Minggu, Juni 21, 2015

Bapak Pers Indonesia: Dja Endar Moeda, Kakek Pers Nasional dan Parada Harahap, Cucu Pers Nasional

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Nasional Indonesia dalam blog ini Klik Disini


Oleh Akhir Matua Harahap*

Siapa Bapak Pers Indonesia? Sebagian rakyat Indonesia menunjuk Tirto Adhi Soerjo. Sebagian yang lain tidak sepakat. Lantas, siapa yang menjadi kakek pers nasional dan siapa pula cucu pers nasional? Artikel ini mengidentifikasi sejarah lama: Siapa sesungguhnya kakek dan cucu pers nasional? Untuk menjawab pertanyaan ini, artikel ini menghadirkan tiga tokoh pers nasional: Dja Endar Moeda, Tirto Adhi Soerjo dan Parada Harahap sebagai nominator. Kebetulan tiga tokoh pers ini beda generasi dengan interval kelahiran 19 tahun: Dja Endar Moeda lahir 1861, Tirto Adhi Soerjo (1880) dan Parada Harahap lahir 1899. Artikel ini kemudian akan membandingkan peran kakek pers nasional, Dja Endar Moeda dan cucu pers nasional, Parada Harahap dengan bapak pers Indonesia (Tirto Adhi Soerjo).

***
Setiap era, pers Indonesia mengikuti jamannya sendiri. Peran yang dimainkan juga berbeda, karena perihal yang diperjuangkan juga berbeda. Nama medianya juga berbeda-beda dengan mengikuti jamannya (lihat De nieuwsgier 17-02-1956: Van ‘het terrein van de ambtenaar’ tot aan de ‘open ogen’ en ‘het Hiernamaals’). Karena itu, peran dan fungsi masing-masing tiap era secara substansial tidak bisa diperbandingkan. Yang bisa dipahami adalah bahwa antar era terdapat garis continuum, yakni: melawan ketidakadilan yang menjadi esensi perjuangan pers Indonesia. 

Sejarah pers pribumi (baca: Indonesia) lahir di tengah-tengah pers Belanda (baca: pemerintahan colonial). Pengertian pers dalam hal ini mengacu pada tiga stakeholder: pembuat berita (wartawan, pemilik media dan percetakan), jenis media (lembaran, majalah dan koran), dan pembaca (pribumi, asing, perempuan dan golongan lainnya). Tiga stakeholder ini sebagai internal pers, dan stakeholder yang lain (eksternal) adalah pemerintah (dalam arti institusi, pemerintah colonial Belanda). Kronologis tiga tokoh pers ini disusun berdasarkan sumber-sumber pemberitaan (koran-koran berbahasa Belanda) sejak 1883 hingga 1957.


Dja Endar Moeda: Editor Pribumi Pertama (1897)

Dja Endar Moeda lahir di tengah pers Belanda. Belum ada terdeteksi pers pribumi. Dja Endar Moeda lahir di Padang Sidempoean, Residentie Tapanoeli 1861. Setelah tamat pada sekolah guru (kweekschool) di Padang Sidempoean, Dja Endar Moeda diangkat pemerintah sebagai guru pertama kali di Batahan, Natal tahun 1886. Guru ini cukup cakap menulis dalam bahasa Belanda dan memiliki kecenderungan untuk membangun (lihat Sumatra-courant: nieuws-en advertentieblad, 22-05-1886). Pada tahun 1887 dilaporkan telah menjadi editor (jarak jauh) majalah Soeloeh Pengadjar yang terbit di Probolinggo (majalah yang diprakarsai oleh direktur Kweekschool Probolinggo).

Pada saat itu, sekolah tinggi di Nederlansch Indie hanya ada dua jenis: sekolah guru (kweekschool) dan sekolah kedokteran (docter djawa school). Sekolah kedokteran hanya satu-satunya yang terdapat di Batavia, sedangkan sekolah guru terdapat di beberapa tempat diantaranya di Probolinggo dan Padang Sidempoean. Dua sekolah guru ini adalah yang terbaik (lihat Bataviaasch handelsblad, 30-06-1885). Kweekschool Padang Sidempoean didirikan tahun 1879 dengan gurunya yang terkenal Charles Adrian van Ophuijsen (berdinas sejak 1883 di Padang Sidempoean, selama delapan tahun, lima tahun terakhir sebagai direktur sekolah). Dja Endar Moeda masuk 1882 (lulus 1885).

Dja Endar Moeda karena ketiadaan buku pelajaran, juga menulis buku pelajaran buat anak-anak didiknya. Sambil mengajar, Dja Endar Moeda menulis roman dan berbagai artikel di Soeloeh Pengajar. Dja Endar Moeda berpindah tugas dari satu tempat ke tempat lain, seperti Air Bangis, Singkel dan lainnya. Setelah selesai masa berdinas (kebijakan pemerintah: delapan tahun), Dja Endar Moeda pension menjadi guru dan mengeluti dunia penulisan: menulis roman dan menulis buku pelajaran sekolah. Roman pertama Dja Endar Moeda yang diterbitkan adalah berjudul Hikajat Tjinta Kasih Sajang (penerbit Otto Bäumer di Padang, 1895). Pada tahun 1897, Dja Endar Moeda menawarkan roman keduanya kepada Percetakan Winkeltmaatschappij (sebelumnya Paul Baiimer en Co). Judulnya Hikajat Dendam Ta' Soedah, Kalau Soedah Merewan Hati. Percetakan Winkeltmaatschappij adalah penerbit koran berbahasa Melayu di Padang bernama Pertja Barat. Editor Pertja Barat (orang Belanda) menganggap romannya Dja Endar Moeda ini layak diterbitkan (lihat Sumatra-courant: nieuws-en advertentieblad, 25-10-1897).

***
Dja Endar Moeda tidak hanya sukses menjadi guru, juga sukses menjadi pengarang. Akhir tahun 1897, adalah awal karir Dja Endar Moeda di bidang jurnalistik. Penerbit Pertja Barat sebaliknya, justru diminta penerbit Pertja Barat untuk menjadi editor. Dja Endar Moeda tidak menolak, karena Dja Endar Moeda juga pernah menjadi editor majalah Soeloeh Pengajar. Sumatra-courant: nieuws-en advertentieblad, 04-12-1897 memberitakan tentang diangkatnya Dja Endar Moeda sebagai editor Pertja Barat.

Pers di Nederlandsche Indie sebelum abad kesembilan belas didominasi oleh pers Belanda. Tidak ada pers pribumi tetapi sudah ada pers Tionghoa. Pers Belanda merujuk pada koran-koran terkenal, seperti: Java-bode: nieuws, handels-en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie (terbit 1859), Sumatra-courant: nieuws-en advertentieblad (terbit 1862), De locomotief: Samarangsch handels-en advertentie-blad (1872), Bataviaasch handelsblad (1859), dan lainnya. Semua koran tersebut berbahasa Belanda. Pers Belanda juga berkembang dengan merambah ke koran berbahasa Melayu, diantaranya: Pertja Barat.

Dja Endar Moeda boleh jadi merupakan pribumi pertama yang diangkat sebagai editor di lingkungan pers Belanda. Ini memang tidak lazim. Namun pers Belanda tentu saja bermotif bisnis yang mengharapkan tiras yang tinggi agar pembaca semakin meluas dan pendapatan semakin besar. Kebutuhan editor yang berkualitas dari kalangan pribumi menjadi tidak terelakkan. Dja Endar memenuhi kualifikasi yang diinginkan: selain mantan guru, penulis roman dan buku pelajaran juga sangat piawai menulis dalam bahasa Belanda dan bahasa Melayu.

Sejak Dja Endar Moeda menjadi editor Pertja Barat, koran Sumatra Courant dan koran lainnya sering mengutip dan memberitakan kiprah Dja Endar Moeda karena pemikirannya.

Sumatra-courant: nieuws-en advertentieblad, 25-03-1898 memberitakan isi esai Dja Endar Moeda mengusulkan di dalam korannya, Pertja Barat, menginginkan agar di sekolah pribumi, bahasa pengantarnya adalah bahasa Melayu, bukan bahasa Belanda. Alasannya adalah bahwa sangat sulit bagi pribumi untuk bisa berbahasa Belanda. Pernyataan Dja Endar Moeda ini membuat petinggi di Batavia tersentak. Koran Sumatra Courant juga memuat hasil wawancara korespondennya di Batavia yang menanyakan langsung Menteri. Koresponden: ‘Apakah penggunaan bahasa kita (maksudnya Belanda) dalam pendidikan akan dihentikan?”. Menteri menjawab: ‘Jangan sampai terjadi, nanti tidak ada ajaran yang lebih mengikat seperti sebelumnya yang terjadi di sekolah guru’.

Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad, 15-11-1898 memberitakan Dja Endar Moeda yang mengkritisi penghematan dan pemotongan anggaran pendidikan untuk sekolah-sekolah pribumi (termasuk kweekschool). Koran Pertja Barat edisi 10-11-1898 sebagaimana dikutip Sumatra Courant, memberitakan pendapat Dja Endar Moeda bahwa ‘Sepuluh tahun yang lalu, kondisi pantai barat begitu buruk, Deputi Inspektur Pendidikan Pribumi Pantai Barat hanya digaji f 700 per bulan tetapi harus bertanggungjawab juga untuk mengawasi sekolah-sekolah pribumi di Aceh dan Benkoelen. Bahkan pada tahun 1887 kami tidak punya adjunt inspektur (pengawas sekolah) dan Mr Grivel, hanya digaji f 500 per tahun. Sekarang, meski kita memiliki inspektur di pantai barat dengan gaji f 900 dan wakil inspektur f700 per bulan, namun jumlah sekolah pribumi belum meningkat secara signifikan. Ini berarti pemotongan anggaran pendidikan yang telah diputuskan pusat (Batavia) akan lebih merepotkan dan membuat lebih buruk lagi pendidikan bagi pribumi.

Sumatra-courant: nieuws-en advertentieblad, 28-02-1899 mengutip pernyataan goeroe Dja Endar Moeda (koran ini masih memberi label kepada Dja Endar Moeda sebagai guru meski bertindak sebagai jurnalis/editor), bahwa orang Melayu harus mengoreksi kesalahan sendiri bangsanya, bagaimanapun, harus tetap ada keinginan untuk bekerja di bidang pertanian, dan menunjuk ke jumlah berlatih pertanian oleh orang lain (non Melayu) dan mendorong Melayu untuk mengikuti contoh itu.

De locomotief: Samarangsch handels-en advertentie-blad, 02-05-1901 mengutip pernyataan Dja Endar Moeda (yang disebut koran ini Dja Endar Moeda sudah memiliki beberapa koran: Pertja Barat, Insulinde dan Tapian Noeli—memiliki banyak karyawan) di Insulinde yang terbit edisi pertama bahwa diperlukan banyak media bagi bangsa pribumi untuk memberikan atau pengetahuan pembacanya ide yang lebih baik untuk berkenalan dengan isu-isu yang berbeda, tidak melulu dalam hal yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari semata.

De Sumatra post, 27-01-1903 mengutip pendapat Dja Endar Moeda bahwa pendidikan dasar anak pribumi harus diperluas, kurikulumnya disesuaikan dengan sekolah-sekolah Belanda/Eropa. Anak-anak pribumi juga memerlukan kemahiran berbahasa Inggris, Aritmetika. Usul Dja Endar Moeda ini sudah pernah diutarakan kepada C.A. van Ophuysen (mantan gurunya) yang sudah menjadi Inspektur Pendidikan Pribumi Pantai Barat yang diteruskan ke Directeur voornoemd aangeboden lalu ke Gubernur Jenderal di Padang dan ke Menteri Koloni di Batavia. Namun menurut Direktur ‘proposal’ Dja Endar Moeda itu diabaikan pusat dan kemungkinan hanya dapat direalisasikan di empat tempat di Jawa saja. Menurut Direktur, Jawa masih pusat perhatian pada bagian dari Pemerintah, dan wilayah kita (pantai barat) hanya dianggap sebagai bagian luar saja. Bahkan menurut Direktur pusat masih keberatan meski pelaksanaannya dilakukan satu di luar Jawa.

Dja Endar Moeda memang pejuang pendidikan, perjuangannya tidak pernah luntur sejak masih sekolah di Kweekschool Padang Sidempoean. Pada tahun tahun 1884, ketika Dja Endar Moeda masih bersekolah di Kweekschool Padang Sidempoean telah melakukan kebajikan mengumpulkan dana untuk disalurkan kepada orang-orang yang membutuhkan di bidang pendidikan (lihat Sumatra Courant (01-05-1884). Dja Endar Moeda sejak belia sudah menyadari arti penting sharing dan caring. Kini Dja Endar tidak hanya telah menjadi guru juga berprofesi sebagai jurnalistik.

Dja Endar Moeda, memang seorang nasionalis yang juga memperhatikan bangsanya sendiri dari sukubangsa yang lain.  Dja Endar Moeda memang pendidik yang baik, meski dilakukan dengan pendekatan yang berbeda. Dja Endar Moeda pernah megatakan sekolah dan media sama pentingnya. Dja Endar Moeda adalah guru, jurnalis yang penuh ide: mengajar muridnya dan membangkitkan pribumi agar lebih maju.

***
Dari berita-berita di atas, tahun 1901 Dja Endar Moeda terindikasi sudah mengakuisi koran Pertja Barat. Dengan demikian, Dja Endar Moeda sudah memiliki percetakan dan koran. Itu tidak cukup seperti yang dikatakannya, perlu media lebih banyak untuk pribumi, maka Dja Endar Moeda telah pula menerbitkan dua media lainnya di bawah percetakannya yakni Insulinde (berbahasa Melayu terbit di Padang) dan Tapian Na Oeli (bebahasa Batak di Sibolga). Percetakan ini tidak saja mencetak koran-korannya tetapi juga menerbitkan buku-buku pelajaran yang pernah ditulisnya. Besar kemungkinan Dja Endar telah membeli percetakan itu sejak tahun 1900.

Sukses Dja Endar Moeda dalam dunia pers pribumi bersumber dari dua sisi. Di satu sisi, fortopolio Dja Endar Moeda sangat tinggi, selain memiliki tabungan, juga uang pensiunan masih diterima, hak cipta buku pelajaran dan roman, juga gaji sebagai editor. Karena itu, Dja Endar Moeda memiliki kemampuan financial untuk mengakuisisi Pertja Barat beserta percetakannya. Di sisi yang lain, situasi dan kondisi saat itu, di Sumatra’s Westkust (khususnya di Padang) investasi Belanda (di bidang pers) telah mulai merosot sehubungan dengan pesatnya perkembangan yang terjadi di Sumatra’s Ooskust (khususnya Medan). Pada tahun 1900 surat kabar Sumatra Courant telah berhenti. Ini menjadi berkah buat Pertja Barat dan tirasnya dengan sendirinya akan terdongkrak.

Boleh jadi Dja Endar Moeda adalah pribumi pertama yang memiliki percetakan. Hal ini karena karyanya sudah diterbitkan tahun 1900, yakni: Kitab Sariboe Pantoen: Ibarat dan Taliboen, Volumes 1-2 (terbit 1900); Tapian na Oeli na pinararat ni Dja Endar Moeda ni haroearkon ni toean (terbit 1900); Kitab boenga mawar: pembatjaan bagi anak2 (terbit 1902); Kitab peladjaran bahasa Wolanda oentoek anak anak baharoe moelai beladjar (terbit 1902); Hikajat sajang taq sajang: riwajat Nona Geneveuva (terbit 1902); buku terkenal Riwajat Poelau Sumatra (terbit 1903); Kitab edja dan pembatjaan oentoek anak anak jang baharoe beladjar (terbit 1903); dan Kitab kesajangan: bergoena oentoek anak-anak jang baharoe beladjar membatja hoeroef Belanda (terbit 1904).

***
Dja Endar Moeda telah menjadi pribumi yang berhasil menjadi ‘konglomerat’ di bidang bisnis media. Setidaknya di Padang, Dja Endar Moeda telah memiliki penerbitan berbahasa Belanda (Bataviaasch nieuwsblad, 06-06-1905). Ini melengkapi dua korannya yakni Pertja Barat dan Insulinde. Oleh karenanya, berbagai kemungkinan bisa dating dari berbagai arah. Dja Endar Moeda telah menjadi pesaing bisnis media Belanda. Dja Endar Moeda telah sejak lama ketidakadilan terjadi pada pribumi. Kebutuhan untuk ‘menyerang’ kebijakan pemerintah mau tak mau harus dilaksanakan. Sebaliknya, munculnya individu-individu yang berhasil dengan kesadaran berbangsa yang tinggi dianggap telah menjadi duri dalam daging. Karena itu kebijakan represif pemerintah mulai diterapkan. Di bidang pers, Dja Endar Moeda menjadi salah satu sasaran. Editor Pertja Barat dituntut karena melakukan pelanggaran pers. Inilah yang dialami oleh Dja Endar Moeda.

Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 30-11-1905 memberitakan delik pers di Pengadilan Padang dimana dua orang redaktur dijatuhkan hukuman pada 24 Juli tahun ini. Koran ini menulis bahwa Si Saleh galar Dja Endar Moeda, alias Hadji Mohd. Saleh, (menyebut nama Dja Endar Moeda sebagai demikian) editor koran berbahasa Melayu ‘Pertja Barat’ dan ‘Sumatraasch Nieuwsblad’ (berbahasa Belanda mendapat hukuman cambuk dan mengakibatkan cedera. Sementara, K. Baumer, editor dan penerbit ‘Sumatra Bode (berbangsa Belanda) hanya didenda f15.

Dja Endar Moeda, guru, dan pejuang keadilan pendidikan, justru dihukum penguasa secara tidak adil. Isu delik pers yang dialami Dja Endar Moeda menyangkut isu pembunuhan yang melibatkan oknum pemerintah Belanda di Kajoe Tanam. Masalahnya adalah Dja Endar Moeda dihukum (cambuk) sedangkan Baumer hanya didenda. Diskriminasi tidak terelakkan, Dja Endar Moeda tak berdaya.

***
Dja Endar Moeda merasa miris dengan diskriminasi ini. Hal ini dikaitkan dengan hubungan baik Dja Endar Moeda dengan keluarga Baumer di Padang sudah terjadi sejak lama. Roman pertama Dja Endar Moeda tahun 1895 diterbitkan oleh perusahaan ayah K. Baumer yang bernama Otto Baumer. Untuk itu, Dja Endar Moeda menghentikan kegiatannya di Padang. Dja Endar Moeda mendelegasikan koran Pertja Barat kepada adiknya Dja Endar Bongsoe sebagai editor. Sedangkan koran Sumatraasch Nieuwsblad dengan mengangkat editor baru bernama heer CA van Deutekom (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 03-07-1906). Dja Endar Moeda bersiap-siap untuk mengasingkan diri dari Padang ke Tapanoeli dan Sumatra;s Ooskust tempat dimana bisnis Dja Endar Moeda yang lain.

***
Di Medan dan Sibolga, Dja Endar Moeda sudah lama membuka bisnis percetakan dan menerbitkan surat kabar Sumatraasch Nieuwsblad. Percetakan Dja Endar Moeda di Medan bahkan telah mendirikan klub sepakbola bernama Letterzetter Voetbal Club (1903). Koran Dja Endar Moeda mendirikan klub sepakbola bernama Tapanoeli Voetbal Club (lihat Sumatra post, 19-03-1906).

Kasus delik pers kembali menimpa Dja Endar Moeda. Namun yang memiliki kasus bukan dirinya, tetapi editornya CA van Deutekom. Kasus ini terjadi bulan September 1906. Setelah kasus delik pers yang kedua ini, Dja Endar Moeda menutup Sumatraasch Nieuwsblad di Padang (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 25-03-1907) dan Dja Endar Moeda mulai mengembangkan bisnisnya ke Kotaradja dan menerbitkan surat kabar Pembrita Atjeh.

De Tijd: godsdienstig-staatkundig dagblad, 02-08-1909 memberitakan bahwa Dja Endar Moeda, editor koran ‘Pembrita Atjeh’ membantu seorang terdakwa secara hukum dan bebas. Atas memberikan keterangan (saksi ahli) yang mewakili terdakwa dan sikap adil, Dja Endar Moeda ditawari pemerintah f5000, melalui pengacara, tetapi Dja Endar Moeda menolaknya. Dja Endar Moeda di Aceh berfungsi ganda: mencerdaskan bangsa (Pembrita Atjeh) juga sekaligus membantu para terdakwa (pribumi maupun asing) secara berkeadilan di muka hukum (saksi ahli).

Surat kabar Dja Endar Moeda maju pesat di Kotaradja karena tidak ada saingan. Dja Endar Moeda boleh dibilang adalah perintis surat kabar di Atjeh. Sementara di Medan, Sumatraasch Nieuwsblad kalah bersaing dengan Deli Courant dan Sumatra Post. Untuk koran berbahasa Melayu, Pertja Timor sulit tertandingi di Medan. Akan tetapi sejak Pertja Timor tidak diasuh oleh editor Mangaradja Salamboewe, koran bertiras tinggi ini mulai melorot. Dja Endar Moeda melihat peluang ini, sementara Sumatraasch Nieuwsblad terus kalah bersaing. Akhirnya Dja Endar Moeda menutup Sumatraasch Nieuwsblad dan menerbitkan Pewarta Deli (1910). Editor yang diangkat Dja Endar Moeda adalah Panoesoenan gelar Soetan Sori Moeda.

Koran Pertja Timor di Medan mulai mendapat saingan dengan terbitnya koran-koran berbahasa Melayu lainnya. Koran Pertja Timor merasa perlu meningkatkan kualitas agar tiras terdongkrak. Kini saatnya memerlukan editor yang berkualitas. Kronologisnya mirip dengan koran Pertja Barat dulu. Kebetulan ada seorang perantau baru tiba di Medan dan menganggur karena dipecat sebagai jaksa di Natal (Tapanoeli). Mangaradja Salamboewe menjadi jaksa di Natal sejak 1897. Perantau ini bernama Mangaradja Salamboewe. Anak seorang dokter di Mandheling en Ankola ini dipecat karena desersi karena tidak tahan melihat ketidakadilan pemerintah colonial dan terjun ke lapangan mengadvokasi masyarakat.  Mangaradja Salamboewe tidak memusingkannya dan malah senang (makin bebas untuk berjuang dengan rakyat).

Manajemen Pertja Timor menawari Mangaradja Salamboewe posisi editor. Gayung bersambut, kedua belah pihak saling membutuhkan. Terbukti dengan masuknya Mangaradja Salamboewe (1903) tiras Pertja Timor naik pesat. Soal kepiawaian tidak kalah dengan Saleh Harahap gelar (Mangara)Dja Endar Moeda di Pertja Barat, karena Abdul Hasan Nasoetion gelar Mangaradja Salamboewe sama-sama alumni Kweekschool Padang Sidempoean. Hanya saja, Mangaradja Salamboewe tidak menjadi guru tetapi menjadi penulis di Kantor Residen di Sibolga sebelum diangkat menjadi jaksa. Kemampuan menulis dan pengalaman di peradilan membuat Mangaradja Salamboewe menjadi wartawan pribumi yang disegani.

Koran Sumtra Post yang dikutip juga oleh Bataviaasch nieuwsblad mengakui bahwa Maharadja Salamboewe memiliki keingintahuan yang tinggi, memiliki kemampuan jurnalistik yang hebat. Koran ini juga mengakui bahwa Maharadja Salamboewe memiliki pena yang tajam dan memiliki kemampuan menulis yang jauh lebih baik disbanding wartawan-wartawan pribumi yang ada. Hebatnya lagi, masih pengakuan koran ini, Maharadja Salamboewe selain sangat suka membela rakyat kecil, Maharadja Salamboewe juga sering membela insane dunia jurnalistik baik wartawannya maupun korannya. Kami juga respek terhadap dia, demikian diakui oleh koran Sumatra Post yang juga diamini oleh Koran Bataviaasch nieuwsblad.

Mangaradja Salamboewe tidak berumur panjang. De Sumatra post edisi 29-05-1908 memberitakan kematian wartawan pemberani ini. Dalam berita koran ini, editor juga mengungkapkan rasa duka cita yang dalam, karena Maharadja Salamboewe tidak hanya membela rakyatnya tetapi juga dunia jurnalistik (yang sebagian besar wartawan pada waktu itu berbagsa Belanda/Eropa). Editor ini melanjutkan bahwa  "Di dalam seratoes orang pribumi tidak ada satoe yang begitoe brani’.  Saat mana Maharadja Salamboewe di waktu pemakamannya hampir semua wartawan Medan hadir termasuk yang berbangsa Belanda. Abdul Hasan gelar Maharadja Salamboewe dimakamkan di tempat pemakaman Jalan Sungai Mati.

Pewarta Deli akhirnya mendapat tempat di hati para pembaca di Medan dan Deli. Panoesoenan mengikuti jejak seniornya Mangaradja Salamboewe dengan menomorsatukan gaya kritis terhadap kebijakan pemerintah dan persoalan ketidakadilan. Oleh karena terlalu kencang, Panoesonan hilang kendali di jalan yang banyak rambu-rambu. Pada tahun 1915 Panoesoenan kena delik pers di pengadilan Medan dan mendapat hukuman kurungan 14 hari. Posisi Panoesoenan digantikan oleh Soetan Parlindoengan, seorang mantan jaksa. Kini pengasuh Pewarta Deli dipimpin oleh seorang editor mantan jaksa, sebagaimana sebelumnya Pertja Timor yang digawangi oleh Mangaradja Salamboewe, seorang mantan jaksa di Natal.

***
Dja Endar Moeda memilih menetap di Kotaradja (Banda Aceh) karena dua alasan. Pertama karena factor umur yang sudah mulai menua dan yang kedua posisi strategis Kotaradja yang berada di tengah antara Sumatra’s Westkust dan Sumatra’s Oostkust. Dengan berada di Kotaradja, Dja Endar Moeda lebih mudah mengontrol bisnis persnya yang ada di Padang, Sibolga, Medan dan Kotaradja sendiri. Dja Endar Moeda, ‘Radja Persuratkabaran Sumatra’ meninggal dunia tahun 1926 di Kotaradja.

Tirto Adhi Soerjo: Dipopulerkan oleh Mas Marco Kartodikromo (1918) dan Disanjung Pramoedya Ananta Toer (1985)

Riwayat awal Tirto Adhi Soerjo tidak terlalu dikenal. Namanya muncul pertamakali pada tahun 1902. Disebutkan Tirto Adhi Soerjo adalah editor Pembrita Betawi, majalah yang diterbitkan oleh firma Albrecht en Co, suatu perusahaan yang memiliki percetakan dan toko (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 17-05-1902). Pimpinan Pembrita Betawi saat itu adalah Karel Wijbrands (juga pemilik Soerabaijasch handelsblad).

Pada tahun 1903 terbit majalah Pewarta Prijaji, suatu lembaran berbahasa Melayu yang ditujukan untuk pejabat pribumi (lihat Soerabaijasch handelsblad, 09-12-1903). Lembaran untuk para wedono ini merupakan jembatan antara orang-orang resmi dan pemerintah.

Kemudian nama Tirto muncul kembali tahun 1904 yang mana disebutkan Tirto adalah editor majalah Soenda Berita yang akan melakukan kerjasama dengan Koningin-Wilhelmina School dimana siswa-siswa dengan berbagai topic dapat dimuat dalam Koran tersebut (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 05-08-1904). Pada tahun ini juga muncul nama Tirto untuk Soeloeh Keadilan.

Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 12-09-1904: ‘Pangemanann, editor koran berbahasa Melayu, Kabar Perniagaan, dan RM Tirto Adhi Soerjo, editor majalah berita berbahasa Melayu, Soenda Barita telah menciptakan sebuah mingguan berbahasa Melayu untuk pendidikan hukum (Soeloeh Keadilan).

Pada tahun 1907 majalah baru (sejenis Pewarta Prijaji) diterbitkan dengan nama Medan Prijaji. Majalah ini menjadi ‘komplemen’ dengan Pewarta Prijaji. Majalah berbahasa Melayu ini adalah organ dari Boedi Oetomo dengan administrateur majalah, Mas Arsad (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 26-09-1908). Sedangkan editornya adalah Tirto yang kini Medan Prijaji jauh lebih populer daripada mantan Pewarta Prijaji (Soerabaijasch handelsblad, 21-11-1908). Sementara itu, Pewarta Prijaji yang kini diasuh oleh R. Sosro Danoe Koesoenio, sebagai editor yang baru sudah khawatir atas keberlajutan Pewarta Prijaji dan lalu meminta subsidi pemerintah untuk mempertahankan majalahnya (lihat Soerabaijasch handelsblad, 21-11-1908).

Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 14-12-1908: ‘Berdasarkan Keputusan Pemerintah 10 Oktober 1908 diberikan persetujuan untuk pendirian  “Javasche Boekhandel en drukkerij en Handel en Schrijfbehoeften Medan Prijaji” di Batavia’.

Medan Prijaji cepat melejit ini juga terkait dengan semakin memudarnya Pewarta Prijaji. Editor Tirto juga semakin dikenal secara luas karena berada di dalam majalah yang menjadi organ BO. Tirto juga tampaknya semakin menjaga jarak dengan pihak-pihak Belanda. Tirto mulai beraksi dengan pemberitaan yang lebih kontras yang akhirnya editor Medan Prtijaji mendapat cobaan dengan karena melakukan penghinaan.

Soerabaijasch handelsblad, 19-12-1908: ‘Controleur A. Simon di Poerworedjo mengajukan keluhan terhadap editor Medan Prijaji karena penghinaan. Simon menuduh Tirto Adisoerjo akan  melakukannya kembali dalam edisi terbaru, dan ini dianggap sebagai pelanggaran pers (delik pers). Sementara itu, seorang perwira apribumi senior merasa bahwa tidak percaya bahwa wartawan ini melakukan  persdelicter, untuk memprovokasi agar majalahnya dapat terangkat. Saya lebih melihat keberanian keyakinannya, sebagai penduduk pribumi yang langka. Meskipun ia adalah pemimpin dari organ untuk sipil, dia tidak ragu, bahwa hal itu ia melakukannya untuk kepentingan alasan si kecil. Terhadap wartawan tersebut, bagi pembaca, itu hanya mustahil untuk menyerahkan tuduhan’.

Tirto juga merupakan editor dari majalah Pentjaran Warta. Majalah ini adalah milik HM van Dorp en Co. Sebagaimana diberitakan dalam Java Bode (12 Augs 1909) yang dikutip oleh Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 18-08-1909 bahwa Raden Mas Tirto Adhisoerjo telah mengundurkan diri sebagai editor Pantjaran Warta. Pengunduran diri ini terkait dengan undangan ke Belanda. Raden Mas Tirto Adhisoerjo di Belanda tak lama. Berapa lama akan ia tinggal di sana, belum diketahui.

Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 18-08-1909 juga mengutip berita resmi keadilan, Selasa 5 Oktober 1909 dari Dewan Kehakiman di sini bahwa Raden Mas Tirto Adhisoerjo, berusia 31 tahun, lahir di Blora, editor dan co-penerbit majalah mingguan berbahasa Melayu, Medan Prijaji, bertempat tinggal di Bogor telah diadili. Ia telah menulis artikel berjudul "Betapa Satoe pertoeloengan di ertikan" dan ditandatangani TAS, muncul pada halaman 245 dan halaman 249 vau Batavia melalui mngguan Medan Prijaji edisi Juni 1908 No 24, dimana artikel itu dengan maksud untuk Administrasi Internal Poerworedjo A. Simon untuk mencaci, setelah semua, untuk membawa dia menghina dengan menyebut ini "ingus-monyet dari aspirant controller". Daftar saksi menyebutkan empat orang. "Bagaimana bisa ingus-kera disebut Petinggi di Jawa?” Dan mungkin Anda menggunakan kata yang sama terhadap Pangeran? Mr. Tirto akan memberikan informasi berharga di Den Haag tentang hal itu!’.

Setelah Tirto pulang dari Negeri Belanda, proses delik persnya terus berlangsung. Di pengadilan dinyatakan bersalah dan harus dihukum. Tirto setelah habis masa hukumannya diasingkan ke Lampung.

Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 19-05-1910: ‘Editor dari Medan Prijaji, Raden Mas Tirto adi soerjo yang karena pelanggaran pers diasingkan ke Telok Betong, pergi kemarin sore karena berakhirnya hukumannya oleh Laurens Pit rumah perbudakan oleh ratusan pribumi dan Cina. The sekoci yang ia pergi untuk naik, indah dihiasi, semua simpati ini untuk apa RM Tirto lakukan untuk orang kecil’. [Setelah sekian bulan diasingkan ke Lampong, Tirto kembali ke Batavia]. Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 22-09-1910: ‘Kapal s.s. Carpentier 22 September 1910 dari Palembang via Muntok ke Batavia (dengan penumpang diantaranya) RM Tirto Adhi Soerjo’.

Setelah dari pengasingan, Tirto kembali ke Batavia dan mulai aktif kembali dengan Medan Prijaji. Pada tahu 1911 Tirto berpolemik dengan pengurus Sarikat Militer Boemi Poetra. Kemudian tahun 1912 TAS, editor Medan Prijaji dan kawan-kawan berpolemik (delik pers) dengan Bataviaasch Nieuwsblad. Tirto dan kawan-kawan dihukum penjara tetapi menebus dengan uang. Editor Soeara Keadillan (penerbit Fortnnadrukkerij). Berpoelmik kembali dengan DD dari Bat.NBL.

Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 21-10-1912: ‘Tanggal 29 Oktober Alasan Mas Tirto Adhisoerjo, 32 tahun, redaktur profesional koran Melayu Prijaji Medan, Bandung, akan diadili sehubungan percetakan-pelanggaran. Terdakwa adalah pada tahun 1909 juga pernah dihukum karena kejahatan tersebut dilarang selama dua bulan’.

Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 20-12-1912: ‘Setelah diadakan penelitian pada Audiensi Publik requireerde keyakinan Jaksa terdakwa Raden Mas Tirto Adhisoerjo melakukan fitnah di dalam korannya yang didistribusikan terhadap dua pegawai negeri sipil, yang dilakukan berulang-ulang dan dengan alas an ini untuk hukuman empat bulan pemberhentian ke tempat pengasingan. Pernyataan sekitar 8 hari’.

Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 27-12-1912: ‘Dengan keputusan Dewan Kehakiman di sini, adalah penyebab Raden Mas Tirto Adhisoerjo, editor koran berbahasa Melayu, Medan Prijaji, bersalah pencemaran nama baik dengan menggunakan cetak didistribusikan dilakukan berulang kali dan karena itu mengutuk hukuman enam bulan pemberhentian dengan tempat pengasingan dan biaya proses’.

Tirto berjuang hanya efektif sejak 1910 dan 1912. Sejak akhir tahun 1912 kabar berita Tirto tidak pernah terdengar. Setelah kasus yang menimpanya (delik pers), Tirto Adhi Soerjo, juga soal perdata dengan para kreditornya  semakin merperburuk hal yang harus dihadapi olehnya. Tirto Adhi Soerjo hidupnya boleh jadi menjadi tidak menentu, karena asetnya di Medan Prijaji terus tersandera dan boleh jadi harus dijual untuk menebus para kreditor. Tirto Adhi Soerjo tidak diketahui entah dimana, ketika dikabarkan saudaranya tengah (Dr. Goenawan) mencarinya tahun 1914. Hanya istrinya tinggal sendiri di Buitenzorg.

Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 05-02-1914: „Prins" Tirtoadhisoerüo, de man van de beruchte Medan Prijaji-geschiedenis — een „intellectueel inlander" —is zoek. Zijn familieleden hebben alles in het werk gesteld om den aan lager wal geraakten edelman op te sporen — men zegt om hem aan een betrekking bij het Gouvernement te helpen — doch alles is vruchteloos.  Men weet alleen, dat zijn vrouw op Buitenzorg de huishouding nog staande tracht te houden, maar van den „prins" zelf valt naar de Pr. Bode meldt, zelfs geen oude troempa te bekennen’.

Ketika Tirto Adhi Soerjo dikabarkan telah meninggal dunia di Batavia tanggal 7 Desember 1918, nama Tirto Adhi Soerjo muncul kembali di Djawi Hiswara dalam bentuk artikel obituari yang ditulis oleh Mas Marco Kartodikromo sebagaimana disalin kembali oleh Pramoedya Ananta Toer dalam buku roman sejarahnya. Pramoedya Ananta Toer punya kepentingan dalam hal penulisan buku tersebut sebagaimana disebutnya dalam lembar persembahan 'sebagai mata kenangan pada Blora tempat kelahiran Sang Pemula'. Sekadar untuk diketahui Tirto dan Pram sama-sama lahir di Blora. Mas Marco sendiri adalah mantan anak buah Tirto Adhi Soerjo, sehingga terkesan Mas Marco dan Pram sangat menyanjung Tirto Adhi Soerjo, tetapi, sangat disayangkan sumber mereka sangat terbatas atau sengaja dibatasi (?), sehingga nama Tirto Adhi Soerjo muncul sendiri di atas permukaan, sementara nama Dja Endar Moeda, De Pionier, tenggelam atau ditenggelamkan (?). 

***
Mungkin anda tidak akan membayangkan bahwa Medan Prijaji akan berhenti secepat itu, dan mungkin anda tidak membayangkan Tirto Adhi Soerjo tersandera kasus perdata, lalu aset harus dijual dan jug mungkin anda tidak membayangkan siapa yang akan 'membeli' nama Medan Prijaji ini. Yang membeli nama itu untuk sekadar diketahui diantaranya adalah anak-anak Padang Sidempoean, alumni STOVIA yang kini (1915) berada di Medan.

Sumatera post, 18-01-1915: ‘Dalam pertemuan terakhir pengurus Medan Prijaji terpilih. Hal ini terdiri sebagai berikut: Abdul Rashid, Inlandsch arts, Presiden, J. Salim sebagai Wakil Presiden, Mohd Yusuf, kepala sekolah sebagai sekretaris-1, Harazah sebagai skretaris-2, St. Guru, sebagai bendahara. Anggota komisaris terdiri Baginda Djoendjoengan, Dt. Raja Angat, Sjamsoeddin, Dt. Noordin, ARC Salim  dan Abd. Wahab Siregar.

Dr. Abdoel Rasjid adalah alumni STOVIA. Anak Padang Sidempoean lainnya yang seangkatan dengan Dr. Abdul Rasjid adalah Dr. Radjamin Nasoetion. Dr. Abdoel Rasjid dan Dr. Radjamin Nasoetion berkawan baik dengan Dr. Soetomo, baik selama kuliah maupun sesudahnya. Dr. Abdoel Rasjid setelah beberapa tahun di Medan ditugaskan ke Padang Sidempoean sebagai petugas kesehatan. Setelah pension berdinas Dr. Abdoel Rasjid tetap menetap di Padang Sidempoean (afdeeling Mandheling en Ankola) dan tahun 1931 diusulkan oleh warga Padang Sidempoean untuk menjadi anggota Volksraad di Batavia. Dr. Abdoel Rasjid berhasil mengalahkan incumbent Dr. Alimoesa yang periode sebelumnya terpilih menjadi anggota Volksraad mewakili Residentie Tapanoeli [wakil Volkraad dari Oost Sumatra dua periode adalah Mangaradja Soangkoepon].
Dr. Alimoesa Harahap adalah anggota Volksraad pribumi pertama dari ‘dapil’ Noord Sumatra (Residentie Tapanoeli dan Residenti Atjeh) sebagaimana diberitakan Bataviaasch nieuwsblad, 18-01-1927. Beberapa bulan kemudian baru menyusul wakil dari ‘dapil’ Oost Sumatra (Province Sumatra’s Oostkust) yang dimedangkan oleh Abdoel Firman Siregar gelar Mangaradja Soangkoepon. Alimoesa bertarung sangat ketat di ‘final’ sedangkan Mangaradja Soengkoepon tanpa ‘lawan tanding’. Pesaing kuat di final Dr. Alimoesa (yang berdinas di Pematang Siantar) adalah Alinoedin Siregar gelar Radja Enda Boemi. Saat itu, Radja Enda Boemi menjabat ketua pengadilan di Buitenzorg. Mr. Radja Enda Boemi, PhD adalah ahli hokum pertama orang Batak, meraih gelar PhD di Universiteit Leiden tahun 1925. Sementara Mangaradja Soangkoepon adalah alumni dari Negeri Belanda yang masuk kuliah tahun 1910 (Soetan Casajangan masuk tahun 1905 dan disusul Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia tahun 1911). Pada periode berikutnya (1931). Anggota Volksraad terpilih adalah Dr. Abdul Rasjid (Residentie Tapanoeli) setelah berhasil mengalahkan Dr. Alimoesa dan Mangaradja Soangkoepan kembali meraih suara dan melenggang ke Pejambon (kini Senayan) untuk yang kedua kali. Pada periode berikutnya (1935) Dr. Abdoel Rasjid bertarung kembali dengan Dr. Alimoesa, pemenangnya adalah Dr. Abdul Rasjid. Untuk wilayah Sumatra Timur pemenangnya adalah Mangaradja Soangkoepan. Ini berarti Abdul Rasjid anggota Volksraad dua kali, sementara Mangaradja Soangkoepon tiga kali. Satu lagi anak Padang Sidempoean yang menjadi anggota Volksraad adalah Soetan Goenoeng Moelia yang baru beberapa tahun pulang studi dari negeri Belanda dengan meraih gelar PhD di bidang pendidikan tahun 1930. Soetan Goenoeng Moelia adalah anggota Volksraad yang ditunjuk (mewakili Batavia). Soetan Goenoeng Moelia adalah saudara sepupu Mr. Amir Sjarifoedin Harahap. Pada periode ketiga ini masih ada lagi satu lagi yakni Dr. Radjamin Nasoetion mewakili Oost Java (sebagai anggota pengganti) yang saat itu menjabat sebagai wethouder (angggota senior dewan kota Soerabaija).
Dr. Radjamin Nasoetion pernah ditempatkan di Medan, lalu berpindah-pindah tugas hingga akhirnya ditempatkan di Soerabaija. Dr. Radjamin Nasoetion terpilih menjadi anggota dewan kota Soerabaija dan pada masa pendudukan Jepang diangkat sebagai walikota Soerabaija hingga masa republic. Dr. Radjamin Nasoetion adalah walikota peribumi pertama Kota Surabaya.

Dja Endar Moeda, Kakek Pers Nasional vs Tirto Adhi Soerjo, Anak Pers Nasional

Tirto Adhi Soerjo lahir 1880 di Blora, Dja Endar Moeda pada tahun yang sama (1880) sudah memasuki sekolah guru (kweekschool) di Padang Sidempoean. Kemudian, ketika Tirto berada di sekolah kedokteran (Docter Djawa School) antara 1894-1900, Dja Endar Moeda sudah memiliki koran Pertja Barat (berbahasa Melayu) dan juga telah memiliki percetakan.

Tirto tidak berhasil menyelesaikan studinya (dropp-out) di Dokter Djawa School. Tampaknya Tirto tidak berani pulang kampong dan lalu Tirto mulai mencari pekerjaan dan meniti karir di bidang pers (1902) dengan jabatan asisten editor di Pembrita Betawi  (penerbit/percetakan  firma Albrecht en Co.) di Batavia. Pada tahun 1902 ini, Dja Endar Moeda sudah memiliki dua lagi media: majalah Insulinde (bahasa Melayu) tahun 1901 dan majalah Tapian Na Oeli (bahasa Batak) tahun 1902. Ini berarti, Dja Endar Moeda telah memiliki tiga media plus sebuah percetakan ketika Tirto memulai karir jurnalistik sebagai editor penerbit/percetakan Firma Albrecht en Co milik wartawan kawakan Karel Wijbrands.

Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 27-11-1902
Saat Tirto Adhi Soerjo di Docter Djawa School (menurut Pramoedya Ananta Toer: 1894-1900), paling tidak ada lima anak Padang Sidempoean yang kuliah di Dokter Djawa School: Harun Al Rasjid Nasoetion (lulus 1902), Muhamad Hamzah Harahap (lulus 1902), Abdul Karim Harahap (masuk 1898, lulus 1905), Abdul Hakim Harahap (masuk 1899, lulus 1905) dan Muhamd Daoelaj. Abdul Hakim dan Abdul Karim sekelas dengan Tjipto Manngeonkoesoemo (lihat tabel: Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 27-11-1902)

Anak-anak Afdeeling Padang Sidempoen (Residentie Tapanoeli) sesungguhnya dapat dikatakan pionir dalam soal pendidikan (pengajaran, penulisan dan jurnalistik) di Nedelandsche Indie (Hindia Belanda). Dja Endar Moeda lahir di lingkungan penduduk yang memiliki tradisi menulis. Kemampuan menulis Dja Endar Moeda tentu saja dibangun oleh genetic dan lingkungan alamiah. Kemampuan menulis Dja Endar Moeda semakin berkembang ketika ‘kuliah’ di Kweekschool Padang Sidempoean, apalagi diasuh oleh guru terkenal, Charles Adrian van Ophuijsen.Untuk sekedar diketahui, Dr. Harun Al Rasjid, alumni STOVIA (lulus 1902) adalah menantu Dja Endar Moeda. Ada dua cucu Dja Endar Moeda (anak dari Harun Al Rasjid Nasoetion dan Alimatoe Sadiah Harahap) yang sangat terkenal: (1) Dr. Ida Loemongga, perempuan pertama pribumi yang bergelar doktor (PhD) yang lulus dari Universiteit Leiden tahun 1932. (2) Mr. Gele Harun, seorang advocat di Lampung, lulusan Universiteit Leiden tahun 1938. Kelak, nama Gele Harun dikenal sebagai pejuang Lampung yang menjadi residen pertama Lampung (kini tengah diusulkan menjadi Pahlawan Nasional).

Siswa Docter Djawa School yang pertama asal luar Djawa (1854)
Afdeeling Mandheling en Ankola dengan ibukota Padang Sidempoean adalah wilayah yang pernah diidentifikasi oleh penulis Inggris. Marsden dalam bukunya (The History of Sumatra, 1811) menyebut penduduk Batak mewakili orisinilitas dari penduduk pulau Sumatra. Yang paling mengangetkannya penduduk yang kemudian bagian dari afdeeling Mandheling en Ankola (ibukota Padang Sidempoean) ini memiliki kejeniusan berperilaku serta penduduknya lebih dari separuh mampu membaca dan menulis dalam aksara Batak yang melampaui kemampuan baca tulis Latin dari semua bangsa-bangsa Eropa. Maka tidak aneh pada tahun 1854 sudah ada dua anak dari daerah ini yang bernama  Si Asta dan Si Angan diterima di sekolah kedokteran Batavia (lihat Nieuwe Rotterdamsche courant: staats-, handels-, nieuws-en advertentieblad, 18-01-1855). Setelah dua anak ini lulus akhir 1856, dua anak lagi menyusul yang bernama Si Toga gelar Dja Dorie dan Si Napang gelar Dja Bodie. Sekolah ini kemudian dikenal sebagai Dokter Djawa School. Dua anak dari Mendehling en Ankola ini (Si Asta dan Si Angan) adalah siswa pertama Docter Djawa School yang berasal dari luar Djawa. 

Dr. Asta adalah ayah dari Mangaradja Salamboewe, editor Pertja Timor, editor pribumi pertama di Medan (1903-1908). Adik kelas Si Asta dan Si Angan bernama Si Sati yang memiliki kemampuan linguistic yang baik memilih studi ke Belanda untuk mendapatkan akte guru. Pada tahun 1857 Si Sati berangkat ke Negeri Belanda dan selesai tahun 1861 dan lalu mendirikan sekolah guru (kweekschool) di Tanobato. Si Sati yang kemudian dikenal sebagai Willem Iskander adalah pribumi pertama yang studi ke negeri Belanda. Willem Iskander menulis buku ketika masih studi di Negeri Belanda.  Buku yang dihasilkan Willem Iskander berjudul ‘Boekoe Parsipodaon di Dakdanak di Sikola’ yang diterbitkan pertama kali 1862. Ini satu bukti ada gunanya Willem Iskander studi jauh ke Negeri Belanda. Buku ini merupakan buku pelajaran sekolah yang pertama ditulis oleh pribumi Willem Iskander meninggal 1876 diantara sejumlah bukunya yang diterbitkan di Batavia, buku hasil karya Willem Iskander yang sangat terkenal adalah berjudul ‘Si-Boeloes-boeloes, Si-Roemboek-roemboek: Boekoe basaon’ diterbitkan pertama kali di Batavia oleh Landsdrukkerij (Percetakan Negara) tahun 1872 (buku ini di Tapanuli Selatan hingga ini hari masih dibaca anak-anak sekolah). Anak-anak didiknya lulusan Kweekschool Tanobato juga menjadi guru-guru yang berprestasi yang aktif menulis buku-buku pelajaran yang diterbitkan di Batavia, seperti: Dja Sian, Soetan Koelipa dan Dja Rendo. ‘Boekoe etongan Mandailing etongan ni dakdanak di medja. Batavia, 1868; Si Mangantar gelar Radja Baginda. ‘On ma barita tingon binatang-binatang bahatna lima poeloe pitoe. Batavia, 1868. Pada tahun 1875 Kweekschool Tanobato ditutup dan digantikan sekolah guru yang lebih besar di Padang Sidempoean tahun 1879. Alumni dua kweekschool ini mengisi kebutuhan guru hingga ke Riouw dan Singkel. Di Tapanoeli sendiri pada tahun 1892, terdapat 18 sekolah negeri dimana 15 buah berada di Padang Sidempoean dan sekitarnya (afdeeling Mandheling en Ankola).

Dja Endar Moeda lahir dan tumbuh di lingkungan tradisi baca tulis di Afdeeling Mandheling en Ankola. Sudah barang tentu kemampuan menulis Dja Endar Moeda jauh lebih baik dibanding Tirto Adhi Soerjo (minimal menang dalam pengalaman). Dja Endar Moeda tidak hanya seorang guru, tetapi juga menulis buku-buku pelajaran sekolah. Guru-guru asal Padang Sidempoean juga sangat mahir menulis buku sastra seperti ‘mahaguru’ Willem Iskander yang menulis kumpulan prosa (Si-Boeloes-boeloes, Si-Roemboek-roemboek). Dja Endar Moeda juga penulis roman yang produktif sebelum terjun ke dunia jurnalistik.


Dalam dunia pers, bobot tema perjuangan Dja Endar Moeda jauh lebih kuat dibandingkan dengan Tirto Adhi Soerjo. Perkara pertama yang menimpa dirinya dalam delik pers yang dikenakan adalah pasal penghinaan, yang mana Tirto Adhi Soerjo di dalam Medan Prijaji edisi Juni 1908 No 24 menyebut wakil controleur Poerwedadi sebagai "ingus-monyet dari aspirant controller" (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 18-08-1909). Kemudian kasus yang kedua menimpa Tirto Adhi Soerjo adalah juga pasal finah yang mana Adhisoerjo melakukan fitnah di dalam korannya terhadap dua pegawai negeri sipil yang mengakibatkan dirinya dapat hukuman empat bulan pemberhentian ke tempat pengasingan (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 20-12-1912).



Hal penghinaan dan fitnah bukanlah esensi perjuangan pers pribumi. Kalau ada kesalahan kutip atau interpretasi adalah lumrah bagi seorang jurnalistik dan manusiawi. Tetapi jika menghina dan menfitnah itu namanya bukan menghadapi risiko, tetapi membuat konyol. Coba kita bandingkan dengan tema-tema yang diajukan Dja Endar Moeda sehingga isinya dimuat koran-koran Eropa/Belanda. Jangan lupa, Dja Endar Moeda adalah pendidik dan mantan guru yang terus peduli bangsanya. Mari kita simak kiprahnya di dunia pendidikan dan jurnalistik, sebagaimana dikatakannya pendidikan dan pers sama pentingnya (lihat lampiran di bawah).

Parada Harahap, The King of Java Press: Cucu Pers Nasional

Parada Harahap lahir tahun 1899 setelah Dja Endar Moeda diangkat menjadi editor Pertja Barat (1897). Ketika bisnis media Dja Endar Moeda bertebaran di Sumatra (Padang, Sibolga, Medan dan Kotaradja) dan Tirto Adhi Soerjo sudah tidak memiliki media lagi (setelah skandal kreditor pada Medan Prijaji), pada tahun 1914 Parada Harahap merantau ke Deli dan bekerja sebagai krani di perusahaan perkebunan. Selama bekerja Parada Harahap memimpin majalan bulan untuk para karyawan yang diberi nama De Cranie.

Parada Harahap tidak tahan melihat kekejaman di perkebunan (poenale sanctie), Parada Harahap membongkar kasus poenali sanctie dan mengirimkan laporannya ke koran Benih Mardeka (1917). Karena namanya ketahuan lalu Parada Harahap dipecat dan kemudian bergabung dengan koran yang dimpimpin Mohamad Samin itu tahun 1918 lalu diangkat menjadi editor. Mohamad Samin adalah pemilik Benih Mardeka dan juga pimpinan Sarikat Islam di Deli.

Pada tahun 1918 Benih Mardeka dituntut karena alasan delik pers dalam hal poenale sanctie. Namun di pengadilan tidak terbukti. Mohamad Samin dan Parada Harahap aman. Namun Momahamd Samin dikejar dalam kasus perdata. Akhirnya Benih Mardeka ditutup dan Mohamad Samin dihukum. Lalu Parada Harahap pulang kampong ke Padang Sidempoean dan bekerjasama dengan Mangaradja Goenoeng untuk menerbitkan koran baru bernama Sinar Merdeka. Parada Harahap di Padang Sidempoean menjadi editor untuk dua koran, selain Sinar Merdeka juga untuk koran Poestaha.

Koran Poestaha terbit pertamakali tahun 1915. Koran ini adalah koran pertama di Padang Sidempoean. Poestaha diterbitkan oleh Soetan Casajangan, seorang guru di Fort de Kock yang baru pulang studi dari negeri Belanda (1914). Soetan Casajangan adalah mantan guru, alumni Kweekschool Padang Sidempoean yang berangkat ke Belanda tahun 1905. Soetan Casajangan adalah mahasiswa kedua pribumi yang studi di negeri Belanda. Setelah ada mahasiswa sekitar 20an orang, Soetan Casajangan mendirikan Perhimpunan Pelajar (Indische Vereeniging) pada tahun 1908. Organiasi pelajar ini kemudian tahun 1920an diubah oleh M. Hatta dan kawan-kawan menjadi Persatuan Pelajar Indonesia (PPI). Koran Poestaha ini melengkapi Koran Tapian Na Oeli di Sibolga milik Dja Endar Moeda.


Surat kabar militan di Indonesia hanya ada di Padang Sidempuan (1919)
Parada Harahap dengan Sinar Merdeka membuat gebrakan di Padang Sidempoean. Parada Harahap tidak hanya menulis kekejaman pemerintah di Angkola dan Mandailing juga mendatangi langsung oknum pejabat Belanda jika tidak berhasil melalui tulisan. Selama dua tahun Parada Harahap di Padang Sidempoean, belasan kali dipanggil pengadilan sidang meja hijau dan 12 diantaranya diputuskan dengan hukuman penjara dengan tuduhan fitnah (sulit melawan pemerintah dan pengadilan yang korup yang selalu berdalih fitnah). Ini sangat kontras dengan yang dialami Dja Endar Moeda dan Tirto Adhi Soerjo yang masing-masing hanya mengalami delik pers dua kali. Dja Endar Moeda dengan kasus pejabat Belanda di Kajoe Tanam (Pertja Barat dan Sumatraasch Nieuwsblad) tahun 1905 dan kasus yang melibatkan editornya CA van Deutekom dalam kasus yang mirip. Namun karena Dja Endar Moeda sebagai pimpinan juga diseret ke pangadilan (1906). Sementara Tirto Adhi Soerjo dalam kasus pejabat Belanda di Poerwedadi (1910) dan dua pegawai Belanda tahun 1912).

***
Parada Harahap tahun 1922 hijrah ke Batavia. Tirto Adhi Soerjo sudah lama tiada, meninggal tanggal 17 Desember 1918. Parada Harahap, awalnya merintis karir sebagai wartawan Neratja dan Siang Po lalu Parada Harahap bersama Wage Rudolf Supratman mendirikan kantor berita Alpena (kantor berita pribumi pertama). Pada tahun 1923 Parada Harahap bersama Dr. Abdoel Rivai menerbitkan Bintang Hindia dimana Parada Harahap bertindak sebagai editor. Parada Harahap semakin berkibar. Parada Harahap pergaulannya semakin meluas. Parada Harahap sebelum hijrah ke Batavia (di Sibolga) adalah pimpinan Soematranen Bond dibawah bimbingan tokoh kharismatik, Abdoel Karim (Harahap), alumni Dokter Djawa School, teman sepergaulan Tirto Adhi Soerjo. Parada Harahap adalah pimpinan Sumatranen Bond wakil dari Tapanoeli di Batavia. Parada Harahap mendirikan klub sepakbola yang disebut Bataksch Voetbal Club.


Bataviaasch nieuwsblad, 13-01-1925 (De Indische Associatie Vereeniging): ‘Kemarin malam di Oost-Java Restaurant een diadakan pertemuan yang mengumpulkan asosiasi-asosiasi di Nederlandsch Indie. Di dalam pertemuan ini dibicarakan AD/ART program dan struktur kepengerusan. Program meliputi kegiatan poolitik yang sehat, pengembangan pendidikan, pelatihan kejuruan sesuai dengan prinsip-prinsip dasar. Disamping itu untuk mempromosikan tingkat kesehatan, kesejahteraan, hubungan keuangan Negara dengan daerah dan lainnya. Kepengurusan: voorzitter, PJA Maltimo, secretaris Tb van Nitterlk, penningmeester, Mohamad Djamli, commissarissen: Parada Harahap, Raden Goenawan, Oey Kim Koel, JK Panggabean, Pb. J.Krancber en A. Cbatib’.

Asosiasi-asisiasi ini terdiri dari berbagai perkumpulan yang masih primordial (ras, etnik dan golongan seperti agama). Himpunan asosiasi ini sebelumnya belum pernah ada. Ide ini boleh jadi muncul karena semakin banyaknya perhimpunan (Vereeniging atau bond) yang muncul di Batavia. Dalam kepengurusan ini Parada Harahap dan JK Panggabean mewakili Sumatranen Bond. Raden Goenawan dalam hal ini mewakili Boedi Oetomo. Raden Goenawan adalah alumni Dokter Djawa School, saudara kandung Tirto Adhi Soerjo.

***
Selama ini pers Eropa/Belanda terbilang non partisan. Tapi kini ada suara miring kalau tidak bisa dibilang menyesatkan dan membahayakan yang muncul dari Soerabaija HBL (Belanda). Artikel yang dimuat di SHBL yang bernada fascism ditujukan kepada aktivis pergerakan dan pers pribumi. Penulis artikel tersebut adalah Karel Wijbrands yang dulu adalah bosnya Tirto Adhi Soejo di Pembrita Betawi ketika memulai karir sebagai wartawan (1902).Tidak ada yang merespon. Lalu Parada Harahap menyerang balik. Ini tidak sulit bagi Parada Harahap untuk bertarung, melawan pemerintahan yang lalim saja Parada Harahap berani menunjuk hidungnya langsung. Parada Harahap tidak ambil diam, lalu bereaksi dengan menulis di Java Bode, milik sobatnya dari pers Tionghoa untuk melawan pers Belanda dengan judul Kranten en Klanten (lihat De Indische courant, 17-09-1925).

Parada Harahap adalah sosok wartawan pribumi yang tiada takutnya. Keberaniannya adalah keberanian moral yang didukung kemampuan intelektual serta ditunjang dengan keberanian psikis dan fisik (berani menggulung lengan baju). Namun, itu baru dilakukan jika semua kebajikan telah dijalankan tetapi tetap buntu. Pengalaman delik pers Parada Harahap membuat dirinya makin matang dan lebih arif, tidak tergesa-gesa. Atas kepiawaian Parada Harahap, pers Eropa/Belanda mengapresiasinya sebagai wartawan terbaik.


De Sumatra post, 29-09-1925: ‘Bataksche Voetbal Club di Batavia dalam pertandingan hari Sabtu di lapangan Decapark dalam perebutan piala (beker) bertandin melawan tim lainnya, yang dipimpin oleh Parada Harahap, seorang wartawan terkenal dari Batak’.

De Indische courant, 23-12-1925: ‘Sungguh luar biasa bagaimana kuat hari ini jumlah majalah Jawa meningkat. Banyak yang tutup tetapi lebih banyak yang muncul. Semakin berwarna (nasionalis, keagamaan) dan juga khusus perempuan. Wartawannya juga bertambah pesat, bahkan wartawan Sumatra sudah mencapai 700 anggota. Sangat disayangkan oleh Parada Harahap dari Bintang Hindia dan kantor berita Alpena, yang merupakan wartawan terbaik dari Europeescbe pers, bahwa majalah aksara Jawa kurang diperhatikan oleh komunitasnya. Perjalanannya melalui Sumatera dan Selat manjadi saksi ini'.

Parada Harahap telah melakukan semua yang harusnya dilakukan oleh seorang wartawan, mulai dari membongkar kasus kekejaman, menulis ketidakadilan, dan mampu berpolemik dengan wartawan senior Belanda. Dalam keseharian Parada Harahap aktif berorganisasi, mendirikan klub sepakbola dan menulis buku. Bukunya yang pertama berjudul ‘Dari pantai kepantai: Perdjalanan ke Soematra’. Buku ini terbit tahun 1926. Hampir tidak ada wartawan yang menulis buku, tetapi Parada Harahap mampu melakukannnya. Ini sebuah prestasi jurnalistik, suatu upaya jurnalistik dalam sisi pembangunan. Hal serupa ini sudah pernah dilakukan seniornya Dja Endar Moeda pada tahun 1903 dengan menerbitkan buku berjudul Riwajat Poelau Sumatra. Buku perdana Parada Harahap ini seakan pengganti obituary kepada Dja Endar Moeda yang kebetulan pada tahun ini (1926) dikabarkan telah meninggal dunia di Kotaradja (Banda Aceh).

Pada tahun 1926 bagi Parada Harahap adalah tahun suka dan duka. Parada Harahap berduka karena seniornya, dongan sahuta; Dja Endar Moeda meninggal dunia dalam usia 65 tahun. Dja Endar Moeda telah berkiprah di bidang pers selama 29 tahun (Tirto Adhi Soerjo hanya 12 tahun). Dja Endar Moeda telah tiada tetapi karyanya masih tetap dapat dibaca. Jumlah karya Dja Endar Moeda dalam bentuk buku pelajaran dan buku roman banyaknya 10 buah.

Dja Endar Moeda adalah pribumi pertama yang dapat diidentifikasi sebagai editor surat kabar Pertja Barat (1897). Editor berikutnya adalah Tirto Adhi Soerjo (Pembrita Betawi, 1902); Mangaradja Salamboewe (Pertja Timor, 1903) dan Pangemanann (Kabar Perniagaan, 1903).

Parada Harahap bersuka, tidak hanya buku perdananya diterbitkan, juga Parada Harahap telah berhasil membangun bisnis baru, yakni menerbitkan koran baru bernama Bintang Timoer. Koran ini juga disertai suplemen dengan bahasa Belanda agar dapat dibaca orang-orang Eropa/Belanda. Ini tidak lazim, tapi ini suatu prestasi pers pribumi dengan mengambil segmen pembaca asing. Hal serupa ini sebelumnya telah dilakukan oleh Dja Endar Moeda tahun 1905 dengan menerbitkan koran berbahasa Belanda: Sumatraasch Nieuwsblad (di Padang dan Medan). Riwayat sukses Parada Harahap, selanjutnya dapat dibaca pada link ini: http://akhirmh.blogspot.com/2015/06/sejarah-marah-halim-cup-15-pers-dan.html

Parada Harahap Paling Terkenal, Dja Endar Moeda Mengapa Dikesampingkan dalam Sejarah Pers Indonesia

Sejarah pers mulai dicatat. Siapa yang mencatat?  Yang jelas catatan yang terdapat dalam koran De nieuwsgier edisi 17-02-1956 adalah yang pertama coba merangkum perjalanan pers nasional.

Apa itu nasional? Seharusnya mencakup semua warga Negara yang mengakui RI sebagai negaranya. Warga yang tidak mengakui akan dipisahkan sebagai warga Negara asing. Pengakuan Belanda terhadap kedaulatan RI, berarti memisahkan siapa yang menjadi bagian nasional dan siapa yang dianggap sebagai asing.

Sebelum pengakuan kedaulatan RI, pers di bumi nusantara terdiri dari berbagai bangsa. Bangsa Eropa/Belanda, Bangsa Non Eropa (umumnya Asia) dan Bangsa Pribumi (terdiri dari berbagai suku bangsa atau etnik). Bangsa pribumi haruslah mendapat hak pertama dalam menerima semua yang menjadi haknya. Dalam soal pers nasional, orang-orang pribumi harus ditempatkan sebagai daftar. Kemudian nama-nama yang terdapat dalam daftar harus dipilah dan dipilih sesuai dengan criteria pada kategori yang tersedia. Pembangun pers dan perjuangan pers harus dibedakan. Pembangunan pers belum tentu ikut dalam perjuangan pers. Tetapi pejuang pers sudah dengan sendirinya adalah pembangun pers nasional. Pembangunan pers dan perjuangan pers harus dibatasi sebagaimana dalam ruang lingkup tujuan Negara RI yang terdapat dalam mukadimah dan pasal demi pasal UUD 1945.

Namun persoalan yang tersisa: Mengapa Dja Endar Moeda dengan korannya Pertja Barat tidak diapresiasi sepantasnya? Dja Endar Moeda tidak tertulis namanya di Piramida tertinggi, bahkan di dasar piramida juga kagak tercantum. Apakah penulisnya kekurangan data dan informasi? Atau penulis memiliki definisi sendiri sesukanya atau memang sengaja ditenggelamkan agar bagian yang lain muncul ke permukaan? Padahal catatan tentang Dja Endar Moeda bertabur di koran-koran secara kasat mata sejak 1884.

Catatan sejarah pers Dja Endar Moeda bermula dari Pertja Barat, koran berbahasa Melayu yang sudah terbit sejak 1892 dan diakuisisi oleh Dja Endar Moeda (mantan guru, pengarang roman dan penulis buku pelajaran sekolah) dan pemilik percetakan pertama dari golongan pribumi. Dja Endar Moeda (Harahap) tidak hanya memiliki koran Pertja Barat dan Insulinde di Padang, tetapi juga menerbitkan koran di Padang Sidempoean dan Sibolga serta di Medan dan Kotaradja (Banda Aceh).

Dja Endar Moeda tidak hanya menerbitkan koran berbahasa Melayu dan berbahasa Batak, juga Dja Endar Moeda menerbitkan koran Sumatraasch Nieuwsblad berbahasa Belanda. Dja Endar Moeda adalah Radja Persuratkbaran di Sumatra [sementara radja persuratkabaran di Jawa adalah Parada Harahap: The King of Java Press]. Sudah seharusnya pada peringkat pertama sejarah pers bangsa Indonesia adalah Saleh gelar (Mangara)Dja Endar Moeda dan Parada Harahap pada peringkat kedua. Semboyan koran Dja Endar Moeda baik di Pertja Barat maupun Pewarta Deli sama persis: 'Organ Boeat Segala Bangsa'.

Koran Pertja Barat dan Pewarta Deli jelas-jelas bukan ditujukan kepada orang-orang Tapanoeli, tetapi buat untuk segala bangsa (nasional). Untuk orang Tapanoeli sendiri, yang belum semua bisa berbahasa Melayu, Dja Endar Moeda secara khusus menyediakan majalah yang diberi nama Tapian Naoeli. Dan Koran Pertja Barat dan Pewarta Deli sesuai semboyannya buat segala bangsa, maka Dja Endar Moeda harus dipandang sebagai tokoh nasional. Yakni tokoh yang paling awal di negeri ini untuk merintis pers nasional. Karena itu, Dja Endar Moeda haruslah selalu dipandang sebagai De Pionier.

Bagaimana dengan Tirto Adhi Soerjo? Hanya berkiprah dalam dunia pers dalam beberapa tahun saja. Riwayatnya juga tidak terlalu dikenal. ‘Tentang Tirto ini sampai sekarang sangat sedikit yang diketahui, meskipun ia dianggap di masa sekarang Indonesia sebagai ‘Bapak Pers Nasional’ (De waarheid, 04-03-1989). Pada tahun 1973, pemerintah menabalkan Tirto Adhi Soerjo sebagai Bapak Pers Nasional. Nama Tirto melejit saat mana Pramoedya Ananta Toer menggambarkan kiprah Tirto sebagai ‘De Pionier’ sebagai tokoh Minke dalam novel Rumah Kaca (terbit 1988).

Dikatakan dalam biografi Tirto oleh Pramoedya Ananta Toer, Pada tahun 1894 empat belas tahun Tirto pindah ke Batavia untuk studi kedokteran (School tot opleiding van Inlandse Artsen/STOVIA) di Batavia dan keluar tahun 1900 dan mencari pekerjaan menjadi editor Pembrita Betawi. Penulisan ini juga tidak tepat, karena nama STOVIA juga baru muncul tahun 1898 dan alumninya hingga tahun 1902 semuanya masih disebut Dokter Djawa (dokter djawa school). Nama Tirto Adhi Soerjo sejak 1894 hingga 1900 di dalam daftar nama-nama siswa Dokter Djawa School tidak terdeteksi. Juga tidak terdeteksi dengan nama Djokomono (nama kecil Tirto Adhi Soerjo). Apakah ada nama alias atau hanya rekaan Pramoedya Ananta Toer? Mungkin diperlukan 'mesin pencari' yang lebih canggih?

Keutamaan Tirto Adhi Soerjo hanya satu, semboyan koran Medan Prijaji: ‘SOEARA bagai sekalian Radja-radja, Bangsawan asali dan fikiran, Prijaji dan saudagar Boemipoetra dan officier-officier serta saudagar-saudagar dari bangsa jang terprentah laenja jang dipersamakan dengan Anaknegri, di seloeroeh Hindia Olanda’ (lihat https://archive.org). Frase ‘bangsa jang terprentah’ membedakan dengan semboyan Koran pribumi utama sebelumnya, seperti Pertja Barat (1900) semboyannya memang masih bersifat umum: Organ Boeat Segala Bangsa.Koran lainnya milik Dja Endar Moeda yang terbit tahun 1910 semboyannya sama dengan Pertja Barat: Organ Oentoek Segala Bangsa. Bisa diartikan 'segala bangsa' sesungguhnya berarti 'segala suku bangsa' (karena koran pribumi berbahasa Melayu). Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya hanya menyebut Tirto Adhi Soerjo yang mampu menciptakan berita, yang lain disebut kerjanya yang pokok baru mengutip dan menyalin dari pers putih (Belanda). Pram keliru besar, justru Dja Endar Moeda sangat piawai menciptakan apa yang harus diberitakan. Malah sebaliknya, pendapat Dja Endar Moeda (di dalam Pertja Barat maupun wawancara langsung) yang dikutip pers Belanda (putih). Bukti-buktinya disarikan dalam lampiran di bawah artikel ini. Pendapat Tirto Adhi Soerjo (di Medan Prijaji maupun wawancara) belum ditemukan yang dikutip oleh pers putih (Belanda). Pram memutarbalikkan fakta.

Semboyan Medan Prijaji segera  hilang tajinya jika dibandingkan dengan semboyan Benih Mardeka. Koran yang digawangi oleh Parada Harahap tahun 1918 ini memiliki semboyan yang lebih eksplisit: Organ Oentoek Menoentoet Kemerdekaan. Semboyan koran Parada Harahap di Padang Sidempoean bernama Sinar Merdeka memiliki semboyan: Organ Oentoek Kemadjoean Bangsa dan Tanah Air. Parada Harahap dengan korannya Sinar Merdeka namanya saja sudah mengindikasikan tujuan kemerdekaan sedangkan semboyannya dalam rangka buat pribumi yang memiliki tanah air warisan kakekmoyang agar maju. Sangat lengkap dan eksplisit. 

Debat Dja Endar Moeda di Sumatra Courant, 1899
Parada Harahap dalam urusan menciptakan berita yang kritis bukanlah jago kandang. Parada Harahap adalah satu-satunya wartawan di masanya (yang pertama) yang berani beropini di dalam pers Belanda dengan menyerang balik Karel Wijbrands (pemilik Soerabaijasch handelsblad) dengan menulis artikel berjudul Kranten en Klanten di Java Bode, Semarang (lihat De Indische courant, 17-09-1925). Karel Wijbrands adalah bos Tirto Adhi Soerjo dulu di Pembrita Betawi. Pram menyebut Karel Wijbrands sebagai guru Tirto Adhi Soerjo. Dja Endar Moeda beropini dengan wartawan Belanda di Sumatra Courant tahun 1899 dalam kasus transvaal (bantuan orang-orang Belanda terhadap golongan putih de Boer di Afrika, sementara di Nederlandsch Indie, pribumi dilanda kemiskinan). Ini juga berarti Dja Endar Moeda adalah pribumi pertama yang mampu beropini (polemik) di dalam pers Balanda. Singkat fakta: semua perihal awal pers dan perjuangannya adalah milik dan hak Dja Endar Moeda, bukan milik Tirto Adhi Soerjo sebagaimana dipahami selama ini.. 

Dja Endar Moeda dihukum cambuk karena delik pers di Padang (1905) dan diminta meninggalkan Padang dan merantau ke Medan. Sementara Tirto Adhi Soerjo karena delik pers juga dihukum dan setelah masa tahanan selesai diasingkan ke Lampong (1910). Tirto kembali ke Batavia setelah empat bulan. Parada Harahap dengan dalih delik pers pemerintah colonial, 101 kali dipanggil pengadilan untuk sidang meja hijau dan belasan kali masuk penjara.Dja Endar Moeda adalah wartawan pribumi pertama yang menghadapi risiko pers di era kolonial dan Parada Harahap yang terbanyak.

Dengan demikian, antara visi Dja Endar Moeda, Tirto Adhi Soerjo dan Parada Harahap terdapat garis continuum. Setiap era, pers Indonesia mengikuti jamannya sendiri. Peran yang dimainkan juga berbeda, karena perihal yang diperjuangkan juga berbeda. Nama medianya juga berbeda-beda dengan mengikuti jamannya (lihat De nieuwsgier 17-02-1956: Van ‘het terrein van de ambtenaar’ tot aan de ‘open ogen’ en ‘het Hiernamaals’). Karena itu, peran dan fungsi masing-masing tiap era secara substansial tidak bisa diperbandingkan. Yang bisa dipahami adalah bahwa antar era terdapat garis continuum, yakni: melawan ketidakadilan yang menjadi esensi perjuangan pers Indonesia. Jika begitu adanya maka pioneer pers nasional adalah Dja Endar Moeda sebagai kakek, Tirto Adhi Soerjo sebagai anak, dan Parada Harahap sebagai cucu pers nasional. Ketiga tokoh pers nasional ini sesungguhnya adalah Bapak Pers Indonesia dijamannya. Dja Endar Moeda, Bapak Pers Nasional di Sumatra dan Tirto Adhi Soerjo, Bapak Pers Nasional di Djawa. Sedangkan Parada Harahap, Bapak Pers Nasional, tidak hanya di Djawa (sebagai The King of Java Press) juga di Sumatra, di Kalimantan, di Sulawesi, di Maluku, di Nusa Tenggara, di Papua dan bahkan di bunia pers internasional setidaknya di Asia Tenggara kala itu (sebagai wartawan terbaik versi pers Eropa/Belanda). Berikut profil tiga tokoh pers nasional tersebut.


Profil Tiga Tokoh Pers Nasional

Uraian
Dja Endar Moeda
Tirto Adhi Soerjo
Parada Harahap
Lahir
1861
1880
1859
Pendidikan
Kweekschool (1880-lulus 1884)
Docter Djawa School (1894-tidak selesai)
Sekolah Rakyat (1906, sekolah 3 tahun)
Pengalaman kerja
Guru di berbagai tempat
-
Juru tulis di perusahaan
perkebunan
Mulai menulis
1887
(Soeloeh Pengajar)
1897
1916
(De Cranie)
Mulai editor koran
1897
Pertja Barat
1902
Pembrita Betawi
1918
Benih Mardeka
Koran utama (mulai)
Pertja Barat (1900), Pembrita Atjeh (1909) dan Pewarta Deli (1910)
Medan Prijaji (1907)
Sinar Merdeka (1919), Bintang Hindia (1923), Bintang Timoer (1930), Tjaja Timoer (1938), Java Bode (1950)
Jumlah editor media
8
4
20
Jumlah pemilikan media
8
1
15
Jumlah media bahasa asing
2
-
3
Jumlah delik pers
2
2
101
Pemilikan media (mulai)
1900
1907
1919
Pemilikan percetakan (mulai)
1900
1908
1930
Prestasi/julukan
Raja Persuratkabaran Sumatra
-
Wartawan terbaik versi Jurnalistik Eropa/Belanda
The King of Java Press
Lama di dunia pers (tahun)
29
12
41
Wilayah jurnalistik
Padang, Sibolga, Medan dan Banda Aceh
Batavia, Tjiandjoer, Bandoeng
Medan, Padang Sidempoean, Sibolga, Batavia, Bandoeng, Semarang, Soerabaija, Bukittting, dan Makassar
Jumlah karya (buku)
10
0
13
Meninggal
1926
1918
1959
Masa hidup (tahun)
65
38
60
Aktivitas lain
Penulis buku pelajaran dan pengarang novel, pemimpin jamaah haji
-
Penulis buku umum, penulis scenario film, dosen, pejabat pemerintah
Organisasi
Insulinde
Sarikat Islam
Sekretaris PPPKI dan Anggota BPUPKI
Pionir
Jurnalistik pribumi
-
Pendiri sarikat wartawan, pendiri kadin, pendiri akademi jurnalistik, pendiri kopertis, pemulis repelita
Penghargaan pemerintah
-
Bapak Pers Nasional
(1973); Pahlawan Nasional (2006)
Bintang Mahaputra Utama
(1992)
Keluarga
Cucu: Dr. Ida Loemongga, PhD, perempuan pribumi pertama bergelar PhD di bidang kedokteran (1932); Mr. Gele Haroen, Resident pertama Lampung
-
Anak: Mr. Aida Dalkit, Perempuan pertama ahli hukum di Sumatra (1957)

***
Sehubungan dengan penobatan Tirto Adhi Soerjo sebagai Bapak Pers Indonesia dan pemberian gelar Pahlawan Nasional, saya tidak dalam rangka menggugat Tirto Adhi Soerjo. Itu urusan para wartawan. Saya hanya ingin menarik perbandingan antara ketiganya. Yang dalam hal ini ada dua hal pokok, yakni: pertama, jika  Tirto Adhi Soerjo dianggap sebagai Bapak Pers Nasional, seharusnya Dja Endar Moeda harus dinobatkan sebagai Kakek Pers Nasional. Kenyataannya, terbukti, Tirto Adhi Soerjo yang lebih muda tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan Dja Endar Moeda yang lebih tua. Dja Endar Moeda adalah De Pionier Pers Indonesia, yang lain berada dibelakangnya. Sumbangan Dja Endar Moeda dalam pembangunan (pendidikan, pers dan pembangunan ekonomi) jauh lebih baik dari Tirto Adhi Soerjo.

Kedua, jika Tirto Adhi Soerjo diberi gelar Pahlawan Nasional, seharusnya Parada Harahap juga sepatutnya diberi gelar Pahlawan Nasional. Parada Harahap jauh melampaui prestasi perjuangan pers yang dilakukan oleh Tirto Adhi Soerjo dan sangat jauh di depan prestasi pembangunan yang dilakukan oleh Parada Harahap.

Adalah hutang seluruh rakyat Indonesia jika Parada Harahap tidak kunjung tiba untuk mendapat gelar Pahlawan Nasional. Rakyat Indonesia tidak harus menunggu keluarga (cucu dan cicitnya) untuk mengusulkannya. Ini tugas kita bersama, utamanya para wartawan.

Sakti Alamsjah, Cicit Pers Nasional: Pendiri Surat Kabar Pikiran Rakyat Bandung

Sebelum kemerdekaan RI, ratusan insan pers Padang Sidempoean yang bermarkas di Batavia dan sekitarnya. Pada tahun 1925 ada sekitar 700 wartawan Sumatra di Batavia (De Indische courant, 23-12-1925). Lebih dari separuh berasal dari Tapanoeli. Jumlahnya semakin bertambah hingga jelang kemerdekaan dan umumnya mereka berasal dari Padang Sidempoean, antara lain: Adam Malik, Sakti Alamsjah, Mochtar Loebis. Namun diantara mereka tokoh pers asal Padang Sidempoean yang cukup menonjol adalah Sakti Alamsjah (Siregar).

Sakti Alamsjah Siregar dari Parau Sorat, Sipirok bukanlah pionir pers di Jawa Barat. Yang menjadi pioneer pers di Jawa Barat adalah Tirto Adhi Soerjo. Keutamaan Sakti Alamsjah dalam pers Jawa Barat adalah eksistensi Pikiran Rakyat yang masih terbit hingga ini hari. Sakti Alamsjah adalah pendiri harian Pikiran Rakyat, Bandung. Sakti Alamsjah Siregar adalah penerus garis pers anak-anak dari Padang Sidempoean yang dapat dirangkum sebagai berikut (lihat gambar).
.



Ringkasan Kronologis: Tiga Tokoh Pers Indonesia

Tahun
Dja Endar Moeda
Tirto Adhi Soerjo
Parada Harahap
1861
Lahir di Padang Sidempoean


1879
Masuk Kweekschool Padang Sidempoen, lulus tahun 1884


1880

Lahir di Blora

1886
Diangkat menjadi guru di Batahan, Natal.


1887
Editor  majalah Soeloeh Pengadjar (terbit di Probolinggo)


1894

Masuk STOVIA?

1895
Roman Hikajat Tjinta Kasih Sajang (penerbit Otto Bäumer di Padang, 1895)


1897
Menulis roman berjudul: ‘Hikayat Dendam taq Soedah Kalau Soedah Menawan Hati’


1897
Bulan November diangkat menjadi editor Pertja Barat di Padang


1899


Lahir di Padang Sidempoean
1900
Mengakuisisi (membeli) Pertja Barat


1900
Membeli Percetakan Winkeltmaatschappij (sebelumnya Paul Baumer en Co)


1901
Menerbitkan majalah Insulende.
Menerbitkan majalah Tapian Na Oeli


1902

Diangkat sebagai Editor Pembrita Betawi (penerbit/percetakan  firma Albrecht en Co pimpinan Karel Wijbrands)

1903
Membuka percetakan di Medan dan membentuk klub sepakbola ‘Letterzetters Voetbal Club’
Asisten Editor Soenda Berita

1904
Berkunjung ke Bintang Hindia di Amsterdam (kerjasama media)
Soenda Berita (bekerja sama dengan Koningin- Wilhelmina School)

1905
Menerbitkan surat kabar berbahasa Belanda Sumatraasch Nieuwsblad di Padang


1905
Didakwa dengan delik pers dan dihukum cambuk


1906
Menerbitkan surat kabar berbahasa Belanda Sumatraasch Nieuwsblad di Medan
Menikah dengan putri Fatimah, anak dari Sultan Batjan di Batjan 8 Februari 1906 [15-03-1906 kembali ke Batavia]
Masuk sekolah rakyat tiga tahun
1907
Editornya Sumatraasch Nieuwsblad di Padang Mr C. van Deutekom didakwa dengan delik pers
Menerbitkan Medan Prijaji di Buitenzorg dan kemudian ke Bandoeng

1908

Editor majalah bulanan militer (penerbit firma VA van der Ilucht & Co)

1909
Menerbitkan koran Pembrita Atjeh di Kotaradja (Banda Aceh)
Editor Pentjaran Warta (orgaan voor Boedi Oetomo, afdeeling Batavia). Pada tahun ini BO, Pentjaran Warta dan TAS berpolemik dengan Douwes Dekker, editor Bataviaasch NBL

1910
Menerbitkan koran Pewarta Deli di Medan
Mei, diasingkan ke Lampong setelah habis masa hukuman dan September kembali ke Batavia.

1911

Berpolemik dengan pengurus Sarikat Militer Boemi Poetra

1912

Editor Soeara Keadilan (penerbit Fortnnadrukkerij). Berpolemik kembali dengan DD dari Bat.NBL.



TAS, editor Medan Prijaji tersandung delik pers, dihukum penjara dan diasingkan.

1914

Direktur dan editor  NV Medan Prijaji bermasalah dengan para kreditornya. Medan Prijaji dijual
Merantau ke Deli
1915

Medan Prijaji diterbitkan di kota Medan oleh anak-anak Padang Sidempoean
Editor majalah De Cranie
1917


Membongkar kasus poenali sanctie di perkebunan
1918

Meninggal dunia pada 17 Agustus 1918 di Batavia
Editor Benih Mardeka di Medan
1919


Menerbitkan Sinar Merdeka di Padang Sidempoan dan merangkap editor Poestaha Padang Sidempoan (terbit sejak 1915)
1922


Masuk organisasi pergerakan pemuda dan politik
1923


Hijrah ke Batavia dan Editor Bintang Hindia
1926
Meninggal dunia di Kotaradja (Banda Aceh) 1926


1959


Meniggal dunia di Jakarta 11 Mei 1959
1965

Pramoedya Ananta Toer  (1965-1979) menulis biografi TAS dan menyebutnya 'De Pionier’

1973

Diangkat pemerintah sebagai Bapak Pers Nasional. Makamnya dipindahkan ke Bogor

1992


Dianugerahi tanda kehormatan Bintang Mahaputra Utama (Kepres No. 48 Tahun 1992).
2006

Dianugerahi sebagai Pahlawan Nasional (Keppres RI no 85/TK/2006)

2015
Diapresisi sebagai Kakek Pers Nasional di Blog ini



Karya
Karya
Karya

·      Dja Endar Moeda. ‘Hikajat tjinta kasih sajang’. Otto Bäumer, 1895
·      Dja Endar Moeda. ‘Hikajat dendam ta' soedah: kalau soedah merewan hati’. 1897.
·      Dja Endar Moeda. ‘Kitab sariboe pantoen: ibarat dan taliboen, Volumes 1-2’. Insulinde, 1900.
·      Dja Endar Moeda, L.J.W. Stritzko. ‘Tapian na Oeli na pinararat ni Dja Endar Moeda ni haroearkon ni toean’. 1900.
·      Dja Endar Moeda. ‘Kitab boenga mawar: pembatjaan bagi anak2’. Insulinde, 1902.
·      Dja Endar Moeda. ‘Kitab peladjaran bahasa Wolanda oentoek anak anak baharoe moelai beladjar’. 1902.
·      Dja Endar Moeda. ‘Hikajat sajang taq sajang: riwajat Nona Geneveuva ...’ 1902
·      Dja Endar Moeda. ‘Riwajat Poelau Sumatra’. 1903.
·      Dja Endar Moeda. ‘Kitab edja dan pembatjaan oentoek anak anak jang baharoe beladjar’. 1903.
·      Dja Endar Moeda, dan Djamaloedin (Baginda). ‘Kitab kesajangan: bergoena oentoek anak-anak jang baharoe beladjar membatja hoeroef Belanda’. 1904.
Tidak ada
·      Melati van Agam (Swan Pen, pseud. van Parada Harahap). 1923.
·      Dari pantai kepantai: Perdjalanan ke Soematra October-Dec. 1925 dan Maart-April 1926 (Parada Harahap). Bintang Hindia. 1926.
·      Menoedjoe matahari terbit: perdjalanan ke Djepang November 1933 - Januari 1934 (Parada Harahap). Bintang Hindia. 1934.
·      Riwajat Dr Abdul Rivai (Parada Harahap). Handel Mij Indische Drukkerij. 1939.
·      Pers dan journalistiek (Parada Harahap). Handel Mij. Indische Drukkerij. 1941.
·      Vietnam merdeka! (Parada Harahap). Usaha Penerbit Tintamas. 1948.
·      Sa’at Bersedjarah: Ichtisar dan Pemandangan jang Didapat dari Persidangan Komite Nasional Indonesia Pusat, Dilangsungkan di Malang pada Tanggal 25 Februari sampai 5 Maret 1947 (Parada Harahap). Djakarta: NV Gapura. 1951.
·      Kedudukan pers dalam masjarakat (Parada Harahap). 1951.
·      Ilmu Djoernalistik (Parada Harahap). Djakarta: Akademi Wartawan. 1952.
·      Indonesia Sekarang (Parada Harahap). Bulan Bintang. 1952.
·      Toradja (Parada Harahap). N.V. Penerbitan. 1952.
·      Serba sedikit tentang ilmu pers (Parada Harahap). Akademi Wartawan. 1952.
·      Industri Eropa dan five year plan (rentjana lima tahun) pembangunan Indonesia (Parada Harahap). Beringin Trading Company. 1957.



Dja Endar Moeda Dalam Berita: Berjuang Untuk Rakyat dan Menyatukan Penduduk Pribumi


Pada masa sekolah: Membantu pendidikan orang miskin

Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad, 01-05-1884: ‘Ada dua anak murid Kweekschool Padang Sidempuoen yang bernama Si Saleh dan Si Doepang melakukan kebajikan mengumpulkan dana untuk membantu orang yang membutuhkan pendidikan’.

Setelah menjadi guru: Menulis buku sendiri untuk muridnya

Sumatra-courant: nieuws-en advertentieblad, 22-05-1886: ‘Si Saleh, galar Raja Endar Moeda, saat ini berada di Batahan, terpencil dan hidup kesepian. Dia adalah salah satu guru lulusan dari Kweekschool Padang Sidempoean yang diangkat dengan gaji f75 plus f25 untuk perumahan. Sekolah makin memburuk, siswa hanya enam orang paling banyak 10 murid. Namun guru ini cukup cakap menulis dalam bahasa Belanda dan memiliki kecenderungan untuk membangun namun tidak memiliki buku dan fasilitas yang sangat minim. Dia melakukannya sendiri’.

Sebagai pengarang: Diapresiasi oleh orang Belanda

Sumatra-courant: nieuws-en advertentieblad, 25-10-1897: ‘Percetakan Winkeltmaatschappij (sebelumnya Paul Baumer & Co) menerima sebuah buku kecil yang ditulis tangan terampil dari Dja Endar Moeda. Editor Pertja Barat, Penerbit Winkeltmaatschappij menganggap buku itu layak. Kami tidak ragu bahwa isi dan ruang lingkup cerita juga akan memenuhi tuntutan layak terbi’.

Ketika Dja Endar Moeda menjadi editor

Mendorong rakyat bangkit dari keterpurukan, melakukan apa yang bisa dilakukan

Sumatra-courant : nieuws- en advertentieblad, 30-12-1897: ‘Pertja Barat (Dja Endar Moeda) meminta rakyat berhenti meratapi kemerosotan dan kesulitan untuk menemukan mata pencaharian bagi penduduk. Guru ini berteriak untuk mengolah sumber daya yang lebih baik agar dapat menemukan nafkah’.

Usul mengutamakan bahasa Melayu dalam pendidikan

Sumatra-courant: nieuws-en advertentieblad, 25-03-1898: ‘Dja Endar Moeda mengusulkan di dalam korannya, Pertja Barat, menginginkan agar di sekolah pribumi, bahasa pengantarnya adalah bahasa Melayu, bukan bahasa Belanda. Alasannya adalah bahwa sangat sulit bagi pribumi untuk bisa berbahasa Belanda’. [Pernyataan Dja Endar Moeda ini membuat petinggi di Batavia tersentak. Koran ini juga memuat hasil wawancara korespondennya di Batavia yang menanyakan langsung Menteri Penididikan]. (Koresponden): ‘Apakah penggunaan bahasa kita (maksudnya Belanda) dalam pendidikan akan dihentikan?”. Menteri menjawab: ‘Jangan sampai terjadi, nanti tidak ada ajaran yang lebih mengikat seperti sebelumnya yang terjadi di sekolah guru’. [Koran ini menambahkan bahwa memang Dja Endar Moeda belum mengklaim bahwa bahasa Belanda dihentikan sama sekali dalam pendidikan pribumi, tetapi hanya menunjuk bahwa fakta mengajar dalam bahasa Belanda lebih berat bagi penduduk pribumi]. (lebih lanjut koran ini): ‘Dja Endar Moeda berpendapat, bahasa Melayu sebagai pengantar di sekolah, tetapi bahasa Belanda juga perlu dan mengusulkan adanya pelajaran bahasa Inggris atau Prancis di sekolah pribumi’.

Peduli korban gempa

Sumatra-courant : nieuws- en advertentieblad, 11-07-1898: ‘Dja Endar Moeda dari Pertja Barat mendorong partisipasi penduduk untuk membantu korban gempa di Bengkoelen’.

Tidak setuju dengan aturan (politik) pecah belah

Sumatra-courant : nieuws- en advertentieblad, 02-11-1898: ‘Dja Endar Moeda menulis artikel di Pertja Barat bahwa orang Jepang yang ada disini diperlakukan sama dengan orang Eropa. Dia juga mencurahkan beberapa diskusi tentang asimilasi Kristen pribumi dengan Eropa. Dia merasa sedikit simpati, meskipun ia tampaknya tidak menyukai. Hal ini dikaitkan dengan proposal Menteri Koloni proposal untuk menyamakan Jepang dan orang Kristen pribumi Hindia Belanda dengan Eropa. Islam dan Kristen harus dianggap sama dan kesejahteran harus ditingkatkan (bukan dibedakan). Ini soal adat istiadat dan moral, Eropa dan pribumi satu sama lain berbeda (antara minyak dan air). Kristen pribumi ditemukan di Molukken, Java en Tapanoeli. Meskipun iman mereka adalah kehidupan yang berbeda, ini menjadi kompleks sebagai saudara di antara mereka sendiri. Apa yang akan terjadi? Di pengadilan akan dibedakan. Non Kristen akan melayani lebih tetapi membayar pajak. Ini tidak bermanfaat malah bagi pemerintah akan menderita kerugian, yang kemudian antara dia dan Muslim akan menimbulkan kebencian dan perpecahan. Dalam keadilan yang terbukti bersalah, maka ia dihukum sebagai Eropa, ia dipenjara dan mendapat makan kentang dan roti dan tidak diperlukan untuk melakukan pekerjaan, hal yang sebaliknya untuk yang Islam. Terutama penyebab banyak komplikasi dan lain-lain perselisihan antara Kristen dan pribumi Islam. Bagaimana itu diterapkan di Ambon? Mereka akan banyak yang malu untuk mencari nafkah dengan tenaga kerja manual karena mereka disamakan dengan orang Eropa’.

Membantu rakyat di bidang hukum secara sukarela

Algemeen Handelsblad, 02-11-1898: ‘Dalam suatu pengadilan di Padang, terdakwa pribumi tidak diwakili. Mr. Dja Endar Moeda, editor Pertja-Barat, tertarik dan mengusulkan dirinya menjadi di belakang terdakwa. Permintaan ini dikabulkan. (terdakwa menjadi lebih ringan) dijatuhi hukuman kerja paksa satu tahun karena yang bersangkutan membantu narapidana melarikan diri dari penjara’.

Tidak setuju penghematan dalam pendidikan, dapat memperburuk pendidikan pribumi

Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad, 15-11-1898: ‘Dja Endar Moeda mengkritisi penghematan dan pemotongan anggaran pendidikan untuk sekolah-sekolah pribumi (termasuk kweekschool). Koran Pertja Barat edisi 10-11-1898, Dja Endar Moeda berpendapatan bahwa ‘Sepuluh tahun yang lalu, kondisi pantai barat begitu buruk, Deputi Inspektur Pendidikan Pribumi Pantai Barat hanya digaji f700 per bulan tetapi harus bertanggungjawab juga untuk mengawasi sekolah-sekolah pribumi di Aceh dan Benkoelen. Bahkan pada tahun 1887 kami tidak punya adjunt inspektur (pengawas sekolah) dan Mr Grivel, hanya digaji f500 per tahun. Sekarang, meski kita memiliki inspektur di pantai barat dengan gaji f 900 dan wakil inspektur f700 per bulan, namun jumlah sekolah pribumi belum meningkat secara signifikan. Ini berarti pemotongan anggaran pendidikan yang telah diputuskan pusat (Batavia) akan lebih merepotkan dan membuat lebih buruk lagi pendidikan bagi pribumi’.

Mendorong rakyat untuk maju agar tidak tertinggal

Sumatra-courant: nieuws-en advertentieblad, 28-02-1899: ‘Pernyataan goeroe Dja Endar Moeda (koran ini masih memberi label kepada Dja Endar Moeda sebagai guru meski bertindak sebagai jurnalis/editor), bahwa orang Melayu harus mengoreksi kesalahan sendiri bangsanya, bagaimanapun, harus tetap ada keinginan untuk bekerja di bidang pertanian, dan menunjuk ke jumlah berlatih pertanian oleh orang lain (non Melayu) dan mendorong Melayu untuk mengikuti contoh itu’.

Mendirikan sekolah swasta

Sumatra-courant : nieuws- en advertentieblad, 29-03-1899: ‘Gubernur pantai barat Sumatra telah mengajukan dana untuk tahun 1899 untuk kepentingan sekolah pribumi swasta di sini, sekolah ini di bawah kepemimpinan pensiunan guru pemerintah, Dja Endar Moeda’.

Tidak pernah lelah memajukan rakyat

Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad, 24-08-1899 (pembaca menulis): ‘Banyak yang telah dikatakan dan ditulis tentang situasi sulit. Saya di sini hanya untuk mengingatkan, sering mengeluh, dan saya kutip alasan segera dimengerti, ungkapan bahwa setiap pribumi di sini seperti terucap di mulut: “Susa bana kini”. Kita tahu bahwa Melayu, pengembara oleh alam, ia lielstSra? Dagang, yaitu, dealer atau pengecer. Tentu saja, tidak semua orang pedagang, dan selain itu, juga dalam banyak hal lainnya, biaya produktif. Pada pengadu mereka dikomunikasikan. Sementara itu, tentu saja dengan banyak cara lain mengacu pada The Malay ini. Yaitu masih ada cara lain yang ada untuk memenuhi biaya untuk hidup untuk membawa ke pikiran, mungkin itu bukanlah tugas yang mudah, tetapi upaya baik berharga. Editor surat kabar lokal Melayu, Pertja Barat dan lainnya, orang yang tanpa lelah menunjukkan hal ini. Bahwa upaya mereka berbuah. Bahwa penduduk asli di kepentingan ini semakin mulai mengerti, juga merupakan pertanda baik bahwa kita sekarang sudah bisa cor.s'ttteeren. Tidak pergi jauh ke luar Padang, saya hanya menunjukkan sebagai berikut: Selama beberapa tahun yang lalu, semuanya di atas bukit di Padang, pada dan setelah sepele. gurun. Ketika saya melihat hari-hari ini beberapa tempat terbuka mengurangi gunung dan tanaman lainnya lagi, saya mengambil sana untuk berjalan-jalan. Apa terkesan saya? Semua sepanjang jalan ke Limau Manis, dimana gulma dulu merajalela, kini orang melihat perkebunan jagung, ubi prantjis, keladi, tebu, pisang, dll. Di tempat lain di gunung persis sama. Melayu sehingga mulai sedikit pun, bahwa ia dapat dan harus membuat semua daerah berkembang berlari kembali’.

Sikap tidak setuju terhadap bantuan Transvalomanie, sementara kaum pribumi masih terpuruk

Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad, 15-12-1899 (pembaca menulis): ‘saya ingin memulai dengan apa yang telah diketahui yang disebut: Transvalomanie (bantuan untuk Belanda di Afrika). Ketika semua orang terdengar simpati di Belanda dan di diniuntuk kepentingan chariti ordonante. Dalam Ind. Revuew, November 1899 kita membaca, kata-kata yang sangat tepat berikutnya: .... bawah Transvalomanie untuk  menunjukkan bahwa dari Belanda di sini uang datang dalam jumlah banyak untuk Transvaal. Tujuannya baik. Tapi sama seperti cinta tanpa pengetahuan adalah fatal, mungkin amal tanpa menyalip tujuan. Sampai saat ini (9 November) hanya dari beberapa tempat penting di Nusantara telah terkumpul jumlah f37.115,28. Untuk berperang di Belanda sudah dikumpulkan f220.000. Ayo ke sana, ketika India adalah dalam kesulitan (yang kronis terjadi) yang itu sangat besar buat di sini. Bagaimana terpuji itu, bantuan untuk diberikan penghasilan sementara di sini terancam, di sini miskin dan juga terlihat di sekitar. Yang susah payah uang dari Timur dikirim, sedangkan tempat kami tinggal masih begitu banyak kemiskinan dan banyak air mata terlalu kering. Panti Asuhan dan pendirian amal lainnya memiliki kesulitan terbesar untuk tetap di tempat. The Transvaal didukung oleh seluruh beradab Hindia dunia bahkan ibu pertiwi. Transvaal akan menjadi kegagalan senegara tertekan kami. Dja Endar Moeda, Editor sini muncul lembar Melayu Pertja-Barat, baru ini menunjukkan yang pasti tidak hangat dan tidak tulus mengeluarkan hati simpati untuk Transvaal. Sekarang saya peduli sangat sedikit untuk sering membabi buta meniru Transvaal Transfigurasi membuat banyak kebodohan tentu tidak biasa dilakukan. Editor ini melaporkan dalam Koran melayu, bahkan dia mengaku putih, mengganggu, mereka makan wooiden dalam Melayu: Nenek Mojang, kurang digunakan untuk berarti: nenek moyang atau mengejek rangka mengutuk. Dan saya hanya bertanya: di mana perlu untuk memarahi, dan apa yang membantu para petani?’.

Menulis panduan berangkat haji ke Mekah

Bataviaasch nieuwsblad, 14-11-1900: ‘Untuk tujuan Mekkah yang dikeluarkan oleh Pemerintah banyak dan beragam persyaratan. Aturan-aturan ini jarang dibawa ke orang-orang yang terlibat dalam pengetahuan, atau dengan cara sedemikian rupa sehingga mereka yang bisa menarik bagiannya taruhan yang paling menguntungkan, tetap tidak menyadari daripadanya. Dja Endar Moeda yang juga bernama Haji Mohamad Saleh telah menulis manuicript yang isinya 44 paragraf tentang semua informasi yang diperlukan untuk calon hadji yang akan berangkat dari Hindia Belanda berziarah ke Mekkah. Dja Endar Moeda berniat bahwa naskah itu akan dikirimkan kepada Direktur Pendidikan, Agama dan Budaya untuk ditawarkan agar bisa diadopsi lalu dicetak dan didistribusikan. Tujuannya adalah dimaksudkan untuk setiap para pejabat dapat meneruskan panduan tersbut kepada calon hadji ke depan. Kita berharap ini panduan pertanda baik bagi mendatang yang akan ke Mekkah dan berharap kepada pemerintah agar upaya Dja Endar Moeda agar dapat dihargai. (Padanger)’. [Dilansir De locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad, 17-11-1900]

Majalah baru Nusantara

De locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad, 25-03-1901: ‘Seseorang menulis di Locomotive, yang dimulai pada 1 April akan muncul sebuah majalah dengan nama Insulinde (Kepulauan Nusantara/Malay Archipelago), yang akan bertindak sebagai editor Djah Endar Moeda, sekarang editor koran berbahasa Melayu,  Pertja Barat. Majalah ini cukup mahal, biaya langganan yaitu f6 per tahun untuk 12 nomor’.

Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 30-04-1901: ‘Di Padang Snelpersdrukkerij Insulinde, nomor pertama kali muncul majalah bulanan berbahasa Melayu bernama lnsulinde diedit oleh Dja Endar Moeda. Nomor perdana sangat besar dan penuh variasi. Semoga majalah panjang umur’.

Mendorong media pribumi lebih banyak agar rakyat lebih berpengetahuan

De locomotief: Samarangsch handels-en advertentie-blad, 02-05-1901: ‘Pernyataan Dja Endar Moeda bahwa diperlukan banyak media bagi bangsa pribumi untuk memberikan atau pengetahuan pembacanya ide yang lebih baik untuk berkenalan dengan isu-isu yang berbeda, tidak melulu dalam hal yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari semata’.

De locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad, 02-05-1901: ‘di Padang terbit pertama kali majalah bulan berbahasa Melayu, Insulinde dibawah redaktur Dja Endar Moeda, redacteur van de Pertja Bar at en Tapian na Oeli’.

Melaporkan kekejaman terhadap koeli

Soerabaijasch handelsblad, 23-08-1901: ‘Sebagai burung twitter / yes Barat adalah nasib kuli kontrak Tambang Sibonak mengeluh belum sedih dan mendalam. Baru-baru ini, beberapa kuli Cina lari dari pekerjaan mereka karena mereka memiliki cukup untuk makan Diet EII tarian dari mereka menjadi sakit parah dari kurangnya ot 'meninggal. Pemerintahan Eropa di sekitarnya telah biarkan hal itu membuat orang di belakang bar dan akan memeriksa keberatan dari buruh kelaparan. Pisau ini cukup naif untuk percaya bahwa apa yang orang-orang ini memiliki brill sah, mereka akan benar. Tapi jika kemudian nasib mereka akan ditingkatkan!’.

Kurikulum pendidikan pribumi harus diperluas agar setara dengan orang-orang Eropa/Belanda

De Sumatra post, 27-01-1903: ‘Pendapat Dja Endar Moeda bahwa pendidikan dasar anak pribumi harus diperluas, kurikulumnya disesuaikan dengan sekolah-sekolah Belanda/Eropa. Anak-anak pribumi juga memerlukan kemahiran berbahasa Inggris, Aritmetika. Usul Dja Endar Moeda ini sudah pernah diutarakan kepada C.A. van Ophuysen, Inspektur Pendidikan Pribumi Pantai Barat yang diteruskan ke Directeur voornoemd aangeboden lalu ke Gubernur Jenderal di Padang dan ke Menteri Koloni di Batavia. Namun menurut Direktur, ‘proposal’ Dja Endar Moeda itu diabaikan pusat dan kemungkinan hanya dapat direalisasikan di empat tempat di Jawa saja. Menurut Direktur, Jawa masih pusat perhatian pada bagian dari Pemerintah, dan wilayah kita (pantai barat) hanya dianggap sebagai bagian luar saja. Bahkan menurut Direktur, pusat masih keberatan meski pelaksanaannya dilakukan satu di luar Jawa’.

Anak ‘boru panggoran’ menikah

Leeuwarder courant, 08-06-1903 (pembaca menulis): ‘Kami merapat ke pantai, Raja Willem II hanya ada enam jam di sini. Ketika itu saya mendengar ada perayaan pernikahan besar saat itu, Alimatoen Sahadiah, putri Ankoe Dja Endar Moeda, editor surat kabar Melayu, Pertja Barat dengan seorang pemuda, alumni dokter djawa school, Haroen Al Rasjid… Padang, 2 April 1903’.

Menulis buku pelajaran untuk belajar Bahasa Belanda agar lebih banyak pribumi yang dapat menjangkau pengetahuan

Soerabaijasch handelsblad: 04-08-1904 (menutip tulisan Fokker di Telegraaf: ‘Apakah orang Melayu atau Jawa sulit untuk mengajar Hollandsch?’): ‘orang kulit coklat sangat sulit belajar bahasa asing. Bagaimana mereka bisa menyerap pengetahuan untuk pembangunan. Mengapa bahasa kita begitu sedikit orang coklat yang tahu bahasa kita? Untuk mengatasi itu, apakah memungkinkan dilakukan dengan dua bahasa nasional? Dja Endar Moeda telah membantu pribumi untuk mengatasi kesenjangan ini dengan memberi kursus dengan menulis buku pelajaran bahasa Belanda. Dia telah menulis buku pengajaran dengan judul: ‘Kitab peladjaran bahasa Wolanda oentoek anak anak baharoe moelai beladjar’ (1902). Buku itu dapat mengatasi semua kesulitan untuk belajar bahwa kami yang mereka perlukan untuk memperluas pengathuan dengan mengetahui bahasa (asing). Kami berpikir bahwa itu hampir sama seperti dikatakan bahwa Jepang tahu (belajar) bahasa Inggris. Sekarang ada begitu banyak penduduk asli mengejar pengetahuan bahasa kita, dan mereka lakukan untuk menyebarkan. Kami sebaliknya dengan Bintang Hindia di sini Amterdeam telah menyebarkan pengetahuan dengan bahasa Melayu dengan ribuan pembaca. Kami juga menyedian halaman pelajaran bahasa Belanda. Semoga komentar ini dan pengamatan berkontribusi, belajar semua yang menghargai apa yang sedang dicari. AA Fokker’.

Pribumi pertama penerbit koran bebahasa Belanda

Bataviaasch nieuwsblad, 05-07-1905: ‘Dja Endar Moeda, penerbit Sum. Nieuwtblad dan Pertja Barat’.
  
Terjadi delik pers, Dja Endar Moeda diperlakukan tidak adil

Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 30-11-1905: ‘Kasus delik pers di Pengadilan Padang dimana dua orang redaktur dijatuhkan hukuman pada 24 Juli tahun ini. Si Saleh galar Dja Endar Moeda, alias Hadji Mohd. Saleh, editor koran berbahasa Melayu ‘Pertja Barat’ dan ‘Sumatraasch Nieuwsblad’ (berbangsa Belanda) mendapat hukuman cambuk dan mengakibatkan cedera. Sementara, K. Baumer, editor dan penerbit Sumatraasch Bode (berbangsa Belanda) hanya didenda f15’.

Menjadi saksi dalam kasus pers delik C. Deutekom

Bataviaasch nieuwsblad, 25-03-1907: ‘Persdtlict. Tanggal 19 di depan dewan keadilan di Padang C. Deutekom, mantan editor Sumatiaasch Nieuwsblad, karena pers pelanggaran - pencemaran nama baik. Pada bulan September tahun lalu Mr. v. D. mendapat laporan dari koresponden Koran berbahasa Melayu, Perja Barat. (Dja Endar Moeda dihadirkan sebagai saksi). Saksi mengatakan dalam hal ini tidak sepenuhnya terlibat. Saksi Dja Endar Moeda, direktur Sum. Surat kabar dan editor Pcrtja liarat dinyatakan tidak tahu apakah Mr. v. D., dalam proses penyusunan laporan tersebut. Mr. v. D secara sah dan meyakinkan terbukti dan mengundang kecaman dan didenda f100 subsider dan 15 hari penjara dan biaya proses’.

Membantu rakyat di bidang hukum secara sukarela

De Tijd: godsdienstig-staatkundig dagblad, 02-08-1909: ‘Dja Endar Moeda, editor koran ‘Pembrita Atjeh’ membantu seorang terdakwa secara hukum dan bebas. Atas memberikan keterangan (saksi ahli) yang mewakili terdakwa dan sikap adil, Dja Endar Moeda ditawari pemerintah f5000, melalui pengacara, tetapi Dja Endar Moeda menolaknya’.

Pertja Barat masih eksis

De Tijd: godsdienstig-staatkundig dagblad, 02-08-1909 ‘The "Pertja Barat", sebuah Padang 3 kali pada minggu lembaran, di kepala yang dikembangkan dan energik Melayu Dja Endar Moeda dan bahwa hal itu dapat dianggap organ taruhan penduduk Malelsche di provinsi pantai barat Sumatra’.

Pertja Barat telah dialihkan kepada Dja Endar Bongsoe (adik Dja Endar Moeda)

Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 16-03-1910: ‘Untuk Padang muncul lima surat kabar Melayu. Kebanyakan dari mereka memiliki akhir-akhir batas ekses keterlaluan diizinkan, sehingga mengejutkan bahwa ini masih belum terjadi. Zoo juga yakin Sutan Raja nan Gadang, editor "Warta Hindia" yang moto di atas pisau selalu mencetak "Adil Raja di Sembah-dzalim raja di sanggah", yang menjadi the'd selalu berbicara tentang korupsi polisi, pejabat pemerintah tentang miskin lebih memerintah, yang dirugikan dll. Koran dengan semboyan "Segala bangsa." Dja Endar Bongsoe, editor Pertja Barat.

Artikel terkait:










*Akhir Matua Harahap, mantan editor majalah HATIHA di Buitenzorg  (1987-1989).


Tidak ada komentar: