1957 |
Mochtar Lubis (1956) |
***
Pewarta Deli adalah koran yang
dirintis oleh Dja Endar Moeda di Medan yang diterbitkan pertamakali pada tahun
1910. Pewarta Deli adalah koran pribumi berbahasa Melayu pertama di Medan.
Sedangkan koran berbahasa Melayu pertama adalah Pertja Timor yang terbit tahun
1902. Koran Pertja Timor investasi asing (Eropa/Belanda) sangat kuat. Koran
Pertja Timor mencapai puncaknya ketika ditangani oleh seorang pribumi bernama
Mangaradja Salamboewe (1903-1908). Namun
mantan jaksa di Natal ini tidak berumur panjang karena meninggal muda pada
tahun 1908. Setelah Mangaradja Salamboewe, anak dari Dr Asta Nasoetion ini
tiada kinerja Pertja Timor lambat laun menurun. Lalu, peluang ini dilihat oleh
Dja Endar Moeda, lalu menerbitkan koran Pewarta Deli.
Editor pertama Pewarta Deli adalah Dja Endar Moeda kemudian digantikan
oleh Panoesoenan, lalu kemudian Soetan Parlindoengan hingga akhirnya dijabat
oleh Adinegoro.
Adinegoro dari Bintang Timoer ke Pewarta Deli
Nama Adinegoro tiba-tiba
muncul ke permukaan tak kala sebuah koran memberitakan kepindahan dari Bintang
Timoer ke Pewarta Deli sebagai editor. Yang memainkan peranan dalam kepindahan
Adinegoro ini adalah Abdullah Loebis, pimpinan Pewarta Deli di Medan dan Parada
Harahap di Bintang Timoer di Batavia.
Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 13-05-1930: ‘M. Kanoen, saat editor majalah adat, Pewarta Dcli, segera pindah ke Dcli Courant. Dalam hubungan ini, diam di
Batavia direktur organ Inlandsch, yaitu Pak Abdullah Lubis, anggota Dewan Kota
Medan. Tujuannya adalah untuk menemukan editor di sini untuk korannya. Sebuah
hadir-pagi di kota tersebar "buletin" Revue Politik, sebuah koran
mingguan lokal adat independen, melaporkan bahwa Mr. Adinegoro tiba-tiba
meninggalkan posnya dari editor Bintang Timur. Dia mungkin telah memutuskan untuk
pergi ke Medan ada untuk mengambil alih dari Pewarta Dcli sendiri. Abu muncul
jumlah Politik Revue akan diberitahu tentang lanjut terutama hadir.
Parada Harahap |
Parada Harahap pernah
mengingatkan pada tahun 1918 (ketika Parada Harahap) masih di Benih Mardeka.
Bahwa antara Tapanoeli dan Minangkabau harus menurunkan ketegangan. Sementara
itu, pada waktu itu Soetan Parlindoengan dari Pewarta Deli untuk menurunkan
konflik antara yang Islam dan Kristen karena yang menjadi ‘musuh bersama’
adalah Belanda. Parada Harahap penyeimbang antara Tapanoeli vs Tapanoeli dan
Soetan Parlindoengan penyeimbang antara yang Islam dan Kristen. Kini, tahun
1930, ketegangan ini terus ada: Parada Harahap dan Abdullah Loebis memainkan
peran dengan menghadirkan Adinegoro di Medan.
Parada Harahap dan Adinegoro
Siapa Adinegoro? Dia
bukanlah pemuda asal Djawa, tetapi asal Minangkabau yang nama kecilnya Djamaloedin.
Dia adalah alumni Stovia, mahasiswa yang baru pulang studi jurnalistik di
Eropa.
De Indische courant, 13-09-1929: ‘Mr Djalaloedin, dikenal sebagai
Adinegoro telah empat tahun di Eropa (Würzburg, Jerman) belajar jurnalisme.
Menurut surat kabar Melayu, pertengahan Oktober diharapkan kembali (ke tanah
air). Mr Adinegoro asal dari Padang. Hal ini belum diketahui dimana ia akan
menetap setelah kembali’.
Setelah tiba di tanah air,
Adinegoro bergabung dengan Bintang Timoer dibawah pimpinan Parada Harahap. Hal
ini terkait dengan semakin sibuknya Parada Harahap untuk urusan yang lebih
besar: urusan organisasi pergerakan. Parada Harahap sehari-hari adalah figure wartawan,
tetapi juga aktif dalam berbagai organisasi. Bahkan sejak 1917 Parada Harahap
adalah ketua bond pekerja perkebunan di Medan, lalu pada tahun 1923 sebagai
ketua bond Sumatra di Sibolga. Di Batavia, Parada Harahap juga menjadi ‘perwakilan’
Tapanoeli di bond Sumatra.
Bataviaasch nieuwsblad, 13-01-1925 (De Indische Associatie Vereeniging):
‘Kemarin malam di Oost-Java Restaurant een diadakan pertemuan yang mengumpulkan
asosiasi-asosiasi di Nederlandsch Indie. Di dalam pertemuan ini dibicarakan
AD/ART program dan struktur kepengerusan. Program meliputi kegiatan poolitik
yang sehat, pengembangan pendidikan, pelatihan kejuruan sesuai dengan
prinsip-prinsip dasar. Disamping itu untuk mempromosikan tingkat kesehatan,
kesejahteraan, hubungan keuangan negara dengan daerah dan lainnya.
Kepengurusan: voorzitter, PJA Maltimo; secretaries, Tb van Nitterlk;
penningmeester, Mohamad Ramli; commissarissen: Parada Harahap, Raden Goenawan,
Oey Kim Koel, JK Panggabean, Pb. J Krancber dan A. Chatib’.
Sumatra Bond adalah
organisasi fungsional untuk memperjuangkan daerah melalui Bond dengan Volksraad
(di Batavia) dan Gementeeraads (di berbagai kota) di Sumatra. Di bawah naungan
bond, juga terdapat organisasi pemuda/pelajar. Pelajar-pelajar dari Sumatra yang
tergabung dalam bond pemuda/pelajar antara lain Mohamad Yamin, Amir
Sjarifoedin, Mohamad Hatta
Seorang anggota
gementeeraads di Medan, bernama Abdullah Loebis, pimpinan Pewarta Deli
membutuhkan seorang editor. Melalui koneksi ini kemudian, Adinegoro membuat kesepakatan
baru antara Parada Harahap (Bintang Timoer) dan Abdullah Loebis (Pewarta Deli).
Di Batavia, untuk tugas editor banyak pilihan. Untuk Bintang Timoer
diangkat lagi editor baru dan untuk koran baru (berbahasa Belanda) yang
dimiliki Parada Harahap juga diangkat editor. Namun untuk ke Medan, untuk tugas
editor dengan misi khusus, hanya ada satu, yakni: Adinegoro.
De Indische courant, 25-09-1930: ‘Volkscourant di Batavia, seperti yang
kita baca di AID dijual kepada Mr. Parada Harahap. Sehubungan dengan ini maka
Java Express (edisi Belanda Bintang Timoer) berhenti beroperasi. Volkscourant
sekarang berpindah ke Krekot. Aneta, 25 September melaporkan bahwa kemitraan
baru Volkscourant di Weltevreden akan terbit 1 Oktober dalam format yang lebih
besar’. [Volkscourant adalah nama baru dari De Courant yang sebelumnya kepala
redakturnya adalah A. Weeber].
Bataviaasch nieuwsblad, 26-11-1930 (persdelict): ‘Mr. Parada Harahap dan
Kontjosoengkono masing-masing CEO dan editor Bintang Timoer kontra Mr. CW
Wormser, directeur editor Alg. Ind. Dagblad di pengadilan kemarin. Koran edisi
Belanda, Bintang Timoer digugat yang dalam hal ini Koentjosoengkono, asisten
editor karena dianggap menghina Mr Wormser. Mr. Kontjosoengkono didenda f 20
dan penjara kurungan selama 10 hari’.
De Sumatra post, 06-01-1931: ‘Mr Parada Harahap berdiri untuk keseratus
kalinya di meja hijau. Kali ini Parada Harahap dipanggil ke pengadilan karena
korannya memuat iklan tagihan hutang. Si penagih hutang digugat karena dianggap
mencemarkan nama dan juga editor Bintang Timoer, Parada Harahap juga diseret.
Ketika dituduhkan Parada Harahap ikut bertanggungjawab karena iklan itu menjadi
pendapatannya. Parada menjawab: Bagaimana saya bertanggungjawab?. Polisi mencecar:
‘Anda kan direktur editor?’ Ya, tapi saya hanya bertanggung jawab untuk bagian
jurnalistik, jawab Parada Harahap. Bagian administrasi bertanggungjawab untuk
iklan. ‘Ah, kata Sheriff, ‘tanya sekarang, setuju bahwa di koran Anda muncul
iklan cabul, apakah Anda akan mengatakan tidak bertanggung jawab?. Oh, kalau
soal itu tanggungjawab saya’.
Dalam kiprahnya di Medan,
Adinegora tampaknya lambat panas, mungkin masih konsolidasi di ‘dalam negeri’
di Medan. Adinegoro sebagai pendatang baru butuh adaptasi. Sementara,
mentornya, Parada Harahap di Batavia terus memiliki inisiatif dan menggagas
didirikannya organisasi wartawan nasional. Koran Bintang Timoer adalah yang
terbaik untuk koran pribumi.
Dalam kongres di Semarang
ini, organisasi wartawan dibentuk, dengan Mr Saeroen sebagai ketua dan Bapak
Parada Harahap sebagai sekretaris dan bendahara. Komisaris adalah Bakrie, Yunus dan Koesoemodirdjo (lihat Het
nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 18-07-1931 (Congres Inlandsche Journalisten). Soerabaijasch handelsblad, 05-11-1931 (Een en ander over de Inlandsche Pers): ‘Bintang Timur
telah menjadi salah satu yang terbaik adalah hanya karena Parada Harahap’.
***
Parada
Harahap sudah berjuang sejak umur 17 tahun dalam kasus Poenali Sanctie.
Berperang dengan pena yang tajam. Lebih dari seratus kali berada di meja hijau.
Parada Harahap hanya berpendidikan sekolah rakyat, tetapi kemampuan berpikirnya
jauh dari seorang mahasiswa di perguruan tinggi. Parada Harahap umurnya hanya
beda dua tahun lebih tua dengan Soekarno, tetapi pengalamannya tentang arti
kemerdekaan jauh melampaui Soekarno dan Hatta. Parada Harahap tahu betul siapa
yang seharusnya memimpin bangsa pada waktunya.
Parada
Harahap adalah sekretaris PPPKI yang berkantor di Gang Kenari dan tentu saja
yang mengatur potret siapa yang seharusnya dipajang. Ketika ada oknum yang
menurunkan potret Soekarno dan Hatta dari dinding, Parada Harahap air matanya
menangis bagaikan seorang ayah yang menangisi anak-anaknya yang dilecehkan oleh
orang lain. Parada Harahap adalah orang yang turut membesarkan Soekarno dan
Hatta. Parada Harahap berhak untuk menangisinya.
De Indische
courant, 27-11-1931 (De nationalist Hatta):’Di antara pemimpin cemerlang,
Hatta, seorang Sumatra, dianggap oleh banyak kalangan, setelah Ir Soekarno
sebagai yang paling sesuai sebagai pemimpin Inlandsch baik saat ini maupun masa
datang. Di dalam gedung pertemuan permufakatan di gang Kenari *c, potret Ir.
Soekarno dan Dipo Negoro telah dipajang bertahun-tahun, diambil dari dinding
dan disembunyikan di bawah. Tindakan ini telah membawa banyak keributan di
antara penduduk pribumi, bahkan wartawan Parada Harahap di majalahnya menulis
dalam ‘Surat Terbuka’ telah menginformasikan bahwa, saat melihat tempat
pajangan telah kosong, air mata menangis dan pelaku diduga telah melakukan tindakan kejahatan
keji ini akan dicari di kalangan partai. Mr. Sartono menyangkal semua itu
tindakan partainya dan menolak untuk membawa potret itu (kembali) ke tempat
asalnya. Dan sekarang bahkan potret Hatta telah berdebu di bawah meja’.
Pers pribumi terus diawasi,
dikebiri jika terlalu kencang menyoal pemerintahan. Pada tahun 1932 sejumlah surat kabar dilarang
terbit. Pewarta Deli di Medan yang digawangi oleh Adinegoro aman, tetapi tidak
dengan Koran yang dipimpin oleh Parada Harahap dan Ir. Soekarno.
De Sumatra post, 13-06-1932 (Verboden periodieken en bladen): ‘Pihak
berwenang militer pada kenyataannya hampir seluruh rakyat pribumi ditempatkan
pada daftar hitam, diduga melarang. Lembar dan majalah yang dilarang adalah
sebagai berikut : Persato'an Indonesia, Simpaj, Sedio Tomo, Aksi, Indonesia
Moeda, Balai Pemoeda Bandoeng, Garoeda, Garoeda Smeroe, Garoeda Merapi, Sinar Djakarta,
Indonesia Merdeka, Impressa, Soeloeh Indonesia Moeda, Keng Po, Sim Po, Warna
Warta, Sinar Terang, Indonesia Raja, Soeara Merdeka, Daulat Ra'jat, Banteng
Indonesia, Panggoegah Ra'jat, Banteng Ra'jat, Darmo Kondo, Haloean, Kaperloean
Kita, Mustika, Pahlawan (dengan pcmoeda Kita), Soeara Kita, Priangan Tengah,
Soeara Oemoera, Soeara Oemoem Jav. Editie, Sipatahoenan, Medan Ra'jat, dan
Fikiran Ra'jat djeung pergeraken Ir. Soekarno. Seperti dapat dilihat, termasuk
kedua suratkabar Melayu yang pribumi dan Chineesch. Di antara majalah yang bisa
dibaca Bintang Timoer (Parada Harahap) dan Siang Po, baik yang muncul di
Batavia, bahkan majalah Fikiran, anggota tubuh Dr Ratu Langi di Manado, adalah
tabu. Majalah lainnya adalah organ nasionalis, semua link bahkan diucapkan
sebagai arah revolusioner’.
Pembicara
dalam Rapat Partai Indonesia di Medan dan diinvestigasi atas dugaan terlibat
komunis
Dalam tahun ini di Medan
diadakan rapat umum Partai Indonesia, Adinegoro hadir sebagai pembicara bersama
pembicara lain, Gatot Mangkoe Pradja dan Mohammad Jamin’.
De Sumatra post, 04-07-1932: ‘Mr Adinegoro dari Pewarta Dcli mengambil
sejarah gerakan asli di layar singkat. Apakah pembangunan di awal sangat
lambat, yang kemudian masuk ke rnarschtempo, meskipun pukulan berat, yang
mendapat gerakan’.
Het Vaderland:
staat- en letterkundig nieuwsblad, 05-07-1932: ‘Medan. Pada pertemuan Partai
Indonesia hadir Gatot Mangkoe Pradja, Mohammad Jamin dan Adinegoro sebagai pembicara’.
Mohamad Jamin (alumni Recht Hogeschool,
Batavia, lulus 1932) dan Adinegoro alumni STOVIA (1921- 1926) dan German
(1926-1930) adalah abang-adik. Adinegoro yang alumni German dan anggota PPI
(Persatoean Peladjar Indonesia) setelah berada di tanah air terus ‘dikejar’
karena dikhawatirkan Belanda terkait dengan fasis. German adalah musuh laten
Belanda. Ketika Adinegoro di Medan, sasaran diarahkan kepadanya yang dikaitkan
dengan adanya dugaan terlibat komunis, karena pemilikan paspor bercap Moskow.
Het nieuws van
den dag voor Nederlandsch-Indië, 20-09-1932: ‘Sebagaimana diberitakan Deli Courant, di rumah dan kantor redaktur Pewarta Deli di Medan, Djamaloedin alias Adinegoro, mantan editor Bintang
Timoer, karena dugaan kepemilikan paspor rahasia yang bercap Moskow dan lambang
pemerintah Soviet dengan domisili Batavia. Dia mengakui bahwa selama toer di
Eropa dia juga ke Moskow, Wina dan lainnya. Menurut pemberitahuan lebih lanjut
dalam Dcli Courant adalah tidak ditemukan mencurigakan’.
Het nieuws van
den dag voor Nederlandsch-Indië, 21-09-1932 melaporkan dari Soeara Oemoem, Soerabaia. Dr. Soetomo mengatakan Adinegoro cukup untuk mengetahui bahwa dia tidak tahu komunis. Tapi pengadilan
masih ingin membuktikan’.
Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 21-03-1933: ‘Aneta tanggal 21 mentransmisikan dari Medan, Deli Courant melaporkan bahwa investigasi politik juga dilakukan di percetakan Cina yang
menemukan ribuan brosur tentang Wilde Scholen Ordonnantie disita yang ditulis oleh
Adinegoro’.
Adinegoro
adalah mewakili karakteristik baru pers pribumi. Ini berbeda dengan era Dja
Endar Moeda dan Parada Harahap yang lahir dari tengah masyarakat (rakyat).
Sedangkan Adinegoro dipandang sebagai pers yang lahir dari kalangan
pelajar/mahasiswa (baik yang studi di Nederland maupun yang studi di
Nedelandsch Indie (Hindia Belanda). Pada waktu itu di Hindia Belanda sudah ada
beberapa perguruan tinggi, selain STOVIA (NIAS di Soerabaija) sudah ada RHS, dan
sekolah-sekolah pertanian di Buitenzorg. Mereka yang lulusan perguruan tinggi
ini menyuarakan lewat tulisan di koran-koran maupun majalah-majalah yang mana
beberapa diantaranya memiliki penerbitan sendiri atau menjadi editor seperti
Adinegoro.
Parada
Harahap adalah tokoh penting pergerakan pemuda/pelajar. Parada Harahap hanyalah
berpendidikan sekolah rakyat (tiga tahun), tetapi Parada Harahap sangat
menyadari arti penting pendidikan terutama pendidikan tinggi. Para tokoh
pemuda/pelajar inilah yang ditimang-timang Parada Harahap untuk calon pemimpin
bangsa. Pemuda/pelajar dari Sumatra tidak sulit bagi Parada Harahap untuk
berkomunikasi dengan mereka, karena pemuda/pelajar bagian dari bond Sumatra,
dimana Parada Harahap adalah tokoh penting Sumatranen Bond.
Ketika
Parada Harahap menggagas didirikannya PPPKI (Permoefakatan
Perhimpoenan-perhimpoenan Politiek Kebangsaan Indonesia), dan posisinya sebagai
sekretaris, interaksinya tidak hanya sebatas pemuda/pelajar dari bond Sumatra,
tetapi juga dari bond-bond lain seperti Java, Pasoendan, Minahasa, Ambon dan
lainnya.
Bataviaasch
nieuwsblad, 26-09-1927: ‘Minggu di Weltevreden para pemimpin yang berbeda dari serikat
pribumi bertemu di Batavia di rumah Mr Djajadiningrat. Diputuskan untuk
mendirikan organisasi yang terdiri dari para pemimpin dari berbagai serikat
pribumi, dengan ketua komite adalah MH Thamrin dan sekretaris Parada Harahap.
The serikat: Budi Utomo, Pasundan, Kaoern Betawi,
Sumatranenbond, Persatoean Minahasa, Sarekat Amboncher dan NIB.
Organisasi
yang digagas Parada Harahap ini yang disebut PPPKI adalah organisasi yang
menyelenggarakan kongres PPPKI yang parallel dilakukan dengan kongres pemuda.
Kongres pemuda ini kemudian menghasilkan sumpah pemuda: satu nusa, satu bahasa
dan satu bangsa. Parada Harahap dalam hal ini berada di belakang layar,
siapa-siapa pemuda yang dinominasikan untuk berbicara dalam kongres pemuda,
seperti diketahui sejumlah pemuda telah berbicara dalam kongres PPPKI seperti
Soekarno, Mohamad Yamin dan Ali Satromidjojo (wakil PPI).
***
Soal
tanah air, banyak ahlinya, tetapi soal tanah air di media, Parada Harahap
jagonya. Hanya Parada Harahap yang bergelora dan berani memainkan penanya yang
tajam ke depan hidung pers Belanda.
Sejak tulisan Parada Harahap (tentang isu fascism) yang dimuat di Java
Boed dan disarikan oleh De Indische courant, 17-09-1925, pers Belanda terus
mengikuti sepak terjang Parada Harahap. Perang sesama pers (Pribumi vs
Eropa/Belanda ) terus memanas. Parada Harahap dalam hal ini, kedalam melakukan
konsolidasi rakyat (tokoh tua maupun tokoh muda), dan keluar menjadi juru
bicara dan penangkis serangan dari pers Belanda/Eropa.
Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 08-11-1927 (Wat Gisteren in de Krant stond!...): ‘diskusi tentang mayoritas
Indonesia, bahwa Indonesia adalah warisan nenek moyang, sebagai protes keras
Parada Harahap dari Bintang Timur. ‘Jika Indonesia warisan nenek moyang, KW cs
menganggap sebagai pemberontakan.. Jadi saya memahami komunikasi yang dilakukan
oleh Pemerintah, bermain aman! Dan Anda? KW’.
KW
adalah Karel Wybrands yang dulu disebut sebagai guru pers Tirto Adhi Soerjo. KW
adalah ‘wakil’ pers Belanda/Eropa dan Parada Harahap ‘wakil’ dari pers
Indonesia dalam ‘perang opini’ di media. Batu sangungan dari pers Eropa/Belanda
dapat diatasi Parada Harahap dan akhirnya kongres PPPKI dan kongres pemuda
berhasil digelar.
De Indische
courant, 01-09-1928: ‘Pertemuan publik pertama PPPK (Permoefakatan
Perhimpoenan-perhimpoenan Politiek Kebangsaan Indonesia) utuk melakukan kongres
di Batavia. Berbagai duta negara sudah hadir dalam pertemuan ini. Tjokroaminoto
dari PSI sudah hadir. Delegasi dari Sumatera Sarekat, Mr. Parada Harahap,
managing editor Bintang Timur, di sini hari sebelum kemarin tiba dengan
mobilnya. Kongres dibuka jam delapan di tempat terbuka yang dihadiri lebih dari
2000. Di antara mereka yang hadir kami melihat Tuan Gobee dan Van der Plas dari
Kantor Urusan Pribumi. Perwakilan dari asosiasi dan istri kongres perempuan
berlangsung di aula tengah bangunan situs. Untuk membuka sekitar 9:00 Dr
Soetomo atas nama panitia menerima kongres. Soetamo mengatakan bahwa ini hasil
dari diskusi pada konferensi berlangsung di Bandung pada tanggal 17 Desember
1927, ketika pembentukan PPPKI diputuskan. Pada konferensi bahwa rancangan
undang-undang diadopsi dan menyerah PSI itu., PN1., BO, Pasundan, Sarekat
Sumatera, Studi Indonesia, Kaoem Betawi dan Sarekat Madura sebagai anggota.
Organisasi dalam pembentukan PPPKI berdasarkan nasionalis. Dengan seru:
Hidoeplah Persatoean Indonesia (Hidup unit Indonesia) memutuskan spr.
sambutannya. Kesempatan untuk PPPKI. untuk mengucapkan selamat kongres
pertamanya. Ir. Soekarno, yang berbicara atas nama PNI (Partai nasionalis
Indonesia), bersukacita dalam realisasi PPPKI karena pemisahan antara sana dan
sini dan akan ditentukan lebih tajam. Delegasi dari Sumatera Sarekat, Mr.
Parada Harahap, menyesalkan sikap pasifnya Minahassiscbe dan Amboineesche
sebangsa..’.
Jelang
kongres pemuda yang dilakukan pada tanggal 28 Oktober 1928, Parada Harahap
terus memainkan peran bagi adik-adiknya, tetapi dia sendiri sebagai senior (mentor)
dianggap sebagian yang lain sebagai ‘musuh’. Ini dengan sendirinya kongres
PPPKI dan kongres pemuda tidak semua elemen bangsa Indonesia menyetujuinya.
Karenanya, Parada Harahap ‘digoyang’ dan ingin dimatikan langkahnya, seperti
sikap dari Perserikatan Joernalis Asia di Djokja (anggotanya pribumi, Tionghoa
dan Eropa/Belanda).
Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 08-10-1928: ‘Editor koran Bintang Timur, Mr. Parada Harahap, dalam beberapa
hari terakhir telah banyak berbicara, kata Pr. Bode, hampir semua dikutip
koran/majalah Maleisehe dan menulis segala macam hal yang tidak menyenangkan baginya
(berpolemik degan pers Belanda). Ada yang bahkan mengatakan bahwa Perserikatan
Joernalis Asia di Djokja akan membahas perilaku ini pada pertemuan pada tanggal
6 bulan mendatang dan bukan tidak mungkin bahwa pertemuan ini akan diputuskan
apakah Mr. Parada disanksi untuk hal yang dilakukannya untuk ditulis secara
khusus perihal pertemuan publik’.
Parada
Harahap yang datang ke Batavia tahun 1923 ternyata belum sempat menengok
orangtuanya di kampong di Pargaroetan, Padang Sidempoean. Setelah selesai ‘hajatan
besar’ yakni kongres PPPKI dan kongres pemuda, Parada Harahap lega karena
berjalan dengan lancer. Kini (1929) Parada Harahap pulang kampong via Medan.
Selain lebih nyaman, juga transportasi Medan ke Padang Sidempoean via Sibolga
sudah lebih baik.
De Sumatra post,
15-02-1929: ‘pada 12 Februari kapal ss ‘Melchior Treub’ telah berangkat dari Batavia.
Di Belawan turun antara lain, istri Parada Harahap dan balita’. De Sumatra
post, 15-02-1929: ‘‘pada 26 Maret kapal ss Op ten Noort’ akan berangkat dari
Batavia. Di Belawan akan turun antara lain, Parada Harahap
Setelah
selesai semua urusan adat di kampong, Parada Harahap kembali ke Batavia. Parada
Harahap adalah petarung, tetapi juga seorang manusia yang humanis. Parada
Harahap menghargai pertarung terbuka dan berhadap-hadapan. Itulah yang
dilakukannya terhadap KW (Karel Wybrands) yang mewakili pers Belanda. Kini Mr.
KW telah tiada. Parada Harahap menghormati lawannya, tidak hanya menyampaikan
berita dukacita, tetapi juga menulis artikel di Bintang Timoer tentang
perbuatan baik Karel Wybrands, seorang yang pernah menjadi seterunya. Karel Wybrands terakhir adalah Direktur koran Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië.
Het nieuws van
den dag voor Nederlandsch-Indië, 29-05-1929: ‘Direktur utama Bintang Timur, Mr. Parada Harahap, juga pernah mengirim satu pembenaran belasungkawa, berisi artikel pujian, tentang potret
KW. Dalam majalah itu menunjukkan bahwa almarhum adalah tidak melawan penduduk
asli; sebaliknya, bahwa ia telah melakukan banyak hal untuk pribumi. Catatan
tersebut menginformasikan kualitas jurnalistik KW dan sukses yang diraihnya
sebelum meninggal. RIP’.
Parada
Harahap telah memberi teladan dalam pers pribumi. Parada Harahap adalah
petarung, tidak hanya berani terhadap pemerintah colonial tetapi juga berani
terhadap pers asing (Belanda/Eropa). Ketika lawan telah tiada, hal baiknya selama
hidup harus tetap diapresiasi. Ini yang dilakukan oleh Parada Harahap. Karena
Parada Harahap adalah teladan, maka Parada Harahap haruslah dipandang sebagai
Bapak Pers Indonesia.
Adinegoro Tabrakan di Padang Sidempoean,
Parada Harahap akan ke Jepang
Tirto
Adhi Soerjo sudah lama tiada (meninggal 1918). Calon tokoh pers berikutnya
telah muncul. Salah satu calon penting adalah Adinegoro yang kini tengah dalam
perjalanan pulang setelah selesai studi jurnalistik di Eropa (lihat De Indische
courant, 13-09-1929). Sementara itu, guru Tirto Adhi Soerjo pun telah tiada.
Tokoh pers berikutnya adalah Adinegoro yang memulai karir di Bintang Timoer,
milik Parada Harahap dan telah pindah ke
Medan untuk menjadi editor Pewarta Deli (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 13-05-1930).
Selama
di Medan, kiprah Adinegoro belum terlihat dan belum ada yang menonjol. Akan
tetapi sisi lain Adinegoro yang menjadi perhatian. Adinegoro adalah wartawan
yang lahir dari para pemuda/pelajar. Karena pernah studi di German dan pernah
berkunjung ke Moeskow. Selama di Medan, hal yang dihadapi Adinegoro adalah
persoalan yang menyangkut dirinya pernah ke Soviet. Adinegoro mungkin kesal
terus diselidiki oleh intel dan polisi Belanda, lalu pulang kampong. Dalam
Perjalanan dari Medan ke Padang, mobil yang ditumpanginya mengalami kecelakaan
di Padang Sidempoean.
BK 7143, Medan-Padang Sidempoean (1930) |
Parada
Harahap, anak Padang Sidempoean tidak memiliki hutang kepada pemerintah
kolonial Belanda. Sebaliknya, Parada Harahap di Padang Sidempoean dan ditempat
lain bertahun-tahun ‘dizalimin’ oleh polisi kolonial Belanda dan telah ratusan
kali dipanggil ke meja hijau di pengadilan dan tak terhitung pula berapa kali
harus masuk penjara. Tawaran ke Jepang, sesama Asia adalah jawaban dari semua
yang pernah dialaminya dengan Belanda. Namun itu bukan tanpa konsekuensi (belum
terpikirkan pada awal 1930an). Namun sebelum berangkat seniornya Dr. Abdul
Rivai meninggal dunia. Ini menambah duka Parada Harahap yang kehilangan kembali
mentor yang mana sebelumnya (1926) senior dan mentornya Dja Endar Moeda telah
lebih dahulu menghadap yang maha kuasa.
De Sumatra post,
16-10-1933: ‘Pada 16 Oct. (Aneta). Pemimpin Bintang Timoer, Mr. Parada Harahap akan
berangkat 7 November disertai sejumlah guru pribumi dan pengusaha ke Jepang.
Rombongan akan kembali melalui Manila’. [Bataviaasch nieuwsblad, 24-10-1933:
‘Jumlah yang wisata ke Jepang sebanyak tujuh orang. Tiga wartawan, satu orang
guru, satu orang kartunis, dua pengusaha
(Batavia da Solo). Tiga orang diantaranya dari pulau-pulau luar (Jawa)].
Parada
Harahap adalah mata rantai sejarah pergerakan pemuda dan kemerdekaan. Sebagai
rantai yang panjang, Dja Endar Moeda (Harahap) telah memulainya di Padang
(1897), dan menjadi mentor Parada Harahap di Medan ketika mulai terjun ke dunia
jurnalistik (1917). Dja Endar Moeda adalah mentor bagi Dr. Abdul Rivai ketika
berangkat ke Belanda untuk bekerja sebagai editor Bintang Hindia (1904). Dja
Endar Moeda adalah mentor bagi adik kelas Soetan Casajangan di Kweekschool
Padang Sidempoean. Ketika Soetan Casajangan tiba di Belanda untuk studi tahun
1905, yang menyambut Soetan Casajangan di pelabuhan Amsterdam adalah Dr. Abdul
Rivai. Kemudian, keduanya sama-sama membesarkan Bintang Hindia. Saat hijrah ke
Batavia, Parada Harahap berkolaborasi dengan Dr. Abdul Rivai untuk menghidupkan
kembali Bintang Hindia dan menerbitkannya. Setelah Dr. Abdul Rivai pension dan
pindah ke Bandoeng, Parada Harahap menerbitkan Bintang Timoer (sebagai suksesi
Bintang Hindia). Kini (1933), Dr. Abdul Rivai telah tiada, Parada Harahap
kehilangan mentor dan sahabat yang baik, sahabat dari seniornya dongan sahuta:
Dja Endar Moeda dan Soetan Casajangan. Selamat jalan, Uda Pa’i.
De Sumatra post,
18-10-1933: ‘Kemarin sore di pemakaman Dr Abdul Rivai melayat cukup banyak.
Beberapa anggota Volksraad hadir. Ada karangan bunga besar. Ada lima speaker:
Mr van Breemen, berbicara atas nama kepala departemen DVGL Mr Tumbelaka, atas nama manajemen pusat dari dokter
pribumi, Ratulangi nama tokoh pribumi, Mr. Ajoestami atas nama Sumatranen dan
Mr. Parada Harahap atas nama Persatuan Wartawan. Mr. Dahler berterima kasih,
atas nama keluarga’.
Bataviaasch
nieuwsblad, 18-10-1933 (Menghormati Memory Dr Rivai): ‘Di Bandung dibentuk
sebuah komite oleh teman-teman Dr Rivai yang baru saja meninggal. Pembentukan
ini adalah usulan dan tindakan dari Parada Harahap, Dr. Latip dan lain-lain.
Asosiasi Dokter Hindia dan asosiasi akademisi Indonesia berpartisipasi. Hal ini
bertujuan untuk mengumpulkan semua tulisan-tulisan Dr. Rivai yang tersebar.
Ekspresi simpati dengan senang hati diundang oleh Mr. Parada Harahap’.
Rantai
tak pernah putus, hilang satu tumbuh seribu. Nama baik Dr. Abdul Rivai telah
diabadikan oleh Mohamad Hatta ketika masih kuliah di Belanda sebagai buku yang
merupakan kumpulan artikel yang ditulis oleh Dr. Abdul Rivai di Bintang Hindia.
Abdul Rivai dan Mohamad Hatta senior-junior yang selalu bermain aman dan lebih
lembut. Tetapi kombinasi Abdul Rivai dan Parada Harahap adalah perpaduan garis
lembut dan garis keras. Parada Harahap adalah penerus Dja Endar Moeda daripada
Soetan Casajangan. Dja Endar Moeda adalah wartawan garis keras (wartawan
pribumi pertama yang terjerat delik pers tahun 1905 di Padang dan dihukum
cambuk), sedangkan Soetan Casajangan sebagai akademisi lebih lembut.
Lalu
kemudian, Parada Harahap telah mengindentifikasi sejak lama penerusnya di
estapet garis keras. Mereka itu adalah para garis keras yang datang dari
perguruan tinggi. Dia adalah Soekarno. Soekarno, Amir dan Hatta adalah tiga
sosok pemuda/pelajar yang brilian yang diimpikan oleh Parada Harahap untuk
memimpin bangsa ini—kombinasi lembut dan keras. Kita lihat saja nanti: apakah
ramalan Parada Harahap terbukti. Lantas, seperti apa sosok Adinegoro?
Adinegoro menjadi
editor Pewarta di Padang
Adinegoro
sudah di Padang. Tampaknya tidak kembali ke Medan. Adinegoro dilaporkan telah
menjadi editor koran Pewarta di Padang.
Het nieuws van
den dag voor Nederlandsch-Indië, 24-06-1933: ‘Mr Saeroen, pemilik penerbit mingguan yang muncul di Batavia, Pemandangan,
telah membeli percetakan Galoenggoecg di Bandung, pencetak koran Sipatahoenan.
Pencetakan ini akan dipindahkan ke Batavia yang akan mencetak Koran seperti Pemandangan.
Adinegoro, seorang Padanger dan mantan editor koran berbahasa Melayu, Pewarta Deli
di Medan, akan bertindak sebagai editor koran Pewarta yang diterbitkan di
Padang. Sedangkan Wignjadisastra, editor Djawa Barat, akan diberhentikan berlaku
mulai 1 Juli’.
Mengapa
Adinegoro tidak kembali ke Medan sulit dipahami. Padahal Pewarta Deli adalah koran
besar. Sementara Adinegoro mulai dari bawah lagi di Pewarta di Padang. Boleh
jadi Adinegoro tidak kembali ke Medan, karena nama baiknya telah dirusak oleh
intel/polisi Belanda. Investigasi dirinya yang dikaitkan dengan komunis,
walaupun tidak terbukti boleh jadi menjadi namanya tercemar di Medan. Dugaan
terkait kominis besar kemungkinan karena kedekatan Rustam Efendi di Belanda
yang kebetulan sama-sama berasal dari Minangkabow. Rustam Efendi adalah tokoh
komunis di Belanda.
Het nieuws van
den dag voor Nederlandsch-Indië, 16-11-1933: ‘Rustam datang empat tahun lalu di Belanda dengan penghidupan kecil
tetapi mendapat tunjangan kecil dari teman-temannya sedaerah, seolah-olah untuk
jurnalisme, dan telah dilakukan Adinegoro dan Tabrani baginya. Pekerjaan ini baginya
hanya hobi. Berpartisipasi dalam politik adalah tujuan utamanya. Tiba-tiba
kehidupannya terlihat kebahagiaan, ketika Partai Komunis Belanda memiliki jaringan
dengan dia. Teman-temanya sekarang melihat dia di pertemuan komunis. Meski kini
hidup mewah dengan komunis, namun ia tetap menjadi rekan senegaranya. Beruntung
siswa-siswa Perhimpoenan Indonesia tidak setuju menyingkirkannya’.
Sesungguhnya
nama Adinegoro sudah cukup mengakar di Kota Medan, setidaknya di kalangan
komunitas Minangkabaow. Hal ini terbukti namanya termasuk yang dinominasikan
untuk duduk di gementeeraads (dewan kota).
De Sumatra post,
18-06-1934: ‘Komite Pemilihan Medansch, diketuai oleh Dr. Pirngadi sudah
terjaring sekarang ada setidaknya sepuluh calon untuk lima kursi bagi pribumi
di dewan kota Medan. Diantaranya Hoetabarat, Parapat, Mr. Dzulkarnain, Abdul Hakim
dan Adinegoro. Sebelumnya, di gedung Taman Persahabatan telah diumumkan bahwa
komite Mandailing mencalonkan Mr. Tengkoe Nizam dari Serdang. Dari komunitas
Minangkabaow masih diminta Panitia untuk mencalonkan tambahan lain. Karena Mr
Hadji Hadjerat yang dicalonkan lebih bersifat provincialistis tidak disetujui
panitia. Dalam hal ini panitia lebih menekankan calon yang lebih Indonesia. Dari
sisi lain, kita masih mendengar bahwa ada beberapa kelompok yang masing-masing
akan mengirimkan candidaten’.
Dalam
pemilihan ini, Adinegoro tidak terpilih. Salah satu kandidat yang terpilih
adalah Abdul Hakim dari lima anggota dewan kota wakil pribumi. Abdul Hakim sendiri adalah
lulusan layanan bea dan cukai. Abdul Hakim lalu ditempatkan di bea dan cukai di
Medan 1927. Di kota ini, Abdul Hakim menikah dengan boru Tapanoeli, Mariana br.
Loebis, seorang gadis yang pernah dikenalnya dulu ketika Abdul Hakim bersekolah
di MULO Padang sementara Mariana masih di sekolah dasar. Setelah cukup mengenal
Medan dan aktivitasnya yang bergerak di bidang pabean memungkinkannya untuk
membangun networking dan kemudian Abdul Hakim menjadi lebih dikenal secara
luas. Lantas dia maju dalam pemilihan anggota dewan kota (gementeeraads). Abdul
Hakim menjelaskan pada waktu itu minat yang besar dalam Medan untuk masalah
ekonomi, keuangan dan social.
Selama
di Medan, tujuh tahun terakhir dari sepuluh tahun di Medan Abdul Hakim menjadi
anggota dewan kota. Kegiatan yang dilakukan Abdul Hakim selain anggota dewan
adalah aktif sebagai guru privat bahasa Inggris dan bahasa Perancis (yang super
langka kala itu). Prestasi Abdul Hakim selama di dewan, Abdul Hakim telah
berkontribusi besar terhadap pembangunan kota Medan utamanya Pasar Central dan
Rumah Sakit Urnurn. Pada tahun 1937, Abdul Hakim pindah ke Batavia. Selama
pendudukan Jepang, Abdul Hakim di Makassar menjabat sebagai representatif
kepala kantor pusat di wilayah Sulawesi. Setelah Jepang takluk terhadap sekutu
dan tidak berdaya, dewan Tapanuli vakum, Pada tahun 1945 Abdul Hakim bergabung
dengan Masyumi di Tapanuli. Setelah proklamasi Republik Indonesia pada bulan
Agustus 1945, ia ditunjuk menjadi Wakil Residen Tapanuli. Pada tanggal 25
Januari 1951 Abdul Hakim Harahap diangkat menjadi Gubernur Sumatera (Gubernur
yang ketiga). Abdul Hakim lahir di Sarolangoen, Djambi tahun 1905, anak
Mangaradja Gading dari Padang Sidempoean.
Dewan kota untuk
non Belanda di Medan baru diberikan pada tahun 1918. Selama ini yang menjadi
anggota dewan kota adalah orang-orang Belanda/Eropa. Pada periode pemilihan
pertama (1918) golongan non Belanda (pribumi dan Tionghoa) tersedia tiga kursi.
Salah satu diantaranya yang menang pemilihan adalah Kajamoedin gelar Radja
Goenoeng. Kajamoedin Harahap lahir di Hoetarimbaroe, Padang Sidempoean tahun
1883 adalah pribumi pertama yang menjadi anggota dewan kota (gementeeeraads)
Medan. Pada periode pertama ini ada satu anggota dewan dari golongan Eropa yang
mengundurkan diri karena pulang ke Eropa. Yang menggantikannya pada pada
pertengahan 1919 adalah Mr. Alinoedin, hakim di pengadilan Medan. Alinoedin
Siregar gelar Radja Enda Boemi adalah ahli hokum pertama orang Batak (satu dari
dua Sumatra dan satu dari delapan pribumi di Nederlandsche Indie. Mr. Radja
Enda Boemi pada tahun 1925 menyelesaikan PhD di Universiteit Leiden—orang
pribumi pertama yang bergelar doktor pada bidang hokum.
Sejak
tahun 1918, anak-anak Padang Sidempoean selalu mendapatkan kursi di
gementeeraads Kota Medan. Abdul Hakim sendiri telah menjadi anggota dewan kota
sejak 1930. Pada periode 1927-1930 anggota dewan kota Medan yang berasal dari
Padang Sidempoean diantaranya adalah Kajamoedin gelar Radja Goenoeng, Abdullah
Loebis dan Soetan Parlindoengan (mantan editor Pewarta Deli dan Pertja Timoer).
Abdullah Loebis sendiri pada waktu itu adalah pimpinan koran Pewarta Deli dan
Abdullah Loebis sendiri yang datang ke Batavia tahun 1930 untuk merekrut
Adinegoro untuk menjadi editor Pewarta Deli di Medan yang kala itu Adinegoro
sebagai editor di Bintang Timoer (Direktur Bintang Timoer adalah Parada Harahap).
***
Nama
Adinegoro sejak itu (1934) tidak pernah diberitakan di surat kabar di
Nederlandsch Indie. Pada tahun 1937 (sejak kepindahan Abdul Hakim ke Batavia),
nama Adinegoro muncul lagi di Medan. Tidak sebagai kapasitas sebagai wartwan
tetapi anggota pengurus organisasi.
De Sumatra post,
28-06-1937: ‘Ini memberitahu kita bahwa kemarin, rapat umum anggota Taman
Persahabatan, kepengerusan baru terpilih. Dr. R. Pirngadi (sebagai ketua). Dr.
Gindo Siregar (sebagai wakil ketua), Agus Salim (sebagai sekretaris-1), Masaoed
(sebagai sekretaris-2), Madong Lubis (sebagai bendahara). Komisaris terdiri
dari: Mr. Mohd. Joesoef, Mr. Loeat
Siregar, Daulat dan Adinegoro’.
Pasca kemerdekaan: Adinegoro, penasehat pemerintah di
Sumatra; Masdoelhak, penasehat pemerintah di pusat (Yogyakarta)
Segera setelah pulang studi dari Eropa (akhir
1929), Adinegoro mulai bekerja sebagai editor di Bintang Timoer (pimpinan
Parada Harahap). Tetapi tidak lama kemudian, ada kesepakatan antara Abdullah
Loebis (pimpinan Pewarta Deli) dengan Parada Harahap, yang mana Adinegoro menjadi editor Pewarta Deli di Medan (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië,
13-05-1930). Adinegoro, sebelum studi ke Eropa adalah mahasiswa STOVIA, masuk
tahun 1918 dan keluar tahun 1925 (tidak selesai), lalu berangkat ke Eropa tahun
1926.
Salah satu mahasiswa yang diterima tahun 1918
bernama Ida Loemongga (perempuan jarang yang diterima di STOVIA). Ketika naik
ke tingkat dua, pimpinan STOVIA merekomendasikan agar Ida untuk meneruskan
sekolah kedokteran ke Universiteit Leiden. Kakek dan ayahnya menyanggupi, lalu
Ida berangkat tahun 1919. Ida Loemongga yang terbilang cerdas, cukup mudah
untuk menyelesaikan sarjananya (lulus 1927). Dr. Ida tidak pulang, tetapi
banyak yang meminatinya termasuk rumahsakit Wilhelmina di Amsterdam. Tapi
(sekali lagi) belum setahun mentornya di rumahsakit itu, Dr. Caroline de Lange
merekomendasikan agar Ida mengambil pendidikan PhD di Utrecht. Sekali lagi,
ayah dan kakeknya menyanggupi. Ida behasil ujian doctoral pada tahun 1931 dan sidang
terbuka tahun 1932. Dr. Ida Loemongga, PhD adalah pribumi pertama yang bergelar
doctor di bidang kedokteran.
Ida Loemongga adalah cucu dari Dja Endar
Moeda, pendiri koran Pewarta Deli, tempat Adinegoro kini bekerja sebagai
editor. Ayah Ida Loemongga sendiri adalah Dr. Haroen Al Rasjid, alumni Dokter
Djawa School (1902), teman sekelas dari Tirto Adhi Soerjo (masuk 1894 keluar
tahun 1900).
Parlindoengan Loebis |
Di Universiteit Leiden, Masdoelhak mengambil
bidang hukum. Beberapa tahun kemudian adik Ida Loemongga bernama Gele Haroen
diterima universitas yang sama. Selama kuliah Masdoelhak yang terbilang cerdas
ini juga aktif dalam organisasi ekstrakurikulir. Setelah lulus tingkat sarjana
di Universiteit Leiden, Masdoelhak tidak pulang melainkan melanjutkan
pendidikan ke tingkat doktoral di Utrecht (Rijksuniversiteit). Gele Haroen
lulus sarjana (Mr) dan pulang ke tanah air tahun 1938.
Pada ini (1938) seorang anak Padang Sidempoean kelahiran
Pematang Siantar, berangkat dari Batavia untuk studi dalam bidang teknik kimia di
Jerman, namanya A.F.P. Siregar gelar M.O. Parlindoengan. Hanya beberapa orang pribumi
yang studi ke Jerman, yang mana diantaranya sebelumnya adalah Adinegoro yang
pulang tahun 1929.
Pada tahun 1938 Ketua PI (Perhimpoenan
Indonesia) Belanda/Eropa adalah Parlindoengan Loebis yang sejak tahun 1936
menggantikan posisi yang ditinggalkan oleh M. Hatta. Parlindoengan Loebis adalah
pengurus periode kedua (1936-1940) sedangkan M. Hatta adalah periode pertama.
Sebelumnya, organisasi ini bernama Perhimpoenan Hindia
(Indisch Vereeniging) yang digagas dan yang menjadi presiden pertama tahun 1908
oleh Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan (anak Batoenadoea, Padang
Sidempoean).
Parlindoengan Loebis akhirnya berhasil kuliah
dan dipromosikan menjadi dokter setelah lulus ujian akademik Oktober 1940
sebagaimana diberitakan De standard, 26-10-1940. Tidak lama kemudian saudara
sepupu Parlindoengan Loebis yang bernama Daliloeddein Loebis juga lulus di
universitas yang sama dalam bidang Art. Saat Parlindoengan Loebis lulus dokter,
Belanda dalam situasi dan kondisi diduki militer Jerman (sejak Mei 1940). Parlindoengan
Loebis tidak langsung pulang ke tanah air, tetapi langsung bekerja dan juga
membuka dokter praktek di Amsterdam.
Ketika militer Jerman menciduk semua lawan-lawan politik
Jerman di Belanda, Parlindoengan termasuk yang diciduk (26 Juni 1941) karena
selama kepengurusan Parlindoengan Loebis di PI, organisasi ini bersikap pro
sosialis dan anti fasis, berbeda dengan kepengurusan sebelumnya yang lebih
condong ke paham komunis. Hal ini mengingatkan kita mengapa sebelumnya
Adinegoro sempat dicurigai di Medan terkait komunis (tetapi tidak terbukti).
Parlindoengan Loebis lalu dipenjarakan ke kamp konsentrasi Nazi.
Sementara itu Masdoelhak baru lulus ujian
doctoral tahun 1943 sebagaimana dilaporkan Friesche courant, 27-03-1943.
Masdoelhak berhasil mempertahankan desertasinya yang berjudul ‘De plaats van de
vrouw in de Bataksche Maatschappij’ (Tempat perempuan dalam masyarakat Batak).
Pribumi pertama bergelar doctor (PhD) adalah Mr. Alinoedin
Siregar gelar Radja Enda Boemi, anak Batangtoroe, Padang Sidempoean, ahli hokum
(Mr) pertama orang Batak, lulus dari Universiteit Leiden tahun 1925 dengan
desertasi berjudul: ‘Het grondenrecht in de Bataklanden: Tapanoeli,
Simeloengoen en het Karoland’.
Setelah berhasil menjadi doktor hukum,
Masdoelhak bergegas pulang ke tanah air. Masdoelhak merasa tidak tenang di
Belanda, karena situasi saat itu dalam pendudukan (fasis) Jerman. Masdoelhak
tidak mau mengambil risiko, dan mungkin ingat, rekan ‘dongan sahuta’ tengah
berada di kamp konsentrasi Jerman (Nazi).
Pada saat pulang ke tanah air, Indonesia di
bawah pendudukan Jepang (fasis), Namun tidak lama kemudian, Jepang menyerah
kepada sekutu lalu Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, 17 Agustus 1945.
Pada tanggal 22 Agustus ditunjuk Mr. M. Hasan sebagai gubernur Sumatra,
mewakili pemerintah pusat berkedudukan di Medan (Hasan adalah senior Masdoelhak
yang sama-sama kuliah hokum di negeri Belanda). Lalu kemudian Sumatra dibagi
tiga wilayah: Sumatra Utara, Sumatra Tengah dan Sumatra Selatan. Yang ditunjuk
untuk gubernur muda (residen) di Sumatra Utara adalah Mr. S.M. Amin Nasoetion
(lahir di Aceh, sekolah rakyat di Manambin, Mandailing, ELS di Siboga dan
sekolah hukum di Batavia menyusul dua abangnya di STOVIA, Dr. Amir dan Dr. Munir).
Untuk Walikota Medan (pertama) ditunjuk Mr. Loeat Siregar. Untuk (wakil)
Residen Tapanoeli diangkat Abdoel Hakim Harahap (kemudian menjadi Gubernur
Sumatra Utara yang ketiga).
Sedangkan untuk Sumatra Tengah yang
beribukota di Bukittinggi ditunjuk Dr. Mr. Masdoelhak Nasoetion. Di Sumatra
Selatan sendiri wilayah dibagi empat keresidenan, dua diantaranya yakni
Palembang dan Lampung (keresidenan Palembang menjadi negara boneka Belanda,
keresidenan Lampung tetap independen bagian republik). Untuk keresidenan
Lampung, kelak yang diangkat masyarakat menjadi residen adalah Mr. Gele Harun
(adik Dr. Ida Loemongga, PhD dan sepupu Mr. Masdoelhak, PhD).
Dalam perkembangannya, Belanda melancarkan
agresi dan berhasil menguasai Jakarta 25 September 1945. Untuk mengantisipasi
keadaan kemudian pemerintahan sipil Indonesia diganti dengan pemerintahan semi
militer. Dalam fase ini nama Adinegoro muncul di dalam surat kabar.
Het dagblad: uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te
Batavia, 14-12-1945: ‘Mr. Amir, Rabu tiba di Batavia yang bertindak sebagai
pelaksana Gubernur Sumatera dan Kamis wawancara pers dan mengatakan bahwa
pemerintah Provinsi Sumatera dan keseluruhan berada di belakang pemerintah Soekarno
dan Sjahrir. Menurut Mr Amir, hampir semua Sumatera kecuali daerah Selatan (Bengkulu,
Kepulauan Riau dan daerah sekitar Jambi, di mana kesulitan muncul dengan
pasokan makanan) masyarakat sudah dipersenjatai dengan tombak dan sangat kuat.
Ketika wartawan bertanya apa fungsi Adinegoro? (ketika konferensi pers, Adinegoro
duduk di sebelah kiri Mr. Amir)’.
Leeuwarder koerier, 14-12-1945: ‘Dengan pesawat Inggris
untuk Batavia tiba dari Sumatera, delegasi Indonesia yang terdiri dari Amir,
bertindak Gubernur Sumatera, Adinegoro, dr. Djamil dan Dr. Gindo Siregar. Kata
Amir bahwa pemerintah propinsi Sumatera seluruhnya di belakang Soekarno dan kabinet
Sjarir. Sumatera juga ingin kemerdekaan untuk Indonesia dan tidak status
dominion. Sjarifoedin telah menyatakan bahwa mungkin tidak ada pembicaraan
lebih lanjut sebelum Dr van Mook berangkat ke Belanda’.
Het dagblad: uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te
Batavia, 31-12-1945: ‘Empat pemimpin nasionalis terkemuka Indonesia hari Minggu
dari Sumatera dengan pesawat tiba di Batavia lalu ke Singapura. Mereka adalah
Adinegoro Mr. Loeat Siregar, dr. M. Djamil dan dr. M. Amir. Aneta-Reuter
melaporkan tanggal. 30 ini dari Singapura’.
Dengan semakin derasnya tekanan militer
Belanda, pada tanggal 4 Januari 1946 ibukota NKRI pindah ke Yogyakarta. Tiga
the founding father (Soekarno, Hatta dan Amir) sudah ‘bermarkas’ di Yogyakarta.
Ir. Soekarno sebagai Presiden, Drs. M. Hatta sebagai Wakil Presiden dan Mr.
Amir Sjarifoedin Harahap sebagai Menteri Pertahanan merangkap Menteri
Penerangan. Dalam fase ini untuk gubernur Sumatra Utara ditunjuk Mayor Jenderal
dr. Gindo Siregar, sedangkan Masdoelhak dipanggil ke Yogyakarta untuk membantu
pemerintahan pusat (menjadi penasehat pemerintah di bidang hukum internasional).
Di Yogyakarta, kemudian teman sekampung Masdoelhak
bertemu kembali dengan Dr. Parlindoengan Loebis, orang Indonesia satu-satunya di
kamp konsentrasi Jerman. Parlindoengan Loebis ditahan dikamp Nazi ini selama
empat tahun (1941-1945). Parlindoengan Loebis kembali ke tanah air dengan
menyamar sebagai dokter kapal. Sejak 1947, Parlindoengan Loebis tinggal di
Yogyakarta dan berdinas sebagai Kepala Dinas Kesehatan Pabrik-pabrik
Persenjataan Departemen Pertahanan. Kala itu yang menjadi Menteri Pertahanan
adalah Mr. Amir Sharifoedin.
Adinegoro berkiprah kembali di dunia pers
Adinegoro yang beberapa bulan terakhir
terlihat dan tengah berada di Jakarta kini muncul di ranah minang sebagai wakil
pemerintah pusat. Adinegoro adalah salah satu putra terbaik dari ranah minang
yang sebelumnya berkarir di bidang jurnalistik dan menjadi pengurus organisasi
keindonesian di Medan. Dr. Gindo Siregar (wakil ketua), Mr. Loeat Siregar dan
Adinegoro (keduanya komisaris) adalah pengurus organisasi Taman Persahabatan,
semacam organisasi mini Indonesia di Medan (lihat De Sumatra post, 28-06-1937).
Het dagblad : uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te
Batavia, 26-03-1946: ‘Menurut laporan dari Antara, mengadakan pertemuan yang
diprakarsai oleh Komite Nasional Indonesia di pantai barat Sumatera (yang lebih
populer Minangkabau). Sidang perdana ini dihadiri oleh 34 partai politik dan
organisasi militer; Gubernur Sumatera; wakil pemerintah pusat, Adinegoro;
Residen Sumatera Barat; Komandan divisi Sumatera Tengah; dan Menteri Pendidikan,
Moh Syafi'i. Tujuannya adalah menyatukan kemauan dan kekuatan seluruh bangsa
untuk mempertahankan keutuhan tanah air.
Het nieuws : algemeen dagblad, 05-10-1946: ‘Antara
melaporkan hari Jumat, empat wakil dari kepentingan minyak (Amerika, Belanda,
Indonesia dan Singapura) mengunjungi Kepulauan Riau Selatan. Dalam hal ini,
Indonesia diwakili oleh Adinegoro, kepala penasihat republik di Sumatera, yang
mana juga dilaporkan bahwa Indonesia terbuka selama enam bulan untuk
dieksploitasi (Aneta)’.
Selama agresi militer Belanda dan selama
pemerintah republic mengasingkan diri ke Yogyakarta banyak hal yang terjadi di
berbagai daerah, termasuk di Sumatra Timur. Kelompok anti republic menggalang
minat untuk berkolaborasi dengan Belanda (musuh republic). Adinegoro
mengomentari apa yang terjadi di Sumatra Timur yang dianggapnya melawan arus
utama prodemokrasi.
Het dagblad : uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te
Batavia, 11-10-1947: ‘peristiwa seputar daerah istimewa Sumatra Timur yang terus ditekan republiken, di Batavia
agak terdistorsi dan diliputi rasa kekecewaan. Pihak pers Belanda menganggap
benar apa yang dilakukan oleh kelompok Dr. Mansur (berkolaborasi). Dalam koran
Merdeka, yang ditulis Adinegoro, mantan editor Pewarta Deli, mengajukan
pertanyaan terhadap pemimpin baru di daerah itu, telah melanggar
prinsip-prinsip demokrasi, hak-hak orang-orang mungkin akan memberikan kembali
ke feodal dan kapitalis, tanpa mengindahkan konsep demokrasi’.
Adinegoro sebagai mantan editor yang melihat
situasi dan kondisi yang semakin ‘memanas’ antara republic dan Belanda merasa’
perlu berkolaborasi dengan teman-temannya untuk menerbitkan media prodemokrasi
dengan koran bernama Mimbar Indonesia.
Het dagblad : uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te
Batavia, 31-10-1947: ‘Pada tanggal 10 November, baru-baru ini di Indonesia
muncul Mimbar Indonesia (Podium Indonesia) yang terbit pertama. Untuk saat ini,
media ini akan terbit setiap dua minggu dengan 36 halaman cetak. Ini akan
menyediakan artikel bergambar tentang bangunan, politik, social, daerah dan
lain-lain. Dewan redaksi akan terdiri dari Sukardja, Wirjopranoto. Andjar
Asmara, Adinegoro dan Prof. Dr. Supomo’.
Ida
Nasoetion dan Masdoelhak diciduk tentara Belanda, Adinegoro sebagai ketua
Persatuan Wartawan Indonesia (PWI)
Ibukota Republik Indonesia sudah berada di
Yogyakarta sejak 4 Januari 1946. Semua elemen bangsa baik di dalam maupun di luar
Yogyakarta memainkan peran masing-masing. Pada tahun 1948 adalah tahun yang
paling menegangkan antara republic vs tentara/militer Belanda. Intel dan
tentara Belanda mulai menyusun daftar orang-orang pribumi berpengaruh di
bidangnya untuk ditangkap. Mereka yang masuk target mulai dari presiden, wakil
presiden, menteri pertahanan dan lainnya hingga para wartawan, pengarang.
Intinya, intel dan tentara bermaksud menghabisi para tokoh-tokoh tersebut.
Ida Nasoetion (1947) |
De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad,
03-04-1948 (Ida Nasoetion hilang): ‘seorang esais Indonesia berumur 26 tahun,
Ida Nasution hilang. Selama delapan hari penyelidikan tetap sejauh ini tanpa
hasil’.
Het dagblad : uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te
Batavia, 05-04-1948: ‘Sejak 23 Maret, seorang mahasiswa Indonesia Ida Nasution
menghilang. Pada tanggal itu mereka ke Tjigombong untuk menghabiskan beberapa
waktu di danau Tjigombong (kini, danau Lido). Namun, Ida Nasoetion yang akan
kembali pada hari yang sama, tetapi hilang entah dimana. Apakah diculik?’
Keutamaan Ida Nasoetion dalam masa ini karena
Ida Nasoetion merupakan satu-satunya sastrawan (muda) yang berlabel mahasiswa. Para
sastrawan muda ini lebih taktis dibanding senior mereka dari angkatan Poejangga
Baroe. Jika angkatan sebelumnya menulis lebih menggunakan gaya retorika
keindahan, tidak demikian dengan sastrawan muda yang hidup di awal era
revolusi—lebih nyata dan lebih bergelora (sastra revolusi). Belum genap satu
semester Ida Nasoetion menjabat presiden PMUI, kabar buruk telah datang
menimpanya. Ida Nasoetion telah hilang selamanya, hingga ini hari tidak pernah
diketahui dan bagimana ia diculik, dibunuh dan dimana dikubur.
Sejak kehilangan Ida Nasoetion yang sangat
misterius itu, para sastrawan mulai semakin gelisah dan was-was. Kegelisan itu
sudah mulai ada ketika Peristiwa Rawagede (Rawamerta, Karawang) 9 Desember 1947
yang mana sebanyak 431 orang penduduk menjadi korban pembantaian tentara
Belanda. Peristiwa ini pernah dikaitkan atas inspirasi dari sajak-sajak Chairil
Anwar berjudul Antara Karawang dan Bekasi (ide sajak ini boleh jadi terispirasi
ketika tentara Belanda menyerang Bekasi, para penduduk mengungsi ke Karawang).
Pada bulan Mei 1948 para sastrawan menggagas
untuk diadakan konferensi nasional. Dalam kepanitiaan konferensi ini termasuk
Adinegoro. Dalam hal ini, Adinegoro tidak hanya sebagai wartawan tetapi juga
adalah seorang pengarang. Novel terkenalnya adalah Darah Muda (terbitan Balai
Pustaka, 1931) dan Asmara Jaya (terbitan Balai Pustaka, 1932).
Het dagblad : uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te
Batavia, 18-05-1948: ‘Pada masa dekat akan diadakan konferensi nasional
sebagaimana dilaporkan koran Merdeka, Batavia sebagai berikut: Komite persiapan
untuk Konferensi Nasional Indonesia sudah sepenuhnya terbentuk di Batavia. Ir.
Noor sebagai ketua dan sebagai anggota H.J. Latumeten, dr. Johannus, Mr. Takdir
Alisjahbana, Adinegoro, Andi Zainal Abidin, Sjahboedin Latif dan AJ Supit.
Sebagai sekretaris terpilih Mr Iskandar Bekti’.
Dalam perkembangannya, intel/tentara Belanda
semakin memanas dan beringas. Agresi kedua mulai dilancarkan. Tepat pada tanggal
19 Desember 1948 serangan diawali ke kantong inti perlawanan repulik di Yogyakarta,
ibu kota Indonesia saat itu. Tentara Belanda menerjunkan pasukannya di
Pangkalan Udara Maguwo dan dari sana menyebar menuju ke tengah kota. Sebelum penangkapan
terhadap Soekarno, Mohammad Hatta dan Sjahrir, sejumlah orang penting di
Yogyakarta telah ditangkap lebih dulu. Yang pertama ditangkap adalah Masdoelhak
Nasoetion, seorang tokoh di balik layar yang menjadi penasehat pemerintah
(Soekarno dan Hatta) di bidang hokum internasional. Mr, Masdoelhak Nasoetion, PhD
adalah doctor hokum lulusan Universiteit Leiden.
Dr. Mr. Masdoelhak Nasoetion telah ditembak di Yogyakarta
pada tanggal 21 Desember 1948. Koran ‘De waarheid’ (waarheid=truth=‘kebenaran’)
melihat kasus ini selama ini sengaja ditutup-tutupi. Awalnya resolusi Dewan
Keamanan hanya menuntut Belanda bahwa semua tahanan politik harus dibebaskan,
malahan membunuh dengan cara keji begini. Koran ini memberi judul beritanya
sebagai metode teror fasis (Fascistische terreur-methoden). Hasilnya
penyelidikan yang diungkapkan oleh koran ‘kebenaran’ ini sebagai: pembunuhan
keji para intelektual, pembunuhan secara pengecut dan penggunaan metode fasis. De
waarheid, 25-02-1949 melaporkan duduk perkara yang mengerikan itu dari ruang
pengadilan. Kejadian ini bermula ketika Belanda mulai menyerang Yogyakarta
pukul lima pagi, 19 Januari 1948, tentara Belanda bergerak dan intelijen
bekerja. Akhirnya pasukan Belanda menemukan dimana Masdoelhak. Lalu tentara
menciduk Masdoelhak di rumahnya di Kaliurang dan membawanya ke Pakem di sebuah
ladang jagung. Masdoelhak di rantai dengan penjagaan ketat dengan todongan
senjata. Selama menunggu, Masdoelhak hanya bisa berdoa dan makan apa adanya
dari jagung mentah. Akhirnya setelah beberapa waktu, beberapa tahanan berhasil
dikumpulkan, total berjumlah enam orang. Lalu keenam orang ini dilepas di
tengah ladang lalu diburu, dor..dor..dor. Masdoelhak tewas ditempat. Seorang
diantara mereka (Mr. Santoso, Sekjen Kemendagri) terluka sempat berhasil
melarikan diri, tetapi ketika di dalam mobil dalam perjalanan ke Yogya dapat
dicegat tentara lalu disuruh berjongkok di tepi jalan lalu ditembak dan tewas
ditempat. Di pengadilan, menurut De waarheid jaksa penuntut umum menganggap
pembunuhan ini sebagai ‘pembunuhan pengecut’.
Masdoelhak (1943) |
Het dagblad: uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te
Batavia, 03-08-1949 (Ind. Journalisten in organisatie): ‘Di Batavia Persatuan
Wartawan Indonesia didirikan bersatu atas dasar nasionalis, di mana wartawan
Indonesia federalis, republik dan lainnya bersatu. Dewan ini terdiri sebagai
berikut: Adinegoro, sebagai Presiden; Asa Bafagih sebagai wakil; Sugondo
sebagai sekretaris-1 dan Arbi sebagai sekretaris-2. Bendahara, Sudarso penning.
Para komisioner adalah Rosihan Anwar, Mochtar Lubis dan A. Hakim. Dalam pembentukan
ini hanya satu komunike yang diumumkan: ‘menuntut tanpa syarat bahwa semua
tahanan politik dalam arti luas harus dibebaskan secepatnya’.
De locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad,
04-08-1949: ‘Dalam pertemuan telah dihadiri perwakilan dari 20 koran, persbureau,
mingguan dan majalah bulanan Selasa di Batavia didirikan Persatuan Wartawan
Indonesia. Hubungan baru, yang secara nasionalis telah menyatukan dibentuk
sendiri wartawan Indonesia dari republik, federalis dan media lainnya. Pengurus
adalah sebagai berikut; Ketua: Adinegoro (Mimbar Indonesia) vice.voorzitter:
Asa Bafagih (Merdeka), Sekretaris I:; Sugondo
(Mimbar Indonesia), Sekretaris II: Nona Lies Arbi (Warta Indonesia), Bendahara:
Soedarso (Aneta). Komisaris: Rosihan Anwar (Pedoman), Mochtar Lubis (Antara)
dan A. Hakim (Sedar). Dalam pertemuan ini juga suara diadopsi, yang
mengharuskan mempromosikan pertandingan sepakbola antara Belanda dan Indonesia
mendatang dalam pandangan kesesuaian misi dari penghentian permusuhan antara
Republik Republik dan Belanda serta semua tahanan politik dalam arti luas sesegera
mungkin dirilis dan bahwa mereka dikembalikan ke tempat asal mereka’.
Abdul Hakim dan Adinegoro menghadiri Konfrensi Meja
Bundar (KMB) di Belanda.
.
Abdul Hakim dan Adinegoro dua anak Medan yang pernah bersaing dalam mmperebutkan lima kursi untuk pribumi di dewan kota (gementeeraad) Medan tahun 1934. Kala itu, Abdul Hakim sebagai incumbent sedangkan Adinegoro sebagai entrant. Abdul Hakim, lahir di Sarolangoen, Jambi, sekolah tinggi ekonomi bidang bea dan cukai di Batavia, lalu ditempatkan sebagai kepala bea dan cukai di Medan. Sedangkan Adinegoro, lahir di Sawahlunto, sekolah tinggi kedokteran di Batavia dan kemudian meneruskan studi jurnalistik di Jerman, lalu bekerja sebagai editor Pewarta Deli di Medan.
Abdul Hakim dan Adinegoro dua anak Medan yang pernah bersaing dalam mmperebutkan lima kursi untuk pribumi di dewan kota (gementeeraad) Medan tahun 1934. Kala itu, Abdul Hakim sebagai incumbent sedangkan Adinegoro sebagai entrant. Abdul Hakim, lahir di Sarolangoen, Jambi, sekolah tinggi ekonomi bidang bea dan cukai di Batavia, lalu ditempatkan sebagai kepala bea dan cukai di Medan. Sedangkan Adinegoro, lahir di Sawahlunto, sekolah tinggi kedokteran di Batavia dan kemudian meneruskan studi jurnalistik di Jerman, lalu bekerja sebagai editor Pewarta Deli di Medan.
Abdul Hakim (1953) |
Dalam era Jepang keduanya pulang kampong, Abdul Hakim dari Batavia ke Tapanoeli
dan Adinegoro dari Medan ke Sumatra Barat. Sementara,
Mochtar Lubis yang menyelesaikan pendidikan menengahnya di Sumatra Barat dan
telah hijrah ke Batavia, selama pendudukan Jepang, tetap menetap di Batavia.
Abdul Hakim,
anak Mangaradja Gading Harahap dan Mochtar Lubis, anak Radja Pandapotan,
keduanya lahir di Jambi. Abdul Hakim lahir di Sarolangoen tahun 1905, Mochtar
Lubis lahir di Sungai Penuh, Kerinci. Orangtua mereka masing-masing adalah
pejabat-pejabat pribumi asal Kresidenan Tapanoeli yang ditempatkan di Jambi.
Setelah pasca kemerdekaan, Abdul Hakim dan Adinegoro keduanya bertemu kembali, tidak di Medan, tetapi di Den Haag dalam kapasitas masing-masing untuk menghadiri Konferensi Meja Bundar (KMB). Kemampuan bahasa mereka berdua menjadi sangat diperlukan di konferensi tersebut karena dihadiri perwakilan bangsa lain (BFO).
Konferensi Meja
Bundar adalah sebuah pertemuan yang dilaksanakan di Den Haag, Belanda, dari 23
Agustus hingga 2 November 1949 antara perwakilan Republik Indonesia, Belanda,
dan BFO (Bijeenkomst voor Federaal Overleg).
Pada
tahun 1949 Abdul Hakim menjadi anggota dewan Keresidenan Tapanoeli dan juga anggota
Parlemen Sumatera Utara dan Parlemen Sumatera di pengasingan. Abdul Hakim
ditunjuk sebagai penasihat delegasi Republik yang akan pergi ke KMB di Den Haag
bersama Gubernur Republik Sumatera Utara, Mr. SM Amin (Nasoetion). Ketika di
Den Haag, Abdul Hakim juga berpartisipasi sebagai penasihat umum dari delegasi
Indonesia. Sedang Adinegoro datang ke Den Haag sebagai wartawan yang meliput
konferensi. Saat itu, Adinegoro adalah Ketua Persatuan Wartawan Indonesia.
De locomotief :
Samarangsch handels- en advertentie-blad, 17-08-1949: ‘Dengan Constellaüon "Gouda" hari Selasa
telah berangkat dalam perjalanan ke Belanda, wartawan Mohammed Said (Waspada, Medan),
Soetarto (Berita Film Indonesia, Djokja) Adinegoro (Mimbar Indonesia, Batavia),
Ang Jang Coan (Sin Po, Batavia), AW Colijn (Locomotief, Semarang dan Vrije
Pers, Surabaya) dan Wim B. Klooster (Nieuwsblad voor Sumatra, Medan)’.
Konferensi
ini berakhir pada 2 November 1949 dengan kesediaan Belanda untuk menyerahkan
kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat. Setelah KMB, Indonesia dalam fase
transisi. Penyerahan kedaulatan RI akan dilakukan tanggal 27 Desember 1949 yang
pada tanggal itu pimpinan RI terdiri dari Soekarno sebagai Presiden dan M.
Hatta sebagai Perdana Menteri akan membentuk cabinet sendiri (Kabinet Republik
Indonesia Serikat). Banyak hal yang terjadi selama masa transisi ini, antara
lain pendirian universitas republic di Batavia, yang mana sebelumnya universitas
yang ada adalah Universiteit van Indonesia (Belanda) yang terdiri dari Geneeskunde,
Rechtswetenschap dan Letteren en Wijsbegeerte. Ida Nasoetion sebelumnya adalah
Presiden Persatuan Mahasiswa Universitas Indonesia (Batavia, Buitenzorg,
Bandoeng, Soerabaija dan Macassar).
Java-bode:
nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 20-10-1949 (Universitas
Republik di Batavia): ‘Bahder Djohan, Presiden membuka, PMIK (Masyarakat, Sains
dan Kebudayaan) dibuka di Batavia di gedung Perguruan Rakyat di Salemba-33, sebuah
Sekolah Landjoetan Tinggi (SLT). Dalam sambutannya kata Dr Bahder Djohan antara
lain bahwa SLT didirikan atas desakan banyak pemuda Indonesia yang telah
menyelesaikan studi mereka di Sekolah Menengah. Para lulusan sekolah menengah
semkain banyak yang ingin meneruskan pendidikan. Tiga Fakultas Republik di
Batavia sudah tak mungkin menampung sehingga PMIK memutuskan untuk memiliki dan
mendirikan universitas ini. Untuk saat ini mata pelajaran di SLT ini yang diajarkan:
matematika, fisika, ekonomi sosial, botani, bahasa Indonesia dan Inggris.
Sebuah usaha akan menyertakan Cina juga sebagai subjek. Ini sehubungan dengan
hubungan antara Indonesia dan China, yang cerah pada masa depan. Sekolah saat
ini memiliki 214 siswa. Staf guru yang, antara lain: Abdul Rachman, Adam Bachtiar,
Adinegoro, Mr. Goenara, Ir Koesnoto, Ir. Pohan, Ir. Soedjito, Soedjono,
Soehardo, Soemarno, Drs. Tan Po Goan, Ir Urip S. Waehendorff, Wiki
Soerjamihardja, St. Moh. Zain dan S. Zainoeddin. Setelah studi tiga tahun,
lulusan akan memiliki pengetahuan dan mereka mungkin dapat melanjutkan studi
mereka di universitas lain. Itu sepenuhnya tergantung pada pemerintah baru dan masyarakat
bebas di Indonesia jika usaha ini, yang sekarang membuat awal yang sederhana
untuk pengembangan penuh dan akan berkembang, lanjut, demikian Dr Bahder Djohan
sambutannya. Karena SLT masih belum memiliki tempat sendiri, pelajaran yang
diberikan sekarang dilakkan tiga tempat. Sebuah sumbangan sebesar f17.900 yang
diterima dari individu Indonesia, Cina dan Arab. Diharapkan bahwa SLT akan
segera memiliki gedung sendiri. Ketiga fakultas Republik yang ada di Batavia
adalah Kedokteran, Hukum dan Seni dan Filsafat’.
Untuk
sekadar diketahui bahwa kini, koran ‘Java-bode: nieuws, handels- en
advertentieblad voor Nederlandsch-Indie’ sudah menjadi milik Parada Harahap.
Koran ini adalah koran berbahasa Belanda, Koran tempat dimana dulu (era
Belanda) Parada Harahap kerap menulis dalam berpolemik dengan pers Belanda. Koran
ini sebelumnya adalah milik seorang Tionghoa asal Semarang, yang sejak lama
menjadi kolega dekat Parada Harahap dalam dunia pers di Jawa. Sementara ini,
Adinegoro tengah berada di Belanda.
Het nieuwsblad
voor Sumatra, 10-01-1950 (Adinegoro tentang kebebasan dan kedaulatan): ‘Adinegoro,
saat ini berdiam di Belanda, salah satu wartawan Indonesia, menerbitkan, Vrij
Nederland, sebuah artikel menarik, mari kita ikuti. Adinegoro belajar di Eropa
Barat, selama perang studi publiciieit dan pendidikan publik, mengirim artikel
antara lain ke Balai Pustaka. Dia adalah Repidbliken, bekerja di Departemen
Pendidikan, telah menerbitkan beberapa buku dan berbagai posisi lain di Partai
Republik, Dalam menulis pengantar dari artikelnya Vrij Nederland, argumen
tenang dan lugas yang tidak mengecilkan kritik diri, mungkin merupakan indikasi
dari banyak orang Belanda bahwa Indonesia memiliki kepemimpinan, yang kita
dapat sepenuhnya berkolaborasi dan yang dalam hal apapun yang layak
dipertimbangkan tertinggi kami’.
Het nieuwsblad
voor Sumatra, 11-01-1950: ‘Adinegoro menulis, yang kami kutip kemarin di
majalah, tentang kekecewaan besar bagi rakyat miskin Indonesia saat itu
mengalami hari yang buruk meskipun bendera merah putih bertiup tapi tidak ada
yang berubah dalam hal sociaaloeconomisch. Dan lagi, ia menunjukkan bahwa untuk
mencapai perbaikan, yang satu membayangkan, bantuan luar negeri (terutama
Belanda) tidak dapat dilakukan tanpa. Ini sebenarnya sudah jawaban yang paling
meyakinkan untuk keberatan, di mana salah satu bagian dari pers Indonesia
terhadap "empat titik" menunjukkan. Selain itu, mereka keberatan yang
tidak dimengerti. Orang-orang Indonesia baru saja meninggalkan kolonialisme. Apakah
ada sekarang , satu keajaiban, jenis baru kolonialisme di tempatnya, yaitu
dalam bentuk tekanan oeconomische Amerika, yang tidak hanya terbatas pada
kapitaals investasi, tetapi juga di lain, daerah bahkan administrasi, sebuah
"jari di pie "keinginan? Jika kedaulatan tidak begitu di AS dijual
kembali? Dan akhirnya, itu tidak selalu dalam blok politik-militer benar, yang
menetapkan di seberang bagian lain dari dunia, terutama gesovjetisseerde bagian
dari Eropa dan Asia? Keberatan ini tidak hanya dimengerti tetapi juga nyata’.
Algemeen Indisch
dagblad : de Preangerbode, 02-08-1950: ‘Dalam edisi terbaru De Gids dua artikel
di New Guinea muncul. Mantan Resident M. Klaassen menulis tentang New Guinea di
masa depan. Dia berkesimpulan bahwa kedaulatan atas Belanda di New Guinea harus
dipertahankan sampai saat rakyat Papua secara politik negara sendiri dapat
memutuskan. Adinegoro, tentu saja dengan kesimpulan yang berlawanan. Dia
berpendapat bahwa seseorang tidak bisa melakukan sebaliknya dari New Guinea ke
Indonesia dan meninggalkan untuk bekerja sama mengembangkan dengan bantuan
modal Amerika. Seperti banyak orang Indonesia, Adinegoro tampaknya percaya
bahwa satu hanya perlu peluit dan ibukota AS bergegas ke tempat di mana engkau
itu dianggap perlu. Kenyataannya agak berbeda’.
Java-bode:
nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 18-10-1950: ‘Adinegoro,
koresponden Eropa Barat di Belanda melaporkan untuk koran Merdeka:….(tentang Kampanye
negatif terhadap RI pada Ambon di Belanda? Peringatan untuk orang untuk
petualangan konyol)’.
Adinegoro dan Mochtar
Lubis
Jejak
Parada Harahap dalam pers asing di Indonesia sesungguhnya masih kental,
setidaknya Parada Harahap masih memiliki Java Bode, koran berbahasa Belanda
yang memungkinkan pers Belanda dapat menyimak apa yang terjadi dan polemic apa
yang tengah menghangat setelah secara pelan-pelan pers Belanda mulai menghilang
dari Indonesia. Parada Harahap kini sudah menua, perang pers sudah bukan
ranahnya lagi. Kini, pers asing vs pers pribumi sudah di tangan para juniornya
antara lain Adinegoro dan Mochtar Lubis.
Het nieuwsblad voor Sumatra,06-08-1957 |
.
Berlanjut ke artikel berikutnya: Mochtar Lubis: The Musketeer in International Press
Profil Tiga
Tokoh Pers Nasional
|
|||
Uraian
|
Parada Harahap
|
Adonegoro
|
Mochtar Lubis
|
Lahir
|
1899
|
1904
|
1922
|
Pendidikan
|
Sekolah Rakyat (1906, sekolah 3 tahun)
|
Stovia (1922), studi jurnalistik di
Eropa (1926-1930)
|
Sekolah ekonomi
|
Pengalaman kerja
|
Juru tulis di perusahaan
perkebunan
|
Wartawan
|
Guru
|
Mulai menulis
|
1916
(De Cranie)
|
1922
|
Sekolah rakyat
|
Mulai editor koran
|
1918
Benih Mardeka
|
1929
Bintang Timoer
|
1942
(radio)
|
Koran utama (mulai)
|
Sinar Merdeka (1919), Bintang Hindia
(1923), Bintang Timoer (1930), Tjaja Timoer (1938), Java Bode (1950)
|
Pewarta Deli (1930) Mimbar Indonesia
(1948)
|
Antara (1945, majalah sastra Mutiara (1947),
Indoesia Raya (1949), majalah sastra Horison (1966),
|
Jumlah
editor media
|
20
|
5
|
8
|
Jumlah
pemilikan media
|
15
|
1
|
4
|
Jumlah
media bahasa asing
|
3
|
-
|
-
|
Jumlah
delik pers
|
101
|
-
|
3
|
Pemilikan
media (mulai)
|
1919
|
?
|
1945
|
Pemilikan
percetakan (mulai)
|
1930
|
?
|
?
|
Prestasi/julukan
|
Wartawan terbaik versi Jurnalistik
Eropa/Belanda
The King of Java Press
|
Persatuan Wartawan Indonesia (PWI)
mengabadikan nama Adinegoro pada hadiah jurnalistik tertinggi, dengan nama
Hadiah Adinegoro.
|
Wartawan terbaik Indonesia, Sastrawan
terbaik, Wartawan Indonesia Paling di kenal di dunia pers internasional
|
Lama
di dunia pers (tahun)
|
41
|
?
|
42
|
Wilayah
jurnalistik
|
Medan, Padang Sidempoean, Sibolga,
Batavia, Bandoeng, Semarang, Soerabaija, Bukittting, dan Makassar
|
Batavia, Medan, Padang
|
Jakarta
|
Jumlah
karya (buku)
|
13
|
10
|
26
|
Meninggal
|
1959
|
1967
|
2004
|
Masa hidup (tahun)
|
60
|
63
|
82
|
Aktivitas lain
|
Penulis buku umum, penulis scenario
film, dosen, pejabat pemerintah
|
Pengarang novel, Penulis buku umum,
pejabat pemerintah
|
Pengarang, Penulis buku umum, NGO,
Assosiate Editor pada World Paper
Boston AS, Skenario Film, Yayasan Obor Indonesia,
UNESCO
|
Organisasi
|
Sekretaris PPPKI dan Anggota BPUPKI
|
PWI
|
International Press Institute,
Associatition for Cultural Freedom, LBH, Akademi Jakarta, Press Foundation of
Asia
|
Pionir
|
Pendiri sarikat wartawan, pendiri
kadin, pendiri akademi jurnalistik, pendiri kopertis, pemulis repelita
|
Pendiri International Press Institute
|
|
Penghargaan
pemerintah
|
Bintang Mahaputra Utama (1992)
|
-
|
-
|
Penghargaan
internasional
|
-
|
-
|
Magsaysay Award (1958), tetapi tahun
1995 mengembalikannya sehubungan awad yang sama dimenangkan Pramoedya Ananta
Toer,
Golden Vrijheidspen 1967
(internationale federatie van dagbladuitgevers)
|
Penghargaan
lain
|
-
|
-
|
1.
Hadiah Sastra, dari BMKN (tahun 1952).
2.
Musim Gugur (Cerpen), meraih Hadiah, dari majalah
Kisah (tahun 1953).
3.
Perempuan (Kumpulan cerpen), meraih Hadiah Sastra
Nasional, dari BMKN (tahun 1955-1956).
4.
Hadiah Ramon Magsaysay, dari Filipina (tahun
1958).
5.
Hadiah Pena Emas, dari World Federation of Editors
an Publishers.
6.
Harimau! Harimau! (Novel), meraih Hadiah, dari
Yayasan Buku Utama Departeman P & K (tahun 1975).
7.
Maut dan Cinta (novel), meraih Hadiah Sastra, dari
Yayasan Jaya Raya (tahun 1979).
8.
Anugerah Sastra Chairil Anwar (1992).
|
Penulisan
tokoh Mochtar Lubis
|
1.
Novelnya, Jalan Tak Ada Ujung (1952) diterjemahkan
ke dalam bahasa Inggris oleh A.H. John dengan judul A Road With No End, London, 1968).
2.
M.S. Hutagalung tentang novel Mochtar Lubis 'Jalan
Tak Ada Ujung' (1963).
3.
Henri Chambert-Loir, disertasi dengan judul
'Mochtar Lubis, une vision del'Indesie Contempraine' (Paris, 1974).
4.
David T. Hill, disertasi dengan judul 'Mochtar
Lubis: Author, Editor, and Political Actor' (disertasi, Canberra, 1989).
5.
Mochtar Lubis Wartawan Jihad
|
||
Keluarga
|
Anak: Perempuan pertama ahli hukum di
Sumatra (1957)
|
-
|
-
|
Ringkasan Kronologis: Tiga Tokoh Pers Indonesia
|
|||
Tahun
|
Parada Harahap
|
Adonegoro
|
Mochtar Lubis
|
1899
|
Lahir di Padang Sidempoean
|
||
1904
|
Lahir
di Talawi 14-8-1904
|
||
1906
|
Masuk sekolah rakyat tiga tahun
|
||
1914
|
Merantau ke Deli
|
||
1915
|
Editor majalah De Cranie
|
||
1917
|
Membongkar kasus poenali sanctie di
perkebunan
|
||
1918
|
Editor Benih Mardeka di Medan
|
||
1919
|
Menerbitkan Sinar Merdeka di Padang
Sidempoan dan merangkap editor Poestaha Padang Sidempoean (terbit sejak 1915)
|
||
1922
|
Masuk organisasi pergerakan pemuda dan
politik
|
Masuk Stovia (1922)
|
Lahir di Sungai Penuh, Kerinci, 7 Maret
1922
|
1923
|
Hijrah ke Batavia dan Editor Bintang Hindia
|
||
1926
|
Studi jurnalistik ke Eropa
|
||
1945
|
Ketua Komite Nasional Sumatera
|
||
1959
|
Meniggal dunia di Jakarta 11 Mei 1959
|
Anggota Dewan Perancang Nasional/MPR
|
|
Meninggal 7 Januari 1967
|
|||
1992
|
Dianugerahi tanda kehormatan Bintang
Mahaputra Utama (Kepres No. 48 Tahun 1992).
|
||
Karya
|
Karya
|
Karya
|
|
1.
Melati van Agam
(Swan Pen, pseud. van Parada Harahap). 1923.
2.
Dari pantai
kepantai: Perdjalanan ke Soematra October-Dec. 1925 dan Maart-April 1926
(Parada Harahap). Bintang Hindia. 1926.
3.
Menoedjoe
matahari terbit: perdjalanan ke Djepang November 1933 - Januari 1934 (Parada
Harahap). Bintang Hindia. 1934.
4.
Riwajat Dr Abdul
Rivai (Parada Harahap). Handel Mij Indische Drukkerij. 1939.
5.
Pers dan
journalistiek (Parada Harahap). Handel Mij. Indische Drukkerij. 1941.
6.
Vietnam merdeka!
(Parada Harahap). Usaha Penerbit Tintamas. 1948.
7.
Sa’at
Bersedjarah: Ichtisar dan Pemandangan jang Didapat dari Persidangan Komite
Nasional Indonesia Pusat, Dilangsungkan di Malang pada Tanggal 25 Februari
sampai 5 Maret 1947 (Parada Harahap). Djakarta: NV Gapura. 1951.
8.
Kedudukan pers
dalam masjarakat (Parada Harahap). 1951.
9.
Ilmu
Djoernalistik (Parada Harahap). Djakarta: Akademi Wartawan. 1952.
10. Indonesia Sekarang (Parada Harahap). Bulan Bintang.
1952.
11. Toradja (Parada Harahap). N.V. Penerbitan. 1952.
12. Serba sedikit tentang ilmu pers (Parada Harahap).
Akademi Wartawan. 1952.
13. Industri Eropa dan five year plan (rentjana lima tahun)
pembangunan Indonesia (Parada Harahap). Beringin Trading Company. 1957.
|
1. Darah Muda (novel). Balai Pustaka, 1931
2. Asmara Jaya (novel) Balai Pustaka, 1932
3. Kamus Kemajuan
4. Melawat ke Barat. Balai Pustaka, 1950
5. Perang Dunia I
6. Tiongkok Pusaran Asia
7. Revolusi dan Kebudayaan
8. Filsafat Ratu Dunia
9. Atlas Tanah Air
10. Ilmu Jiwa Seseorang
|
1.
Tak Ada Esok
(novel, 1951)
2.
Si Jamal dan
Cerita-Cerita Lain (kumpulan cerpen, 1950)
3.
Teknik Mengarang
(1951)
4.
Teknik Menulis
Skenario Film (1952)
5.
Perempuan,
Perempuan (1956)
6.
Harta Karun
(cerita anak, 1964)
7.
Tanah Gersang
(novel, 1966)
8.
Senja di Jakarta
(novel, 1970; diinggriskan Claire Holt dengan judul Twilight in Jakarta,
1963)
9.
Judar Bersaudara
(cerita anak, 1971)
10. Penyamun dalam Rimba (cerita anak, 1972)
11. Harimau! Harimau! (novel, 1975)
12. Manusia Indonesia (1977)
13. Berkelana dalam Rimba (cerita anak, 1980)
14. Catatan Subversif (1981)
15. Kuli Kontrak (kumpulan cerpen, 1982)
16. Bromocorah (kumpulan cerpen, 1983)
17. Perlawatan ke Amerika Serikat (1951)
18. Perkenalan di Asia Tenggara (1951)
19. Catatan Korea (1951)
20. Indonesia di Mata Dunia (1955)
21. Pelangi: 70 Tahun Sutan Takdir Alisyahbana (editor, 1979)
22. Bunga Rampai Korupsi (editor bersama James C. Scott,
1984)
23. Hati Nurani Melawan Kezaliman: Surat-Surat Bung Hatta
kepada Presiden Soekarno (editor 1986)
24. Tiga Cerita dari Negeri Dollar (terjemahyan, kumpulan
cerpen, John Steinbeck, Upton Sinclair, dan John Russel, 1950)
25. Orang Kaya (terjemahan novel F. Scott Fitgerald, 1950)
26. Yakin (terjemahan karya Irwin Shaw, 1950)
27. Kisah-kisah dari Eropa (terjemahan kumpulan cerpen,
1952)
28. Cerita dari Tiongkok (terjemahan bersama Beb Vuyk dan
S. Mundingsari, 1953)
29. Mochtar Lubis bicara lurus: menjawab pertanyaan
wartawan (Mochtar Lubis, Ramadhan Karta Hadimadja)
|
Artikel terkait:
*Dikompilasi
oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan
sumber-sumber tempo doeloe.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar