Tujuh puluh delapan tahun yang lalu di Batavia telah
berkumpul sejumlah perantau Tapanoeli untuk membicarakan pembangunan di kampong
halaman. Ide ini bermula dari Sanusi Pane dan kemudian mengajak sejumlah tokoh
penting asal Tapanoeli yang peduli tentang kampong halaman.
Bataviaasch
nieuwsblad, 01-03-1938: ‘Dewan yang dibentuk terdiri dari (diantaranya) Sanusi
Pane sebagai Presiden. Anggota terdiri dari Parada Harahap (editor Tjaja
Timoer), Abdoel Hakim Harahap (mantan anggota dewan kota Medan, kelak menjadi
Gubernur Sumatra Utara), AL Tobing, H. Pane, T. Dalimoente dan Panangian
Harahap (penilik sekolah di Bandung). Selain itu, sebagai pembina adalah
MangarajaSoangkoepon (anggota Volksraad dari dapil Sumatra Timur), Dr. Abdul
Rasjid (anggota Volksraad dari dapil Tapanoeli), Mr. Soetan Goenoeng Moelia,
PhD (anggota Volksraad dari utusan bidang pendidikan) dan Amir Sjarifoedin
(Pimpinan Partai Politik)’.
Dewan Rencana Reformasi Tapanoeli mewakili seluruh wilayah Residentie
Tapanoeli (afdeeling Padang Sidempuan, Sibolga dan Tarutung). Komposisi dewan
juga mencakup anggota dewan (Volksraad), partai politik, wartawan, sastrawan, pengusaha,
pejabat pemerintah dan pendidik.
Mengapa muncul ide ini? Pada saat
itu (1938) terdapat kesenjangan yang besar kemajuan ekonomi antara Sumatra
Timur dengan Tapanoeli. Sumatra Timur semakin melesat sementara Tapanuli
semakin terpuruk. Putra-putri asal Tapanuli Bagian Selatan semakin was-was. Kejadian
ini sudah dimulai pada tahun 1908 ketika Radjioen Harahap gelar Soetan
Casajangan mendirikan Indisch Vereeniging di Belanda (karena pribumi di Hindia
Belanda semakin tidak berdaya). Lalu dalam perkembangannya, pembangunan di Jawa
semakin membaik sementara di Sumatra semakin memburuk. Pada tahun 1917 Sorip
Tagor Harahap memproklamirkan Jong Sumatra di Belnada. Kemudian Dr. Abdoel Rasjid Siregar pada melihat
persoalan tidak hanya Jawa vs Sumatra tetapi juga antara Tapanuli vs Sumatra.
Pada tahun 1919 Abdul Rasjid Siregar mendirikan Jong Batak di Batavia, Terakhir
‘gerakan’ muncul kembali tahun 1938 oleh Sanoesi Pane dan kawan-kawan. Semua
itu muncul karena anak-anak Tapanuli Bagian Selatan semakin gelisah melihat
situasi dan kondisi kampong halaman yang terus menerus merosot dari berbagai
aspek pembangunan.
Setelah dibentuknya dewan yang terakhir di era Belanda (1938),
kemudian muncul lagi pertemuan masyarakat Tapanuli setelah kemerdekaan RI pada
tahun 1957. Namun rincian dan secara spesifik tidak terlaporkan apa yang
menjadi agenda pertemuan pada tahun 1957 ini.
Java-bode: nieuws, handels- en
advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 22-01-1957: ‘Pertemuan para pemimpin
Tapanuli. Pada hari Minggu di Jakarta masyarakat Tapanuli membahas situasi
terkini di Sumatra. Dengan suara bulat diputuskan membentuk dewan. Salah satu
wacana untuk mewujudkan Tapanuli sebagai provinsi namun itu masih dipertimbangkan
karena dapat terjadi perpecahan di Provinsi Sumatera Utara. Pertemuan pada hari
Minggu itu antara lain dihadiri oleh Abdul Hakim, Prof. Mr. Dr. Todung Sutan Gunung
Mulia, Sutan Guru Sinomba, Mr. Basjaruddin Nasution, Ir. Tarip Harahap,
Aminuddin Lubis, Mr. AM Tambunan, M. Hutasoit, Mr. Rufinus Lumbantobing, Ir.
Debataradja, Mr. Elkana Tobing, S. Pandjaitan, Mayor Jenderal TB Simatupang dan
Binanga Siregar, anggota dari Konstituante Tapanuli’.
Mereka yang hadir ini sebagian merupakan tokoh-tokoh asal
Tapanuli Bagian Selatan. Abdul Hakim Harahap adalah mantan Gubernur Sumatera
Utara yang keempat (1951-1953); Prof. Mr. Dr. Todung Sutan Gunung Mulia (guru
besar dan Rektor UKI; Ir. Basjaruddin Nasution (mantan Kepala Dinas Kehutanan
Tapanuli di era Belanda); Ir. Tarip Harahap (mantan Kepala Dinas Pekerjaan Umum
Sumatra Bagian Utara di era Belanda); Aminuddin Lubis (masih dilacak) dan
Binanga Siregar (mantan Residen Sumatra Timur).
Hal serupa itulah yang terjadi pada hari ini (Selasa, 16 Agustus 2016, red) di Jakarta. Di suatu tempat di Jalan Gatot Subroto, telah berkumpul sejumlah individu dari pengurus partai politik, wartawan, pengusaha, pejabat pemerintah, petinggi perusaswasta dan pendidik. Dewan sudah dibentuk dan anggota dewan diperluas ke individu yang berprofesi di bidang lain termasuk anggota DPR. Dewan yang didirikan hanya terbatas pada perantau asal Tapanuli Bagian Selatan (Tabagsel).Last but not least: Parada Harahap yang ikut berpatisipasi pada tahun 1938 tidak ada lagi. Parada Harahap sudah lanjut usia, tetapi surat kabar Java-bode yang memberitakan pertemuan tersebut sudah menjadi milik. Parada Harahap mengakuisisi (membeli) surat kabar berbahasa Belanda dari investor Belanda tahun 1952 (ketika ada kebijakan pemerintah RI untuk menasionalisasi perusahan-perusahaan asing).
Dewan yang telah dibentuk ini hanya memusatkan perhatian pada
perencanaan investasi dalam rangka percepatan pembangunan di lima
kabupaten/kota: Tapanuli Selatan, Mandailing dan Natal, Padang Lawas, Padang
Lawas Utara dan Padang Sidempuan. Pilihan fokus ini karena selama ini aliran
investasi ke Tapanuli Bagian Selatan ternyata sangat minim dan sangat jauh dari
kebutuhan yang seharusnya. Dewan ini mencoba mensinergikan berbagai bakal program
dan program di lima kabupaten/kota potensi sumber investasi yang berasal dari
luar Tapanuli Bagian Selatan. Oleh karena itu komposisi dewan yang dibentuk
telah memetakan semua individu perantau untuk memberi kontribusi (dana) dan mendorong
berbagai sumber investasi khususnya di Jakarta agar lebih terarah menuju
Tapanuli Bagian Selatan.
Pada saat yang bersamaan beberapa
dewan lain telah dibentuk dan beberapa dewan lainnya tengah digagas. Dewan lain
yang sudah bergerak sedikitnya ada dua: dewan
Pendirian Universitas Negeri di Padang Sidempuan dan dewan Pembiayaan Mikro
(yang dikaitkan dengan pendirian Koperasi Syariah).
Khusus untuk dewan Investasi dan Percepatan Pembangunan
Tapanuli Bagian Selatan sangat diharapkan adanya kerjasama berbagai pihak dan
kerjasama pemerintah daerah dari lima kabupaten/kota. Inilah saat yang tepat
(momen) untuk mampu mewujudkan harapan yang diinginkan oleh penduduk Tapanuli
Bagian Selatan sebagaimana pemikiran ini sudah dimulaiu dari 100 tahun yang lalu
(1917).
1 komentar:
Berita menarik yang berisi harapan,
ibarat sebuah huta kecil angkola dan mandailing para penghuninya ada yang pergi dan ada yang pulang, putra-putri yang terbaik kebanyakan pergi tidak kembali, yang tertinggal di kampung tersebut hanya sisa-sisa kwalitas rece2 semua...,
akhirnya melarat itu kampung,
banyak pencuri, berusaha menjadi tidak nyaman.
Entah dari mana tabiat mencuri itu berawal..?
mungkin karena hukum negara lebih buruk dari hukum adat.
Jika pencuri bisa di atasi saya yakin kemajuan angkola dan mandailing bisa tercapai.
Mudah2an kedepan lebih baik...!
Posting Komentar