.
Pohon tusam, nama botaninya ditulis secara
lengkap sebagai Pinus Merkusii Jungh.
et de Vriese. Ternyata nama spesies dari genus Pinus ini menunjukkan
nama-nama orang. Merkusii diambil
dari nama belakang Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Pieter Merkus yang
menjabat antara 1840 hingga 1845. Sementara Junghuhn diambil dari nama seorang geolog dan botanis bernama Friedrich
Franz Wilhelm Junghuhn. Sedangkan de
Vriese diambil dari nama seorang botanis Belanda bernama Prof. Willem
Hendrik de Vriese yang ditempatkan di Bogorse Plantentum di Buitenzoeg tahun
1857 sebagai komisi investigasi botani untuk Hindia Belanda. Lantas bagaimana
keterkaitan tiga orang ini yang mana pohon tusam ditemukan pertama kali di
Sipirok?. Ini kisahnya.
Hamparan Pohon Tusam di Sipirok (illustrasi) |
***
Pieter Merkus (diangkat menjadi Gubernur
Jenderal 1840) adalah orang yang bertanggungjawab dan menugaskan Franz Wilhelm
Junghuhn tahun 1840 (yang telah berpengalaman menjelajahi seluruh Jawa dan
mendaki semua gunung api yang ada) untuk melakukan eksplorasi geologi dan
botani ke suatu wilayah baru (kelak namanya menjadi Tapanoeli).
Peta Tanah Batak, 1830 |
Sungai Batangtoroe dan Gunung Loeboekradja (lukisan 1840) |
Junghuhn yang didampingi Hermann von
Rosenberg berangkat dari Batavia ke Padang lalu tiba di teluk Tapanoeli (Oktober, 1840). Ketika
mereka tiba, di wilayah itu hanya ada seorang posthouder (yang mengepalai pos
dagang Belanda) yang berada di pulau Punchong (kini Poncang). Dari post ini
dengan perahu kecil menyusuri pantai dan memasuki muara sungai Pinang Soeri
(kini Pinang Sori) kemudian diteruskan dengan sampan hingga tiba di Loemoet
lalu dengan jalan kaki hingga bertemu sungai Batangtoru. Target mereka adalah
gunung Loeboekradja. Untuk menyeberangi sungai Batangtoru tidak mudah. Mereka
menyusuri sungai hingga ditemukan sebuah jembatan rambin yang terbuat dari
rotan. Gunung Lubuk Raya dan rambin di atas sungai Batangtoru mereka abadikan
dalam suatu lukisan tahun 1840.
***
Jembatan dari rotan (rambin) di atas Batangtoroe (lukisan 1840) |
Perjalanan mereka tentu saja tidak tergesa-gesa
bahkan bisa berhari-hari atau berminggu-minggu di satu tempat. Dalam hal ini
mereka (Junghuhn dan Rosenberg) tentu saja ditemani oleh sejumlah pemandu yang
merangkap kuli untuk membawa barang-barang dan peralatan. Namun, dalam tim ini,
Rosenberg tidak lama dan tidak bisa melanjutkan perjalanan karena sakit dan
kembali ke Batavia. Junghuhn terus melakukan tugas yang diberikan kepadanya. Dari
Batangtoru dilanjutkan ke Huraba, Panabasan, Sisoendoeng hingga akhirnya sampai
ke Pijor Koling. Mengapa ke Pijor Koling?
Peta militer 1837 mengepung Tambusai 1838 (pedoman Junghuhn, 1840) |
FW Junghuhn (kiri) |
Sementara itu, ‘ibukota’ pemerintahan yang
baru dibentuk berada nun jauh di sana, di Panjaboengan dan Natal. Menurut
berita di surat kabar di Batavia pada tahun 1839 sudah beredar akan ditempatkan
seorang controleur di Ankola yang berkedudukan di Pijorkling. Namun ketika
Junghuhn berada di Pijorkoling realisasi penempatan controleur dan ibukota
Ankola di Pijorkoling belum terlaksana.
Besar kemungkinan Pijorkoling adalah posko
dari Junghuhn. Selama tahun 1841, Junghuhn bekerja di seputar Angkola dan
Sipirok dan Mandailing. Ketika Junghuhn melakukan ekspedisi geologi dan botani di
Sipirok, di dataran tinggi inilah Junghuhn menemukan adanya pohon tusam.
‘Setelah melihat tusam di sebelah utara Sipirok (Sipagimbar), Junghuhn
sangat terpesona, karena tidak menyangka disini di tengah-tengah daerah tropis
ada kenyataan bahwa pinus tumbuh dengan baik. Penemuan ini disebutkannya
sebagai salah satu yang paling penting dalam bidang geografi tanaman, bahwa ada
Pinussoort ditemukan di daerah tropis. Junghuhn menyebutnya sebagai Pinus sumatrana Jungh’.
Setelah dari Sipirok, Junghuhn melanjutkan
ekspedisi pada tahun 1842 ke Padang Lawas. Pada tahun ini (1842) terjadi
perubahan struktur pemerintahan baru dengan dibentuknya satu residentie yang
disebut Residentie Bataklanden. Residentie ini terdiri dari dua afdeeling,
yaitu: Afdeeling Tapanoeli dan Afdeeling Pertibie. Di Afdeeling Tapanoeli, Asisten
residen diangkat dan ditempatkan di Sibolga dan seorang controleur di Barus.
Sementara di afdeeling Padang Lawas hanya ditunjuk empat abtenar, dua
diantaranya FT Willer untuk urusan lanskap dan FW Junghuhn (sendiri) sebagai urusan
topografi. Di afdeeling Mandheling en Ankola sendiri diangkat dua orang
Controleur, yakni di Oeloe en Pakantan yang dijabat oleh Happe berkedudukan di
Kotanopan dan Ankola yang dijabat oleh Godin yang berkedudukan di Pijorkoling.
***
Setelah menyelesaikan sebagian tugas-tugasnya
di bidang geologi (termasuk botani) dan topografi, Junghuhn kembali ke Batavia.
Berbagai data yang telah dikumpulkan mulai dikompilasi, dianalisis dan ditulis.
Salah seorang koleganya adalah Prof. Vriese yang menjadi komisi untuk Botani di
Hindia Belanda yang berkantor di Buitenzorg. Dengan Vriese sejumlah temuan
didiskusikan. Prof. lalu memberikan gambaran botani pertama dari spesies baru
ini, menamianya Pinus merkusii Junghuhn et de Vriese.
Sebelumnya direktur Bogorse Plantentum, Dr. CL Blume yang telah menjabat sejak 1822 dengan nama Pinus
finlaysoniana Wallich. Namun penamaan itu diubah oleh de Vries Pinus merkusii
Junghuhn et de Vriese. Hal ini dimaksudkan untuk menghormati Gubernur Jenderal
P. Merkus, yang misinya Junghuhn perjalanan ke Sumatera.
Pieter Merkus yang telah berada di Hindia
Belanda sejak 18..dan menjabat Gubernur Jenderal sejak 1840, meninggal pada 2
Agustus 1844 di Surabaya. Sedangkan Vries sendiri meninggal pada tahun 1845. Dengan demikian nama botani
tusan secara lengkap ditabalkan setelah Pieter meninggal dan sebelum Vriese
meninggal.
Pada tahun 1845 Province Sumatra’s Westkust hanya
dibentuk tiga kresidenan yakni Kresidenan Padangsche Benelanden beribukota
Padang, Kresidenan Bovenlanden berkedudukan di Fort de Kock dan Kresidenan
Tapanoeli berkedudukan di Sibolga. Aijer Bangies sendiri yang dulu berstatus residen
diturunkan menjadi asisten residen tetapi seperti beberapa asisten residen yang
lainnya berada di luar Kresidenan Padangsche Bovenlanden. Sementara asisten
residen Mandheling en Ankola dimasukkan ke Residentie Tapanoeli. Sementara
controleur Natal masih tetap di Asisten Residen Aijer Bangies. Selain itu,
Residentie Tapanoeli ditingkatkan statusnya dari sebelumnya asisten residen
menjadi Residen yang berkedudukan di Sibolga.
Dengan perubahan itu, maka Kresidenan Tapanoeli terdiri
dari tiga afdeeling (Mandheling en Ankola, Baros dan Singkel) plus eilend Nias.
Di afdeeling Mandheling tetap ditempatkan asisten residen dengan dibantu dua
controleur. Di kantor Residen di Sibolga, Residen dibantu oleh sekretaris,
kommies, ambtenar dan seorang controleur. Pada tahun 1846 tidak ada perubahan
yang berarti kecuali bahwa afdeeling Natal yang sebelumnya masih di Aijer
Bangies kini dimasukkan ke Residentie Tapanoeli. Selanjutnya struktur
pemerintahan baru ini tidak mengalami perubahan hingga tahun 1851.
FW Junghuhn sendiri menulis laporannya dari
ekspendisi ke Tapanoeli yang dibukukan dengan judul Die Battaländer auf Sumatra (Tanah Batak di Sumatra) yang
diterbitkan tahun 1847.
Menarik untuk dicermati, mengapa Junghuhn memberi nama Battaländer(Tanah Batak) pada nama buku yang ditulisnya. Padahal
nama Residentie Bataklanden hanya muncul pada tahun 1842 yang terdiri dari
afdeeling Tapanoeli dan afdeeling Pertibie. Setelah itu nama residentie diubah
menjadi Residentie Tapanoeli (yang terdiri dari afdeeling Tapanoeli dan
Afdeeling Padang Lawas (menggantikan penamaan Pertibie). Afdeeling Bataklanden
baru muncul kemudian yang menjadi nama wilayah untuk lanskap Silindoeng en
Toba. Pemerintahan sendiri baru terbentuk di Afdeeling Bataklanden pada tahun 1870an
dengan menempatkan seorang controleur di Taroetoeng.
Makam radja-radja di Siaboe, 1846 |
Peta Tapanoeli 1845 (belum ada jalan) |
Jangan lupa, begitu lamanya Junghuhn bekerja
di wilayah baru itu, dan berinteraksi dengan penduduk, maka Junghuhn sendiri
bisa berbahasa Batak. Di wilayah-wilayah berbahasa Batak (dengan berbagai
dialek) inilah Junghuhn ditugaskan Pieter Merkus dan secara administrative
kemudian wilayah kerjanya itu digabung kemudian menjadi satu residentie, yakni
Residentie Tapanoeli: Afdeeling Natal, Afdeeling Mandheling en Ankola,
Afdeeling Sibolga, Afdeeling Barus, Afdeeling Padang Lawas dan Afdeeling
Batakalanden (Silindoeng en Toba).
Persenjataan di Ankola (1867) |
***
Die Battaländer auf Sumatra (Tanah Batak di Sumatra) yang diterbitkan tahun 1847
adalah buku pertama yang ditulis mengenai Tanah Batak. Di dalam buku ini nama
tusam sudah disebut sebagai nama Pinus
Merkusii Junghuhn et de Vriese. Dalam perkembangan lebih lanjut, tusam
tidak hanya ditemukan di Tanah Batak, tetapi juga di Kerinci dan Atjeh.
Pada tahun 1865 pejabat kehutanan , Inspektur JWH Cordes di Kerintjische melaporkan
bahwa tusam sebagaimana deskripsi Vriese (Pinus Merkusii Junghuhn et de Vriese)
juga ditemukan di Kerinci, sekitar 20 derajat Lintang Selatan yang merupakan
habitat paling jauh di tropis (di selatan ekuator). Lalu kemudian dilaporkan
bahwa di Atjeh juga ditemukan selama dan setelah perang Atjeh dengan rentang
terluas di Central Atjeh yang berpusat di Takeungon. Di daerah Takengon ini
bahkan waktu itu tidak sedikit pohon pinus dengan postur tinggi 50-70 m dengan
diameter 1-1,50 m.
***
Pohon tusam (Pinus Merkusii Junghuhn et de Vriese) adalah salah satu pohon
ajaib. Mudah tumbuh di habitat yang kering dan minim air. Permadani tusam di
Sipirok dan sekitarnya serta di Atjeh menjadi inspirasi bagi seorang rimbawan (pakar
kehutanan) Mr. JW. Gonggrijp pada tahun 1927 untuk memperkenalkan pohon tusam
sebagai reboisator paling unggul. Inilah yang dilakukan pada tahun 1927 untuk
menutupi tanah-tanah gundul yang terdapat di Karoland dan sekitar danau Toba
(budidaya masif dimulai tahun 1928 di Aek Nauli). Sejak itu penduduk semakin
dilibatkan dalam reboisasi dengan menggunakan pohon tusam. Jadi kita sekarang
menemukan hutan yang tersebar di hutan oasis di tengah-tengah lalangwoestenij yang
luas itu adalah anugerah yang diperoleh setelah pohon tusam pertama kali
ditemukan di Sipirok dan dikerjakan oleh penduduk dalam rangka reboisasi di era
Hindia Belanda.
Pohon tusam tidak hanya mengimbangi tanah-tanah gundul
akibat kebakaran yang berulang di Simalungun dan sekitar danau Toba tetapi juga
telah dimanfaatkan untuk membuat jutaan kotak dan sumpit. Setelah kemerdekaan melalui
Stasiun Penelitian Kehutanan di Bogor sudah melakukan uji coba untuk diolah
menjadi pulp dan kertas koran.
***
Peta Tapanuli 1852 (klik gambar untuk memperbesar) |
FW Junghuhn dan FT Willer adalah dua orang pertama
yang memberi kontribusi lebih awal tentang pedalaman Tanah Batak. FW Junghuhn
ditugaskan langsung oleh Gubernur Jenderal Nederlansch Indie di Batavia,
sementara FT Willer ditugaskan oleh Gubernur Sumatra;s Weskust di Padang untuk
memetakan Tanah Batak. FW Junghuhn pertamakali memasuki Tanah Batak tahun 1840
dari Telok Tapanoeli, sedangkan FT Willer pertamakali memasuki Tanah Batak tahun
1841 dari pelabuhan Natal. Kedua orang ini besar kemungkinan pertamakali tahun
1841 di afdeeling Mandheling en Ankola. Pada tahun 1842 (menurut Almanak 1842)
kedua orang ini sama-sama bertugas di afdeeling Pertibie (Residentie
Bataklanden). FT Willer sebagai Gecommitterde voor de landschappen Padang
Lawas, Temboesy, Paneh en Bila (afdeling Pertibie); sedangkan FW Junghuhn
sebagai Gecommitterde voor topographische en natuurkundige onder zoekingen in
de Battalanden (afdeeling Tapanoeli en afdeeling Pertibie). FT Willer sebelum
memetakan Pertibie (1842) sudah terlebih dahulu memetakan afdeling Mandheling
en Ankola (1841). FT Willer pada tahun 1843 diangkat menjadi asisten residen
afdeeling Mandheling en Ankola yang berkedudukan di Panjaboengan hingga tahun
1845.
Pada tahun 1843 Residentie Bataklanden di
perluas menjadi Afdeeling Tapanoeli, Afdeeling Pertibie, Baros dan Singkel
serta eiland Nias. Pada tahun 1844 nama Residentie Bataklanden diubah menjadi
Residentie Tapanoeli yang wilayahnya hanya Afdeeling Tapanoeli, afdeeling
Baros, afdeeling Singkel dan eiland Nias minus afdeeling Pertibie. Pada tahun
1845 Residentie Aijer Bangies dihapus, sementara Residentie Tapanoeli
ditingkatkan statusnya dari asisten residen menjadi Residen. Sedang afdeeling
Mandheling en Ankola yang tahun sebelumnya masih masuk Residentie Aijer Bangies
bergabung dengan Residentie Tapanoeli. Residen berkedudukan di Siboga, asisten
residen di Panjaboengan, controleur masing-masing di Baros dan di Singkel.
Yang diangkat menjadi Resident pertama di Residentie
Tapanoeli (1845) adalah Luit.col Alexander van der Hart, seorang tentara
pemberani, pahlawan dalam perang Bondjol (ketika itu masih berpangkat Kapten) dan
menjadi ‘panglima’ dalam perang Tambusai di Dalu-Dalu tahun 1843. Pada tahun
1845 Risidentie Tapanoeli belum termasuk empat lanskap, yakni: Pertibie, Padang
Lawas, Silindoeng, dan Toba. Hal ini karena pada waktu itu empat lanskap ini
belum dinyatakan aman dari sudut pandang militer, dan karenanya pemerintahan di
lanskap-lanskap tersebut belum dibentuk.
Sebuah huta di Silindoeng (lukisan Jubghuhn, 1847) |
Alexander van der Hart meski seorang militer
tulen dan pemberani, tetapi sangat humanis. Ketika Luit.col van der Hart diangkat
menjadi Residen (1845) yang berkedudukan di Sibolga, program pertamanya adalah pengembangan pertanian
Tapanoeli. Boleh dikatakan Letkol van der Hart adalah perancang pertama program
pertanian di Tapanoeli. Junghuhn pada tahun 1845 besar kemungkinan telah
dilibatkan dan diminta menyelesaikan tugas pemetaan geologinya di lanskap
Mandheling. Dalam tugas ini, kemungkinan FW Junghuhn dan FT Willer (yang sudah
menjadi asisten residen) bekerjasama lagi di Mandheling. Bahan-bahan yang
dikumpulkan dua orang ini (Junghuhn dan Willer) dapat dianggap sebagai contributor
utama dalam tersusunnya peta wilayah Tapanoeli yang pertama (lanskap Toba belum
tercakup). Peta tersebut diberi judul: Kaart van het Gouvernement Sumatra's
Westkust: opgenomen en zamengesteld in de jaren 1843 tot 1847 / door L.W.
Beijerink met medehulp van C. Wilsen... et al. Peta ini terbit pertamakali awal
tahun 1852. Besar kemungkinan peta inilah yang ditemukan Ida Pfeiffer di
Batavia yang membuatnya tertarik untuk melakukan perjalanan di pedalaman Tanah Batak
pada bulan Agustus 1852.
________
*Dikompilasi
oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan
sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama adalah artikel berjudul:
‘Rimboe-overpeinzingen Dienst boswezen gehaat bij de bevolking?’ door: K.S.
Depari (Afdelingshoofd Boswezen te Siantar) yang dimuat dalam Het nieuwsblad voor Sumatra, edisi
31-07-1957.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar