. Kekhawatiran pemberontakan meluas ke Noord Sumatra, garis komando
Simbolon (pendukung gerakan anak buahnya Ahmad Hussein di Bukittiggi)
diamputasi dengan menggantikan Simbolon dengan Ginting dengan komando langsung
berada di tangan KASAD, Mayjen Abdul Haris Nasution. Kelompok Simbolon langsung
terkendali. Dengan kata lain, penanganan secara militer di Noord Sumatra
langsung teratasi. Hal yang sedikit berbeda dengan yang terjadi di Midden
Sumatra. Penanganan militer tidak cukup, bahkan harus mendahulukan pendekatan
diplomasi karena yang terjadi di Midden Sumatra lebih massif.
De waarheid, 24-12-1956: ‘Jakarta menolak kolonel
memberontak. Aksi Simbolon bahaya bagi Indonesia. Pemerintah Indonesia memiliki
Kolonel Simbolon, komandan wilayah Utara dan Tengah Sumatera, yang duduk di
bagian Indonesia tempat dimana kini diselenggarakan kudeta, diberhentikan.
Sabtu ini di Jakarta diumumkan oleh Menteri Informasi, Sudibjo, mengatakan
pemerintah Indonesia dalam sebuah pernyataan bahwa tindakan Kolonel Simbolon adalah
pelanggaran hukum Indonesia dan kesejahteraan bangsa Indonesia beresiko. Letnan
Kolonel Djamin Gintin ditunjuk penggantinya Simbolon, sementara perintah taktis
dari unit di Sumatra Utara dan Tengah telah dipindahkan dibawah tanggungjawab
langsung Kepala Staf Angkatan Darat Indonesia, Abdul Haris Nasution. Mengenai
kebutuhan Simbolon bahwa Kabinet Sastroamidjojo akan hilang, kata pemerintah,
parlemen dapat memutuskan hanya pada apakah akan mengundurkan diri dari Kabinet.
Pernyataan itu dikeluarkan oleh pemerintah setelah kabinet Sabtu ditemui di
sidang darurat. Presiden Soekarno akan sebagai komandan pesan yang ditujukan
kepada angkatan bersenjata. Tindakan negara Kolonel Simbolon sehubungan dengan
upaya kudeta baru gagal oleh wakil kepala voormaliga sekarang terendam staf
tentara, Kolonel Zulkifli Lubis. Simbolon adalah salah satu perwira yang baru
saja memprotes ketika pemerintah dicegah bahwa Menteri Luar Negeri, Abdulgani, mantan
komandan Jawa Barat, Kawilarang, ditangkap. Abdulgani kemudian akan berangkat
ke London untuk menghadiri konferensi International tentang Suez. Zulkifli
Lubis, yang dianggap sebagai pemimpin sartienzwering terhadap pemerintah
Indonesia bersembunyi. Windy minggu menuntut dalam sebuah pernyataan bahwa
Kabinet akan mengundurkan diri dan bahwa pemerintah baru akan dipimpin oleh
wakil presiden yang baru saja pensiun dari Indonesia, Muhammad Hatta’.
De waarheid, 24-12-1956: ‘Mochtar Lubis sidang. Jaksa
Penuntut Umum di Jakarta dua bulan hukuman penjara untuk sekarang ditangkap,
editor Indonesia Raya, Mochtar Lubis. Dia dituduh menyebarkan fitnah di
korannya. Indonesia Raya adalah suara para konspirator. Menurut pers Indonesia,
Kolonel Zulkifli Lubis adalah co-pemilik koran Indonesia Raya’.
Kasus Mochtar Lubis dalam soal pers dan
perang terhadap korupsi, posisi Mochtar Lubis menjadi terjepit. Hal ini karena
Indonesia Raya termasuk yang aktif memberitakan perihal di Sumatra. Indonesia
Raya sendiri belakangan ini diberitakan juga sahamnya dimiliki oleh Zulkifli
Lubis. Persoalan Mochtar Lubis dan persoalan Zulkifli Lubis dipandang sebagai
ada keterkaitan. Bahwa itu terkait, tidak pernah diketahui benar tidaknya.
Mochtar Lubis Effect-4: M. Hatta berpendapat Revolusi telah
Gagal dengan Adanya Pemberontakan di Sumatra Barat; M. Yamin menganggap tidak
ada yang mendengarkan statemet Soekarno tentang Revolusi yang Belum Selesai
Mochtar Lubis adalah pendukung setia republic
Indonesia. Karena itu Mochtar Lubis di bidang pers terus berperang melawan
korupsi. Setelah proklamasi kemerdekaan republic Indonesia, dan masuknya
kembali Belanda, Republik pada dasarnya hanya tiga wilayah utama yang terus
bertahan, yakni: Midden Java (Central Java dan Djokja), Midden Sumatra (West
Sumatra yang meliputi Riouw en Djambi); dan Noord Sumatra (Tapanoeli en Atjeh).
Ketika dilakukan penyerahan atau pengakuan kedaulatan Republik Indonesia, Negara-negara
bentukan Belanda alias federal digabung dengan wilayah-wilayah yang terus setia
Republik Indonesia menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Ketika Soekarno makin berkuasa, dan ‘pr’nya
tentang Irian Barat dianggapnya belum selesai, ada ketimpangan yang menganga di
dua wilayah utama republic (Midden Sumatra dan Noord Sumatra) soal kemakmuran. Mungkin
menurut persepsi umum di dua wilayah itu, dalam pembentukan Negara republic ini
ada tiga the founding father: Soekarno (Java), Hatta (Minangkabouw) dan Amir
(Tapaneoli). Amir sudah lama wafat, seakan Hatta terabaikan. Namun dari
Tapanoeli, pengganti Amir adalah militer (Abdul Harus Nasution dan Zulkifli
Lubis, namun keduanya memiliki cara pandang yang berbeda soal hiruk pikuk
bernegara). Inilah asal usul megapa bergolak di dua wilayah itu. Zulkifli Lubis
tampaknya mendukung Hatta, dan sangat mengkhawatirkan kelompok pendudung
Soekarno yang berhaluan kiri. Abdul Haris Nasution lebih moderat, mendukung
Soekarno dan juga mendukung Hatta, tetapi tidak bisa berbuat banyak ketika
Soekarno jalan sendirian, Hatta terabaikan. Antara Zulkifli Lubis dan Abdul
Haris Nasution tidak ada perseteruan, karena keduanya berteman lama (hanya beda
haluan) dan juga teman lama Mochtar Lubis keduanya.
De nieuwsgier, 24-12-1956: ‘Hatta: Revolusi telah gagal.
Dalam rangka untuk mengatasi kesulitan saat ini, moralitas pihak harus
ditingkatkan. Dr Hatta hari Sabtu di Sukabumi dalam Causerie untuk Partai studi
konferensi gerakan mahasiswa Kristen di Indonesia. Inti yang Causerie Dr Hatta
adalah ‘Peran kaum intelektual di gedung Indonesia’. Dr Hatta lebih lanjut bahwa revolusi kita
telah gagal, karena kita tidak tepat waktu berhasil dalam program yang jelas
untuk mengatur periode setelah revolusi secara benar. Dr Hatta disebut dimuka
contoh dari negara lain, di mana setelah revolusi program yang jelas dan akurat
menjalankan atau periode diktatuui sebagai transisi menuju demokrasi
dilaksanakan. Di Indonesia kami telah menyimpang tapi kita mampu memukul jalan
yang benar ketika ada dibentuk kabinet presiden di masa transisi. Ini adalah
disayangkan bahwa, sebelum kita memiliki parlemen dan demokrasi, sudah
membentuk demokrasi parlementer. Hatta juga mengatakan bahwa Pantjasila
'sebagai staatspriivaipe cukup kuat' program untuk mencapai kemakmuran dan perdamaian’.
De nieuwsgier, 24-12-1956: ‘Pak Nasrun Dt. Madjo Urang,
Dahlan Djambek dan Kaharudin mungkin untuk Padang dalam berkonsultasi Sumatra
Tengah di Jakarta. Delegasi pemerintah untuk Sumatra Tengah kemungkinan akan
terdiri dari enam orang, tiga dari Kementerian Dalam Negeri, dua tentara dan
seorang polisi. Mereka semua akan menjadi pusat Sumatera. Sebagai wakil dari
Kementerian Dalam Negeri sudah Mr. Moh. Nasrun dan warga Datuk Madjo Urang,
disebutkan sebagai kol anggota militer, Dahlan Djambek, dan hoofdkomm polisi, Kaharuddin
Datuk Rangkaju Basa. Menurut radio Padang semuanya tenang di Sumatera Tengah.
Banteng-raad memiliki bupati Thaher Djabar, A. Roosman. BA dan Amran Musa Murad
bertugas mengawasi keuangan. Satu dapat membawa atau memperkenalkan tidak lebih
dari Rp 5000.- Sumatera Tengah. Bukittinggi Lembaran Njata memberi Jumat
laporan transfer pemerintah, Kamis. Pada kesempatan ini antara lain hadir Moh.
Sjafei, Mr. Abubakar Djabar, Sjarnubi, Mr. Egon Hakim, Datuk Simaradjo, Decha,
H. Sjamsiah Abbas Diniah Siddiq, Sutan Suis dan A. Roosmar. Untuk membuat 19:48
Sulaeman dari dewan Banteng bahwa dewan akan mengambil alih kewenangan
bertindak di Sumatera Tengah. Kemudian piagam transmisi dibacakan. Piagam
negara ini: Dijiwai dengan maksud dari resolusi telur eersae reuni.? Banteng
mantan pembagian Sumatera Tengah pada 24 November 1956, didukung penuh oleh
semua strata masyarakat Sumatera Tengah, dan setelah verifikasi bahwa metode
untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dengan membuat proposal kepada
pihak berwenang yang bersangkutan dan untuk mencoba meyakinkan, belum
menghasilkan hasil yang diharapkan mereka, dan diberikan juga keinginan dari
seluruh penduduk Sumatera Tengah yang begitu lama telah menuntut pemerintahan tentang
keadilan, kemakmuran dan kebahagiaan untuk semua orang dijamin sama, kita
punya. Ruslan Muljohajo, Gubernur daerahhoofd dari provinsi Sumatera Tengah, dan
Letkol Ahmad Husein, ketua tingkat Banteng, penuh tanggung jawab dan kesadaran
untuk kepentingan masyarakat Sumatera Tengah secara khusus dan masyarakat di
Indonesia dalam semangat Bhineka Tunggal Ika fungsi dan tanggung jawab kepala
ditransfer dari provinsi Sumatera Tengah; ini overeenstemming-cara melawan
selanjutnya didirikan, yaitu dengan bertindak untuk kebijakan sendiri dalam
keadaan darurat dan isi keputusan reuni frase menunjukkan. Dari
ondertekeningvan piagam ini adalah tugas dan tanggung jawab daerahhoofd’.
De nieuwsgier, 24-12-1956: ‘Pelapor di Jakarta. Jumat
adalah Col. Ismael Lengah, anggota dari Dewan Banteng tiba di Jakarta. Dia akan
menjadi presiden, perdana menteri dan ketua parlemen laporan tentang peristiwa
di Sumatera Tengah. Dia mengatakan kepada pers bahwa Mr. Egon Hakim sebagai koordinator
urusan keuangan dan memimpin Sumatera M. Roeslan Muljohardjo bersedia untuk
mengetahui whey bersama dengan dewan baru. Dewan Banteng telah bertindak untuk
mencegah hal-hal yang tidak diinginkan akan terjadi.
De nieuwsgier, 24-12-1956: ‘Sekarang pemimpin di Padang. Pengikut
Ismail Lengah wakil perdana menterinya Idham Khalid dn pemimpin NU Djamaluddin
Malik di Padang tertangkap. Mereka sedang dalam perjalanan mereka ke NU kongres
di Medan, tapi tidak bisa mendapatkan pesawat dari Padang ke Medan.
De nieuwsgier, 24-12-1956: ‘Midden-Sumatera bersama-sama.
Tokoh-tokoh dari Sumatera Tengah yang tinggal di Jakarta, termasuk beberapa (menteri
Sabilah Rasjad dari PNI, Eny Karim dari PNI, Dahlan Ibrahim dari IPKI, dan
Rusli Abdul Wahid dari Perti.Mereka lahir di Sumatera Tengah. Jumat sore di rumah
H. Siradjuddm Abbas bertemu untuk membahas situasi.
De nieuwsgier, 24-12-1956: ‘Yamin ingin kabinet teknokrat.
Anggota Parlemen, Prof. Moh. Yamin percaya bahwa pengiriman Sumatera adalah
salah satu langkah pertama yang harus diambil. Namun, ini menciptakan kesan
bahwa pemerintah tidak memiliki rincian yang cukup tentang daerah di luar Jawa.
Selain itu, ini memberikan kesan bahwa para menteri keturunan dari Midden
Sumatera itu sendiri akan tidak memiliki wewenang di tanah air mereka sendiri.
Dia bertanya-tanya apakah pemerintah adalah pada ketinggian aneh politik pandangan
masyarakat Midden Sumatera. Sebelum intervensi, lebih terbatas akan sendiri
harus korrigerun. Pak Yamin terasa kebanyakan kasus untuk kabinet yang dapat
dibentuk segera. Parlemen harus segera bertemu. Ada kemungkinan bahwa peristiwa
di Sumatera tidak meluas ke daerah-daerah atau gundukan lain juga ke Jawa Barat.
Pak Yamin atau bahwa Presiden, satu-satunya faktor kcrr.gerende di negara
bagian, para pemimpin bangsa untuk besptking uitnodiga, misalnya tidak ada yang
mendengarkan selama revolusi belum berakhir, kata Mr. Yamin.
Ketika Soekarno terus jalan sendirian, Hatta
sempat mengundurkan diri. Dalam hal ambisi Soekarno (Irian Barat) dan adanya
pemberontokan di Midden Sumatra alasan keterpurukan dua wilayah utama republic,
Hatta berpendapat Revolusi telah gagal. Sementara Soekarno berpendapat Revolusi
belum selesai. Kemudian M. Yamin (parlemen, abang dari Adinegoro) berpendapat
tidak ada yang mendengar statemen revolusi belum selesai. Inilah suara dari
Minangkabouw (Midden Sumatra). Lantas bagaimana suara dari Tapanoeli (Noord
Sumatra). Zulkifli Lubis dan Abdul Haris Nasution beda haluan yang
mengakibatkan pecah kongsi tetapi secara adat pasti tidak berseteru. Zulkifli
Lubis tampak lebih revolusioner ingin menggulingkan pemerintahan Soekarno
(karena khawatir kelompok pendudung Soekarno yang berhaluan kiri). Uf..tapi itu
tidak akan terjadi, karena di militer ada orang kuat yakni Abdul Haris
Nasution. Karena itu, Soekarno tetap aman, tetapi kemudian Zulkifli Lubis
menjadi tidak nyaman. Pemenang dalam hal ini akan berpihak ke Soekarno, tetapi
kartu As dalam empat orang satu game ini ada di tangan Abdul Haris Nasution.
***
Lantas, Siapa itu Mr. Egon Hakim? Dia
kemungkinan adalah satu-satunya orang non-Minangkabouw yang turut dalam
pemberontakan di Sumatra Barat. Dalam pemberontakan ini, Mr. Egon Hakim adalah
Koordinator Urusan Keuangan. Sebelum pemberontakan, Mr. Egon Hakim adalah Ketua
Pengadilan di Padang pada era Belanda. Alumni Universiteir Leiden ini setelah
pension (di era Jepang dan Republik) mendirikan perguruan tinggi swasta di
Padang. Mr. Egon Hakim adalah cucu dari Soetan Abdoel Azis Nasoetion di Padang
Sidempoean sepupu dari Dr. Ida Loemongga, Phd (dokter perempuan pertama
Indonesia bergelar doctor), Letkol. Mr.
Gele Harun (Residen Lampung) dan Mr. Masdoelhak PhD (penasehat Soekarno-Hatta
yang diculik dan dibunuh tentara Belanda di Djokja dalam agresi militer kedua).
Mochtar Lubis dapat dukungan dari SPS, Lagu ‘Indonesia
Raya’ disensor oleh polisi militer
De nieuwsgier, 24-12-1956: ‘SPS protes. Kita diberitahu,
ketua PWI (Perstuan Wartawan Indonesia) A. Bafagih, klarifikasi melakukan
penangkapan Mochtar Luois dan sensor Indonesia Raya meminta menteri pendidikan.
SPS (sarekat perusahaan suratkabar) bertemu pada hari Sabtu pagi. SPS memprotes
keras melawan adanya sensor bekerja pada Indonesia Raya. SPS adalah melawan
sensor tersebut tidak dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam SOB. SPS permintaan
pengungkapan alasan penangkapan Mochtar Lubis. Masyarakat di negara demokratis
memiliki hak untuk pengetahuan tentang semua kegiatan pemerintah, khususnya
yang berkaitan dengan pemimpin redaksi surat kabar, menurut SPS. Dewan PWI
Jakarta, Sabtu memprotes keras dan kategorisch sensor preventif di Indonesia
Raya, yang bertentangan dengan Pasal 19 Konstitusi. Penangkapan Mochtar Lubis
memiliki perhatian PWI Jakarta. PWI akan mencari informasi dari pihak yang
berwenang pada latar belakang penangkapan ini. Akhirnya, PWI menyatakan bahwa
ia tidak setuju dengan metode untuk menangkap Mochtar Lubis menggunakan orang
bersenjata berpakaian sipil’.
De nieuwsgier, 24-12-1956: ‘Sensor di Indonesia Raya.
Setelah penangkapan Mochtar Lubis muncul hanya anggota polisi militer di kantor
Indonesia Raya. Mereka kontrol naskah dan preposisi dan rekaman dilarang dari
sebuah editorial berjudul ‘Silakan ts tertib menarik kembali’, dan beberapa
kutipan dari laporan pada gebeurtanrssen di Sumaera. Editing tidak mengganti
potongan jalan gecer.sureèrde sehingga Indonesia Raya Sabtu anet dihiasi dua
buah putih (space kosong) di bagian depan dan satu di lokasi editorial. Sabtu
editor Indonesia Raya diberitahu bahwa semua kopvi untuk edisi Minggu untuk
diserahkan ke dasar korn perintah teirensuur. Minggu kertas Indoneaia Raya
tidak mengandung bintik-bintik putih. Headline berbunyi: ‘Lagu ini disensor
oleh polisi militer’’.
Mochtar Lubis dipenjara di rumah tahanan CPM (jalan) Guntur,
lalu dipindahkan ke penjara militer (jalan) Boedi Oetomo
Mochtar Lubis kini sendiri di dalam tanahan,
awalnya di rumah tanahan CPM di jalan Guntur dan kemudian dipindahkan ke
penjara militer di jalan Boedi Oetomo. Di dalam tidak diperbolehkan membaca
surat kabar, tetapi buku-buku masih diizinkan. Mengapa tidak boleh membaca surat
kabar? Semua kasus delik pers memang begitu, sejak era pemerintahan colonial. Seperti
yang pernah dialami oleh Parada Harahap dulu di era militer Belanda.
Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 28-12-1956: ‘Mochtar Lubis di penjara militer. Menurut
sebuah publikasi staf redaksi Indonesia Raya adalah Mochtar Lubis, editor koran
itu, yang sejak Jumat lalu telah diadakan di garnisun dari CPM di Jalan Guntur,
Senin dipindahkan ke penjara militer di Jalan Budi Utomo. Untuk saat ini tidak
diizinkan untuk bertemu kerabat atau tamu, sementara juga tidak diperbolehkan
untuk membaca koran. Buku, majalah dan makanan tapi mungkin diterima oleh editor
Indonesia Raya itu’.
Namun demikian, Mochtar Lubis tidak terlalu
memusingkannya. Suatu waktu ketika keluar dari penjara tentu saja akan bisa
membaca berita-berita mengenai dirinya selama di penjara. Disinilah peran Parada
Harahap muncul. Satu-satunya surat kabar yang intens memberitakan semua secara
lengkap tentang Mochtar Lubis dalam kasus ini hanyalah Java Bode. Dengan kata
lain, Java Bode semacam jurnal khusus tentang kasus Mochtar Lubis. Kebetelulan
pemilik koran Java Bode adalah miliki Parada Harahap, satu-satunya koran berbahasa
asing (Belanda) yang saat itu dimiliki oleh orang pribumi. Parada Harahap
adalah mentor Mochtar Lubis di awal karir jurnalistik di era pendudukan Jepang
dan masa awal agresi militer Belanda. Jangan lupa: satu lagi Koran Parada Harahap
adalah bernama Bintang Timur.
Mochtar Lubis dibela M. Yamin
Mohamad Yamin adalah tokoh penting dari
Sumatranen Bond, yang di era Belanda (sebelum kongres pemuda) pada waktu itu
ketuanya adalah Parada Harahap. Kini (1957) Yamin sudah menjadi anggota
parlemen. Tentu saja Yamin sangat respek terhadap Mochtar Lubis. Sebab Yamin
dulunya adalah sastrawan dan wartawan seperti halnya Mochtar Lubis. Adik Yamin
yakni Adinegoro yang juga wartawan dan sastrawan adalah sangat dekat dengan
orang-orang Tapanoeli, karena Adinegoro di awal karirnya di era Belanda bekerja
sebagai editor di Bintang Timur tahun 1930 (milik Parada Harahap) kemudian pindah
ke Medan tahun 1931 menjadi editor Pewarta Deli (koran milik Abdullah Lubis
yang diawal berdirinya tahun 1910 pemiliknya Dja Endar Moeda).
Het nieuwsblad voor Sumatra, 02-01-1957: ‘Yamin bertanya
tentang Mochtar Lubis. Pimpinan dari Fraksi Gerakan Pembela Pancasila, Mr. Muh.
Yamin harus jemput pemerintah pertanyaan mengenai penangkapan dan penahanan
preventif dari wartawan Mochtar Lubis, pemimpin redaksi surat kabar Indonesfa
Raya, sejak 22 Desember 1956. Muh. Yamin meminta Pemerintah untuk toelichting
penyebab yang menyebabkan penangkapan Mochtar Lubis, kemudian ia bertanya,
apakah Pemerintah menyadari hetfeit bahwa bahkan selama rezim kolonial,
wartawan senior bisa menulis artikel di surat kabar. Sebagai contoh, dia Bung
Karno, yang selama ditawan masih sekitar Persatuan Indonesia dan Partai-daun
Partindól menulis. Apakah pemerintah tidak Penanya, Rejei-adalah bahwa cara
penangkapan dan penahanan preventif Mochtar Lubis diselenggarakan pemendekan
hak untuk membela diri? Kesediaan pemerintah kemudian kuesioner diminta untuk
memungkinkan advokat untuk menyusun pembelaan terhadap Mochtar Lubis’.
Mochtar Lubis didukung PWI Bandung
Selain mendapat dukungan di pusat (Jakarta),
Mochtar Lubis juga mendapat dukung dari daerah. PWI Bandung melakukan protes
dengan melakukan demonstrasi dengan cara berjongkok dengan tangan di kepala
yang di depan kantor PWI Bandung. Sementara daerah lain masih wait and see.
Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode, 04-01-1957:
‘Terhadap penangkapan Móchtar Lubis dan sensor terhadap Indonesia Raya, PWI Bandung
telah memprotes keras dan melakukan di depan kantor PWI dengan tangan di kepala
dengan berjongkok sebagai bentuk protes terhadap
pemberlakukan hukum pers’.
Dukungan PWI Bandung ini mudah dipahami
karena dua hal. Pertama, PWI Bandung umumnya para wartawan yang berafiliasi
dengan Koran Pikiran Rakyat (yang didirikan 30 Mei 1950). Apa ada kaitan antara
Indonesia Raya dengan Pikiran Rakyat kurang jelas tetapi kedua koran ini sama-sama
mengusung pakem independen dengan semboyan yang sama pula, yakni: Dari Rakyat
Oleh Rakyat Untuk Rakyat. Kedua, Pemimpin Umum Pikiran Rakyat sendiri kala itu
dijabat oleh wartawan bernama Sakti Alamsyah, seorang mantan penyiar di era
Jepang. Sakti Alamsjah adalah Ketua PWI Bandung. Mochtar Lubis di era Jepang
juga adalah redaktur di radio militer Jepang. Kedua orang ini berusia sama yang
lahir di tahun yang sama (1922). Keduanya berasal dari Padang Sidempoean:
Mochtar Lubis dari Kotanopan yang lahir di Sungei Penuh, Kerinci, Jambi, sementara Sakti Alamsjah Siregar dari Sipirok
yang lahir di Sungai Karang, Serdang, Deli.
Ketika Pikiran Rakyat didirikan di Bandung
tahun 1950, Sakti Alamsyah yang menjabat sebagai Pemimpin Umum, memiliki teman
dongan sahuta di Bandung yang bernama Mangaradja Onggang Parlindungan yang
ditunjuk pemerintah untuk menjabat direktur Pabrik Sendjata dan Mesiu (PSM) di
Bandung sejak 1950. Tugas ini sebelumnya di Djogjakarta (1946-1949) dijabat
oleh Dr. Parlindungan Loebis (Alumni kedokteran Universiteit Leiden, mantan
Ketua PPI Belanda/Eropa dan ex tawanan Nazi di Jerman).
AFP Siregar gelar Mangaradja Onggang
Parlidungan adalah Alumni teknik kimia Jerman dan Swiss Zurich) yang semasa
agresi militer pertama (1945-1947) bertugas di Jawa Timur dengan pangkat
terakhir kolonel. MO Parlindungan adalah anak dari guru Soetan Martoewa Radja
di Pematang Siantar, alumni terakhir Kweekschool Padang Sidempoean, adik kelas
Soetan Casajangan (pendiri PPI tahun 1908) dan adik kelas Dja Endar Moeda
(editor pribumi pertama dan pendiri Pewarta Deli, tempat dimana Adinegoro mulai
menjadi editor tahun 1930). MO Parlindungan pension dari PSM tahun 1954.
Setelah pension MO Parlindungan menulis buku yang bersifat controversial yang
berjudul: Pongkinangolngolan Sinambela Gelar Tuanku Rao: ‘Terror Agama Islam
Mazhab Hambali di Tanah Batak 1816-1833’.
Mochtar Lubis didukung Internationale Pers Instituut di
Zürich, PWI pusat malah diam saja
Mengapa PWI Pusat belum bereaksi tidak ada
yang tahu, sementara IPI malah lebih dulu. Okelah. Tapi mengapa elemen lain
bangsa mendahului PWI. Ini yang menjadi pertanyaan.
Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 05-01-1957: ‘Komite Nasional Indonesia dari International
Press Institute, yang memiliki kantor pusat di Zurich, diterapkan untuk itu
markas sehubungan dengan penangkapan editor Indonesia Raya, Mochtar Lubis, dan pengaturan
sensor tanpa batas Indonesia Raya. Komite Nasional Indonesia menganggap bahwa
penangkapan Mochtar Lubis memukul pers, sedangkan cara penangkapannya yang
paling disesalkan. Mochtar Lubis adalah ketua komite nasional Indonesia, International Press Institute. Anggota lain
dari dewan itu Rosihan Anwar, BM Diah dan S. Tasrif. Para siswa dari Sekolah
Jurnalisme telah memutuskan untuk mengirim delegasi ke Jaksa Agung, ke layanan
konsultasi militer, ke menteri pendidikan dan badan-badan lain dengan kasus
Mochtar Lubis. Delegasi ini terdiri dari orang-orang berikut: Gatot Sukandar,
Raihul Amar dan Sjamsuddin. Lingkaran PWI Surabaja mengirim telegram ke Komite
Sentral PWI di Jakarta, dengan permintaan ke kepala sikapnya terhadap sensor
preventif dari koran Indonesia Raya untuk memberi tahu, atau setidaknya bagian
asosiasi akan menginformasikan mengapa pusat sejauh ini belum mengeluarkan
pernyataan tentang masalah ini’.
Mochtar Lubis menjadi tahanan rumah
Sejak Mochtar Lubis ditangkap, dipenjarakan
di rumah tanahan CPM di Guntur dan dipenjarakan di Boedi Oetoemo banyak protes
dari berbagai kalangan dalam negeri dan luar negeri. Namun, anehnya PWI Pusat
sebagai badan tertinggi wartawan Indonesia sejauh ini belum memberikan
pernyataan. Kini, Mochtar Lubis dipindahkan dari penjara menjadi tahanan rumah.
Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 07-01-1957: ‘Tahanan rumah untuk Mochtar Lubis. Informasi disampaikan
oleh PIA bahwa diperoleh kabar editor Indonesia Raya, Mochtar Lubis, sejak
Sabtu diberhentikan dari penjara militer dan telah dikenakan tanahan rumah dengan
efek dari tanggal tersebut, yang melarang dia (a) untuk menerima tamu, (b)
untuk bergerak di luar ruangan, menelepon (c) dan (d) untuk mengirim tulisan.
Mochtar adalah Mochtar l.oebis sejak 21 Desember lalu di pengadilan militer’.
Mochtar
Lubis didukung oleh para Sastrawan
Mochtar Lubis adalah wartawan, wartawan
domestic dan juga wartawan internasional. Mochtar Lubis juga adalah sastrawan,
mantan guru dan tulisan-tulisannya juga banyak ditujukan kepada anak-anak.
Intinya: Mochtar Lubis adalah pencerah bangsa. Ketika Mochtar Lubis berjuang
untuk itu, para sastrawan juga bereaksi kerena Mochtar Lubis ditahan dan surat
kabar Indonesia Raya dibreidel.
Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 07-01-1957: ‘Protes. Empat puluh delapan penulis dan
litteratoren Indonesia telah memprotes penangkapan dan penahanan Mochtar Lubis
di penjara militer. Mereka menuntut bahwa masalah otoritas Mochtar Lubis
diselesaikan sesegera mungkin, dan orang itu diperlakukan sesuai dengan
martabat warga negara. Ke 48 penulis dan litteratoren itu adalah Anas Ma'ruf,
Achdiat K. Müiardja, Mr. Sutan Muhammad Shah, Utuy Tatamg Sontany, Rd. Lingga W
& MS, AT. Effendy, Trisno Sumardjo, Gazali HSB, Pranudya Ananta Toer, Mr.
Taslim Ali, Hasan Amin Haksan Wirasutisna, Rusman Sutjasumarga, Syafi'i R.
Batuafa, Ajip Roshidy, Ramadhan KH, Nazli, S. Sastrawinata, Rosowidjojo,
Bratakusuma, Bagindo Saleh, Hardjowirogo, A Dt. Madjoindo, Zen Rosidy, AP
Wiratmo Sukito, Harjadi S. Hartowardojo Sam Amir A Buana, Suria Sunarga, Alexandre
A. Leo, JA Dungga, K. St. Pamuuntjak, Achmad Djan, S. Sumardja, Muhammad
Radjaib, H Suwignjo, Amrin Thaib, AD Pasaribu, Nugroho Notosusanto, M. Umar
Hussyn, Kasim Mansur, Toto Sudarto Bachtiar, HB Jasin, DS Moejanto, M. Balfas,
M. Halkn dan Mardian’.
Mochtar Lubis Effect-5: International Press Institute
mengirim telegram protes ke Soekarno
Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 07-01-1957: ‘Protes keras. Sebuah protes keras ke Jakarta
dikirimkan oleh International Press Institute di Zurich atas penangkapan
Mochtar Lubis, editor Indonesia Raya melalui telegram, yang mengacu pada salah
satu mungkin menganggap penangkapan sewenang-wenang oleh tentara, dan
menempatkan Mochtar Lubis tanpa tahanan pra-persidangan, langsung dikirim ke
Presiden Soekarno dan Perdana Menteri, Ali Sastroamidjojo. Protes telegram dari
International Press Institute ditandatangani oleh ketua komite eksekutif
lembaga, Oscar Polak, dan direktur IPI, EJB Rosé. Selanjutnya, dalam telegram
dikemukakan bahwa bentuk seperti pelecehan tidak dapat diterima di negara
bebas. ‘Kami mendesak Yang Mulia untuk menjamin kebebasan pers dan hak Mochtar Lubis
untuk sepenuhnya bebas’ sebagaimana dikatakan dalam telegram. Dalam telegram serupa
dikirimkan kepada Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo membuat permintaan untuk
mengambil langkah-langkah untuk memperbaiki intimidasi pers dan berhenti untuk
memastikan bahwa Mochtar Lubis akan menerima perlindungan hukum secara penuh’.
Mochtar Lubis Effect-6: Masyumi mulai gerah
Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 08-01-1957: ‘Posisi kabinet upaya pemulihan Masyumi, Sekretaris
Jenderal Masyumi, Muh. Yunan Nasution, Senin meminta agar Masyumi mengambil
langkah-langkah untuk mencari pandangan Soekarno dan Dr. Moh. Hatta untuk
membawa bersama-sama pada sebuah solusi untuk kesulitan saat ini. Tapi dia
membuat pernyataan, yang sejauh ini telah dicapai oleh partainya. Yunan
Nasution hanya mengatakan, yang juga pihak-pihak lain telah didekati, ketika ditanya
apakah benar bahwa Masjumi pertama kali mencoba untuk mencapai kesepakatan
antara Presiden Sukarno dan Dr. Moh. Hatta sebelum menterinya dari kabinet
untuk menarik kembali. Sekretaris Jenderal menyatakan bahwa untuk Masyumi ini bukan titik utama yang
menteri ditarik, tidak memerlukan perbaikan di seluruh negara bagian dapat
dicapai. Selain itu, partai akan bertindak atas kebijakan dan pelaksanaan akan
bersamaan diberikan kepada keputusan kongres baru-baru ini diadakan di Bandung.
Sekretaris Jenderal Masyumi juga menyatakan bahwa Masyumi tidak apriori pesimis
tentang upaya yang saat ini sedang untuk memperbaiki situasi. Masyumi akan
terus berusaha meyakinkan pihak-pihak lain dari tingkat kesehatan dari
keputusan kongres. Sejauh Masyumi kemungkinan perombakan dalam komposisi kabinet
tidak dipertimbangkan. Seperti proposal juga belum dipresentasikan pada
pertemuan, yang memiliki Masyumi dengan pihak pemerintah lainnya. Pernyataan
Yunan Nasution adalah jawaban untuk Masyumi ingin mengambil reshuffle jika
upaya untuk membubarkan kabinet membuktikan berhasil’.
Mochtar Lubis Effect-7: Mulai dikaitkan dengan Zulkifli
Lubis
Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 08-01-1957: ‘Komandan milirare Jakarta Raya, Senin dalam pengumuman
menyatakan: Untuk menghindari kesalahpahaman dan penafsiran yang bertentangan
dari penduduk metropolitan posting koran dengan ini menyatakan bahwa: (1)
Penangkapan Mochtar Lubis. Pemimpin redaksi Indonesia Raya, berdasarkan Aturan,
Pasal 20. (2) Mochtar Lubis bisa dituduh terlibat untuk pergerakan Kolonel Zulkifli
Lubis dan lain-lain, atas dasar
bukti-bukti di tangan komando militer Jakarta Raya. Dengan demikian, ini sebuah
publikasi dari komandan komando militer Jakarta Raya’.
Mochtar Lubis didukung oleh para penulis dari Himpunan
Pengarang Islam
Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 10-01-1957: ‘Para penulis Islam (Himpunan Pengarang Islam)
menganggap penangkapan kepala, editor Indonesia Raya, Mochtar Lubis, sebagai
suatu tindakan yang bertentangan dengan semangat kebebasan’ demikian Presiden
persatuan ini, Tamar, hari ini. Kami menuntut pemerintah agar Mochtar Lubis
segera mendapatkan kembali kebebasannya, ‘kata Tatar melanda lebih lanjut bahwa
ada masih menambahkan: Kami takut jika kejadian ini ditoleransi, ini akan
menjadi preseden yang tidak diinginkan dan akan menjadi hambatan bagi
perkembangan sastra Indonesia’.
Mochtar
Lubis menjalani Sidang Keenam dan mendapat dukungan dari Pakistan
Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 12-01-1957: ‘Kasus Mochtar Lubis ditunda. Sesi keenam
sidang editor Indonesia Raya, Mochtar Lubis, yang telinga "nron-keüjk itu
vprteesteld hari pagi, atas permintaan terdakwa dan pembelanya ditangguhkan sampai
tanggal 2 Februari 1957, kedua pembela terdakwa pada sesi berikutnya, , Mr.
Lukman Wiriadinata dan Mr. Dr. Tan Kian Lok, atas permohonan mereka. pada
sidang sebelumnya jaksa, jaksa Mutiara Dali, dalam pidato penutupan dua bulan
hukuman penjara terhadap terdakwa’.
Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 15-01-1957: ‘Indonesia dan Pakistan. Ditanyakan perkembangan
di Pakistan relatif terhadap Indonesia, kata prof. Alisjahbana tersenyum, bahwa
perkembangan ini lebih dari cukup. Pers Pakistan menunjukkan dirinya dalam
kaitannya dengan peristiwa di Indonesia umumnya simpatik. Pers Pakistan
menunjukkan pemahaman yang besar untuk kesulitan Indonesia. Penangkapan Mochtar
Luhis tanpa dasar hukum yang jelas dan ditahan tanpa diizinkan untuk bergerak
bebas dan menulis, membuat kesan yang sangat buruk hukum di Indonesia. Mochtar
Lubis di luar negeri dikenal sebagai pejuang kebebasan dan melawan korupsi.
Ketika di Karachi untuk membela pers menyebarkan pesan tentang penangkapan
Mochtar Lubis, mengatakan Brohi, seorang ahli hukum terkemuka dan pengacara di
Pakistan dan mantan Menteri Kehakiman, siap untuk Mochtar Lubis’.
Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode 16-01-1957: ‘Hubungan
Internasional Lembaga Pers Zurich, organ yang ada di dalam International Press
Institute di Zurich mengeluarkan Report dari Desember 1956 termasuk di dalamnya
sebuah artikel tentang kebebasan pers di Indonesia. Pada artikel ini,
penangkapan Jack Russell dari United Press, Ian Stewart dari Reuter dan James
Mac Laine dari Associated Press, dilaporkan, oleh politie militer pada bulan
Desember. Selanjutnya, artikel menyebutkan laporan penangkapan Mochtar Lubis,
editor Indonesia Raya’.
Mochtar Lubis Effect-8: Akhirnya PWI Pusat buka suara,
tetapi hanya setengah hati
Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 21-01-1957: ‘Penangkapan Mochtar Lubis. Delegasi, terbentuk
pada pertemuan baru-baru ini diadakan Dewan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI)
sudah termasuk kontak dengan komandan militer Jakarta Raya dan meminta untuk
mempercepat penyelidikan dalam kasus Mochtar Lubis. Komandan menyatakan bahwa
penangkapan Mochtar Lubis terpisah dari kegiatannya sebagai seorang jurnalis.
Pada pertanyaan delegasi dari bukti ini dapat disajikan, komandan militer
menjawab bahwa mereka dapat diproses hanya ketika materi pada Pengadilan Negeri sudah ada’.
Mochtar Lubis diundang dalam Rapat para Pemimpin
Indonesia
Mochtar Lubis tidak sendiri. Semua membela Mochtar
Lubis dan protes terhadap Soekarno. Sebaliknya, Soekarno tidak sendiri
membebaskan negara untuk merebut kemerdekaan. Masih banyak yang lain. Lantas, seratus
tokoh pemimpin pertama yang telah mengambil inisiatif sebelas tahun yang lalu
untuk deklarasi kemerdekaan Indonesia, melakukan rapat saat Negara ini tengah
terancam.
Het vrije volk: democratisch-socialistisch dagblad, 24-01-1957:
‘Pemimpin pertama pertemuan tentang krisis di Indonesia. Krisis internal yang
serius di Indonesia, yang telah muncul setelah kudeta di Sumatera, Minggu di
Jakarta akan dibahas oleh seratus tokoh pemimpin pertama yang telah mengambil
inisiatif sebelas tahun yang lalu untuk deklarasi kemerdekaan Indonesia.
Pertemuan akan diadakan di rumah walikota Jakarta, Soediro. Poin utama dari
diskusi bagaimana konflik internal dan keinginan untuk memisahkan diri, yang
saat ini mengancam negara dan persatuan nasional, agar dapat diatasi dan
dihilangkan. Ketua Partai Sosialis, mantan Menteri Sjahrir, Isa anti-komunis.
Anshari, anggota Muslim Masjoemi, dan
komunis Peris Pardede akan
menghadiri pertemuan tersebut. Juga akan hadir Mochtar Lubis, editor. Indonesia
Raya, yang selama berbulan-bulan kasus korupsi dan mendapat tindakan dan kepada
siapa penguasa militer karena dua minggu di bawah tahanan rumah, telah
diundang. Banyak tokoh yang diundang yang mereka itu dalam beberapa tahun tidak
terlihat di publik’.
Mochtar Lubis menjalani Sidang Ketujuh, ditunda lagi
karena jaksa tidak hadir
Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 04-02-1957: ‘Kasus Mochtar Lubis tidak bisa melanjutkan siding
karena Pcngadilan Negeri Jakarta yang diketuai oleh Hakim Maengkom, Sabtu yang akan
melanjutkan persidangan terhadap editor Indonesia Raya, Mochtar Lubis, yang telah
menuduh Menteri Luar Negeri Ruslan Abdulgani telah tersinggung. Sesi sidang akan
mulai pukul delapan, namun selama setengah jam, ditunda karena jaksa Mutiara
belum datang di kantor sehubungan dengan
ketidakhadiran dari Kebayoran Baru, di mana Jaksa tinggal. Setelah pembukaan
sesi lalu mengumumkan pengadilan bahwa sesi ditunda sampai Sabtu 2 Maret karena
petugas, yang juga tinggal di Kebayoran, itu tak bisa ditemukan. Mochtar Lubis,
didampingi istri dan dijaga oleh anggota polisi militer saat memasuki ruang
sidang, tangan wartawan dalam keadaan diborgol. Mochtar Lubis dibela oleh Mr.
Dr. Tan Kian Lok dan Mr. Ijukman Wiriadinata, mantan menteri kehakiman di
Kabinet Burhanuddin Harahap (pada periode sebelum ini) *** Dalam kaitan pada
pengumuman pengadilan bahwa sesi harus ditunda, Mochtar Lubis sendiri mengatakan
bahwa ia sendiri memiliki niat untuk meminta penundaan sidang karena
pembelaannya masih belum siap. Tersangka mengatakan dalam hal ini: ‘tahanan
rumah adalah ilegal dikenakan pada saya, tidak memungkinkan bagi saya untuk
mempersiapkan pertahanan yang sempurna’. Pembela Pak Lukman Wirtadinata
mendukung permintaan terdakwa, dan mengatakan terdakwa pembelaannya hanya bisa
mempersiapkan jika ia menyingkirkan tekanan mental yang ia harus bertahan, dan
bahwa terdakwa benar dapat mempertahankan hanya rancangan jika ia puluh kebebasan
individu. Sesuai dengan Pasal 9 dan 19 Konstitusi, pembela mengajukan proposal untuk menunda tanggal sesi
berikutnya tanpa batas waktu, yaitu sampai tahanan rumah tersangka dilepaskan.
Akhirnya, kata Mr Lukman Wiriadinata. bahwa terdakwa sehubungan dengan tuduhan
dilemparkan terhadap dia, telah menyalahgunakan kebebasan pers, dalam
pertahanan akan memberikan presentasi di persvnJheid. Hakim kemudian
menjelaskan. untuk tidak keberatan untuk menunda sidang tanpa batas, jika pada
tanggal 2 Maret, keadaan terdakwa selalu seperti sekarang. Ini akan tergantung
pada situasi, kata hakim’.
Mochtar Lubis Sidang kedelapan ditunda dan ditunda lagi
Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 08-02-1957: ‘Mochtar Lubis. Setelah konferensi pers, kata
Mayor E. Dachjar, ia segera berharap untuk menentukan posisi pada penangkapan
Mochtar Lubis. Mayor mengatakan bahwa masih dalam penyelidikan apakah Mochtar
Lubis berpartisipasi dalam aksi Kolonel Lubis. ‘Kami berharap dan untuk menyelesaikan dalam jangka pendek. Mochtar
Lubis sudah tahanan rumah 35 hari selama pengadilan dan sebelumnya sudah menghabiskan
15 hari di tangan polisi militer’.
Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 29-03-1957: ‘Kasus Mochtar Lubis sekarang ditunda hingga 6
April. Proses Mochtar Lubis, editor Indonesia Raya akan dilanjutkan pada 6
April. Kasus ini ditunda beberapa kali karena menduga bahwa tahanan rumah belum
muncul di sesi. Jaksa penuntut umum, Jaksa Dali Mutiara menuntut terhadap
tersangka hukuman penjara dua bulan untuk pelanggaran Pasal 154 dan 207 KUHP,
yaitu peluncuran pesan dianggap menghina pemerintah dan Perdana Menteri Ali
Sastroamidjojo. Mochtar Lubis dibela oleh mantan Menteri Kehakiman Mr. Lukman
dan Wiriadinata Mr. Dr. Tan Kian Lok, sementara ia juga akan membuat
permohonan. Mochtar Lubis sudah 98 hari berada dalam tahanan oleh CPM, termasuk
83 hari dari tahanan rumah, pertanyaan di bawah tuduhan yang tindakan Kolonel
Zulkifli Lubis’.
Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 08-04-1957: ‘Kasus Mochtar Lubis. Permintaan untuk
mengadakan pembelaan pada 18 Mei diizinkan di Pengadilan Negeri Jakarta
dipimpin oleh hakim. Ruang sidang dijaga oleh anggota Brimob dan CPM. Setelah
pembukaan sesi menyatakan terdakwa, meminta kepada pengadilan bahwa ia tekanan
mental akibat rumah yang dikenakan menangkapnya tanpa alasan yang ada untuk
mengetahui, belum mampu di permintaannya menempatkan cara yang tepat dan
meminta hakim untuk menunda sidang sampai dia kembali kebebasan penuh untuk
membuat permohonan agar memiliki kesiapan. Pembela terdakwa; Mr. dr. Tan Kian
Lok, juga berbicara atas nama dan pembela kedua, Mr. R. Lukman Wiriadinata
berbicara kata pebelaaan awalnya direncanakan untuk berbicara permohonannya,
terdakwa diri setelah permintaannya akan dilakukan. Tetapi jika terdakwa dalam
waktu enam minggu dari permintaannya belum selesai, pembela meminta agar sesi
berikutnya akan diadakan pada tanggal 18 Mei dan bahwa dia, kesempatan hari itu
untuk berbicara dengan permohonan. Terdakwa akan mungkin kemudian dirinya
membaca permintaannya. Hakim Maengkom diperbolehkan dinyatakan setuju usulan
dan dia menunda sidang hingga 18 Mei
1957 dan seperti yang diminta oleh pembela akan menjaga mereka permohonannya
pada hari itu. Jaksa Dali Mutiara memiliki Mochtar Lubis terhadap menuntut
hukuman dua bulan atas tuduhan menerima artikel di majalah itu, dianggap
menyinggung pemerintah dan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo. Sampai Sabtu
adalah Mochtar Lubis sudah 107 hari dalam tahanan oleh CPM yang diantaranya 92
hari tahanan rumah, untuk terlibat dalam kegiatan di bawah tuduhan Kolonel
Zulkifli Lubis’.
De Tijd : godsdienstig-staatkundig dagblad, 24-04-1957: ‘Kantor
berita independen Indonesia PIA kembali melaporkan kasus yang pada tanggal 16
April oleh otoritas militer ditutup kemarin sore setengah memiliki enam waktu
setempat dilanjutkan pekerjaannya. Penutupan PIA, yang merupakan hasil dari
penerbitan berita tentang masalah-masalah militer tanpa izin terlebih dahulu
dari pihak militer, banyak surat kabar di seluruh negeri, untuk berita mereka
seluruhnya atau sebagian pada PIA ditunjuk, tanpa berita. Kritik tajam yang
dilakukan oleh surat kabar dan pemimpin politik di seluruh Indonesia, dan di luar
daerah, yang ukuran berlabel ‘kolonial’. Sementara legerautorlteiten memiliki
independen di Jakarta koran Indonesia Raya larangan publikasi tiga hari
dikenakan karena wawancara majalah dengan Letnan Kolonel Ahmed Hussein,
komandan tentara di Sumatera Tengah, telah dicetak. Dalam wawancara ini,
awalnya di Padang majalah Haluan diterbitkan, Hussein menuduh pemerintah pusat
menyusul membagi dan memerintah kebijakan terhadap luar provinsi Jawa. Editor
Indonesia .Raya, Mochtar Lubis, adalah sudah empat bulan tahanan rumah tanpa prosedur
resmi terhadap dirinya. Mochtar Lubis ditangkap hari setelah dimulainya
pemberontakan di Sumatera Tengah, 2 Desember’.
Mochtar
Lubis Effect-9: Jenderal Nasution bertemu pimpinan SPS
Dalam kasus militer vs pers ini selain
Mochtar Lubis ada empat surat kabar yang dibreidel, yakni: Indonesia Raya
(Mochtar Lubis), Pedoman (Rosihan Anwar), PIA (Adinegoro) dan Bintang Timoer
(Parada Harahap). Para pemimpin surat kabar ini dua dari Sumatra Barat dan dua
dari Padang Sidempoean. Setelah sekian lama, Jenderal Nasution berbicara.
Het nieuwsblad voor Sumatra, 03-05-1957: ‘Mayor Jenderal
Nasution melakukan banding, selama Selasa di auditorium markas tentara, diadakan
pertemuan dengan wakil-wakil pers di Djakarta, yang diselenggarakan untuk saling
pengertian untuk setiap tugas antara
tentara dan pers dalam menghadapi upgrade sitluatie. General menjelaskan
tentang, bahwa penguasa militer, tindakan ini telah diambil, bukan karena
mereka memiliki bersuara tetapi karena situasi negara membuat tindakan tersebut
diperlukan. Dia menunjuk krisis yang menyebabkannya dicanangkan di seluruh
Indonesia, pasca perang, setiap krisis di segala bidang telah muncul, politik, bidang
sosial dan ekonomi serta di bidang militer. Jenderal itu kemudian bertanya
apakah pers akan ikut bertanggung jawab untuk mengubah krisis. Pers, tentu
saja, mengatakan hanya memberikan refleksi dari apa yang terjadi di
sekelilingnya. Jenderal itu mengatakan pandangan ini pertarungan di sekitar,
tidak ada perbedaan pendapat, karena tanpa pers toh juga ada krisis. Dia juga
mengatakan kepada pers tidak ada perbedaan pendapat yang terjasi tentang apakah
atau tidak pers harus menjadi refleksi dari krisis dan kontradiksi karena
tugasnya untuk menyatakan fakta-fakta. Kami adalah bagian dari militer, kata
Mayor Jenderal Nasution, bertanggung jawab atas konsekuensi dari gangguan untuk
mengatasi keamanan dan ketertiban umum disebabkan oleh ‘faktor-faktor lain’ dan
faktor-faktor ini, termasuk pers. Sisi militer adalah dengan ini induktif
bertindak perhitungan perhitungan untuk sebagian besar didasarkan pada misinya,
yaitu memberikan informasi sebanyak-banyaknya kepada masyarakat, dengan
pertimbangan khusus dalam delapan hal. Salah satunya adalah dari sisi militer
di pelaksanaan misi ini datang ke dalam konflik dengan pers, yang juga memiliki
misi tersendiri memiliki-tugas saat ini adalah untuk mencegah tindakan balasan dari
miloiter sendiri dan itu adalah tugas kita untuk mengatasi kontradiksi antara
dua misi dari jalan keluar. Dari sisi militer, kata Mayor Jenderal Nasution,
salah satu mengambil sikap sampai sekarang toleran terhadap pers, karena hanya
pengaturan telah dibuat di bawah SOB terkait dengan pesan yang menyentuh bidang
militer. Dari sisi militer, kata Mayor Jenderal Nasution, salah satu mengambil
sikap sampai sekarang toleran terhadap pers, karena hanya pengaturan telah
dibuat di bawah SOB terkait dengan pesan yang menyentuh bidang militer.
Langkah-langkah lain yang terbatas untuk mengawasi kepatuhan dengan berlaku
tidak, misalnya, tidak mengandung pelanggaran pers, yang overl Redingen diatur
oleh ketentuan-ketentuan KUHP. Jenderal itu mengatakan dalam hal ini bahwa
meskipun banyak laporan telah diluncurkan yang tidak membawa karakter untuk
juga membantu dalam memecahkan krisis negara, tapi itu hanya bisa mempertajam
langsung atau tidak langsung, krisis, negara seberang penguasa militer semakin
toleran. Ini mengerti mengapa organ pers situasi; negara belum sepenuhnya
menyadari perbaikan yang mengharuskan satu tegenstelliing siap antara faksi
menyatakan uiff menghilangkan, untuk kepentingan tokoh dan untuk keselamatan
orang-orang. Tokoh tertinggi figur otoritas militer ini akhirnya meminta pers
juga membawa toleransi yang diperlukan dalam praktek, sehingga mereka dapat
memahami tugas yang sulit dari militer, yang tidak harus hanya mewakili
kepentingan kelompok, atau pentingnya ketergantungan: tugas mereka adalah untuk
menjaga bangsa dan negara. Dia mengimbau kepada pers untuk meminta kedamaian di atas segalanya, karena tanpa
negara kita kehilangan kebebasan, kita kehilangan semua ideologi dan cita-cita
selamanya. Presiden PWI, Asa Bafaqih mengajukan dan mengajak reuni. Kami menghargai
pers. Tapi itu akan lebih berguna jika pertemuan ini terjadi sebelum kantor
berita PIA dan surat kabar harian Bintang Timur, Pedoman dan' Indonesia Raya
dikekang. Selain kekang pers organ di atas, Asa Bafagih mempertanyakan pada
hubungan antara pers dan militer dan penangkapan wartawan. Di kekang dari PIA
dan tiga surat kabar harian di ibukota, mengatakan Asa Bafaqih tidak memahami
hal ini karena dalam keputusan yang relevan dari pihak berwenang militer,
alasan untuk yang diajukan dalam pengekangan. Sebuah Rembrantplein jelas alasan
Asa Bafaqih menganggap sangat penting karena akan menjadi pedoman untuk
pencegahan kesulitan baru. Bagaimana menyangkut hubungan antara wartawan dan
prajurit bertanya Asa Bafagih bahwa faktor saling menghargai dihormati. Ini
adalah waktu terakhir menunjukkan bahwa ketika editor surat kabar dipanggil
oleh militer, mereka harus bergabung dengan seorang sersan majoor. Dalam
sambutannya Asa Bafagih meminta apalagi perhatian Mayor Jenderal Nasution untuk
penangkapan pemimpin redaksi Indonesia Raya, Mochtar Lubis. Ini sudah sekitar
empat bulan dalam tahanan, sedangkan alasan penangkapannya masih belum positif
dikenal. Ia berharap dalam hal ini Mochter Lubis akan segera ditangani dan jika
tidak ada alasan yang rechtvaarden penangkapannya harus dilakukan pemimpin
redaksi Indonesia Raya dalam kebebasan. Berikutnya pembicara, yaitu presiden
organisasi pusat dari PWI T. Sjahril, dan wakil direktur dari Mochtar Lubis dari
Pers Instituut, Drs. Marbangun juga menyampaikan apresiasi untuk inisiatif
untuk mengadakan pertemuan antara pejabat militer dan pers, di mana ia juga
mereka katakan tentang ukuran perintah garnisun Jakarta kekang dari PIA dan
tiga surat kabar harian di hoofdsiad termasuk Mochtar Lubis. SPS berpendapat
bahwa jika terjadi kesalahan akan lebih baik bahwa otoritas militer mengambil
epik tindakan Editor. Perusahaan tidak harus menanggung beban itu, seperti yang
telah terjadi dengan penutupan PIA dan surat kabar Pedoman, Bintang Timur dan
Indoneoia Raya. Dalam kekang dari PIA mengatakan dia menambahkan bahwa
konsekuensi yang dirasakan tidak begitu banyak oleh kantor berita belrokken,
tapi mungkin melalui surat kabar, ini kantor berita berlangganan. Dan surat
kabar ini sama sekali tidak bersalah. Kekang surat kabar, meski hanya selama
tiga hari, memiliki konsekuensi keuangan yang serius, tidak hanya untuk surat
kabar yang bersangkutan tetapi juga untuk sisi lainnya bekerja sama dengan
koran tersebut. Dia akhirnya menegaskan posisi SPS, sekarang saatnya untuk
menutup semua surat kabar asing, percetakan dan periklanan; terutama jika SOB
bertujuan untuk menerobos birokrasi, maka otoritas neraka militer sekarang
memiliki kewenangan untuk membantu pers nasional dan ini dia bisa melakukannya
dengan mengambil maatregeien mengarah ke penutupan surat kabar asing,
percetakan dan periklanan’.
Mayjen Abdul Haris Nasution telah memberi
penjelasan dari sudut padang militer. Suatu penjelasan yang komprehensif. Sebaliknya,
dari pihak SPS yang hadir dalam pertemuan militer-pers itu malah mengajukan
kompromi, tidak harus semuanya menanggung beban, cukup editor, surat kabar
tidak bersalah. Jika surat kabar ditutup konsekuensi cakupannya akan lebih
banyak. Lalu SPS meminta surat kabar asing ditutup. Apa kaitannya dengan kasus
yang dihadapi pers Indonesia? Ini suatu blunder. Lantas, apakah surat kabar
berbahasa asing (bahasa Belanda) seperti Java Bode yang dimiliki pribumi Parada
Harahap masuk kategori asing? Ini juga suatu blunder yang lain. Diantara
faksi-faksi dalam pemerintah dan militer ada perbedaan, di antaranya insane pers
ternyata juga ada beda kepentingan. Itulah Indonesia, tetapi bukan Indonesia
Raya.
Mochtar Lubis tetap ditahan, Adiegoro ke Amerika Serikat
Tidak semua yang dianggap melakukan
pelanggaran pers dikenakan sanksi. Ada koran yang ditoleransi, dan ada yang
dikekang. Diantara yang dikekang ada editornya yang dilepas kembali. Mochtar
Lubis adalah satu-satunya yang masih dalam tahanan, dianggap bukan soal pers
tetapi keterlibatannya dengan Zulkifli Lubis. Sebaliknya dapat dikatakan, tanpa
persoalan militer sekalipun, hanya Mochtar Lubis sendiri yang dikhawatirkan,
satu-satunya yang militant di bidang pers. Jadi inti persoalan adalah faktor Mochtar
Lubis semata.
Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 03-05-1957: ‘Direktur Persbiro Indonesia (PIA), Djamaluddin
Adinegoro, Selasa sore dengan pesawat KLM di Jakarta, kembali setelah mengunjungi
tiga bulan ke Amerika Serikat dan Eropa. Bersama dengan lima wartawan Indonesia
lainnya Adinegoro pada bulan Februari pergi ke New York, karena di sana atas
undangan pemerintah Indonesia, untuk menghadiri perdebatan tentang Irian Barat
di Majelis Umum PBB. Lalu kata wartawan sedangkan tur selama di Amerika Serikat
atas undangan Kantor Pelayanan Informasi Amerika Serikat di Jakarta’.
Adinegoro dan kawan-kawan ke Amerika Serikat
dalam hal tugas negara di PBB. Namun Amerika Serikat tidak menyiakan kesempatan
ini, para delegasi wartawan dibiayai selama di Amerika Serikat. Indonesia ‘berperang’
dengan Belanda di PBB soal Irian Barat, Amerika Serikat menyokong para
jurnalistik. Situasi ini mengingatkan ketika Parada Harahap dan kawan-kawan
(termasuk beberapa wartawan) pada tahun 1932 diundang ke Jepang. Parada Harahap
dijamu habis-habis sebagai The King of Java Press.
Mochtar Lubis kembali didukung International Press
Institute, di Negara lain bisa, di Indonesia tidak
Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 13-05-1957: ‘Dalam edisi Mei, IPI- Report, majalah bulanan
dari International Press Institute, terdapat pesan singkat berikut: ‘Tidak ada
tuduhan sejauh ini telah dirilis oleh Mochtar Lubis, editor Indonesia Raya dan
Presiden IPI-Nasional komite di Indonesia, yang ditangkap pada tanggal 7
Desember oleh polisi militer dan dimasukkan ke dalam penjara. Sebuah protes
dari IPI diterbitkan di seluruh dunia, mengatakan Jumat di Amsterdam wartawan
Amerika William A. Rutherford, yang majalah di Zurich. Ketika di salah satu
dari 37 negara yang vertegenwoordiigd dalam organisasi kami, kasus pembatasan
kebebasan pers muncul, kami mengidentifikasi dalam lembar langsung ini dan
mencoba untuk menggunakan pengaruh kita dengan otoritas yang bersangkutan. Lebih
lanjut mengatakan Rutherford, dia memberi beberapa contoh wartawan ditangkap,
yang juga berkat campur tangan lembaga ini yang lalu dibebaskan. Dalam kasus
editor Indonesia, telah IPI mengirim telegraf mengimbau kepada Presiden
Soekarno, namun tidak berhasil’.
Mochtar
Lubis Effect-10: Resolusi 200 Anggota IPI dukung Mochtar Lubis
Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 18-05-1957: ‘Resolusi IPI. pada Mochtar Lubis. Institut
Pers Internasional dalam pertemuan terakhir conferenie tiga hari di Amsterdam,
yang dihadiri oleh 200 anggota pada proposal yang diajukan oleh ketua komite
nasional IPI di Ceylon, India, Pakistan dan Filipina mengadopsi resolusi, yang
mencatat adalah bahwa Mochtar Lubis, editor Indonesia Raya, selama lebih dari
empat bulan dalam tahanan tanpa pengadilan. Selanjutnya, dalam kata resolusi
yang diajukan, menurut pemerintah Indonesia, penangkapannya belum dilakukan
sehubungan dengan tekan pelanggaran. resolusi menyesalkan penangkapan ini
sebagai serangan serius pada kebebasan pers, dan itu disebut pada pemerintah
Indonesia untuk menghapus semua keraguan dan salah tafsir mengenai kasus ini
dengan Mochtar Lubis yang memberikan hak, yang ia adalah warga negara dari
negara hukum yang demokratis’.
Mochtar
Lubis Effect-11: Adam Malik minta Mochtar Lubis dilepaskan kepada Menteri
Pertahanan (Abdul Haris Nasution)
Hakim pengadilan kasus Mochtar Lubis telah
diganti. Karena hakim sebelumya telah diangkat menjadi menteri kehakiman. Adam
Malik memprotes Soekarno yang melanggar konstitusi, sementara Soekarno
menganggap Hatta melanggar konstitusi. Adam Malik yang mantan wartawan meminta
menteri pertahanan agar Mochtar Lubis dilepaskan. Adam Malik adalah mentor dari
Mochtar Lubis.
Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 20-05-1957: ‘Kasus Mochtar Lubis ditunda hingga 4 Juni,
Sabtu adalah lagi kasus Mochtar Lubis untuk pengadilan negeri di Jakarta, kali
ini untuk yang dijalankan pertama kali oleh Hakim A. Razak Madjelelo, yang
mengambil alih kasus tersebut dari Hakim Maengkom sehubungan dengan
pengangkatannya sebagai Menteri Kehakiman. Sebagai wakil dari Kementerian Umum,
Dali Mutiara tetap sebagai jakasa. Setelah pembukaan sesi, kata hakim harus
menunda pertemuan karena terdakwa Mochtar Lubis sakit hingga 4 Juni. Terdakwa
Mochtar Lubis, yang selanjutnya oleh Mr. Dr. Tan Kian Lok sang pembela, sejak
21 Desember ditahan CPM, di bawah kecurigaan lain, yang terpisah dari masalah
yang ia jawab. Tuduhan terhadap Mochtar Lubis memegang dalam hal ini seperti
diketahui, terkait dengan penerbitan laporan oleh Indonesia Raya, dianggap
menyinggung pemerintah Ali Sastroamidjojo’.
Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 23-05-1957: ‘Adam Malik (partai Murba) menekankan bahwa
salah satu formasi nractisch pemerintah, dan tidak boleh dianggap dari sudut
pandang hukum formal. Zicth speaker bertanya, mengapa Anda, Presiden Soekarno
dituduh melanggar konstitusi di hetrckkint Mei; untuk pembentukan kabinet,
sementara buta untuk fakta bahwa mantan Wakil Presiden Hatta sebelumnya
bertindak di luar Konstitusi ketika ia harus memimpin kanmet. Mengenai
pembentukan Dewan Nasional menyatakan speaker tujuan itu pemerintah telah
menunjukkan kepercayaan dalam semangat dinamis masyarakat. Speaker akhirnya
memendam harapan bahwa psrsbreidel tidak akan lagi diterapkan, dan ia meminta menteri
pertahanan, melepaskan Mochtar Lubis (Indonesia Raya) dan Sjaaf (Pemandangan)’.
(tunggu deskripsi lebih lanjut: total sekitar 100 halaman)
Mochtar Lubis Effect-12: IPI Indonesia Menyambangi Kator Jaksa (1957)
Mochtar Lubis Disidangkan kembali (1957)
Mochtar Lubis Effect-13: Dukungan dari Negara tetangga (1957)
Mochtar Lubis Dibebaskan (1957)
Mochtar
Lubis sebagai wartawan terbaik, Indonesia Raya sebagai surat kabat terbaik,
Mochtar Lubis juga penulis terbaik (1957)
Mochtar Lubis ditangkap (lagi) dan Indonesia Raya
dilarang terbit (1957)
Mochtar
Lubis Effect-9: Komunike PWI, Bintang Timur dan Java Bode dilarang terbit (1957)
Mochtar Lubis Effect-14: Java Bode (milik Parada Harahap) terbit
terakhir 17 Oktober 1957?
Mochtar Lubis: Jalan Tak ada Jalan Keluar (1958)
Mochtar Lubis Effect-15: Soekarno dan Komunis (1958)
Mochtar Lubis ditahan, Indonesia Raya menjadi 'Suara
Indonesia Raya ditolak (1958)
Mochtar
Lubis Effect-16: International Press Institute (IPI) mencoret Indonesia (1960)
Mochtar
Lubis: Pahlawan International Press Institute (IPI) ditangkap (lagi) (1961)
Mochtar Lubis: Pejuang anti korupsi (1963)
Mochtar
Lubis bebas (1966)
Mochtar Luibis bebas, Soekarno berkicau (1966)
Mochtar Lubis Effect-17: Satu tahun kudeta gagal (1966)
Mochtar Lubis Menulis-1: ‘Kebebasan pers di Indonesia
oleh (Persvrijheid in Indonesie door) Mochtar Lubis’ (di koran asing) (1966)
Mochtar Lubis: Teka-teki Soekarno vs Soeharto (1967)
Mochtar Lubis: Peraih ‘Golden Vrijheidspen 1967’ (1967)
Mochtar Lubis: Indonesia Raya terbit kembali (1967)
Mochtar Lubis Menulis-2: ‘Peran Pemuda dalam Kejatuhan
Soekarno oleh (Jeugd Had Groot Aandeel in Val Soekarno door)
Mochtar Lubis’ (di koran asing) (1967)
Mochtar
Lubis bereaksi ketika De Spiegel menuduh Adam Malik korupsi (1967)-- De Spiegel
minta maaf
Mochtar Lubis teman dekat Profesor Soemitro
Djojohadikoesoemo (1968)
Mochtar Lubis menentang Jepang, menganggap Soekarno berkolaborasi
dengan Jepang menyengsarakan rakyat (1969)
Mochtar Lubis kritik wartawan amplop (1969)
Mochtar Lubis menganggap Rusia bertaruh pada kuda yang
tidak tepat, utang negara tidak perlu dibayar (1969)
Mochtar Lubis ‘menyerang kerajaan’ Ibnu Soetowo (1969)
Mochtar Lubis di Era Soeharto: Tetap konsiten anti
korupsi (1970)
Mochtar Lubis masih wartawan paling terkenal di pers
asing (1970)
Mochtar
Lubis: Harimau yang mengaum membebaskan pers nasional bertemu dengan Hariman
Siregar dalam Malari 1974 (1974)
Mochtar
Lubis: The Musketeer in International Press (1979)
Mochtar Lubis dan Princen: Perjuangan Tiada Ujung (1986)
Mochtar Lubis di dunia pers internasional, tanggapan
negatif tentang Soekarno dan Soeharto (1987)
Mochtar Lubis: Harimau mati meninggalkan belang, Manusia
meninggal, namanya tidak pernah mati (2004)
Penutup:
Dja Endar Moeda, Parada Harahap, Adam Malik, Mochtar Lubis dan Sakti Alamsyah,
anak-anak Padang Sidempoean perintis pers Indonesia dan pers internasional di
era masing-masing
Mochtar Lubis (1979) |
Jika mundur ke belakang, sejarah pers
Indonesia hanya dicatat sejak 1908 ketika Medan Prijaji, pimpinan Tirto Adhi
Soerjo dicatat sebagai badan hukum di kantor pemerintahan colonial. Padahal Dja
Endar Moeda sejak 1900 sudah menjadi pemilik koran Pertja Barat dan sekaligus
percetakannya. Sejarah pers Indonesia juga dipenggal hanya batas sejarah Tirto
Adhi Soerjo.
Setali tiga uang dengan yang dialami oleh juniornya
Soetan Casajangan yang sama-sama alumni Kweekschool Padang Sidempoean. Soetan
Casajangan adalah penggagas dan pendiri perhimpunan pelajar pribumi di negeri
Belanda pada tahun 1908 yang disebut Indisch Vereeniging. Pada tahun 1922, M.
Hatta mengubahnya menjadi Persatuan Pelajar Indonesia (PPI). Sejarah organisasi
pelajar hanya dipenggal sejak didirikannya PPI.
Last but not least.
Mochtar Lubis gelar Raja Pandapotan
Sibarani Sojuangon dalam pers internasional Indonesia tidak diakui karena
sub pers internasional tidak pernah disinggung dalam sejarah pers nasional
maupun sejarah perjalanan organisasi wartawan Indonesia. Mungkin dapat dicari
alasan sehingga tidak perlu dicatat sebagai bagian pers nasional, karena pers
internasional bukan bagian dari pers pribumi. Padahal Mochtar Lubis adalah
perintis pers internasional di Indonesia.
Dalam konteks pers internasional di Indonesia,
sesungguhnya sudah hadir sejak 1905. Adalah Dja Endar Moeda di Padang orang
pribumi yang memiliki koran berbahasa asing. Nama koran berbahasa Belada milik
Dja Endar Moeda adalah Sumatraasch Nieuwsblad. Nama Koran yang sama juga
diterbitkan Dja Endar Moeda di Medan tahun 1906. Orang kedua pribumi yang
menerbitkan koran berbahasa asing adalah Parada Harahap tahun 1930. Nama koran
yang terbit di Batavia tersebut bernama Volkscourant. Parada Harahap juga
memiliki koran berbahasa asing bernama Java Bode: nieuws, handels- en
advertentieblad voor Nederlandsch-Indie. Koran ini sudah beberapa kali
berpindah tangan sejak pertamakali didirikan 1852. Di era Belanda dibeli oleh
seorang Tionghoa, teman dekat Parada Harahap. Namun pada masa pendudukan Jepang
Koran ini dilarang beredar. Pada masa Belanda kembali koran ini terbit kembali.
Lalu pada pasca pengakuan kedaulatan RI, koran ini dibeli oleh Parada Harahap.
Artikel ini banyak mengutip berita-berita dari Java Bode. Koran kepemilikan
pribumi ini dilarang pemerintah terbit tahun 1958 karena alasan politik yang
waktu itu hubungan Indonesia-Belanda semakin meruncing sehubungan dengan
pembebasan Irian Barat. Padahal pada waktu itu Java Bode (berbahasa Belanda) ibarat
Jakarta Post (berbahasa Inggris) pada masa kini).
Untuk soal keberanian apakah ada yang mampu
menandingi Mochtar Lubis di eranya atau sesudahnya? Sulit menemukannya. Adalah
Gunawan Harmoko yang menjamin keberanian Mochtar Lubis di eranya. Gunawan
adalah wartawan Indonesia Raya yang kala itu ikut membongkar kasus korupsi,
member kesan terhadap keberanian Mochtar Lubis: Bang Mochtar Lubis orang yang
luar biasa, orang besar dalam dunia pers. Sampai sekarang di antara orang-orang
pers yang sudah meninggal dan masih hidup, tidak ada yang lebih hebat daripada
Mochtar Lubis’. Wartawan pemberani sebelumnya apakah ada? Ada, hanya dua orang.
Pertama, Mangaradja Salamboewe. Editor kedua
pribumi di Pertja Timor yang terbit di Medan (setelah Dja Endar Moeda editor
pertama di Pertja Barat). Mangaradja Salamboewe adalah seorang mantan jaksa
yang enjadi wartawan. Mangaradja Salamboewe menjadi editor Pertja Timor antara
tahun 1903-1908. Menurut pengakuan wartawan Eropa/Belanda dapat dibaca dalam
koran Sumtra Post yang dikutip juga oleh Bataviaasch nieuwsblad mengakui bahwa
Maharadja Salamboewe memiliki pena yang tajam dan memiliki kemampuan menulis
yang jauh lebih baik dibanding wartawan-wartawan pribumi yang ada. Hebatnya
lagi, masih pengakuan koran ini, Maharadja Salamboewe selain sangat suka
membela rakyat kecil, Maharadja Salamboewe juga sering membela insan dunia
jurnalistik baik wartawannya maupun korannya. Kami juga respek terhadap dia,
demikian diakui oleh koran Sumatra Post yang juga diamini oleh Koran
Bataviaasch nieuwsblad. De Sumatra post edisi 29-05-1908 ketika memberitakan
kematian wartawan pemberani ini. Dalam berita koran ini, editor juga
mengungkapkan rasa duka cita yang dalam, karena Maharadja Salamboewe tidak
hanya membela rakyatnya tetapi juga dunia jurnalistik (yang sebagian besar
wartawan pada waktu itu berbagsa Belanda/Eropa). Editor ini melanjutkan
bahwa "Di dalam seratoes orang pribumi
tidak ada satoe yang begitoe brani’.
Kedua, Parada Harahap adalah wartawan sesudah Mangaradja Salamoewe yang tidak hanya tajam dalam berita dan tulisan tetapi juga berani menghadap langsung pejabat yang dianggapnya tidak adil dan menyengsarakan rakyat. Parada Harahap karena keberaniannya sebanyak 101 kali dipanggil ke sidang meja hijau dan belasan kali diantaranya dipenjara.
Kedua, Parada Harahap adalah wartawan sesudah Mangaradja Salamoewe yang tidak hanya tajam dalam berita dan tulisan tetapi juga berani menghadap langsung pejabat yang dianggapnya tidak adil dan menyengsarakan rakyat. Parada Harahap karena keberaniannya sebanyak 101 kali dipanggil ke sidang meja hijau dan belasan kali diantaranya dipenjara.
***
The Three Musketeer Indonesian Journalism van Padang Sidempoean |
Artikel terkait:
*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap
berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar