Sabtu, Mei 29, 2021

Sejarah Peradaban Kuno (26): Kerajaan Simamora, Sisingamangaradja hingga KB Sinambela; Sekte Bhairawa hingga Parmalim

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Peradaban Kuno di blog ini Klik Disini 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Padang Sidempuan di blog ini Klik Disini

Wilayah sekitar danau Toba berdasarkan deskripsi Radermacher (1787) terdapat tiga kerajaan di Tanah Batak (Het Land der Batak), yakni Het Ryk Simamora, Het Rykje Batak Silindong dan Het Rykje Boetar, Dari tiga nama kerajaan yang dicatat Radermacher tersebut hanya Kerajaan Silindoeng yang diimbuhi nama Batak. Wilayah Silindoeng cukup jelas (kabupaten Tapunuli Utara yang sekarang), wilayah Boetar (kabupaten Toba Samosir yang sekarang) dan wilayah Simamora pada saat ini terdiri dari beberapa kabupaten (Samosir, Humbang Hasundutan, Pakpak Dairi, Pakpak Barat dan Dairi).

Sejak (Federasi) Kerajaan Aru memudar, terbentuk Kerajaan Deli (di ibu kota di Deli Tua yang sekarang), Pengusung kerajaan ini dua anggota Federasi Kerajaan Aru yakni Kerajaan Sibajak Lingga (wilayah kabupaten Karo yang sekarang) dan Kerajaan Goenoeng Raja (wilayah kabupaten Simalungun yang sekarang). Pada tahun 1619 Kerajaan Deli ini diserang Kerajaan Portugis. Setelah sempat bangkit tahun 1643 namun pada tahun 1772 diserang Kerajan Siak, Kerajaan Deli berakhir, Lalu muncul tiga kerajaan baru sebagaimana dicatat Radermacher berdasarkan laporan-laporan VIC di Baroes. Sisa Kerajaan Aru hanya tinggal Angkola, Mandailing dan Padang Lawas (lihat Peta 1818) tiga wilayah pertama yang menjadi Kerajaan Aru sejak abad ke-5.

Lantas bagaimana sejarah Kerajaan Simamora? Yang menjadi perhatian utama adalah di Kerajaan Bakkara yang menjadi anggota federasi Kerajaan Simamora. Di Kerajaan Bakkara inilah dinasti Sisingamangaraja berpusat. Radermacher menyebut ibu kota Kerajaan Simamora di Hoeta Tinggi (kini salah satu desa di kecamatan Pangururan, kabupaten Samosir)., Provinsi Sumatra Utara. Dua nama yang terkenal dari desa (kerajaan) Bakkara ini adalah Sisingamangaraja XII dan putranya bernama Karel Boental Sinambela. Lalu apa hubungannya wilayah Kerajaan Simamora dan sekte Parmalim dengan agama Boedha Batak sekte Bhairawa zaman kuno yang situsnya ditemuan di candi-candi Padang Lawas? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Kerajaan Aru Sejak Abad ke-5: Boedha Sekte Bhairawa

Kerajaan Aru adalah federasi kerajaan-kerajaan yang berbasis pada huta (marga). Kerajaan Aru bermula di wilayah Angkola Mandailing. Federasi Kerajaan Aru makin luas hingga ke wilayah utara seperti Simalungun dan Karo dan hingga ke selatan seperti Rokan dan Pasaman. Dalam perkembanganya federasi Kerajaan Aru diduga juga mencakup wilayah dimana terdapat Kerajaan Silindoeng, Kerajaan Boetar dan Kerajaan Simamora. Bukti-bukti mengenai hal itu sangat banyak seperti religi, aksara dan adat (dalihan na tolu). Lantas bagaimana federasi Kerajaan Aru berkurang?

Setelah invasi Kerajaan Chola, secara perlahan Kerajaan Aru bangkit kembali yang puncak kejayaannya pada era yang bersamaan dengan era kejayaan Singhasari, Kejayaan Kerajaan Aru diikuti Sriwijaya yang bangkit kembali. Setelah meninggalnya Radja Singhasari Kertanegara pada tahun 1292 kerajaan mulai menurun. Dalam perkembangannya Kerajaan Aru mendapat ancaman dari kerajaan Jawa Majapahit (suksesi Kerajaan Singhasari). Majapahir menyerang Kerajaan Sriwijaya. Tamat sudah Sriwijaya, kerajaan yang pernah diperkuat Kerajaan Aru dan pernah sama-sama diserang Kerajaan Chola. Sementara itu Kerajaan Aru masih bertahan. Kerajaan Mauli Dharmasraya di hulu sungai Batanghari yang merupakan vassal Kerajaan Aru, di era Radja Adityawarman untuk menghindari ancaman Majapahit relokasi ke hulu sungai Indragiri  yang kemudian dikenal sebagai Kerajaan Pagaroejong. Radja Adityawarman meninggal tahun 1375.  Idem dito dengan Kerajaan Singhasari, setelah raja Hayam Wuruk di Majapahit meninggal tahun 1398 kerajaan mulai menurun. Tidak ada lagi ancaman dari Jawa. Kerajaan Aru  terus berjaya hingga pengaruhnya sangat kuat hingga ke ujung utara pulau Sumatra di Indrapuri. Kerajaan Aru adalah satu-satunya kerajaan yang memiliki pengaruh besar setelah Sriwijaya dan Majapahit memudar. Dalam prasasti Batugana di candi Padang Lawas disebutkan Kerajaan Dharmasraya (Kerajaan Mauli) sebagai anggota federasinya. Dalam prasasti ini disebutkan raja Panai (Kerajaan Aru) bergelar haji. Besar dugaan pengaruh Islam masuk melalui pedagang-pedagang Moor asal Afrika Utara. Saat kunjungan Ibnu Batutah 1345 diduga kuat sudah banyak komunitas orang-orang Moor. Setelah para raja-raja Kerajaan Aru bergama Islam diduga yang menjadi sebab Radja Adityawarman relokasi ke hulu sungai Indragiri. Kerajaan Ambuaru (Pasai) yang menjadi anggota federasi Kerajaan Aru di wilayah Gajo mulai mandiri. Di sebelah utara Kerajaan Pasai muncul Kerajaan Lamuri mulai berkembang, Pada ekspedisi Tiongkok yang dipimpin Cheng Ho (1403-1433) pelabuhan Panai dan pelabuhan Pasai juga disinggahi. Kerajaan Lamuri kemudian menjadi kerajaan Islam yang disokong oleh Turki (yang diduga berbeda mashab dengan orang-orang Moor) yang kemudian terbentuk Kerajaan Atjeh yang kemudian relokasi ke Badar Ateh (kini Banda Aceh) pelabuhan federasi Kerajaan Aru di wilayah Gajo. Kerajaan Aceh yang diperkuat militer Turki kemudian menyerang Kerajaan Pasai (Kerajaan Ambuaru). Kerajaan Aceh semakin ekspansionis dengan menyerang Kerajaan Aru di wilayah Linggta dan Nagur. Dalam catatan Mendes Pinto yang pernah berkunjung ke Kerajaan Aru tahun 1537 menyebut bahwa sebelumnya Raja Kerajaan Aru kehilangan dua anak dalam mempertahankan diri satu tewas di Lingga (kini wilayah Karo) dan yang satu lagi tewas di Nagur (kini wilayah Simalungun). Hal itulah yang menurut Mendes Pinto saat kunjungannya Kerajaan Aru tengah bersiap-siap berperang melawan Kerajaan Aceh. Menurut catatan Mendes Pinto Kerajaan Aru memiliki kekuatan 15.000 tentara yang diantarnya sebanyak 7.000 didatangkan dari Indragiri, Jambi, Broenai dan Luzon.

Setelah invasi Kerajaan Aceh, diduga kuat wilayah federasi Kerajaan Aru mulai berkurang. Wilayah federasi Kerajaan Aru di Lingga dan Nagur telah diserang Kerajaan Aceh. Dalam perkembangannya dua kerajaan anggota federasi Kerajaan Aru terebut membentuk pelabuhan yang disokong Portugis. Pelabuhan bersama ini berada di Deli Tua yang sekarang yang disebut Kerajaan Deli. Pada tahun 1613 Kerajaan Atjeh mengklaim pelabuhan ini. Lalu enam tahun kemudian 1619 Kerajaan Aceh menyerang Kerajaan Deli dan hancur. Setelah ditinggalkan Kerajaan Aceh, Kerajaan Deli Bangkit kembali pada tahun 1643.

Namun tidak ada lagi kabarnya hingga pada tahun 1770 Kerajaan Deli diserang Kerajaan Siak (yang diperkuat Johor). Kerajaan Deli Batak jatuh ke tangan orang Melayu dengan membangun pelabuhan di muara sungai Deli. Lalu kemudian pelabuhan ini diambilalih oleh orang Melayu Kerajaan Aceh (hingga kelak pada tahun 1863 dibebaskan oleh Belanda, yang mana Kerajaan Siak bekerjasama dengan Belanda).

Demikianlah wilayah federasi Kerajaan Aru makin berkurang, setelah yang pertama Kerajaan Lamuri dan Bandar Ateh di Gajo, kemudian menyusul Kerajaan Abuaru (Pasai) masih di wilayah Gajo. Wilayah federasi Kerajaan Aru kembali berkurang dengan jatuhnya Kerajaan Deli yang dibentuk Kerajaan Lingga dan Kerajaan Nagur ke tangan Kerajaan Siak. Sejak inilah pengaruh Melayu (Siak) semakin kuat di pantai timur Sumatra. Sebelumnya juga pengaruh Kerajaan Aceh sangat kuat di pantai barat Sumatra namun pada tahun 1665 VOC mengusir pengaruh Kerajaan Aceh di Padang dan Baroes (hingga kemudian jatuh ke tangan Inggris yang berpusat di Calcutta. Faktor-faktor inilah Kerajaan Aru semakin memudar dari sisi eksternal ditekan Kerajaan Atjeh dan Inggris di satu sisi dan Kerajaan Siak dan VOC (Belanda) di sisi lain. Pada saat pengaruh Eropa (Inggris dan Belanda) di pantai barat Sumatra, Kerajaan Pagaroejoeng bekerjasama yang dengan sendirinya pengaruh Kerajaan Pagaroejoeng di pantai barat Sumatra mulai terasa.

Pada era federasi Kerajaan Aru yang semakin melemah dan memudar dalam percaturan perdaganagan dan politik, diduga kuat muncul tiga Kerajaan Batak sebagaimana dicatat oleh Radermacher (1787) yakni Kerajaan Simamora, Kerajaan Silindoeng dan Kerajaan Boetar. Pada era inilah Kerajaan Aru kembali ke titik nol kembali yang eksis sejak abad ke-5 yang masih terbatas di Angkola, Mandailing dan Padang Lawas dengan pusat kerajaan di Binanga sungai Barumun (situs percandian Padang Lawas).

Kerajaan Pagaroejoeng yang menjadi suksesi Kerajaan Aru, kerajaan-kerajaan yang menjadi anggota federasi Kerajaan Aru sebelumnya, untuk memperkuat posisi dari ancaman Atjeh (di batas Kerajaan Troemon) berafiliasi dengan Kerajaan Pagaroejoeng seperti Kerajaan Baroes, Kerajaan Natal, Kerajaan Air Bangis dan Kerajaan Rao. Di wilayah pantai timur juga Kerajaan Rokan berafiliasi dengan Kerajaan Siak. Demikian juga sebaliknya Kerajaan Tamiang dari ancaman Kerajaan Siak berafiliasi dengan Kerajaan Aceh. Kerajaan Singkil masih condong berafiliasi dengan Kerajaan Pagaroejoeng. Praktis pada saat ini di wilayah federasi Kerajaan Aru di pedalaman hanya tiga kerajaan yang menonjol sebagaimana dicatat Radermacher keberadaan Kerajaan Batak yakni Kerajaan Simamora, Kerajaan Silindoeng dan Kerajaan Boetar.

Kerajaan Siak muncul belakangan. Ini bermula dari perebutan kekuasaan di Kerajaan Johor di Semenanjung. Salah satu petinggi Kerajaan Johor, Radja Ismail melarikan diri ke pantai timur Sumatra di daerah aliran sungai Siak. VOC (Belanda) yang telah mengusir Portugis dari Malaka pada tahun 1642 dalam perkembanganya, setelah Kerajaan Pagaroejoeng terbebas dari Kerajaan Atjeh di pantai barat Sumatra ingin memastikan situasi dan kondisi di pantai timur Sumatra. Saat VOC memulai kerjasama dengan Kerajaan Johor, wilayah pantai timur Sumatra diklaim oleh Kerajaan Johor, Atas dasar itu, pihak VOC yang berbasis di Malaka mengirim utusan Thomas Diaz ke Kerajaan Pagaroejoeng di pedalaman. Ketika Thomas Diaz mengkonfirmasi ten tantang klaim Johor terhadap pantai timur Sumatra terutama daerah aliran sungai Siak, Radka Pagaroejoeng dengan nada keras mengatakan ‘jangan sekali-kali’. Untuk sekadar catatan: Pemahaman Pagaroejoeng ini boleh jadi didasarkan wilayah itu hingga Kerajaan Mauli (Dharmasraya) di daerah hulu sungai Batanghari adalah wilayah federasi Kerajaan Aru yang menjadi cikal bakal Kerajan Malayu Pagaroejoeng pada era Adityawarman (1343-1375). Dalam catatan Mendes Pinto 1537 Jambi, Indragiri, Broenai dan Luzon adalah wilayah vassal Kerajaan Aru. Namun dalam perkembangannya Johor (Riaouw) yang terus mendesak (hingga era Siak) sehingga Pagaroejoeng dan Siak-Riau terus terjadi ketegangan. Besar dugaan sejak itu Pagaroejoeng lebih berorientasi ke pantai barat Sumatra dan Riau-Siak semakin hegemoni di selat Malaka yang menyebabkan Kerajaan Aru semakin terkurung (dan hanya terbatas di Angkola Mandailing dan Padang Lawas).

Lantas bagaima posisi geopolitik kerajaan-kerajaan Batak (eks federasi Kerajan Aru) terutama Kerajaan Simamora? Seperti sebelumnya yang menjadi faktor berkurangnya wilayah federasi Kerajaan Aru seiring dengan perjalanan waktu ekspansi Kerajaan Aceh di kota-kota pantai (barat dan timur), Kerajaan Simamora tampaknya sangat rentan. Seperti dicatat Radermacher pelabuhan Kerajaan Simamora di pantai timur di Ambuaru (Perlak) yang notabene vasssal Kerajaan Atjeh, Radermacher tidak menyebut perlabuhan Kerajaan Simamora berorientasi ke pantai barat di Baroes (vassal Kerajaan Pagaroejoeng) dan Singkil (vassal Kerajaan Atjeh).

Pada saat ini kerajaan-kerajaan di Angkola menuju pelabuhan Lomoet sedangkan kerajaan-kerajaan di Silindoeng (Kerajaan Silindoeng) ke Tapanoeli. Kerajaan-kerajaan di Mandailing ke Natal dan Air Bangis (yang keduanya vassal Pagaroejoeng); kerajaan-kerajaan di Padang Lawas ke Kota Pinang (wilayah sendieri) dan bisa diteruskan ke Laboehan Batoe (Laboehan Bilik) yang sudah menjadi vassal Siak, Kerajaan-kerajaan di Boetar adalah pulau Seruni (kini Tanjung Balai). Diantara semua kerajaan-kerajaan eks federasi Kerajaan Aru itu hanya Kerajaan Simamora yan tidak memiliki pelabuhan sendiri. Lalu bagaimana?

Dengan posisi geopolitik Kerajaan Simamora yang serba sulit lalu apakah Kerajaan Simamora akan berafiliasi ke Kerajaan Pagaroejoeng dan atau Kerajaan Atjeh.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Kerajaan Simamora dan Dinasti Sisingamangaraja: Sekte Parmalimm dan Karel Boental Sinambela

Pada masa ini, Simamora dikenal sebagai salah satu marga Batak. Asal marga Simamora disebut dari Bakkara. Radermacher (1787) menyebut Kerajaan Simamora berada di Hoeta Tinggi. Desa Huta Tinggi ini pada saat ini masuk wilayah kecamatan Pangururan, kabupaten Samosir. Desa Huta Tinggi tidak jauh dari gunung Pusuk Buhit, di tepi barat danau Toba.

Disebutkan dalam legenda (mitologi) di wilayah Toba, Pusak Buhit diceritakan sebagai tempat kelahiran penduduk di wilayah Toba. Gunung tersebut memiliki ketinggian 1972 meter dpl (meter di atas permukaan laut) dan mencakup beberapa desa di kecamatan Sianjur Mula-mula dan kecamatan Pangururan, kabupaten Samosir. Pada era Hindia Belanda pulau Samasosir masih menyatu dengan daratan di wilayah ini (sebelum dibangun kanal). Di wilayah Mandailing juga ada legenda Sibaroar yang disebut menjadi nenek moyang marga Nasution. Namun legenda atau mitologi tidak dapat dijadikan sebagai sumber sejarah. Mitologi adalah mitologi. Celakanya, dari pusuk Buhit inilah manusia Batak pertama yang dirujuk menjadi asal-usul marga dirujuk. Boleh jadi pada saat penyusunan silsilah marga ini ‘disusun’ belum mengetahui tentang sejarah Kerajaan Aru dengan peninggalannya candi-candi di Padang Lawas.

Lantas mengapa ibu kota Kerajaan Simamora di Huta Tinggi sedangkan pada masa ini disebutkan bahwa asal marga Simamora berasal dari Bakkara? Tentulah pertanyaan itu sulit dijawab. Namun yang jelas bahwa di huta Bakkara adalah tempat kelahiran Radja Sisingamangaraja dan tempat kedudukan Radja Sisingamangaradja XII. Sisingamangara disebut bermarga Sinambela. Lalu apakah Kerajaan Simamora telah menurun dan kemudian promosi Kerajaan Bakkara. Pertanyaanya: Kerajaan Simamora beribukota di Huta Tinggi, tetapi asal marga Simamora dari Bakkara tetapi radja yang berkedudukan di Bakkara bermarga Sinambela. Bagaimana menjelaskannya? Itu satu hal. Hal yang lebih penting lainnya adalah bagaimana eksistensi Kerajaan Simamora selanjutnya?

Nama Simamora kebali muncul satu abad kemudian. Tidak lagi kerajaan besar atau kerajaan penting sebagaimana dicatat Radermacher 1787. Pada tahun  1874 saat Pemerintah Hindia Belanda menyerang Kerajaan Atjeh dan menghancurkan kraton dan masjid Atjeh, mulau muncul ketegangan diantara penduduk pribumi termasuk di Jawa. Pasca serangan ke Atjeh ini, misionaris yang berpusat di Hoeta Dame (Silindoeng) yang telah dirintis orang-orang Jerman yang diteruskan Nommensen mulai mendapat gangguan. Nommensen akhirnya meminta bantuan militer Pemerintah Hindia Belanda. Konsolidasi kekuatan Pemerintah Hindia Belanda dipersiapkan di Sibolga dan di Padang Sidempoen (ibu kota Residentie Tapanoeli). Pada awal fase pendudukan militer di Silindoeng inilah nama Simamora dilaporkan (lihat Sumatra-courant : nieuws- en advertentieblad, 10-04-1879). Radja Silindoeng sejak kehadiran misionaris Jerman sudah bekerjasama dan lebih erat lagi pada masa Nommensen. Tampaknya serangan penduduk ke wilayah misi Nommensen ini berasal dari dua eks federasi Kerajaan Simamora dan Kerajaan Boetar. Dalam berita ini sebelum terjadi serangan, utusan Sisingamangaraja menyampaikan ke pada Nommensen bahwa : ‘tidak ada Bondjol (Melayu) lagi, muncul diantara kami untuk mengganggu kami karena para misionaris (Anda) telah datang untuk tinggal diantara (penduduk) kami’. Tentu saja Nommensen tidak akan mundur, kadung sudah mulai banyak pengikut (yang masuk Kristen). Lalu muncul beredar desas-desus Bondjol akan datang lagi, Orang-orang Silindoeng menerjemahkan ini sebagai perang melawan Pemerintah Hindia Belanda yang akan membawa tentara. Banyak orang Silindoeng yang menjemput para sanak keluarga yang tinggal di wilayah dekat danau Toba. Perang akan segera terjadi. Lalu mulai ada penangkapan kepada orang-orang Silindoeng yang datang ke Toba yang menyebabkan orang-orang Silindoeng tidak berani lagi ke wilayah Toba untuk urusan apapun termasuk untuk menjemput sanak keluarga. Juga disebutkan sudah ada bala bantuan dari Atjeh yang tiba di Bakkara dan Muara. Desas desus Atjeh ini terkonfirmasi dari (pelabuhan) Baros eu Singkel bahwa orang Aceh sudah benar-benar maju ke (danau) Toba. Juga disebutkan kepala (Raja) Padang Bolak (Padang Lawas) dengan hulubalangnya sudah tiba di Hoeta Tinggi via pelabuhan Baroes. Dalam berita ini juga disebut telah terjadi aliansi antara Padangbolak, Hoetatinggi dan Simamora yang didukung oleh Atjeh, Dalam berita ini juga disebutkan bahwa sejumlah para hulubalang Padang Bolak kembali ke Padang Bolak untuk merekrut bala tentara lebih banyak lagi, yang tidak akan melalui Baroes ataupun Silindoeng, tetapi via Sipahoetar lalu ke Boetar dan seterusnya ke Hoeta Tinggi. Hal ini karena pasukan pemerintah sudah bermarkas di Silindoeng. Parkara pertama muncul di Bahal Batoe yang mana sudah ada ancaman yang menyebabkan orang-orang Silindoeng yang bermukim di wilayah itu telah melarikan diri ke Silindoeng. Pasukan militer Belanda mulai maju dari Silindoeng yang dipimpin oleh Kapten Schellens yang didampingi oleh Controleur van Hoévell untuk menuju Bahal Batoe. Di Bahal Batoe terjadi korespondensi antara Controleur dengan Sisingamangaradja dan sekutunya yang akhirnya surat terakhir dirobek maka negosiasi dari Controleur berakhir dan perang dimulai.

Berdasarkan berita tahun 1879 yang menandai perang antara Siisingamangaradja dan sekutunya (Padang Bolak dan Atjeh) dengan Pemerintah Hindia Belanda disebut nama Simamora. Dalam konteks berita ini, Simamora adalah satu kerajaan dan Hoetatinggi adalah kerajaan lain. Sedangkan Boetar adalah kerajaan lainnya. Tiga kerajaan inilah yang bersekutu yang ditambah sekutu jauh Padang Bolak (Padang Lawas). Dalam hal ini pemimpin perlawanan adalah Sisingamangaradja, yang sejak awal tidak senang dengan kehadiran para misionaris. Sisingamangaraja masuk ke depan untuk membebaskan Silindoeng dari pengaruh Kristen (misionaris).

Pada satu sisi terlihat beban berat Nommensen dkk untuk Kristenisasi di Silindoeng terutaa untuk wilayah Toba. Sementara penduduk Boetar disebutkan indiferen siapapun pemenangnya seperti yang dikutip berita di atas dari pendapat seorang tetua bahwa: ‘kami akan tetap di wilayah kami siapapun pemenangnya Kristen (Nommensen dkk) atau Islam (dukungan Atjeh dan Padang Bolak), kami telah melihat siapa yang akan menang akan membawa kemakmuran bagi penduduk kami. Catata: di wilayah Boetar sudah ada kegiatan misi.

Dalam perspektif ini Sisingamangaraja bukanlah raja Batak (secara keseluruhan seperti yang dipersepsikan selama in), tetapi Radja dari Kerajaan Simamora yang berpusat di Bakkara yang bersekutu (menjalin aliansi) dengan radja dari Hoetatinggi (Samosir) dan raja Boetar (ibu kota di Bahal Batoe) serta radja Padang Bolak. Kerajaan Simamora yang dicatat Radermacher 1787 sebagai sebuah federasi kemudian memudar dan terbentuk kembali quasi federasi dalam wujud aliansi karena memiliki musuh yang sama (Kristen dan misionaris di satu sisi dan di sisi lain pemerintah dan militer). Aliansi yang terbentuki ini unik antara pagan (Boetar, Simamora dan Hoetatinggi) dan Islam (Padang Bolak dan Atjeh). Seperti yang diutarakan seorang tetua di Boetar kami hanya ikut pemenang apakah Kristen atau Islam. Lalu, secara khusus apakah Sisingaangaraja sudah masuk Islam? Tampaknya iya. Mengapa? Karena tidak ada insentifnya bagi Atjeh dan Padang Bolak jika hanya sekadar melawan asing (Belanda), kecuali karena alasan agama. Dalam hal ini dapat diduga kuat bahwa Sisingamangaradja adalah seorang Islam meski sebagian besar para pengikutnya di Simamora (plus Hoetatinggi dan Boetar) masih pagan. Atasa dasar agama Sisingamangaradja yang sudah Islam itulah Atjeh dan Padang Bolak mendukung penuh misi utama Sisingamangaradja.

Yang juga menarik diperhatikan disini, dalam perang (agama) yang dipimpin oleh Sisingamagaraja mengapa radja-radja di Angkola dan Mandailing bersifat netral, kecuali hanya ditemukan seorang guru (Willem Iskander) yang berkomentar, tetapi tidak untuk seteru Silindoeng tetapi sebelumnya pada saat serangan militer ke Atjeh (1874). Satu jawaban yang memperkuat mengapa Padang Bolak antusias membantu Boetar dan Simamora adalah dugaan bahwa banyak penduduk Boetar yang berasal dari Padang Lawas, sebut misalnya dengan nama penting di Boetar yakni Bahal Batoe (nama Bahal adalah nama kampong (kerajaan) di Padang Bolak, tempat dimana ditemukan candi-candi zaman kuno. Penduduk Angkola, Mandailing dan Padang Lawas pada era Kerajaan Aru banyak yang migrasi ke Nagur (kini wilayah kabupaten Simalungun).

Dalam hubungan ini teori yang menyatakan persebaran penduduk ke Padang Lawas berasal dari Toba tidak tepat karena tidak adanya bukti. Sebaliknya penduduk Padang Bolak (Padang Lawas) banyak yang migrasi ke Toba dan Simalungun (dalam hal ini) pada era Kerajaan Aru, Dengan kata lain penduduk di seputar peradaban baru zaman kuno di seputar candi (Angkola, Mandaiing dan Padang Lawas) pada era Kerajaan Aru memperluas federasi ke Silindung, Toba dan Simalungun yang dengan sendirinya terbawa elemen-elemen budaya baru seperti religi, aksara, adat dalihan na tolu dengan sistem marganya dan bahakan elemen-elemen seni dan pengetahuan lainnya. Secara khusus dalam hal ini, penduduk Angkola, Mandailing dan Padang Lawas sudah sejak lama beragama Islam, tetapi elemen budaya (religi) di Silindoeng, Boetar dan Simamora masih tertanam unsur-unsur agama Boedha Batak yang disebut sekte Bhairawa yang berkembang di pusat peradaban Padang Lawas (pusat percandian). Praktik agama sekte Bhairawa inilah yang masih terlihat dari praktek (agama) pagan terutama di Boetar dan Simamora. Sisingamangaradja sebelum masuk Islam adalah salah satu pemimpin (agama) pagan di Simamora.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

 

Tidak ada komentar: