*Untuk melihat semua artikel Sejarah Budaya dalam blog ini Klik Disini
Kata "Tur" (طور) dalam bahasa Arab
berarti "bukit" atau "gunung". Kata ini digunakan dalam
Al-Qur'an, misalnya pada surah At-Tur (surah ke-52), yang dinamakan demikian
karena terdapat kata tersebut pada ayat pertamanya. "At-Tur" merujuk
pada bukit Sinai, tempat Nabi Musa menerima Taurat dari Allah SWT. Kata
"ina" dalam bahasa Arab, biasanya merujuk pada kata إنّ (inna) yang
berarti "sesungguhnya," "memang," atau "pasti"
ketika digunakan sendiri sebagai huruf penekanan. Ketika digabungkan dengan
kata ganti orang lain, misalnya menjadi إنّا (inna), artinya menjadi
"sesungguhnya kami" atau "sesungguhnya kita".
Kata Rūḥ (روح) dalam bahasa Arab berarti roh atau nyawa, yaitu unsur non-materi penyebab kehidupan yang ada dalam jasad manusia, serta memiliki makna lain seperti angin, Jibril, wahyu, dan pertolongan Allah, bergantung pada konteks penggunaannya. Kata "kafura" (atau kāfūr) dalam bahasa Arab merujuk pada kapur barus. Ini adalah zat padat berwarna putih yang harum dan digunakan sebagai campuran minuman di surga dalam Al-Qur'an, serta dalam pengafanan jenazah. Kata Adat dalam bahasa Indonesia diserap dari bahasa Arab, yaitu kata adah (عادة) yang berarti kebiasaan, tradisi, atau praktek yang berulang-ulang dan menjadi lumrah dalam suatu masyarakat. Kata ini juga sinonim dengan kata Arab urf (عرف), yang berarti sesuatu yang telah diketahui atau diterima oleh banyak orang. Kata "bata" dalam bahasa Arab berarti tahan, kuat, atau berani dalam konteks sifat atau tindakan. Makna ini sering kali terkait dengan ketahanan atau keberanian yang berasal dari kepercayaan, sehingga juga bisa diartikan sebagai "iman" atau "keyakinan". Dalam bahasa Arab, kata "Saba" memiliki beberapa arti tergantung konteksnya, di antaranya adalah angin timur yang lembut (الصبا), angin sepoi-sepoi, atau merujuk pada salah satu negeri atau bangsa kuno di wilayah Yaman. Kata ini juga menjadi nama salah satu surah dalam Al-Qur'an, yaitu Surah Saba' (AI Wikipedia)
Lantas bagaimana sejarah tor Ina di pantai barat Sumatra dan tur Sinai di semenanjung Sinai? Seperti disebut di atas, ada sejumlah kata yang mirip (secara toponomy) antara bahasa Batak dan bahasa Arab. Apakah ada penjelasannya? Lalu bagaimana sejarah tor Ina di pantai barat Sumatra dan tur Sinai di semenanjung Sinai? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja. Dalam hal ini saya bukanlah penulis sejarah, melainkan hanya sekadar untuk menyampaikan apa yang menjadi fakta (kejadian yang benar pernah terjadi) dan data tertulis yang telah tercatat dalam dokumen sejarah.
Tor Ina di Sumatra dan Tur Sinai di Semenanjung Sinai; Kemiripan Bahasa Batak dan Bahasa-Bahasa di Arab
Dalam literatur lama disebutkan Kerajaan Ratu Shaba yang misterius, dari mana Sulaiman (Salomon), pada tahun 992 SM, memperoleh emas berlimpah yang diperkirakan lebih dari satu juta kilogram. Ratu Shaba, tokoh cemerlang dalam sejarah Alkitab (Kejadian X ayat 28, XXV ayat 3 dan Yobel VI ayat 19, suatu bangsa yang disebut Shaba: ratu merekalah yang membawa persembahan kepada Sulaiman). Saat pelaut-pelaut Portugis (1520) menemukan gunung tinggi di pantai barat Sumatra, gunung Pasaman dan kemudian menemukan bekas tambang emas kuno, tidak malu-malu, alias tergesa-gesa mengidentifikasi nama gunung itu di peta mereka dengan nama gunung Ophir. Demikian juga dengan nama tempat Saba di ujung selatan pulau Sumatra.
Provinciale Noordbrabantsche en 's Hertogenbossche courant, 27-07-1896: ‘Emas tersebar di seluruh bumi. Emas telah ditemukan di hampir semua wilayah Dunia Lama. Emas telah disebutkan dalam kitab pertama Musa; pada zaman Abraham, emas sudah menjadi logam yang berharga dan banyak dicari. Emas tampaknya merupakan salah satu komoditas tertua, dan mungkin pada zaman kuno, logam ini ditambang dari India bahkan lebih awal daripada dari Ophir, tempat mengalirnya kekayaan besar Sulaiman. Bangsa Arab selalu membawa emas yang sangat murni, yang sangat dicari untuk perhiasan. Fasilitas penambangan emas ditemukan di Mesir. Bangsa Yunani menambang emas di negara mereka sendiri. Diperkirakan bahwa pada tahun 1492, umat manusia memiliki emas senilai kurang dari 150 juta gulden’.
Apa yang menyebabkan pelaut-pelaut Portugis mengidentifikasi
nama gunung (Ophir) dan nama tempat kerajaan (Saba) di Sumatra, karena mereka
adalah orang Eropa pertama yang menemukan gambaran yang disebutkan dalam
al-Kitab. Tentu saja tidak hanya itu. Pelaut-pelaut Portugis dalam penjelajahan
mereka ke timur (nusantara) yang dimulai di Malak (1511) masih membawa
peta-peta turunan dari peta-peta Ptolomeus.
Pada peta-peta Ptolomeus yang berasal dari abad ke-2, terdapat tiga wilayah
di nusantara: pulau Sumatra, semenanjung Malaya dan Kalimantan. Dalam peta
Sumatra dan Kalimantan diidentifikasi garis ekuator (khatulistiwa). Peta
Kalimantan dalam peta Ptolomeus diidentifikasi sebagai (pulau) Taprobana; peta
Sumatra dalam peta Ptolomeus diidentifikasi sebagai Aurea Chersonesos. Kosa
kata “aurea’ dalam bahasa Romawi/Latin adalah emas dan “nesos” sebagai pulau. Berarti
Sumatra adalah pulau Emas. Lantas bagaimana dengan kosa kata “cherso”? Apakah
kata “cherso” adalah penyebutan orang Eropa untuk kata “sere”? Di pantai barat pulau
Aurea Chersonesos bagian utara diidentifikasi nama tempat Tacola. Lalu apakah
nama Tacola adalah nama Batang Akkola (Batang Angkola)?
Dalam sejarah lama, selain nama-nama Shaba dan Ophir, juga, putra ketiga belas, yang mereka sebut Thor atau Thur, dan yang konon telah memberikan namanya ke gunung Sinai, yang hingga kini masih mereka sebut Thur atau Thur Sinai. Dari putra-putra ini muncullah orang-orang yang kemudian disebut Mostarab, yaitu, orang Arab yang dicangkok atau campuran. Namun, yang paling umum, nama mereka adalah Ismael, dari leluhur mereka, dan Hagarienes, dari Hagar, ibu Ismael. Hagar, ibu Ismael, meninggal beberapa waktu setelah putranya menikah di Mekah. Ia dimakamkan di sebuah tempat bernama Hagira (lihat Neue Sammlung der merkwürdigsten Reisegeschichten, insonderheit der bewährtesten Nachrichten von den Ländern und Völkern des ganzen Erdkreises, Johann Michael von Loen, 1750).
Dalam bahasa Mitologi Nordik, Thor adalah kata untuk "guntur"
atau "petir", merujuk pada dewa petir dan guntur dalam kepercayaan
Nordik kuno, yang juga dikenal dalam bahasa Jermanik sebagai Donner atau
Taranis. Dalam mitologi Nordik, Thor adalah putra Odin dan dewa pelindung yang
kuat, yang diasosiasikan dengan kekuatan, kesuburan, dan penegakan hukum.
Thor adalah dewa petir Yunani kuno. Kata "Tur" (طور) dalam bahasa Arab berarti "bukit" atau "gunung". Kata ini digunakan dalam Al-Qur'an, misalnya pada surah At-Tur (surah ke-52), yang dinamakan demikian karena terdapat kata tersebut pada ayat pertamanya (demi bukit). Dalam hal ini At-Tur diterjemahkan sebagai bukit atau gunung. Lalu mengapa sebutan ‘thur’ (bukit) dalam bahasa Arab juga ditemukan dalam bahasa Batak sebagai ‘tor’ (bukit). Apakah ‘thur’ dan ‘tor’ berkaitan atau hanya kebetulan? Jika ‘thur’ dan ‘tor’ berkaitan secara linguistic, lalu apakah arahnya dari bahasa Arab ke bahasa Batak atau sebaliknya dari bahasa Batak ke bahasa Arab?
Sudah
barang tentu tidak ada yang pernah memikirkan hubungan bahasa ‘thur’ dan ‘tor’,
apalagi arahnya. Namun ada yang telah memikirkan bahwa kamper dari Tanah Batak ke
Tanah Mesir kuno. Raja-raja Mesir kuno dibalsem (diawetkan) dengan kamper.
Kamper sendiri juga terdapat dalam dalam ayat Al-Qur'an, khususnya Surah
Al-Insan ayat 5, sebagai "kafura" (kafur). Para ahli meyakini bahwa
kamper didatangkan dari Tanah Batak. Kamper dalam basaha Batak adalah ‘hapur’,
kata yang masuk ke dalam bahasa Arab melalui bahasa Persia (‘kafura’). Di
Eropa, ‘kafura’ ini dieja menjadi ‘champora’ dalam bahasa Latin/Yunani kuno,
yang kemudian orang-orang Portugis mengintroduksi nama ‘kamper’ di Hindia
Timur.
Tentu saja tidak hanya ‘thur’ dan ‘tor’, ‘kafura’ dan ‘hapur’, juga banyak kosa kata bahasa Batak yang memiliki padanan dalam bahasa-bahasa asing (Arab, Latin), antara lain ‘roha’ dalam bahasa Batak yang memiliki kemiripan dengan kata ‘ruh’ atau ‘roh’.
Dalam kamus bahasa Angkola Mandailing yang disusun oleh HJ Eggink tahun
1936, kata ‘roha’ diartikan sebagai pikiran, kehendak, intelek, niat; marroha,
memiliki intelek. Kata ‘tondi’ diartikan sebagai jiwa, kepribadian seseorang;
moelak tondi toe badan, jiwa kembali ke tubuh = seseorang merasa terlahir
kembali. Kata ‘hosa’ diartikan sebagai napas, roh kehidupan; markosa, bernapas,
hidup. Kata ‘hosa’ adakalanya sinonim dengan kata ‘nyawa’. Kata ‘roha’, ‘tondi’
dan ‘hosa’ saling terkait dalam bahasa Batak. Sudah barang tentu
sebutan-sebutan khas bahasa Batak itu sudah eksis jauh sebelum masuknya ajaran
agama (Islam dan Kristen) ke Tanah Batak.
Kata "ruh" dalam bahasa Arab adalah روح (diucapkan rūḥ). Kata ini memiliki makna jiwa, roh, atau unsur non-materi yang memberikan kehidupan pada jasad dan juga bisa merujuk pada kehidupan atau keindahan. Dalam Al-Qur'an, kata rūḥ juga digunakan untuk merujuk pada Roh Kudus (rūḥ al-qudus), yang diidentikkan dengan Malaikat Jibril. Roh Ilahi terkadang mengacu pada komunikasi kekuatan hidup dari Allah. Selain itu, bentuk jamak dari rūḥ adalah arwah (أرواح), yang berarti "roh-roh".
Kata "ruh" dalam bahasa Latin adalah spiritus, yang berarti
"napas" dan juga merujuk pada esensi non-jasmani atau kekuatan hidup.
Selain itu, kata Latin lainnya seperti anima atau animus juga sering digunakan
untuk merujuk pada "jiwa", yang dalam beberapa konteks disamakan
dengan roh. Dalam filsafat dan agama, seperti gereja Katolik, anima (jiwa) dan
spiritus (roh) bisa dianggap sama, sementara dalam pandangan lain ada pembedaan
di antara keduanya. Kata "roh" dalam bahasa Inggris, yaitu spirit,
juga berasal dari spiritus, yang memperkuat keterkaitan antara kedua bahasa
tersebut dalam konsep ini. Para penulis Alkitab menggunakan kata Ibrani Ruakh sewaktu
menulis tentang "roh". Alkitab sendiri menunjukkan arti kata-kata
itu. Misalnya, Mazmur 104 mengatakan, "Apabila engkau [Yehuwa] mengambil
roh [ruakh] mereka, mereka mati, dan mereka kembali kepada debu". Juga
dalam Surat Yakobus dikatakan bahwa "Tubuh tanpa roh [pneuma] adalah
mati". Maka, dalam ayat-ayat itu, roh memaksudkan sesuatu yang memberikan
kehidupan kepada tubuh. Tanpa roh, tubuh mati.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Kemiripan Bahasa Batak dan Bahasa-Bahasa di Arab: Navigasi Pelayaran Perdagangan Sejak Zaman Kuno
Apakah penting sebutan ‘tor’ dan ‘ina’ di (pantai barat) Sumatra dan Tur Sinai di Semenanjung Sinai dihubungkan? Tentu saja tidak perlu dipikirkan jika dianggap tak perlu dipikirkan. Seperti disebut di atas, Tur Sinai tempat munajat Nabi Musa sebagaimana disebut dalam Al-Qur’an pada Al-Mu’minun: 20. Dalam ayat ini disebut طُورِ سَيۡنءَ (gunung Saina’) dan dalam Surah Al-Tin disebut طُورِ سِينِينَ.
Dalam bahasa Arab, "Sinai" merujuk pada Semenanjung Sinai dan
juga gunung Sinai. Semenanjung itu
sendiri disebut سيناء (sīnāʾ), dan gunung
Sinai juga dikenal sebagai Jabal Musa (جَبَل مُوسَىٰ), yang berarti "gunung Musa". Gunung Sinai, gunung yang terkenal di semenanjung ini memiliki
dua nama dalam bahasa Arab: Turu
Saina (طور سيناء) dan Jabal Musa (جَبَل مُوسَىٰ) merupakan nama umum
untuk gunung ini. Nama-nama ini digunakan dalam
konteks keagamaan dan geografis untuk merujuk pada tempat-tempat suci yang
penting dalam Islam, Kristen, dan Yudaisme.
Secara teks dalam Al-Qur’an disebut Saina, bukan Sinai. Dalam bahasa Batak, frase ‘saina’ diartikan sebagai ‘satu ibu’ (sa-ina; sada-ina). Seperti dikutip di atas (Johann Michael von Loen, 1750) menyebutkan dalam sejarah lama, putra ketiga belas, yang mereka sebut Thor atau Thur, dan yang konon telah memberikan namanya ke gunung Sinai, yang hingga kini masih mereka sebut Thur atau Thur Sinai. Dari putra-putra ini muncullah orang-orang yang kemudian disebut Mostarab, yaitu, orang Arab yang dicangkok atau campuran. Namun, yang paling umum, nama mereka adalah Ismael, dari leluhur mereka, dan Hagarienes, dari Hagar, ibu Ismael. Hagar, ibu Ismael, meninggal beberapa waktu setelah putranya menikah di Mekah. Ia dimakamkan di sebuah tempat bernama Hagira.
“Saina” dalam bahasa Batak adalah orang-orang yang memiliki satu
keturunan, satu leluhur, berasal dari satu ibu. Lantas mengapa dalam dalam sejarah lama (Johann
Michael von Loen, 1750) nama Thor atau Thur (putra ke-13) yang memberikan namanya ke gunung
Sinai, orang-orang yang kemudian
disebut Mostarab, yaitu, orang Arab yang dicangkok atau campuran?
Al-Qur’an dibaca dan ditulis dalam bahasa dan aksara Arab dimana disebut nama gunung (tur) Saina. Sebutan ‘ibu’ dalam bahasa Arab adalah ‘umm’ yang juga terdapat dalam Al-Qur’an. Dalam hal ini nama gunung “Saina’ tidak terhubung bahasa Arab, tetapi dapat dihubungkan dengan bahasa Batak.
Sebutan ibu dalam bahasa Ibrani adalah "ema" yang disebut juga “ima”,
“eema”, atau “emma”, yang berasal dari kata Ibrani "em" yang berarti
ibu. Bahasa Yunani yang paling umum untuk ibu adalah “mitera”. Sebutan untuk
"ibu" dalam bahasa Sansekerta adalah “mātṛ”. Kata ini memiliki akar
yang sama dengan kata "mother" dalam bahasa Inggris dan
"māter" dalam bahasa Latin. Bagaimana dengan sebutan “ina’ dalam
bahasa Batak? Besar dugaan ‘ina’ adalah sebutan ibu dalam bahasa Austronesia,
yang terdapat dalam berbagai bahasa-bahasa di nusantara termasuk dalam bahasa
Batak.
Lantas apa maknanya “saina” di dalam Al-Qur’an, kenyataannya bahwa ibu dalam bahasa Arab sebagaimana di dalam Al-Qur’an adalah ‘umm’. Lalu mengapa ‘saina’ diinterpretasi dengan gunung (tur) Sinai? Seperti disebut di atas pada surah Al-Mu’minun: 20: وَشَجَرَةً تَخْرُجُ مِنْ طُوْرِ سَيْنَا (Wa syajaratan takhruju min thûri sainâ'a= (Kami tumbuhkan) pohon (zaitun) yang tumbuh di Bukit Sinai). Dalam ayat ini disebut gunung Saina’; dan dalam Surah Al-Tin:1-2 disebut طُورِ سِينِينَ yakni: (2) وَطُوْرِسِيْنِيْنَۙ (1) وَالتِّيْنِ وَالزَّيْتُوْنِۙ (Wat-tîni waz-zaitûn; Wa thûri sînîn= Demi (buah) tin dan (buah) zaitun, demi gunung Sinai).
Surat At-Tur ayat 1: وَالطُّوْرِۙ (Wath-thûr=Demi gunung (Sinai): "Demi gunung (Sinai), dan kitab yang tertulis". Dalam ayat ini, Tursina disebut sebagai sumpah, yang menunjukkan pentingnya tempat ini. Surat Al-Baqarah ayat 63: وَاِذْ اَخَذْنَا مِيْثَاقَكُمْ وَرَفَعْنَا فَوْقَكُمُ الطُّوْرَۗ خُ (Wa idz akhadznâ mîtsâqakum wa rafa‘nâ fauqakumuth-thûr=(Ingatlah) ketika Kami mengambil janjimu dan Kami angkat gunung (Sinai) di atasmu): "Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari kamu dan Kami angkat gunung (Thursina) di atasmu (seraya Kami berfirman): "Peganglah teguh-teguh apa yang Kami berikan kepadamu dan dengarkanlah!"". Ayat ini menjelaskan peristiwa di mana Tursina diangkat sebagai pengingat bagi kaum Nabi Musa AS untuk memegang teguh janji dan syariat yang diberikan. Surat Al-Qashash ayat 46: وَمَا كُنْتَ بِجَانِبِ الطُّوْرِ (Wa mâ kunta bijânibith-thûri= Engkau (Nabi Muhammad) tidak pula berada di dekat gunung (Sinai)). Ayat ini menyebutkan "bukit Sinai" atau Tursina sebagai tempat Allah SWT memberikan peringatan kepada Nabi Musa AS, yang kemudian ia sampaikan kepada kaumnya. Surat An-Nisa ayat 154: وَرَفَعْنَا فَوْقَهُمُ ٱلطُّورَ (Wa rafa'nā fauqahumuṭ-ṭụra= Dan telah Kami angkat ke atas (kepala) mereka bukit)): "Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari kamu dan Kami angkat gunung | surat Baqarah ayat 63." Ayat ini juga menceritakan peristiwa pengangkatan gunung Tursina di atas kepala kaum Nabi Musa AS sebagai perjanjian yang kokoh.
Para sarjana modern memperdebatkan lokasi geografis
"Gunung Sinai" yang disebutkan dalam Alkitab. Dalam Kitab Keluaran, gunung
ini juga kadang disebut gunung Horeb, dan umumnya dianggap merujuk pada lokasi
yang sama. Namun dalam Al-Qur’an surah Al-Mu’minun: 20 dengan jelas dinyatakan Wa syajaratan takhruju
min thûri sainâ'a. Lalu apakah thûri sainâ'a yang dimaksud adalah
tur Sinai yang sekarang?
Peta Ptoomeus, yang dibuat pada abad ke-2 Masehi, tidak mencatat lokasi
Gunung Sinai secara akurat karena masih banyak ketidakpastian mengenai lokasi
gunung ini pada masa itu. Identifikasi gunung Sinai baru muncul dalam peta pada
abad ke-17. Peta yang dibuat oleh Joannes Joansonius (c 1650), menunjukkan
Semenanjung Sinai serta lokasi-lokasi lain yang berkaitan dengan perjalanannya,
termasuk gunung Sinai dan tanah Midian.
Nama tur Saina dan dimana letak yang sebenarnya adalah satu hal. Namun dalam hal ini sebutan ‘tor’ dalam bahasa Batak diartikan sebagai bukit atau gunung; ‘saina’ diartikan sebagai seibu. Tor dalam bahasa Batak secara tegas menunjuk pada bukit atau gunung. Hal ini berbeda kata tor dalam bahasa Celtic. Namun perlu diperhatikan bahwa bahasa Celtic berbeda dengan bahasa-bahasa Jermanik (bahasa-bahasa Eropa umumnya).
Kata "tor" yang berarti bukit atau formasi batuan tinggi juga
ditemukan dalam bahasa Celtic, seperti bahasa Gaelik Skotlandia (tòrr), bahasa
Wales (tŵr), dan bahasa Cornwall, yang diperkirakan juga berasal dari bahasa
Inggris Kuno (torr), meskipun ada perdebatan mengenai apakah kata tersebut
dipinjam dari atau ke bahasa Celtic. Namun kata Celtic ini kemungkinan terkait
atau berasal dari bahasa Inggris Kuno torr, yang berarti "batu,
tebing".
Kata ‘saina’ (se-ibu) dalam bahasa Batak merujuk pada akar kata ‘ina’ (ibu). Kosa kata ibu dan ayah adalah kosa kota elementer, kosa kata yang sangat mendasar dalam bahasa ibu (mother tongue). Kosa kata ‘ina’ tidak hanya terdapat dalam bahasa Batak, juga dalam bahasa-bahasa lain: 'ina' (bahasa Lakota di Amerika Utara); 'ina' (bahasa Filipino/Tagalog); 'ine' (bahasa Gayo); 'ina' (bahasa Bima); 'ina' (di beberapa wilayah Sulawesi Tenggara); 'ina' di Bima; 'inaq' di Sasak; 'ina' di kepulauan Maluku.
Yang juga mirip dengan sebutan "ina"
yang diartikan sebagai ibu yakni: "Ana" (Afrika prasejarah); “nan” (bahasa Maya: Nenek moyang suku
Ch'orti'); “anne’ atau 'ana' (bahasa Turki); ‘ina’ atau ‘ana’ di dalam bahasa-bahasa etnik di
Formosa; ‘ina’ (Nauru di Pasifik); ‘tina’ (Samoa di Pasifik); ‘inate’
(Ethiopia); ‘ana’ (Uyghur); ‘ona’ (Uzbek); ‘ana’ (Kazak); ‘ene’ (Kirgiztan); ‘ana’
(Azerbaizan); 'motina' (Lithuania); 'neny' (Madagaskar); 'nene' (Albania). Ke dalam daftar ini juga bisa ditambahkan 'nainai' sebagai nenek dari pihak ayah dan 'wainainai' sebagai nenek dari pihak ibu (bahasa Mandarin); 'nani' atau 'nanima' sebagai nenek dari pihak ibu (bahasa-bahasa di India); 'nain' (bahasa Wales); 'nyai' (bahasa Betawi); 'nini' (bahasa Sunda).
Lantas mengapa ‘tur’ (bukit) dan ‘saina’ (se-ibu) dalam bahasa Arab mirip dalam bahasa Batak ‘tor’ (bukit) dan ‘saina’ (seibu)? Seperti disebut di atas, kata ‘saina’ dalam bahasa Batak berakar dari kata dasar ‘ina’ (ibu). Bagaimana dengan sebutan kata-kata elementer lainnya seperti sebutan bulangan? Untuk bilangan belasan dalam bahasa Batak menggunakan pola biner (1-0), yakni: 11=sapulu sada; 12=sapulu dua, dst.
Seperti disebut di atas, kata ‘ina’ (ibu) dalam bahasa Batak mirip dengan
sebutan ibu dalam bahasa Azerbaizan (‘ana’); Turkmenistan (‘ene’); Uzbek (‘ona’);
Kazak (‘ana’); Uyghur (‘ana’). Kirgiztan (‘ene’) dan Turki (‘anne’). Sementara
sebutan bilangan belasan dalam bahasa Turki bersifat biner (1-0) yakni 11=on
bir (sepuluh satu), 12=on ikin (sepuluh dua), dst. Hal serupa ini juga berlaku
dalam bahasa Batak yakni 11=sapulu sada (sepuluh satu), 12=sapulu dua (sepuluh
dua), dst. Demikian juga dalam bahasa Kazak: 11=on bir, 12=on eki; bahasa
Uzebek: 11=on bir; 12=on ikki; bahasa Uyghur (termasuk di Xin jiang): 11=on
bir; 12=on ikki; bahasa Mongolia: 11: arav neg; 12: arav khoyor; serta bahasa-bahasa
di Tiongkok (Mandarin): 11: shí yī; 12: shí èr; Korea: 11: sibil; 12: sibi; dan
Jepang: 11: juu-ichi; 12: juu-ni. Demikian juga dalam bahasa Tamil: 11=pathi-nonru;
12=panni-randu; 13=pathi-munru. Bahasa Afganistan (bahasa Pashtun): 11=lās
yūwah; 12=lās dwāwa. Bahasa Burma: 11=thit-tway; 12=thit-hka. Bahasa Thai-land:
11=sip et; 12=sip song. Bahasa Kamboja/khmer: 11: dob-moy (sepuluh-satu); 12:
dob-pii (sepuluh-dua).
Pola bilangan belasan yang berbeda dengan bahasa Batak termasuk bahasa-bahasa Eropa seperti Inggris: 11=eleven, 12=twelve; 13= thirteen; 14= fourteen. Ini mirip dengan bahasa Persia: 11: yazdah; 12: davâzdah; bahasa Arab: 11=ahada 'asyara; 12=itsnaa 'asyara; bahasa Urdu: 11=yārah; 12= bārah. Bahasa Bengali: 11=ekdash;12=doidash. Bahasa Hindi: 11=gyarah; 12=barah. Bahasa Jawa: 11: sebelas; 12: rolas; 13: telulas;14=patbelas. Bahasa Melayu: 11=sebelas; 12=duabelas, 13=tigabelas.
Untuk sebutan bilangan dasar dalam bahasa Batak yang memiliki kemiripan
adalah: bahasa Jawa: Siji, loro, telu, papat, lima; bahasa Madagaskar (Antananarivo): iray, roa, telo, efatra, dimy; bahasa Tagalog: isa, dalawa, tatlo, apat, lima; bahasa pulau Paskah (Easter Island) di wilayah Chile: tahi, rua, toru, eha, rima. Bahasa Maori: tahi, rua, toru. Bahasa Hawaii: ekahi,
elua, ekolu.
Dalam bahasa-bahasa sebutan ibu yang mirip bahasa Batak (ina) memiliki pola bilangan belasan yang mirip seperti bahasa Turki dan Uzbek. Sedangkan bahasa-bahasa sebutan ibu yang mirip bahasa Sankerta memiliki pola bilangan belasan yang mirip seperti bahasa Arab dan bahasa-bahasa di Eropa dan di India selatan. Lalu apakah sebutan tur Saina di Arab benar-benar sama dengan tor Saina di Sumatra (Batak)?
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com


Tidak ada komentar:
Posting Komentar