Oleh Akhir
Matua Harahap*
***
Setiap
era, pers Indonesia mengikuti jamannya sendiri. Peran yang dimainkan juga
berbeda, karena perihal yang diperjuangkan juga berbeda. Nama medianya juga
berbeda-beda dengan mengikuti jamannya (lihat De nieuwsgier 17-02-1956: Van ‘het
terrein van de ambtenaar’ tot aan de ‘open ogen’ en ‘het Hiernamaals’). Karena
itu, peran dan fungsi masing-masing tiap era secara substansial tidak bisa
diperbandingkan. Yang bisa dipahami adalah bahwa antar era terdapat garis continuum,
yakni: melawan ketidakadilan yang menjadi esensi perjuangan pers Indonesia.
Sejarah
pers pribumi (baca: Indonesia) lahir di tengah-tengah pers Belanda (baca:
pemerintahan colonial). Pengertian pers dalam hal ini mengacu pada tiga
stakeholder: pembuat berita (wartawan, pemilik media dan percetakan), jenis
media (lembaran, majalah dan koran), dan pembaca (pribumi, asing, perempuan dan
golongan lainnya). Tiga stakeholder ini sebagai internal pers, dan stakeholder
yang lain (eksternal) adalah pemerintah (dalam arti institusi, pemerintah
colonial Belanda). Kronologis tiga tokoh pers ini disusun berdasarkan
sumber-sumber pemberitaan (koran-koran berbahasa Belanda) sejak 1883 hingga
1957.
Dja Endar Moeda: Editor Pribumi Pertama
(1897)
Dja
Endar Moeda lahir di tengah pers Belanda. Belum ada terdeteksi pers pribumi.
Dja Endar Moeda lahir di Padang Sidempoean, Residentie Tapanoeli 1861. Setelah tamat
pada sekolah guru (kweekschool) di Padang Sidempoean, Dja Endar Moeda diangkat
pemerintah sebagai guru pertama kali di Batahan, Natal tahun 1886. Guru ini
cukup cakap menulis dalam bahasa Belanda dan memiliki kecenderungan untuk
membangun (lihat Sumatra-courant: nieuws-en advertentieblad, 22-05-1886). Pada
tahun 1887 dilaporkan telah menjadi editor (jarak jauh) majalah Soeloeh
Pengadjar yang terbit di Probolinggo (majalah yang diprakarsai oleh direktur
Kweekschool Probolinggo).
Pada saat itu,
sekolah tinggi di Nederlansch Indie hanya ada dua jenis: sekolah guru
(kweekschool) dan sekolah kedokteran (docter djawa school). Sekolah kedokteran
hanya satu-satunya yang terdapat di Batavia, sedangkan sekolah guru terdapat di
beberapa tempat diantaranya di Probolinggo dan Padang Sidempoean. Dua sekolah
guru ini adalah yang terbaik (lihat Bataviaasch handelsblad, 30-06-1885).
Kweekschool Padang Sidempoean didirikan tahun 1879 dengan gurunya yang terkenal
Charles Adrian van Ophuijsen (berdinas sejak 1883 di Padang Sidempoean, selama
delapan tahun, lima tahun terakhir sebagai direktur sekolah). Dja Endar Moeda masuk
1882 (lulus 1885).
Dja
Endar Moeda karena ketiadaan buku pelajaran, juga menulis buku pelajaran buat
anak-anak didiknya. Sambil mengajar, Dja Endar Moeda menulis roman dan berbagai
artikel di Soeloeh Pengajar. Dja Endar Moeda berpindah tugas dari satu tempat
ke tempat lain, seperti Air Bangis, Singkel dan lainnya. Setelah selesai masa
berdinas (kebijakan pemerintah: delapan tahun), Dja Endar Moeda pension menjadi
guru dan mengeluti dunia penulisan: menulis roman dan menulis buku pelajaran
sekolah. Roman pertama Dja Endar Moeda yang diterbitkan adalah berjudul Hikajat
Tjinta Kasih Sajang (penerbit Otto Bäumer di Padang, 1895). Pada tahun 1897,
Dja Endar Moeda menawarkan roman keduanya kepada Percetakan Winkeltmaatschappij
(sebelumnya Paul Baiimer en Co). Judulnya Hikajat Dendam Ta' Soedah, Kalau Soedah
Merewan Hati. Percetakan Winkeltmaatschappij adalah penerbit koran berbahasa
Melayu di Padang bernama Pertja Barat. Editor Pertja Barat (orang Belanda)
menganggap romannya Dja Endar Moeda ini layak diterbitkan (lihat Sumatra-courant:
nieuws-en advertentieblad, 25-10-1897).
***
Dja
Endar Moeda tidak hanya sukses menjadi guru, juga sukses menjadi pengarang. Akhir
tahun 1897, adalah awal karir Dja Endar Moeda di bidang jurnalistik. Penerbit
Pertja Barat sebaliknya, justru diminta penerbit Pertja Barat untuk menjadi
editor. Dja Endar Moeda tidak menolak, karena Dja Endar Moeda juga pernah
menjadi editor majalah Soeloeh Pengajar. Sumatra-courant: nieuws-en
advertentieblad, 04-12-1897 memberitakan tentang diangkatnya Dja Endar Moeda
sebagai editor Pertja Barat.
Pers di
Nederlandsche Indie sebelum abad kesembilan belas didominasi oleh pers Belanda.
Tidak ada pers pribumi tetapi sudah ada pers Tionghoa. Pers Belanda merujuk
pada koran-koran terkenal, seperti: Java-bode: nieuws, handels-en
advertentieblad voor Nederlandsch-Indie (terbit 1859), Sumatra-courant:
nieuws-en advertentieblad (terbit 1862), De locomotief: Samarangsch handels-en
advertentie-blad (1872), Bataviaasch handelsblad (1859), dan lainnya. Semua
koran tersebut berbahasa Belanda. Pers Belanda juga berkembang dengan merambah
ke koran berbahasa Melayu, diantaranya: Pertja Barat.
Dja
Endar Moeda boleh jadi merupakan pribumi pertama yang diangkat sebagai editor
di lingkungan pers Belanda. Ini memang tidak lazim. Namun pers Belanda tentu
saja bermotif bisnis yang mengharapkan tiras yang tinggi agar pembaca semakin
meluas dan pendapatan semakin besar. Kebutuhan editor yang berkualitas dari
kalangan pribumi menjadi tidak terelakkan. Dja Endar memenuhi kualifikasi yang
diinginkan: selain mantan guru, penulis roman dan buku pelajaran juga sangat
piawai menulis dalam bahasa Belanda dan bahasa Melayu.
Sejak
Dja Endar Moeda menjadi editor Pertja Barat, koran Sumatra Courant dan koran
lainnya sering mengutip dan memberitakan kiprah Dja Endar Moeda karena
pemikirannya.
Sumatra-courant:
nieuws-en advertentieblad, 25-03-1898 memberitakan isi esai Dja Endar Moeda
mengusulkan di dalam korannya, Pertja Barat, menginginkan agar di sekolah
pribumi, bahasa pengantarnya adalah bahasa Melayu, bukan bahasa Belanda.
Alasannya adalah bahwa sangat sulit bagi pribumi untuk bisa berbahasa Belanda. Pernyataan
Dja Endar Moeda ini membuat petinggi di Batavia tersentak. Koran Sumatra
Courant juga memuat hasil wawancara korespondennya di Batavia yang menanyakan
langsung Menteri. Koresponden: ‘Apakah penggunaan bahasa kita (maksudnya
Belanda) dalam pendidikan akan dihentikan?”. Menteri menjawab: ‘Jangan sampai
terjadi, nanti tidak ada ajaran yang lebih mengikat seperti sebelumnya yang
terjadi di sekolah guru’.
Sumatra-courant:
nieuws- en advertentieblad, 15-11-1898 memberitakan Dja Endar Moeda yang
mengkritisi penghematan dan pemotongan anggaran pendidikan untuk
sekolah-sekolah pribumi (termasuk kweekschool). Koran Pertja Barat edisi
10-11-1898 sebagaimana dikutip Sumatra Courant, memberitakan pendapat Dja Endar
Moeda bahwa ‘Sepuluh tahun yang lalu, kondisi pantai barat begitu buruk, Deputi
Inspektur Pendidikan Pribumi Pantai Barat hanya digaji f 700 per bulan tetapi
harus bertanggungjawab juga untuk mengawasi sekolah-sekolah pribumi di Aceh dan
Benkoelen. Bahkan pada tahun 1887 kami tidak punya adjunt inspektur (pengawas
sekolah) dan Mr Grivel, hanya digaji f 500 per tahun. Sekarang, meski kita
memiliki inspektur di pantai barat dengan gaji f 900 dan wakil inspektur f700
per bulan, namun jumlah sekolah pribumi belum meningkat secara signifikan. Ini
berarti pemotongan anggaran pendidikan yang telah diputuskan pusat (Batavia)
akan lebih merepotkan dan membuat lebih buruk lagi pendidikan bagi pribumi.
Sumatra-courant:
nieuws-en advertentieblad, 28-02-1899 mengutip pernyataan goeroe Dja Endar
Moeda (koran ini masih memberi label kepada Dja Endar Moeda sebagai guru meski
bertindak sebagai jurnalis/editor), bahwa orang Melayu harus mengoreksi
kesalahan sendiri bangsanya, bagaimanapun, harus tetap ada keinginan untuk
bekerja di bidang pertanian, dan menunjuk ke jumlah berlatih pertanian oleh
orang lain (non Melayu) dan mendorong Melayu untuk mengikuti contoh itu.
De locomotief:
Samarangsch handels-en advertentie-blad, 02-05-1901 mengutip pernyataan Dja
Endar Moeda (yang disebut koran ini Dja Endar Moeda sudah memiliki beberapa
koran: Pertja Barat, Insulinde dan Tapian Noeli—memiliki banyak karyawan) di
Insulinde yang terbit edisi pertama bahwa diperlukan banyak media bagi bangsa
pribumi untuk memberikan atau pengetahuan pembacanya ide yang lebih baik untuk
berkenalan dengan isu-isu yang berbeda, tidak melulu dalam hal yang terjadi
dalam kehidupan sehari-hari semata.
De Sumatra post,
27-01-1903 mengutip pendapat Dja Endar Moeda bahwa pendidikan dasar anak
pribumi harus diperluas, kurikulumnya disesuaikan dengan sekolah-sekolah
Belanda/Eropa. Anak-anak pribumi juga memerlukan kemahiran berbahasa Inggris,
Aritmetika. Usul Dja Endar Moeda ini sudah pernah diutarakan kepada C.A. van
Ophuysen (mantan gurunya) yang sudah menjadi Inspektur Pendidikan Pribumi
Pantai Barat yang diteruskan ke Directeur voornoemd aangeboden lalu ke Gubernur
Jenderal di Padang dan ke Menteri Koloni di Batavia. Namun menurut Direktur
‘proposal’ Dja Endar Moeda itu diabaikan pusat dan kemungkinan hanya dapat
direalisasikan di empat tempat di Jawa saja. Menurut Direktur, Jawa masih pusat
perhatian pada bagian dari Pemerintah, dan wilayah kita (pantai barat) hanya
dianggap sebagai bagian luar saja. Bahkan menurut Direktur pusat masih
keberatan meski pelaksanaannya dilakukan satu di luar Jawa.
Dja
Endar Moeda memang pejuang pendidikan, perjuangannya tidak pernah luntur sejak
masih sekolah di Kweekschool Padang Sidempoean. Pada tahun tahun 1884, ketika
Dja Endar Moeda masih bersekolah di Kweekschool Padang Sidempoean telah melakukan
kebajikan mengumpulkan dana untuk disalurkan kepada orang-orang yang
membutuhkan di bidang pendidikan (lihat Sumatra Courant (01-05-1884). Dja Endar
Moeda sejak belia sudah menyadari arti penting sharing dan caring. Kini Dja
Endar tidak hanya telah menjadi guru juga berprofesi sebagai jurnalistik.
Dja
Endar Moeda, memang seorang nasionalis yang juga memperhatikan bangsanya
sendiri dari sukubangsa yang lain. Dja
Endar Moeda memang pendidik yang baik, meski dilakukan dengan pendekatan yang
berbeda. Dja Endar Moeda pernah megatakan sekolah dan media sama pentingnya. Dja
Endar Moeda adalah guru, jurnalis yang penuh ide: mengajar muridnya dan
membangkitkan pribumi agar lebih maju.
***
Dari
berita-berita di atas, tahun 1901 Dja Endar Moeda terindikasi sudah mengakuisi
koran Pertja Barat. Dengan demikian, Dja Endar Moeda sudah memiliki percetakan
dan koran. Itu tidak cukup seperti yang dikatakannya, perlu media lebih banyak
untuk pribumi, maka Dja Endar Moeda telah pula menerbitkan dua media lainnya di
bawah percetakannya yakni Insulinde (berbahasa Melayu terbit di Padang) dan
Tapian Na Oeli (bebahasa Batak di Sibolga). Percetakan ini tidak saja mencetak
koran-korannya tetapi juga menerbitkan buku-buku pelajaran yang pernah
ditulisnya. Besar kemungkinan Dja Endar telah membeli percetakan itu sejak
tahun 1900.
Sukses Dja Endar
Moeda dalam dunia pers pribumi bersumber dari dua sisi. Di satu sisi,
fortopolio Dja Endar Moeda sangat tinggi, selain memiliki tabungan, juga uang
pensiunan masih diterima, hak cipta buku pelajaran dan roman, juga gaji sebagai
editor. Karena itu, Dja Endar Moeda memiliki kemampuan financial untuk
mengakuisisi Pertja Barat beserta percetakannya. Di sisi yang lain, situasi dan
kondisi saat itu, di Sumatra’s Westkust (khususnya di Padang) investasi Belanda
(di bidang pers) telah mulai merosot sehubungan dengan pesatnya perkembangan
yang terjadi di Sumatra’s Ooskust (khususnya Medan). Pada tahun 1900 surat
kabar Sumatra Courant telah berhenti. Ini menjadi berkah buat Pertja Barat dan
tirasnya dengan sendirinya akan terdongkrak.
Boleh
jadi Dja Endar Moeda adalah pribumi pertama yang memiliki percetakan. Hal ini
karena karyanya sudah diterbitkan tahun 1900, yakni: Kitab Sariboe Pantoen: Ibarat
dan Taliboen, Volumes 1-2 (terbit 1900); Tapian na Oeli na pinararat ni Dja
Endar Moeda ni haroearkon ni toean (terbit 1900); Kitab boenga mawar:
pembatjaan bagi anak2 (terbit 1902); Kitab peladjaran bahasa Wolanda oentoek
anak anak baharoe moelai beladjar (terbit 1902); Hikajat sajang taq sajang:
riwajat Nona Geneveuva (terbit 1902); buku terkenal Riwajat Poelau Sumatra
(terbit 1903); Kitab edja dan pembatjaan oentoek anak anak jang baharoe
beladjar (terbit 1903); dan Kitab kesajangan: bergoena oentoek anak-anak jang
baharoe beladjar membatja hoeroef Belanda (terbit 1904).
***
Dja
Endar Moeda telah menjadi pribumi yang berhasil menjadi ‘konglomerat’ di bidang
bisnis media. Setidaknya di Padang, Dja Endar Moeda telah memiliki penerbitan
berbahasa Belanda (Bataviaasch nieuwsblad, 06-06-1905). Ini melengkapi dua
korannya yakni Pertja Barat dan Insulinde. Oleh karenanya, berbagai kemungkinan
bisa dating dari berbagai arah. Dja Endar Moeda telah menjadi pesaing bisnis
media Belanda. Dja Endar Moeda telah sejak lama ketidakadilan terjadi pada
pribumi. Kebutuhan untuk ‘menyerang’ kebijakan pemerintah mau tak mau harus dilaksanakan.
Sebaliknya, munculnya individu-individu yang berhasil dengan kesadaran
berbangsa yang tinggi dianggap telah menjadi duri dalam daging. Karena itu
kebijakan represif pemerintah mulai diterapkan. Di bidang pers, Dja Endar Moeda
menjadi salah satu sasaran. Editor Pertja Barat dituntut karena melakukan
pelanggaran pers. Inilah yang dialami oleh Dja Endar Moeda.
Het nieuws van
den dag voor Nederlandsch-Indië, 30-11-1905 memberitakan delik pers di Pengadilan Padang dimana dua orang redaktur dijatuhkan hukuman pada 24 Juli tahun ini. Koran ini menulis bahwa Si
Saleh galar Dja Endar Moeda, alias Hadji Mohd. Saleh, (menyebut nama Dja Endar
Moeda sebagai demikian) editor koran berbahasa Melayu ‘Pertja Barat’ dan ‘Sumatraasch
Nieuwsblad’ (berbahasa Belanda mendapat hukuman cambuk dan mengakibatkan
cedera. Sementara, K. Baumer, editor dan penerbit ‘Sumatra Bode (berbangsa
Belanda) hanya didenda f15.
Dja
Endar Moeda, guru, dan pejuang keadilan pendidikan, justru dihukum penguasa
secara tidak adil. Isu delik pers yang dialami Dja Endar Moeda menyangkut isu
pembunuhan yang melibatkan oknum pemerintah Belanda di Kajoe Tanam. Masalahnya
adalah Dja Endar Moeda dihukum (cambuk) sedangkan Baumer hanya didenda.
Diskriminasi tidak terelakkan, Dja Endar Moeda tak berdaya.
***
Dja
Endar Moeda merasa miris dengan diskriminasi ini. Hal ini dikaitkan dengan hubungan
baik Dja Endar Moeda dengan keluarga Baumer di Padang sudah terjadi sejak lama.
Roman pertama Dja Endar Moeda tahun 1895 diterbitkan oleh perusahaan ayah K.
Baumer yang bernama Otto Baumer. Untuk itu, Dja Endar Moeda menghentikan
kegiatannya di Padang. Dja Endar Moeda mendelegasikan koran Pertja Barat kepada
adiknya Dja Endar Bongsoe sebagai editor. Sedangkan koran Sumatraasch
Nieuwsblad dengan mengangkat editor baru bernama heer CA van Deutekom (lihat Het
nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 03-07-1906). Dja Endar Moeda bersiap-siap untuk mengasingkan diri dari Padang ke Tapanoeli dan Sumatra;s
Ooskust tempat dimana bisnis Dja Endar Moeda yang lain.
***
Di
Medan dan Sibolga, Dja Endar Moeda sudah lama membuka bisnis percetakan dan
menerbitkan surat kabar Sumatraasch Nieuwsblad. Percetakan Dja Endar Moeda di
Medan bahkan telah mendirikan klub sepakbola bernama Letterzetter Voetbal Club
(1903). Koran Dja Endar Moeda mendirikan klub sepakbola bernama Tapanoeli
Voetbal Club (lihat Sumatra post, 19-03-1906).
Kasus
delik pers kembali menimpa Dja Endar Moeda. Namun yang memiliki kasus bukan
dirinya, tetapi editornya CA van Deutekom. Kasus ini terjadi bulan September
1906. Setelah kasus delik pers yang kedua ini, Dja Endar Moeda menutup Sumatraasch
Nieuwsblad di Padang (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 25-03-1907) dan Dja Endar Moeda mulai mengembangkan bisnisnya ke Kotaradja dan menerbitkan surat kabar Pembrita Atjeh.
De Tijd:
godsdienstig-staatkundig dagblad, 02-08-1909 memberitakan bahwa Dja Endar
Moeda, editor koran ‘Pembrita Atjeh’ membantu seorang terdakwa secara hukum dan
bebas. Atas memberikan keterangan (saksi ahli) yang mewakili terdakwa dan sikap
adil, Dja Endar Moeda ditawari pemerintah f5000, melalui pengacara, tetapi Dja
Endar Moeda menolaknya. Dja Endar Moeda di Aceh berfungsi ganda: mencerdaskan
bangsa (Pembrita Atjeh) juga sekaligus membantu para terdakwa (pribumi maupun
asing) secara berkeadilan di muka hukum (saksi ahli).
Surat
kabar Dja Endar Moeda maju pesat di Kotaradja karena tidak ada saingan. Dja
Endar Moeda boleh dibilang adalah perintis surat kabar di Atjeh. Sementara di
Medan, Sumatraasch Nieuwsblad kalah bersaing dengan Deli Courant dan Sumatra
Post. Untuk koran berbahasa Melayu, Pertja Timor sulit tertandingi di Medan.
Akan tetapi sejak Pertja Timor tidak diasuh oleh editor Mangaradja Salamboewe,
koran bertiras tinggi ini mulai melorot. Dja Endar Moeda melihat peluang ini,
sementara Sumatraasch Nieuwsblad terus kalah bersaing. Akhirnya Dja Endar Moeda
menutup Sumatraasch Nieuwsblad dan menerbitkan Pewarta Deli (1910). Editor yang
diangkat Dja Endar Moeda adalah Panoesoenan gelar Soetan Sori Moeda.
Koran Pertja
Timor di Medan mulai mendapat saingan dengan terbitnya koran-koran berbahasa
Melayu lainnya. Koran Pertja Timor merasa perlu meningkatkan kualitas agar
tiras terdongkrak. Kini saatnya memerlukan editor yang berkualitas.
Kronologisnya mirip dengan koran Pertja Barat dulu. Kebetulan ada seorang
perantau baru tiba di Medan dan menganggur karena dipecat sebagai jaksa di
Natal (Tapanoeli). Mangaradja Salamboewe menjadi jaksa di Natal sejak 1897.
Perantau ini bernama Mangaradja Salamboewe. Anak seorang dokter di Mandheling
en Ankola ini dipecat karena desersi karena tidak tahan melihat ketidakadilan pemerintah
colonial dan terjun ke lapangan mengadvokasi masyarakat. Mangaradja Salamboewe tidak memusingkannya
dan malah senang (makin bebas untuk berjuang dengan rakyat).
Manajemen Pertja
Timor menawari Mangaradja Salamboewe posisi editor. Gayung bersambut, kedua
belah pihak saling membutuhkan. Terbukti dengan masuknya Mangaradja Salamboewe
(1903) tiras Pertja Timor naik pesat. Soal kepiawaian tidak kalah dengan Saleh
Harahap gelar (Mangara)Dja Endar Moeda di Pertja Barat, karena Abdul Hasan
Nasoetion gelar Mangaradja Salamboewe sama-sama alumni Kweekschool Padang
Sidempoean. Hanya saja, Mangaradja Salamboewe tidak menjadi guru tetapi menjadi
penulis di Kantor Residen di Sibolga sebelum diangkat menjadi jaksa. Kemampuan
menulis dan pengalaman di peradilan membuat Mangaradja Salamboewe menjadi
wartawan pribumi yang disegani.
Koran Sumtra
Post yang dikutip juga oleh Bataviaasch nieuwsblad mengakui bahwa Maharadja
Salamboewe memiliki keingintahuan yang tinggi, memiliki kemampuan jurnalistik
yang hebat. Koran ini juga mengakui bahwa Maharadja Salamboewe memiliki pena
yang tajam dan memiliki kemampuan menulis yang jauh lebih baik disbanding
wartawan-wartawan pribumi yang ada. Hebatnya lagi, masih pengakuan koran ini,
Maharadja Salamboewe selain sangat suka membela rakyat kecil, Maharadja
Salamboewe juga sering membela insane dunia jurnalistik baik wartawannya maupun
korannya. Kami juga respek terhadap dia, demikian diakui oleh koran Sumatra
Post yang juga diamini oleh Koran Bataviaasch nieuwsblad.
Mangaradja Salamboewe
tidak berumur panjang. De Sumatra post edisi 29-05-1908 memberitakan kematian
wartawan pemberani ini. Dalam berita koran ini, editor juga mengungkapkan rasa
duka cita yang dalam, karena Maharadja Salamboewe tidak hanya membela rakyatnya
tetapi juga dunia jurnalistik (yang sebagian besar wartawan pada waktu itu
berbagsa Belanda/Eropa). Editor ini melanjutkan bahwa "Di dalam seratoes orang pribumi tidak
ada satoe yang begitoe brani’. Saat mana
Maharadja Salamboewe di waktu pemakamannya hampir semua wartawan Medan hadir
termasuk yang berbangsa Belanda. Abdul Hasan gelar Maharadja Salamboewe
dimakamkan di tempat pemakaman Jalan Sungai Mati.
Pewarta
Deli akhirnya mendapat tempat di hati para pembaca di Medan dan Deli.
Panoesoenan mengikuti jejak seniornya Mangaradja Salamboewe dengan
menomorsatukan gaya kritis terhadap kebijakan pemerintah dan persoalan
ketidakadilan. Oleh karena terlalu kencang, Panoesonan hilang kendali di jalan
yang banyak rambu-rambu. Pada tahun 1915 Panoesoenan kena delik pers di pengadilan
Medan dan mendapat hukuman kurungan 14 hari. Posisi Panoesoenan digantikan oleh
Soetan Parlindoengan, seorang mantan jaksa. Kini pengasuh Pewarta Deli dipimpin
oleh seorang editor mantan jaksa, sebagaimana sebelumnya Pertja Timor yang
digawangi oleh Mangaradja Salamboewe, seorang mantan jaksa di Natal.
***
Dja
Endar Moeda memilih menetap di Kotaradja (Banda Aceh) karena dua alasan.
Pertama karena factor umur yang sudah mulai menua dan yang kedua posisi
strategis Kotaradja yang berada di tengah antara Sumatra’s Westkust dan
Sumatra’s Oostkust. Dengan berada di Kotaradja, Dja Endar Moeda lebih mudah
mengontrol bisnis persnya yang ada di Padang, Sibolga, Medan dan Kotaradja
sendiri. Dja Endar Moeda, ‘Radja Persuratkabaran Sumatra’ meninggal dunia tahun
1926 di Kotaradja.
Tirto Adhi Soerjo: Dipopulerkan oleh
Mas Marco Kartodikromo (1918) dan Disanjung Pramoedya Ananta Toer (1985)
Riwayat
awal Tirto Adhi Soerjo tidak terlalu dikenal. Namanya muncul pertamakali pada
tahun 1902. Disebutkan Tirto Adhi Soerjo adalah editor Pembrita Betawi, majalah yang
diterbitkan oleh firma Albrecht en Co, suatu perusahaan yang memiliki
percetakan dan toko (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 17-05-1902). Pimpinan Pembrita Betawi saat itu adalah Karel Wijbrands (juga pemilik Soerabaijasch handelsblad).
Pada tahun 1903
terbit majalah Pewarta Prijaji, suatu lembaran berbahasa Melayu yang ditujukan
untuk pejabat pribumi (lihat Soerabaijasch handelsblad, 09-12-1903). Lembaran untuk
para wedono ini merupakan jembatan antara orang-orang resmi dan pemerintah.
Kemudian
nama Tirto muncul kembali tahun 1904 yang mana disebutkan Tirto adalah editor
majalah Soenda Berita yang akan melakukan kerjasama dengan Koningin-Wilhelmina
School dimana siswa-siswa dengan berbagai topic dapat dimuat dalam Koran
tersebut (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 05-08-1904). Pada tahun ini juga muncul
nama Tirto untuk Soeloeh Keadilan.
Het nieuws van
den dag voor Nederlandsch-Indië, 12-09-1904: ‘Pangemanann, editor koran berbahasa Melayu, Kabar Perniagaan, dan RM
Tirto Adhi Soerjo, editor majalah berita berbahasa Melayu, Soenda Barita telah
menciptakan sebuah mingguan berbahasa Melayu untuk pendidikan hukum (Soeloeh
Keadilan).
Pada
tahun 1907 majalah baru (sejenis Pewarta Prijaji) diterbitkan dengan nama Medan
Prijaji. Majalah ini menjadi ‘komplemen’ dengan Pewarta Prijaji. Majalah
berbahasa Melayu ini adalah organ dari Boedi Oetomo dengan administrateur majalah,
Mas Arsad (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 26-09-1908). Sedangkan editornya
adalah Tirto yang kini Medan Prijaji jauh lebih populer daripada mantan Pewarta
Prijaji (Soerabaijasch handelsblad, 21-11-1908). Sementara itu, Pewarta Prijaji
yang kini diasuh oleh R. Sosro Danoe Koesoenio, sebagai editor yang baru sudah
khawatir atas keberlajutan Pewarta Prijaji dan lalu meminta subsidi pemerintah
untuk mempertahankan majalahnya (lihat Soerabaijasch handelsblad, 21-11-1908).
Het nieuws van
den dag voor Nederlandsch-Indië, 14-12-1908: ‘Berdasarkan Keputusan Pemerintah 10 Oktober 1908 diberikan
persetujuan untuk pendirian “Javasche Boekhandel
en drukkerij en Handel en Schrijfbehoeften Medan Prijaji” di Batavia’.
Medan
Prijaji cepat melejit ini juga terkait dengan semakin memudarnya Pewarta
Prijaji. Editor Tirto juga semakin dikenal secara luas karena berada di dalam
majalah yang menjadi organ BO. Tirto juga tampaknya semakin menjaga jarak
dengan pihak-pihak Belanda. Tirto mulai beraksi dengan pemberitaan yang lebih
kontras yang akhirnya editor Medan Prtijaji mendapat cobaan dengan karena melakukan
penghinaan.
Soerabaijasch
handelsblad, 19-12-1908: ‘Controleur A. Simon di Poerworedjo mengajukan keluhan
terhadap editor Medan Prijaji karena penghinaan. Simon menuduh Tirto Adisoerjo akan melakukannya kembali dalam edisi terbaru, dan
ini dianggap sebagai pelanggaran pers (delik pers). Sementara itu, seorang
perwira apribumi senior merasa bahwa tidak percaya bahwa wartawan ini melakukan
persdelicter, untuk memprovokasi agar majalahnya
dapat terangkat. Saya lebih melihat keberanian keyakinannya, sebagai penduduk pribumi
yang langka. Meskipun ia adalah pemimpin dari organ untuk sipil, dia tidak
ragu, bahwa hal itu ia melakukannya untuk kepentingan alasan si kecil. Terhadap
wartawan tersebut, bagi pembaca, itu hanya mustahil untuk menyerahkan tuduhan’.
Tirto
juga merupakan editor dari majalah Pentjaran Warta. Majalah ini adalah milik HM
van Dorp en Co. Sebagaimana diberitakan dalam Java Bode (12 Augs 1909) yang
dikutip oleh Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 18-08-1909 bahwa Raden Mas Tirto Adhisoerjo telah mengundurkan diri sebagai editor Pantjaran Warta. Pengunduran diri ini terkait dengan undangan ke Belanda. Raden Mas Tirto
Adhisoerjo di Belanda tak lama. Berapa lama akan ia tinggal di sana, belum
diketahui.
Het nieuws van
den dag voor Nederlandsch-Indië, 18-08-1909 juga mengutip berita resmi keadilan, Selasa 5 Oktober 1909 dari Dewan Kehakiman di sini bahwa Raden Mas
Tirto Adhisoerjo, berusia 31 tahun, lahir di Blora, editor dan co-penerbit majalah
mingguan berbahasa Melayu, Medan Prijaji, bertempat tinggal di Bogor telah
diadili. Ia telah menulis artikel berjudul "Betapa Satoe pertoeloengan di ertikan"
dan ditandatangani TAS, muncul pada halaman 245 dan halaman 249 vau Batavia
melalui mngguan Medan Prijaji edisi Juni 1908 No 24, dimana artikel itu dengan
maksud untuk Administrasi Internal Poerworedjo A. Simon untuk mencaci, setelah
semua, untuk membawa dia menghina dengan menyebut ini "ingus-monyet dari aspirant
controller". Daftar saksi menyebutkan empat orang. "Bagaimana bisa
ingus-kera disebut Petinggi di Jawa?” Dan mungkin Anda menggunakan kata yang
sama terhadap Pangeran? Mr. Tirto akan memberikan informasi berharga di Den
Haag tentang hal itu!’.
Setelah
Tirto pulang dari Negeri Belanda, proses delik persnya terus berlangsung. Di
pengadilan dinyatakan bersalah dan harus dihukum. Tirto setelah habis
masa hukumannya diasingkan ke Lampung.
Het nieuws van
den dag voor Nederlandsch-Indië, 19-05-1910: ‘Editor dari Medan Prijaji, Raden Mas Tirto adi soerjo yang karena pelanggaran pers diasingkan ke Telok Betong, pergi kemarin sore karena
berakhirnya hukumannya oleh Laurens Pit rumah perbudakan oleh ratusan pribumi
dan Cina. The sekoci yang ia pergi untuk naik, indah dihiasi, semua simpati ini
untuk apa RM Tirto lakukan untuk orang kecil’. [Setelah sekian bulan diasingkan
ke Lampong, Tirto kembali ke Batavia]. Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 22-09-1910:
‘Kapal s.s. Carpentier 22 September 1910 dari Palembang via Muntok ke Batavia
(dengan penumpang diantaranya) RM Tirto Adhi Soerjo’.
Setelah
dari pengasingan, Tirto kembali ke Batavia dan mulai aktif kembali dengan Medan
Prijaji. Pada tahu 1911 Tirto berpolemik dengan pengurus Sarikat Militer Boemi
Poetra. Kemudian tahun 1912 TAS, editor Medan Prijaji dan kawan-kawan
berpolemik (delik pers) dengan Bataviaasch Nieuwsblad. Tirto dan kawan-kawan dihukum
penjara tetapi menebus dengan uang. Editor Soeara Keadillan (penerbit Fortnnadrukkerij).
Berpoelmik kembali dengan DD dari Bat.NBL.
Het nieuws van
den dag voor Nederlandsch-Indië, 21-10-1912: ‘Tanggal 29 Oktober Alasan Mas Tirto Adhisoerjo, 32 tahun, redaktur profesional koran Melayu Prijaji Medan, Bandung, akan diadili sehubungan
percetakan-pelanggaran. Terdakwa adalah pada tahun 1909 juga pernah dihukum
karena kejahatan tersebut dilarang selama dua bulan’.
Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 20-12-1912: ‘Setelah diadakan penelitian pada Audiensi Publik requireerde keyakinan Jaksa terdakwa Raden Mas Tirto Adhisoerjo melakukan fitnah di dalam korannya
yang didistribusikan terhadap dua
pegawai negeri sipil, yang dilakukan berulang-ulang dan dengan alas an ini
untuk hukuman empat bulan pemberhentian ke tempat pengasingan. Pernyataan
sekitar 8 hari’.
Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 27-12-1912: ‘Dengan keputusan Dewan Kehakiman di sini, adalah penyebab Raden
Mas Tirto Adhisoerjo, editor koran berbahasa Melayu, Medan Prijaji, bersalah
pencemaran nama baik dengan menggunakan cetak didistribusikan dilakukan
berulang kali dan karena itu mengutuk hukuman enam bulan pemberhentian dengan tempat pengasingan dan biaya
proses’.
Tirto berjuang hanya efektif sejak 1910 dan
1912. Sejak akhir tahun 1912 kabar berita Tirto tidak pernah terdengar. Setelah kasus yang
menimpanya (delik pers), Tirto Adhi Soerjo, juga soal perdata dengan para
kreditornya semakin merperburuk hal yang
harus dihadapi olehnya. Tirto Adhi Soerjo hidupnya boleh jadi menjadi tidak
menentu, karena asetnya di Medan Prijaji terus tersandera dan boleh jadi harus
dijual untuk menebus para kreditor. Tirto Adhi Soerjo tidak diketahui entah
dimana, ketika dikabarkan saudaranya tengah (Dr. Goenawan) mencarinya tahun
1914. Hanya istrinya tinggal sendiri di Buitenzorg.
Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 05-02-1914: „Prins" Tirtoadhisoerüo, de man van de beruchte Medan Prijaji-geschiedenis — een „intellectueel inlander" —is zoek.
Zijn familieleden hebben alles in het werk gesteld om den aan lager wal
geraakten edelman op te sporen — men zegt om hem aan een betrekking bij het
Gouvernement te helpen — doch alles is vruchteloos. Men weet alleen, dat zijn vrouw op Buitenzorg
de huishouding nog staande tracht te houden, maar van den „prins" zelf
valt naar de Pr. Bode meldt, zelfs geen oude troempa te bekennen’.
Ketika Tirto Adhi Soerjo dikabarkan telah meninggal dunia di Batavia tanggal 7 Desember 1918, nama Tirto Adhi Soerjo muncul kembali di Djawi Hiswara dalam bentuk artikel obituari yang ditulis oleh Mas Marco Kartodikromo sebagaimana disalin kembali oleh Pramoedya Ananta Toer dalam buku roman sejarahnya. Pramoedya Ananta Toer punya kepentingan dalam hal penulisan buku tersebut sebagaimana disebutnya dalam lembar persembahan 'sebagai mata kenangan pada Blora tempat kelahiran Sang Pemula'. Sekadar untuk diketahui Tirto dan Pram sama-sama lahir di Blora. Mas Marco sendiri adalah mantan anak buah Tirto Adhi Soerjo, sehingga terkesan Mas Marco dan Pram sangat menyanjung Tirto Adhi Soerjo, tetapi, sangat disayangkan sumber mereka sangat terbatas atau sengaja dibatasi (?), sehingga nama Tirto Adhi Soerjo muncul sendiri di atas permukaan, sementara nama Dja Endar Moeda, De Pionier, tenggelam atau ditenggelamkan (?).
***
Mungkin
anda tidak akan membayangkan bahwa Medan Prijaji akan berhenti secepat itu, dan
mungkin anda tidak membayangkan Tirto Adhi Soerjo tersandera kasus perdata, lalu aset harus dijual dan
jug mungkin anda tidak membayangkan siapa yang akan 'membeli' nama Medan Prijaji ini. Yang
membeli nama itu untuk sekadar diketahui diantaranya adalah anak-anak Padang Sidempoean, alumni STOVIA
yang kini (1915) berada di Medan.
Sumatera post, 18-01-1915:
‘Dalam pertemuan terakhir pengurus Medan Prijaji terpilih. Hal ini terdiri
sebagai berikut: Abdul Rashid, Inlandsch arts, Presiden, J. Salim sebagai Wakil
Presiden, Mohd Yusuf, kepala sekolah sebagai sekretaris-1, Harazah sebagai skretaris-2, St. Guru, sebagai
bendahara. Anggota komisaris terdiri Baginda Djoendjoengan, Dt. Raja Angat,
Sjamsoeddin, Dt. Noordin, ARC Salim dan Abd.
Wahab Siregar.
Dr.
Abdoel Rasjid adalah alumni STOVIA. Anak Padang Sidempoean lainnya yang seangkatan dengan Dr. Abdul Rasjid adalah Dr.
Radjamin Nasoetion. Dr. Abdoel Rasjid dan Dr. Radjamin Nasoetion berkawan baik
dengan Dr. Soetomo, baik selama kuliah maupun sesudahnya. Dr. Abdoel Rasjid
setelah beberapa tahun di Medan ditugaskan ke Padang Sidempoean sebagai petugas
kesehatan. Setelah pension berdinas Dr. Abdoel Rasjid tetap menetap di Padang Sidempoean (afdeeling Mandheling
en Ankola) dan tahun 1931 diusulkan oleh warga Padang Sidempoean untuk menjadi anggota Volksraad di Batavia. Dr.
Abdoel Rasjid berhasil mengalahkan incumbent Dr. Alimoesa yang periode sebelumnya terpilih
menjadi anggota Volksraad mewakili Residentie Tapanoeli [wakil Volkraad dari
Oost Sumatra dua periode adalah Mangaradja
Soangkoepon].
Dr. Alimoesa Harahap adalah anggota Volksraad pribumi pertama dari ‘dapil’ Noord Sumatra (Residentie Tapanoeli dan Residenti Atjeh) sebagaimana diberitakan Bataviaasch nieuwsblad, 18-01-1927. Beberapa bulan kemudian baru menyusul wakil dari ‘dapil’ Oost Sumatra (Province Sumatra’s Oostkust) yang dimedangkan oleh Abdoel Firman Siregar gelar Mangaradja Soangkoepon. Alimoesa bertarung sangat ketat di ‘final’ sedangkan Mangaradja Soengkoepon tanpa ‘lawan tanding’. Pesaing kuat di final Dr. Alimoesa (yang berdinas di Pematang Siantar) adalah Alinoedin Siregar gelar Radja Enda Boemi. Saat itu, Radja Enda Boemi menjabat ketua pengadilan di Buitenzorg. Mr. Radja Enda Boemi, PhD adalah ahli hokum pertama orang Batak, meraih gelar PhD di Universiteit Leiden tahun 1925. Sementara Mangaradja Soangkoepon adalah alumni dari Negeri Belanda yang masuk kuliah tahun 1910 (Soetan Casajangan masuk tahun 1905 dan disusul Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia tahun 1911). Pada periode berikutnya (1931). Anggota Volksraad terpilih adalah Dr. Abdul Rasjid (Residentie Tapanoeli) setelah berhasil mengalahkan Dr. Alimoesa dan Mangaradja Soangkoepan kembali meraih suara dan melenggang ke Pejambon (kini Senayan) untuk yang kedua kali. Pada periode berikutnya (1935) Dr. Abdoel Rasjid bertarung kembali dengan Dr. Alimoesa, pemenangnya adalah Dr. Abdul Rasjid. Untuk wilayah Sumatra Timur pemenangnya adalah Mangaradja Soangkoepan. Ini berarti Abdul Rasjid anggota Volksraad dua kali, sementara Mangaradja Soangkoepon tiga kali. Satu lagi anak Padang Sidempoean yang menjadi anggota Volksraad adalah Soetan Goenoeng Moelia yang baru beberapa tahun pulang studi dari negeri Belanda dengan meraih gelar PhD di bidang pendidikan tahun 1930. Soetan Goenoeng Moelia adalah anggota Volksraad yang ditunjuk (mewakili Batavia). Soetan Goenoeng Moelia adalah saudara sepupu Mr. Amir Sjarifoedin Harahap. Pada periode ketiga ini masih ada lagi satu lagi yakni Dr. Radjamin Nasoetion mewakili Oost Java (sebagai anggota pengganti) yang saat itu menjabat sebagai wethouder (angggota senior dewan kota Soerabaija).
Dr. Radjamin Nasoetion pernah ditempatkan di Medan,
lalu berpindah-pindah tugas hingga akhirnya ditempatkan di Soerabaija. Dr.
Radjamin Nasoetion terpilih menjadi anggota dewan kota Soerabaija dan pada masa
pendudukan Jepang diangkat sebagai walikota Soerabaija hingga masa republic. Dr.
Radjamin Nasoetion adalah walikota peribumi pertama Kota Surabaya.
Dja Endar Moeda, Kakek Pers Nasional vs Tirto Adhi Soerjo, Anak Pers Nasional
Tirto
Adhi Soerjo lahir 1880 di Blora, Dja Endar Moeda pada tahun yang sama (1880)
sudah memasuki sekolah guru (kweekschool) di Padang Sidempoean. Kemudian, ketika
Tirto berada di sekolah kedokteran (Docter Djawa School) antara 1894-1900, Dja
Endar Moeda sudah memiliki koran Pertja Barat (berbahasa Melayu) dan juga telah
memiliki percetakan.
Tirto
tidak berhasil menyelesaikan studinya (dropp-out) di Dokter Djawa School. Tampaknya
Tirto tidak berani pulang kampong dan lalu Tirto mulai mencari pekerjaan dan meniti
karir di bidang pers (1902) dengan jabatan asisten editor di Pembrita Betawi (penerbit/percetakan firma Albrecht en Co.) di Batavia. Pada tahun
1902 ini, Dja Endar Moeda sudah memiliki dua lagi media: majalah Insulinde
(bahasa Melayu) tahun 1901 dan majalah Tapian Na Oeli (bahasa Batak) tahun 1902.
Ini berarti, Dja Endar Moeda telah memiliki tiga media plus sebuah percetakan
ketika Tirto memulai karir jurnalistik sebagai editor penerbit/percetakan Firma
Albrecht en Co milik wartawan kawakan Karel Wijbrands.
Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 27-11-1902 |
Anak-anak
Afdeeling Padang Sidempoen (Residentie Tapanoeli) sesungguhnya dapat dikatakan pionir
dalam soal pendidikan (pengajaran, penulisan dan jurnalistik) di Nedelandsche Indie (Hindia
Belanda). Dja Endar Moeda lahir di lingkungan penduduk yang memiliki tradisi
menulis. Kemampuan menulis Dja Endar Moeda tentu saja dibangun oleh genetic dan
lingkungan alamiah. Kemampuan menulis Dja Endar Moeda semakin berkembang ketika
‘kuliah’ di Kweekschool Padang Sidempoean, apalagi diasuh oleh guru terkenal,
Charles Adrian van Ophuijsen.Untuk sekedar diketahui, Dr. Harun Al Rasjid, alumni STOVIA (lulus 1902) adalah menantu Dja Endar Moeda. Ada dua cucu Dja Endar Moeda (anak dari Harun Al Rasjid Nasoetion dan Alimatoe Sadiah Harahap) yang sangat terkenal: (1) Dr. Ida Loemongga, perempuan pertama pribumi yang bergelar doktor (PhD) yang lulus dari Universiteit Leiden tahun 1932. (2) Mr. Gele Harun, seorang advocat di Lampung, lulusan Universiteit Leiden tahun 1938. Kelak, nama Gele Harun dikenal sebagai pejuang Lampung yang menjadi residen pertama Lampung (kini tengah diusulkan menjadi Pahlawan Nasional).
Siswa Docter Djawa School yang pertama asal luar Djawa (1854) |
Dr. Asta adalah ayah dari Mangaradja Salamboewe, editor Pertja Timor, editor pribumi pertama di Medan (1903-1908). Adik kelas Si Asta dan Si Angan bernama Si Sati yang memiliki kemampuan linguistic yang baik memilih studi ke Belanda untuk mendapatkan akte guru. Pada tahun 1857 Si Sati berangkat ke Negeri Belanda dan selesai tahun 1861 dan lalu mendirikan sekolah guru (kweekschool) di Tanobato. Si Sati yang kemudian dikenal sebagai Willem Iskander adalah pribumi pertama yang studi ke negeri Belanda. Willem Iskander menulis buku ketika masih studi di Negeri Belanda. Buku yang dihasilkan Willem Iskander berjudul ‘Boekoe Parsipodaon di Dakdanak di Sikola’ yang diterbitkan pertama kali 1862. Ini satu bukti ada gunanya Willem Iskander studi jauh ke Negeri Belanda. Buku ini merupakan buku pelajaran sekolah yang pertama ditulis oleh pribumi Willem Iskander meninggal 1876 diantara sejumlah bukunya yang diterbitkan di Batavia, buku hasil karya Willem Iskander yang sangat terkenal adalah berjudul ‘Si-Boeloes-boeloes, Si-Roemboek-roemboek: Boekoe basaon’ diterbitkan pertama kali di Batavia oleh Landsdrukkerij (Percetakan Negara) tahun 1872 (buku ini di Tapanuli Selatan hingga ini hari masih dibaca anak-anak sekolah). Anak-anak didiknya lulusan Kweekschool Tanobato juga menjadi guru-guru yang berprestasi yang aktif menulis buku-buku pelajaran yang diterbitkan di Batavia, seperti: Dja Sian, Soetan Koelipa dan Dja Rendo. ‘Boekoe etongan Mandailing etongan ni dakdanak di medja. Batavia, 1868; Si Mangantar gelar Radja Baginda. ‘On ma barita tingon binatang-binatang bahatna lima poeloe pitoe. Batavia, 1868. Pada tahun 1875 Kweekschool Tanobato ditutup dan digantikan sekolah guru yang lebih besar di Padang Sidempoean tahun 1879. Alumni dua kweekschool ini mengisi kebutuhan guru hingga ke Riouw dan Singkel. Di Tapanoeli sendiri pada tahun 1892, terdapat 18 sekolah negeri dimana 15 buah berada di Padang Sidempoean dan sekitarnya (afdeeling Mandheling en Ankola).
Dja Endar Moeda lahir dan tumbuh di lingkungan tradisi baca tulis di Afdeeling Mandheling en Ankola. Sudah
barang tentu kemampuan menulis Dja Endar Moeda jauh lebih baik dibanding Tirto
Adhi Soerjo (minimal menang dalam pengalaman). Dja Endar Moeda tidak hanya
seorang guru, tetapi juga menulis buku-buku pelajaran sekolah. Guru-guru asal Padang
Sidempoean juga sangat mahir menulis buku sastra seperti ‘mahaguru’ Willem
Iskander yang menulis kumpulan prosa (Si-Boeloes-boeloes, Si-Roemboek-roemboek).
Dja Endar Moeda juga penulis roman yang produktif sebelum terjun ke dunia
jurnalistik.
Dalam dunia pers, bobot tema perjuangan Dja
Endar Moeda jauh lebih kuat dibandingkan dengan Tirto Adhi Soerjo. Perkara
pertama yang menimpa dirinya dalam delik pers yang dikenakan adalah pasal
penghinaan, yang mana Tirto Adhi Soerjo di dalam Medan Prijaji edisi Juni 1908
No 24 menyebut wakil controleur Poerwedadi sebagai "ingus-monyet dari
aspirant controller" (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 18-08-1909). Kemudian kasus yang kedua menimpa Tirto Adhi Soerjo adalah juga pasal finah yang mana Adhisoerjo melakukan fitnah
di dalam korannya terhadap dua pegawai negeri sipil yang mengakibatkan dirinya
dapat hukuman empat bulan pemberhentian ke tempat pengasingan (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 20-12-1912).
Hal penghinaan dan fitnah bukanlah esensi
perjuangan pers pribumi. Kalau ada kesalahan kutip atau interpretasi adalah
lumrah bagi seorang jurnalistik dan manusiawi. Tetapi jika menghina dan
menfitnah itu namanya bukan menghadapi risiko, tetapi membuat konyol. Coba kita
bandingkan dengan tema-tema yang diajukan Dja Endar Moeda sehingga isinya
dimuat koran-koran Eropa/Belanda. Jangan lupa, Dja Endar Moeda adalah pendidik
dan mantan guru yang terus peduli bangsanya. Mari kita simak kiprahnya di dunia
pendidikan dan jurnalistik, sebagaimana dikatakannya pendidikan dan pers sama pentingnya
(lihat lampiran di bawah).
Parada Harahap, The King of Java Press: Cucu Pers Nasional
Parada
Harahap lahir tahun 1899 setelah Dja Endar Moeda diangkat menjadi editor Pertja
Barat (1897). Ketika bisnis media Dja Endar Moeda bertebaran di Sumatra
(Padang, Sibolga, Medan dan Kotaradja) dan Tirto Adhi Soerjo sudah tidak
memiliki media lagi (setelah skandal kreditor pada Medan Prijaji), pada tahun
1914 Parada Harahap merantau ke Deli dan bekerja sebagai krani di perusahaan
perkebunan. Selama bekerja Parada Harahap memimpin majalan bulan untuk para
karyawan yang diberi nama De Cranie.
Parada
Harahap tidak tahan melihat kekejaman di perkebunan (poenale sanctie), Parada
Harahap membongkar kasus poenali sanctie dan mengirimkan laporannya ke koran Benih
Mardeka (1917). Karena namanya ketahuan lalu Parada Harahap dipecat dan
kemudian bergabung dengan koran yang dimpimpin Mohamad Samin itu tahun 1918 lalu
diangkat menjadi editor. Mohamad Samin adalah pemilik Benih Mardeka dan juga pimpinan
Sarikat Islam di Deli.
Pada
tahun 1918 Benih Mardeka dituntut karena alasan delik pers dalam hal poenale
sanctie. Namun di pengadilan tidak terbukti. Mohamad Samin dan Parada Harahap
aman. Namun Momahamd Samin dikejar dalam kasus perdata. Akhirnya Benih Mardeka
ditutup dan Mohamad Samin dihukum. Lalu Parada Harahap pulang kampong ke Padang
Sidempoean dan bekerjasama dengan Mangaradja Goenoeng untuk menerbitkan koran
baru bernama Sinar Merdeka. Parada Harahap di Padang Sidempoean menjadi editor
untuk dua koran, selain Sinar Merdeka juga untuk koran Poestaha.
Koran Poestaha
terbit pertamakali tahun 1915. Koran ini adalah koran pertama di Padang
Sidempoean. Poestaha diterbitkan oleh Soetan Casajangan, seorang guru di Fort
de Kock yang baru pulang studi dari negeri Belanda (1914). Soetan Casajangan
adalah mantan guru, alumni Kweekschool Padang Sidempoean yang berangkat ke
Belanda tahun 1905. Soetan Casajangan adalah mahasiswa kedua pribumi yang studi
di negeri Belanda. Setelah ada mahasiswa sekitar 20an orang, Soetan Casajangan
mendirikan Perhimpunan Pelajar (Indische Vereeniging) pada tahun 1908.
Organiasi pelajar ini kemudian tahun 1920an diubah oleh M. Hatta dan
kawan-kawan menjadi Persatuan Pelajar Indonesia (PPI). Koran Poestaha ini melengkapi
Koran Tapian Na Oeli di Sibolga milik Dja Endar Moeda.
Surat kabar militan di Indonesia hanya ada di Padang Sidempuan (1919) |
***
Parada
Harahap tahun 1922 hijrah ke Batavia. Tirto Adhi Soerjo sudah lama tiada,
meninggal tanggal 17 Desember 1918. Parada Harahap, awalnya merintis karir
sebagai wartawan Neratja dan Siang Po lalu Parada Harahap bersama Wage Rudolf
Supratman mendirikan kantor berita Alpena (kantor berita pribumi pertama). Pada
tahun 1923 Parada Harahap bersama Dr. Abdoel Rivai menerbitkan Bintang Hindia
dimana Parada Harahap bertindak sebagai editor. Parada Harahap semakin berkibar. Parada Harahap pergaulannya semakin meluas.
Parada Harahap sebelum hijrah ke Batavia (di Sibolga) adalah pimpinan
Soematranen Bond dibawah bimbingan tokoh kharismatik, Abdoel Karim (Harahap),
alumni Dokter Djawa School, teman sepergaulan Tirto Adhi Soerjo. Parada Harahap
adalah pimpinan Sumatranen Bond wakil dari Tapanoeli di Batavia. Parada Harahap
mendirikan klub sepakbola yang disebut Bataksch Voetbal Club.
Bataviaasch
nieuwsblad, 13-01-1925 (De Indische Associatie Vereeniging): ‘Kemarin malam di
Oost-Java Restaurant een diadakan pertemuan yang mengumpulkan asosiasi-asosiasi
di Nederlandsch Indie. Di dalam pertemuan ini dibicarakan AD/ART program dan
struktur kepengerusan. Program meliputi kegiatan poolitik yang sehat, pengembangan
pendidikan, pelatihan kejuruan sesuai dengan prinsip-prinsip dasar. Disamping
itu untuk mempromosikan tingkat kesehatan, kesejahteraan, hubungan keuangan
Negara dengan daerah dan lainnya. Kepengurusan: voorzitter, PJA Maltimo,
secretaris Tb van Nitterlk, penningmeester, Mohamad Djamli, commissarissen:
Parada Harahap, Raden Goenawan, Oey Kim Koel, JK Panggabean, Pb. J.Krancber en
A. Cbatib’.
Asosiasi-asisiasi
ini terdiri dari berbagai perkumpulan yang masih primordial (ras, etnik dan
golongan seperti agama). Himpunan asosiasi ini sebelumnya belum pernah ada. Ide
ini boleh jadi muncul karena semakin banyaknya perhimpunan (Vereeniging atau
bond) yang muncul di Batavia. Dalam kepengurusan ini Parada Harahap dan JK
Panggabean mewakili Sumatranen Bond. Raden Goenawan dalam hal ini mewakili
Boedi Oetomo. Raden Goenawan adalah alumni Dokter Djawa School, saudara kandung
Tirto Adhi Soerjo.
***
Selama
ini pers Eropa/Belanda terbilang non partisan. Tapi kini ada suara miring kalau
tidak bisa dibilang menyesatkan dan membahayakan yang muncul dari Soerabaija
HBL (Belanda). Artikel yang dimuat di SHBL yang bernada fascism ditujukan
kepada aktivis pergerakan dan pers pribumi. Penulis artikel tersebut adalah Karel
Wijbrands yang dulu adalah bosnya Tirto Adhi Soejo di Pembrita Betawi ketika
memulai karir sebagai wartawan (1902).Tidak ada yang merespon. Lalu Parada
Harahap menyerang balik. Ini tidak sulit bagi Parada Harahap untuk bertarung,
melawan pemerintahan yang lalim saja Parada Harahap berani menunjuk hidungnya
langsung. Parada Harahap tidak ambil diam, lalu bereaksi dengan menulis di Java
Bode, milik sobatnya dari pers Tionghoa untuk melawan pers Belanda dengan judul
Kranten en Klanten (lihat De Indische courant, 17-09-1925).
Parada
Harahap adalah sosok wartawan pribumi yang tiada takutnya. Keberaniannya adalah
keberanian moral yang didukung kemampuan intelektual serta ditunjang dengan
keberanian psikis dan fisik (berani menggulung lengan baju). Namun, itu baru
dilakukan jika semua kebajikan telah dijalankan tetapi tetap buntu. Pengalaman
delik pers Parada Harahap membuat dirinya makin matang dan lebih arif, tidak
tergesa-gesa. Atas kepiawaian Parada Harahap, pers Eropa/Belanda
mengapresiasinya sebagai wartawan terbaik.
De Sumatra post,
29-09-1925: ‘Bataksche Voetbal Club di Batavia dalam pertandingan hari Sabtu di
lapangan Decapark dalam perebutan piala (beker) bertandin melawan tim lainnya,
yang dipimpin oleh Parada Harahap, seorang wartawan terkenal dari Batak’.
Parada
Harahap telah melakukan semua yang harusnya dilakukan oleh seorang wartawan,
mulai dari membongkar kasus kekejaman, menulis ketidakadilan, dan mampu
berpolemik dengan wartawan senior Belanda. Dalam keseharian Parada Harahap
aktif berorganisasi, mendirikan klub sepakbola dan menulis buku. Bukunya yang
pertama berjudul ‘Dari pantai kepantai: Perdjalanan ke Soematra’. Buku ini
terbit tahun 1926. Hampir tidak ada wartawan yang menulis buku, tetapi Parada
Harahap mampu melakukannnya. Ini sebuah prestasi jurnalistik, suatu upaya
jurnalistik dalam sisi pembangunan. Hal serupa ini sudah pernah dilakukan
seniornya Dja Endar Moeda pada tahun 1903 dengan menerbitkan buku berjudul Riwajat
Poelau Sumatra. Buku perdana Parada Harahap ini seakan pengganti obituary kepada
Dja Endar Moeda yang kebetulan pada tahun ini (1926) dikabarkan telah meninggal
dunia di Kotaradja (Banda Aceh).
Pada
tahun 1926 bagi Parada Harahap adalah tahun suka dan duka. Parada Harahap
berduka karena seniornya, dongan sahuta; Dja Endar Moeda meninggal dunia dalam
usia 65 tahun. Dja Endar Moeda telah berkiprah di bidang pers selama 29 tahun
(Tirto Adhi Soerjo hanya 12 tahun). Dja Endar Moeda telah tiada tetapi karyanya
masih tetap dapat dibaca. Jumlah karya Dja Endar Moeda dalam bentuk buku
pelajaran dan buku roman banyaknya 10 buah.
Dja Endar Moeda adalah
pribumi pertama yang dapat diidentifikasi sebagai editor surat kabar Pertja
Barat (1897). Editor berikutnya adalah Tirto Adhi Soerjo (Pembrita Betawi,
1902); Mangaradja Salamboewe (Pertja Timor, 1903) dan Pangemanann (Kabar
Perniagaan, 1903).
Parada
Harahap bersuka, tidak hanya buku perdananya diterbitkan, juga Parada Harahap
telah berhasil membangun bisnis baru, yakni menerbitkan koran baru bernama
Bintang Timoer. Koran ini juga disertai suplemen dengan bahasa Belanda agar
dapat dibaca orang-orang Eropa/Belanda. Ini tidak lazim, tapi ini suatu
prestasi pers pribumi dengan mengambil segmen pembaca asing. Hal serupa ini
sebelumnya telah dilakukan oleh Dja Endar Moeda tahun 1905 dengan menerbitkan koran
berbahasa Belanda: Sumatraasch Nieuwsblad (di Padang dan Medan). Riwayat sukses Parada Harahap, selanjutnya dapat dibaca pada link ini: http://akhirmh.blogspot.com/2015/06/sejarah-marah-halim-cup-15-pers-dan.html
Parada Harahap Paling Terkenal, Dja
Endar Moeda Mengapa Dikesampingkan dalam Sejarah Pers Indonesia
Sejarah
pers mulai dicatat. Siapa yang mencatat?
Yang jelas catatan yang terdapat dalam koran De nieuwsgier edisi
17-02-1956 adalah yang pertama coba merangkum perjalanan pers nasional.
Apa
itu nasional? Seharusnya mencakup semua warga Negara yang mengakui RI sebagai
negaranya. Warga yang tidak mengakui akan dipisahkan sebagai warga Negara
asing. Pengakuan Belanda terhadap kedaulatan RI, berarti memisahkan siapa yang
menjadi bagian nasional dan siapa yang dianggap sebagai asing.
Sebelum
pengakuan kedaulatan RI, pers di bumi nusantara terdiri dari berbagai bangsa.
Bangsa Eropa/Belanda, Bangsa Non Eropa (umumnya Asia) dan Bangsa Pribumi
(terdiri dari berbagai suku bangsa atau etnik). Bangsa pribumi haruslah
mendapat hak pertama dalam menerima semua yang menjadi haknya. Dalam soal pers
nasional, orang-orang pribumi harus ditempatkan sebagai daftar. Kemudian
nama-nama yang terdapat dalam daftar harus dipilah dan dipilih sesuai dengan
criteria pada kategori yang tersedia. Pembangun pers dan perjuangan pers harus
dibedakan. Pembangunan pers belum tentu ikut dalam perjuangan pers. Tetapi
pejuang pers sudah dengan sendirinya adalah pembangun pers nasional.
Pembangunan pers dan perjuangan pers harus dibatasi sebagaimana dalam ruang
lingkup tujuan Negara RI yang terdapat dalam mukadimah dan pasal demi pasal UUD
1945.
Namun
persoalan yang tersisa: Mengapa Dja Endar Moeda dengan korannya Pertja Barat
tidak diapresiasi sepantasnya? Dja Endar Moeda tidak tertulis namanya di
Piramida tertinggi, bahkan di dasar piramida juga kagak tercantum. Apakah
penulisnya kekurangan data dan informasi? Atau penulis memiliki definisi
sendiri sesukanya atau memang sengaja ditenggelamkan agar bagian yang lain
muncul ke permukaan? Padahal catatan tentang Dja Endar Moeda bertabur di
koran-koran secara kasat mata sejak 1884.
Catatan
sejarah pers Dja Endar Moeda bermula dari Pertja Barat, koran berbahasa Melayu
yang sudah terbit sejak 1892 dan diakuisisi oleh Dja Endar Moeda (mantan guru,
pengarang roman dan penulis buku pelajaran sekolah) dan pemilik percetakan
pertama dari golongan pribumi. Dja Endar Moeda (Harahap) tidak hanya memiliki
koran Pertja Barat dan Insulinde di Padang, tetapi juga menerbitkan koran di
Padang Sidempoean dan Sibolga serta di Medan dan Kotaradja (Banda Aceh).
Dja
Endar Moeda tidak hanya menerbitkan koran berbahasa Melayu dan berbahasa Batak,
juga Dja Endar Moeda menerbitkan koran Sumatraasch Nieuwsblad berbahasa
Belanda. Dja Endar Moeda adalah Radja Persuratkbaran di Sumatra [sementara
radja persuratkabaran di Jawa adalah Parada Harahap: The King of Java Press].
Sudah seharusnya pada peringkat pertama sejarah pers bangsa Indonesia adalah
Saleh gelar (Mangara)Dja Endar Moeda dan Parada Harahap pada peringkat kedua.
Semboyan koran Dja Endar Moeda baik di Pertja Barat maupun Pewarta Deli sama persis: 'Organ Boeat Segala
Bangsa'.
Koran
Pertja Barat dan Pewarta Deli jelas-jelas bukan ditujukan kepada orang-orang
Tapanoeli, tetapi buat untuk segala bangsa (nasional). Untuk orang Tapanoeli
sendiri, yang belum semua bisa berbahasa Melayu, Dja Endar Moeda secara khusus
menyediakan majalah yang diberi nama Tapian Naoeli. Dan Koran Pertja Barat dan
Pewarta Deli sesuai semboyannya buat segala bangsa, maka Dja Endar Moeda harus
dipandang sebagai tokoh nasional. Yakni tokoh yang paling awal di negeri ini
untuk merintis pers nasional. Karena itu, Dja Endar Moeda haruslah selalu
dipandang sebagai De Pionier.
Bagaimana
dengan Tirto Adhi Soerjo? Hanya berkiprah dalam dunia pers dalam beberapa tahun
saja. Riwayatnya juga tidak terlalu dikenal. ‘Tentang Tirto ini sampai sekarang
sangat sedikit yang diketahui, meskipun ia dianggap di masa sekarang Indonesia
sebagai ‘Bapak Pers Nasional’ (De waarheid, 04-03-1989). Pada tahun 1973,
pemerintah menabalkan Tirto Adhi Soerjo sebagai Bapak Pers Nasional. Nama Tirto
melejit saat mana Pramoedya Ananta Toer menggambarkan kiprah Tirto sebagai ‘De
Pionier’ sebagai tokoh Minke dalam novel Rumah Kaca (terbit 1988).
Dikatakan
dalam biografi Tirto oleh Pramoedya Ananta Toer, Pada tahun 1894 empat belas
tahun Tirto pindah ke Batavia untuk studi kedokteran (School tot opleiding van
Inlandse Artsen/STOVIA) di Batavia dan keluar tahun 1900 dan mencari pekerjaan
menjadi editor Pembrita Betawi. Penulisan ini juga tidak tepat, karena nama
STOVIA juga baru muncul tahun 1898 dan alumninya hingga tahun 1902 semuanya
masih disebut Dokter Djawa (dokter djawa school). Nama Tirto Adhi Soerjo sejak
1894 hingga 1900 di dalam daftar nama-nama siswa Dokter Djawa School tidak
terdeteksi. Juga tidak terdeteksi dengan nama Djokomono (nama kecil Tirto Adhi Soerjo). Apakah ada nama alias atau hanya rekaan Pramoedya Ananta Toer? Mungkin diperlukan 'mesin pencari' yang lebih canggih?
Keutamaan
Tirto Adhi Soerjo hanya satu, semboyan koran Medan Prijaji: ‘SOEARA bagai sekalian Radja-radja, Bangsawan
asali dan fikiran, Prijaji dan saudagar Boemipoetra dan officier-officier serta
saudagar-saudagar dari bangsa jang terprentah laenja jang dipersamakan dengan
Anaknegri, di seloeroeh Hindia Olanda’ (lihat https://archive.org). Frase ‘bangsa
jang terprentah’ membedakan dengan semboyan Koran pribumi utama sebelumnya, seperti
Pertja Barat (1900) semboyannya memang masih bersifat umum: Organ Boeat Segala Bangsa.Koran lainnya milik Dja Endar Moeda yang terbit tahun 1910 semboyannya sama dengan Pertja Barat: Organ Oentoek Segala Bangsa. Bisa diartikan 'segala bangsa' sesungguhnya berarti 'segala suku bangsa' (karena koran pribumi berbahasa Melayu). Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya hanya menyebut Tirto Adhi Soerjo yang mampu menciptakan berita, yang lain disebut kerjanya yang pokok baru mengutip dan menyalin dari pers putih (Belanda). Pram keliru besar, justru Dja Endar Moeda sangat piawai menciptakan apa yang harus diberitakan. Malah sebaliknya, pendapat Dja Endar Moeda (di dalam Pertja Barat maupun wawancara langsung) yang dikutip pers Belanda (putih). Bukti-buktinya disarikan dalam lampiran di bawah artikel ini. Pendapat Tirto Adhi Soerjo (di Medan Prijaji maupun wawancara) belum ditemukan yang dikutip oleh pers putih (Belanda). Pram memutarbalikkan fakta.
Semboyan
Medan Prijaji segera hilang tajinya jika
dibandingkan dengan semboyan Benih Mardeka. Koran yang digawangi oleh Parada
Harahap tahun 1918 ini memiliki semboyan yang lebih eksplisit: Organ Oentoek Menoentoet Kemerdekaan. Semboyan
koran Parada Harahap di Padang Sidempoean bernama Sinar Merdeka memiliki
semboyan: Organ Oentoek Kemadjoean Bangsa
dan Tanah Air. Parada
Harahap dengan korannya Sinar Merdeka namanya saja sudah mengindikasikan tujuan
kemerdekaan sedangkan semboyannya dalam rangka buat pribumi yang memiliki tanah
air warisan kakekmoyang agar maju. Sangat lengkap dan eksplisit.
Parada Harahap dalam urusan menciptakan berita yang kritis bukanlah jago kandang. Parada Harahap adalah satu-satunya wartawan di masanya (yang pertama) yang berani beropini di dalam pers Belanda dengan menyerang balik Karel Wijbrands (pemilik Soerabaijasch handelsblad) dengan menulis artikel berjudul Kranten en Klanten di Java Bode, Semarang (lihat De Indische courant, 17-09-1925). Karel Wijbrands adalah bos Tirto Adhi Soerjo dulu di Pembrita Betawi. Pram menyebut Karel Wijbrands sebagai guru Tirto Adhi Soerjo. Dja Endar Moeda beropini dengan wartawan Belanda di Sumatra Courant tahun 1899 dalam kasus transvaal (bantuan orang-orang Belanda terhadap golongan putih de Boer di Afrika, sementara di Nederlandsch Indie, pribumi dilanda kemiskinan). Ini juga berarti Dja Endar Moeda adalah pribumi pertama yang mampu beropini (polemik) di dalam pers Balanda. Singkat fakta: semua perihal awal pers dan perjuangannya adalah milik dan hak Dja Endar Moeda, bukan milik Tirto Adhi Soerjo sebagaimana dipahami selama ini..
Debat Dja Endar Moeda di Sumatra Courant, 1899 |
Dja Endar Moeda dihukum cambuk karena delik pers di
Padang (1905) dan diminta meninggalkan Padang dan merantau ke Medan. Sementara
Tirto Adhi Soerjo karena delik pers juga dihukum dan setelah masa tahanan
selesai diasingkan ke Lampong (1910). Tirto kembali ke Batavia setelah empat
bulan. Parada Harahap dengan dalih delik pers pemerintah colonial, 101 kali dipanggil
pengadilan untuk sidang meja hijau dan belasan kali masuk penjara.Dja Endar Moeda adalah wartawan pribumi pertama yang menghadapi risiko pers di era kolonial dan Parada Harahap yang terbanyak.
Dengan demikian, antara visi Dja Endar Moeda,
Tirto Adhi Soerjo dan Parada Harahap terdapat garis continuum. Setiap era, pers
Indonesia mengikuti jamannya sendiri. Peran yang dimainkan juga berbeda, karena
perihal yang diperjuangkan juga berbeda. Nama medianya juga berbeda-beda dengan
mengikuti jamannya (lihat De nieuwsgier 17-02-1956: Van ‘het terrein van de
ambtenaar’ tot aan de ‘open ogen’ en ‘het Hiernamaals’). Karena itu, peran dan
fungsi masing-masing tiap era secara substansial tidak bisa diperbandingkan.
Yang bisa dipahami adalah bahwa antar era terdapat garis continuum, yakni:
melawan ketidakadilan yang menjadi esensi perjuangan pers Indonesia. Jika
begitu adanya maka pioneer pers nasional adalah Dja Endar Moeda sebagai kakek,
Tirto Adhi Soerjo sebagai anak, dan Parada Harahap sebagai cucu pers nasional. Ketiga tokoh pers nasional ini sesungguhnya adalah Bapak Pers Indonesia dijamannya. Dja Endar Moeda, Bapak Pers Nasional di Sumatra dan Tirto Adhi Soerjo, Bapak Pers Nasional di Djawa. Sedangkan Parada Harahap, Bapak Pers Nasional, tidak hanya di Djawa (sebagai The King of Java Press) juga di Sumatra, di Kalimantan, di Sulawesi, di Maluku, di Nusa Tenggara, di Papua dan bahkan di bunia pers internasional setidaknya di Asia Tenggara kala itu (sebagai wartawan terbaik versi pers Eropa/Belanda). Berikut
profil tiga tokoh pers nasional tersebut.
Profil Tiga
Tokoh Pers Nasional
|
|||
Uraian
|
Dja Endar
Moeda
|
Tirto Adhi
Soerjo
|
Parada Harahap
|
Lahir
|
1861
|
1880
|
1859
|
Pendidikan
|
Kweekschool (1880-lulus 1884)
|
Docter Djawa School (1894-tidak
selesai)
|
Sekolah Rakyat (1906, sekolah 3 tahun)
|
Pengalaman kerja
|
Guru di berbagai tempat
|
-
|
Juru tulis di perusahaan
perkebunan
|
Mulai menulis
|
1887
(Soeloeh Pengajar)
|
1897
|
1916
(De Cranie)
|
Mulai editor koran
|
1897
Pertja Barat
|
1902
Pembrita Betawi
|
1918
Benih Mardeka
|
Koran utama (mulai)
|
Pertja Barat (1900), Pembrita Atjeh
(1909) dan Pewarta Deli (1910)
|
Medan Prijaji (1907)
|
Sinar Merdeka (1919), Bintang Hindia
(1923), Bintang Timoer (1930), Tjaja Timoer (1938), Java Bode (1950)
|
Jumlah
editor media
|
8
|
4
|
20
|
Jumlah
pemilikan media
|
8
|
1
|
15
|
Jumlah
media bahasa asing
|
2
|
-
|
3
|
Jumlah
delik pers
|
2
|
2
|
101
|
Pemilikan
media (mulai)
|
1900
|
1907
|
1919
|
Pemilikan
percetakan (mulai)
|
1900
|
1908
|
1930
|
Prestasi/julukan
|
Raja Persuratkabaran Sumatra
|
-
|
Wartawan terbaik versi Jurnalistik
Eropa/Belanda
The King of Java Press
|
Lama
di dunia pers (tahun)
|
29
|
12
|
41
|
Wilayah
jurnalistik
|
Padang, Sibolga, Medan dan Banda Aceh
|
Batavia, Tjiandjoer, Bandoeng
|
Medan, Padang Sidempoean, Sibolga,
Batavia, Bandoeng, Semarang, Soerabaija, Bukittting, dan Makassar
|
Jumlah
karya (buku)
|
10
|
0
|
13
|
Meninggal
|
1926
|
1918
|
1959
|
Masa hidup (tahun)
|
65
|
38
|
60
|
Aktivitas lain
|
Penulis buku pelajaran dan pengarang
novel, pemimpin jamaah haji
|
-
|
Penulis buku umum, penulis scenario
film, dosen, pejabat pemerintah
|
Organisasi
|
Insulinde
|
Sarikat Islam
|
Sekretaris PPPKI dan Anggota BPUPKI
|
Pionir
|
Jurnalistik pribumi
|
-
|
Pendiri sarikat wartawan, pendiri
kadin, pendiri akademi jurnalistik, pendiri kopertis, pemulis repelita
|
Penghargaan
pemerintah
|
-
|
Bapak Pers Nasional
(1973); Pahlawan Nasional (2006)
|
Bintang Mahaputra Utama
(1992)
|
Keluarga
|
Cucu: Dr. Ida Loemongga, PhD, perempuan pribumi pertama
bergelar PhD di bidang kedokteran (1932); Mr. Gele Haroen, Resident pertama Lampung
|
-
|
Anak: Mr. Aida Dalkit, Perempuan pertama ahli hukum di
Sumatra (1957)
|
***
Sehubungan
dengan penobatan Tirto Adhi Soerjo sebagai Bapak Pers Indonesia dan pemberian
gelar Pahlawan Nasional, saya tidak dalam rangka menggugat Tirto Adhi Soerjo.
Itu urusan para wartawan. Saya hanya ingin menarik perbandingan antara
ketiganya. Yang dalam hal ini ada dua hal pokok, yakni: pertama, jika Tirto Adhi Soerjo dianggap sebagai Bapak Pers
Nasional, seharusnya Dja Endar Moeda harus dinobatkan sebagai Kakek Pers
Nasional. Kenyataannya, terbukti, Tirto Adhi Soerjo yang lebih muda tidak ada apa-apanya
jika dibandingkan dengan Dja Endar Moeda yang lebih tua. Dja Endar Moeda adalah
De Pionier Pers Indonesia, yang lain berada dibelakangnya. Sumbangan Dja Endar
Moeda dalam pembangunan (pendidikan, pers dan pembangunan ekonomi) jauh lebih
baik dari Tirto Adhi Soerjo.
Kedua,
jika Tirto Adhi Soerjo diberi gelar Pahlawan Nasional, seharusnya Parada
Harahap juga sepatutnya diberi gelar Pahlawan Nasional. Parada Harahap jauh
melampaui prestasi perjuangan pers yang dilakukan oleh Tirto Adhi Soerjo dan
sangat jauh di depan prestasi pembangunan yang dilakukan oleh Parada Harahap.
Adalah
hutang seluruh rakyat Indonesia jika Parada Harahap tidak kunjung tiba untuk
mendapat gelar Pahlawan Nasional. Rakyat Indonesia tidak harus menunggu
keluarga (cucu dan cicitnya) untuk mengusulkannya. Ini tugas kita bersama,
utamanya para wartawan.
Sakti Alamsjah, Cicit Pers Nasional: Pendiri
Surat Kabar Pikiran Rakyat Bandung
Sebelum
kemerdekaan RI, ratusan insan pers Padang Sidempoean yang bermarkas di Batavia
dan sekitarnya. Pada tahun 1925 ada sekitar 700 wartawan Sumatra di Batavia (De
Indische courant, 23-12-1925). Lebih dari separuh berasal dari Tapanoeli. Jumlahnya
semakin bertambah hingga jelang kemerdekaan dan umumnya mereka berasal dari
Padang Sidempoean, antara lain: Adam Malik, Sakti Alamsjah, Mochtar Loebis.
Namun diantara mereka tokoh pers asal Padang Sidempoean yang cukup menonjol
adalah Sakti Alamsjah (Siregar).
.
Ringkasan
Kronologis: Tiga Tokoh Pers Indonesia
|
|||
Tahun
|
Dja Endar
Moeda
|
Tirto Adhi
Soerjo
|
Parada Harahap
|
1861
|
Lahir
di Padang Sidempoean
|
||
1879
|
Masuk
Kweekschool Padang Sidempoen, lulus tahun 1884
|
||
1880
|
Lahir
di Blora
|
||
1886
|
Diangkat
menjadi guru di Batahan, Natal.
|
||
1887
|
Editor majalah Soeloeh Pengadjar (terbit di
Probolinggo)
|
||
1894
|
Masuk
STOVIA?
|
||
1895
|
Roman
Hikajat Tjinta Kasih Sajang (penerbit Otto Bäumer di Padang, 1895)
|
||
1897
|
Menulis
roman berjudul: ‘Hikayat Dendam taq Soedah Kalau Soedah Menawan Hati’
|
||
1897
|
Bulan
November diangkat menjadi editor Pertja Barat di Padang
|
||
1899
|
Lahir
di Padang Sidempoean
|
||
1900
|
Mengakuisisi
(membeli) Pertja Barat
|
||
1900
|
Membeli
Percetakan Winkeltmaatschappij (sebelumnya Paul Baumer en Co)
|
||
1901
|
Menerbitkan
majalah Insulende.
Menerbitkan majalah Tapian Na Oeli |
||
1902
|
Diangkat
sebagai Editor Pembrita Betawi (penerbit/percetakan firma Albrecht en Co pimpinan Karel
Wijbrands)
|
||
1903
|
Membuka
percetakan di Medan dan membentuk klub sepakbola ‘Letterzetters Voetbal Club’
|
Asisten
Editor Soenda Berita
|
|
1904
|
Berkunjung
ke Bintang Hindia di Amsterdam (kerjasama media)
|
Soenda
Berita (bekerja sama dengan Koningin- Wilhelmina School)
|
|
1905
|
Menerbitkan
surat kabar berbahasa Belanda Sumatraasch Nieuwsblad di Padang
|
||
1905
|
Didakwa dengan delik pers dan dihukum
cambuk
|
||
1906
|
Menerbitkan
surat kabar berbahasa Belanda Sumatraasch Nieuwsblad di Medan
|
Menikah
dengan putri Fatimah, anak dari Sultan Batjan di Batjan 8 Februari 1906
[15-03-1906 kembali ke Batavia]
|
Masuk
sekolah rakyat tiga tahun
|
1907
|
Editornya
Sumatraasch Nieuwsblad di Padang Mr C. van Deutekom didakwa dengan delik pers
|
Menerbitkan
Medan Prijaji di Buitenzorg dan kemudian ke Bandoeng
|
|
1908
|
Editor
majalah bulanan militer (penerbit firma VA van der Ilucht & Co)
|
||
1909
|
Menerbitkan
koran Pembrita Atjeh di Kotaradja (Banda Aceh)
|
Editor
Pentjaran Warta (orgaan voor Boedi Oetomo, afdeeling Batavia). Pada tahun ini
BO, Pentjaran Warta dan TAS berpolemik dengan Douwes Dekker, editor Bataviaasch
NBL
|
|
1910
|
Menerbitkan
koran Pewarta Deli di Medan
|
Mei, diasingkan ke Lampong setelah habis
masa hukuman dan September kembali ke Batavia.
|
|
1911
|
Berpolemik
dengan pengurus Sarikat Militer Boemi Poetra
|
||
1912
|
Editor
Soeara Keadilan (penerbit Fortnnadrukkerij). Berpolemik kembali dengan DD
dari Bat.NBL.
|
||
TAS,
editor Medan Prijaji tersandung delik pers, dihukum penjara dan diasingkan.
|
|||
1914
|
Direktur
dan editor NV Medan Prijaji bermasalah
dengan para kreditornya. Medan Prijaji dijual
|
Merantau
ke Deli
|
|
1915
|
Medan
Prijaji diterbitkan di kota Medan oleh anak-anak Padang Sidempoean
|
Editor
majalah De Cranie
|
|
1917
|
Membongkar
kasus poenali sanctie di perkebunan
|
||
1918
|
Meninggal dunia pada 17 Agustus 1918 di
Batavia
|
Editor
Benih Mardeka di Medan
|
|
1919
|
Menerbitkan
Sinar Merdeka di Padang Sidempoan dan merangkap editor Poestaha Padang
Sidempoan (terbit sejak 1915)
|
||
1922
|
Masuk
organisasi pergerakan pemuda dan politik
|
||
1923
|
Hijrah
ke Batavia dan Editor Bintang Hindia
|
||
1926
|
Meninggal dunia di Kotaradja (Banda Aceh)
1926
|
||
1959
|
Meniggal dunia di Jakarta 11 Mei 1959
|
||
1965
|
Pramoedya
Ananta Toer (1965-1979) menulis
biografi TAS dan menyebutnya 'De Pionier’
|
||
1973
|
Diangkat
pemerintah sebagai Bapak Pers Nasional. Makamnya dipindahkan ke Bogor
|
||
1992
|
Dianugerahi
tanda kehormatan Bintang Mahaputra Utama (Kepres No. 48 Tahun 1992).
|
||
2006
|
Dianugerahi
sebagai Pahlawan Nasional (Keppres RI no 85/TK/2006)
|
||
2015
|
Diapresisi
sebagai Kakek Pers Nasional di Blog ini
|
||
Karya
|
Karya
|
Karya
|
|
· Dja Endar
Moeda. ‘Hikajat tjinta kasih sajang’. Otto Bäumer, 1895
· Dja Endar
Moeda. ‘Hikajat dendam ta' soedah: kalau soedah merewan hati’. 1897.
· Dja Endar
Moeda. ‘Kitab sariboe pantoen: ibarat dan taliboen, Volumes 1-2’. Insulinde,
1900.
· Dja Endar
Moeda, L.J.W. Stritzko. ‘Tapian na Oeli na pinararat ni Dja Endar Moeda ni
haroearkon ni toean’. 1900.
· Dja Endar
Moeda. ‘Kitab boenga mawar: pembatjaan bagi anak2’. Insulinde, 1902.
· Dja Endar
Moeda. ‘Kitab peladjaran bahasa Wolanda oentoek anak anak baharoe moelai
beladjar’. 1902.
· Dja Endar
Moeda. ‘Hikajat sajang taq sajang: riwajat Nona Geneveuva ...’ 1902
· Dja Endar
Moeda. ‘Riwajat Poelau Sumatra’. 1903.
· Dja Endar
Moeda. ‘Kitab edja dan pembatjaan oentoek anak anak jang baharoe beladjar’.
1903.
· Dja Endar
Moeda, dan Djamaloedin (Baginda). ‘Kitab kesajangan: bergoena oentoek
anak-anak jang baharoe beladjar membatja hoeroef Belanda’. 1904.
|
Tidak ada
|
· Melati van
Agam (Swan Pen, pseud. van Parada Harahap). 1923.
· Dari pantai
kepantai: Perdjalanan ke Soematra October-Dec. 1925 dan Maart-April 1926
(Parada Harahap). Bintang Hindia. 1926.
· Menoedjoe
matahari terbit: perdjalanan ke Djepang November 1933 - Januari 1934 (Parada
Harahap). Bintang Hindia. 1934.
· Riwajat Dr
Abdul Rivai (Parada Harahap). Handel Mij Indische Drukkerij. 1939.
· Pers dan
journalistiek (Parada Harahap). Handel Mij. Indische Drukkerij. 1941.
· Vietnam
merdeka! (Parada Harahap). Usaha Penerbit Tintamas. 1948.
· Sa’at
Bersedjarah: Ichtisar dan Pemandangan jang Didapat dari Persidangan Komite
Nasional Indonesia Pusat, Dilangsungkan di Malang pada Tanggal 25 Februari
sampai 5 Maret 1947 (Parada Harahap). Djakarta: NV Gapura. 1951.
· Kedudukan pers
dalam masjarakat (Parada Harahap). 1951.
· Ilmu
Djoernalistik (Parada Harahap). Djakarta: Akademi Wartawan. 1952.
· Indonesia
Sekarang (Parada Harahap). Bulan Bintang. 1952.
· Toradja
(Parada Harahap). N.V. Penerbitan. 1952.
· Serba sedikit
tentang ilmu pers (Parada Harahap). Akademi Wartawan. 1952.
· Industri Eropa
dan five year plan (rentjana lima tahun) pembangunan Indonesia (Parada
Harahap). Beringin Trading Company. 1957.
|
Dja Endar Moeda Dalam Berita: Berjuang Untuk Rakyat dan
Menyatukan Penduduk Pribumi
Pada masa sekolah: Membantu pendidikan orang miskin
Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad, 01-05-1884:
‘Ada dua anak murid Kweekschool Padang Sidempuoen yang bernama Si Saleh dan Si
Doepang melakukan kebajikan mengumpulkan dana untuk membantu orang yang
membutuhkan pendidikan’.
Setelah menjadi guru: Menulis buku sendiri untuk muridnya
Sumatra-courant: nieuws-en advertentieblad, 22-05-1886:
‘Si Saleh, galar Raja Endar Moeda, saat ini berada di Batahan, terpencil dan
hidup kesepian. Dia adalah salah satu guru lulusan dari Kweekschool Padang
Sidempoean yang diangkat dengan gaji f75 plus f25 untuk perumahan. Sekolah
makin memburuk, siswa hanya enam orang paling banyak 10 murid. Namun guru ini
cukup cakap menulis dalam bahasa Belanda dan memiliki kecenderungan untuk
membangun namun tidak memiliki buku dan fasilitas yang sangat minim. Dia
melakukannya sendiri’.
Sebagai pengarang: Diapresiasi oleh orang Belanda
Sumatra-courant: nieuws-en advertentieblad, 25-10-1897:
‘Percetakan Winkeltmaatschappij (sebelumnya Paul Baumer & Co) menerima
sebuah buku kecil yang ditulis tangan terampil dari Dja Endar Moeda. Editor
Pertja Barat, Penerbit Winkeltmaatschappij menganggap buku itu layak. Kami
tidak ragu bahwa isi dan ruang lingkup cerita juga akan memenuhi tuntutan layak
terbi’.
Ketika Dja Endar Moeda menjadi editor
Mendorong rakyat bangkit dari keterpurukan, melakukan apa
yang bisa dilakukan
Sumatra-courant : nieuws- en advertentieblad, 30-12-1897:
‘Pertja Barat (Dja Endar Moeda) meminta rakyat berhenti meratapi kemerosotan
dan kesulitan untuk menemukan mata pencaharian bagi penduduk. Guru ini
berteriak untuk mengolah sumber daya yang lebih baik agar dapat menemukan
nafkah’.
Usul mengutamakan bahasa Melayu dalam pendidikan
Sumatra-courant: nieuws-en advertentieblad, 25-03-1898:
‘Dja Endar Moeda mengusulkan di dalam korannya, Pertja Barat, menginginkan agar
di sekolah pribumi, bahasa pengantarnya adalah bahasa Melayu, bukan bahasa
Belanda. Alasannya adalah bahwa sangat sulit bagi pribumi untuk bisa berbahasa
Belanda’. [Pernyataan Dja Endar Moeda ini membuat petinggi di Batavia
tersentak. Koran ini juga memuat hasil wawancara korespondennya di Batavia yang
menanyakan langsung Menteri Penididikan]. (Koresponden): ‘Apakah penggunaan
bahasa kita (maksudnya Belanda) dalam pendidikan akan dihentikan?”. Menteri
menjawab: ‘Jangan sampai terjadi, nanti tidak ada ajaran yang lebih mengikat
seperti sebelumnya yang terjadi di sekolah guru’. [Koran ini menambahkan bahwa
memang Dja Endar Moeda belum mengklaim bahwa bahasa Belanda dihentikan sama
sekali dalam pendidikan pribumi, tetapi hanya menunjuk bahwa fakta mengajar
dalam bahasa Belanda lebih berat bagi penduduk pribumi]. (lebih lanjut koran
ini): ‘Dja Endar Moeda berpendapat, bahasa Melayu sebagai pengantar di sekolah,
tetapi bahasa Belanda juga perlu dan mengusulkan adanya pelajaran bahasa
Inggris atau Prancis di sekolah pribumi’.
Peduli korban gempa
Sumatra-courant : nieuws- en advertentieblad, 11-07-1898:
‘Dja Endar Moeda dari Pertja Barat mendorong partisipasi penduduk untuk
membantu korban gempa di Bengkoelen’.
Tidak setuju dengan aturan (politik) pecah belah
Sumatra-courant : nieuws- en advertentieblad, 02-11-1898:
‘Dja Endar Moeda menulis artikel di Pertja Barat bahwa orang Jepang yang ada
disini diperlakukan sama dengan orang Eropa. Dia juga mencurahkan beberapa
diskusi tentang asimilasi Kristen pribumi dengan Eropa. Dia merasa sedikit
simpati, meskipun ia tampaknya tidak menyukai. Hal ini dikaitkan dengan
proposal Menteri Koloni proposal untuk menyamakan Jepang dan orang Kristen
pribumi Hindia Belanda dengan Eropa. Islam dan Kristen harus dianggap sama dan
kesejahteran harus ditingkatkan (bukan dibedakan). Ini soal adat istiadat dan
moral, Eropa dan pribumi satu sama lain berbeda (antara minyak dan air).
Kristen pribumi ditemukan di Molukken, Java en Tapanoeli. Meskipun iman mereka
adalah kehidupan yang berbeda, ini menjadi kompleks sebagai saudara di antara
mereka sendiri. Apa yang akan terjadi? Di pengadilan akan dibedakan. Non
Kristen akan melayani lebih tetapi membayar pajak. Ini tidak bermanfaat malah
bagi pemerintah akan menderita kerugian, yang kemudian antara dia dan Muslim
akan menimbulkan kebencian dan perpecahan. Dalam keadilan yang terbukti
bersalah, maka ia dihukum sebagai Eropa, ia dipenjara dan mendapat makan
kentang dan roti dan tidak diperlukan untuk melakukan pekerjaan, hal yang
sebaliknya untuk yang Islam. Terutama penyebab banyak komplikasi dan lain-lain
perselisihan antara Kristen dan pribumi Islam. Bagaimana itu diterapkan di Ambon?
Mereka akan banyak yang malu untuk mencari nafkah dengan tenaga kerja manual
karena mereka disamakan dengan orang Eropa’.
Membantu rakyat di bidang hukum secara sukarela
Algemeen Handelsblad, 02-11-1898: ‘Dalam suatu pengadilan
di Padang, terdakwa pribumi tidak diwakili. Mr. Dja Endar Moeda, editor
Pertja-Barat, tertarik dan mengusulkan dirinya menjadi di belakang terdakwa.
Permintaan ini dikabulkan. (terdakwa menjadi lebih ringan) dijatuhi hukuman
kerja paksa satu tahun karena yang bersangkutan membantu narapidana melarikan
diri dari penjara’.
Tidak setuju penghematan dalam pendidikan, dapat
memperburuk pendidikan pribumi
Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad, 15-11-1898:
‘Dja Endar Moeda mengkritisi penghematan dan pemotongan anggaran pendidikan
untuk sekolah-sekolah pribumi (termasuk kweekschool). Koran Pertja Barat edisi
10-11-1898, Dja Endar Moeda berpendapatan bahwa ‘Sepuluh tahun yang lalu,
kondisi pantai barat begitu buruk, Deputi Inspektur Pendidikan Pribumi Pantai
Barat hanya digaji f700 per bulan tetapi harus bertanggungjawab juga untuk
mengawasi sekolah-sekolah pribumi di Aceh dan Benkoelen. Bahkan pada tahun 1887
kami tidak punya adjunt inspektur (pengawas sekolah) dan Mr Grivel, hanya
digaji f500 per tahun. Sekarang, meski kita memiliki inspektur di pantai barat
dengan gaji f 900 dan wakil inspektur f700 per bulan, namun jumlah sekolah
pribumi belum meningkat secara signifikan. Ini berarti pemotongan anggaran
pendidikan yang telah diputuskan pusat (Batavia) akan lebih merepotkan dan
membuat lebih buruk lagi pendidikan bagi pribumi’.
Mendorong rakyat untuk maju agar tidak tertinggal
Sumatra-courant: nieuws-en advertentieblad, 28-02-1899:
‘Pernyataan goeroe Dja Endar Moeda (koran ini masih memberi label kepada Dja
Endar Moeda sebagai guru meski bertindak sebagai jurnalis/editor), bahwa orang
Melayu harus mengoreksi kesalahan sendiri bangsanya, bagaimanapun, harus tetap
ada keinginan untuk bekerja di bidang pertanian, dan menunjuk ke jumlah
berlatih pertanian oleh orang lain (non Melayu) dan mendorong Melayu untuk
mengikuti contoh itu’.
Mendirikan sekolah swasta
Sumatra-courant : nieuws- en advertentieblad, 29-03-1899:
‘Gubernur pantai barat Sumatra telah mengajukan dana untuk tahun 1899 untuk
kepentingan sekolah pribumi swasta di sini, sekolah ini di bawah kepemimpinan pensiunan
guru pemerintah, Dja Endar Moeda’.
Tidak pernah lelah memajukan rakyat
Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad, 24-08-1899
(pembaca menulis): ‘Banyak yang telah dikatakan dan ditulis tentang situasi
sulit. Saya di sini hanya untuk mengingatkan, sering mengeluh, dan saya kutip
alasan segera dimengerti, ungkapan bahwa setiap pribumi di sini seperti terucap
di mulut: “Susa bana kini”. Kita tahu bahwa Melayu, pengembara oleh alam, ia
lielstSra? Dagang, yaitu, dealer atau pengecer. Tentu saja, tidak semua orang
pedagang, dan selain itu, juga dalam banyak hal lainnya, biaya produktif. Pada
pengadu mereka dikomunikasikan. Sementara itu, tentu saja dengan banyak cara
lain mengacu pada The Malay ini. Yaitu masih ada cara lain yang ada untuk
memenuhi biaya untuk hidup untuk membawa ke pikiran, mungkin itu bukanlah tugas
yang mudah, tetapi upaya baik berharga. Editor surat kabar lokal Melayu, Pertja
Barat dan lainnya, orang yang tanpa lelah menunjukkan hal ini. Bahwa upaya
mereka berbuah. Bahwa penduduk asli di kepentingan ini semakin mulai mengerti,
juga merupakan pertanda baik bahwa kita sekarang sudah bisa cor.s'ttteeren.
Tidak pergi jauh ke luar Padang, saya hanya menunjukkan sebagai berikut: Selama
beberapa tahun yang lalu, semuanya di atas bukit di Padang, pada dan setelah
sepele. gurun. Ketika saya melihat hari-hari ini beberapa tempat terbuka
mengurangi gunung dan tanaman lainnya lagi, saya mengambil sana untuk
berjalan-jalan. Apa terkesan saya? Semua sepanjang jalan ke Limau Manis, dimana
gulma dulu merajalela, kini orang melihat perkebunan jagung, ubi prantjis, keladi,
tebu, pisang, dll. Di tempat lain di gunung persis sama. Melayu sehingga mulai
sedikit pun, bahwa ia dapat dan harus membuat semua daerah berkembang berlari
kembali’.
Sikap tidak setuju terhadap bantuan Transvalomanie,
sementara kaum pribumi masih terpuruk
Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad, 15-12-1899
(pembaca menulis): ‘saya ingin memulai dengan apa yang telah diketahui yang
disebut: Transvalomanie (bantuan untuk Belanda di Afrika). Ketika semua orang
terdengar simpati di Belanda dan di diniuntuk kepentingan chariti ordonante.
Dalam Ind. Revuew, November 1899 kita membaca, kata-kata yang sangat tepat
berikutnya: .... bawah Transvalomanie untuk
menunjukkan bahwa dari Belanda di sini uang datang dalam jumlah banyak
untuk Transvaal. Tujuannya baik. Tapi sama seperti cinta tanpa pengetahuan
adalah fatal, mungkin amal tanpa menyalip tujuan. Sampai saat ini (9 November)
hanya dari beberapa tempat penting di Nusantara telah terkumpul jumlah
f37.115,28. Untuk berperang di Belanda sudah dikumpulkan f220.000. Ayo ke sana,
ketika India adalah dalam kesulitan (yang kronis terjadi) yang itu sangat besar
buat di sini. Bagaimana terpuji itu, bantuan untuk diberikan penghasilan
sementara di sini terancam, di sini miskin dan juga terlihat di sekitar. Yang
susah payah uang dari Timur dikirim, sedangkan tempat kami tinggal masih begitu
banyak kemiskinan dan banyak air mata terlalu kering. Panti Asuhan dan
pendirian amal lainnya memiliki kesulitan terbesar untuk tetap di tempat. The
Transvaal didukung oleh seluruh beradab Hindia dunia bahkan ibu pertiwi.
Transvaal akan menjadi kegagalan senegara tertekan kami. Dja Endar Moeda,
Editor sini muncul lembar Melayu Pertja-Barat, baru ini menunjukkan yang pasti
tidak hangat dan tidak tulus mengeluarkan hati simpati untuk Transvaal.
Sekarang saya peduli sangat sedikit untuk sering membabi buta meniru Transvaal
Transfigurasi membuat banyak kebodohan tentu tidak biasa dilakukan. Editor ini melaporkan
dalam Koran melayu, bahkan dia mengaku putih, mengganggu, mereka makan wooiden
dalam Melayu: Nenek Mojang, kurang digunakan untuk berarti: nenek moyang atau
mengejek rangka mengutuk. Dan saya hanya bertanya: di mana perlu untuk
memarahi, dan apa yang membantu para petani?’.
Menulis panduan berangkat haji ke Mekah
Bataviaasch nieuwsblad, 14-11-1900: ‘Untuk tujuan Mekkah
yang dikeluarkan oleh Pemerintah banyak dan beragam persyaratan. Aturan-aturan
ini jarang dibawa ke orang-orang yang terlibat dalam pengetahuan, atau dengan
cara sedemikian rupa sehingga mereka yang bisa menarik bagiannya taruhan yang
paling menguntungkan, tetap tidak menyadari daripadanya. Dja Endar Moeda yang
juga bernama Haji Mohamad Saleh telah menulis manuicript yang isinya 44 paragraf
tentang semua informasi yang diperlukan untuk calon hadji yang akan berangkat
dari Hindia Belanda berziarah ke Mekkah. Dja Endar Moeda berniat bahwa naskah itu
akan dikirimkan kepada Direktur Pendidikan, Agama dan Budaya untuk ditawarkan agar
bisa diadopsi lalu dicetak dan didistribusikan. Tujuannya adalah dimaksudkan
untuk setiap para pejabat dapat meneruskan panduan tersbut kepada calon hadji
ke depan. Kita berharap ini panduan pertanda baik bagi mendatang yang akan ke
Mekkah dan berharap kepada pemerintah agar upaya Dja Endar Moeda agar dapat dihargai.
(Padanger)’. [Dilansir De locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad,
17-11-1900]
Majalah baru Nusantara
De locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad,
25-03-1901: ‘Seseorang menulis di Locomotive, yang dimulai pada 1 April akan
muncul sebuah majalah dengan nama Insulinde (Kepulauan Nusantara/Malay
Archipelago), yang akan bertindak sebagai editor Djah Endar Moeda, sekarang
editor koran berbahasa Melayu, Pertja
Barat. Majalah ini cukup mahal, biaya langganan yaitu f6 per tahun untuk 12 nomor’.
Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 30-04-1901: ‘Di Padang Snelpersdrukkerij Insulinde, nomor pertama kali muncul majalah bulanan berbahasa Melayu bernama lnsulinde diedit
oleh Dja Endar Moeda. Nomor perdana sangat besar dan penuh variasi. Semoga
majalah panjang umur’.
Mendorong media pribumi lebih banyak agar rakyat lebih
berpengetahuan
De locomotief: Samarangsch handels-en advertentie-blad,
02-05-1901: ‘Pernyataan Dja Endar Moeda bahwa diperlukan banyak media bagi
bangsa pribumi untuk memberikan atau pengetahuan pembacanya ide yang lebih baik
untuk berkenalan dengan isu-isu yang berbeda, tidak melulu dalam hal yang
terjadi dalam kehidupan sehari-hari semata’.
De locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad,
02-05-1901: ‘di Padang terbit pertama kali majalah bulan berbahasa Melayu, Insulinde
dibawah redaktur Dja Endar Moeda, redacteur van de Pertja Bar at en Tapian na
Oeli’.
Melaporkan kekejaman terhadap koeli
Soerabaijasch handelsblad, 23-08-1901: ‘Sebagai burung
twitter / yes Barat adalah nasib kuli kontrak Tambang Sibonak mengeluh belum
sedih dan mendalam. Baru-baru ini, beberapa kuli Cina lari dari pekerjaan
mereka karena mereka memiliki cukup untuk makan Diet EII tarian dari mereka
menjadi sakit parah dari kurangnya ot 'meninggal. Pemerintahan Eropa di
sekitarnya telah biarkan hal itu membuat orang di belakang bar dan akan
memeriksa keberatan dari buruh kelaparan. Pisau ini cukup naif untuk percaya
bahwa apa yang orang-orang ini memiliki brill sah, mereka akan benar. Tapi jika
kemudian nasib mereka akan ditingkatkan!’.
Kurikulum pendidikan pribumi harus diperluas agar setara
dengan orang-orang Eropa/Belanda
De Sumatra post, 27-01-1903: ‘Pendapat Dja Endar Moeda
bahwa pendidikan dasar anak pribumi harus diperluas, kurikulumnya disesuaikan
dengan sekolah-sekolah Belanda/Eropa. Anak-anak pribumi juga memerlukan
kemahiran berbahasa Inggris, Aritmetika. Usul Dja Endar Moeda ini sudah pernah
diutarakan kepada C.A. van Ophuysen, Inspektur Pendidikan Pribumi Pantai Barat
yang diteruskan ke Directeur voornoemd aangeboden lalu ke Gubernur Jenderal di
Padang dan ke Menteri Koloni di Batavia. Namun menurut Direktur, ‘proposal’ Dja
Endar Moeda itu diabaikan pusat dan kemungkinan hanya dapat direalisasikan di
empat tempat di Jawa saja. Menurut Direktur, Jawa masih pusat perhatian pada
bagian dari Pemerintah, dan wilayah kita (pantai barat) hanya dianggap sebagai
bagian luar saja. Bahkan menurut Direktur, pusat masih keberatan meski
pelaksanaannya dilakukan satu di luar Jawa’.
Anak ‘boru panggoran’ menikah
Leeuwarder courant, 08-06-1903 (pembaca menulis): ‘Kami
merapat ke pantai, Raja Willem II hanya ada enam jam di sini. Ketika itu saya
mendengar ada perayaan pernikahan besar saat itu, Alimatoen Sahadiah, putri
Ankoe Dja Endar Moeda, editor surat kabar Melayu, Pertja Barat dengan seorang
pemuda, alumni dokter djawa school, Haroen Al Rasjid… Padang, 2 April 1903’.
Menulis buku pelajaran untuk belajar Bahasa Belanda agar lebih
banyak pribumi yang dapat menjangkau pengetahuan
Soerabaijasch handelsblad: 04-08-1904 (menutip tulisan
Fokker di Telegraaf: ‘Apakah orang Melayu atau Jawa sulit untuk mengajar
Hollandsch?’): ‘orang kulit coklat sangat sulit belajar bahasa asing. Bagaimana
mereka bisa menyerap pengetahuan untuk pembangunan. Mengapa bahasa kita begitu
sedikit orang coklat yang tahu bahasa kita? Untuk mengatasi itu, apakah memungkinkan
dilakukan dengan dua bahasa nasional? Dja Endar Moeda telah membantu pribumi
untuk mengatasi kesenjangan ini dengan memberi kursus dengan menulis buku
pelajaran bahasa Belanda. Dia telah menulis buku pengajaran dengan judul: ‘Kitab
peladjaran bahasa Wolanda oentoek anak anak baharoe moelai beladjar’ (1902).
Buku itu dapat mengatasi semua kesulitan untuk belajar bahwa kami yang mereka
perlukan untuk memperluas pengathuan dengan mengetahui bahasa (asing). Kami
berpikir bahwa itu hampir sama seperti dikatakan bahwa Jepang tahu (belajar) bahasa
Inggris. Sekarang ada begitu banyak penduduk asli mengejar pengetahuan bahasa
kita, dan mereka lakukan untuk menyebarkan. Kami sebaliknya dengan Bintang
Hindia di sini Amterdeam telah menyebarkan pengetahuan dengan bahasa Melayu
dengan ribuan pembaca. Kami juga menyedian halaman pelajaran bahasa Belanda. Semoga
komentar ini dan pengamatan berkontribusi, belajar semua yang menghargai apa
yang sedang dicari. AA Fokker’.
Pribumi pertama penerbit koran bebahasa Belanda
Bataviaasch nieuwsblad, 05-07-1905: ‘Dja Endar Moeda,
penerbit Sum. Nieuwtblad dan Pertja Barat’.
Terjadi delik pers, Dja Endar Moeda diperlakukan tidak
adil
Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 30-11-1905: ‘Kasus delik pers di Pengadilan Padang dimana dua orang redaktur dijatuhkan hukuman pada 24 Juli tahun ini. Si
Saleh galar Dja Endar Moeda, alias Hadji Mohd. Saleh, editor koran berbahasa
Melayu ‘Pertja Barat’ dan ‘Sumatraasch Nieuwsblad’ (berbangsa Belanda) mendapat
hukuman cambuk dan mengakibatkan cedera. Sementara, K. Baumer, editor dan
penerbit Sumatraasch Bode (berbangsa Belanda) hanya didenda f15’.
Menjadi saksi dalam kasus pers delik C. Deutekom
Bataviaasch nieuwsblad, 25-03-1907: ‘Persdtlict. Tanggal 19
di depan dewan keadilan di Padang C. Deutekom, mantan editor Sumatiaasch
Nieuwsblad, karena pers pelanggaran - pencemaran nama baik. Pada bulan
September tahun lalu Mr. v. D. mendapat laporan dari koresponden Koran berbahasa
Melayu, Perja Barat. (Dja Endar Moeda dihadirkan sebagai saksi). Saksi
mengatakan dalam hal ini tidak sepenuhnya terlibat. Saksi Dja Endar Moeda,
direktur Sum. Surat kabar dan editor Pcrtja liarat dinyatakan tidak tahu apakah
Mr. v. D., dalam proses penyusunan laporan tersebut. Mr. v. D secara sah dan
meyakinkan terbukti dan mengundang kecaman dan didenda f100 subsider dan 15
hari penjara dan biaya proses’.
Membantu rakyat di bidang hukum secara sukarela
De Tijd: godsdienstig-staatkundig dagblad, 02-08-1909:
‘Dja Endar Moeda, editor koran ‘Pembrita Atjeh’ membantu seorang terdakwa
secara hukum dan bebas. Atas memberikan keterangan (saksi ahli) yang mewakili
terdakwa dan sikap adil, Dja Endar Moeda ditawari pemerintah f5000, melalui
pengacara, tetapi Dja Endar Moeda menolaknya’.
Pertja Barat masih eksis
De Tijd: godsdienstig-staatkundig dagblad, 02-08-1909 ‘The
"Pertja Barat", sebuah Padang 3 kali pada minggu lembaran, di kepala
yang dikembangkan dan energik Melayu Dja Endar Moeda dan bahwa hal itu dapat
dianggap organ taruhan penduduk Malelsche di provinsi pantai barat Sumatra’.
Pertja Barat telah dialihkan kepada Dja Endar Bongsoe
(adik Dja Endar Moeda)
Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 16-03-1910: ‘Untuk Padang muncul lima surat kabar Melayu. Kebanyakan dari mereka memiliki akhir-akhir batas ekses
keterlaluan diizinkan, sehingga mengejutkan bahwa ini masih belum terjadi. Zoo
juga yakin Sutan Raja nan Gadang, editor "Warta Hindia" yang moto di
atas pisau selalu mencetak "Adil Raja di Sembah-dzalim raja di
sanggah", yang menjadi the'd selalu berbicara tentang korupsi polisi,
pejabat pemerintah tentang miskin lebih memerintah, yang dirugikan dll. Koran
dengan semboyan "Segala bangsa." Dja Endar Bongsoe, editor Pertja
Barat.
Artikel terkait:
*Akhir Matua Harahap, mantan editor majalah HATIHA di Buitenzorg (1987-1989).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar