Senin, September 15, 2025

Sejarah Budaya (9): Sebutan Bilangan di Tanah Batak; Ada Bahasa dan Aksara Batak, Apakah Ada Lambang Bilangan Batak?


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Budaya dalam blog ini Klik Disini

Ada bahasa Batak, ada aksara Batak, ada sebutan bilangan Batak, lantas apakah ada lambang bilangan Batak? Dalam sejarah Batak, tidak terinformasikan lambang bilangan Batak. Lambang bilangan Batak yang ditemukan di internet yang sekarang, diduga adalah suatu kreasi pada masa ini saja. Jadi, bagaimana duduk persoalannya? Apakah benar-benar ada lambang bilangan Batak?


Lambang bilangan adalah simbol atau notasi berupa angka yang digunakan untuk menyatakan suatu bilangan. Contoh lambang bilangan adalah angka 1, 2, dan 5, yang mewakili konsep banyaknya anggota suatu himpunan. Bilangan: Merupakan konsep abstrak yang menyatakan suatu kuantitas atau jumlah. Lambang Bilangan (Angka): Adalah simbol visual, seperti "1" atau "2", yang digunakan untuk menuliskan atau melambangkan bilangan tersebut. Nama Bilangan: Seratus delapan puluh dua. Lambang Bilangan: 182. Tujuan dan Fungsi Lambang Bilangan: Untuk menunjukkan jumlah atau banyaknya sesuatu; Mempermudah proses penjumlahan, pengurangan, dan perhitungan lainnya; Sebagai bagian dari sistem bahasa matematika untuk menyampaikan informasi secara terstruktur; Digunakan dalam kehidupan sehari-hari untuk nomor alamat, kamar, atau nomor telepon. Jumlah angka dalam lambang bilangan menunjukkan nilai tempatnya. Angka paling kanan adalah satuan, sebelahnya adalah puluhan, dan seterusnya. Contoh: Angka 7 adalah satuan, angka 1 adalah puluhan, sehingga lambang bilangan tersebut dibaca 17. Contoh: Angka 4 adalah satuan, 2 adalah puluhan, dan 1 adalah ratusan, sehingga dibaca 124 (AI Wikipedia) 

Lantas bagaimana sejarah sebutan bilangan di Tanah Batak? Seperti disebut di atas ada bahasa Batak, ada aksara Batak dan ada sebutan bilangan Batak, namun bagaimana dengan lambang bilangan Batak? Yang jelas pernah terinformasikan lambang bilangan dalam aksara Batak, tetapi itu bukan lambing bilangan Batak? Lalu bagaimana sejarah sebutan bilangan di Tanah Batak? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja. Dalam hal ini saya bukanlah penulis sejarah, melainkan hanya sekadar untuk menyampaikan apa yang menjadi fakta (kejadian yang benar pernah terjadi) dan data tertulis yang telah tercatat dalam dokumen sejarah.

Sebutan Bilangan di Tanah Batak; Ada Bahasa dan Aksara Batak, Apakah Ada Lambang Bilangan Batak?   

Sebutan bilangan pada berbagai bahasa ada yang sama (mirip) dan ada juga yang berbeda (tidak miirip). Sebutan bilangan pada berbagai bahasa tersebut pada masa ini dapat dibandingkan dengan masa lalu. Dengan demikian dapat dimungkinkan untuk melokalisir sebutan bilangan dalam bahasa Batak. Bahasa-bahasa yang berada di wilayah (kawasan) yang sama cenderung memiliki kedekatan bahasa (tingkat kemiripan yang lebih dekat).


Nama sebutan bilangan Batak ditemukan pada prasasti yang berasal dari abad ke-7. Dalam prasasti Kedoekan Boekit (682) yang ditemukan di pantai timur Sumatra, sebutan bilangan Batak (yang dapat dibandingkan dengan masa kini), adalah sebagai berikut: dua, dua laksa, duaratus, saribu, toluratus dan sapulu dua (baca: duabelas). Sebutan dua laksa (2x10.000), toluratus (3x100) dan sapulu dua (12) adalah sebutan bilangan khas dalam bahasa Batak yang masih eksis hingga ini hari (tidak ditemukan dalam bahasa Melayu). Toluratus (to-lu-ra-tus) juga mirip dalam bahasa Jawa, untuk sebutan telu mirip bahasa Jawa tetapi sebutan 300 juga disebut tigang atus (tiga-ng-a-tus) atau telungatus (te-lu-ng-a-tus). Sebutan sapulu dua hanya ditemukan dalam bahasa Batak. Ini seakan membuktikan bahwa bahasa yang digunakan (paling tidak sebutan-sebutan bilangan) dalam parasasti Kedoekan Boekit yang berasal dari abad ke-7 (lebih dari 1.000 tahun lalu) adalah sebutan bilangan bahasa Batak.

Pada masa VOC, Mr Radermacher mencatat nama-nama sebutan bilangan dalam bahasa Batak (lihat Beschryving van het Eiland Sumatra ini zo verrehetzelvetot nog toe bekendis door Mr JCM Radermacher yang dimuat dalam Verhandelingen van het Bataviaasch genootschap, der kunsten en weetenschappen, 1787). Apa yang dicatat Radermacher lebih duratus tahun yang lalu masih mirip dengan cara penyebutan dalam bahasa Batak pada masa ini (artinya sebutan bilangan bahasa Batak tidak berubah, bahkan jika dibandingkan dengan abad ke-7).


Radermacher juga mencatat, orang Batak memiliki bahasa sendiri (juga dengan demikian memiliki sebutan bilangan sendiri), memiliki aksara sendiri. Disebutnya orang Batak menulis di kulit pohon dan bambu, juga telah menuliskan beberapa cerita lama mereka, yang semuanya berasal dari cerita anak-anak, di kulit pohon. Ketika mereka ingin menulis sesuatu, mereka mengambil kulit pohon tertentu yang mereka sebut Aliem (kayu gaharu), dan meratakannya hingga setipis dan sehalus kertas, lalu melapisinya dengan air beras. Tinta yang mereka gunakan untuk menulis di atasnya terbuat dari jelaga damar, dicampur dengan air tebu dan lada. Radermacher juga mencatat orang Batak mengenal sistem kronologis sistem pembagian tahun mereka menjadi dua belas bulan, yang masing-masing memiliki tiga puluh hari, dan disebut Paha sada, Paha doea, Paha tolo, Paha opat, Paha lima, Paha onom, Paha pitoe, Paha walo, Paha sia, Paha sapoelo, Paha rie, dan Paha Hoerong. Paha berarti satu bulan, dan kata sifatnya berarti satu, dua, tiga, dst. Pada hari pertama Paha sada, mereka merayakan Tahun Baru mereka dengan upacara-upacara besar dan ucapan selamat. Keberuntungan yang mereka harapkan satu sama lain selalu berasal dari hal ini: agar buah-buah tanah mereka berguguran di Tahun Baru dan panen berlimpah; tetapi mereka hidup dari satu tahun ke tahun berikutnya, tanpa menghitung tahun-tahun mereka dari titik waktu tertentu, sebagaimana yang dilakukan semua peradaban lainnya. Tahun Baru mereka berikutnya jatuh pada bulan April kita, tetapi ini tidak tetap, karena setiap tahun mereka memiliki tujuh hari lebih sedikit daripada kita.

Dengan demikian, dalam bahasa Batak (yang juga memiliki aksara sendiri), sebutan bilangan eksis dengan cara penyebutan yang berbeda dengan bahasa lain (dapat dikatakan unik). Sebutan bilangan ini juga digunakan dalam system penanggalan (kalender Batak). Bagaimana dengan lambang bilangan Batak dalam aksara Batak?


Teks Prasasti Kedoekan Boekit yang berasal dari abad ke-7 berbahasa Batak (dan bahasa Sanskerta) dengan menggunakan aksara Pallawa. Prasasti aksara Batak ditemukan di Padang Lawas di berbagai situs arkeologi seperti Biaro Sitopayan, makam Raja Soritaon, serta situs Lobu Dolok. Prasasti Raja Soritaon: Ditemukan di Padang Bolak Julu, prasasti ini berbentuk papan batu dengan tulisan beraksara Batak dan gambar cicak (kadal). Prasasti Sitopayan-1 dan Prasasti Sitopayan-2: Terletak di Desa Sitopayan, prasasti ini ditulis dalam aksara Batak bahasa Batak. F.D.K. Bosch memperkirakan bahwa prasasti ini dibuat pada abad ke-13.

Dalam prasasti bahasa dan aksara Batak di Padang Lawas tidak ada indikasi penyebutan bilangan Batak. Penyebutan bilangan Batak hanya ditemukan dalam prasasti Kedoekan Boekit yang berasal dari abad ke-7. Namun karena prasasti Kedoekan Boekit ditulis dalam aksara Pallawa, lalu bagaimana lambang bilangan dalam aksara Pallawa dan aksara Batak? Schroder (1927) dalam artikelnya yang dimuat dalam jurnal ilmiah di Amerika Serikat membutikan bahwa sisa aksara Fenesia ditemukan dalam aksara Batak.


Aksara Fenesia (di laut Mediterania) yang sudah punah tetapi menurunkan aksara Yunani kuno dan seterusnya aksara Latin (alfabet). Aksara Batak sendiri berbeda dengan aksara Jawa. Aksara Batak bersifat abjad sedangkan aksara Jawa bersifat abugida (turunan dari aksara Pallawa). Aksara Fenesia juga bersifat abjad yang kemudian mereduksi menjadi aksara alfabet (Yunani/Latin). Lantas mengapa mirip aksara Batak dengan aksara Fenesia? Pada penemuan masa kini (studi genom) mengindikasikan susunan genom (DNA) orang Batak (di pantai barat Sumatra) juga mengandung secara siginifikan genom/DNA Indo-Eropa (yang tidak ditemukan dalam komposisi populasi di Jawa). Sumber: A Phoenician Alphabet on Sumatra by EEW Gs Schröder in Journal of the American Oriental Society, Vol. 47, 1927.

Satu yang penting lagi seorang ahli linguistik Inggris (sejaman dengan William Marsden—pada akhir abad ke-18) bernama John Leyden menemukan keunikan cara penulisan aksara Batak. John Leyden menggambarkan aksara Batak tidak ditulis dari kanan ke kiri (Arab) tetapi ditulis seperti orang Eropa dari kiri ke kanan. John Leyden juga mengidentifikasi aksara Cina yang ditulis dari atas ke bawah. Apa yang unik bagi John Leyden tentang aksara Batak adalah, selain dapat ditulis dari kiri ke kanan, juga dapat ditulis dari atas ke bawah. Lantas apakah ini mengindikasikan perkembangan kebudayaan Batak tidak hanya berinteraksi dengan barat (India, Arab, Eropa) juga berinteraksi dengan timur (Tiongkok)?


Perlu juga ditambahkan pada masa kini, bahwa penyebutan bilangan Batak yang bersifat biner (1-0) seperti sapulu-sada, sapulu-dua, dst, juga ditemukan dalam bahasa Uzbek, Kazak, Mongol, Tiongkok dan Jepang (sementara bahasa-bahasa Eropa mirip dengan penyebutan bilangan bahasa Jawa/bahasa Melayu seperti sebelas, dua belas (bukan biner 1-0).

Di wilayah Batak sendiri, aksara Batak, menurut Uli Kozok bermula di Angkola. Aksara Batak di Angkola ini lalu kemudian menyebar ke utara (Silindung. Toba dan Karo) dan tentu saja menyebar ke selatan (Mandailing, Rao dan Muara Takus). Lalu bagaimana aksara di wilayah Minangkabau?


Hingga saat ini di wilayah Minangkabau tidak ditemukan bukti aksara asli. Sebelum introduksi bahasa Latin (era Pemerintah Hindia Belanda), aksara yang umum dipakai adalah aksara Jawi (Arab gundul), suatu aksara yang diasosiasikan dengan peradaban Islam di nusantara. Namun di masa lampau, aksara yang eksis di wilayah Minangkabau adalah aksara era Hindoe/Boedha yang juga ditemukan di wilayah percandian Padang Lawas di Tanah Batak. Ini mengindikasikan aksara Jawi telah menggantikan aksara Hindoe/Boedha din pantai timur Sumatra. Sementara di wilayah pedalaman (dan pantai barat Sumatra), aksara asli eksis seperti di Tanah Batak dan di Tanah Kerinci, di Tanah Redjang dan di Tanah Lampoeng. Lalu, apakah aksara Jawi telah menghilangkan aksara asli di wilayah Minangkabau? Hilangnya aksara asli di wilayah Minangkabau seakan membentuk celah antara wilayah aksara di utara di wilayah Batak dan wilayah aksara di selatan di wilayah Kecinci (hingga Lampoeng). 

Aksara di Tanah Batak, aksara di Kerinci, aksara di Redjang dan aksara di Lampoeng memiliki kedekatan karakter satu dengan yang lainnya (bersifat abdjad), tetapi berbeda karakter dengan aksara-aksara yang ditemukan di Jawa dan Bali (bersifat abugida). Dalam hal ini aksara-aksara asli di Sumatra dan aksara-aksara di Jawa berbeda dengan aksara di wilayah Melayu (aksara Jawi). Aksara Arab (juga aksara Jawi) bersifat abdjad.


Aksara-aksara dunia pada masa ini berawal dari hieroglif Mesir kuno yang kemudian diturunkan ke aksara Semit Kuno (Laut Mediterania). Aksara Semit Utara menurunkan aksara Aramea, aksara Batak dan aksara Fenesia. EEW Gs Schröder dalam artikelnya berjudul ‘A Phoenician Alphabet on Sumatra’ yang dimuat dalam Journal of the American Oriental Society, Vol. 47, 1927 menyimpulkan bahwa aksara Batak (di Sumatra) mirip aksara Fenesia (di Mediterania). Bagaimana dua aksara yang (terkesan) berjauhan geografis itu bisa mirip tidak dijelaskan oleh Schröder. Namun dalam sejarah zaman kuno ada hubungan antara Mesir dan Sumatra pada zaman kuno dalam perdagangan emas, kamper dan kemenyan. Kamper dari Sumatra digunakan di Mesir dalam pembalseman radja-radja Mesin kuno sebagaimana ditemukan dalam piramida-piramida Mesir. Orang Mesir lebih bersifat Indo-Eropa (Mediterania) daripada bersifat Afrika. Dalam peta genom (DNA) yang sekarang ditemukan genom DNA Indo-Eropa secara siginifikan di pantai barat Sumatra (termasuk penduduk Batak).

Aksara-aksara pada masa kini terbagi ke dalam beberapa sifat, antara lain: aksara alfabet (huruf), aksara abdjad (suku kata: konsonan-vokal), dan aksara abugida (suku kata: konsonan-vokal-konsonan). Aksara Arab dan aksara Batak (yang mirip aksara kuno Fenesia) bersifat abdjad. Aksara Fenesia kuno inilah yang menurunkan aksara alpabet Latin (Yunani kuno). Aksara-aksara di Jawa yang bersifat abugida diturunkan dari aksara Brahmi. Oleh karena itu aksara Batak dan aksara Jawa berasal dari garis keturunan yang berbeda. Apakah ini telah mengindikasikan bahwa aksara Batak sejaman dengan dua aksara yang telah punah (aksara Fenesia dan aksara Arameik)?


Asal-usul aksara Batak dan aksara Jawa berbeda (abdjad vs abugida). Aksara Batak diduga lebih tua dari aksara Jawa. Aksara Batak boleh jadi setua aksara kuno Fenesia (yang sudah punah). Banyak kosa kata Batak dan kosa Jawa yang mirip. Secara khusus sebutan bilangan bahasa Batak kurang lebih sama dengan sebutan bilangan bahasa Jawa, antara lain: sada/siji dua/loro, tolu/telu, opat/papat, lima/lima, onom/enem, pitu/pitu, walu/wolu, sia/sanga, sapulu/sepuluh. Untuk Bahasa Jawa Krama (Istana): setunggal, kalih, tiga, sekawan, gangsal, enem, pitu, wolu, sanga, sedasa. Dalam hal ini di dalam bahasa Jawa ada pergeseran dari bahasa umum (rakyat) ke bahasa para radja (istana) dimana terbentuk sebutan baru yang kemudian dikenal mirip bahasa Melayu seperti tiga dan mirip bahasa Sanskerta seperti sedasa. Untuk sebutan bilangan belasan dalam bahasa Jawa seperti sewelas (11), rolas (12), telulas (13), dst, mirip bahasa-bahasa Eropa seperti Inggris (11=eleven, 12 twelve, 13=thir-teen, 14=four-teen, 15, fif-teen, dst). Pola Eropa ini juga sama dengan Arab yang dibentuk dengan menggabungkan angka dasar dengan "belas" atau dalam bahasa Arab adalah "asyara" seperti 11=ahada 'asyara, 12=itsnaa 'asyara, 13=tsalaatsata 'asyara, dst. Sementara sebutan bilangan belasan dalam bahasa Batak bersifat biner (1-0) seperti sapulu sada (11), sapulu dua (12), sapulu-tolu (13), dst. Pola sebutan bilangan belasan bahasa Batak ini mirip dengan pola sebutan bilangan bahasa Uzbek, bahasa Kazak, bahasa Mongol, bahasa Tiongkok dan bahasa Jepang. Ini mengindikasikan bahwa sebutan bilangan belasan bahasa Batak dan bahasa Jawa asal-usulnya berbeda (sebagaimana asal usul aksaranya berbeda).

Bahasa Batak dan bahasa Jawa diduga kuat di masa lalu merujuk pada bahasa asal di nusantara yang dikenal sebagai bahasa Austronesia. Namun dalam perkembangannya terjadi interaksi yang berbeda dengan bahasa-bahasa lainnya (terutama dari arah barat seperti Arab dan India). Akibatnya bahasa dan aksara Batak berbeda arah perkembangan lebih lanjutnya dengan bahasa dan aksara Jawa. Bahasa dan aksara Batak lebih terjaga keasliaannya dibandingkan dengan bahasa dan aksara Jawa. Dalam konteks keaslian inilah bahasa (sebutan bilangan Batak) dan aksara (aksara Batak) terhubung dengan bahasa Uzbek. Bahasa Kazak dan aksara Fenesia.


Bahasa Austronesia adalah bahasa yang diduga sebagai bahasa asal nusantara yang telah terbentuk sudah lama. Bahasa Austronesia ini tersebar luas mulai dari Sumatra dan Jawa hingga ke utara (di Formosa dan selatan Jepang), ke timur (di Pasifik) dan ke selatan (di pantai utara, barat dan timur Australia), dan barat (di Madagaskar). Sejumlah penanda bahasa Austronesia ini adalah sejumlah kosa kata elementer: kosa kata esensial seperti ibu (ina), ayah (ama), kakek (ompu, mpu); kosa kata sebutan bilangan seperti sa/da (1), dua (2), tolu (3) opat (4), lima (5), onom (6), pitu (7), walu (8), sia (9), sapulu (10), sapulu sada (11, sapulu dua (12), dst.

Bahasa Austronesia di setiap wilayah sebarannya mengalami perubahan internal (terbentuknya kosa kata baru di dalam wilayah maupun terbentuk karena interaksi dengan wilayah yang berdekatan) dan mengalami perubahan eksternal karena interaksi dengan bahasa asing (Arab, Persia, Eropa, Tiongkok dan India). Hal itulah yang menyebabkan terbentuknya ragam bahasa-bahasa nusantara.


Bahasa Austronesia di Jawa sangat intens berinteraksi dengan bahasa Sanskerta (yang memperkaya bahasa Jawa), bahasa Austronesia di wilayah antara pantai timur Sumatra dan pantai barat Kalimantan sangat intens berinteraksi dengan bahasa Arab/Persia yang menjadi pra bahasa Melayu. Bahasa Austronesia di Sumatra menjadi lebih beragam karena beragamnya bahasa asing yang berinteraksi termasuk bahasa-bahasa Eropa (seperti Yunani kuno). Pengaruh bahasa asing di wilayah Batak terbilang yang minim pengaruhnya dibandingkan dengan wilayah lainnya. Oleh karena itu bahasa Batak dapat dikatakan sebagai sisa warisan bahasa Austronesia (yang lebih murni). Apakah dalam konteks ini terbentuk aksara Batak, suatu aksara yang dapat dikatakan sejaman dengan aksara yang telah punah (aksara Aramaik dan aksara Fenesia)? Dalam hal ini bahasa dan aksara Batak tersembunyi di pedalaman pulau Sumatra.

Jika bahasa dan aksara Batak adalah yang sudah berumur tua, lantas apakah ada (pernah eksis) lambang bilangan Batak? Hal yang sama juga berlaku apakah ada (pernah eksis) lambang bilangan bahasa Jawa di masa lampau? Lalu bagaimana dengan lambang bilangan dalam aksara lainnya?


Lambang bilangan bahasa/aksara Jawa dan lambang bilangan bahasa/aksara Batak yang terinformasikan pada masa ini tidak/belum terinformasikan/teridentifikasi di masa lampau. Ada jarak waktu antara masa kini dengan masa lalu, yang menyebabkan lambang bilangan aksara Batak dan lambang bilangan aksara Jawa terkesan dibuat baru (kreasi baru).

Pada masa ini disebut lambang bilangan tertua adalah Mesir Kuno dan Maya. Lambang bilangan Mesir kuno untuk 1 adalah garis tegak, 2=dua garis tegak, 3=tiga garis tegak, 4=dua garis tegak bertingkat (dua tingkat=2/2), 5=3/2; 6=3/3; 7=4/3; 8=4/4, 9=3/3/3, 10 dengan lambang tunggal garis lengkung. Lambang bilangan Maya dilambangkan dengan 1 sebagai satu titik atau satu butiran, 2=dua titik, dst, 4=empat titiik, 5 sebagai satu garis, 6=satu garis dengan satu titik di atasnya, dst, 10=dua garis datar, 11= dua garis dan satu titik di atas, 12=dua garis dan dua titik di atas, dst. Lambang bilangan Sumeria terkesan sebagai kombinasi Mesir Kuno dan Maya dengan notasi mirip paku.


Sebutan bilangan Batak untuk belasan mirip cara lambang bilangan Maya (biner). Sebagaimana diketahui peradaban orang Maya berada di bagian tengah Amerika. Sementara, lambang bilangan Yunani kuno menggunakan lambang huruf dalam aksara Yunani kuno. Sedangkan lambang bilangan Romawi juga pada dasarnya menggunakan lambang huruf dan kombinasinya (I V X L C D M).

Lantas bagaimana dengan lambang bilangan Batak dan lambang bilangan Jawa. Dalam narasi sejarah disebutkan bahwa lambang bilangan Pallawa, atau yang lebih tepat disebut angka Pallawa, tidak memiliki bentuk yang baku dan seragam seperti angka Arab yang kita gunakan sekarang. Angka ini berasal dari India bagian selatan dan diadaptasi di Nusantara, di mana bentuknya mengalami perubahan dari waktu ke waktu dan di setiap daerah.


Pencarian lambang-lambang bilangan pada berbagai bahasa masih terus dilakukan bahkan hingga ini hari. Para peneliti mencoba menyajikan berbagai lambang bilangan dari berbagai bahasa sesuai dengan penemuan-penemuan terbaru. Disebutkan lambang bilangan (aksara) Brahmi, yang menjadi akar aksaa Pallawa, untuk lambang bilangan 1 hingga 3 digambarkan garis lurus sebagaimana pola lambang bilangan yang terbalik dengan lambang bilangan Mesir kuno (garis tegak). Hal ini tentulah tidak terlalu mengejutkan karena dua lambang/aksara Mesir kuno dan Brami secara geografis berdekatan. Namun pada bilangan 4 dst pada lambang bilangan Brahmi disebut menggunakan symbol tunggal tertentu (mirip aksara/abdjad). Pada aksara/lambang bilangan Mesir kuno menggunakan symbol tertentu baru digunakan pada bilangan 10 (sepuluh). Selain pola garis tegak (bilangan 1 hingga 3), pola penulisan lambang bilangan Brahmi (garis lurus untuk 1-3) inilah yang kemudian banyak ditemukan pada aksara-aksara di India.  

Jika aksara Batak mirip aksara Fenesia (yang sejaman dengan aksara Aramaik, aksara yang menurunkan aksara-aksara Brahmi), bagaimana bentuk lambang bilangan Fenesia? Hingga sejauh ini tidak pernah dilaporkan keberadaan lambang bilangan Fenesia. Yang disebutkan adalah lambang bilangan Yunani kuno menggunakan lambang hurufnya (aksaranya) sendiri (sebagaimana berikutnya pada lambang bilangan Romawi. Oleh karena aksara Fenesia tidak memiliki lambang bilangan, lalu apakah bilangan Batak juga tidak pernah dilambangkan?


Pada masa ini aksara Latin yang digunakan secara internasional (aksara yang diturunkan dari aksara Yunani/Romawi dalam bentuk alfabet), lambang bilangan yang digunakan pada dasarnya meminjam dari lambang bilangan Arab, suatu lambang bilangan yang diduga merupakan penyempurnaan dari lambang-lambang bilangan yang sudah eksis (ditemukan) di India selatan.

Apakah ada atau pernah eksis lambang bilangan Batak di masa lampau tidak pernah terinformasikan. Hanya pada masa ini muncul lambang bilangan Batak (sebagaimana juga lambang bilangan Jawa) seperti yang disebut di atas. Kedua lambang bilangan di nusantara tersebut (Batak vs Jawa) terkesan bentuknya sangat berbeda. Lambang bilangan Batak yang digambarkan mirip dengan lambang-lambang bilangan yang ditemukan di India selatan (adanya tiga garis lurus untuk bilangan 1 hingga 3) dan symbol tertentu untuk bilangan-bilangan berikutnya.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Ada Bahasa dan Aksara Batak, Apakah Ada Lambang Bilangan Batak? Mari Kita Lacak!

Orang Eropa pertama memasuki wilayah Batak (di Angkola) adalah Charles Miller (1772). Namun tidak ada menyinggung tentang bahasa dan aksara Batak. Johannes Siberg, Gubernur Java Noord Oost pernah menerima satu jilid buku dalam bahasa Batak yang kemudian diserahkannya kepada museum Bataviaasche di Batavia (1787). Namun tentang buku ini tidak pernah dibicarakan.


Di dalam laporan Dr Hobner yang mengunjungi Angkola Mandailing pada tahun 1838 tidak terinformasikan bahasa dan aksara Batak. FW Jung Huhn (1840) juga tidak pernah menginformasikannya. Setali tiga uang dengan Oscar von Kessel (1844). 

TJ Willer adalah yang pertama mendokumentasi bahasa dan aksara Batak. Dalam laporan akhir jabatannya sebagai Asisten Residen Angkola Mandailing (1846) TJ Willer lebih dari cukup menginformasikan tentang eksistensi bahasa dan aksara Batak. TJ Willer mencatat aksara Batak yang digunakan di wilayah Angkola Mandailing (dalam tulisan tangan).


HN van der Tuuk dikirim ke Tanah Batak untuk mempelajari bahasa dan tatabahasa Batak Toba. HN van der Tuuk memulai pekerjaannya tahun 1851 di Baroes. Namun tidak terlalu sukses. Untuk memasuki wilayh Toba, HN van der Tuuk berangkat dari wilayah Angkola Mandailing, termasuk bertukar pikiran dengan Asisten Residen Angkola Mandailing AP Godon dan Controleur Angkola Hammers. Untuk memandunya ke wilayah Toba, Controleur Angkola memberikan seorang pemandu Dja Pangkat (pemandu yang pernah menemani FW Jung Huhn (1841-1843) dan pemandu Ida Pheiffer tahun 1852. Sekembali ke Belanda untuk menganalisis hasil-hasil kerjanya di Tanah Batak, sejak 1856 tulisan-tulisannya mulai diterbitkan di jurnal tentang bahasa Batak Toba. Kamus diterbitkan tahun 1861 dan Tatabahasa Batak Toba (lihat Over Schrift en Uitspraak Tobasche Taal als Eerste Hoofdstuk Spraakkunst door HN van der Tuuk in Tijdschrift voor Indische Taal-, Land-en Volkenkunde, 1856).   

Dalam catatan TJ Willer (1846) dan publikasi-publikasi HN van der Tuuk hanya berbicara tentang bahasa dan aksara Batak. Tidak pernah terinformasikan tentang lambang bilangan Batak. Mengapa? Yang jelas yang terinformasikan dari TJ Willer dan HN van der Tuuk hanya sebatas sebutan bilangan Batak saja. Lalu apakah tidak ada lambang bilangan (aksara) Batak?


Pada tahun 1917, E Gobée mantan Controleur di Baroes menulis artikel pendek (lihat Tijdschrift van het Aardrijkskundig Genootschap, 1917). Disebutkan saat menjadi Controleur di Baroes, diantara surat-surat lama yang ditemukan di gudang dekat kantor kontrolir, E Gobée menemukan surat Batak dari seorang Singa Mangaradja kepada Toeankoe Baroes, dengan permintaan untuk melacak lima budak yang melarikan diri dan mengembalikan mereka. Surat tersebut memuat prangko/stempel Singa Mangaradja yang turut dilampirkan dalam tulisannya. Prangko/stempel ditulis dalam bahasa dan aksara Batak dan dalam bahasa Melayu aksara Jawi (Arab gundul) degan tahun Arab (1268 H) yang dikonversi menjadi tahun 1852. Sebagaimana diketahui pada tahun 1852 HN van der Tuuk masih berada di Baroes, sebelum berangkat ke Angkola/Mandailing yang kemudian dari Angkola ke wilayah Toba. Kunjungannya ke beberapa wilayah Batak ini terungkap dalam artikelnya di atas yang diterbitkan pada tahun 1856 (membandingkan bahasa/aksara di Toba dengan bahasa/aksara di Angkola dan bahasa/aksara di Mandailing).

Dalam stempel Sisingamangaradja (bertarih 1852) juga tidak ditemukan lambang bilangan Batak. Alih-alih lambang bilangan Batak, yang ada justru lambang bilangan Arab. Lalu apakah lambang bilangan Batak benar-benar tidak ada? Hanya dalam bentuk sebutan (bahasa) saja?


Apakah TJ Willer (1846) dan HN van der Tuuk (sejak 1856) benar-benar lalai (kurang atau memperhatikan) tentang lambang bilangan Batak? Boleh jadi. Hal ini karena TJ Willer tampaknya hanya focus pada pengenalan aksara saja untuk public. Bagaimana dengan HN van der Tuuk? Tampaknya HN van der Tuuk juga focus pada bahasa dan tatabahasa Batak dalam konteks aksaranya saja. Stempel/prangko Singa Mangaradja (1852) juga tidak membantu untuk menunjukkan apakah lambang bilangan Batak eksis. Prasasti-prasasti di Padang Lawas juga tidak memberi petunjuk tentang eksistesi lambang bilangan Batak.

HN van der Tuuk adalah orang yang dapat diharapkan untuk menjawab pertanyaan apakah eksis bilangan Batak.  Namun dalam berbagai publikasinya tidak ditemukan lambang bilangan Batak. HN van der Tuuk dalam publikasinya yang terbaru ditebitkan tahun 1864 hanya mendaftar sebutan bilangan Batak sebagaimana yang masih eksis hingga masa ini. Publikasi tersebut berjudul TOBASCHE SPRAAKKUNST IN DIENST EN OP KOSTEN VAN HET NEDERLANDSCH BIJBELGENOOTSCHAP, VERVAARDIGD DOOR HN VAN DER TUUK. Eerste Stuk (KLANKSTELSEL). AMSTERDAM, FREDERIK MULLER. GEDRUKT BIJ CA SPIN & ZOON. 1864.


Sebutan bilangan Batak yang dicatat HN van der Tuuk dalam publikasinya tahun 1864 adalah sebagai berikut: sada, dua, tolu, opat, lima, onom, pitu, walu, sia, sapulu, sapulu sada, sapulu dua, dst, dua pulu, dua ratus, dua ribu, dua laksa. Sebagaimana disebut di atas, pada prasasti Kedoekan Boekit yang berasal dari abad ke-7 dicatatan sebutan bilangan: dua, dua laksa, duaratus, saribu, toluratus dan sapulu dua. Tentu saja sebutan bilangan-bilangan tersebut tidak pernah terinformasikan dalam bahasa Melayu.

Praktis tidak ditemukan lambang bilangan Batak dalam publikasi HN van der Tuuk (1864). Idem dito, juga tidak ditemukan lambang bilangan dalam prasasti Kedoekan Boekit (682). Lebih dari seribu tahun eksistensi sebutan bilangan Batak tidak pernah terinformnasikan keberadaan lambang bilangan Batak. Lalu bagaimana dengan lambang bilangan Batak pada masa kini yang diduga merupakan suatu kreasi baru saja? Yang jelas hingga buku yang ditulis Meerwaldt (1909) juga tidak terinformasikan adanya lambang bilangan Batak. 


Aksara Kawi pada dasarnya aksara baru (diturunkankan dari aksara Pallawa). Namun seberapa tua aksara Batak tidak terinformasikan. Aksara yang ditemukan pada candi Borobudur bukanlah aksara Kawi, tetapi aksara yang lebih tua di Jawa. Di dalam candi Borobudur, lambang bilangan yang digunakan di candi Borobudur (1-11) adalah lambang bilangan Arab (lihat MERKWAARDIGE TEEKENS OP TJANDI-STEENEN VAN MIDDEN-JAVA DOOR Dr WF STUTTERHEIM di dalam Oudheidkundig verslag ..., 1925). 

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com


Tidak ada komentar: