*Untuk melihat semua artikel Sejarah Budaya dalam blog ini Klik Disini
Peradaban Angkola adalah kebudayaan yang
dikembangkan oleh suku Angkola, bagian dari rumpun Batak di Sumatera Utara,
yang memiliki ciri khas seperti agama mayoritas Islam, bahasa Batak Angkola,
dan arsitektur tradisional Bagas Godang. Masyarakat Angkola memiliki tradisi
adat yang kaya, termasuk upacara pernikahan seperti Mangupa Boru, dan seni
tradisional seperti Tari Rondang Bulan.
Situs Bongal terletak di Desa Jago-jago, Kec Badiri, Kab Tapanuli Tengah, dan merupakan situs arkeologi penting yang menunjukkan adanya pelabuhan internasional dan pusat peradaban Islam serta perdagangan di Pesisir Barat Sumatera sejak abad ke-7 M. Situs ini lebih tua dari Barus dan kaya artefak seperti koin zaman Khalifah Umayyah dan Abbasiyah, keramik Tiongkok, serta jejak industri farmasi kuno. Situs ini merupakan bukti kawasan yang maju dan menjadi pusat aktivitas masyarakat dari berbagai penjuru dunia, yang berinteraksi melalui jalur maritim internasional. Situs Bongal menyimpan bukti-bukti penting tentang interaksi Nusantara dengan dunia Islam sejak abad ke-7 Masehi, bahkan lebih tua dari situs-situs lain seperti Barus. Artefak Penting yang Ditemukan: Koin-koin emas dari masa Khalifah Umayyah dan Abbasiyah; Keramik dari Dinasti T'ang dan tembikar berglasir dari Timur Tengah; Berbagai manik-manik, botol kaca Timur Tengah, dan pecahan kaca berlapis emas; Peralatan medis kuno dan alat pengasah dari batu; Jejak industri farmasi kuno ditunjukkan oleh temuan pecahan kaca Timur Tengah yang mengindikasikan penggunaan bahan-bahan herbal, serta temuan resin, pala, dan biji-bijian (AI Wikipedia)
Lantas bagaimana sejarah peradaban awal di wilayah Angkola? Seperti disebut di atas, beberapa tahun yang lalu ditemukan situs kepurbakalaan di area muara sungai Lumut di bukit Bongal dan sekitanya yang masuk wilayah desa Jago-Jago. Jauh di masa lalu, di area muara sungai Batang Angkola ditemukan situs kepurbakalaan yang dikenal sebagai situs candi Simangambat di wilayah Siabu. Dalam konteks inilah peradaban awal di wilayah Angkola penting diperhatikan. Lalu bagaimana sejarah peradaban awal di wilayah Angkola? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja. Dalam hal ini saya bukanlah penulis sejarah, melainkan hanya sekadar untuk menyampaikan apa yang menjadi fakta (kejadian yang benar pernah terjadi) dan data tertulis yang telah tercatat dalam dokumen sejarah.
Peradaban Awal di Wilayah Angkola; Situs Bongal di Lumut hingga Situs Candi Simangambat di Siabu
Kampong Lumut pernah menjadi pelabuhan perdagangan di hulu sungai Lumut. Suatu pelabuhan transit perdagangan dari wilayah Angkola ke Barus. Pada saat permulaan cabang Pemerintah Hindia Belanda di (onderafdeeling) Angkola (resident Angkola Mandailing) Lumut menjadi pelabuhan (pelabuhan lainnya berada di Natal).
Pada tahun 1690 seorang pedagang Cina di Angkola kembali ke Batavia melalui Barus. Lama perjalanan selama 10 hari. Dari Barus naik kapal kecil ke Padang, lalu dilanjutkan dengan kapal yang besar ke Batavia. Saat ini, sejak 1668 sudah ada benteng OC/Belanda di Barus. Benteng Belanda terbesar di Padang. Satu abad kemudian (1772) seorang botanis Inggris Charles Miller dari pulau Pontjang melakukan perjalanan dengan melalui laut (perahu) memasuki muara sungai Lumut hingga ke kampong Lumut dengan sampan (dan seterusnya dengan perjalanan darat ke wilayah Angkola hingga Batang Onang). Pulangnya Charles Miller menggunakan perahu dari kampong Sipisang di muara sungai Batangtoru untuk kembali ke pulau Pontjang. Pos perdagangan Inggris berada di pulau Pontjang. Benteng-benteng besar Inggris berada di Natal dan Bengkoelen. Pada tahun 1838 Muller melakukan perjalanan melintasi Angkola melalui pelabuhan Lumut. Pada tahun 1840 FW Jung Hunh dan Rosenberga mengikuti rute yang sama dari pulau Pontjang ke Angkola melalui Lumut. Peta 1838: Rute perjalanan militer dari (kampong) Tapanoeli ke wilayah Angkola (Tapanoeli adalah suatu nama kampong asal di di bagian utara Teluk Tapanoeli, ke arah Baroes).
Kampong Lumut, meski bukan pelabuhan sungai lagi untuk perdagangan (dari dan ke Angkola), tetapi kampong Lumut terus berkembang. Kampong Lumut menjadi tempat kedudukan (ibu kota) Koeria Lumut. Di wilayah Angkola Mandailing tidak diintroduksi bupati (kabupaten), tetapi Pemerintah Hindia Belanda langsung pada tingkat koeria (kira-kira mirip mirip kumpulan beberapa kampong yang membentuk kecamatan pada masa ini). Koeria Lumut bermarga Siregar (wilayah ulayat marga Siregar).
Pada tahun 1838 mulai dibentuk afdeeling Angkola Mandailing (di Residentie Air Bangis yang baru dibentuk) dengan memindahkan ibu kota dari Kotanopan pada tahun 1840 ke Panjaboengan. Ibu kota onderafdeeling Angkola juga dipindahkan dari Pidjor Koling ke Padang Sidempoean. Wilayah onderafdeeling Angkola pada permulaan ini termasuk hingga koeria Lumut. Seiring dengan peningkatan status residentie Tapanoeli yang menjadi dipimpin seorang Residen (dengan tetap berkedudukan) di Sibolga pada tahun 1845, residentie Air Bangis dilikuidasi. Afdeeling Natal dan afdeeling Angkola Mandailing dimasukkan ke wilayah residentie Tapanoeli. Dengan demikian Residentie Tapanoeli menjadi terdiri lima afdeeling: Natal, Angkola Mandailing, Sibolga en Ommenlanden, Baroes, dan Singkil. Wilayah Padang Lawas (hingga ke Bila), Silindoeng, dan Toba belum diadministrasikan (masih bersifat independent).
Sejak dijadikan kampong Sibolga sebagai ibu kota residentie Tapanoeli pada tahun 1845, arus perjalanan darat dari Lumut ke Sibolga semakin baik. Suatu pengembangan jalan setapak dari zaman kuno hingga digunakan militer sejak 1838 pada waktu Perang Portibi. Namun untuk perdagangan tetap berada di Lumut (menggunakan sampan/perahu ke Sibolga).
Seiring dengan peningkatan produksi kopi di Angkola dan Mandailing, kapasitas pelabuhan Lumut tidak memadai lagi (dan juga untuk efisiensi) sehingga pemerintah membangun pos perdagangan (logi) yang baru di muara sungai Lumut. Area pos perdagangan inilah yang kemudian disebut sebagai kampong Jaga-Jaga (suatu pos perdagangan, karena berada di pesisir laut yang dijaga oleh militer). Dari pos perdagangan (di Jaga-Jaga) inilah kapal mengangkut barang ke Padang (lihat Javasche courant, 24-10-1857). Catatan: Province Sumatra’s Westkust ibu kota di Padang terdiri tiga residentie: Padangsche Benelanden (di Padang), Padangsche Bovenlanden (di Fort de Kock) dan Tapanoeli (di Sibolga).
Dalam perkembangannya, Pemerintah Hindia Belanda mulai membangun jalan darat Padang Sidempoean langsung ke Sibolga melalui Lumut, Parbirahan dan Tukka (lihat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia-Belanda No. 22 (Staatsblad No. 141 tahun 1862). Meski demikian, pembangunan jalan ini tentu saja butuh waktu. Hingga tahun 1862 pelabuhan Djaga-Djaga masih menjadi pintu masuk dari dan ke Angkola en Sipirok hingga tahun 1862 (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 12-02-1862).
Setelah sempat berlarut-larut dalam proses pembentukan pemerintahan lokal di Afdeeling Sibolga en Ommenlanden di Batavia, De Raad van Nederlandsch-lndie akhirnya memutuskan afdeeling terbagi dari dua onderafdeeling, yakni: Sibolga dan Batang Toru. Onderfadeling Sibolga terdiri dari enam koeria, sedangkan onderafdeeling Batangtoru terdiri dari 10 koeria, yakni: Toeka, Said Nihoeta, Pinang Sori, Loemoet, Anggoli, Si Manosor, Batang Taro, Hoeraba, Si Anggoenan dan Marantjar (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 21-03-1871). Dalam hal ini sebagian wilayah onderafdeeling Angkola dipidahkan dan dimasukkan ke wilayah afdeeling Sibolga en Batangtoru (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 21-03-1871). Gelar Radja Pinangsori adalah adalah Jang di Pertoean (gelar yang digunakan di wilayah Angkola Mandailing). Kelak wilayah tersebut sebagian dimasukkan kembali ke wilayah (asal) Angkola sebagai bagian dari kabupaten Tapanuli Selatan.
Daerah aliran sungai (DAS) Lumut, sejatinya sejak zaman kuno adalah wilayah Angkola. Suatu rute perdagangan melalui sungai Lumut (dengan sampan) dimana di kedua sisi sungai masih berupa wilayah kosong (rawa-rawa). Pada masa Charles Miller, 1772, kampong Pinangsori yang berada di arah utara dapat dicapai dengan sampan dari sungai Lumut. Rute ini juga dilaporkan oleh Dr Muller en Dr L Horner (1838), FW Jung Huhn (1840), Oscar von Kessel (1844) dan HN van der Tuuk (1852). Untuk pulangnya Charles Miller dan Oscar von Kessel melalui muara sungai Batangtoru.
Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad, 21-07-1866: ‘Kami menulis surat ini dari Padan-Sidempoean, tertanggal 14 Juli…Selebihnya, tidak ada yang aneh di sini. Karena permukaan air sungai yang rendah, perahu tidak dapat berlayar menanjak dengan apa pun antara Djaga-Djaga dan Loemoat. Kami berharap hujan segera turun’.
Seiring dengan semakin baiknya lalu lintas darat antara Padang Sidempoean dan Sibolga, arus perdagangan tidak efisien lagi melalui jalan sungai, tetapi sudah menggunakan pedati melalui jalan darat (dengan adanya jembatan di atas sungai Batangtoru yang terbuat dari kabel telegraf yang kuat). Rute perdagangan antara pos perdagangan Jaga-Jaga dan pelabuhan Lumut tamat.
Sebagaimana diketahui sejak 1870 ibu kota afdeeling Angkola Mandailing dipindahkan dari Panjaboengan ke Padang Sidempoean. Artinya Asisten Residen Angkola Mandailing ke ibu kota residentie (Sibolga) tidak melalui Natal lagi, tetapi dari ibu kota baru Padang Sidempoean langsung ke Sibolga. Pada tahun 1874 ibu kota residentie Tapanoeli dipindahkan dari Sibolga ke Padang Sidempoean. Catatan: pada tahun 1883 jembatan permanen di atas sungai Batangtoru selesai dibangun.
Situs Bongal di Lumut hingga Situs Candi Simangambat di Siabu: Temuan Arkeologis, Antropologis, Geografis, Linguistis, Geomorfologis dan Sebagainya
Temuan belum lama ini di daerah aliran sungaia (DAS) Lumut, mengindikasikan perihal masa lalu, bahkan jauh di masa lampau. Oleh karena itu, penemuan masa kini tidak otomatis melihat situs Bongal sebagai kejadian masa ini. Pada permulaan cabang Pemerintah Hindia Belanda, (kampong) Lumut masih berposisi sebagai pelabuhan (pos) perdagangan ke wilayah (pedalaman) di Angkola.
Tidak ada orang yang bisa melihat suatu yang sangat besar seperti melihat (mendefiniskan) gajah jika terlalu dekat, atau jika terlalu jauh. Mengapa? Jika semua ‘orang buta’ memegang gajah yang besar hanya bisa mendefinisikan gajah sebagai ekornya saja, sebagai gadingnya saja dan sebagai kakinya saja. Jika semua ‘orang melek’ melihat gajah terlalu jauh juga tidak bisa menggambarkan (mendefinisikan) gajah secara tepat dan lengkap. Oleh karena itu, yang lebih baik berada cukup dekat tetapi dengan mata yang melek.
Lalu apakah situs Bongal, tempat ditemukan benda-benda kepurbakalaan di bawah lapisan tanah, pada 1000 tahun lalu merupakan suatu daratan? Sudah tentu bukit Bongal sendiri pada saat itu adalah suatu daratan: suatu pulau di masa lalu? Yang jelas, pada 1000 tahun yang lalu, wilayah di (pedalaman) Angkola jelas suatu daratan dimana gunung tertinggi gunung Lubuk Raya dan danau Siais (serta danau Siabu).
Pada tahun 1842, FW Jung Huhn menemukan peninggalan kepurbakalaan berupa candi-candi dan benda kepurbakalan di (kawasan) Padang Lawas (daerah aliran sungai Batang Pane dan sungai Batang Sangkilon). Satu abad kemudian tahun 1935, FM Schnitger, kepala dinas kepurbakalan di Palembang menerima laporan ditemukannya situs candi di Simangambat (Siabu) di muara sungai Batang Angkola (yang bermuara ke sungai Batang Gadis). FM Schnitger segera bergegas ke TKP. Sejak inilah FM Schnitger seorang arkeolog mulai bekerja di wilayah percandian Angkola (daerah aliran sungai Batang Pane dan sungai Batang Sangkilon serta sungai Batang Angkola). Dalam laporan FM Schnitger menyebut candi Simangambat berasal dari awal abad ke-9, candi yang jauh lebih tua dari candi-candi di Padang Lawas. Dalam konteks inilah, penemuan kepurbakalaan di situs Bongal dapat disandingkan dengan penemuan candi-candi di wilayah Angkola. Candi Simangambat dalam hal ini dapat dikatakan sebagai satu-satunya situs candi kuno di wilayah pantai barat Sumatra.
Secara geomorfologis, wilayah (pulau) Sumatra pada masa ini berbeda pada masa ini jika dibandingkan dengan masa lampau. Pulau Sumatra pada masa lampau memiliki postur ramping. Wilayah pantai timur Sumatra relatif telah berubah (lebih membengkak) jika dibandingkan dengan wilayah pantai barat Sumatra. Dalam konteks inilah perlu memahami konteks sejarah masa lampau, seperti halnya dalam penemuan-penemuan kepurbakalaan di situs Bongal dan situs-situs candi di wilayah Angkola.
Pada tahun 1920 ditemukan benda kepurbakalaan berupa prasasti di kota Palembang yang sekarang (prasasti Kedoekan Boekit). Isi prasasti di Palembang ini mengindikasikan menggunakan aksara Pallawa dengan menggunakan bahasa campuran antara bahasa Sanskerta dan bahasa Batak. Indikasi bahasa dan tatabahasa Batak dapat diperhatikan dalam kosa kata, imbuhan mar dan ma, sebutan bilangan tolu dan sapulu dua (12). Dalam teks disebut Radja berangkat dari Minanga Tamwan, suatu nama tempat di masa lampau yang diduga sebagai Binanga pada masa ini di Padang Lawas. Dalam bahasa Angkola Mandailing yang disusun HJ Eggink (1936) kosa kata ‘binanga’ diartikan sebagai pertemuan sungai. Pada masa ini kota Binanga di Padang Lawas tepat berada di pertemuan sungai Batang Pane dan sungai Batang Sangkilon yang ke hilir disebut sungai Barumun. Lantas apakah Binanga di Padang Lawas pada masa lalu sebagai suatu pelabuhan di pantai timur Sumatra di wilayah Angkola? Lalu apakah Lumut di masa lampau adalah suatu pelabuhan di wilayah Angkola di pantai barat Sumatra? Dalam konteks inilah perlu memperhatikan keberadaan situs Bongal di masa lampau.
Adalah sangat naif jika melihat area situs Bongal adalah suatu daratan di masa lampau. Penemuan benda-benda kerpubakalaan di bawah lapiran tanah di kawasan situs Bongal telah menjawab sendiri (mengindikasikan) bahwa kawasan sekitar muara sungai Lumut adalah suatu perairan. Bukit Bongal sebagai suatu pulau di tengah perairan. Lalu bagaimana dengan posisi GPS (kampong) Lumut di masa lampau? Hal yang sama juga tentang posisi GPS (kampong) Binanga. Apakah kedua kampong (Lumut dan Binanga) di masa lampau tepat berada di suatu garis pantai?
Jika posisi GPS Lumut dan posisi GPS Binanga di masa lampau adalah suatu garis pantai (pesisir laut; suatu teluk), berarti itu mengindikasikan jarak keduanya merupakan lebar terpendek pulau Sumatra. Dalam konteks inilah kita melihat posisi GPS candi Simangambat di muara sungai Batang Angkola yang bermuara ke sungai Batang Gadis. Dalam konteks itu, posisi GPS candi Simangambat dapat dikatakan tepat berada di tengah pulau Sumatra antara barat (Lumut) dan timur (Binanga). Pada wilayah antara Lumut dan Binanga serta muara sungai Batang Angkola (situs candi Simangambat) terletak wilayah adat Angkola.
Memang tidak ada salahnya jika ada yang menarik situs Bongal ke konteks awal peradaban nusantara, awal peradaban Atjeh, awal peradaban Minangkabau dan awal peradaban Melayu, tetapi juga jangan dilupakan dalam konteks awal peradaban Batak, khususnya di wilayah Angkola. Dalam konteks inilah pentingnya situs Bongal, suatu situs yang diduga kuat telah menyimpan banyak bukti peradaban dunia dalam bentuk benda-benda kepurbakalaan. Sekali lagi, sudah barang tentu menjadi sangat penting untuk memperkaya bukti keberadaaan peradaban Batak khususnya di wilayah Angkola. Dalam hal ini, bukti keperbukalaan juga dapat didukung dengan menggunakan catatan/peta geografis.
Pada peta Ptolomeus yang berasal dari abad ke-3 di pantai barat pulau Sumatra di bagian utara diidentifikasi nama Tacola. Memang tidak dapat diinterpretasi secara tepat apakah nama Tacola adalah Angkola, kecuali kedua nama itu memang hanya sekadar mirip saja. Sementara itu dalam catatan Eropa pada abad ke-5 disebut kamper diekspor dari nama pelabuhan Baroesa. Nama Baroesa ini diduga kuat adalah nama Barus yang sekarang, yang kerap nama itu diasosiasikan dengan kapur Barus (baca: kamper).
Fakta Dalam catatan Tiongkok dinasti Leang (502-556) disebut nama-nama tempat di pulau emas Kin-lin, Tu-k'un, Pien-tiu of Pan-tiu, Kiu-li of Ktu-tchiu dan Pi-song serta Mo-chia-man. Nama-nama tempat yang disebut dalam catatan Tiongkok pada abad ke-6 mirip dengan nama-nama tempat dipantai barat Sumatra seperti Tu-k'un sebagai Tiku, Pien-tiu of Pan-tiu sebagai Panti, Kiu-li of Ktu-tchiu sebagai Puliu (atau Kunkun) dan Pi-song sebagai Sipisang atau Hapesong serta Mo-chia-man sebagai Pasaman.
Dalam peta Ptolomeus, nama Tacola ini diidentifikasi berada di pantai barat Sumatra di bagian utara dan tepat berada di bagian dalam suatu teluk. Di arah selatan Tacola terdapat garis ekuator yang membelah pulau Sumatra. Jika wilayah ini sudah dipetakan pada era Ptolomeus (abad ke-3), maka catatan Tiongkok dinasti Leang (502-556) juga memiliki keutamaan. Dalam catatan abad ke-6 ini sudah disebut Tu-k'un sebagai Tiku, Pien-tiu of Pan-tiu sebagai Panti, Kiu-li of Ktu-tchiu sebagai Puliu dan dan Pi-song sebagai Sipisang atau Hapesong serta Mo-chia-man sebagai Pasaman. Suatu nama-nama tempat yang dapat dihubungkan dengan pantai barat Sumatra.
Fakta bahwa situs Bongal di pantai barat Sumatra secara historis tepat berada di wilayah Angkola. Bahkan hinga awal cabang Pemerintah Hindia Belanda di pantai barat Sumatra (di afdeeling Angkola Mandailing), kampong Lumut masih menjadi pelabuhan wilayah Angkola (Natal sebagai pelabuhan wilayah Mandailing). Dalam hal ini hilir daerah aliran sungai Lumut (hingga ke Jaga-Jaga) yang di kiri dan kanan masih rawa-rawa adalah lalu lintas perdagangan Angkola dari pedalaman ke wilayah pesisir. Lantas apakah di masa lalu posisi GPS Lumut tepat berada di pesisir pantai?
Seperti disebut di atas, situs Bongal tidak hanya terhubung dengan bukti benda kepurbakalaan zaman kuno, posisi GPS situs Bongal ini juga tidak terlalu jauh dengan situs kepurbakalan percandian di wilayah Angkola di Simangambat dan Padang Lawas. Sementara itu secara geomorfologis, jika Lumut berada di garis pantai barat Sumatra dan Binanga di garis pantai timur, maka posisi GPS candi Simangambat menjadi terintegrasi satu sama lain dalam suatu peta wilayah (secara geomorfologis) yang eksis di masa lampau. Antara Lumut dan Binanga dapat dikatakan dalam hal ini merupakan lebar terpendek pulau Sumatra di masa lalu. Oleh karena itu populasi di wilayah lebar terpendek ini dapat berinteraksi dengan perdagangan di pantai barat dan juga di pantai timur Smatra. Populasi penduduk tersebut sudah barang tentu populasi yang berada di wilayah Angkola yang sekarang.
Dalam konteks masa kini nama Jaga-Jaga haruslah dipahami sebagai nama baru, suatu nama yang muncul pada permulaan cabang Pemerintah Hindia Belanda di afdeeling Angkola Mandailing. Sebagai suatu nama baru, sudah tentu tidak relevan lagi membicarakan nama Jaga-Jaga dalam konteks masa lalu. Mungkin juga tidak relevan lagi membicarakan eksistensi daerah aliran sungai (DAS) Lumut. Mengapa? Hal ini karena secara geomorfologis menunjukkan suatu daratan yang terbentuk baru sebagai akibat dari proses sedimentasi jangka panjang. Nama yang eksis lebih dari 1000 tahun yang lalu (abad ke-6) adalah Pa-lus-se (Barus?) dan Pi-song (Sipisang atau Hapesong?).
Nama Sipisang sudah dicatat oleh Charles Miller pada tahun 1772. Saat kembali dari Angkola untuk menuju pos perdagangan Inggris di pulau Pontjang, Miller menaiki perahu/sampan dari kampong Sipisang ini. Namun jika tidak tepat nama Sipisang ini untuk 1000 tahun yang lalu, bisa jadi bahwa yang dimaksud Pi-song dalam catatan Tiongkok Dinasti Leang adalah Hepesong. Dalam hal ini secara geomorfologis posisi GPS Hapesong menunjukkan suatu titik muara sungai Batang Toru. Dengan demikian, posisi GPS Hapesong ini dapat dihubungkan lagi dengan posisi titik GPS Lumut yang keduanya secara geomorfologis menunjukkan suatu garis pantai. Sebab bagaimanapun pada masa ini hilir sungai Batang Toru (seperti halnya hilir sungai Lumut) adalah wujud rawa-rawa. Dalam konteks ini lebar terpendek pulau Sumatra berada pada garis lurus antara Hapesong (di barat) dengan Binanga (di timur).
Nama Seng-ho-lo muncul dalam catatan Tiongkok setelah era I’tsing. Nama Seng-ho-lo mirip dengan nama Sangkunur (dekat Hapesong) di pantai barat Sumatra dan Sangkilon di pantai timur (dekat Binanga). Jika candi Simangambat di pantai barat Sumatra (berasal dari awal abad ke-9), candi Sangkilon di pantai timur di Padang Lawas adalah candi tertua (kedua candi ini hanya dipisahkan oleh gunung Malea).
Satu situs kuno di pantai barat Sumatra ini adalah danau Siais. Danau berada di selatan Sangkunur/Hapesong. Danau ini berada di suatu ketigggian dimana di bawahnya mengalir hilir sungai Batangtoru. Jika Hapesong adalah bagian dalam suatu teluk, lalu apakah awalnya pusat peradaban berada di seputar danau Siais, yang kemudian bergeser ke danau Siabu (dimana sungai Batang Angkola bermuara, tempat dimana terletak candi Simangambat)?
Wilayah Angkola, suatu wilayah yang padat populasi, diduga kuat telah eksis sejak zaman kuno. Suatu wilayah yang kaya sumberdaya alam (emas, kapur, kemenyan, gading dsb) dengan populasi yang memiliki bahasa dan aksara sendiri dan banyak ditemukan candi-candi. Awalnya wilayah ini dapat diakses dari berbagai titik (wilayah dimana lebar pulau Sumatra terpendek), baik dalam perdagangan maupun dalam pertukaran kebudayaan yang membentuk peradaban di wilayah Angkola. Namun karena proses sedimentasi jangka panjang, pintu masuk ke wilayah Angkola di pantai barat Sumatra makin sedikit sehingga akhirnya hanya tersisa satu pintu utama yakni melalui daerah aliran sungai Lumut. Seperti disebut di atas, pada permulaan Pemerintah Hindia Belanda, (kampong) Lumut masih sebagai pelabuhan Angkola sebelum membangun gudang besar di kampong Djago-djago. Dalam perkembangannya nama Djago-Djago bergeser menjadi nama Jaga-Jaga sebagaimana pada masa ini.
Dalam kamus Bahasa Angkola Mandailing karya HJ Eggink (1936) kosa kata “djago’ diartikan sebagai awas! mardjago=berjaga-jaga, berjaga-jaga; padjagohon, membuat seseorang mengawasi sesuatu. Oleh karena itu nama kampong Djago-Djago adalah suatu area (tempat) berjaga keluar masuk perahu/sampan di daerah aliran sungai Lumut ke dari dan ke Angkola. Seperti tampak pada peta pada awal Hindia Belanda di wilayah Angkola Mandailing, area/tempat berjaga (Djago-Djago) ini berada di ujung suatu tanjung di sisi selatan muara sungai Lumut. Pilihan tempat ini sebagai area/tempat jaga sangat strategis karena dibatasi laut dan sungai, tetapi ada jalur escape ke arah perbukitan (dolok Bonggal).
Sebagaimana nama Djago-Djago bergeser menjadi Djaga-djaga, juga nama Bonggal juga bergeser menjadi Bongal (satu huruf g mereduksi). Dalam kamus Bahasa Angkola Mandailing karya HJ Eggink (1936) kosa kata’bonggal’ diartikal dikenal, tersebar luas, dikabarkan, tersohor, kondang; mambonggalkon=menyebarkan rumor, membuatnya dikenal di mana-mana. Dalam konteks nama Djago-djago (menjadi jaga-jaga) dan nama Bonggal (menjadi bongal) tehubung dengan bahasa Batak di Angkola. Nama Bonggal sebagai nama kampong terdapat di wilayah Padang Lawas di distrik Dolok dan di daerah aliran sungai Bila (lihat antara lain Tropisch Nederland; veertiendaagsch tijdschrift ter verbreiding van kennis omtrent Nederlands Oost- en West-Indië, jrg 8, 1935-1936, No. 17, 16-12-1935).
Bagaimana nama Bonggal terbentuk? Berdasarkan peta awal Pemerintah Hindia Belanda di daerah aliran sungai Lumut diidentifikasi nama sungai Aek Bonggal (lihat kembali peta). Pada masa lampau, nama sungai (sungai besar atau sungai kecil) adalah salah satu penanda naigasi terpenting. Untuk nama bukit/gunung hanya yang tinggi yang umumnya diberi nama. Bukit Bongal memiliki eleasi rendah. Oleh karena itu nama Bonggal awalnya dialamatkan pada nama sungai kecil yang bermuara ke sungai Lumut (sungai kecil yang berasal dari bukit). Nama sungai Aek Bonggal inilah kemudian dijadikan sebagai nama bukit menjadi dolok Bongal. Seperti disebut di atas ‘bonggal’ dalam bahasa Angkola adalah terkenal, berarti nama sungai tersebut Aek Bonggal adalah sungai terkenal. Mengapa terkenal? Besar dugaan sungai ini menjadi sumber air minum di sekitar untuk lalu lintas sampan/perahu di daerah aliran sungai Lumut. Sebab hilir sungai Lumut cenderung berawa-rawa. Namun asal-usul yang sebenarnya bukan hanya semata-mata karena sumber air minum tetapi mengingat namanya ‘bonggal’ bisa dapat diartikan bahwa tempat itu terkenal, karena di sekitar sudah dari dulunya diketahui terdapat peninggalan yang berasal dari zaman kuno. Hal itulah diduga mengapa nama sungai kecil tersebut dinamai sungai Aek Bonggal. Seperti disebut di atas, pada permulaan Pemerintah Hindia Belanda daerah aliran sungai Lumut ini adalah wilayah ulayat marga Siregar (yang menjadi dasar dalam penetapan koeria (Siregar) di Lumut. Perlu ditambahkan disini, di dekat Aek Bonggal ini di sisi yang berlainan di arah hulu sungai Aek Hapar bermuara di sungai Lumut. Arti kata ‘hapar’ dalam kamus Bahasa Angkola Mandailing karya HJ Eggink (1936) diartikan sebagai daun kering yang berserakan di tanah.
Bagaimanapun daerah aliran sungai Lumut adalah jalur keluar dan jalur masuk perdagangan produk dari dan ke wilayah Angkola, dimana awalnya pelabuhan berada di kampong Lumut dengan pos penjagaan berada di muara sungai (Djago-Djago) yang selanjutnya Pemerintah Hindia Belanda membangun loji (gudang) di Djago-Djago. Namun situasi dan kondisi di daerah aliran sungai Lumut tampaknya cepat berubah. Seperti disebut di atas, pada tahun 1866 diberitakan bahwa “permukaan air sungai yang rendah, perahu tidak dapat berlayar menanjak dengan apa pun antara Djaga-Djaga dan Loemoet dan kami berharap hujan segera turun” (lihat Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad, 21-07-1866).
Seorang pembaca menulis yang dimuat di surat kabar Bataviaasch handelsblad, 17-03-1871. Disebutkan Djaga-djaga telah dihuni penduduk yang sebagian besar berasal dari kampoeng Badiri. Tempat ini sudah dikenal sejak era Inggris. Seperti yang disebut di atas, itu berarti bersesuaian dengan laporan Charles Miller pada tahun 1772. Penulis juga memberitahukan di Djaga Djaga terdapat satu rumah jaga (wachthuis). Besar dugaan rumah jaga ini sudah dibangun pada era Inggris. Seperti disebut di atas, pada awal era Pemerintah Hindia Belanda di area ini dibangun loji (gudang). Penulis menyebutkan lanskap Badiri bagian dari distrik Parbirahan (dimana di Parbirahan berkedudukan radja/koeria). Wilayah lanskap Badiri meliputi juga meliputi kampong Djago-Djago, Bongal, Si Tardas dan Poelaoe Oenggas. Saat ini menurut penulis, tengah terjadi perselisihan antara kepala kampong Djaga-Djaga dengan kepada kampong Parbirahan yang ditengahi oleh kepala lanskap Loemoet Soetan Na Lobi. Penulis itu adalah seorang pejabat Pemerintahan Hindia Belanda sebagai opziener. Pejabat ini datang ke Djaga-Djaga dengan perahu dan melakukan perjalanan dari Djaga-Djaga ke Parbirahan dengan naik kuda. Nama lanskap Parbirahan tempo dulu tersebut, kini menjadi wilayah (kecamatan) Badiri. Catatan: kamus Bahasa Angkola Mandailing karya HJ Eggink (1936) kosa kata ‘tardas’ diartikan sebagai datar, rata, pandangan tanpa halangan; panatapan na tardas, tempat dari mana seseorang memiliki pandangan tanpa halangan. Ini sesuai dengan wilayah desa Sitardas yang paling selatan wilayah kecamatan Badiri (lepas pandangan ke lautan). Sedangkan ‘onggas’ dalam kamus yang diartikan sebagai burung (pulau Burung). Dengan demikian semua nama-nama lama di wilayah situs Bongal yang sekarang ditemukan dalam (kamus) bahasa Angkola Mandailing.
Bagaimana perubahan yang terjadi di daerah aliran sungai Lumut di pantai barat Sumatra dari masa ke masa, untuk memahami lebih lanjut, secara geomorfologis dapat dibandingkan dengan situasi dan kondisi di daerah aliran sungai Batang Toru dan daerah aliran sungai Batang Gadis. Ketiga sungai tersebut di pantai barat Sumatra secara geografis berdekatan dan pernah diketahui menjadi jalur lalu lintas (perahu/sampan).
Keberadaan daerah aliran sungai Lumut dan daerah aliran sungai Batang Toru dapat dilayari dengan perahu dan sampan dilaporkan Charles Miller pada tahun 1772. Hingga tahun 1840-an daerah aliran sungai Lumut hingga ke Lumut masih cukup baik dilayari hingga ke Lumut. Pada tahun 1844 Oscar von Kessel melakukan pelayaran dengan sampan di sungai Batang Gadis hingga jauh ke eks danau. Oscar von Kessel hanya melaporkan bahwa perjalanannya dari Sigompoelon melalui Marantjar hingga Batang Toru terus ke selatan hingga ke pesisir laut. Tidak terinformasikan menggunakan sampan. Ini mengindikasikan bahwa daerah aliran sungai Batang Toru tidak lagi seperti situasi dan kondisi pada masa Charles Miller (yang masih lalu lalang sampan/perahu di daerah aliran sungai Batangtoru). Diduga kuat hilir sungai Batang Toru sudah mendangkal karena proses sedimentasi (banyak gundukan pasir di tengah sungai).
Sisa-sisa eksistensi daerah aliran sungai Lumut, daerah aliran sungai Batang Toru dan daerah aliran sungai Batang Gadis sebagai lalu lintas sungai dalam perdagangan masih terlihat pada permulaan Pemerintah Hindia Belanda di afdeeling Angkola Mandailing (Tapanoeli), namun setelahnya menghilang, tidak hanya karena ketiga daerah aliran sungai telah mendangkal, juga karena pergeseran moda transportasi dari moda sungai menjadi moda jalan darat antara Panjaboengan, Padang Sidempoean dan Sibolga. Lantas bagaimana dengan penemuan benda-benda kepurbakalaan di situs Bongal di daerah aliran sungai Lumut?
Situs Bongal sudah barang tentu baru satu titik dalam sejarah zaman kuno. Jangan terlalu naif, ketika pendekatan data historis tidak memadai, pendekatan arkeologis juga tidak cukup untuk menjelaskan wilayah sejarah yang luas. Sudah barang tentu diperlukan pendekatan lainnya, seperti linguistis, geografis, antropologis. Perhitungan usia karbon dalam pendekatan arkeologis hanya satu jenis teknik modern dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan sejarah zaman kuno, banyak metode lain bahkan menggunakan peta genom (DNA). Tentu saja masih ada yang terabaikan yakni pendekatan geoomorfologis. Seperti disebut di atas, daerah aliran sungai Lumut secara geomorfologis, posisi GPS Lumut di masa lalu adalah bagian dalam suatu teluk. Bukit Bongal sebagai salah satu pulau di perairan teluk tersebut. Sementara di lain kawasan juga terdapat kawasan teluk lainnya yang lebih luas di daerah aliran sungai Batang Toru (dimana kini di bagian dalam teluk terdapat kota Batang Toru. Secara geomorfologis, teluk Lumut dan teluk Batang Toru terhubung melalui perairan dimana terdapat pulau-pulau kecil. Pulau-pulau kecil di perairan antara daerah aliran sungai Lumut dan daerah aliran sungai Batang Toru yang mengikat proses sedimentasi jangka panjang yang mengubah perairan menjadi rawa-rawa yang selanjutnya terbentuk daratan baru (yang datar dan subur). Bukit-bukit yang tampak sekarang dulunya adalah pulau-pulau kecil tersebut. Situasi dan kondisi ini tampak terlihat kontras di hilir daerah aliran sungai Batang Toro (yang menjadi wilayah kecamatan Muara Batang Toru yang sekarang).
Penemuan benda-benda kepurbakalaan di situs Bongal di daerah aliran sungai Lumut mungkin tidak sendiri. Bisa jadi besok lusa atau di masa yang akan datang penemuan benda-benda kepurbakalaan ditemukan di area lainnya di daerah aliran sungai Batang Toru dan daerah aliran sungai Batang Gadis. Dengan demikian akan terhubung dengan situs kerpurbakalaan berupa candi di Simngambat/Siabu dan di daerah aliran sungai Batang Pane dan daerah aliran sungai Batang Sangkilon. Candi Batu Rosak (candi lain di Simangambat/Siabu) di daerah aliran sungai Batang Angkola dan candi Sangkilon di daerah aliran sungai Batang Sangkilon sebagai penghubung candi-candi di wilayah pantai barat dan di pantai timur Sumatra.
I’tsing pada abad ke-7 mencatat nama Seng-ho-lo di Sumatra. Nama tersebut secara fonetik mirip dengan nama Sang-ki-lon dan Sang-ku-nur. Seperti disebut di atas, nama Sangkunur (nama sungai dan nama kampong) berada di pantai barat Sumatra di kawasan danau Siais di daerah aliran sungai Batang Toru; sementara Sangkilon (nama kampong dan nama sungai) lereng gunung Malea di Siabu yang mengalir ke pantai timur Sumatra. Jauh sebelumnya di masa lampau dalam catatan Tiongkok pada Dinasti Leang (abad ke-6) disebut nama Pisong (Pi-song). Nama ini mirip dengan nama (pulau) Si-Pisang dan kampong Hapesong di daerah aliran sungai Batang Toru.
Seperti disebut di atas, Charles Miller pada tahun 1772 berlayar naik perahu/sampan dari kampong Sipisang menuju pulau Pontjang. Pada peta-peta lama Pemerintah Hindia Belanda, sungai Batang Toru dari kampong Sipisang mengalir ke arah barat daya (sungai lama/sungai mati), tetapi pada masa kini dari Sipisang sungai Batang Toru mengalir ke arah tenggara (sungai baru) mendekati danau Siais.
Ini mengindikaasikan bahwa sungai Batang Toru di arah hilir (mulai dari Sipisang) mengalami pergeseran. Pergeseran ini diduga karena arus air masih mudah mencari jalan ke laut melalui tanah basah (rawa-rawa). Sebagai tanah basah/rawa-rawa diduga kuat wilayah/Kawasan antara sungai lama dan sungai baru merupakan perairan dimana bukit-bukit yang ada sekrang sebagai pulau-pulau. Satu hal yang perlu ditambahkan disini, dari sungai lama ini ada celah sempit yang menghubungkan perairan (Batang Toru) dengan perairan danau Pandan terus ke Bukit Bongal dan bukit Sitardas. Danau Pandan sendiri diduga kuat adalah perairan yang terjebak (akibat sedimentasi di sekitar) dan pada masa ini permukaan air danau Pandan berada pada minus satu (-1) meter di bawah permukaan laut.
Setelah Charles Miller mengunjungi wilayah Angkola pada tahun 1772, lalu kemudian orang Eropa kedua yang memasuki wilayah Angkola adalah William Marsden. Catatan perjalanan Charles Miller ke Angkola juga dimasukkan William Marsden dalam bukunya berjudul The History of Sumatra yang terbit pertama kali pada tahun 1781. Ada dua hal menarik yang dinyatakan William Marsden dalam bukunya. Pertama, menurut William Marsden teluk Tapanoeli adalah pelabuhan terbaik dunia.
Mengapa William Marsden menyebut teluk Tapanoeli adalah pelabuhan terbaik dunia? Seperti disebut William Marsden teluk Tapanoeli terlindung oleh pulau Mursala, yang meneyebabkan perairan di dalam teluk lebih tenang dan sesuai bagi kapal-kapal untuk berlindung jika terjadi badai laut. Di bagian dalam teluk terdapat kampong Tapanoeli (yang menjadi nama teluk) dimana sungai pegunungan bermuara ke dalam teluk yang menjadi tempat bagi kapal-kapal yang berlabuh untuk mengisi perbekalan sumber air minum dalam pelayaran. Pos perdagangan Inggris sendiri saat itu berada di pulau Pontjang Ketjil.
Kedua, menurut William Marsden bahwa penduduk Batak (di Angkola; tempat yang pernah dikunjunginya) memiliki tingkat literasi sangat tinggi, bahkan menurut William Marsden tidak malu-malu menyatakan, tingkat literasi orang Batak melampui semua bangsa-bangsa di Eropa. Lierasi yang dimaksud William Marsden adalah kemampuan baca dan tulis dalam bahasa Batak dengan menggunakan aksara Batak. Okelah, namun yang ingin ditanyakan adalah, jika pada era William Marsden pelabuhan terbaik di pantai barat Sumatra berada di teluk Tapanoeli, lalu dimana pelabuhan terbaik di masa lampau (zaman kuno)? Dalam konteks inilah penemuan benda-benda kepurbakalaan di situs Bongal menjadi penting.
Seperti disebut di atas, sebelum terbentuk teluk Tapanoeli (sebagaimana pada masa ini), pada zaman dulu, secara geomorfologis, bagian dalam teluk berada di bagian hulu daerah aliran sungai Lumut yang sekarang, dan di bagian hulu daerah aliran sungai Batang Toru. Antara dua teluk ini membentuk semenanjung (Sipisang dan danau Pandan) yang menjadi bagian dari wilayah peradaban di Angkola. Kedua teluk zaman kuno terlindung oleh pulau-pulau kecil seperti pulau Bongal, pulau Sitardas dan lainnya. Dua teluk tersebut menjadi sangat aman dari gelombang laut saat badai hebat. Namun, seperti disebut di atas, kedua teluk tersebut akibat proses sedimentasi jangka panjang telah menyatu dengan pulau-pulau di depannya yang membentuk daratan baru. Terbentuknya daratan baru ini, di lain sisi menjadi sebab terbentuknya teluk Tapanoeli.
Lantas dalam konteks apa sebenarnya interpretasi yang dapat dilakukan terhadap penemuan benda-benda kepurbakalaan di situs Bongal? Jelas bukan dalam konteks wilayah Tapanuli yang sekarang, melainkan dalam konteks populasi dan peradaban Angkola pada zaman kuno. Bagaimana dengan Barus? Bukan pula dalam konteks wilayah Tapanuli yang sekarang, melainkan dalam konteks populasi dan peradaban Toba pada zaman kuno. Bagaimana dengan populasi dan peradaban Mandailing? Mungkin lebih luas: hilir daerah aliran sungai Batang Gadis, hilir daerah aliran sungai Batang Natal, hilir daerah aliran sungai Batang Batahan dan hilir daerah aliran sungai Batang Pasaman.
Hasil-hasil interpretasi terhadap
benda-benda kepurbakalaan di situs Bongal berasal (bersumber) dari produk
peradaban dari arah barat (India selatan, Persia dan Laut Merah) dan dari
Tiongkok. Namun bagaimana benda-benda kepurbakalaan itu berada di situs Bongal
tidak terinformasikan: apakah orang dari arah barat datang ke kawasan, atau sebaliknya
populasi di Kawasan yang membawa dari barat tidak terinformasikan. Satu-yang
jelas fakta yang ada ada bahwa ada benda-benda kepurbakalaan ditemukan di situs
Bongal berasal dari barat. Fakta kedua bahwa benda-benda itu ditemukan di
wilayah peradaban Angkola (kini secara administrasi masuk wilayah Kab Tapanuli
Tengah), bukan di wilayah peradaban Barus (yang juga secara administrasi masuk
wilayah Kab Tapanuli Tengah). Mengapa tidak diinterpretasi di atas peradaban
Angkola yang lebih dekat? Fakta bahwa situas Bongal di wilayah peradaban
Angkola. Mengapa harus diinterpretasi peradaban di Fansur (Barus, peradaban Atjeh,
Minangkabau dan peradaban lainnya. Ibarat pepatah "Gajah di pelupuk mata
tidak tampak, semut di seberang lautan tampak”. Perlu diingat bahwa sejarah
adalah narasi fakta dan data---bukan interpretasi semata. Oleh karena itu
jangan menyingkirkan fakta dan kemudian mengapungkan hasil interpretasi yang ngawur
kemana-mana yang justru mengacaukan sejarah yang sebenarnya. Fakta berikutnya,
jika itu benar-benar valid, adalah hasil pengukuran carbon terhadap benda-benda
itu yang berasal dari abad ke-7. Benda-benada yang diukur tersebut meliputi
kayu (kapal/perahu/sampan), kemenyan, kamper, damar, kemiri dan lainya termasuk
pala. Untuk pala, faktanya bahwa di situs ditemukan, lalu mengapa itu diinterpretasi
dari Maluku? Apakah pala juga tidak bisa tumbuh di kawasan?
Dalam narasi sejarah yang lebih luas, dari pada dihubungkan dengan yang lain di tempat jauh hanya berdasarkan interpretasi subyektif, lebih baik diinterpretasi secara objektif dengan menunjukkan bukti-bukti yang relevan saja. Apakah para peneliti tidak melihat relasi situs Bongal dengan situ candi Simangambat dan situs percandian di Binanga (Padang Lawas). Fakta bahwa tiga tempat situs tersebut berada di kawasan yang sama?
Situs kepurbakalaan yang ditemukan di
Palembang (prasasti Kedoekan Boekit) jelas menunjukkan di dalam teks disebut
nama tempat Minanga Tamwan (yang diinterpretasi sebagai nama Binanga).
Disebutkan Raja berlayar dengan perahu dari Binanga (tiba di Palembang?). Situs
di Palembang itu lebih relevan diinterpretasi dengan situs Bongal daripada situs
di Barus. Tidak hanya karena penanggalannya sama-sama berasal dari abad ke-7, yang
lebih penting dalam interpretasi karena di dalam teks disebut nama
Minanga/Binanga.
Dalam interpretasi bukti sejarah dalam membentuk narasi sejarah dengan hanya semata-mata mendeskripsikan data tidak cukup, tetapi juga data-data itu harus dapat dibingkai dalam konteks yang sesuai. Dengan demikian dapat diperoleh interpretasi yang utuh. Seperti disebut di atas, jika semua orang-orang buta melihat gajah besar, maka mereka satu sama lain menginterpretasi dengan cara mereka memahami tentang apa yang dipegang saja. Fakta bahwa gajah itu sangat besar, bahwa situs Bongal ibarat gading hanyalah satu bagian dari badan (konteks) gajah. Dalam konteks ini situs Barus sebagai bagian belalai, dan candi-candi di Angkola sebagai kaki-kaki gajah dan situs Palembang sebagai ekor gajah. Jika dengan meta melek seperti itu yang dilakukan, maka akan dapat digambarkan suatu lukisan yang besar.
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar