Terowongan Bonandolok (dikerjakan 1910) |
Jembatan Batangtoru (dikerjakan 1879) |
Prasejarah:
Jalan Setapak Antarhuta di Tanah Batak
Tanah
Batak sesungguhnya sudah sejak lama dikenal. Namun hanya dikenal dari sisi luar,
tanpa pernah masuk ke pedalaman. Pertemuan penduduk Tanah Batak dan orang luar
hanya terbatas di pelabuhan-pelabuhan di Baros, Sibogha, Natal dan Batangonang.
Pertemuan-pertemuan tersebut dalam rangka transaksi dagang. Dari pedalaman
mengalir emas, kemenyan, benzoin, kulit manis dan lainnya. Dari luar masuk
batangan besi, kain, garam dan lainnya. Sementara itu, di pedalaman Tanah
Batak, penduduk sudah lama menetap, bertempat tinggal tetap dengan mendirikan
huta, membangun sistem pertanian sendiri, membentuk sistem sosial sendiri dan
sebagainya.
Semua
kehidupan berpusat pada huta. Huta-huta ini ukurannya kecil-kecil, karena huta selalu
berkembang membentuk huta-huta baru. Namun antar huta ini tidak berdiri sendiri,
tetapi karena asal-usulnya dapat ditrace maka semua huta menjadi terintegrasi dalam satu sistem sosial yang unik yang
dikenal sebagai dalihan na tolu. Sistem social yang unik inilah yang menjadi
core culture penduduk di Tanah Batak yang menjadi inti terbentuknya kebudayaan Batak
(yang dapat dibedakan dengan kebudayaan Melayu).
Ketika Medan masih sebuah kampung, Padang Sidempuan sudah jadi kota (1875) |
Jaringan
jalan setapak ini sudah terbentuk jauh sebelum ‘orang asing’ masuk pertamakali ke
pedalaman Tanah Batak. Lantas mengapa ‘orang-asing’ melakukan perjalanan dagang
ke pedalaman dan tidak menunggu lagi di pelabuhan-pelabuhan. Ini hanya bisa
dijelaskan melalui teori pertukaran atau yang lebih modern dikenal sebagai teori
harga (permintaan vs penawaran). Uraiannya simpelnya begini: Sebagaimana pada
masyarakat pada peradaban awal, kebutuhannya terbatas dan bersifat subsisten.
Surplus yang ada (kelebihan produksi) hanya berfungsi sebagai jaring pengaman
daripada menumpuk kekayaan. Jika kebutuhannya yang masih bersahaja sudah cukup
maka penduduk akan cenderung berhenti memproduksi (bertani atau ke hutan) dan
memaksimumkan waktu untuk leisure (termasuk menyelenggarakan system sosial).
Namun
sebaliknya, di luar sana (luar Tanah Batak) jumlah kemenyan atau kulit manis
atau beras kebutuhannya terus meningkat, menginginkan lebih banyak, sementara
pasokan dari pedalaman melambat (karena sifat subsisten). Untuk mengatasi itu maka dilakukan metode ‘jemput
bola’ oleh para pedagang yang bebasis di pelabuhan-pelabuhan. Alat tukarnya
bukan hepeng, tetapi komoditi-komoditi primer jenis baru atau barang-barang sekunder
sebagai wujud kemewahan. Para pedagang lalu menjadi marketer dan para penduduk
pedalaman menjadi calon customer. Penduduk pedalaman semakin tergoda lalu untuk
memenuhinya penduduk pedalaman menjadi semakin bekerja keras. Demikian
seterusnya hingga terbentuk arus perdagangan yang lebih besar (terbentuknya sistem
moneter hepeng) hingga munculnya praktek kolonialisme (ekonomi colonial).
Pedagang
Tionghoa Memasuki Ankola Melalui Sungai Baroemon
Sebagaimana
huta-huta berkembang, komunitas-komunitas Melayu dan Tionghoa utamanya di
pantai-pantai yang bergerak di bidang perdagangan juga berkembang. Mereka
adalah satu mata rantai dari rantai yang panjang sistem pedagangan dunia. Mereka
inilah pedagang awal yang memasuki Tanah Batak. Kisah masuknya pedagang ke
Tanah Batak dilaporkan pertama kali oleh seorang Tionghoa yang dicatat VOC di
Batavia pada tahun 1701. Boleh jadi ini adalah salah satu laporan terawal tentang
penduduk di pedalaman Tanah Batak. Pedagang ini menyebut nama tempat bernama
Pande di sekitar Deli yang mirip bunyi seperti Panai (di muara Sungai Barumun).
Pada sebuah peta tahun 1686, Aru digambarkan terletak di muara Sungai Barumun
dan dalam peta seperti tempat yang lebih penting dibandingkan dengan Deli.
Selain itu, diceritakan juga orang Tionghoa tersebut bahwa aktivitasnya
bolak-balik antara Pande dan kawasan pegunungan Ankola (Ancools gebergte). Tambahan
lagi, juga disebut bahwa tempat tinggal orang Tionghoa itu berada di Ankola [lihat:
Daniel Perret, ‘Pemeriksaan atas Seorang Pedagang Cina mengenai Orang Batak
yang berada di Sumatera Utara, 1 Maret 1701’. Dalam: Harta Karun. Khazanah
Sejarah Indonesia dan Asia-Eropa dari Arsip VOC di Jakarta, dokumen 9. Jakarta:
Arsip Nasional Republik Indonesia, 2013].
Ekspedisi Charles
Miller ke Ankola
Orang
berikutnya yang memasuki pedalaman Tanah Batak adalah Charles Miller. Ekspedisi
Miller, seorang botanis Inggris dilakukan dalam rangka ekspedisi tanaman caasia
(kulit manis) pada tahun 1772, yang diekstrak dari catatan perjalanaan Miller
oleh William Marsden dalam bukuya berjudul History
of Sumatra (1783). Besar kemungkinan Miller adalah orang Eropa pertama memasuki
Tanah Batak. Kisahnya adalah sebagai berikut (diringkas dari Marsden edisi 1811):
Jembatan rotan (rambin) di Batangtoroe (lukisan 1846) |
23 Juni 1772.
Kami melanjutkan ke kampong Lumut dan hari berikutnya Sa-Tarong dimana saya
mengamati perkebunan pohon benzoin, kapas, nila, kunyit, tembakau, dan beberapa
tanaman lada merambat. Selanjutnya kita sampai di Tappolen, kemudian Sikka dan
Sa-Pisang yang terletak di tepi sungai Batang Tara (perjalanan tiga sampai
empat hari ke hilir di pantai).
01 Juli 1772.
Kami melanjutkan perjalanan dan tiba di sebuah ladang, lalu cuaca buruk kami
menempati pondok padi. Keesokan paginya sungai meluap dan tidak bisa
menyeberang lalu bermalam lagi di tempat yang tidak nyaman.
03 Juli 1772.
Kami meninggalkan ladang berjalan melalui jalan yang tidak teratur tidak
berpenghuni penuh dengan batu dan ditutupi dengan hutan. Kami hari ini juga
melintasi punggung bukit yang sangat curam dan di sore hari tiba di sebuah
Negara yang dihuni dengan budidaya baik di pinggir
dataran Ankola. Kamu malam ini tidur di pondok kecil terbuka dan hari
berikutnya melanjutkan perjalanan ke kampong bernama Koto Lambong (Huta Lambung).
05 Juli 1772.
Kami berangkat melalui wilayah yang lebih terbuka dan menyenangkan di Terimbaru (Hutaimbaru), sebuah kampong besar di tepi
selatan dataran Ankola. Tanah di sekitar ini sepenuhnya dibajak dengan kayu
secara baik dan ditaburi dengan padi atau jagong, di padang rumput mereka
terlihat banyak ternak kerbau, kambing dan kuda. Setelah diinformasikan kepada
Radja, lalu menyuruh anaknya datang menemui kami dengan 30-40 orang bersenjata
tombak dan senapan locok (matchlock), lalu membawa kami, yang sepanjang jalan
dilakukan pemukulan gong dan tembakan ke udara. Radja yang menerima kami
bertubuh besar, dan dengan hormat memerintahkan untuk menyembelih kerbau. Kami
diminta menginap semalam. Saya mengamati semua perempuan yang belum kawin
mengenakan sejumlah cincin timah besar di telinga mereka (penyelidikan saya
lebih lanjut bahwa timah itu datang dari Selat Makala).
07 Juli 1772.
Ketika kami melanjutkan perjalanan Radja meminta anaknya untuk mengawal kami.
Dari Terimbaru kami terus ke Sa-masam (Simasom). Kami bertemu radja yang mana
dihadiri 60-70 orang dengan bersenjata lalu menyiapkan sebuah rumah untuk kami
dan memperlakukan kami dengan keramahan dan hormat. Wilayah ini dikelilingi
bukit yang dipenuhi kayu dan sebagian besar tanah padang rumput untuk ternak
mereka yang tampaknya memiliki kelimpahan yang besar. Di sini saya bertemu
dengan hal yang luar biasa semacam semak berduri yang disebut penduduk sebagai
Andalimon, yang berbentuk bulat yang memiliki rasa pedas yang sangat
menyenangkan di lidah dan mereka menggunakan dalam gulai (kari) mereka.
14 Juli 1772.
Kami meninggalkan Batang Onang untuk pulang dan berhenti untuk bermalam di Koto
Moran (Huta Morang) dan malam berikutnya tiba kembali di Sa-masam. Namun
setelah itu kami mengambvil jalan yang berbeda sebelum Sa-pisang. Dengan
mengambil sampan kami menyusuri sunga Batang Tara ke laut.
22 Juli 1772.
Kami tiba kembali di Pulo Punchong.
Kisah
Charles Miller ini terbilang jauh lebih lengkap daripada pedagang Tionghoa.
Miller tidak hanya menggambarkan rute perjalanannya secara lengkap, juga sudah
teridentifikasi nama-nama huta di pedalaman Tanah Batak. Huta Batangonang
adalah pelabuhan di pedalaman Tanah Batak di hulu Sungai Barumum. Ini berarti
Charles Miller sesungguhnya telah melakukan perjalanan semacam ekspedisi rute
coast to coast. Sebab Batangonang adalah pusat perdagangan di sisi timur
Ankola, sedang pusat perdagangan di sisi barat Ankola adalah Loemoet. Dengan
demikian, Ankola secara praktis terbuka oleh pedagangan baik dari pantai timur
maupun pantai barat.
Ekspedisi
Militer Belanda ke Mandheling via Natal dalam Perang Bonjol (1833)
Ekspedisi
Pendeta Amerika ke Silindoeng (1834)
Perang Pertibie
(1838)
Ekspedisi
Junghuhn ke Ankola (1840)
Ekspedisi geologi
ke Padang Lawas (1845)
Ekspedisi Gubernur
Sumatra’s Westkust ke Padang Sidempoean (1846)
Pembukaan Jalan Natal-Mandailing oleh AP Godon (1848)
Herman N. van der Tuuk tiba di Ankola (1851)
Perjalanan Ida Pfeiffer
dari Padang Sidempoean ke Silindoeng (1852)
Pembangunan
Jalan Padang Sidempoean-Loemoet (1860)
Ekspedisi ke
Sigompoelon dan Silindoeng oleh Hennij (1866)
Pegembangan Jalan
dan Jembatan di Ankola (1869)
Ekspedisi
Gubernur Sumatra’s Westkust ke Sigompoelon dan Silindoeng via Sibolga (1869)
Ibukota
Afdeeling Mandheling en Ankola Pindah ke Padang Sidempoean (1871)
Ekspedisi ke
Padang Bolak (1876)
Perang Toba I (1878)
Pembangunan
Jembatan Batangtoroe (1879)
Perang Toba II (1883)
Membawa Kapal
dari Sibolga ke Danau Toba dengan Cara Ditandu (1898)
Usulan
Pambangunan Kereta api di Tapanoeli (1898)
Ekspedisi ke
Bataklanden dari Medan (1905)
Pembuatan
Terowongan di Bonandolok (1910)
Perjalanan Pertama Lintas Sumatera (Medan-Sibolga) dengan
Mobil via Sipirok (1912)
Perjalanan
Padang-Medan dengan Mobil via Sibolga (1924)
Perjalanan Prof.
J. Ph. Vogel ke Candi Pertibie dengan Mobil (1925)
Pengadaan Mobil
SS (pakai kabin penumpang) untuk Trayek Fort de Kock-Sibolga (1927)
Pengadaan Mobil
SS untuk Trayek Sibolga-Siantar (1927)
Kisah Perjalanan Dr. KJ Brouwer dari
Medan hingga Fort de Kock (1928)
Peningkatan
Jalan Tarutung-Sipirok (dimulai 1930)
Perjalanan Goenoengtoea-Siboehoean
dengan Mobil (1932)
Perjalanan
Medan-Padang dengan Mobil (1933)
Usulan
Pambangunan Bandara di Padang Sidempoean (1935)
Penyelesaian Jalan
Tarutung- Sipirok (selesai 1937)
Jalur Sungai
Asahan (1940)
(tunggu deskripsinya)
*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber tempo doeloe.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar