Jumat, Agustus 19, 2016

Sejarah Kota Natal (3): Jalur Transportasi Mandailing-Natal Dibangun; Tidak Semua Layar Terkembang Menuju Pelabuhan Natal Lagi



Sejak kerusuhan tahun 1842 di Mandailing dan pemecatan Controleur Natal, Eduard Doowes Dekker 1843, demi menjaga kepentingan pemerintahan (produksi komodi ekspor), pemerintah mulai ciut nyalinya lalu mulai dengan tatakelola pemerintahan yang berimbang (di satu tangan tetap dengan pengawasan senjata dan di tangan yang lain memberi stimulan yang mampu meredakan ketegangan. Stimulan itu dalam pelaksanaannya baru nanti dilakukan pada era pemerintahan yang dijabat oleh Asisten Residen AP Godon (1847-1857).

Sejak dipecatnya Eduard Douwes Dekker, pemerintahan di Natal dikendalikan oleh beberpa controleur. Anehhnya pejabat controleur definitif tidak pernah ada (hanya sebagai pejabat sementara). Ini mengindikasikan bahwa faktor Eduard Doowes Dekker masih menjadi pertimbangan.

Asisten Residen AP Godon yang humanis

Pada tahun 1846 afdeeling Natal dimasukkan ke Residentie Tapanoeli (menyusul afd, Mandailing en Angkola). Afdeeling Natal yang sempat rantai terputus 1845 (Natal masuk Residentie Air Bangis sementara Mandailing en Angkola masuk Residentie Tapanoeli) tidak terdapat koordinasi. Dengan bersatunya kedua afdeeling ini di dalam satu residentie maka fungsi koordinasi kembali terlaksana. Oleh karena di afdeeling Mandailing en Ankola statusnya asisten residen, maka controleur Natal harus selalu berkoordinasi dengan asisten residen Mandailing en Angkola.

Pada tahun 1846 asisten residen Mandailing en Ankola adalah C. Rodenburg (menggantikan TJ Willer yang telah menjabat sejak 1843). Namun Rodenburg tidak disukai pemimpin Mandailing en Ankola lalu digantikan HM Andree Wiltens (sebagai pjs). Kemudian ditunjuk asisten residen yang baru 1847 bernama JKD Lammlet, namun juga tidak mendapat penerimaan oleh pemimpin Mandailing en Ankola lalu diberhentikan dan digantikan AP Godon pada tahun 1848.

Praktis selama periode 1843 (pasca kerusuhan) hingga kedatangan AP Godon (1848) koordinasi pemerintahan antara Natal dan Mandailing en Ankola tidak berjalan kondusif. Tingkat penerimaan penduduk terhadap pejabat sangat rendah. Pada periode ini banyak penduduk Mandailing en Ankola yang eksodus ke luar Residentie Tapanoeli (ke Padang Lawas, Sumatra Timur dan Semenanjung Malaya). Migrasi ini dalam jangka panjang sangat dikhawatirkan pemerintah colonial karena dengan sendirinya jumlah tenaga kerja potensial akan berkurang. (factor penting eksploitasi eknomi colonial).

Tahun 1845 Afdeeling Mandailing dan Angkola dipisahkan dari Air Bangis. Residentie Air Bangis dihapus dan dimasukkan ke Residentie Padangsch Bovenlanden. Di Air Bangis hanya dijabat oleh Asisten Residen. Afd, Natal menjadi bagian dari Padangsch Bovenlanden. Posisi Natal menjadi dilematis. Afd, Natal tidak masuk Residentie Tapanoeli dan dari sisi geografis Natal menjadi terpencil dari Residentie Padangsch Bovenkanden. Namun, keterpencilan Natal masih tertolong dengan dibukanya jalur transportasi Mandailing-Natal. Dalam konteks regional: Mandailing menjadi hulu (sumber utama produksi) dan Natal menjadi hilir (pelabuhan).

Pada tahun 1946, Residentie Tapanoeli baru terdiri dari: Afd. Natal, Afd. Mandailing en Angkola, Afd. Baros, Afd. Singkel plus Eiland. Nias (statusnya belum menjadi afdeeling/kabupaten meski pulau Nias sudah dimasukkan sebagai bagian dari Residentie Tapanoeli sejak 1842). Sedangkan afdeeling Pertibie yang sudah ada sejak 1842, sejak tahun 1844 dihapus (kelak tahun 1876 dikembalikan lagi sebagai sebuah afdeeling, yang kurun waktunya bersamaan dengan afd. Silindoeng en Toba dimasukkan ke dalam Residentie Tapanoeli).

Oleh karena itu, Gubernur Jenderal di Batavia dan Gubernur Michiel di Padang harus mencari asisten residen yang sesuai dengan kebutuhan penduduk/pemimpin di Mandailing en Ankola. Anehnya, yang ditemukan justru bukan berpangkat setingkat asisten residen melainkan yang masih berpangkat setingkat controleur. Kandidat tersebut adalah AP Godon, contoleur yang tengah menjabat di afdeeling Singkel (yang masih Residentie Tapanoeli).

Kebijakan pertama AP Godon adalah menyeimbangkan tujuan pemerintah colonial dengan kebutuhan penduduk Mandailing en Angkola. Ada dua program simultan yang dilaksanakan AP Godon. Pertama, program membuka jalan adalah membuka isolasi daerah dengan membuka transportasi (pembangunan jalan dan jembatan) antar Tanobato dengan pelabuhan Natal. Hal ini karena produksi kopi (hasil koffiecultuur yang dimulai sejak 1841) sudah menumpuk di gudang-gudang tetapi tidak tersalurkan dengan baik. Kedua, program introduksi pendidikan modern (aksara latin) yakni menyediakan pendidikan bagi anak-anak para pimpinan penduduk di Mandheling en Ankola. Program ini dianggap pemerintah sebagai kebutuhan yang sesuai dengan karakter penduduk Mandailing en Angkola.

Setelah selesainya pembangunan jalan yang menghubungkan Mandailing dan Natal maka pada tahun 1852 lambat laun produksi kopi mulai mengalir dari Mandailing dan Angkola ke pelabuhan Natal dan diteruskan ke Padang.

Oleh karena kopi Mandailing dan Angkola terbilang unik dan memenuhi semua cita rasa di Eropa dan Amerika, maka harga kopi dari Mandailing dan Ankola pelan tapi pasti makin meningkat hingga kopi Mandailing dan kopi Angkola mendapat apresiasi harga tertinggi dunia sejak 1860-an hingga tahun 1920-an.

Meski terus diawasi secara ketat, para petani makin bergairah karena harga kopi Mandailing dan kopi Ankola yang terus merangsek naik menjadi dapat dirasakan oleh petani hingga sampai ke lereng-lereng gunung. Sistem cultuur stelsel (tanam paksa) yang dulunya menjadi sumber masalah (kerusuhan) mulai hilang sendirinya karena penduduk sendiri sudah proaktif menanam (bebas tanam).

Dengan situasi dan kondisi yang semakin kondusif di Mandailing en Ankola, situasi dan kondisi di Natal juga turut kondusif. Pada tahun 1853 controleur yang ditempatkan di Natal adalah JAW van Opuijsen.

JAW van Opuijsen adalah ayah dari Charles Adriaan van Ophuijsen. Kelak Charles Adriaan van Ophuijsen. Lebih dikenal sebagai guru terkenal di Padang Sidempuan (Kweekschool Padang Sidempuan).

Onderafdeeling Angkola maju pesat

Afdeeling Mandailing en Angkola terdiri dari empat onderafdeeling (Groot Mandailing, Klein Mandailing, Oeloe en Pakantan dan Angkola). Sentra koffiecultuur sendiri sesungguhnya hanya terdapat di onderfadeling Oeloe en Pakantan dan onderafdeeling Angkola. Dari dua onderafdeeling inilah produksi kopi secara besar-besaran mengalir ke pelabuhan Natal. Kopi asal dua sentra ini di pusat lelang di Padang diberi label yang terpisah: kopi Mandailing dan kopi Angkola.

Sejak 1843 di Angkola telah bekerja dengan baik dalam koffiecultuur WF Godin sebagai controleur. Pada tahun 1846 Godin digantikan oleh LB van Planen Patel, lalu pada tahun 1948 Patel digantikan KF Stijman, lalu tahun 1851 datang AJF Hamers (berakhir 1855). Masing-masing controleur ini dapat diterima penduduk/pemimpin di Angkola. Akibatnya produksi kopi Angkola tidak efisien lagi disalurkan via Natal (terlalu jauh).

AJF Hamers yang menjadi controleur Angkola selama lima tahun melihat situasi dan kondisi dengan cermat lalu mulai merintis membuka jalan antara Padang Sidempuan dengan Loemoet (pelabuhan sungai). Pada saat AP Godon cuti ke Belanda tahun 1857 (setelah lebih dari delapan tahun menjadi asisten Residen Mandailing en Ankola) di Angkola ditempat seorang controleur yang visioner, seorang sarjana bernama WA Hennij.

Mr. WA Hennij mengikuti program yang telah dijalankan oleh Hamers. WA Hennij lebih meningkatkan kapasitas (produktivitas kopi) dan efisiensi pengakutan (low cost). Karenanya WA Hennij sangat berhasil dalam perluasan areal kopi di Angkola, tidak hanya di Angkola Djae dan Angkola Doeloe tetapi juga ke Angkola Dolok (Sipirok) dan juga sangat berhasil dalam pemningkatan mutu jalan/jembatan antara Padang Sidempuan-Loemoet. Semasa Hennij menjadi controleur Angkola, juga dibangun gudang besar di Djaga-Djaga (pelabuhan laut) yang dapat meningkatkan volume/tonase kapal untuk mengangkut kopi ke Padang.

Akibatnya, Natal tidak sepenuhnya menjadi pelabuhan dari afd. Mandailing en Angkola lagi, karena dalam perkembangannya tidak semua arus produksi dan orang melalui pelabuhan Natal. Penduduk dan hasil-hasil produksi dari Angkola sudah sejak lama mengalir melalui Lumut tetapi semakin optimal dengan tersedianya gudang/pelabuhan di Djaga-Djaga.

Pada saat era WA Hennij inilah ekonomi Angkola mampu mengimbangi ekonomi Mandailing. Volome perdagangan kopi Angkola telah meningkat pesat dan harganya juga telah meningkat juga. Faktor penting peningkatan elonooomi Angkola karena akses jalan yang telah membaik dari Padang Sidempuan ke Loemoet. Juga karena factor perluasan kebun kopi ke Sipirok telah mulai menghasilkan.

Java-bode: nieuws, handels-en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 13-06-1860: ‘Asisten Residen Mandheling en Ankola, B. Zellner dipindahkan ke Lima Poeloeh Kotta. Untuk Asisten Residen Mandheling en Ankola diangkat Controleur kelas-1, W.A. Henny, yang sebelumnya menjabat Controleur di Ankola’

Atas prestasi WA Hennij dalam ekstensifikasi dan intensifikasi kopi di Angkola, posisinya dinaikkan dari jabatan controleur (di onderafd. Angkola) menjadi asisten residen (di afdeeling Mandailing en Ankola). Dalam perkembangannya, WA Hennij ditarik ke Padang, Ibukota Province Sumatra’s Westkust menjadi sekretaris Gubernur (kini Sekda).

Ketika akses jalan Padang Sidempuan-Lomoet telah ditingkatkan untuk pengakutan kopi, pemerintah pusat/provinsi memandang perlu untuk menghubungkan Padang (ibukota provinsi Sumatra’s Westkust) dengan Sibolga (ibukota Residentie Tapanoeli) melalui moda transfortasi darat. Lalu dilakukan peningkatan mutu jalan/jembatan di tiga etafe: Fort de Kock-Panjaboengan, Panjaboengan-Padang Sidempuan dan Padang Sidempuan-Sibolga. Pada etafe Padang Sidempuan-Sibolga, jalan darat diperluas antara Loemoet-Sibolga. Sebab pelabuhan Sibolga sudah ditingkatkan dan arus perdagangan kopi akan langsung menuju Sibolga. Konsekuensinya, jalan akses Panjaboengan/Kotanopan menuju Natal semakin sepi. Hal ini karena faktanya arus kopi dari Mandailing telah mengalir ke tiga arah: selain ke Natal, juga telah mengarah ke Fort de Kock dan ke Padang Sidempuan.   

Sejak WA Hennij menjadi sekda provinsi, perhatian pemerintah semakin intensif ke Residentie Tapanoeli khususnya di afdeeling Mandailing en Angkola. Semakin membaiknya akses darat dari Padang-Sibolga via Padang Sidempuan, jumlah para wisatawan juga semakin meningkat. Hal lain adalah di satu sisi produksi kopi di onderfadeeling Klein Mandailing dan Oeloe en Pakantan sudah mengalir melalui darat ke Fort de Kock dan di sisi lain produksi kopi dari Angkola (Djae, Djoeloe dan Dolok) menuju Sibolga.

Posisi Padang Sidempuan menjadi strategis. Padang Sidempuan menjadi tumbuh pesat karena tidak hanya pusat transit perdagangan kopi (gudang besar) juga penduduk Mandailing sudah mulai banyak yang melakukan transaksi ke Padang Sidempuan (menjual produk ekspor dan membeli produk impor).

Natal lambat laun menjadi sepi. Natal yang sebelumnya pintu gerbang afdeeling Mandailing en Angkola seakan berbalik menjadi hanya sekadar pintu belakang. Natal seakan menjadi terpencil kembali, sebagaimana pada tahun 1845. Saat itu Natal tidak menjadi bagian dari Residentie Tapanoeli tetapi bagian daerah paling luar dari Residentie Padangsche Bovenlanden (ibukota di Fort de Kock).

Bersambung:
Sejarah Kota Natal (4): Willem Iskander Mendirikan Sekolah Guru di Tanobato; Natal Kembali Mendapat Perhatian


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe.

Tidak ada komentar: