Selasa, Agustus 16, 2016

Sejarah Kota Natal (2): Controleur Eduard Douwes Dekker (1842-1843); Pemberontakan di Mandailing dan Angkola



Pada tahun 1832 di Natal mulai dibentuk pemerintahan dengan menempatkan seorang pejabat militer. Pada tahun itu juga para pemimpin Batak (Mandailing dan Angkola) meminta bantuan militer Belanda untuk bersama-sama mengusir pasukan Padri. Awalnya pemerintah Belanda enggan, baru pada tahun 1834 pemerintah Belanda tertarik untuk dua alasan: mendapat energi baru dari para hulubalang Mandailing en Ankola untuk melumpuhkan perlawanan kaum Padri di Bonjol. Alasan yang kedua Mandailing dan Angkola dapat dijadikan lumbung pangan selama perang Bonjol.

Eduard Doewes Dekker (ft 1853)
Ada dua hal yang bersifat strategis dilakukan pemerintahan militer tahun 1834: membangun benteng di Panjaboengan dan mendirikan pos militer di Kotanopan dan Sayurmatinggi. Dengan eskalasi perang yang semakin meningkat di pedalaman, status Natal ditingkatkan menjadi asisten residen dan menempatkan seorang asisten di Kotanopan.

Akhirnya pasukan Padri di Bonjol berhasil dilumpuhkan pada tahun 1837 dan pasukan Padri di Pertibie juga berhasil dilumpuhkan. Situasi yang dihadapi (1840) kemudian ternyata tidak menguntungkan bagi Natal. Status Natal diturunkan dari asisten residen menjadi hanya setingkat controleur. Sementara di afd. Mandailing en Angkola menjadi asisten residen. Perubahan yang ada mengikuti situasi baru: prospek ekonomi. TAC van Kervel ditunjuk menjadi Asisten Residen Mandailing en Ankola, sedangkan controleur yang ditunjuk di Natal adalah JH van Meerten.

Tahun 1843 TAC van Kervel digantikan FT Willer dan JH van Meerten digantikan oleh Eduard Doewes Dekker.

Kebijakan pemerintah koffiecultuur menjadi koffiestelsel selama tiga tahun kepemimpinan Kervel dan Meerten (1840-1943) telah membuat penduduk ‘marah’. Sementara pengganti kedua pejabat yakni Willer dan Dekker adalah orang-orang yang humanis. Willer tidak bisa berbuat banyak, hanya menjalankan garis kebijakan meski pemberontakan telah terjadi dimana-mana. Banyak penduduk Madailing dan Angkola yang tidak senang dan lalu menghindar dan pindah ke tempat lain (banyak yang menuju semenanjung Malaya).

Eduard Douwes Dekker: Controleur Natal, 30-11-1842  hingga 25-08-1843

Rumah Multatuli di Natal, 1842 (foto 1910)
Di Natal, Eduard Doewes Dekker tidak bisa menahan keprihatinannya terhadap perlakukan petugas terhadap penduduk. Dekker yang baru beberapa bulan bertugas menjadi tempat ‘curhat’ dan keluh kesah penduduk itu diresponnya dengan baik. Dekker bahkan melakukan advokasi, suatu yang tidak lazim dilakukan oleh pejabat pemerintahan colonial. Pengawas menganggap Dekker tidak pro pemerintah (yang mengeksploitasi) dan malahan pro terhadap penduduk (yang dieksploitasi). Akibatnya, Eduard Doewes Dekker dipanggil ke Padang dan dibebaskan dari tugas controleur dan digantikan oleh H. Dipenhorst.

Kerusuhan yang terjadi pada tahun 1842 sempat direkam oleh Eduard Douwes Dekker yang kala itu menjadi controleur di Natal. Melihat penderitaan rakyat Mandailing dan Ankola, Dekker berbalik arah dan melakukan pembangkangan terhadap kebijakan pemerintah. Oleh karena Dekker manjadi tempat curhat para pimpinan penduduk menyebabkan dirinya dipecat dan diombang-ambingkan bagaikan gelandangan selama setahun di Padang tanpa mendapat gaji dan dihalangi bertemu istri yang tinggal di Batavia. Kisah inilah yang menjadi pemicu awal mengapa Eduard Douwes Dekker dikemudian hari novelnya diberi judul Multatuli (aku yang menderita).

Multatuli (Saya telah menderita)

Eduard Doewes Dekker adalah  Controleur Natal. Namun namanya tidak pernah terpublikasi secara resmi. Dalam Almanak Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda tahun 1842 dan tahun 1843 nama controleur Natal tidak mencantumkan nama Eduard Doewes Dekker. Nama yang tercatat dalam Almanak tersebut adalah JH van Meerten, controleur yang sudah berakhir masa tugasnya. Tampaknya, nama Eduard Doewes Dekker ingin dihapus selamanya.

Namun dengan ditemukannya surat-surat Eduard Doewes Dekker (terbukti) dan kenyataannya, Eduard Doewes Dekker telah bertugas sebagai controleur di Natal sekurang-kurangnya antara 30 November 1842 hingga 25 Augustus 1843. Informasi ini telah dengan sendirinya mengkoreksi isi Almanak 1842 atau Almanak 1843.

De Sumatra post, 18-03-1931: ‘Surat dari  Eduard Douwes Dekker. Telah ditemukan dari arsip Negara untuk disimpan, controleur  di Natal, Eduard Douwes Dekker menulis surat dari 30 November 1842 hingga 25 Augustus 1843. Meskipun isi dari surat-surat ini tidak signifikan dan mengingat hal ini tidak ada kaitannya dengan literatur serius yang telah muncul di dalam tahun perjalanan Multatuli, tapi pasti akan disambut, sebab di dalam surat-surat itu dapat diperhatikan tentang kepribadian (ED Dekker) yang luhur di wilayah kerjanya (di Natal)’.

Hal yang penting dari surat-surat Eduard Doewes Dekker antara 30 November 1842 hingga 25 Augustus 1843 di satu sisi telah menunjukkan jatidirinya sebagai pribadi yang berkarakter yang boleh diartikan sangat peduli terhadap penderitaan penduduk Mandailing/Angkola akibat penerapan koffiestelsel (system tanam paksa), sementara di sisi lain isi surat-surat (yang ditahan tersebut) diduga menjadi penyebab mengapa Eduard Doewes Dekker dipecat dan ditelantarkan setahun di Padang.

Beberapa tahun kemudian, nama Eduard Doewes Dekker karena dianggap tuduhan palsu kepada lalu direhabilitasi. Eduard Doewes Dekker tidak melakukan pelanggaran administrasi (penyelewengan) dan kemanusian tetapi justru menyuarakan perlindungan kemanusiaan. Setelah direhabilitasi Eduard Doewes Dekker dipekerjakan kembali di tempat lain. Selama bertugas di berbagai tempat, Eduard Doewes Dekker masih terus menemukan dan melihat seperti apa yang dilihat, didengar dan dipahaminya di Mandailing/Angkola. Berbagai penderitaan penduduk terus mengiang di telinganya lalu menulis buku berjudul Max Havelaar dengan tokoh Multatuli. Buku ini (terbit 1860) menjadi heboh di Hindia Belanda dan terkenal hingga ini hari. Tokoh Multatuli yang digambarkannya bermula di Natal (penderitaan penduduk Mandailing/Angkola).


Algemeen Handelsblad, 07-07-1842
Eduard Doewes Dekker di Hindia Belanda bukan sendiri. Eduard memiliki saudara kandung bernama Jan Doewes Dekker. Dia adalah seorang militer dengan pangkat kapten yang pada tahun 1842 bertugas di Tjirebon. Jan Doewes Dekker adalah kakek dari Ernest Douwes Dekker, tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia (Dr. Setiabudi).

Bersambung:
Sejarah Kota Natal (3): Jalur Transportasi Mandailing-Natal Dibangun; Pelabuhan Kota Natal Semakin Berkembang


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe.

Tidak ada komentar: