*Untuk melihat semua artikel Sejarah Budaya dalam blog ini Klik Disini
Pada masa lalu di Angkola Mandailing memiliki
sistem penanggalan adat sendiri yang disebut Parhalaan, yang tidak mengenal
pembagian hari berdasarkan siklus tujuh hari seperti kalender Masehi (Minggu,
Senin, dst.). Sistem Parhalaan mengatur siklus 30 hari per bulan, bukan tujuh
hari, sehingga nama-nama hari dalam Parhalaan bersifat unik dan tidak mengulang
siklus mingguan. Dalam satu hari satu malam ada 15 sebutan penanda waktu.
Satu abad adalah 100 tahun. Dalam satu abad 10 dekade. Tentu saja ada sebutan satu windu sama dengan delapan tahun; satu lustrum sama dengan lima tahun. Dalam satu tahun adalah 12 bulan yang sama dengan 365 atau 366 hari. Dalam satu bulan adalah 30 hari yang dapat dibagi menjadi beberapa minggu yang mana satu minggu adalah tujuh hari: Senen, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu dan Minggu. Satuan waktu yang lebih kecil satu hari adalah 24 jam yang di Eropa dibagi dua: Ante Meridiem (AM) yang berarti “sebelum tengah hari” berlaku dari pukul 00:00 tengah malam hingga 11:59 siang; Post Meridiem (PM) yang berarti “setelah tengah hari”. Lalu bagaimana dengan satu jam? Yang jelas 1 jam adalah 60 menit dan satu menit adalah 60 detik. Lantas apakah ada nama-nama detik dan nama-nama menit? Yang jelas di wilayah Angkola Mandailing ada nama-nama setiap jam dalam satu hari dan nama-nama setiap hari dalam satu bulan; dan nama-nama bulan setiap tahun.
Lantas bagaimana sejarah nama-nama jam, hari dan bulan dalam satu tahun di Angkola Mandailing? Seperti disebut di atas, di Angkola Mandailing ditemukan 30 sebutan nama hari per bulan dan dan satu hari satu malam ada 15 sebutan penanda waktu. Apa hubungannya dengan bahasa daun dan aksara (surat) Batak? Lalu bagaimana sejarah nama-nama jam, hari dan bulan dalam satu tahun di Angkola Mandailing? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja. Dalam hal ini saya bukanlah penulis sejarah, melainkan hanya sekadar untuk menyampaikan apa yang menjadi fakta (kejadian yang benar pernah terjadi) dan data tertulis yang telah tercatat dalam dokumen sejarah.
Nama-Nama Jam, Hari dan Bulan dalam Satu Tahun di Angkola Mandailing; Bahasa Daun dan Aksara Batak
Perhitungan waktu di Angkola Mandailing pada dasarnya mengikuti astronomi dalam hubungannya dengan kegiatan pertanian (tanaman pangan). Dalam hal ini musim hanya terdiri dari musim hujan dan musim kemarau (di wilayah tropis) dan deviasinya tidak besar. Oleh karena itu perhitungan waktu (kalender) bersifat fungsional. Perhitungan waktu tersebut diterapkan pada unit hari ke bulan dan unit bulan ke tahun.
Di dalam penanggalan (kalender) di Angkola Mandailing tidak dikenal
permulaan penanggalan (nomor/angka tahun) seperti halnya penanggalan Masehi dan
penanggalan Hijiriah. Hal itu telah dikonfirmasi oleh TJ Willer (1846). Tentu
saja itu tidak ada gunanya di Angkola Mandailing. Sebab bagaimanapun penanggalan
di Angkola Mandailing bersifat fungsional. Yang dijadikan patokan adalah kapan
yang lama berakhir dan kapan yang baru dimulai.
Di Angkola Mandailing membagi tahun menjadi 12 bulan, yang disebut pasada, padoea, patoloe, paopat, palima, paonom, papitoe, pawaloe, pasambilan, pasapoeloe, li, dan hoeroeng. Lamanya satu bulan memiliki dua puluh sembilan dan tiga puluh hari secara bergantian, sesuai dengan waktu dari bulan baru ke bulan baru. Oleh karena bulan-bulan tersebut kurang sebelas hari dari tahun tersebut, tahun tersebut dimulai setiap waktu pada tanggal yang berbeda dalam kalender Masehi.
Pada tahun 1843, tanggal pertama pasada jatuh pada tanggal 29 Mei, pada
tahun 1844 pada tanggal 18 Mei, dan pada tahun 1845 pada tanggal 7 Mei, dan
seterusnya. Lalu kemudian setelah periode lebih dari 16 tahun, bulan pasada
dimulai pada bulan Desember, alih-alih Juni, seperti yang terjadi pada tahun
1842.
Seperti disebut di atas, penanggalan di Angkola Mandailing bersifat fungsional, pengaturan pertanian didasarkan pada nama-nama bulan, dan bukan berdasarkan musim yang sebenarnya (musim hujan/musim kemarau). Adat istiadat telah menetapkan bulan pasada untuk irigasi dan bulan paopat untuk menabur. Ini mengikuti siklus dua musim hujan dalam setahun dan kekeringan jarang berlangsung lama. Oleh karena setiap bulan sebanyak dua puluh sembilan dan tiga puluh hari secara bergantian, maka jumlah hari dalam satu tahun sekitar 355 hari.
Hal ini kurang lebih sama dalam tahun Jawa maupun tahun Hijriah. Perbedaan penanggalan Jawa dengan di Angkola Mandailing, seperti disebut di atas kalibrasinya per 16 tahun, yang mana dalam kalender Jawa selama 8 tahun (satu windu). Sedangkan dalam kalender Masehi perempat tahun (tahun kabisat) yakni mengalami penambahan satu hari dengan tujuan untuk menyesuaikan penanggalan dengan tahun astronomi (29 Februari). Untuk kalender Hijriah dengan 355 hari setiap tahun maka perhitungan tahun kabisat dilakukan setiap jangka 30 tahun sejak kalender Hijriyah tersebut ditetapkan. Selama 30 tahun Hijriah, terdapat 11 tahun kabisat.
Dalam kalender di Angkola Mandailing setiap hari dalam satu bulan memiliki namanya sendiri (lihat tabel). Untuk hari ke-29 dan hari ke-30 disebut hoeroeng dan hoeroeng hoeririt. Tampaknya nama-nama hari tersebut mirip dalam bahasa Sanskerta untuk tujuh hari pertama, yang juga dari akar kata itu nama-nama turunannya. Nama-nama hari bahasa Sanskerta tersebut juga ditemukan di Jawa dan Bali: Radite (Minggu), Soma (Senin), Anggara (Selasa), Buda (Rabu), Respati (Kamis), Sukra (Jumat), dan Tumpak (Sabtu).
Di Angkola Mandailing mungkin hanya mengenal satuan hari (atas dasar pergantian siang dan malam) dan mungkin pula tidak mengenal satuan jam. Seperti disebut di atas, perhitungan waktu didasarkan pada kegunaan (bersifat fungsional), perhitungan jam mungkin tidak ada gunanya. Namun demikian, ukuran jam dalam satu hari satu malam memiliki penanda waktu tersendiri sebanyak 15 nama (lihat tabel). Penanda waktu pertama dimulai terbit matahari (bintjar mata ni ari); untuk tengah hari disebut tingkos (matahari tepat di atas kepala); jelang malam atau terbenam matahari (loesoet mata ni ari); tengah malam (tonga borngin).
Tunggu deskripsi lengkapnya
Bahasa Daun dan Aksara Batak: Nama-Nama Jam, Hari dan Bulan dalam Satu Tahun di Toba
Bahasa dan aksara ada variasi di berbagai wilayah budaya di Tanah Batak. Ini mengindikasikan bahwa bahasa dan aksara di Angkola Mandailing, ada perbedaan dengan di Silindoeng Toba dan Tanah Karo. Demikian juga dalam hal penyebutan nama-nama waktu dalam penanggalan (bulan, hari dan jam).
Namun harus disadari bahasa dan penyebutan dalam perkembangannya
mengalami proses bahasa. Banyak kosa kata baru diadopsi, kosa kata
dikebelakangkan hanya digunakan terbatas dalam adat dan sastra, menjadi
(bahasa) arkais. Dalam Kamus Bahasa Angkola Mandailing karya HJ Eggink, 1936
yang ditemukan adalah (hari) Minggoe. Artinya, kosa kata minggu yang berasal
dari Portugis telah diadopsi dalam bahasa Angkola Mandailing.
Lantas sejak kapan nama-nama baru untuk waktu di Angkola Mandailing diadopsi? Nama-nama baru seperti hari (Senin, Selasa, dst), bulan (Januari, Februari, dst) tentulah masih baru: mungkin sejak era Pemerintah Hindia Belanda, atau paling awal pada era Portugis. Lalu bagaimana dengan nama-nama lama?
Seperti disebut di atas, di Angkola Mandailing membagi tahun menjadi 12
bulan, yang disebut pasada, padoea, patoloe, paopat, palima, paonom, papitoe,
pawaloe, pasambilan, pasapoeloe yang kemudian ditambahkan bulan ke-11 sebagai
dan bulan ke-12 sebagai hoeroeng. Pengertian “hoeroeng” (bahasa Melayu: kurung)
dalam hal ini adalah tutup atau kunci. Ini mengingatkan kita pada penamaan bulan
dalam kalender Eropa (Masehi) yakni bulan ke-7 (papitoe) dengan nama September
(dari kata septem?); bulan ke-8 (pawaloe) dengan nama Oktober (dari kata octo?);
bulan ke-9 (pasambilan) dengan nama November (dari kata novem?); bulan ke-10 (pasapoeloe)
dengan nama Desember (dari kata decem?). Lantas mengapa dalam penamaan kalender
bulan di Angkola Mandailing bulan ke-11 bukan dengan nama ‘pasapoeloe sada’ dan
bulan ke-12 bukan dengan nama ‘pasapoeloe dua’, melainkan dengan nama masing-masing
‘li’ dan ‘hoeroeng’?
Penamaan bulan telah bergeser dari penamaan awal sesuai urutan bilangan (1, 2, 3, 9, 10) yang awalnya satu tahun adalah 10 bulan menjadi 12 bulan dengan penambahan dua bulan. Dalam nama kalender Eropa/Masehi, nama-nama bulan September, Oktober, November dan Desember. Dengan merujuk pada susunan bilangan tersebut berarti bulan pertama kalender Eropa/Masehi adalah bulan Maret (unus). Dalam hal ini, penamaan bulan dalam bahasa Batak, setelah bulan ke-10 (pasapoeloe) ditambahkan dua nama bulan yakni li (ke-11) dan hoeroeng (ke-12) di akhir tahun; sementara penamaan bulan dalam kalender Eropa/Masehi di awal tahun ditambah duan ama bulan (Januari dan Fevbruari). Mengapa bisa demikian? Yang jelas penamaan bulan untuk kalender Eropa sudah dimulai sebelum Masehi.
Sebutan bilangan dalam bahasa Latin adalah seperti bilangan Romawi, yang
menggunakan huruf Latin sebagai simbolnya, misalnya I (satu), V (lima), X
(sepuluh). Bilangan pokok dalam Latin, yang disebut cardinalia numeralis,
antara lain adalah ūnus (satu), duo (dua), tres (tiga), quadra (empat), quinque
(lima), sex (enam), septem (tujuh), octō (delapan), novem (sembilan), dan decem
(sepuluh). Sebutan bilangan sebelas dalam bahasa Latin adalah ūndecim. Ini
berasal dari "ūnus" (satu) dan "decem" (sepuluh), yang secara
harfiah berarti "satu sebelum sepuluh" atau "satu kurang
sepuluh", karena bilangan Latin untuk 11-19 dibentuk dengan menjumlahkan
atau mengurangkan dari 10. Bandingkan dengan bahasa Batak: sada, dua tolu, opat,
lima, onom, pitu, walu, sia, sapulu, sapulu sada, sapulu dua dst.
Penamaan bulan tersebut menjadi menarik untuk membandingkan dengan bahasa-bahasa lainnya. Dalam bahasa Latin/Romawi untuk tahun Masehi bulan ke-10 menjadi Desember (bulan ke-12). Penanggalan pada bulan Eropa/Masehi tersebut mengindikasikan dimulai pada bulan Maret. Yang boleh jadi itu kurang lebih sama dalam kalender/bahasa Batak, sehingga li dan hoeroeng pada hematnya adalah bulan Januari dan bulan Februari. Dalam hal ini prinsip penamaan bulan dalam kalender Eropa/Masehi berdasarkan urutan penyebutan nama kurang lebih sama. Hanya saja pada kalender Eropa/Masehi untuk bulan 1-6 telah digantikan dengan nama-nama lain termasuk nama tokoh.
Nama bulan dalam kalender Arab (Hijriah) tampaknya mengikuti prinsip dan
sebutan dalam bahasa Latin/Romawi: Yanaa'ir (Januari); Fibraayir (Februari); Maaris
(Maret); Abril (April); Mayu (Mei); Yuniyu (Juni); Yuliyu (Juli); Agusṭus (Agustus);
September (September); Uktubar (Oktober); Nufambar (November); Disambar (Desember).
Sebutan bilang dalan bahasa Sanskerta adalah: 1 = eka; 2 = dwi; 3 = tri; 4 =
catur; 5 = pañca; 6 = sat; 7 = sapta; 8 = aṣṭha; 9 = nawa; 10 = daśa. Namun
dalam penyebutan bulan dalam bahasa Sankerrta (tahun Saka) yang disebut dimulai
pada tahun 78 Masehi adalah: 1 Cetramasa (Maret/April); 2 Wesakhamasa (April/Mei); 3 Jyesthamasa (Mei/Juni); 4 Asadhamasa (Juni/Juli); 5 Srawanamasa; 6 Bhadrawadamasa (Agustus/September); 7 Asujimasa (September/Oktober); 8 Kartikamasa (Oktober/November); 9 Margasiramasa (November/Desember); 10 Posyamasa (Desember/Januari); 11 Maghamasa (Januari/Februari); 12 Phalgunamasa (Februari/Maret).
Prinsip dan penyebutan nama bulan dalam bahasa Batak mirip dengan bahasa Latin/Romawi (sesuai penyebutan bilangan), tetapi tidak demikian dalam kalender Saka (Sanskerta). Sementara penyebutan nama hari dalam bahasa Batak mirip dengan bahasa Sanskerta. Bagaimana itu semua terjadi? Yang jelas pola penyebutan nama-nama bulan antara bahasa Batak dan bahasa Latin/Romawi kurang lebih sama (1-10), tetapi tidak untuk bulan ke-11 dan ke-12.
Dalam hubungan tersebut, sebutan bilangan menjadi salah satu pembeda
dalam berbagai bahasa. Bahasa Sanskerta adalah: 1 = eka; 2 = dwi; 3 = tri; 4 =
catur; 5 = pañca; 6 = sat; 7 = sapta; 8 = aṣṭha; 9 = nawa; 10 = daśa; Bahasa Latin/Romawi:
ūnus (satu), duo (dua), tres (tiga), quadra (empat), quinque (lima), sex
(enam), septem (tujuh), octō (delapan), novem (sembilan), dan decem (sepuluh). Bahasa
Batak: sada, dua tolu, opat, lima, onom, pitu, walu, sia, sapulu. Namun untuk
sebutan bilangan belasan Bahasa Batak adalah sapulu sada (11), sapulu dua (12),
dst. Sedangkan dalam bahasa Latin/Romawi 11 ūndecim (dari ūnus dan decem), duodecim
(dari duo dan decem) dan 13 adalah trēdecim (dari trēs dan decem). Sementara
bahasa Sanskerta: 11 adalah ekadasa (eka=1, dasa=10), 12 adalah dvasasa (dvi=2,
dasa=10), 13 adalah tridasa (tri=3, dasa=10). Dalam hal ini pola penyebutan
bilangan belasa bahasa Sanskerta dan bahasa Latin/Romawi kurang lebih sama,
tetapi berbeda dengan bahasa Batak. Pola penyebutan bilangan belasan bahasa
Batak mirip dengan bahasa Kazak, Uzbek, Mongolia, Tiongkok dan Jepang.
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar