Sejak kerusuhan tahun 1842 di
Mandailing dan pemecatan Controleur Natal, Eduard Doowes Dekker 1843, demi
menjaga kepentingan pemerintahan (produksi komodi ekspor), pemerintah mulai
ciut nyalinya lalu mulai dengan tatakelola pemerintahan yang berimbang (di satu
tangan tetap dengan pengawasan senjata dan di tangan yang lain memberi stimulan
yang mampu meredakan ketegangan. Stimulan itu dalam pelaksanaannya baru nanti dilakukan
pada era pemerintahan yang dijabat oleh Asisten Residen AP Godon (1847-1857).
Sejak dipecatnya Eduard Douwes Dekker, pemerintahan di Natal
dikendalikan oleh beberpa controleur. Anehhnya pejabat controleur definitif
tidak pernah ada (hanya sebagai pejabat sementara). Ini mengindikasikan bahwa
faktor Eduard Doowes Dekker masih menjadi pertimbangan.
Asisten Residen AP Godon yang humanis
Pada tahun 1846 afdeeling Natal
dimasukkan ke Residentie Tapanoeli (menyusul afd, Mandailing en Angkola).
Afdeeling Natal yang sempat rantai terputus 1845 (Natal masuk Residentie Air
Bangis sementara Mandailing en Angkola masuk Residentie Tapanoeli) tidak
terdapat koordinasi. Dengan bersatunya kedua afdeeling ini di dalam satu
residentie maka fungsi koordinasi kembali terlaksana. Oleh karena di afdeeling
Mandailing en Ankola statusnya asisten residen, maka controleur Natal harus
selalu berkoordinasi dengan asisten residen Mandailing en Angkola.
Pada tahun 1846 asisten residen Mandailing en Ankola adalah
C. Rodenburg (menggantikan TJ Willer yang telah menjabat sejak 1843). Namun
Rodenburg tidak disukai pemimpin Mandailing en Ankola lalu digantikan HM Andree
Wiltens (sebagai pjs). Kemudian ditunjuk asisten residen yang baru 1847 bernama
JKD Lammlet, namun juga tidak mendapat penerimaan oleh pemimpin Mandailing en
Ankola lalu diberhentikan dan digantikan AP Godon pada tahun 1848.
Praktis selama periode 1843 (pasca
kerusuhan) hingga kedatangan AP Godon (1848) koordinasi pemerintahan antara
Natal dan Mandailing en Ankola tidak berjalan kondusif. Tingkat penerimaan
penduduk terhadap pejabat sangat rendah. Pada periode ini banyak penduduk
Mandailing en Ankola yang eksodus ke luar Residentie Tapanoeli (ke Padang
Lawas, Sumatra Timur dan Semenanjung Malaya). Migrasi ini dalam jangka panjang sangat
dikhawatirkan pemerintah colonial karena dengan sendirinya jumlah tenaga kerja
potensial akan berkurang. (factor penting eksploitasi eknomi colonial).
Tahun 1845 Afdeeling
Mandailing dan Angkola dipisahkan dari Air Bangis. Residentie Air Bangis
dihapus dan dimasukkan ke Residentie Padangsch Bovenlanden. Di Air Bangis hanya
dijabat oleh Asisten Residen. Afd, Natal menjadi bagian dari Padangsch
Bovenlanden. Posisi Natal menjadi dilematis. Afd, Natal tidak masuk Residentie
Tapanoeli dan dari sisi geografis Natal menjadi terpencil dari Residentie
Padangsch Bovenkanden. Namun, keterpencilan Natal masih tertolong dengan
dibukanya jalur transportasi Mandailing-Natal. Dalam konteks regional:
Mandailing menjadi hulu (sumber utama produksi) dan Natal menjadi hilir
(pelabuhan).
Pada tahun 1946, Residentie
Tapanoeli baru terdiri dari: Afd. Natal, Afd. Mandailing en Angkola, Afd.
Baros, Afd. Singkel plus Eiland. Nias (statusnya belum menjadi
afdeeling/kabupaten meski pulau Nias sudah dimasukkan sebagai bagian dari
Residentie Tapanoeli sejak 1842). Sedangkan afdeeling Pertibie yang sudah ada
sejak 1842, sejak tahun 1844 dihapus (kelak tahun 1876 dikembalikan lagi
sebagai sebuah afdeeling, yang kurun waktunya bersamaan dengan afd. Silindoeng
en Toba dimasukkan ke dalam Residentie Tapanoeli).
Oleh karena itu, Gubernur Jenderal
di Batavia dan Gubernur Michiel di Padang harus mencari asisten residen yang
sesuai dengan kebutuhan penduduk/pemimpin di Mandailing en Ankola. Anehnya,
yang ditemukan justru bukan berpangkat setingkat asisten residen melainkan yang
masih berpangkat setingkat controleur. Kandidat tersebut adalah AP Godon,
contoleur yang tengah menjabat di afdeeling Singkel (yang masih Residentie
Tapanoeli).
Kebijakan pertama AP Godon adalah menyeimbangkan tujuan
pemerintah colonial dengan kebutuhan penduduk Mandailing en Angkola. Ada dua
program simultan yang dilaksanakan AP Godon. Pertama, program membuka jalan
adalah membuka isolasi daerah dengan membuka transportasi (pembangunan jalan
dan jembatan) antar Tanobato dengan pelabuhan Natal. Hal ini karena produksi
kopi (hasil koffiecultuur yang dimulai sejak 1841) sudah menumpuk di gudang-gudang
tetapi tidak tersalurkan dengan baik. Kedua, program introduksi pendidikan
modern (aksara latin) yakni menyediakan pendidikan bagi anak-anak para pimpinan
penduduk di Mandheling en Ankola. Program ini dianggap pemerintah sebagai
kebutuhan yang sesuai dengan karakter penduduk Mandailing en Angkola.
Setelah selesainya pembangunan jalan
yang menghubungkan Mandailing dan Natal maka pada tahun 1852 lambat laun
produksi kopi mulai mengalir dari Mandailing dan Angkola ke pelabuhan Natal dan
diteruskan ke Padang.
Oleh karena kopi Mandailing dan Angkola terbilang unik dan
memenuhi semua cita rasa di Eropa dan Amerika, maka harga kopi dari Mandailing
dan Ankola pelan tapi pasti makin meningkat hingga kopi Mandailing dan kopi
Angkola mendapat apresiasi harga tertinggi dunia sejak 1860-an hingga tahun
1920-an.
Meski terus diawasi secara ketat,
para petani makin bergairah karena harga kopi Mandailing dan kopi Ankola yang terus
merangsek naik menjadi dapat dirasakan oleh petani hingga sampai ke lereng-lereng
gunung. Sistem cultuur stelsel (tanam paksa) yang dulunya menjadi sumber
masalah (kerusuhan) mulai hilang sendirinya karena penduduk sendiri sudah
proaktif menanam (bebas tanam).
Dengan situasi dan kondisi yang
semakin kondusif di Mandailing en Ankola, situasi dan kondisi di Natal juga
turut kondusif. Pada tahun 1853 controleur yang ditempatkan di Natal adalah JAW
van Opuijsen.
JAW van Opuijsen adalah
ayah dari Charles Adriaan van Ophuijsen. Kelak Charles Adriaan van Ophuijsen. Lebih
dikenal sebagai guru terkenal di Padang Sidempuan (Kweekschool Padang
Sidempuan).
Onderafdeeling Angkola maju pesat
Afdeeling Mandailing en Angkola
terdiri dari empat onderafdeeling (Groot Mandailing, Klein Mandailing, Oeloe en
Pakantan dan Angkola). Sentra koffiecultuur sendiri sesungguhnya hanya terdapat
di onderfadeling Oeloe en Pakantan dan onderafdeeling Angkola. Dari dua
onderafdeeling inilah produksi kopi secara besar-besaran mengalir ke pelabuhan
Natal. Kopi asal dua sentra ini di pusat lelang di Padang diberi label yang
terpisah: kopi Mandailing dan kopi Angkola.
Sejak 1843 di Angkola telah bekerja dengan baik dalam
koffiecultuur WF Godin sebagai controleur. Pada tahun 1846 Godin digantikan
oleh LB van Planen Patel, lalu pada tahun 1948 Patel digantikan KF Stijman,
lalu tahun 1851 datang AJF Hamers (berakhir 1855). Masing-masing controleur ini
dapat diterima penduduk/pemimpin di Angkola. Akibatnya produksi kopi Angkola
tidak efisien lagi disalurkan via Natal (terlalu jauh).
AJF Hamers yang menjadi controleur
Angkola selama lima tahun melihat situasi dan kondisi dengan cermat lalu mulai
merintis membuka jalan antara Padang Sidempuan dengan Loemoet (pelabuhan
sungai). Pada saat AP Godon cuti ke Belanda tahun 1857 (setelah lebih dari
delapan tahun menjadi asisten Residen Mandailing en Ankola) di Angkola ditempat
seorang controleur yang visioner, seorang sarjana bernama WA Hennij.
Mr. WA Hennij mengikuti program yang
telah dijalankan oleh Hamers. WA Hennij lebih meningkatkan kapasitas
(produktivitas kopi) dan efisiensi pengakutan (low cost). Karenanya WA Hennij
sangat berhasil dalam perluasan areal kopi di Angkola, tidak hanya di Angkola Djae
dan Angkola Doeloe tetapi juga ke Angkola Dolok (Sipirok) dan juga sangat
berhasil dalam pemningkatan mutu jalan/jembatan antara Padang
Sidempuan-Loemoet. Semasa Hennij menjadi controleur Angkola, juga dibangun
gudang besar di Djaga-Djaga (pelabuhan laut) yang dapat meningkatkan
volume/tonase kapal untuk mengangkut kopi ke Padang.
Akibatnya, Natal tidak sepenuhnya menjadi pelabuhan dari
afd. Mandailing en Angkola lagi, karena dalam perkembangannya tidak semua arus
produksi dan orang melalui pelabuhan Natal. Penduduk dan hasil-hasil produksi
dari Angkola sudah sejak lama mengalir melalui Lumut tetapi semakin optimal
dengan tersedianya gudang/pelabuhan di Djaga-Djaga.
Pada saat era WA Hennij inilah ekonomi
Angkola mampu mengimbangi ekonomi Mandailing. Volome perdagangan kopi Angkola
telah meningkat pesat dan harganya juga telah meningkat juga. Faktor penting
peningkatan elonooomi Angkola karena akses jalan yang telah membaik dari Padang
Sidempuan ke Loemoet. Juga karena factor perluasan kebun kopi ke Sipirok telah
mulai menghasilkan.
Java-bode: nieuws, handels-en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 13-06-1860: ‘Asisten Residen Mandheling en Ankola, B.
Zellner dipindahkan ke Lima Poeloeh Kotta. Untuk Asisten Residen Mandheling en
Ankola diangkat Controleur kelas-1, W.A. Henny, yang sebelumnya menjabat
Controleur di Ankola’
Atas prestasi WA Hennij dalam
ekstensifikasi dan intensifikasi kopi di Angkola, posisinya dinaikkan dari
jabatan controleur (di onderafd. Angkola) menjadi asisten residen (di afdeeling
Mandailing en Ankola). Dalam perkembangannya, WA Hennij ditarik ke Padang,
Ibukota Province Sumatra’s Westkust menjadi sekretaris Gubernur (kini Sekda).
Ketika akses jalan Padang Sidempuan-Lomoet telah ditingkatkan
untuk pengakutan kopi, pemerintah pusat/provinsi memandang perlu untuk
menghubungkan Padang (ibukota provinsi Sumatra’s Westkust) dengan Sibolga
(ibukota Residentie Tapanoeli) melalui moda transfortasi darat. Lalu dilakukan
peningkatan mutu jalan/jembatan di tiga etafe: Fort de Kock-Panjaboengan,
Panjaboengan-Padang Sidempuan dan Padang Sidempuan-Sibolga. Pada etafe Padang
Sidempuan-Sibolga, jalan darat diperluas antara Loemoet-Sibolga. Sebab
pelabuhan Sibolga sudah ditingkatkan dan arus perdagangan kopi akan langsung
menuju Sibolga. Konsekuensinya, jalan akses Panjaboengan/Kotanopan menuju Natal
semakin sepi. Hal ini karena faktanya arus kopi dari Mandailing telah mengalir
ke tiga arah: selain ke Natal, juga telah mengarah ke Fort de Kock dan ke Padang
Sidempuan.
Sejak WA Hennij menjadi sekda
provinsi, perhatian pemerintah semakin intensif ke Residentie Tapanoeli
khususnya di afdeeling Mandailing en Angkola. Semakin membaiknya akses darat
dari Padang-Sibolga via Padang Sidempuan, jumlah para wisatawan juga semakin
meningkat. Hal lain adalah di satu sisi produksi kopi di onderfadeeling Klein
Mandailing dan Oeloe en Pakantan sudah mengalir melalui darat ke Fort de Kock
dan di sisi lain produksi kopi dari Angkola (Djae, Djoeloe dan Dolok) menuju
Sibolga.
Posisi Padang Sidempuan menjadi strategis. Padang Sidempuan
menjadi tumbuh pesat karena tidak hanya pusat transit perdagangan kopi (gudang
besar) juga penduduk Mandailing sudah mulai banyak yang melakukan transaksi ke
Padang Sidempuan (menjual produk ekspor dan membeli produk impor).
Natal lambat laun menjadi sepi.
Natal yang sebelumnya pintu gerbang afdeeling Mandailing en Angkola seakan
berbalik menjadi hanya sekadar pintu belakang. Natal seakan menjadi terpencil
kembali, sebagaimana pada tahun 1845. Saat itu Natal tidak menjadi bagian dari
Residentie Tapanoeli tetapi bagian daerah paling luar dari Residentie
Padangsche Bovenlanden (ibukota di Fort de Kock).
Bersambung:
Sejarah
Kota Natal (4): Willem Iskander Mendirikan Sekolah Guru di Tanobato; Natal
Kembali Mendapat Perhatian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar