Pada tahun 1832 di Natal mulai
dibentuk pemerintahan dengan menempatkan seorang pejabat militer. Pada tahun
itu juga para pemimpin Batak (Mandailing dan Angkola) meminta bantuan militer
Belanda untuk bersama-sama mengusir pasukan Padri. Awalnya pemerintah Belanda
enggan, baru pada tahun 1834 pemerintah Belanda tertarik untuk dua alasan:
mendapat energi baru dari para hulubalang Mandailing en Ankola untuk
melumpuhkan perlawanan kaum Padri di Bonjol. Alasan yang kedua Mandailing dan
Angkola dapat dijadikan lumbung pangan selama perang Bonjol.
Eduard Doewes Dekker (ft 1853) |
Ada dua hal yang bersifat strategis dilakukan pemerintahan
militer tahun 1834: membangun benteng di Panjaboengan dan mendirikan pos
militer di Kotanopan dan Sayurmatinggi. Dengan eskalasi perang yang semakin
meningkat di pedalaman, status Natal ditingkatkan menjadi asisten residen dan
menempatkan seorang asisten di Kotanopan.
Akhirnya pasukan Padri di Bonjol
berhasil dilumpuhkan pada tahun 1837 dan pasukan Padri di Pertibie juga
berhasil dilumpuhkan. Situasi yang dihadapi (1840) kemudian ternyata tidak
menguntungkan bagi Natal. Status Natal diturunkan dari asisten residen menjadi
hanya setingkat controleur. Sementara di afd. Mandailing en Angkola menjadi
asisten residen. Perubahan yang ada mengikuti situasi baru: prospek ekonomi.
TAC van Kervel ditunjuk menjadi Asisten Residen Mandailing en Ankola, sedangkan
controleur yang ditunjuk di Natal adalah JH van Meerten.
Tahun 1843 TAC van Kervel digantikan FT Willer dan JH van
Meerten digantikan oleh Eduard Doewes Dekker.
Kebijakan pemerintah koffiecultuur
menjadi koffiestelsel selama tiga tahun kepemimpinan Kervel dan Meerten
(1840-1943) telah membuat penduduk ‘marah’. Sementara pengganti kedua pejabat
yakni Willer dan Dekker adalah orang-orang yang humanis. Willer tidak bisa
berbuat banyak, hanya menjalankan garis kebijakan meski pemberontakan telah terjadi
dimana-mana. Banyak penduduk Madailing dan Angkola yang tidak senang dan lalu
menghindar dan pindah ke tempat lain (banyak yang menuju semenanjung Malaya).
Eduard Douwes Dekker: Controleur Natal, 30-11-1842 hingga 25-08-1843
Rumah Multatuli di Natal, 1842 (foto 1910) |
Di Natal, Eduard Doewes Dekker tidak
bisa menahan keprihatinannya terhadap perlakukan petugas terhadap penduduk.
Dekker yang baru beberapa bulan bertugas menjadi tempat ‘curhat’ dan keluh
kesah penduduk itu diresponnya dengan baik. Dekker bahkan melakukan advokasi,
suatu yang tidak lazim dilakukan oleh pejabat pemerintahan colonial. Pengawas
menganggap Dekker tidak pro pemerintah (yang mengeksploitasi) dan malahan pro
terhadap penduduk (yang dieksploitasi). Akibatnya, Eduard Doewes Dekker
dipanggil ke Padang dan dibebaskan dari tugas controleur dan digantikan oleh H.
Dipenhorst.
Kerusuhan yang terjadi pada tahun 1842 sempat direkam oleh Eduard
Douwes Dekker yang kala itu menjadi controleur di Natal. Melihat penderitaan
rakyat Mandailing dan Ankola, Dekker berbalik arah dan melakukan pembangkangan
terhadap kebijakan pemerintah. Oleh karena Dekker manjadi tempat curhat para
pimpinan penduduk menyebabkan dirinya dipecat dan diombang-ambingkan bagaikan gelandangan
selama setahun di Padang tanpa mendapat gaji dan dihalangi bertemu istri yang
tinggal di Batavia. Kisah inilah yang menjadi pemicu awal mengapa Eduard Douwes
Dekker dikemudian hari novelnya diberi judul Multatuli (aku yang menderita).
Multatuli (Saya telah menderita)
Eduard Doewes Dekker adalah Controleur Natal. Namun namanya tidak pernah terpublikasi
secara resmi. Dalam Almanak Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda tahun 1842 dan
tahun 1843 nama controleur Natal tidak mencantumkan nama Eduard Doewes Dekker.
Nama yang tercatat dalam Almanak tersebut adalah JH van Meerten, controleur
yang sudah berakhir masa tugasnya. Tampaknya, nama Eduard Doewes Dekker ingin
dihapus selamanya.
Namun dengan ditemukannya
surat-surat Eduard Doewes Dekker (terbukti) dan kenyataannya, Eduard Doewes
Dekker telah bertugas sebagai controleur di Natal sekurang-kurangnya antara 30
November 1842 hingga 25 Augustus 1843. Informasi ini telah dengan sendirinya
mengkoreksi isi Almanak 1842 atau Almanak 1843.
De Sumatra post, 18-03-1931: ‘Surat dari Eduard Douwes Dekker. Telah ditemukan dari
arsip Negara untuk disimpan, controleur di
Natal, Eduard Douwes Dekker menulis surat dari 30 November 1842 hingga 25
Augustus 1843. Meskipun isi dari surat-surat ini tidak signifikan dan mengingat
hal ini tidak ada kaitannya dengan literatur serius yang telah muncul di dalam tahun
perjalanan Multatuli, tapi pasti akan disambut, sebab di dalam surat-surat itu
dapat diperhatikan tentang kepribadian (ED Dekker) yang luhur di wilayah
kerjanya (di Natal)’.
Hal yang penting dari surat-surat Eduard
Doewes Dekker antara 30 November 1842 hingga 25 Augustus 1843 di satu sisi telah
menunjukkan jatidirinya sebagai pribadi yang berkarakter yang boleh diartikan
sangat peduli terhadap penderitaan penduduk Mandailing/Angkola akibat penerapan
koffiestelsel (system tanam paksa), sementara di sisi lain isi surat-surat
(yang ditahan tersebut) diduga menjadi penyebab mengapa Eduard Doewes Dekker
dipecat dan ditelantarkan setahun di Padang.
Beberapa tahun kemudian, nama Eduard Doewes Dekker karena
dianggap tuduhan palsu kepada lalu direhabilitasi. Eduard Doewes Dekker tidak
melakukan pelanggaran administrasi (penyelewengan) dan kemanusian tetapi justru
menyuarakan perlindungan kemanusiaan. Setelah direhabilitasi Eduard Doewes
Dekker dipekerjakan kembali di tempat lain. Selama bertugas di berbagai tempat,
Eduard Doewes Dekker masih terus menemukan dan melihat seperti apa yang
dilihat, didengar dan dipahaminya di Mandailing/Angkola. Berbagai penderitaan
penduduk terus mengiang di telinganya lalu menulis buku berjudul Max Havelaar
dengan tokoh Multatuli. Buku ini (terbit 1860) menjadi heboh di Hindia Belanda
dan terkenal hingga ini hari. Tokoh Multatuli yang digambarkannya bermula di
Natal (penderitaan penduduk Mandailing/Angkola).
Algemeen Handelsblad, 07-07-1842
|
Eduard Doewes Dekker di Hindia
Belanda bukan sendiri. Eduard memiliki saudara kandung bernama Jan Doewes
Dekker. Dia adalah seorang militer dengan pangkat kapten yang pada tahun 1842
bertugas di Tjirebon. Jan Doewes Dekker adalah kakek dari Ernest Douwes Dekker,
tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia (Dr. Setiabudi).
Bersambung:
Sejarah Kota Natal (3): Jalur Transportasi Mandailing-Natal
Dibangun; Pelabuhan Kota Natal Semakin Berkembang
*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan
sumber-sumber tempo doeloe.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar